Anda di halaman 1dari 69

BAB 1

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang

ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran nafas yang bersifat progresif non-

reversible atau reversible parsial (Fitriana, 2015). Penyakit Paru Obstruksi Kronik

ditandai dengan adanya kelemahan kemampuan untuk bernafas. Mereka yang

menderita PPOK akan mengalami kekurangan oksigen. Penurunan kadar oksigen

dalam sirkulasi dan jaringan tubuh pada pasien mengakibatkan risiko tinggi

terhadap beberapa kondisi serius lainnya seperti sesak nafas, ekspirasi yang

memanjang, suara nafas melemah, kemampuan dalam beraktivitas menurun dan

biasanya terjadi sumbatan ringan sampai berat pada jalan nafas. Keadaan tersebut

jika tidak ditangani dengan segera bisa mengakibatkan gagal nafas dan komplikasi

lain seperti infeksi berulang, kor pulmonal serta mengakibatkan kematian. Oleh

Karena itu, pemberian asuhan keperawatan secara komprehensif dan holistik

dibutuhkan untuk mengurangi angka kematian (Dianinati, 2009).


WHO memperkirakan 600 juta orang menderita PPOK di seluruh dunia.

Jumlah penderita PPOK di Amerika Serikat 12,1 juta orang dan di Asia Pasifik

sebanyak 56,7 juta orang (GOLD, 2010). Di Indonesia prevalensi PPOK tertinggi

terdapat di Nusa Tenggara Timur (10,0%), diikuti Sulawesi Tengah (8,0%),

Sulawesi Barat, Sulawesi Selatan masing-masing 6,7 persen dan di Jawa Barat

sebesar 4,0% (Riskesdas 2013). Berdasarkan sumber data yang diperoleh dari

catatan dan rekam medik Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar

sejak tahun 2012 sampai dengan 2016, angka kejadian PPOK yaitu sebanyak 3253

1
orang dimana 92 orang meninggal, 710 orang rawat inap dan 2451 orang rawat

jalan. Berdasarkan buku catatan register triage medik di Instalasi Gawat Darurat

(IGD) RSUP Sanglah Denpasar angka kejadian PPOK sebanyak 804 orang

dimana terdapat 82 orang meninggal pada tahun 2012 sampai dengan 2016

(Rekam Medik RSUP Sanglah Denpasar, 2017).


Penyakit paru obstruksi kronik ditandai dengan penurunan kemampuan

untuk mengeluarkan udara melalui jalan nafas. Hal ini umumnya disebabkan

akibat penyempitan dari diameter jalan nafas sehingga udara akan lebih susah

untuk dikeluarkan. Salah satu penyebab utama dari penyakit paru obstruksi kronik

adalah paparan debu, asap rokok dan polusi udara. Paparan polusi udara luar

seperti debu dan gas buangan sangat berkaitan dengan penyakit paru (Dewa,

2016). Ketika partikel polusi ini masuk ke dalam saluran nafas, partikel itu akan

merangsang perubahan-perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus dan silia.

Selain itu, silia yang melapisi bronkus akan mengalami disfungsional atau

kelumpuhan serta metaplasia. Perubahan-perubahan tersebut juga akan dapat

mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus

kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran nafas. Mukus ini

kemudian akan berfungsi sebagai tempat perkembangan dari mikroorganisme

penyebab infeksi dan menjadi sangat purulen. Peradangan timbul menyebabkan

edema dan pembengkakan jaringan ventilasi, terutama ekspirasi terhambat.

Hiperkapnia muncul akibat dari ekspirasi yang memanjang akibat mukus yang

kental dan adanya peradangan (GOLD, 2008). Partikel polusi akan mengaktivasi

makrofag yang kemudian akan melepaskan mediator inflamasi. Neutrofil dan

makrofag melepaskan berbagai proteinase kemudian akan merusak jaringan ikat

2
parenkim paru yang menyebabkan hilangnya elastisitas saluran udara dan

kolapsnya alveolus akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi.

Dengan demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap

di dalam paru dan kolaps saluran udara (GOLD, 2008).


Penanganan PPOK harus dilakukan dengan segera karena jika tidak segera

ditangani maka dapat menyebabkan kematian. Penanganan kegawatdaruratan

dilakukan dengan membersihkan sekresi bronkus dengan melakukan suction,

pengobatan simtomatik dan penanganan terhadap komplikasi-komplikasi yang

timbul. Jika pasien sesak nafas diberikan posisi yang nyaman semifowler dan

pemberian oksigen untuk mengoptimalkan oksigenasi jaringan, mencegah asidosis

respiratorik dan mencegah hipoksia jaringan. Pemberian oksigen dilakukan

dengan menggunakan nasal kanul dengan aliran lambat 1 – 2 liter/menit. Untuk

mengurangi jumlah udara yang terperangkap dilakukan pengaturan posisi dan

pola nafas (Padila, 2012). Penanganan pada pasien PPOK juga dapat dilakukan

dengan pemberian bronkodilator diberikan untuk merilekskan otot polos jalan

napas, sebagian memperbaiki penyumbatan aliran udara dan pemberian antibiotik

diberikan bila adanya infeksi dengan volume sputum yang meningkat atau

purulensi, demam atau infiltrasi baru pada rontgen dada (Gibson, 2016).
Berdasarkan uraian diatas menunjukkan bahwa PPOK merupakan

penyakit paru obstruksi kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di

saluran nafas yang bersifat progresif. Hambatan aliran udara dapat menyebabkan

risiko tinggi terhadap beberapa kondisi serius lainnya seperti sesak nafas,

ekspirasi memanjang, suara nafas melemah sehingga diperlukan penanganan yang

cepat dan tepat supaya tidak mengalami gagal nafas hingga kematian. Maka dari

3
itu penulis tertarik mengangkat kasus Gambaran Asuhan Keperawatan Penyakit

Paru Obstruksi Kronik (PPOK) dengan Pemenuhan Oksigen.


1.2 Rumusan Masalah
Bagaimanakah gambaran asuhan keperawatan gawat darurat pada Penyakit

Paru Obstruksi Kronik (PPOK) dengan pemenuhan kebutuhan oksigen?


1.3 Tujuan
1.3.1 Tujuan Umum

Menggambarkan asuhan keperawatan gawat darurat pada pasien PPOK

dengan pemenuhan kebutuhan oksigen.

1.3.2 Tujuan Khusus


Tujuan khusus dari gambaran asuhan keperawatan gawat darurat pada

PPOK dengan pemenuhan kebutahan oksigen meliputi :


1.3.2.1 Melaksanakan pengkajian pada pasien PPOK dengan pemenuhan

kebutahan oksigen.
1.3.2.2 Menyusun analisa data dan diagnosa pada pasien PPOK dengan

pemenuhan kebutahan oksigen.


1.3.2.3 Menyusun rencana asuhan keperawatan pada pasien PPOK dengan

pemenuhan kebutahan oksigen.


1.3.2.4 Melaksanakan asuhan keperawatan pada pasien PPOK dengan pemenuhan

kebutahan oksigen.
1.3.2.5 Melaksanakan evaluasi asuhan keperawatan pada pasien PPOK dengan

pemenuhan kebutahan oksigen.


1.4 Manfaat Penulisan

1.4.1 Masyarakat

Membudayakan pengelolaan pasien PPOK dalam pemenuhan kebutuhan

oksigen yang seimbang.

1.4.2 Bagi Pengembangan Ilmu dan Teknologi Keperawatan

Menambah keluasan ilmu dan teknologi terapan bidang keperawatan

dalam pemenuhan kebutuhan oksigen pada pasien PPOK.

4
1.4.3 Penulis

Memperoleh pengalaman dalam mengaplikasikan hasil riset keperawatan,

khususnya studi kasus tentang pelaksanaan pemenuhan kebutuhan oksigen

pada pasien PPOK.

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini lebih menekankan penulisan teori-teori yang diuraikan secara

sistematis dan relevan dengan variable studi kasus. Untuk studi kasus tidak perlu

memuat kerangka konsep studi kasus.

2.1 Asuhan Keperawatan dalam Kebutuhan Oksigen


2.1.1 Pengkajian
Pengkajian merupakan tahap awal dari proses keperawatan yang dilakukan

secara sistematis dengan mengumpulkan data individu secara komperhensif

terkait aspek biologis, psikologis, sosial, maupun spiritual. Fase dari pengkajian

meliputi: pengumpulan data, analisis data, pengelompokan data dan dokumentasi

5
data (Haryanto, 2007). Dalam pengkajian perawat akan menemukan dua jenis data

yaitu data subjektif dan data objektif. Data subjektif adalah data yang berasal dari

laporan lisan pasien mengaenai persepsi dan pemikiran tentang kesehatannya,

kehidupan sehari-hari, kenyamanan, hubungan, dan sebagainya. Sedangkan data

objektif adalah data yang perawat amati tentang pasien. Data objektif

dikumpulkan melalui pemeriksaan fisik dan hasil tes diagnostic (Herdman dan

Kamitsuru, 2015).
Pengkajian pada kasus gawat darurat dibedakan menjadi dua, yaitu :

pengkajian primer dan pengkajian sekunder. Pertolongan kepada pasien gawat

darurat dilakukan dengan terlebih dahulu melakukan survei primer untuk

mengidentifikasi masalah-masalah yang mengancam hidup pasien, barulah

selanjutnya dilakukan survei sekunder (Holder, 2002).


a. Pengkajian Primer
Pengkajian primer menyediakan evaluasi yang sistematis, pendeteksian

dan manajemen segera terhadap komplikasi akibat trauma parah yang mengancam

kehidupan. Pengkajian primer dilakukan untuk menangani masalah mengancam

nyawa yang harus segera dilakukan tindakan (Kartikawati, 2012).


Komponen pengkajian primer, yaitu:

1) Pengkajian Airway

a) Kaji kepatenan dan kebersihan jalan nafas


b) Adanya sputum
c) Batuk produktif dan mengalami infeksi

2) Pengkajian Breathing

a) Penggunaan otot bantu nafas


b) Peningkatan frekuensi pernafasan (takipnea)
c) Dispnea
3) Pengkajian Circulation

6
a) Identifikasi hearth rate (takikardi)

b) Hipoksia

c) Sianosis

4) Pengkajian Dissability
Kaji tingkat kesadaran pasien dengan mengukur GCS,
(ENA, 2007)
5) Pengkajian Exposure
Lakukan pemeriksaan kepala, leher dan dada pada pasien apakah ada luka

baru yang dapat mengancam nyawa pasien

(Gilbert et al., 2009)

b. Pengkajian sekunder
Pengkajian sekunder merupakan pemeriksaan secara lengkap yang

dilakukan secara head to toe, dari depan hingga belakang. Pengkajian sekunder

hanya dilakukan setelah kondisi pasien mulai stabil. Pengkajian sekunder

bertujuan mengidentifikasi semua penyakit atau masalah yang berkaitan dengan

keluhan pasien (Kartikawati, 2012).


1) Subjektif
S : Sign and symtomp (tanda dan gejala) yaitu seperti kelelahan, bengkak

pada pergelangan kaki, penurunan barat badan, daya tahan otot yang

rendah, sianosis, detak jantung sangat cepat, sering infeksi saluran

nafas, aliran udara masuk dan keluar dari paru-paru berkurang,

pernafasan cuping hidung, penggunaan otot bantu pernapasan.


A : Allergy (adakah alergi pada pasien, seperti obat-obatan, plester,

makanan)
M : Medication/obat-obatan (obat-obatan yang diminum seperti sedang

menjalani pengobatan hipertensi, kencing manis, jantung, dosis, atau

penyalahgunaan obat) yaitu konsumsi bronkodilator ( b2-agonis,

antikolinergik dan metilxantin), glukokortikosteroid, antibiotik.

7
P : Past medical history (riwayat medis pasien seperti penyakit yang

pernah diderita, obatnya apa, berapa dosisnya, penggunaan obat-obatan

herbal)
L : Last oral intake (obat atau makanan yang baru saja dikonsumsi,

dikonsumsi berapa jam sebelum kejadian, selain itu juga periode

menstruasi termasuk dalam komponen ini)


E : Event loading injury, hal-hal yang bersangkutan dengan sebab cedera

(kejadian yang menyebabkan adanya keluhan utama) yaitu asap rokok,

polusi udara, riwayat infeksi saluran nafas.


(ENA, 2007 ; Riyanto & Hisyam, 2009 ; Kentucky, 2013 ; ALA, 2016)
2) Objektif
a) Pemeriksaan Fisik
(1) Leher
Inspeksi : Bentuk leher simetris, penggunaan otot bantu

pernafasan, hipertropi otot bantu napas, bila terjadi

gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di

leher dan edema di tungkai.


Palpasi : Vena leher datar bisa mengindikasikan hipovolemia,

empisema subkutan bisa mengindikasikan

terganggunya trakea / cabang bronkhial


(2) Dada
Inspeksi : barrel chest (diameter antero-posterior dan

transversal sebanding), pelebaran sela iga.


Palpasi : Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar.
Perkusi : Pada emfisema hipersonor dan batas jantung

mengecil, letak diafragma rendah, hepar terdorong

ke bawah.
Auskultasi : Suara nafas vesikuler normal atau melemah, ronkhi,

terdapat mengi pada ekspirasi paksa, ekspirasi

memanjang, bunyi jantung terdengar jauh.

8
(ENA, 2007)
b) Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan untuk menilai tingkat keparahan

pasien PPOK yaitu :


(1) Tes fungsi paru
PEF < 100 L/ menit atau FEV 1 < 1 L mengindikasikan adanya

eksaserbasi yang parah.


(2) Pemeriksaan analisis gas darah
(a) PaO2 < 8,0 KpA (60mmHg) dan atau SaO2 < 90% dengan atau

tanpa PaCO2 > 6,7 kPa (50mmHg), saat bernapas dalam udara

ruangan, mengindikasikan adanya gagal napas.


(b) PaO2 < 6,7 KpA (50mmHg), PaCO2 > 9,3 kPa (70mmHg), dan pH<

7,30 memberi kesan episode yang mengancam jiwa dan perlu

dilakukan monitor ketat serta penanganan intensif.


(3) Foto toraks, dilakukan untuk melihat adanya komplikasi seperti

pnemoni. Pada foto thoraks PA bisa dijumpai bronkhitis kronis dan

atau emfisema. Trakea dan bronkhus mayor memperlihatkan bayangan

tubular berisi udara. Bayangan tubular akibat penebalan dinding dapat

terlihat hanya sampai bronkhus intermediet kanan dan lobus bawah

bronkhus kiri, tetapi minimal. Di luar hilus dan area di atas, bayangan

bronkhial bercampus dengan banyangan alveoli yang pada keadaan

normal tidak terlihat. Bayangan ini antara lain akibat inflamasi

bronkhus kronis yang disertai dengan hipertrofi muscular dan

hiperplasi kelenjar.
Gambar 1 Foto Thoraks

9
(https://zabrieko.blogspot.co.id/2013/06/belajar-baca-foto-thorax.html?m=1)

(4) Elektrokardiografi (EKG), pemeriksaan EKG dapat membantu

menegakan diagnosa hipertropi ventrikel kanan, aritmia dan iskemia.


(5) Kultur dan sesitivitas kuman, diperlukan untuk mengetahui kuman

penyebab seperti kuman Streptococcus pneumonia, Moraxella

catarrhalis, H. influenza, serta resistensi kuman terhadap antibiotik

yang dipakai.
(6) Bronkogram dapat menunjukkan dilatasi silindris bronkus pada

inspirasi, kolaps bronkhial pada ekspirasi kuat (emfisema),

pembesaran duktus mukosa yang terlihat pada bronkus.


(7) Hemoglobin meningkat (emfisema luas), peningkatan eosinofil (asma).
(8) Kimia darah antara lain alfa satu antitripsin dilakukan untuk

meyakinkan defisiensi dan diagnosa emfisema primer.


