Anda di halaman 1dari 16

BAB 1

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

PPOK merupakan salah satu dari kelompok penyakit tidak menular yang
menjadi masalah kesehatan masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan oleh
meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor resiko,
seperti banyaknya jumlah perokok, serta pencemaran udara didalam ruangan
maupun diluar ruangan (Persatuan Dokter Paru Indonesia, 2011). Berdasarkan
sudut pandang epidemiologi, laki-laki lebih berisiko terkena PPOK
dibandingkan dengan wanita karena kebiasaan merokok (Mannino& Buist,
2007). Hasil survei penyakit tidak menular oleh Direktorat Jendral PPM & PL
di lima rumah sakit propinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur, Lampung dan Sumatera Selatan) pada tahun 2004, menunjukkan PPOK
menempati urutan pertama penyumbang angka kesakitan (35%), diikuti asma
bronkial (33%), kanker paru (30%) dan lainnya (2%) (PDPI, 2011). Menurut
Riset Kesehatan Dasar, pada tahun 2007 angka kematian akibat PPOK
menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab kematian di Indonesia dan
prevalensi PPOK rata-rata sebesar 3,7% (Riskesdas, 2013).
Di Amerika Serikat data tahun 2007 menunjukkan bahwa pre-valensi
PPOK sebesar 10,1% (SE 4,8) pada laki-laki sebesar 11,8% (SE 7,9) dan untuk
perempuan 8,5% (SE 5,8). Sedangkan mortalitas menduduki peringkat
keempat penyebab terbanyak yaitu 18,6 per100.000 penduduk pada tahun 1991
dan angka kematian ini meningkat 32,9% dari tahun 1979 sampai
1991.Sedangkan prevalensi PPOK di negara-negara Asia Tenggara
diperkirakan 6,3% dengan prevalensi tertinggi terdapat diVietnam
(6,7%)danChina (6,5%) (Oemiati, 2013).
Masalah utama dan alasan paling sering yang menyebabkan penderita
PPOK mencari pengobatan adalah sesak napas yang diderita yang bersifat
persisten dan progresif (PDPI, 2011). Gambaran khas PPOK adalah adanya
obstruksi saluran napas yang sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala
ringan, hingga berat. Sehingga menyababkan keterbatasan dalam aktivitas
sehari-hari penderita yang bergantung pada beratnya sesak, semakin berat
derajat sesak napas, maka semakin sulit penderita melakukan aktivitas
(Zamzam et al; 2012).
Akibat sesak napas yang dirasakan, penderita PPOK cenderung
menghindari aktivitas fisik dan aktivitas sehari-hari, sehingga akan
menyebabkan immobilisasi, hubungan pasien dengan aktivitas sosial menurun
dan akhirnya akan berpengaruh terhadap kualitas hidup penderita (Khotimah,
2013).
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) merupakan penyakit yang dapat
menyebabkan kematian. Karena semakin banyaknya penderita PPOK di
indonesia salah satunya di RSUD Wates maka dalam hal ini penulis
mengambil kasus kelolaan selama 3 hari dengan Asuhan Keperawatan
Gangguan Sistem Pernapasan Khususnya Penyakit Paru Obstruksi Kronik
(PPOK) pada Ny.J yang di ambil di Ruang Perawatan Penyakit Dalam
Gardenia Rumah Sakit Umum Wates.

B. IDENTIFIKASI MASALAH
Berdasarkan uraian latar belakang di atas maka rumusan masalah dalam
laporan kasus ini adalah: Bagaimana melakukan pelaksanaan Asuhan
Keperawatan pada Ny, J dengan Gangguan Penyakit Paru Obstruksi Kronik
(PPOK) di Bangsal Gardenia Rumah Sakit Umum Daerah Wates

C. TUJUAN PENULISAN
1. Tujuan Umum
Adapun tujuan umum dari penulisan ini adalah untuk memberikan
gambaran terhadap aplikasi asuhan keperawatan dengan masalah gangguan
sistem pernapasan : Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) pada Ny. J di
Bangsal Gardenia RSUD Wates.
2. Tujuan khusus
Adapun tujuan khusus dari penulisan karya tulis ilmiah yaitu penulis
mampu menggambarkan, mengetahui, menentukan, memahami,
menjelaskan, dan mendiskripsikan :
a. Pengkajian pada Ny.J dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronik.
b. Penentuan diagnosa atau masalah keperawatan yang muncul pada Ny. J
dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronik.
c. Penyusunan intervensi keperawatan secara tepat pada Ny. J dengan
Penyakit Paru Obstruksi Kronik.
d. Implementasi keperawatan pada Ny. J dengan Penyakit Paru Obstruksi
Kronik.
e. Evaluasi tindakan yang telah dilakukan pada Ny. J dengan Penyakit
Paru Obstruksi Kronik.
f. Pendokumentasian tindakan yang telah dilakukan pada Ny. J dengan
Penyakit Paru Obstruksi Kronik.

D. MANFAAT PENELITIAN
1. Manfaat Teoritis
Meningkatkan pengetahuan bagi pembaca agar dapat melakukan
pencegahan untuk diri sendiri dan orang disekitarnya agar tidak terkena
penyakit paru obstruksi kronik. Penulisan karya tulis ini juga berfungsi
untuk mengetahui antara teori dan kasus nyata yang terjadi dilapangan
sesuai atau tidak, karena dalam teori yang sudah ada tidak sesuai dengan
kasus yang terjadi sehingga disusunlah karya tulis ilmiah ini.

2. Manfaat Praktisi
a. Bagi Perawat
Karya tulis ini diharapkan dapat memberikan informasi dan menambah
wacana keilmuan bagi perawat dalam memberikan asuhan keperawatan
pada klien dengan penyakit paru obstruksi kronik
b. Bagi Rumah Sakit
Karya tulis ilmiah ini dapat dijadikan acuan dalam melakukan asuhan
keperawatan bagi pasien khususnya dengan gangguan sistem
pernapasan penyakit paru obstruksi kronik dan melakukan pencegahan
dengan memberikan penyuluhan kesehatan atau pendidikan kesehatan
kepada pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik.
c. Bagi Institusi Pendidikan
Manfaat praktis bagi instansi akademik yaitu dapat digunakan sebagai
referensi bagi institusi pendidikan untuk mengembangkan ilmu
pengetahuan tentang asuhan keperawatan pada pasien dengan penyakit
paru obstruksi kronik.
d. Bagi Pasien dan Keluarga
Manfaat karya tulis ilmiah ini bagi pasien dan keluarga yaitu agar
pasien dan keluarga mengetahui gambaran umum tentang gangguan
sistem pernapasan penyakit paru obstruksi kronik serta perawatan yang
benar agar klien mendapat perawatan yang tepat.
BAB 2
KONSEP DASAR PENYAKIT

A. DEFINISI

Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang
bisa dicegah dan diobati. PPOK ditandai dengan adanya hambatan aliran udara di
saluran napas yang bersifat progresif nonreversibel atau reversibel parsial, serta
adanya respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya (GOLD,
2015).
Karakteristik hambatan aliran udara pada PPOK disebabkan oleh
gabungan antara obstruksi saluran napas kecil (obstruksi bronkiolitis) dan
kerusakan parenkim (emfisema) yang bervariasi pada setiap individu. PPOK
sering mengenai individu pada usia pertengahan yang memiliki riwayat merokok
jangka panjang. Bronkitis kronik dan emfisema tidak dimasukkan definisi PPOK,
karena bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis, sedangkan emfisema
merupakan diagnosis patologi (PDPI, 2011).