(Riyanto dan Hisyam, 2009 ; Putri et al., 2010)
2.1.2 Diagnosa
Diagnosis keperawatan adalah penilaian klinis tentang respon manusia

terhadap gangguan kesehatan atau proses kehidupan atau kerentanan respon dari

seorang individu, keluarga, kelompok, atau komunitas (Herdman dan Kamitsuru,

2015).
Menurut Hidayat dan Uliyah (2015), diagnosa keperawatan yang mungkin

muncul pada pasien PPOK dengan gangguan pemenuhan kebutuhan oksigen,

meliputi:

10
Tabel 2.1 Diagnosis Keperawatan yang Kemungkinan Terjadi pada Masalah
Kebutuhan Oksigen
Diagnosis Keperawatan Faktor yang Berhubungan Batasan Karakteristik (Data
(E tiologi/E) Subjektif/Objektif/Symptom)
Ketidakefektifan bersihan - Faktor obstruksi jalan Adanya suara napas tambahan,
jalan napas (00031) napas, seperti spasme perubahan frekuensi napas,
jalan napas, mukus yang irama napas, sianosis, kesulitan
berlebihan, adanya mengeluarkan suara, penurunan
eksudat dalam alveoli, bunyi napas, dipsnea, sputum
sekresi dalam bronki, yang berlebih, batuk tidak
adanya benda asing. efektif, ortopnea, dan gelisah.
- Faktor lingkungan
seperti menghisap asap,
merokok.
- Faktor fisiologis seperti
jalan napas alergi, asma,
penyakit paru obstruksi
kronis, infeksi, disfungsi
neuromuscular, dan lain-
lain
Ketidakefektifan pola napas - Kerusakan neurologis, Dispnea/ortopnea/takipnea, fase
(00032) nyeri, keletihan otot ekspirasi memanjang,
pernapasan, cedera pernapasan cuping hidung,
medula spinalis, pernapasan bibir, penggunaan
hiperventilasi, deformitas otot aksesori untuk bernapas,
dinding dada, ansietas, perubahan kedalaman
dan lain-lain. pernapasan, penurunan
kapasitas vital, penurunan
ventilasi semenit, penurunan
tekanan inspirasi, penurunan
tekanan ekspirasi, dan lain-lain.
Gangguan pertukaran gas - Ventilasi perfusi dan Dipsnea, pH darah arteri
(00030) perubahan membrane abnormal, kecepatan, irama dan
alveolar kapiler kedalaman pernapasan yang
abnormal, kulit abnormal,
konfusi, sianosis, penurunan
CO2, diaforesis, hiperkapnia,
hipoksemia, hipoksia, napas
cuping hidung, gelisah,
somnolen, takikardia
Sumber: Hidayat dan Uliyah, 2015

Prioritas Diagnosa
a. Ketidakefektifan bersihan jalan napas berhubungan dengan faktor obstruksi

jalan napas, seperti spasme jalan napas, mukus yang berlebihan, adanya

eksudat dalam alveoli, sekresi dalam bronki, adanya benda asing ditandai

dengan adanya suara napas tambahan, peningkatan irama napas, dispnea,

ortopnea, sputum yang berlebihan, batuk tidak efektif.

11
b. Ketidakefektifan pola napas berhubungan dengan kerusakan neurologis, nyeri,

keletihan otot pernapasan, cedera medulla spinalis, hiperventilasi, deformitas

dinding dada, ansietas ditandai dengan dispnea, fase ekspirasi memanjang,

pernapasan cuping hidung, pernapasan bibir, penggunaan otot bantu napas.


c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ventilasi perfusi dan

perubahan membrane alveolar kapiler ditandai dengan dispnea, pH darah

arteri abnormal, sianosis, hipoksemia, hipoksia, nafas cuping hidung.


(Hidayat dan Uliyah, 2015)

2.1.3 Perencanaan
Intervensi keperawatan adalah semua tindakan yang dilakukan oleh

perawat untuk membantu klien beralih dari status kesehatan saat ini ke status

kesehatan yang diuraikan dalam hasil yang diharapkan ( Perry dan Potter, 2005).
Menurut Doenges (2000), NOC (2013), Nurarif dan Kusuma (2015)

berikut perencanaan masing-masing diagnosa keperawatan yang muncul pada

kasus dengan gangguan pemenuhan kebutuhan oksigen sebagai berikut.

Tabel 2.2 Perencanaan Keperawatan pada Pasien dengan Gangguan Pemenuhan


Kebutuhan Oksigen
Diagnosis Tujuan dan Intervensi Rasional
Keperawatan Kriteria Hasil
1 2 3 4
Ketidakefektifan Setelah diberikan 1. Auskultasi suara 1. Beberapa derajat
Bersihan Jalan asuhan napas, catat adanya spasme bronkus terjadi
Napas keperawatan suara tambahan dengan obstruksi jalan
selama … x … (misal : mengi, nafas dan dapat
jam diharapkan ronki). dimanifestasikan
jalan nafas adanya bunyi napas
kembali efektif adventisius, (misal :
dengan kriteria penyebaran, krekels
hasil : basah (bronchitis),
a. Tidak terjadi bunyi napas redup
peningkatan dengan ekspirasi mengi
irama napas. (emfisema), atau tak
b. Mampu adanya bunyi napas
mengeluarkan (asma berat)).
secret. 2. Kaji atau pantau 2. Takipnea biasanya ada
c. Tidak terdapat frekuensi pada beberapa derajat
mengi dan pernapasan, catat dan dapat ditemukan

12
ronchi rasio inspirasi atau pada penerimaan atau
d. Tidak terjadi ekspirasi selama stress atau
dispnea. adanya proses infeksi
e. Batuk efektif akut. Pernapasan dapat
melambat dan
frekuensi ekspirasi
memanjang disbanding
inspirasi.
3. Posisikan pasien 3. Pengiriman oksigen
untuk dapat diperbaiki
memaksimalkan dengan posisi duduk
ventilasi. tinggi dan
memudahkan
pernafasan.
2 4. Dorong / bantu 4. Dapat meningkatkan/
1 3 4
latihan nafas dalam banyaknya sputum
dan batuk efektif. dimana gangguan
ventilasi dan ditambah
ketidaknyamanan
upaya bernafas
5. Kolaborasi 5. Merilekskan otot halus
pemberian obat dan menurunkan
bronkodilator.
Ketidakefektifan Setelah diberikan 1. Kaji frekuensi 1. Mencapai kedalaman
Pola Napas asuhan kedalaman pernafasan bervariasi
keperawatan pernapasan dan tergantung derajat
selama … x … ekspansi dada. gagal nafas. Expansi
jam diharapkan Catat upaya dada terbatas yang
pola nafas pernapsan berhubungan dengan
kembali efektif termasuk atelectasis dan atau
dengan kriteria penggunaan otot nyeri dada.
hasil : bantu
a. Frekuensi pernapasan/peleba
pernapasan ran nasal.
16-20 2. Posisikan pasien 2. Pengiriman oksigen
x/menit. untuk dapat diperbaiki
b. Tidak memaksimalkan dengan posisi duduk
terdapat ventilasi tinggi dan
penggunaan memudahkan
otot bantu pernafasan.
napas. 3. Kolaborasi 3. Memaksimalkan
c. Tidak terjadi pemberian bernapas dan
pernapasan oksigen tambahan menurunkan kerja
bibir dengan nafas.
mulut
mengerucut.
d. Tidak ada
dispnea.
e. Tidak ada
orthopnea
Gangguan Setelah diberikan 1. Kaji frekuensi, 1. Berguna dalam evaluasi
pertukaran gas asuhan irama pernapasan, derajat distress
keperawatan catat penggunaan pernapasan dan atau
selama … x … otot aksesori, kronisnya proses

13
jam diharapkan napas bibir penyakit.
tidak terjadi 2. Posisikan pasien 2. Pengiriman oksigen
pertukaran gas untuk dapat diperbaiki dengan
dengan kriteria memaksimal kan posisi duduk tinggi dan
hasil: ventilasi dengan latihan napas untuk
a. Hipoksia meninggi kan menurunkan kolaps
tidak ada. kepala tempat jalan napas, dispnea, dan
b. Dispnea tidak tidur, bantu pasien kerja napas.
ada untuk memilih
c. Sianosis tidak posisi yang mudah
ada. untuk bernapas
d. PaO2 dalam 3. Awasi tingkat 3. Gelisah dan ansietas
batas normal kesadaran / status adalah manifestasi
(35.00-45.00) mental. Selidiki umum pada hipoksia.
mmHg. adanya perubahan. AGD memburuk disertai
1 2 3 4
e. PaCO2 dalam bingung / somnolen
batas normal menunjukkan disfungsi
(80.00- serebral yang
100.00) berhubungan dengan
mmHg. hipoksemia.
4. Awasi tanda vital 4. Takikardi, disritmia, dan
dan irama jantung. perubahan tekanan
darah dapat
menunjukkan efek
hipoksemia sistemik
pada fungsi jantung.
5. Pantau 5. PaCO2 biasanya
pemeriksaan meningkat (bronchitis,
AGD pasien. emfisema) dan PaO2
secara umum menurun
sehingga hipoksia
terjadi dengan derajat
lebih kecil atau lebih
besar. Catatan PaCO2
“normal” / meningkat
menandakan kegagalan
pernapasan yang akan
datang selama asmatik.
6. Berikan oksigen 6. Dapat memperbaiki /
tambahan yang mencegah
sesuai dengan memburuknya hipoksia.
indikasi hasil
AGDdan toleransi
pasien.
Sumber: Doenges (2000), NOC (2013), Nurarif dan Kusuma (2015)

2.1.4 Implementasi
Implementasi merupakan langkah keempat dalam tahap proses

keperawatan dengan melaksanakan berbagai strategi keperawatan (tindakan

keperawatan) yang telah direncanakan dalam rencana tindakan keperawatan.

14
Dalam tahap ini perawat harus mengetahui berbagai hal diantaranya bahaya-

bahaya fisik dan perlindungan pada klien, teknik komunikasi, kemampuan dalam

prosedur tindakan, pemahaman tentang hak-hak dari pasien serta dalam

memahami tingkat perkembangan pasien. Dalam pelaksanaan rencana tindakan

terdapat dua jenis tindakan, yaitu tindakan mandiri dan tindakan kolaborasi

(Hidayat, 2008).
2.1.5 Evaluasi
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan. Evaluasi merupakan

tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan

seberapa jauh diagnosa, rencana dan pelaksanaannya sudah berhasil dicapai

(Nursalam, 2001).

2.2 Oksigen pada Pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)


2.2.1 Pengertian Oksigenasi
Kebutuhan oksigenasi merupakan kebutuhan dasar manusia yang

digunakan untuk kelangsungan metabolisme sel tubuh, mempertahankan hidup

dan aktivitas berbagai organ atau sel (Hidayat dan Uliyah, 2015). Oksigen (O 2)

merupakan gas yang sangat vital dalam kelangsungan hidup sel dan jaringan

tubuh karena oksigen diperlukan untuk proses metabolisme tubuh secara terus-

menerus (Tarwoto dan Wartonah, 2013). Hal ini menunjukkan jika tubuh

kekurangan oksigen dalam beberapa menit saja dapat menyebabkan kerusakan

jaringan, bahkan seringkali menyebabkan kematian. Gangguan oksigenasi yang

bermasalah pada kondisi jalan napas, keadaan udara diatmosfer, otot-otot

pernapasan, fungsi system cardiovaskuler, kondisi dari pusat pernafasan pada

seseorang dapat terjadi komplikasi seperti ventilasi pulmonal, difusi gas,

transfortasi gas serta perfusi dijaringan (Atoilah dan Kusnadi, 2013).

15
2.2.2 Gangguan Oksigen pada PPOK
Penyakit paru obstruktif kronik adalah penyakit yang ditandai keterbatasan

jalan napas yang tidak sepenuhnya reversibel. Gangguan yang bersifat progresif

ini disebabkan inflamasi kronik akibat pajanan partikel atau gas beracun dalam

waktu lama dengan gejala sesak napas, batuk dan produksi sputum, mengi,

kelelahan, bengkak pada pergelangan kaki, penurunan barat badan, daya tahan

otot yang rendah, sianosis, detak jantung sangat cepat, sering infeksi saluran

nafas, aliran udara masuk dan keluar dari paru-paru berkurang. Keterbatasan

aliran udara yang bersifat progresif pada PPOK disebabkan dua proses patologis,

yaitu : Airway remodeling dan penyempitan jalan napas kecil, destruksi parenkim

paru disertai rusaknya jaringan penyangga alveolar. Kedua proses ini

menyebabkan berkurangnya elastic recoil, tahanan aliran udara yang meningkat

akibat fibrosis serta meningkatnya air trapping dalam paru. Progresivitas

kerusakan paru akan menyebabkan penurunan faal paru antara lain kapasitas vital

paksa (KVP) dan volume ekspirasi detik pertama (VEP 1). Pada PPOK umumnya

terjadi hipoksemia karena penurunan tekanan oksigen arteri (PaO2) dan Nilai

normal PaO2 adalah 80 – 100 mmHg sedangkan nilai normal SaO 2 ≥ 95 %.

Pembagian hipoksemia berdasarkan nilai dari PaO2 dan SaO2. Terjadinya

hipoksemia karena hipoventilasi, ketidakseimbangan ventilasi perfusi, gangguan

difusi (Dikromo,2010 ; Kentucky, 2013 ; ALA, 2016).


2.2.3 Pengaturan Oksigen pada PPOK
Pemberian terapi oksigen yaitu untuk mengoptimalkan oksigenasi jaringan

dan mencegah asidosis respiratorik, mencegah hipoksia jaringan, menurunkan

kerja nafas dan kerja otot jantung, serta mempertahankan PaO 2 > 60 mmHg atau

SaO2> 90%. Pemberian oksigen atau terapi oksigen dapat dilakukan metode

16
sistem aliran rendah dan sistem aliran tinggi. Pemberian oksigen dengan

menggunakan sistem aliran rendah ditunjukkan pada pasien yang membutuhkan

oksigen, tetapi masih mampu bernafas normal karena tehnik sistem ini

menghasilkan FiO2 yang bervariasi atau tidak konstan dan sangat dipengaruhi

oleh aliran, reservoir, dan pola nafas pasien. Contoh pemberian oksigen dengan

aliran rendah yaitu dengan nasal kanul diberikan dengan kontinu aliran lambat 1 –

2 liter/menit.
Sedangkan sistem aliran tinggi memungkinkan pemberian oksigen dengan

FiO2 lebih stabil dan tidak terpengaruh oleh tipe pernafasan sehingga dapat

menambah konsentrasi oksigen yang lebih tepat dan teratur. Contoh dari sistem

aliran tinggi adalah dengan ventury mask atau sungkup muka dengan ventury

dengan aliran sekitar 2-15 liter/menit. Prinsip pemberian oksigen dengan ventury

adalah oksigen yang menuju sungkup diatur dengan alat yang memungkinkan

konsentrasi dapat diukur sesuai dengan warna alat, misalnya : warna biru 24%,

putih 28%, jingga (oranye) 35%, merah 40%, dan hijau 60% (Tarwoto dan

Wartonah, 2013). Pada pasien PPOK sebaiknya dipertahankan PaO2 > 60 mmHg

atau SaO2> 90%, evaluasi ketat hiperkapnia, gunakan sungkup dengan kadar yang

sudah ditentukan (ventury mask). Perhatikan apakah sungkup rebreathing atau

non-rebreathing tergantung PaCO2 dan PaO2. Bila terapi oksigen tidak dapat

mencapai kondisi oksigen adekuat harus digunakan ventilasi mekanik. Dalam

penggunaan ventilasi mekanik usahakan dengan Noninvasive Positive Pressure

Ventilation (NIPPV), bila tidak berhasil ventilasi mekanik digunakan dengan

intubasi (Antariksa et al., 2011).