B. ETIOLOGI
Menurut Arif Muttaqin, (2008: 156 ) penyebab dari Penyakit Paru Obstruksi
Kronik adalah :
1. Kebiasaan merokok, merupakan penyebab utama pada bronkhitis kronik dan
emfisema.
2. Adanya infeksi : Haemophilus influenzae dan streptococcus pneumonia.
3. Polusi oleh zat- zat pereduksi.
4. Faktor keturunan.
5. Faktor sosial- ekonomi : keadaan lingkungan dan ekonomi yang memburuk.
C. MANIFESTASI KLINIS
Menurut Kumalasari (2013) Manifestasi klinis gagal jantung bervariasi,
tergantung dari umur pasien, beratnya gagal jantung, etiologi penyakit jantung,
ruang-ruang jantung yang terlibat, apakah kedua ventrikel mengalami kegagalan
serta derajat gangguan penampilan jantung. Pada penderita gagal jantung
kongestif, hampir selalu ditemukan :
1. Gejala paru berupa dyspnea, orthopnea dan paroxysmal nocturnal dyspnea.
2. Gejala sistemik berupa lemah, cepat lelah, oliguria, nokturi, mual, muntah,
asites, hepatomegali, dan edema perifer
3. Gejala susunan saraf pusat berupa insomnia, sakit kepala, mimpi buruk sampai
delirium

D. PATOFISIOLOGI
Patofisiologi menurut Brashers (2007) adalah:
Asap rokok, polusi udara dan terpapar alergen masuk ke jalan nafas dan
mengiritasi saluran nafas. Karena iritasi yang konstan ini , kelenjar-kelenjar yang
mensekresi lendir dan sel-sel goblet meningkat jumlahnya, fungsi silia menurun,
dan lebih banyak lendir yang dihasilkan serta terjadi batuk, batuk dapat menetap
selama kurang lebih 3 bulan berturut-turut. Sebagai akibatnya bronkhiolus menjadi
menyempit, berkelok-kelok dan berobliterasi serta tersumbat karena metaplasia sel
goblet dan berkurangnya elastisitas paru. Alveoli yang berdekatan dengan
bronkhiolus dapat menjadi rusak dan membentuk fibrosis mengakibatkan fungsi
makrofag alveolar yang berperan penting dalam menghancurkan partikel asing
termasuk bakteri, pasien kemudian menjadi rentan terkena infeksi.
Infeksi merusak dinding bronchial menyebabkan kehilangan struktur
pendukungnya dan menghasilkan sputum kental yang akhirnya dapat menyumbat
bronki. Dinding bronkhial menjadi teregang secara permanen akibat batuk hebat.
Sumbatan pada bronkhi atau obstruksi tersebut menyebabkan alveoli yang ada di
sebelah distal menjadi kolaps. Pada waktunya pasien mengalami insufisiensi
pernafasan dengan penurunan kapasitas vital, penurunan ventilasi, dan peningkatan
rasio volume residual terhadap kapasitas total paru sehingga terjadi kerusakan
campuran gas yang diinspirasi atau ketidakseimbangan ventilasi-perfusi.
Pertukaran gas yang terhalang biasanya terjadi sebagai akibat dari
berkurangnya permukaan alveoli bagi pertukaran udara. Ketidakseimbangan
ventilasiperfusi ini menyebabkan hipoksemia atau menurunnya oksigenasi dalam
darah. Keseimbangan normal antara ventilasi alveolar dan perfusi aliran darah
kapiler pulmo menjadi terganggu. Dalam kondisi seperti ini, perfusi menurun dan
ventilasi tetap sama. Saluran pernafasan yang terhalang mukus kental atau
bronkospasma menyebabkan penurunan ventilasi, akan tetapi perfusi akan tetap
sama atau berkurang sedikit.
Berkurangnya permukaan alveoli bagi pertukaran udara menyebabkan
perubahan pada pertukaran oksigen dan karbondioksida. Obstruksi jalan nafas
yang diakibatkan oleh semua perubahan patologis yang meningkatkan resisten
jalan nafas dapat merusak kemampuan paru-paru untuk melakukan pertukaran
oksigen atau karbondioksida. Akibatnya kadar oksigen menurun dan kadar
karbondioksida meningkat. Metabolisme menjadi terhambat karena kurangnya
pasokan oksigen ke jaringan tubuh, tubuh melakukan metabolisme anaerob yang
mengakibatkan produksi ATP menurun dan menyebabkan defisit energi.
Akibatnya pasien lemah dan energi yang dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan
nutrisi juga menjadi berkurang yang dapat menyebabkan anoreksia.
Selain itu, jalan nafas yang terhambat dapat mengurangi daerah
permukaan yang tersedia untuk pernafasan, akibat dari perubahan patologis ini
adalah hiperkapnia, hipoksemia dan asidosis respiratori. Hiperkapnia dan
hipoksemia menyebabkan vasokontriksi vaskular pulmonari, peningkatan
resistensi vaskular pulmonary mengakibatkan hipertensi pembuluh pulmonary
yang meningkatkan tekanan vascular ventrikel kanan atau dekompensasi ventrikel
kanan.
Pathway:

Pencetus Rokok dan Polusi


(asma, Bronkhitis, Emfisena)
Inflamasi
PPOK

Perubahan Anatomis Parenkim Paru sputum meningkat

Pembesaran Alveoli batuk

Hiperatropi kelenjar mukosa Bersihan jalan


nafas tidak efektif

Penyempitan udara secara periodik

Ekspansi paru menurun

Suplay oksigen tidak adekuat


Keseluruh tubuh

Hipoksia

Sesak

Pola napas tidak


efektif
E. KOMPLIKASI
1. Bronchitis kronik
Bronchitis kronik adalah suatu peradangan bronkhiolus, bronkus dan trakea
oleh berbagai sebab. Biasnaya disebabkan oleh virus dan bakteri.(arif
muttaqin,2008).
2. Empisema
Emfisema paru adalah suatu keadaan abnormal pada anatomi paru dengan
adanya kondisi klinis berupa melebarnya saluran udara bagian distal
bronkhiolus terminal dan disertai dengan kerusakan dinding alveoli.( arif
muttaqin, 2008)
3. Asma Bronchial
Asma adalah suatu penyakit dengan ciri meningkatnya respon trakea dan
bronkhus terhadap berbagai rangsangan dengan manifestasi adanya
penyempitan jalan nafas yang luas dan derajatnya dapat berubah-ubah secara
spontan maupun dengan hasil pengobatan. (arif muttaqin, 2008)

4. PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan pada PPOK dapat dilakukan dengan dua cara yaitu terapi
non-farmakologis dan terapi farmakologis. Tujuan terapi tersebut adalah
mengurangi gejala, mencegah progresivitas penyakit, mencegah dan mengatasi
ekserbasasi dan komplikasi, menaikkan keadaan fisik dan psikologis pasien,
meningkatkan kualitas hidup dan mengurangi angka kematian (PDPI, 2010).
Terapi non farmakologi dapat dilakukan dengan cara menghentikan
kebiasaan merokok, meningkatkan toleransi paru dengan olahraga dan latihan
pernapasan serta memperbaiki nutrisi. Edukasi merupakan hal penting dalam
pengelolaan jangkan panjang pada PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda
dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah penyakit kronik yang bersifat
irreversible dan progresif, inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan
aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan penyakit.
Pada terapi farmakologis, obat-obatan yang paling sering digunakan dan
merupakan pilihan utama adalah bronchodilator. Penggunaan obat lain seperti
kortikosteroid, antibiotik dan antiinflamasi diberikan pada beberapa kondisi
tertentu. Bronkodilator diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis
bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan
bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan
jangka panjang. Pada derajat berat diutamakanpemberian obat lepas lambat (slow
release) atau obat berefek panjang (long acting) (PDPI, 2010).