2.2.4 Pemberian Edukasi pada PPOK

17
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada

PPOK stabil.Edukasi PPOK berbeda dengan edukasi pada asma karena PPOK

adalah penyakit kronik yang irreversible dan progresif, inti dari edukasi adalah

menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan mencegah kecepatan perburukan fungsi

paru.Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara

berulang pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi

keluarga. Cara pemberian edukasi harus disesuaikan dengan derajat berat

penyakit, tingkat pendidikan, lingkungan sosial, kultur dan kondisi ekonomi

penderita. Edukasi yang dapat diberikan yaitu :


a. Berhenti merokok
Disampaikan pertama kali kepada penderita pada waktu diagnosis PPOK

ditegakkan
b. Penggunaan obat-obatan
1) Macam obat dan jenisnya
2) Cara penggunaan yang benar (oral, MDI atau nebulizer)
3) Waktu penggunaan yang tepat (rutin dengan selang waktu tertentu atau

kalau perlu saja)


4) Dosis obat yang tepat dan efek sampingnya
c. Penggunaan oksigen
1) Kapan oksigen harus digunakan
2) Berapa dosisnya dan mengetahui efek samping kelebihan dosis oksigen
d. Mengenal dan mengatasi efek samping obat atau terapi oksigen
Penilaian dini eksaserbasi akut dan pengelolaannya. Tanda eksaserbasi yaitu :
1) Batuk dan sesak bertambah
2) Sputum bertambah dan sputum berubah warna
e. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
f. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktiviti
(Antariksa et al., 2011)

2.2.5 Fisiologi Pernafasan


Fungsi paru-paru ialah pertukaran gas oksigen dan karbondioksida. Pada

pernafasan eksternal ini dimulai dari masuknya oksigen melalui hidung dan mulit

pada waktu bernafas, kemudian oksigen masuk melalui trakea dan pipa bronkhial

18
ke alveoli, lalu oksigen akan menembus membrane yang akan diikat oleh Hb sel

darah merah dan dibawa ke jantung. Setelah itu, sel darah merah dipompa oleh

arteri ke seluruh tubuh untuk kemudian meninggalkan paru dengan tekanan

oksigen 100 mmHg. Karbon dioksida sebagai hasil buangan metabolisme

menembus membrane kapiler alveolar, yakni dari kapiler darah ke alveoli dan

melalui pipa bronchial (trakea) dikeluarkan melalui hidung atau mulut. Pernafasan

eksternal dimulai dari proses ventilasi pulmoner yaitu saat bernafas udara

bergantian masuk-keluar paru melalui proses ventilasi sehingga terjadi pertukaran

gas antara lingkungan eksternal dan alveolus. Setelah oksigen memasuki alveolus,

proses pernafasan berikutnya adalah difusi oksigen dari alveolus ke pembuluh

darah pulmoner. Difusi gas yang menembusi membran pemisah alveoli dan

kapiler, CO2 lebih mudah berdifusi daripada oksigen. Semua proses ini diatur

sehingga darah yang meninggalkan paru-paru menerima jumlah tepat CO2 dan

O2. Pada waktu gerak badan lebih banyak darah datang di paru-paru membawa

banyak CO2 dan sedikit O2. Jumlah CO2 itu tidak dapat dikeluarkan maka

konsentrasinya dalam darah arteri bertambah. Hal ini merangsang pusat

pernafasan dalam otak untuk memperbesar kecepatan dan dalamnya pernafasan.

Penambahan ventilasi ini mengeluarkan CO2 dan memungut lebih banyak O2.
Gambar 2 Sistem Pernapasan

19
(https://encrypted-tbn1.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSZW5FFNNL-a2tVvLujjnfuOK2z-
SCh19YWlMnouqsAe6h1zxzwRSQn7lOdQw)

Pernafasan interna atau pernafasan jaringan merupakan proses terjadinya

pertukaran gas antar sel jaringan dengan cairan sekitarnya yang sering melibatkan

proses metabolism tubuh atau juga dapat dikatakan bahwa proses pernapasan ini

diawali dengan darah yang telah menjenuhkan hemoglobinnya kemudian

mengitari seluruh tubuh dan akhirnya mencapai kapiler dan bergerak sangat

lambat. Sel jaringan mengambil oksigen dari hemoglobin dan darah menerima

karbon dioksida sebagai hasil buangannya.


Pada PPOK terjadi permasalah penyempitan saluran nafas. Penyempitan

ini dapat mengakibatkan obstruksi jalan nafas dan menimbulkan sesak. Pada

bronkitis kronik, saluran pernafasan kecil yang berdiameter kurang dari 2 mm

menjadi lebih sempit. Penyempitan ini terjadi karena metaplasia sel goblet.

Saluran nafas besar juga menyempit karena hipertrofi dan hiperplasi kelenjar

mukus.
Gambar 3 Fisiologi Chronic Bronchitis dan Emphysema pada PPOK

20
(https://encryptedtbn1.gstatic.com/images?
q=tbn:ANd9GcT2owkTANLisv8rlbzr6FlyfezKHMAwHwKH_2ALWV2oG3D8Yo2drTYp3ryzow)

Pada emfisema paru penyempitan saluran nafas disebabkan oleh

berkurangnya elastisitas para-paru. Pada emfisema beberapa faktor penyebab

obstruksi jalan nafas yaitu inflamasi dan pembengkakan bronki, produksi

lendir yang berlebihan, kehilangan rekoil elastik jalan nafas, dan kolaps

bronkiolus serta redistribusi udara ke alveoli yang berfungsi. Karena dinding

alveoli mengalami kerusakan, area permukaan alveolar yang kontak langsung

dengan kapiler paru secara kontinu berkurang mengakibatkan kerusakan difusi

oksigen. Kerusakan difusi oksigen mengakibatkan hipoksemia. Pada tahap akhir,

eliminasi karbondioksida mengalami kerusakan mengakibatkan peningkatan

tekanan karbon dalam darah arteri (hiperkapnia) dan menyebabkan asidosis

respirastorius individu dengan emfisema mengalami obstruksi kronik kealiran

masuk dan aliran keluar dari paru. Untuk mengalirkan udara ke dalam dan keluar

paru-paru, dibutuhkan tekanan negatif selama inspirasi dan tekanan positif dalam

tingkat yang adekuat harus dicapai dan dipertahankan selama ekspirasi (Hidayat

Dan Uliyah, 2015 ; Ambarawati 2014)

21
BAB 3

METODE PENELITIAN

3.1 Rancangan Studi Kasus

Desain penelitian adalah status yang vital dalam penelitian yang

memungkinkan memaksimalkan suatu kontrol beberapa faktor yang bisa

mempengaruhi validitas suatu hasil (Nursalam, 2011). Desain penelitian dapat

digunakan sebagai petunjuk dalam perencanaan dan pelaksanaan penelitian untuk

mencapai suatu tujuan atau menjawab suatu pertanyaan penelitian (Nursalam,

2013).

Desain yang digunakan dalam penyusunan laporan karya tulis ilmiah

adalah deskriptif dengan pendekatan studi kasus, yaitu satu jenis rancangan

penelitian yang menggambarkan seperangkat peristiwa atau populasi tertentu.

Pendekatan studi kasus merupakan penelitian dengan menggunakan penyelidikan

secara intensif tentang individu, dan unit sosial yang dilakukan secara mendalam

22
dengan menemukan semua variable penting tentang perkembangan individu atau

unit sosial yang diteliti, dalam penelitian ini mungkin ditemukan hal-hal tak

terduga (Hidayat, 2011). Penelitian ini menggunakan rancangan studi kasus yaitu

menggambarkan/ mendeskripsikan asuhan keperawatan pada pasien PPOK dalam

pemenuhan kebutuhan oksigen. Pasien dilakukan tindakan Asuhan Keperawatan

masing-masing selama 4 jam.

3.2 Subyek Studi Kasus

Subyek penelitian adalah bagian dari populasi yang akan dilibatkan dalam

penelitian yang merupakan bagian yang representative dan merepresentasikan

karakter atau ciri-ciri populasi (Herdiansyah, 2014). Dalam penelitian ini

menggunakan dua pasien dengan masalah yang sama yaitu pasien PPOK yang

dirawat di Ruang Instalasi Gawat Darurat RSUP Sanglah Denpasar dan memenuhi

kriteria inklusi dengan perhitungan. Kriteria inklusi dan kriteria eksklusi sampel

dari penelitian ini adalah sebagai berikut:

3.2.1 Kriteria Inklusi

Kriteria inklusi adalah karakteristik umum subyek penelitian dari suatu

populasi target yang terjangkau dan akan diteliti. Kriteria inklusi dari penelitian

ini yaitu pada pasien PPOK yang mendapatkan terapi oksigen dengan umur > 45

tahun dan pasien yang dirawat selama 8 jam, pasien atau keluarga mau

menandatangani inform consent.

3.2.2 Kriteria Ekslusi

Kriteria eksklusi adalah menghilangkan atau mengeluarkan subyek yang

memenuhi kriteria inklusi dari studi karena berbagai sebab. Kriteria eksklusi dari

23
penelitian ini yaitu pasien yang memiliki penyakit komplikasi seperti TBC, HIV,

dan pasien yang dirawat jalan.

3.3 Fokus Studi Kasus

Fokus studi adalah kajian utama yang akan dijadikan titik acuan studi

kasus yaitu pasien PPOK dengan pemenuhan kebutuhan oksigen.

3.4 Definisi Operasional

Definisi operasional adalah mendefinisikan variabel secara operasional

berdasarkan karakteristik yang diamati, sehingga memungkinkan peneliti untuk

melakukan observasi atau pengukuran secara cermat terhadap suatu objek atau

fenomena (Hidayat, 2011). Definisi operasional dalam studi kasus ini adalah

Asuhan Keperawatan pada pasien dengan PPOK dalam Pemenuhan Kebutuhan

Oksigen di Instalasi Gawat Darurat RSUP Sanglah Denpasar.

a. Asuhan Keperawatan merupakan suatu tindakan kegiatan atau proses dalam

praktik keperawatan yang diberikan secara langsung kepada klien (pasien)

PPOK dengan Pemenuhan Kebutuhan Oksigen dilaksanakan berdasarkan

kaidah-kaidah ilmu keperawatan.

b. Kebutuhan Oksigen merupakan kebutuhan oksigen yang didapat melalui nasal

kanul dengan aliran lambat 1 – 2 liter/menit untuk memenuhi kebutuhan

oksigen dalam tubuh.

c. Pasien PPOK adalah seseorang yang mengalami kekurangan oksigen karena

terjadinya hambatan aliran udara di saluran nafas yang mengakibatkan sesak

nafas, ekspirasi yang memanjang, suara nafas melemah sehingga berdampak

terjadi gagal nafas

24
3.5 Tempat dan Waktu

Penelitian ini dilaksanakan di IGD RSUP Sanglah Denpasar pada tanggal

29 Juni sampai 29 Juli 2017. Studi kasus individu di rumah sakit dengan lama

waktu sejak pasien pertama kali masuk rumah sakit, pasien dirawat di IGD

minimal 4 jam dan maksimal 8 jam.

3.6 Pengumpulan Data

Pengumpulan data merupakan upaya untuk mendapatkan data yang dapat

digunakan sebagai informasi tentang klien (Hidayat, 2011). Teknik pengumpulan

data yang digunakan dalam pengumpulan data ini adalah :

a. Wawancara
Wawancara (hasil anamnesis berisi tentang identitas klien, keluhan utama,

riwayat penyakit sekarang-dahulu-keluarga, dll). sumber data dari (pasien,

keluarga, perawat lainnya) metode ini memberikan hasil secara langsung, dan

dapat dilakukan apabila ingin tahu hal-hal dari responden secara mendalam

serta jumlah responden yang sedikit instrumen yang digunakan dapat berupa

wawancara kemuduan daftar periksa dan checklist (Hidayat, 2011). Tujuan

dari wawancara adalah untuk memahami suatu penomena, sehingga bentuk

wawancara tidak terstruktur sesuai untuk digunakan dalam penelitian kualitatif

(Herdiansyah, 2014).
b. Observasi dan Pemeriksaan Fisik
Observasi merupakan cara melakukan pengumpulan data penelitian dengan

observasi secara langsung kepada responden yang dilakukan penelitian untuk

mencari perubahan atau hal-hal yang diteliti. Dalam metode observasi ini

25
instrumen yang dapat digunakan antara lain : lembar observasi, panduan

pengamatan atau checklist (Hidayat, 2011).


Menurut Nursalam (2013) pemeriksaan fisik terdiri dari :
1) Inspeksi : merupakan proses observasi yang dilaksanakan secara sistemik.

Inspeksi dilakukan dengan menggunakan indra penglihatan sebagai alat

untuk mengumpulkan data klien.


2) Palpasi : merupakan teknik pemeriksaan menggunakan indra peraba

tangan dan jari adalah instrumen yang sensitif digunakan untuk

mengumpulkan data tentang suhu, turgir, bentuk, kelembapan, vibrasi, dan

ukuran.
3) Perkusi : merupakan teknik pemeriksaan dengan mengetukkan jari perawat

(sebagai alat untuk menghasikkan suara) ke dalam tubuh pasien yang akan

dikaji untuk membandingkan bagian yang kiri dan kanan. Perkusi

bertujuan untuk mengidentifikasi lokasi, ukuran, bentuk dan konsistensi

jaringan.
4) Auskultasi : merupakan teknik pemeriksaan fisik dengan menggunakan

stestoskop untuk mendengarkan bunyi yang dihasilkan oleh tubuh.


c. Dokumentasi
Studi dokumentasi adalah salah satu metode mengumpulan data kualitatif

dengan melihat atau menganalisis dokumen-dokumen yang dibuat oleh subjek

sendiri atau oleh orang lain tentang subjek. Studi dokumentasi merupakan

salah satu cara yang dapat dilakukan peneliti kualitatif untuk mendapatkan

gambaran dari sudut pandang subjek melalui suatu media tertulis dan

dokumen lainnya yang ditulis dan dibuat langsung oleh subjek yang

bersangkutan. (Herdiansyah, 2014). Studi dokumentasi dalam penelitian ini

adalah catatan perawat ruangan dan medical record.

3.7 Analisis Data dan Penyajian Data

26
Dalam penulisan studi kasus ini setelah penulis mengumpulkan data maka

data tersebut selanjutnya dianalisis dengan cara analisis deskriptif. Analisis

deskriptif adalah suatu usaha untuk mengumpulkan dan menyusun suatu data,

setelah data tersusun langkah selanjutnya adalah melakukan analisis terhadap data

tersebut. Dalam analisis deskriptif, data yang dikumpulkan adalah berupa kata

atau gambar yang mendukung untuk penyusunan karya tulis ilmiah ini (Hasan,

2002).
Analisa data dilakukan dengan cara mengemukakan fakta, selanjutnya

dituangkan dalam opini pembahasan. Teknik analisa yang digunakan dengan cara

menarasikan jawaban-jawaban yang diperoleh dari hasil interpretasi wawancara

mendalam yang dilakukan untuk menjawab rumuasan masalah penelitian. Teknik

analisis digunakan dengan cara observasi oleh peneliti dan studi dokumentasi

dengan cara observasi oleh peneliti dan study dokumentasi yang mebghasilkan

data untuk selanjutnya diinterpretasikan oleh teori yang ada sebagai bahan yang

diberikan rekomendasi dalam intervensi tersebut. Urutan dalam analisis adalah :


a. Pengumpulan data
Data dikumpulkan dari hasil WOD (Wawancara, Observasi, Dokumentasi)

hasil ditulis dalam bentuk catatan lapangan, kemudian disalin dalam bentuk

transkrip (catatan terstruktur).


b. Mereduksi Data
Mereduksi data adalah proses penggabungan dan penyeragaman segala bentuk

data yang diperoleh menjadi suatu bentuk tulisan (Script) yang akan dianalisis

(Herdiansyah, 2014). Data hasil wawancara yang terkumpul dalam betuk

catatan lapangan di jadikan satu dalam bentuk transkrip dan dikelompokkan

menjadi data subjektif dan objektif, dianalisis berdasarkan hasil pemeriksaan

diagnostik kemudian dibandingakan dengan nilai normal.

27
c. Penyajian Data
Setelah dilakukan pengumpulan data dan mereduksi data selanjutnya

dilakukan penyajian data dengan menggunakan tabel, dan teks naratif.

Kerahasiaan dari klien dijamin dengan jalan mengaburkan identitas dari

responden (Sulistyaningsih, 2011)


d. Kesimpulan
Dari data yang disajikan kemudian data dibahas dan dibandingkan dengan

hasil-hasil penelitian terdahulu dan secara teoritis dengan perilaku kesehatan.

Penarikan kesimpulan dilakukan dengan metode induksi. Data yang

dikumpulkan terkait dengan data pengkajian, diagnosis, perencanaan,

tindakan, dan evaluasi.


3.8 Etika Studi Kasus
Masalah etika penelitian keperawatan merupakan masalah yang sangat

penting dalam penelitian, keperawatan berhubungan lagsung dengan manusia,

maka etika penelitian harus diperhatikan. Etika dalam penelitian study kasus

menurut Hidayat (2011) sebagai berikut :


a. Informed Consent (Persetujuan menjadi klien)
Merupakan bentuk persetujuan antara peneliti dengan responden penelitian

dengan memberikan lembar persetujuan. Informed Consent tersebut diberikan

sebelum penelitian dilakukan dengan memberikan lembar persetujuan dengan

menjadi responden. Tujuan Informed Consent adalah agar subjek mengerti

tentang maksud dan tujuan penelitian, mengetahui dampaknya. Jika subjek

bersedia, maka mereka harus menandatangani lembar persetujuan. Jika

responden tidak bersedia, maka penelitian harus menghormati hak responden

dan tidak memaksa untuk mengikuti penelitian ini.


b. Anonimity (Tanpa Nama)

28
Memberikan jaminan dalam subjek penelitian dengan cara tidak memberikan

atau mencantumkan nama responden pada lembar alat ukur dan hanya

menuliskan kode pada lembar pengumpulan data atau hasil penelitian yang

akan disajikan.
c. Confidentiality (Kerahasiaan)
Hasil penelitian baik informasi maupun masalah-masalah lainnya. Semua

informasi yang telah dikumpulkan dijamin kerahasiannya oleh peneliti, hanya

kelompok data tertentu yang akan dilaporkan pada hasil penelitian.

BAB 4

HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil

29
4.1.1 Pengkajian

Pengkajian pada Tn. S dilakukan pada tanggal 10 Juli 2017 pada pukul

08.25 WITA. Tn. S datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUP Sanglah

Denpasar diantar oleh keluarganya dengan kendaraan pribadi. Tn. S masuk ke

triage fastrack kemudian dibawa ke ruang triage medik kategori P3. Sedangakan

pengkajian pada Ny. T dilakukan pada tanggal 14 Juli 2017 pada pukul 08.00

WITA. Ny. T datang ke Instalasi Gawat Darurat (IGD) RSUP Sanglah Denpasar

diantar oleh keluarganya dengan kendaraan pribadi. Ny. T masuk ke triage

fastrack kemudian dibawa ke ruang triage medik kategori P3.

A. Identitas Pasien
Identitas pasien didapatkan dari hsil wawancara dengan pasien dan

keluarga pasien. Pada tabel 4.1.1 dapat dilihat hasi wawancara berupa identitas

pasien Tn. S dan Ny. T yang didapatkan sebagai berikut :

Tabel 4.1 Identitas pasien Tn. S dan Ny. T Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) dengan
gangguan kebutuhan oksigen di Instalasi Gawat Darurat RSUP Sanglah Denpasar
No IdentitasPasien Pasien 1 Pasien 2
1 Kategori P3 P3
2 RM 17029612 01514999
3 Nama Tn. S Ny. T
4 Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan
5 Umur 58 tahun 63 tahun
6 Tempat/tanggal lahir Ngawi, 07/07/1949 24/09/1961
7 Alamat RT 08 RW 02 Jl. Letda Jaya Gg. 1
Sendangrejo, Ngawi No. 1 Denpasar
Timur
8 Agama Islam Hindu
9 Pendidikan SD Sarjana
10 Pekerjaan Swasta Pensiunan
11 Sumber Informasi Pasien dan keluarga Pasien dan keluarga
12 Diagnosa Medis PPOK Eksaserbasi PPOK Eksaserbasi
Akut + Asthma Akut + Pneumonia

B. Pengkajian Primery
Pengkajian primer adalah pemeriksaan yang pertama kali dilakukan untuk

mendeteksi kegawatdaruratannya. Pada pemeriksaan primer, terdapat beberapa

30
tahapan yang harus dilakukan secara berurutan mulai dari pemeriksaan airway

(jalan nafas), breathing (pola nafas), circulation (sirkulasi, disability (kesadaran),

exposure (gambaran tubuh). Pada tabel 4.2 dapat dilihat pengkajian primer pada

pasien Tn. S dan Ny. T yaitu sebagai berikut :


Tabel 4.2 Pengkajian primery pada pasien Tn. S dan Ny. T Penyakit Paru Obstruksi Kronik
(PPOK) dengan gangguan kebutuhan oksigen di Instalasi Gawat Darurat RSUP Sanglah
Denpasar
No Pengkajian Pasien 1 Pasien 2
1. Airway
Jalan nafas Paten Paten
Obstruksi Tidak ada Tidak ada
Suara nafas Tidak ada Tidak ada
Keluhan Lain Batuk berdahak Batuk berdahak
2 Breathing
Nafas Spontan Spontan
Gerakan dada Simetris Simetris
Irama nafas Cepat Cepat
Pola nafas Tidak teratur Tidak teratur
Sesak nafas Ada, RR:30x/menit Ada, RR:26x/menit
Keluhan lain SpO2 : 94%, penggunaan otot SpO2 : 98%, penggunaan otot
bantu nafas bantu nafas
3 Circulation
Nadi Teraba, N :120 x/menit, TD : Teraba, N: 108x/menit, Td:100/60
120/80 mmHg, S: 36,50 C mmHg, S: 37,40C
Sianosis Tidak ada, CRT < 2 detik Tidak ada, CRT <2 detik
Akral Hangat Hangat
Turgor Elastis Tidak elastic
Keluhan lain - -
4 Disability
KeadaanUmum Lemah Lemah
Respon Alert Alert
Kesadaran Compos Mentis Compos Mentis
GCS E4, V5, M6 E4, V5, M6
Pupil Isokor Isokor
Reflekcahaya Ada Ada
Keluhan lain - -
5 Exposure Tidak terdapat deformitas, maupun Tidak terdapat deformitas, maupun
jejas jejas

C. Pengkajian Secondary
Secondary survey adalah pemeriksaan yang dilakukan setelah kondisi

pasien stabil untuk mencari tanda dan gejala tambahan pada tubuh pasien untuk

menunjang penegakan diagnosa. Tahap pertama dilakukan pemeriksaan SAMPLE

untuk mengkaji kronologis penyakit pasien. Pada tabel 4.3 dapat dilihat

31
pengkajian secondary survey (pengkajian sekunder) pada pasien Tn. S dan Ny. T

yaitu sebagai berikut :


Tabel 4.3 Pengkajian secondary pada pasien Tn. S dan Ny. T Penyakit Paru Obstruksi Kronik
(PPOK) dengan gangguan kebutuhan oksigen di Instalasi Gawat Darurat RSUP Sanglah
Denpasar
No Pengkajian Pasien 1 Pasien 2
1 Keluhan Sesak nafas Sesak nafas
Utama
2 Mekanisme - -
Cidera
3 SAMPLE Sign and symptom: Sign and symptom:
Pasien mengeluh sesak dan batuk Pasien mengeluh sesak dan
berdahak sejak kemarin, gelisah demam sejak 2 hari yang lalu,
batuk berdahak sejak 5 hari
yang lalu
Allergi : Allergi:
Pasien mengatakan tidak Pasien mengatakan tidak
memiliki alergi terhadap memiliki alergi terhadap
makanan, tumbuhan maupun makanan, tumbuhan maupun
binatang binatang
Medication : Medication:
Pasien mengtakan Pasien mengatakan
mengkonsumsi obat OBT dan mengkonsumsi obat
mengkonsumsi obat sesak ketika metilprednisolon dan sabutamol
sesaknya timbul
Post Medical History : Post Medical History:
Riwayat TB tahun 2010, riwayat Riwayat PPOK sejak ± 1 tahun
merokok sejak 30 tahun yang
lalu dan berhenti ± 6 tahun lalu.
Last Oral Intake: Last Oral Intake:
Pasien mengatakan makan tadi Pasien mengatakan makan dan
pagi pukul 07.30 WITA dengan minum terakhir tadi siang
menu nasi, sayur, daging dan dengan menu bubur putih dan
minum air putih sekitar ± 600ml minum air putih kurang lebih
800 ml
Event Leading Injury: Event Leading Injury:
Pasien mengeluh sesak nafas dan Paien mengeluh sesak nafas
batuk berdahak berwarna putih sejak 2 hari yang lalu dan tidak
dari kemarin dan tidak membaik membaik dengan perubahan
dengan perubahan posisi, sesak posisi maupun istirahat, batuk
memberat pukul 19.00 lalu berdahak dengan warna putih
pasien diajak keluarganya ke kekuningan sejak 5 hari yang
IGD lalu dan keluarga mengajak
pasien ke IGD
4 Pemeriksaan 1) Wajah 1) Wajah
Fisik Terfokus Inspeksi : pucat, lemas, Inspeksi: pucat, lemas,
menggunakan simple maks menggunakan nasal kanul
2) Leher 2) Leher
Inspeks : bentuk simetris, Inspeksi : bentuk simetris,
penggunaan otot bantu nafas penggunaan otot bantu nafas
Palpasi : tidak terdapat nyeri Palpasi : tidak terdapat nyeri
tekan, tidak terdapat tekan, tidak terdapat
pembesaran vena jugularis pembesaran vena jugularis

32
3) Dada 3) Dada
Inspeksi : bentuk simetris, Inspeksi : bentuk simetris
orthopnea, peningkatan peningkatan frekuensi napas
frekuensi nafas, pengunaan Palpasi : tidak terdapat nyeri
otot bantu nafas dengan tekan
meninggikan bahu untuk Perkusi : terdengar suara
bernafas hipersonor
Palpasi : tidak terdapat nyeri Auskultasi : terdapat
tekan Ronchi Wheezing
Perkusi : terdengar suara + + - -
hipersonor + + + +
Auskultasi : terdapat + + + -
Wheezing
+ -
+ -
- -
4) Abdomen 4) Abdomen
Inspeksi: bentuk abdomen Inspeksi : bentuk abdomen
simetris, simetris
Auskultasi: terdengar bising Auskultasi : terdengar bising
usus (8x/menit) usus (9x/menit)
Perkusi: suara timpani Perkusi : suara timpani
Palpasi: tidak terdapat nyeri Palpasi : tidak terdapat nyeri
tekan tekan
5) Ekstrimitas 5) Ekstrimitas
Inspeksi : terpasang infuse Inspeksi : terpasang infuse
ditangan kanan ditangan kanan,
Palpasi :akral hangat, CRT < 2 Palpasi :akral hangat, CRT <
detik 2 detik
5 Pemeriksaan Laboratorium tanggal 10/7/2017 Laboratorium tanggal 14/7/2017
Penunjang WBC : 10.5 103/µL (4.8-10.8) WBC : 7.91103/µL (4.1-11)
HGB : 14.9 g/dl (11.7-15.5) HGB : 12.23 g/dl (12.0-16.0)
HCT : 46.0% (35-47) HCT : 38.59 % (36.0-46.0)
AGD AGD
pH : 7.33 (7.35-7.45) pH : 7.47 (7.35-7.45)
pCO2 : 47.2 mmHg (35.00-45.00) pCO2 : 48.4 mmHg (35.00-45.00)
pO2 : 69.80 mmHg (80.00-100.00) pO2 :99.00mmHg (80.00-100.00)
HCO3 : 24.40mmol/L (22.00- HCO3 : 34.20 mmol/L (22.00-
26.00) 26.00)
Thoraks : fibrotik regia apek kiri Hasil Pemeriksaan EKG
Heart rate : 92 bpm
PR Int : 142 ns
QRS Dur : 56 ns
QT/QTc : 356/440 ns
P-R-T axes : 53 – 76 – 60

4.1.2 Therapy

33
Dari data hasil pengkajian kegawatdaruratan pada pasien Tn. S dan Ny. T

maka diberikan therapy pengobatan. Pada tabel 4.4 dapat dilihat therapy yang

diberikan pada pasien Tn. S dan Ny. T adalah sebagai berikut :


Tabel 4.4 Therapy pada pasien Tn. S dan Ny. T Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) dengan
gangguan kebutuhan oksigen di Instalasi Gawat Darurat RSUP Sanglah Denpasar
No Pasien Therapy
1. Pasien 1 Oksigen 5 lpm dengan menggunakan nasal kanul
IVFD Nacl 0,9 % 20tpm
Combivent 1 amp
Methylprednisolone 2 x 62,5 mg
Aminofilin 120 mg drip dalam Nacl 500 ml 20tpm
2. Pasien 2 Oksigen 3 lpm dengan menggunakan nasal kanul
IVFD Nacl 0,9 % 20tpm
Ventolin 1 amp
Methylprednisolone 2 x 62,5 mg
Levofloxacin 1 x 750mg
Cefoperazone 2 x 1 gram

4.1.3 Analisa Data

Dari data hasil pengkajian kegawatdaruratan pada pasien Tn. S dan Ny. T

terkumpul maka dilanjutkan ke analisa data. Pada tabel 4.5 dapat dilihat analisa

data pada pasien Tn. S dan Ny. T adalah sebagai berikut :

Tabel 4.5 Analisa data pada pasien Tn. S dan Ny. T Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)
dengan gangguan kebutuhan oksigen di Instalasi Gawat Darurat RSUP Sanglah Denpasar
Analisa Data Etiologi Masalah
Pasien 1
Data Subyektif Mukus dalam jumlah Ketidakefektifan
Pasien mengeluh sesak nafas dan batuk yang berlebih bersihan jalan nafas
berdahak
Data Obyektif
Pasien tampak gelisah, orthopnea, terdapat
wheezing
Wheezing
+ -
+ -
- -
RR: 30x/menit
Data Subyektif Hiperventilasi Ketidakefektifan
Pasien mengeluh sesak nafas pola nafas
Data Obyektif
Penggunaan otot bantu nafas, orthopnea,
peningkatan frekuensi nafas
RR: 30x/menit

34
Data Subyektif Ventilasi-perfusi Gangguan
Pasien mengeluh sesak nafas pertukaran gas
Data Obyektif
Peningkatan frekuensi nafas, pasien tampak
gelisah
RR: 30x/menit
N :120x/menit
SpO2 : 94%
pH : 7.33
pCO2 : 47.2 mmHg
pO2 : 69.80 mmHg
HCO3 : 24.40mmol/L
Pasien 2
Data Subyektif Penyakit paru Ketidakefektifan
Paien mengeluh sesak nafas dan batuk obstruksi kronik bersihan jalan nafas
berdahak dengan warna putih kekuningan
Data Obyektif
Terdapat ronchi dan wheezing
Ronchi Wheezing
+ + - -
+ + + +
+ + + -
RR : 26x/menit
Data Subyektif Hiperventilasi Ketidakefektifan
Pasien mengeluh sesak nafas pola nafas
Data Obyektif
Peningkatan frekuensi napas, terdapat
penggunaan otot bantu nafas
RR : 26x/menit
Data Subyektif Ventilasi-perfusi Gangguan
Paien mengeluh sesak nafas pertukaran gas
Data Obyektif
Peningkatan frekuensi napas
RR : 26x/menit
N: 108x/menit
SpO2 : 98%
pH : 7.47
pCO2 : 48.4 mmHg
pO2 :99.00mmHg
HCO3 : 34.20 mmol/L
4.1.4 Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan adalah penilaian klinis tentang respon manusia

terhadap gangguan kesehatan atau proses kehidupan atau kerentanan respon pada

masalah keperawatan yang dihadapi baik aktual maupun potensial. Pada tabel 4.6

dapat dilihat diagnosa keperawatan yang didapatkan dari hasil pengkajian pada

pasien Tn. S dan Ny. T yaitu sebagai berikut :

35
Tabel 4.6 Diagnosa keperawatan pada pasien Tn. S dan Ny. T Penyakit Paru Obstruksi Kronik
(PPOK) dengan gangguan kebutuhan oksigen di Instalasi Gawat Darurat RSUP Sanglah
Denpasar
No Pasien Diagnosa
1 Pasien 1 1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan mukus dalam
jumlah berlebih ditandai dengan sesak nafas, batuk berdahak, pasien
tampak gelisah, terdapat wheezing, RR: 30x/menit.
2. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi ditandai
dengan sesak nafas, batuk berdahak, penggunaan otot bantu nafas,
orthopnea, peningkatan frekuensi nafas, pengunaan otot bantu nafas
dengan meninggikan bahu untuk bernafas, RR: 30x/menit
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ventilasi perfusi ditandai
dengan sesak nafas, pasien tampak gelisah, peningkatan frekuensi nafas,
RR: 30x/menit, N :120x/menit, pH : 7.33, pCO2 : 47.2 mmHg, pO2 :
69.80 mmHg, HCO3 : 24.40mmol/L, SpO2 : 94%
2 Pasien 2 1. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan penyakit
paru obstruksi kronik ditandai dengan sesak nafas, batuk berdahak,
terdapat ronchi dan wheezing, RR : 26x/menit.
2. Ketidakefektifan pola nafas berhubungan dengan hiperventilasi ditandai
dengan sesak nafas, batuk berdahak, peningkatan frekuensi napas, RR :
26x/menit
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ventilasi perfusi ditandai
dengan pasien mengeluh sesak nafas, peningkatan frekuensi nafas, RR :
26x/menit, N: 108x/menit, pH : 7.47, pCO2 : 48.4 mmHg, pO2 :
99.00mmHg , HCO3 : 34.20 mmol/L, SpO2 : 98%

4.1.5 Perencana

Perencanaan keperawatan disesuaikan dengan prioritas masalah yang

diambil sesuai dengan kasus yang terfokus dalam pemenuhan kebutuhan oksien

pada pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK). Pada tabel 4.7 dapat dilihat

perencanaan keperawatan pada pasien Tn. S dan Ny. T yaitu sebagai berikut :

Tabel 4.7 Perencana keperawatan pada pasien Tn. S dan Ny. T Penyakit Paru Obstruksi Kronik
(PPOK) dengan gangguan kebutuhan oksigen di Instalasi Gawat Darurat RSUP Sanglah
Denpasar
Diagnosis Tujuan dan Intervensi Rasional
Keperawatan Kriteria Hasil
Pasien 1
Ketidakefektifan Setelah diberikan 1. Auskultasi suara 1. Beberapa derajat spasme
Bersihan Jalan asuhan napas, catat adanya bronkus terjadi dengan
Napas keperawatan wheezing obstruksi jalan nafas dan
selama 4 x 15 dapat dimanifestasikan
menit diharapkan adanya bunyi napas
jalan nafas adventisius, (misal :
kembali efektif penyebaran, krekels
dengan kriteria basah (bronchitis), bunyi
hasil : napas redup dengan

36
a. Tidak terjadi ekspirasi mengi
peningkatan (emfisema), atau tak
irama napas. adanya bunyi napas
b. Mampu (asma berat)).
mengeluarkan 2. Kaji atau pantau 2. Takipnea biasanya ada
secret. frekuensi pada beberapa derajat
c. Tidak terdapat pernapasan, catat dan dapat ditemukan
wheezing rasio inspirasi atau pada penerimaan atau
d. Tidak terjadi ekspirasi selama stress atau
dispnea. adanya proses infeksi
e. Batuk efektif akut. Pernapasan dapat
f. Pasien melambat dan frekuensi
tampak rileks ekspirasi memanjang
dibanding inspirasi.
3. Posisikan pasien 3. Peninggian kepala
untuk tempat tidur
memaksimalkan mempermudah fungsi
ventilasi pernapasan dengan
menggunakan gravitasi.
Songkong tangan / kaki
dengan bantal dan lain –
lain untuk membantu
menurunkan kelemahan
otot dan dapat sebagai
alat ekspansi dada.
4. Dorong/bantu 4. Dapat meningkatkan/
pasien latihan nafas banyaknya sputum
dalam dan batuk dimana gangguan
efektif. ventilasi dan ditambah
ketidaknyamanan upaya
bernafas.
5. Kolaborasi 5. Merilekskan otot halus
pemberian obat dan menurunkan.
bronkodilator
(combivent 1 amp).
Ketidakefektifan Setelah diberikan 1. Kaji frekuensi 1. Mencapai kedalaman
Pola Napas asuhan kedalaman pernafasan bervariasi
keperawatan pernapasan dan tergantung derajat gagal
selama 4 x 15 ekspansi dada. nafas. Expansi dada
menit diharapkan Catat upaya terbatas yang
pola nafas pernapsan termasuk berhubungan dengan
kembali efektif penggunaan otot atelectasis dan atau nyeri
dengan kriteria bantu dada.
hasil : pernapasan/pelebar
a. Frekuensi an nasal.
pernapasan 2. Posisikan pasien 2. Pengiriman oksigen
16-20 untuk memaksimal dapat diperbaiki dengan
x/menit. kan ventilasi. posisi duduk tinggi dan
b. Tidak memudahkan
terdapat pernafasan.
penggunaan 3. Kolaborasi 3. Memaksimalkan
otot bantu pemberian oksigen bernapas dan
napas. tambahan (8 lpm) menurunkan kerja nafas.
c. Tidak ada
dispnea.

37
d. Tidak ada
orthopnea
Gangguan Setelah diberikan 1. Kaji frekuensi, 1. Berguna dalam evaluasi
pertukaran gas asuhan irama pernapasan, derajat distress
keperawatan catat penggunaan pernapasan dan atau
selama 4 x 30 otot aksesori, nafas kronisnya proses
menit diharapkan bibir. penyakit.
tidak terjadi 2. Posisikan pasien 2. Pengiriman oksigen
pertukaran gas untuk memaksimal dapat diperbaiki dengan
dengan kriteria kan ventilasi posisi duduk tinggi dan
hasil: dengan meninggi latihan napas untuk
a. Pasien kan kepala tempat menurunkan kolaps
tampak rileks tidur, bantu pasien jalan napas, dispnea, dan
b. Dispnea tidak untuk memilih kerja napas.
ada. posisi yang mudah
c. Tidak ada untuk bernapas.
hipoksia 3. Pantau saturasi O2. 3.
d. Frekuensi 4. Awasi tingkat 4. Gelisah dan ansietas
pernapasan kesadaran / status adalah manifestasi
16-20 x/menit mental. Selidiki umum pada hipoksia.
e. N : (60-100) adanya perubahan. AGD memburuk disertai
x/menit bingung / somnolen
f. pH dalam menunjukkan disfungsi
batas normal serebral yang
(7.35-7.45). berhubungan dengan
g. pO2 dalam hipoksemia.
batas normal 5. Awasi tanda vital 5. Takikardi, disritmia, dan
(80.00- dan irama jantun perubahan tekanan darah
100.00). dapat menunjukkan efek
h. PaCO2 dalam hipoksemia sistemik
batas normal pada fungsi jantung.
(35.00-45.00) 6. PaCO2 biasanya
i. HCO3 dalam 6. Pantau meningkat (bronchitis,
batas normal pemeriksaan AGD emfisema) dan PaO2
(22.00-26.00) pasien. secara umum menurun
sehingga hipoksia terjadi
dengan derajat lebih
kecil atau lebih besar.
Catatan PaCO2
“normal” / meningkat
menandakan kegagalan
pernapasan yang akan
datang selama asmatik.
7. Dapat memperbaiki /
7. Berikan oksigen mencegah
tambahan yang memburuknya hipoksia.
sesuai dengan Catatan : Emfisema
indikasi hasil AGD kronis, mengatur
dan toleransi pernapasan pasien
pasien. ditentukan oleh kadar
CO2 dan mungkin
dikeluarkan dengan
peningkatan PaO2.

Pasien 2

38
Ketidakefektifan Setelah diberikan 1. Auskultasi suara 1. Beberapa derajat spasme
Bersihan Jalan asuhan napas, catat adanya bronkus terjadi dengan
Napas keperawatan wheezing dan obstruksi jalan nafas dan
selama 4 x 15 ronchi dapat dimanifestasikan
minit diharapkan adanya bunyi napas
jalan nafas adventisius, (misal :
kembali efektif penyebaran, krekels
dengan kriteria basah (bronchitis), bunyi
hasil : napas redup dengan
a. Tidak terjadi ekspirasi mengi
peningkatan (emfisema), atau tak
irama napas. adanya bunyi napas
b. Mampu (asma berat)).
mengeluarkan 2. Kaji atau pantau 2. Takipnea biasanya ada
secret. frekuensi pada beberapa derajat
c. Tidak terdapat pernapasan, catat dan dapat ditemukan
wheezing dan rasio inspirasi atau pada penerimaan atau
ronchi ekspirasi selama stress atau
d. Tidak terjadi adanya proses infeksi
dispnea. akut. Pernapasan dapat
e. Batuk efektif melambat dan frekuensi
ekspirasi memanjang
disbanding inspirasi.
3. Posisikan pasien 3. Peninggian kepala
untuk tempat tidur
memaksimalkan mempermudah fungsi
ventilasi pernapasan dengan
menggunakan gravitasi.
Songkong tangan / kaki
dengan bantal dan lain –
lain untuk membantu
menurunkan kelemahan
otot dan dapat sebagai
alat ekspansi dada.
4. Dorong/bantu 4. Dapat meningkatkan/
latihan nafas banyaknya sputum
dalam dan batuk dimana gangguan
efektif ventilasi dan ditambah
ketidaknyamanan upaya
bernafas.
5. Kolaborasi 5. Merilekskan otot halus
pemberian obat dan menurunkan
bronkodilator
(ventolin 1 amp).

39
Ketidakefektifan Setelah diberikan 1. Kaji frekuensi 1. Mencapai kedalaman
Pola Napas asuhan kedalaman pernafasan bervariasi
keperawatan pernapasan dan tergantung derajat gagal
selama 4 x 15 ekspansi dada. nafas. Expansi dada
menit diharapkan Catat upaya terbatas yang
pola nafas pernapsan termasuk berhubungan dengan
kembali efektif penggunaan otot atelectasis dan atau nyeri
dengan kriteria bantu dada.
hasil : pernapasan/pelebar
a. Frekuensi an nasal.
pernapasan 2. Posisikan pasien 2. Pengiriman oksigen
16-20 untuk memaksimal dapat diperbaiki dengan
x/menit. kan ventilasi posisi duduk tinggi dan
b. Tidak memudahkan pernafasan
terdapat 3. Kolaborasi 3. Memaksimalkan
penggunaan pemberian oksigen bernapas dan
otot bantu tambahan (3 lpm). menurunkan kerja nafas.
napas.
c. Tidak terjadi
dispnea.
Gangguan Setelah diberikan 1. Kaji frekuensi, 1. Berguna dalam evaluasi
pertukaran gas asuhan irama pernapasan, derajat distress
keperawatan catat penggunaan pernapasan dan atau
selama 4 x 30 otot aksesori, nafas kronisnya proses
menit diharapkan bibir. penyakit.
tidak terjadi 2. Posisikan pasien 2. Pengiriman oksigen
pertukaran gas untuk memaksimal dapat diperbaiki dengan
dengan kriteria kan ventilasi posisi duduk tinggi dan
hasil: dengan meninggi latihan napas untuk
a. Dispnea tidak kan kepala tempat menurunkan kolaps
ada. tidur, bantu pasien jalan napas, dispnea, dan
b. Frekuensi untuk memilih kerja napas.
pernapasan 16- posisi yang mudah
20 x/menit untuk bernapas.
c. N : (60-100) 3. Pantau saturasi O2 3.
x/menit 4. Awasi tingkat 4. Gelisah dan ansietas
d. pH dalam kesadaran / status adalah manifestasi
batas normal mental. Selidiki umum pada hipoksia.
(7.35-7.45). adanya perubahan. AGD memburuk disertai
e. pO2 dalam bingung / somnolen
batas normal menunjukkan disfungsi
(80.00- serebral yang
100.00). berhubungan dengan
f. PaCO2 dalam hipoksemia.
batas normal 5. Awasi tanda vital 5. Takikardi, disritmia, dan
(35.00-45.00). pasien. perubahan tekanan darah
g. HCO3 dalam dapat menunjukkan efek
batas normal hipoksemia sistemik
(22.00-26.00) pada fungsi jantung.
6. PaCO2 biasanya
6. Pantau meningkat (bronchitis,
pemeriksaan AGD emfisema) dan PaO2
pasien. secara umum menurun
sehingga hipoksia terjadi
dengan derajat lebih

40
kecil atau lebih besar.
Catatan PaCO2
“normal” / meningkat
menandakan kegagalan
pernapasan yang akan
datang selama asmatik.
7. Dapat memperbaiki /
7. Berikan oksigen mencegah memburuk-
tambahan yang nya hipoksia. Catatan :
sesuai dengan Emfisema kronis,
indikasi hasil AGD mengatur pernapasan
dan toleransi pasien ditentukan oleh
pasien. kadar CO2 dan mungkin
dikeluarkan dengan
peningkatan PaO2

4.1.6 Implementasi

Implementasi keperawatan merupakan pelaksanaan rencana keperawatan

yang telah disusun. Pada tabel 4.8 dapat dilihat implementasi yang telah dilakukan

pada pasien Tn. S dan Ny. T yaitu sebagai berikut :

Tabel 4.8 Implementasi keperawatan pada pasien Tn. S dan Ny. T Penyakit Paru Obstruksi Kronik
(PPOK) dengan gangguan kebutuhan oksigen di Instalasi Gawat Darurat RSUP Sanglah
Denpasar
No Hari/Tanggal No. Implementasi Respon Paraf
Jam DX
Pasien 1
1 Senin, 1,2,3 - Mengkaji atau S:
10 Juli 2017 pantau frekuensi pasien mengeluh sesak,
8.30 wita pernapasan, catat batuk berdahak
rasio inspirasi atau O:
ekspirasi terdapat wheezing, terdapat
1 - Mengauskultasi orthopnea, terdapat
suara napas, catat penggunaan otot bantu
adanya wheezing pernapasan,
3 - Memantau saturasi RR : 30x/menit
oksigen pasien SaO2 : 94%
08.35 wita 1 - Memberikan pasien S :
posisi nyaman pasien bersedia untuk
untuk diberikan oksigen
memaksimalkan O:
ventilasi simple maks dengan
1,2 - Delegatif oksigen 8lpm tampak
pemberian oksigen terpasang, terdapat
8lpm dengan orthopnea, terdapat
simple maks penggunaan otot bantu
nafas

41
08.45 wita 1 Melakukan evaluasi S:
pertama diagnosa 1 pasien mengeluh sesak,
batuk berdahak
O:
terdapat wheezing
RR : 30x/menit
A:
tujuan belum tercapai,
masalah belum teratasi
P:
lanjutkan intervensi
08.45 wita 2 Melakukan evaluasi S:
peratama diagnosa 2 pasien mengeluh sesak
O:
terdapat orthopnea,
terdapat penggunaan otot
bantu nafas, simple maks
dengan oksigen 8 lpm
tampak terpasang
RR : 30x/menit
SaO2 : 94 %
A:
tujuan belum tercapai,
masalah belum teratasi
P:
lanjutkan intervensi
08. 50 wita 1 - Delegatif pemberian S:
obat bronkodilator pasien bersedia diberikan
combivent 1 amp obat bronkodilator
1,2,3 - Membantu combivent
mengubah posisi O:
fowler, tinggikan obat bronkodilator
kepala dan combivent masuk melalui
pertahankan posisi nebulizer, pasien tampak
pasien. melakukan posisi fowler,
3 - Mengawasi tingkat pasien tampak gelisah,
kesadaran / status RR : 28x/menit
mental. Selidiki
adanya perubahan
1,2,3 - Mengkaji frekuensi
pernapasan
09.00 wita 1 Melakukan evaluasi S:
kedua diagnosa 1 pasien mengeluh sesak,
batuk berdahak
O:
terdapat wheezing,
RR : 28x/menit
A:
tujuan belum tercapai,
masalah belum teratasi
P:
lanjutkan intervensi
09.00 wita 2 Melakukan evaluasi S:
kedua diagnosa 2 pasien mengeluh sesak,
O:

42
terdapat orthopnea,
terdapat penggunaan otot
bantu nafas,
RR : 28 x/menit
A:
tujuan belum tercapai,
masalah belum teratasi
P:
lanjutkan intervensi
09.00 wita 3 Melakukan evaluasi S:
pertama diagnosa 3 pasien mengeluh sesak
O:
terdapat wheezing, pasien
tampak gelisah
RR : 28x/menit
A:
tujuan belum tercapai,
masalah belum teratasi
P:
lanjutkan intervensi
09.10 wita 3 - Mengawasi tanda S:
vital. pasien mengatakan sesak
1 - Mengauskultasi berkurang
suara napas, catat O:
adanya wheezing terdapat wheezing, pasien
3 - Mengawasi tingkat tampak gelisah,
kesadaran / status RR : 28x/menit
mental. Selidiki SaO2 : 95%
adanya perubahan. N :120x/menit
3 - Memantau saturasi TD : 120/80 mmHg
oksigen pasien
09.15 wita 1 Melakukan evaluasi S:
ketiga diagnosa 1 pasien mengatakan sesak
berkurang
O:
Pasien tampak batuk
berdahak, terdapat
wheezing, pasien tampak
gelisah, RR : 28x/menit
A:
tujuan belum tercapai,
masalah belum teratasi
P:
lanjutkan intervensi
09.15 wita 2 Melakukan evaluasi S:
ketiga diagnosa 2 pasien mengatakan sesak
berkurang
O:
Terdapat orthopnea,
penggunaan otot bantu
nafas, RR : 28x/menit
A:
tujuan belum tercapai,
masalah belum teratasi
P:

43
lanjutkan intervensi
09.20 wita 1 - Delegatif pemberian S:
methylprednisolone pasien mengatakan
62,5 mg melalui iv bersedia di injeksi
O:
obat methylprednisolone
62,5 mg sudah masuk
melalui iv, tidak terdapat
alergi obat
09.25 wita 2,3 - Mengkaji atau S:
pantau frekuensi pasien mengatakan sesak
pernapasan, catat berkurang
rasio inspirasi atau O:
ekspirasi, catat Terdapat penggunaan otot
upaya pernafasan bantu nafas , tampak
termasuk orthopnea, RR : 26 x/menit
penggunaan otot
bantu nafas
09.28 wita 1 - Mengajarkan / S:
membantu pasien Pasien bersedia untuk
latihan nafas dalam melakukan latihan nafas
dan batuk efektif dalam dan batuk efektif
O:
Pasien tampak mengikuti
instruksi perawata, pasien
tampak kesulitan dalam
melakukan batuk efektif
09.30 wita 1 Evaluasi keempat S:
diagnosa 1 pasien mengatakan sesak
berkurang
O:
terdapatr wheezing, pasien
tampak batuk berdahak dan
pasien tampak kesulitan
dalam melakukan batuk
efektif , RR : 26x/menit
A:
tujuan belum tercapai,
masalah belum teratasi
P:
lanjutkan intervensi
09.30 wita 2 Melakukan evaluasi S:
keempat diagnosa 2 pasien mengatakan sesak
berkurang
O:
terdapat penggunaan otot
bantu nafas, tampak
orthopnea,
RR : 26 x/menit
A:
tujuan belum tercapai,
masalah belum teratasi
P:
lan jutkan intervensi
09.30 wita 3 Melakukan evaluasi S:

44
kedua diagnosa 3 pasien mengatakan sesak
berkurang
O:
pasien tampak gelisah
RR : 26x/menit
Nadi : 108x/menit
TD : 120/80 mmHg
A:
tujuan belum tercapai,
masalah belum teratasi
P:
lanjutkan intervensi
09.35 wita 3 - Memantau S:
pemeriksaan AGD pasien bersedia untuk
pasien. dilakukan pengukuran
AGD
O:
pH : 7.33
pCO2 : 47.2 mmHg
pO2 : 69.80 mmHg
HCO3 : 24.40mmol/L
09.40 wita 1 - Mengajarkan / S:
membantu pasien pasien bersedia untuk
latihan nafas dalam melakukan latihan nafas
dan batuk efektif. dalam dan batuk efektif
O:
pasien tampak
melakukannya, pasien
tampak mampu melakukan
batuk efektif , dahak sedikit
keluar
10.00 wita 1 Melakukan evaluasi S:
kelima diagnosa 1 pasien mengatakan sesak
berkurang
O:
terdapat wheezing, pasien
tampak mampu melakukan
batuk efektif, dahak sedikit
keluar
RR : 26x/menit
A:
tujuan belum tercapai,
masalah belum teratasi
P:
lanjutkan intervensi
10.00 wita 2 Melakukan evaluasi S:
kelima diagnosa 2 pasien mengatakan sesak
berkurang
O:
terdapat penggunaan otot
bantu nafas, tampak
orthopnea,
RR : 26 x/menit
A:
tujuan belum tercapai,

45
masalah belum teratasi
P:
lan jutkan intervensi
10.00 wita 3 Melakukan evaluasi S:
ketiga diagnosa 3 pasien mengatakan sesak
berkurang
O:
pasien tampak gelisah
RR : 26x/menit
Nadi : 108x/menit
TD : 120/80 mmHg
pH : 7.33
pCO2 : 47.2 mmHg
pO2 : 69.80 mmHg
HCO3 : 24.40mmol/L
A:
tujuan belum tercapai,
masalah belum teratasi
P:
lanjutkan intervensi
10.05 wita 3 - Mengawasi tanda S:
vital Pasien mengatakan
bersedia untuk dilakukan
pemeriksaan
O:
RR : 24 x/menit
SaO 2 : 96%
Nadi : 98 x/menit
TD : 110/80 mmHg
10.15 wita 2,3 - Mengkaji atau S:
memantau frekuensi Pasien mengatakan sesak
pernapasan, catat berkurang
rasio inspirasi atau O:
ekspirasi, catat Terdapat penggunaan otot
uapaya pernapasan bantu nafas, tampak
termasuk orthopnea, RR : 24 x/menit
penggunaan otot
bantu nafas
10.30 wita 1 Melakukan evaluasi S:
keenam diagnosa 1 pasien mengatakan sesak
berkurang
O:
terdapat wheezing, pasien
tampak mampu melakukan
batuk efektif, dahak sedikit
keluar
RR : 24x/menit
A:
tujuan belum tercapai,
masalah belum teratasi
P:
lanjutkan intervensi

46
10.30 wita 2 Melakukan evaluasi S:
ketiga diagnosa 2 pasien mengatakan sesak
berkurang
O:
terdapat penggunaan otot
bantu nafas, tampak
orthopnea,
RR : 24x/menit
A:
tujuan belum tercapai,
masalah belum teratasi
P:
lanjutkan intervensi
10.30 wita 3 Melakukan evaluasi S:
keempat diagnosa 3 pasien mengatakan sesak
berkurang
O:
Pasien tampak gelisah
RR : 26x/menit
SaO2 : 96%
Nadi : 98 x/menit
TD : 110/80 mmHg
A:
tujuan belum tercapai,
masalah belum teratasi
P:
lanjutkan intervensi
10.35 wita 1 - Mengajarkan / S:
membantu pasien Pasien bersedia untuk
latihan nafas dalam melakukannya
dan batuk efektif O:
Pasien tampak mampu
melakukan batuk efektif,
dahak sedikit keluar
10.50 wita 1 - Mengauskultasi S:
suara nafas, catat Pasien mengatakan masih
adanya wheezing sesak tetapi sudah
berkurang
O:
Terdapat wheezing

11.00 wita 1 Melakukan evaluasi S:


ketujuh diagnosa 1 pasien mengatakan sesak
berkurang
O:
terdapat wheezing, pasien
tampak mampu melakukan
batuk efektif, dahak sedikit
keluar
RR : 24x/menit
A:
tujuan belum tercapai,
masalah belum teratasi
P:
lanjutkan intervensi

47
11.00 wita 2 Melakukan evaluasi S:
ketujuh diagnosa 2 pasien mengatakan sesak
berkurang
O:
terdapat penggunaan otot
bantu nafas, tampak
orthopnea
RR : 24x/menit
A:
tujuan belum tercapai,
masalah belum teratasi
P:
lanjutkan intervensi
11.00 wita 3 Melakukan evaluasi S:
kelima diagnosa 3 pasien mengatakan sesak
berkurang
O:
Pasien tampak gelisah
RR : 24x/menit
Nadi : 96 x/menit
TD : 110/80 mmHg
A:
tujuan belum tercapai,
masalah belum teratasi
P:
lanjutkan intervensi
11.10 wita 3 - Mengawasi tanda S:
vital pasien mengatakan sesak
3 - Mengawasi tingkat berkurang
kesadaran / status O:
mental pasien. Pasien tampak tenang,
Selidiki adanya terdapat penggunaan otot
perubahan bantu nafas, tampak
2,3 - Mengkaji frekuensi, orthopnea,
catat penggunaan RR : 24x/menit
otot bantu nafas Nadi : 98 x/menit
TD : 110/80 mmHg
11.30 wita 1 Melakukan evaluasi S:
kedelapan diagnosa pasien mengatakan sesak
1 berkurang
O:
terdapat wheezing, pasien
tampak mampu melakukan
batuk efektif, dahak sedikit
keluar
RR : 24x/menit
A:
tujuan belum tercapai,
masalah belum teratasi
P:
lanjutkan intervensi
11.30 wita 2 Melakukan evaluasi S:
kedelapan diagnosa pasien mengatakan sesak
2 berkurang
O:

48
terdapat penggunaan otot
bantu nafas, tampak
orthopnea
RR : 24x/menit
A:
tujuan belum tercapai,
masalah belum teratasi
P:
lanjutkan intervensi
11.30 wita 3 Melakukan evaluasi S:
keenamt diagnosa 3 pasien mengatakan sesak
berkurang
O:
Pasien tampak tenang
RR : 24x/menit
Nadi : 98 x/menit
TD : 110/70 mmHG
AGD tidak dapat dievaluasi
A:
tujuan belum tercapai,
masalah belum teratasi
P:
lanjutkan intervensi
11.40 wita 3 Memantau saturasi S:
oksigen pasien pasien mengatakan sesak
berkurang
O:
SaO2 : 98%
11.50 wita 2,3 - Mengkaji atau S:
pantau frekuensi pasien mengatakan sesak
pernapasan, catat berkurang
penggunaan otot O:
bantu nafas Terdapat penggunaan otot
1 - Mengauskultasi bantu nafas, tampak
suara napas, catat orthopnea, terdapat
adanya suara wheezing, RR : 22x/menit
tambahan wheezing
12.00 wita 1 Melakukan evaluasi S:
kesembilan diagnosa pasien mengatakan sesak
1 berkurang
O:
terdapat wheezing, pasien
tampak mampu melakukan
batuk efektif, dahak sedikit
keluar
RR : 22x/menit
A:
tujuan belum tercapai,
masalah belum teratasi
P:
lanjutkan intervensi
12.00 wita 2 Melakukan evaluasi S:
kesembilan diagnosa pasien mengatakan sesak
2 berkurang
O:

49
terdapat penggunaan otot
bantu nafas, tampak
orthopnea,
RR : 24x/menit
A:
tujuan belum tercapai,
masalah belum teratasi
P:
lanjutkan intervensi
12.00 wita 3 Melakukan evaluasi S:
ketujuh diagnosa 3 pasien mengatakan sesak
berkurang
O:
Pasien tampak tenang,
RR : 22x/menit
SaO2 : 98%\
AGD tidak dapat dievaluasi
A:
tujuan belum tercapai,
masalah belum teratasi
P:
lanjutkan intervensi
12.10 wita 3 - Mengajarkan / S:
membantu pasien pasien mengatakan sesak
latihan nafas dalam berkurang
dan batuk efektif O:
Pasien tampak mampu
melakukan batuk efektif,
dahak sedikit keluar
12.20 wita 3 - Mengawasi tanda S:
vital pasien mengatakan sesak
2,3 - Kaji frekuensi berkurang
kedalaman nafas, O:
catat upaya terdapat penggunaan otot
pernafasan termasuk bantu nafas, tampak
penggunaan otot orthopnea, terdapat
bantu pernafasan wheezing, pasien tampak
1 - Mengauskultasi tenang,
suara nafas, catat RR : 22x/menit
adanya wheezing Nadi : 92x/menit
- Mengawasi tingkat TD : 120/80 mmHg
kesadaran pasien.
Selidiki adanya
perubahan

50
12.30 wita 1 Melakukan evaluasi S:
kesepuluh diagnosa pasien mengatakan sesak
1 berkurang
O:
terdapat wheezing, pasien
tampak mampu melakukan
batuk efektif, dahak sedikit
keluar
RR : 22x/menit
A:
tujuan belum tercapai,
masalah belum teratasi
P:
lanjutkan intervensi
12.30 wita 2 Melakukan evaluasi S:
kesepuluh diagnosa pasien mengatakan sesak
2 berkurang
O:
terdapat penggunaan otot
bantu nafas, tampak
orthopnea
RR : 22x/menit
A:
tujuan belum tercapai,
masalah belum teratasi
P:
lanjutkan intervensi
12.30 wita 3 Melakukan evaluasi S:
kedelapan diagnosa pasien mengatakan sesak
3 berkurang
O:
Pasien tampak tenang
RR : 22x/menit
Nadi : 92x/menit
TD : 120/80 mmHg
AGD tidak dapat dievaluasi
A:
tujuan belum tercapai,
masalah belum teratasi
P:
lanjutkan intervensi
Pasien 2
2 Jumat 14 Juli 1,2,3 - Mengkaji atau S : pasien mengeluh sesak,
2017 pantau frekuensi batuk berdahak
08.05 wita pernapasan, catat O : terdapat wheezing dan
rasio inspirasi atau ronchi
ekspirasi RR : 26 x/menit
1,3 - Mengauskultasi
suara napas, catat
adanya suara
tambahan wheezing
08.10 wita 1 - Memberikan posisi S : pasien bersedia untuk
nyaman pada pasien diberikan oksigen
untuk O : nasal kanul dengan oksigen
memaksimalkan 3lpm tampak terpasang,

51
ventilasi rampak penggunaan otot
1,2 - Delegatif bantu pernapasan
pemberian oksigen
3lpm dengan nasal
kanul
08.20 wita 1 Melakukan evaluasi S : pasien mengeluh sesak,
pertama diagnosa 1 batuk berdahak
O : terdapat wheezing dan
ronchi
RR : 24 x/menit
A : tujuan belum tercapai,
masalah belum teratasi
P : lanjutkan intervensi
08.25 wita 2,3 - Delegatif pemberian S : pasien bersedia diberikan
obat bronkodilator obat bronkodilator ventolin
ventolin 1 amp O : obat bronkodilator ventolin
2,3 - Membantu masuk melalui nebulizer,
mengubah posisi pasien tampak melakukan
semifowler, posisi semifowler, pasien
tinggikan kepala tampak gelisah
dan pertahankan
posisi pasien.
3 - Mengawasi tingkat
kesadaran / status
mental. Selidiki
adanya perubahan
08.35 wita 2 Melakukan evaluasi S : pasien mengeluh sesak,
pertama diagnosa 2 O : pasien tampak terpasang
nasal kanul dengan oksigen
3 lpm, tampak penggunaan
otot bantu pernapasan
RR : 24 x/menit
A : tujuan belum tercapai,
masalah belum teratasi
P : lanjutkan intervensi
08.35 wita 1 Melakukan evaluasi S : pasien mengeluh sesak,
kedua diagnosa 1 batuk berdahak
O : terdapat wheezing dan
ronchi
RR : 24 x/menit
A : tujuan belum tercapai,
masalah belum teratasi
P : lanjutkan intervensi
08.40 wita 3 - Mengawasi tanda S : pasien mengatakan sesak
vital dan irama berkurang
jantung. O : terdapat wheezing dan
1 - Mengauskultasi ronchi
suara napas, catat RR : 24x/menit
adanya suara N: 108x/menit
tambahan wheezing TD :100/60 mmHg
3 - Mengawasi tingkat
kesadaran / status
mental. Selidiki
adanya perubahan.
08.45 wita 1,2 - Mengajarkan / S : pasien bersedia untuk

52
membantu pasien melakukan latihan nafas
nafas dalam dan dalam dan batuk efektif
latihan batuk. O : pasien tampak mengikuti
intruksi perawat, dahak
sedikit keluar
08.50 wita 1 Melakukan evaluasi S : pasien mengatakan sesak
ketiga diagnosa 1 berkurang, dahak sedikit
keluar
O : terdapat wheezing dan
ronchi
RR : 24 x/menit
A : tujuan belum tercapai,
masalah belum teratasi
P : lanjutkan intervensi
08.50 wita 3 Melakukan evaluasi S : pasien mengatakan sesak
pertama diagnosa 3 berkurang
O : terdapat wheezing dan
ronchi
RR : 24 x/menit
A : tujuan belum tercapai,
masalah belum teratasi
P : lanjutkan intervensi
08.55 wita 1 - Delegatif pemberian S : pasien mengatakan bersedia
methylprednisolone di injeksi
62,5 mg, O : obat methylprednisolone
cefoperazone 1 62,5 mg, cefoperazone 1
gram, levofloxacin gram, levofloxacin 750mg
750mg melalui iv sudah masuk melalui iv
09.00 wita 2,3 - Mengkaji atau S :,pasien mengatakan sesak
pantau frekuensi berkurang
pernapasan, catat O : pasien tamapak lebih rileks
rasio inspirasi atau RR : 24x/menit
ekspirasi
09.05 wita 2 Melakukan evaluasi S : pasien mengatkan sesak
kedua diagnosa 2 berkurang,
O : pasien tampak terpasang
nasal kanul dengan oksigen
3 lpm, tampak penggunaan
otot bantu pernafasan
RR : 24 x/menit
A : tujuan belum tercapai,
masalah belum teratasi
P : lanjutkan intervensi
09.05 wita 1 Melakukan evaluasi S : pasien mengatakan sesak
keempat diagnosa 1 berkurang, dahak sedikit
keluar
O : terdapat wheezing dan
ronchi
RR : 24 x/menit
A : tujuan belum tercapai,
masalah belum teratasi
P : lanjutkan intervensi
09.10 wita 3 - Mengukur AGD S : pasien bersedia untuk
pasien. dilakukan pengukuran
AGD

53
O : pH : 7.47
pCO2 : 48.4 mmHg
pO2 : 99.00 mmHgNatrium
HCO3 : 34.20 mmol/L
09.20 wita 1 - Melakukan evaluasi S : pasien mengatakan sesak
kelima diagnosa 1 berkurang, dahak sedikit
keluar
O : terdapat wheezing dan
ronchi
RR : 24 x/menit
A : tujuan belum tercapai,
masalah belum teratasi
P : lanjutkan intervensi
09.25 wita 1,2 - Mengajarkan / S : pasien bersedia untuk
membantu pasien melakukan latihan nafas
latihan nafas dalam dalam dan batuk efektif
dan batuk efektif O : pasien tampak mengikuti
intruksi perawat, dahak
keluar, pasien mampu
melakukan batuk efektif
09.35 wita 1,2,3 - Mengkaji atau S : pasien mengatakan sesak
pantau frekuensi berkurang
pernapasan, catat O : terdapat wheezing dan
rasio inspirasi atau ronchi, terdapat otot bantu
ekspirasi pernapasan
RR : 22x/menit
09.35 wita 3 Melakukan evaluasi S : pasien mengatakan sesak
kedua diagnosa 3 berkurang
O : terdapat wheezing dan
ronchi
RR : 22 x/menit
N: 96 x/menit
pH : 7.47
pCO2 : 48.4 mmHg
pO2 : 99.00 mmHgNatrium
HCO3 : 34.20 mmol/L
A : tujuan belum tercapai,
masalah belum teratasi
P : lanjutkan intervensi
09.35 wita 2 Melakukan evaluasi S : pasien mengatakan sesak
ketiga diagnosa 2 berkurang
O : pasien tampak terpasang
nasal kanul dengan oksigen
3 lpm, tampak penggunaan
otot bantu pernapasan,
pasien tampak mampu
melakukan batuk efektif
RR : 22 x/menit
A : tujuan belum tercapai,
masalah belum teratasi
P : lanjutkan intervensi
09.35 wita 1 Melakukan evaluasi S : pasien mengatakan sesak
keenam diagnosa 1 berkurang, dahak sudah
keluar
O : terdapat wheezing dan

54
ronchi, pasien mampu batuk
efektif,
RR : 22x/menit
A : tujuan belum tercapai,
masalah belum teratasi
P : lanjutkan intervensi
09.40 wita 1,2 - Mengajarkan / S : pasien bersedia untuk
membantu pasien melakukan latihan nafas
latihan nafas dalam dalam dan batuk efektif
dan batuk efektif. O : pasien tampak mengikuti
intruksi perawat, dahak
keluar, pasien mampu
melakukan batuk efektif
09.45 1,2,3 - Mengkaji atau S : pasien mengatakan sudah
pantau frekuensi tidak sesak
pernapasan, catat O : wheezing dan ronchi tidak
rasio inspirasi atau ada, tidak terdapat otot
ekspirasi bantu pernapasan, pasien
3 - Mengawasi tanda tampak tenang
vital dan irama RR : 20x/menit
jantung. N : 92 x/menit,
1 - Mengauskultasi TD : 110/70 mmHg
suara napas, catat
adanya suara
tambahan wheezing
3 - Mengawasi tingkat
kesadaran / status
mental. Selidiki
adanya perubahan.
09.50 1 Melakukan evaluasi S : pasien mengatakan sudah
ketujuh diagnosa 1 tidak sesak, dahak sudah
keluar
O : wheezing dan ronchi tidak
ada, pasien mamu
melakukan batuk efektif,
pasien tampak tenang
RR : 20x/menit
A : tujuan tercapai, masalah
teratasi
P : pertahankan kondisi pasien
dan lanjutkan melakukan
observasi setiap 60 menit
selama 2 jam
10.05 wita 2 Melakukan evaluasi S : pasien mengatakan sesak
keempat diagnosa 2 tidak ada
O : pasien tampak terpasang
nasal kanul dengan oksigen
3 lpm, tidak terdapat
penggunaan otot bantu
nafas, pasien mampu
melakukan batuk efektif
RR : 20 x/menit
A : tujuan tercapai, masalah
teratasi
P : pertahankan intervensi dan

55
lanjutkan observasi setiap
60 menit selama 2 jam
10.20 wita 3 Melakukan evaluasi S : pasien mengatakan sudah
ketiga diagnosa 3 tidak sesak
O : tidak terdapat wheezing dan
ronchi, pasien tampak
tenang, AGD tidak dapat
dievaluasi
RR : 20 x/menit
N : 92 x/menit,
TD : 110/70 mmHg
A : tujuan belum tercapai,
masalah belum teratasi
P : lanjutkan intervensi
10,50 wita 1 Melakukan S : pasien mengatakan sudah
observasi pertama tidak sesak, dahak sudah
diagnosa 1 keluar
O : wheezing tidak ada, pasien
mampu melakukan batuk
efektif, pasien tampak
tenang
RR : 20 x/menit
A : tujuan tercapai, masalah
teratasi
P : pertahankan kondisi pasien
dan lanjutkan melakukan
observasi setiap 60 menit
selama 2 jam
11.05 wita 2 Melakukan S : pasien mengatakan sudah
observasi pertama tidak sesak
diagnosa 2 O : tidak terdapat penggunaan
otot bantu nafas, pasien
mampu melakukan batuk
efektif
RR : 20 x/menit
A : tujuan tercapai, masalah
teratasi
P : pertahankan kondisi pasien
dan lanjutkan melakukan
observasi setiap 60 menit
selama 2 jam
11.20 wita 3 Melakukan S : pasien mengatakan sudah
observasi pertama tidak sesak
diagnosa 3 O : tidak terdapat wheezing dan
ronchi, pasien tampak
tenang AGD tidak dapat
dievaluasi
RR : 20 x/menit
N : 92 x/menit,
TD : 110/70 mmHg
A : tujuan belum tercapai,
masalah belum teratasi
P : lanjutkan intervensi
11.50 wita 1 Melakukan S : pasien mengatakan sudah
observasi kedua tidak sesak, dahak sudah

56
diagnosa 1 keluar
O : tidak terdapat wheezing dan
ronchi, pasien mampu
melakukan batuk efektif,
pasien tampak tenang
RR : 20x/menit
A : tujuan tercapai, masalah
teratasi
P : pertahankan kondisi pasien
12.05 wita 2 Melakukan S : pasien mengatakan sudah
observasi kedua tidak sesak
diagnosa 2 O : tidak terdapat penggunaan
otot bantu nafas, pasien
mampu melakukan batuk
efektif
RR : 20 x/menit
A : tujuan tercapai, masalah
teratasi
P : pertahankan kondisi pasien
12.20 wita 3 Melakukan S : pasien mengatakan sudah
observasi kedua tidak sesak
diagnosa 3 O : tidak terdapat wheezing dan
ronchi, pasien tampak
tenang, AGD tidak dapat
dievaluasi
RR : 20 x/menit
N : 87x/menit,
TD : 110/70 mmHg
A : tujuan belum tercapai,
masalah belum teratasi
P : lanjutkan intervensi

4.1.7 Evaluasi
Evaluasi adalah tahap akhir dari proses keperawatan. Evaluasi merupakan

tindakan intelektual untuk melengkapi proses keperawatan yang menandakan

seberapa jauh diagnosis keperawatan, rencana tindakan dan pelaksanaannya sudah

berhasil dicapai. Pada tabel 4.9 dapat dilihat hasil evaluasi keperawatan pada

pasien Tn. S dan Ny. T yaitu sebagai berikut :


Tabel 4.9 Evaluasi keperawatan pada pasien Tn. S dan Ny. T Penyakit Paru Obstruksi Kronik
(PPOK) dengan gangguan kebutuhan oksigen di Instalasi Gawat Darurat RSUP Sanglah
Denpasar
No Hari/ Tanggal Pasien Evaluasi Evaluasi Evaluasi Paraf
Jam Diagnosa 1 Diagnosa 2 Diagnosa 3
1 Senin, 10 Juli Pasien 1 S : pasien S : pasien S : pasien
2017 mengatakan mengatakan mengatakan
sudah tidak sudah tidak sudah tidak
13.00 wita sesak , dahak sesak sesak
sudah keluar
O : tidak terdapat O : tidak O : tidak terdapat

57
wheezing, terdapat wheezing,
RR:22x/menit orthopnea, pasien tampak
tidak terdapat tenang, crt < 2
penggunaan detik
otot bantu RR : 22
nafas, pasien x/menit
mampu N : 90x/menit,
melakukan TD : 120/80
batuk efektif mmHg
RR : 22 pH : 7.33
x/menit (7.35-7.45)
pCO2 : 47.2
mmHg
pO2 : 69.80
mmHg
HCO3 :
24.40mmol/
A : tujuan A : tujuan A : tujuan belum
tercapai, tercapai, tercapai,
masalah masalah masalah belum
teratasi teratasi teratasi
P : pertahankan P : pertahankan P : lanjutkan
kondisi kondisi intervensi

2 Jumat, 14 Juli Pasien 2 S : pasien S : pasien S : pasien


2017 mengatakan mengatakan mengatakan
09.40 wita sudah tidak sudah tidak sudah tidak
sesak, dahak sesak sesak
sudah keluar
O : tidak terdapat O : tidak terdapat O : tidak terdapat
wheezing dan penggunaan wheezing dan
ronchi, pasien otot bantu ronchi, pasien
mampu nafas, pasien tampak tenang,
melakukan mampu crt < 2 detik
batuk efektif, melakukan RR : 20
pasien tampak batuk efektif x/menit
tenang RR : 20 N : 87x/menit,
x/menit TD : 110/70
mmHg
pH : 7.47
pCO2 : 48.4
mmHg
pO2 :
99.00mmHg
HCO3 : 34.20
mmol/L
A : tujuan belum A : tujuan belum A : tujuan belum
tercapai, tercapai, tercapai,
masalah masalah masalah belum
belum teratasi belum teratasi teratasi
P : lanjutkan P : lanjutkan P : lanjutkan
intervensi intervensi intervensi

58
4.2 Pembahasan
Pembahasan merupakan analisa antar penerapan teori dengan praktiknya

secara nyata. Pada bab ini penulis menguraikan kesenjangan yang terjadi pada

teori dengan kasus yang penulis temukan. Disini penulis membahas berdasarkan

tahapan proses keperawatan meliputi pengkajian, diagnosa keperawaan,

perencanaan, implementasi dan evaluasi.


4.2.1 Pengkajian
Hasil pengkajian pada pasien penyakit paru obstruksi kronik (PPOK)

diperoleh dari pengkajian primer dan pengkajian sekunder. Pengkajian primer

terdiri dari :
a. Airway
Berdasarkan hasil pengkajian airway diperoleh hasil pada pasien 1

ditemukan adanya jalan nafas paten, obstruksi tidak ada suara nafas tidak ada, dan

terdapat batuk berdahak. Pada pasien 2 ditemukan adanya jalan nafas paten,

obstruksi tidak ada suara nafas tidak ada, dan terdapat batuk berdahak. Hasil

pengkajian tersebut didapatkan pada pasien pasien 1 dan pasien 2 sudah sesuai

dengan teori dimana pada umumnya pasien PPOK mengalami masalah di airway

59
yaitu berupa batuk berdahak (ENA, 2007). Menurut pendapat Hiswani (2012)

batuk terjadi karena adanya peningkatan reaktivitas terhadap sel-sel yang sudah

mati yang akan dikeluarkan dan meningkatnya produksi sputum.


b. Breathing
Pada pengkajian breathing diperoleh hasil pada pasien 1 keluhan sesak

nafas, irama nafas: cepat, pola nafas: tidak teratur, RR: 30 x/menit, SpO2 : 95%,

penggunaan otot bantu nafas. Pada pasien 2 ditemukan hasil yang sama yaitu:

keluhan sesak nafas, irama nafas: cepat, pola nafas: tidak teratur, RR: 26 x/menit,

SpO2 : 98%, penggunaan otot bantu nafas. Hasil pengkajian tersebut sudah sesuai

dengan teori dimana pada pasien PPOK mengalami masalah dibreathing yaitu

berupa dipsnea, peningkatan frekuensi pernafasan, takipnea dan penggunaan otot

bantu nafas (ENA, 2007). Hal ini juga didukung dari pendapat Artika yaitu salah

satu gejala yang paling umum dari PPOK adalah sesak napas (dyspnea). Menurut

pendapat Budiarto (2008) pasien PPOK akan mengalami peningkatan frekuensi

pernapasan dengan ekspirasi memanjang sebagai kompensasi dari sesak napas.


c. Circulation
Berdasarkan hasil pengkajian circulation pada pasien 1 dan pasien 2

didapatkan data yaitu pada pasien 1 ditemukan nadi teraba 120 x/menit, tekanan

darah 120/80 mmHg, suhu 36,5°C, tidak terdapat sianosis, CRT<2 detik, akral

hangat, turgor kulit elastic, hipoksia. Pada pasien 2 ditemukan nadi teraba 108

x/menit, tekanan darah 100/60 mmHg, suhu 37,4°C, tidak terdapat sianosis,

CRT<2 detik, akral hangat, turgor kulit tidak elastis. Dari hasil pengkajian pada

pasien 1 dan pasien 2 terjadi kesenjangan dimana di pengkajian teori pada

circulation terdapat sianosis. Pada pasien 1 dan pasien 2 tidak mengalami sianosis

60
dikarenakan tidak terjadinya tanda-tanda kebiruan pada kulit dan membrane

mukosa.
d. Disability
Berdasarkan hasil pengkajian yang diperoleh pada pengkajian disability

pada pasien 1 ditemukan respon alert, kesadaran compos mentis, GCS 15 (Eye 4,

Verbal 5, Motorik 6), pupil isokor, reflek cahaya ada dan pasien 2 ditemukan

respon alert, kesadaran compos mentis, GCS 15 (Eye 4, Verbal 5, Motorik 6),

pupil isokor, reflek cahaya ada. Dari hasil pengkajian tidak didapatkan

kesenjangan, dimana kedua pasien memiliki kesadaran yang baik yaitu compos

mentis dengan nilai GCS 15. Hal ini sudah sesuai dengan pengkajian disability

pada teori dimana pada pasien PPOK masih memiliki kesadaran yang baik (ENA,

2007).
e. Exposure
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil pengkajian exposure pada

pasien 1 dan pasien 2 tidak didapatkan masalah pada pengkajian exposure, hal ini

sudah sesuai dengan teori dimana menurut Gilbert (2009) pada pengkajian

exposure pasien PPOK jarang ditemukan adanya masalah, kecuali jika disertai

dengan adanya trauma.


Selanjutnya setelah pengkajian primer, maka dilanjutkan dengan

melakukan pengkajian sekunder. Dimana pengkajian sekunder berfokus pada

keluhan utama dan pemeriksaan fisik terfokus


1) Keluhan utama
Pada pengkajian keluhan utama diperoleh data dimana pasien 1

dan pasien 2 memiliki keluhan utama yang sama yaitu sesak nafas.

Hasil dari pengkajian yang didapatkan dari pasien 1 dan pasien 2

memiliki gejala penyerta yang sama yaitu batuk berdahak. Keluhan

utama pada pengkajian sudah sesuai dengan teori. Hal ini didukung

61
menurut pendapat Rahmadi (2015) pada pasien PPOK biasanya

ditemukan dispnea yang disebabkan oleh sumbatan jalan napas

karena penumpukan sekret.


2) Pemeriksaan fisik
Berdasarkan hasil pemeriksaan fisik yang didapatkan pada pasien 1

dan pasien 2 ditemukan adanya kesenjangan dimana hasil

pemeriksaaan fisik inspeksi pada pasien 1 ditemukan adanya

orthopnea sedangkan pada pasien 2 tidak terdapat. Pemeriksaan

fisik auskultasi pada pasien 2 didapatkan wheezing dan ronchi

namun pada pasien 1 hanya terdapat wheezing. Perbedaan yang

terjadi antara pasien 1 dan pasien 2 ini sesuai dengan teori, tetapi

terdapat kesenjangan antara pasien 1 dan pasien 2 dimana pasien 1

tidak terdapat ronchi, itu disebabkan karena ronchi terjadi pada

pasien dengan produksi mukus berlebih (Lestaria, 2013) dan pada

pasien 1 terdapat orthopnea karena dipsnea yang terjadi pada posisi

berbaring. Pada umumnya merupakan indikator dari CHF,

perusakan mekanikal dari diafragma diasosiasikan dengan obesitas,

atau asma dipicu reflux esofageal dan paralisis diafragma bilateral

(Rizkah, 2011).

4.2.2 Diagnosa Keperawatan

Berdasarkan hasil pengkajian dan Analisa data yang diperoleh dari pasien

1 dan pasien 2 didapatkan diagnosa keperawatan yang sama yaitu ketidakefektifan

bersihan jalan nafas, ketidakefektifan pola nafas dan gangguan pertukaran gas.

Diagnosa keperawatan yang muncul pada pasien pasien 1 dan pasien 2 sudah

62
sesuai dengan teori menurut Hidayat dan Uliyah (2015). Hal ini didukung dari

pendapat Lestaria (2013) yaitu pada diagnosa ketidakefektifan pembersihan jalan

nafas adalah ketidakmampuan untuk membersihkan sekresi atau obstruksi saluran

pernapasan guna mempertahankan jalan napas yang bersih. Produksi sputum

berlebih, reflek batuk inefektif dapat menyebabkan sumbatan jalan nafas.

Diagnosa ini muncul pada pasien karena proses peradangan pada paru sehingga

terjadi sputum susah keluar. Pada diagnosa ketidakefektifan pola nafas adalah

inspirasi dan ekspirasi yang tidak memberi ventilasi yang adekuat. Diagnosa ini

muncul pada pasien karena kurangnya suplay oksigen keparu yang mengakibatkan

sesak nafas sehingga pola nafas menjadi tidak efektif. Pada gangguan pertukaran

gas adalah kelebihan dan kekurangan oksigen dan atau eliminasi karbon dioksida

di membran kapilar-alveolar. Diagnosa ini muncul pada pasien karena adanya

gangguan pada alveolus sehingga udara terperangkap pada alveolus yang

mengakibatkan PaO2 rendah dan PaCO2 tinggi yang menyebabkan adanya

gangguan pertukaran gas.

4.2.3 Perencanaan

Berdasarkan data yang didapat pada pasien 1 dan pasien 2, perencanaan

yang dilaksanakan sudah sesuai dengan teori, dimana diagnosa ketidakefektifan

bersihan jalan nafas dan ketidakefektifan pola nafas pada kasus memiliki rencana

pencapaian 4 x 15 menit dan sedangkan pada diagnosa gangguan pertukaran gas

pada kasus memiliki rencana pencapaian 4 x 30 menit. Intervensi yang dibuat

sesuai dengan kriteria hasil yang diharapkan. Pada kasus penyakit paru obstruksi

kronik wajib diberikan obat bronkodilator untuk merilekskan otot polos jalan

63
napas, sebagian memperbaiki penyumbatan aliran udara dan terapi oksigen untuk

memenuhi kebutuhan oksigen, memaksimalkan bernapas, menurunkan kerja nafas

dan mencegah memburuknya hipoksia. Dapat disimpulkan bahwa rencana

keperawatan disusun berdasarkan diagnosa keperawatan dan disesuaikan dengan

karakteristik dari pasien.

4.2.4 Implementasi

Implementasi yang dilakukan pada pasien 1 dan pasien 2 sudah sesuai

dengan intervensi yang telah direncanakan sebelumnya tetapi ada tindakan baru

yang diberikan. Pada pasien 1 dengan diagnosa ketidakefektifan bersihan jalan

nafas tindakan yang diberikan yaitu memberikan obat methylprednisolone untuk

mengurangi reaksi peradangan dan pasien 2 dengan diagnosa ketidakefektifan

bersihan jalan nafas tindakan yang diberikan yaitu memberikan antibiotik

cefoperazone untuk mengobati infeksi saluran pernapasan. Pada pasien 1 dengan

diagnosa ketidakefektifan pola nafas tindakan yang diberikan yaitu pemberian

oksigen 8 lpm dengan simple maks sedangkan pada pasien 2 diberikan oksigen 3

lpm dengan nasal kanul. Pada pasien 1 dan pasien 2 terjadi kesenjangan dengan

teori dimana pada teori oksigen yang diberikan 1-2 lpm. Pada pasien 1 diberikan

oksigen 8 lpm karena adanya penurunan pO2 yaitu 69.80 mmHg dan peningkatan

frekuensi pernafasan yaitu 30x/menit sedangkan pada pasien 2 diberikan 3 lpm

karena adanya peningkatan frekuensi yaitu 26 x/menit. Implementasi yang

dilakukan pada pasien 1 dengan diagnosa ketidakefektifan bersihan jalan nafas

dan diagnosa ketidakefektifan pola nafas selama 1 jam dievaluasi setiap 15 menit

setelah dilakukan tindakan, sedangkan pada diagnosa gangguan pertukaran gas

64
selama 2 jam yang dievaluasi setiap 30 menit setelah dilakukan tindakan dan

masing-masing diagnosa dilanjutkan dengan evaluasi setiap 30 menit selama 3

jam. Perlakuan yang sama juga dilakuakn pada pasien 2 yaitu dengan dengan

diagnosa ketidakefektifan bersihan jalan nafas dan diagnosa ketidakefektifan pola

nafas selama 1 jam dievaluasi setiap 15 menit setelah dilakukan tindakan,

sedangkan pada diagnosa gangguan pertukaran gas selama 2 jam yang dievaluasi

setiap 30 menit setelah dilakukan tindakan dan masing-masing diagnosa

dilanjutkan dengan evaluasi setiap 30 menit selama 3 jam. Setiap pemberian

tindakan perawat wajib mengobservasi respon yang muncul dari intervensi yang

telah diberikan kepada pasien untuk mengetahui perkembangan kondisi pasien.

4.2.5 Evaluasi

Evaluasi keperawatan yang dilakukan pada pasien 1 dan pasien 2 yaitu

dengan diagnosa ketidakefektifan bersihan jalan nafas dan diagnosa

ketidakefektifan pola nafas selama 1 jam dievaluasi setiap 15 menit setelah

dilakukan tindakan, sedangkan pada diagnosa gangguan pertukaran gas selama 2

jam yang dievaluasi setiap 30 menit setelah dilakukan tindakan dan masing-

masing diagnosa dilanjutkan dengan evaluasi setiap 30 menit selama 3 jam

diperoleh hasil bahwa pada pasien 1 dengan diagnosa bersihan jalan nafas belum

teratasi karena masih terjadi peningkatan irama napas, masih terdapat dahak,

masih terdapat wheezing, sesak berkurang, batuk efektif. Diagnosa

ketidakefektifan pola nafas belum teratasi karena RR 22 x/menit, masih terdapat

penggunaan otot bantu napas, sesak berkurang. Diagnosa gangguan pertukaran

gas belum teratasi karena masih ada hipoksia, sesak berkurang, RR 22x/menit,

65
nadi 92 x/menit, TD 120/80 mmHg dan AGD tidak dapat dievaluasi. Pada pasien

2 dengan diagnosa bersihan jalan nafas belum teratasi karena masih terjadi

peningkatan irama napas, masih terdapat dahak, masih terdapat wheezing dan

ronchi, sesak berkurang, batuk efektif. Diagnosa ketidakefektifan pola nafas

belum teratasi karena RR 22 x/menit, terdapat penggunaan otot bantu napas, sesak

berkurang. Diagnosa gangguan pertukaran gas belum teratasi karena AGD tidak

dapat dievaluasi, RR 22x/menit, sesak berkurang, masih terdapat wheezing dan

ronchi, nadi 86 x/menit, TD 110/60 mmHg. Hasil tersebut belum sesuai dengan

teori dan kriteria hasil yang ingin dicapai, sehingga masalah dan tujuan pada

pasien 1 dan pasien 2 belum teratasi, maka perencanaan yang dibuat pada masing-

masing diagnosa perlu dilanjutkan untuk memperoleh kondisi pasien yang stabil

dan hasil yang optimal.

4.3 Keterbatasan

Pada bagian ini penulis nenguraikan lebih lanjut mengenai keterbatasan

yang dialami selama penyusunan karya tulis ilmiah. Penulis mengalamai

keterbatasan dikarenakan saat pengelolaan pasien, penulis hanya memprioritaskan

satu masalah yaitu PPOK dengan pemenuhan kebutuhan oksigen. Selain itu dalam

memperoleh data penelitian karya tulis ini, penulis juga mengalami kesulitan pada

saat akan memasuki tempat pencarian data karena berhubungan dengan kode etik

penelitian dari rumah sakit tersebut sehingga memerlukan waktu untuk menunggu

ijin pengambilan data.

66
BAB 5

PENUTUP

5.1 Simpulan

Setelah membahas mengenai urian asuhan keperawatan gawat darurat

pada pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK), maka diperoleh simpulan

sebagai berikut:

5.1.1 Pengkajian keperawatan pada pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik

(PPOK) dengan pemenuhan kebutuhan oksigen ditemukan data dimana

pasien 1 mengeluh sesak nafas, batuk berdahak, terdapat wheezing,

orthopnea, penggunaan otot bantu nafas, RR : 30x/menit, N :120x/menit,

pH : 7.33, pCO2 : 47.2 mmHg, pO2 : 69.80 mmHg, HCO3 : 24.40mmol/L

pada pasien 2 didapatkan hasil yaitu sesak nafas, batuk berdahak, terdapat

wheezing dan ronchi, penggunaan otot bantu nafas, RR : 26 x/menit pH :

7.47, pCO2 : 48.4 mmHg, pO2 :99.00mmHg, HCO3 : 34.20 mmol/L

5.1.2 Diagnosa keperawatan ada tinjauan kasus pasien 1 dan pasien 2 dengan

Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) ditemukan masing-masing pasien

sebanyak 3 diagnosa yaitu: ketidakefektifan bersihan jalan nafas,

keridakefetifan pola nafas, gangguan pertukaran gas. Diagnosa yang

muncul pada pasien 1 dan pasien 2 lebih difokuskan dalam pemenuhan

kebutuhan oksigen sesuai dengan kasus yang diambil.

5.1.3 Perencanaan keperawatan pada pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik

(PPOK) yang difokuskan dalam pemenuhan kebutuhan oksigen yang

67
meliputi: auskultasi suara nafas, catat adata wheezing dan ronchi, kaji atau

pantau frekuensi pernafasan, posisikan pasien untuk memaksimalkan

ventilasi, dorong atau bantu pasien latihan nafas dalam dan batuk efektif,

awasi tingkat kesadaran / status mental. Selidiki adanya perubahan, awasi

tanda vital dan irama jantung, pantau pemeriksaan AGD pasien, kolaborasi

pemberian obat bronkodilator, kolaborasi pemberian oksigen tambahan.

Intervensi yang dilakukan sudah direncanakan sesuai dengan teori dan

menyesuaikan dengan kondisi pasien saat itu.

5.1.4 Implementasi keperawatan yang dilakukan pada pasien 1 dan pasien 2

sudah sesuai dengan intervensi yang telah direncanakan yang terfokus

dalam pemenuhan kebutuhan oksigen. Dimana implementasi yang

dilakukan pada pasien 1 dan pasien 2 dengan diagnosa ketidakefektifan

bersihan jalan nafas dan diagnosa ketidakefektifan pola nafas selama 1 jam

dievaluasi setiap 15 menit setelah dilakukan tindakan, sedangkan pada

diagnosa gangguan pertukaran gas selama 2 jam yang dievaluasi setiap 30

menit setelah dilakukan tindakan dan masing-masing diagnosa dilanjutkan

dengan evaluasi setiap 30 menit selama 3 jam.

5.1.5 Evaluasi keperawatan, setelah dilakukan implementasi keperawatan maka

akan mendapatkan hasil berupa evaluasi keperawatan, dimana pada

evaluasi yang terfokus pada pemenuhan kebutuhan oksigen didapatkan

hasil evaluasi pada pasien 1 dan pasien 2 semua diagnosa belum teratasi,

sehingga memerlukan perencanaan dan observasi lebih lanjut.

5.2 Saran

68
Berdasarkan keterbatasan yang telah diuraikan sebelumnya maka penulis

menyarankan agar penelitian selanjutnya dapat mengkaji lebih dalam kasus yang

akan diambil sebagai bahan penelitian dikarenakan saat pengelolaan pasien,

penulis hanya memprioritaskan satu masalah yaitu PPOK dengan pemenuhan

kebutuhan oksigen.

69

Anda mungkin juga menyukai