F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan Spirometri
Spirometri adalah pemeriksaan yang dilakukan untuk mengukur secara
obyektif kapasitas/fungsi paru (ventilasi) pada pasien dengan indikasi medis.
Alat yang digunakan disebut spirometer (Miller et. al, 2005).
Prinsip spirometri adalah mengukur kecepatan perubahan volume udara di
paru-paru selama pernafasan yang dipaksakan atau disebut forced volume
capacity (FVC). Prosedur yang paling umum digunakan adalah subyek menarik
nafas secara maksimal dan menghembuskannya secepat dan selengkap
mungkin. Nilai FVC dibandingkan terhadap nilai normal dan nilai prediksi
berdasarkan usia, tinggi badan dan jenis kelamin.
2. Pemeriksaan Penunjang Lainnya
Pemeriksaan Penunjang lain Spirometri adalah tes utama untuk mendiagnosis
PPOK, namun beberapa tes tambahan berguna untuk menyingkirkan penyakit
bersamaan. Radiografi dada harus dilakukan untuk mencari bukti nodul paru,
massa, atau perubahan fibrosis. Radiografi berulang atau tahunan dan
computed tomography untuk memonitor kanker paru-paru. Hitung darah
lengkap harus dilakukan untuk menyingkirkan anemia atau polisitemia. Hal ini
wajar untuk melakukan elektrokardiografi dan ekokardiografi pada pasien
dengan tanda-tanda corpulmonale untuk mengevaluasi tekanan sirkulasi paru.
Pulse oksimetri saat istirahat, dengan pengerahan tenaga, dan selama tidur
harus dilakukan untuk mengevaluasi hipoksemia dan kebutuhan oksigen
tambahan (Stephens dan Yew, 2008).
G. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif bd adanya mukus,
2. Pola nafas tidak efektif bd nafas pendek dan produksi sputum,
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi
perfusi,
4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai
dengan kebutuhan oksigen,
5. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea,
kelamahan, efek samping obat, produksi sputum dan anoreksia, mual muntah,

H. FOKUS INTERVENSI
1. Bersihan jalan nafas tidak efektif bd adanya mukus
a. Tujuan:
Setelah dilakukan tindakan keperawatan 3x24 jam, diharapkan bersihan
jalan nafas tidak efektif dapat teratasi dengan kriteria hasil :
1) RR normal
2) Mampu membersihkan secret
3) Tidak ada hambatan dalam jalan nafas
b. Intervensi
1) Posisikan pasien untuk memaksimalkan ventilasi
Rasional: untuk mempelancar pernapasan pada pasien
2) Lakukan fisioterapi dada jika perlu
Rasional: untuk mengurangi rasa sesak pada pasien
3) Berikan minum hangat kepada pasien
Rasional: untuk memberikan rasa nyaman pada tenggorokan pasien
4) Ajarkan batuk efektif
Rasional: untuk mengeluarkan secret
5) Auskultasi suara nafas, catat adanya suara tambahan
Rasional: untuk mengetahui adanya suara nafas tambahan atau tidak
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan nafas pendek dan produksi
sputum.
a. Tujuan
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan pola
nafas kembali efektif, dengan kriteria hasil:
1) Frekuensi nafas normal (16 20 per menit)
2) Frekuensi nadi normal (70 90 permenit)
3) Tidak ada dispnea
b. Intervensi
1) Ajarkan pasien diafragmatik dan pernafaan bibir dirapatkan.
Rasional:
2) Berikan dorongan untuk menyelingi aktivitas dengan istirahat. Biarkan
pasien membuat beberapa keputusan (mandi, bercukur) tentang
perawatannya berdasarkan pada tingkat toleransi pasien.
Rasional:
3) Berikan dorongan penggunaan pelatihan otot-otot pernafasan jika
diharuskan.
Rasional:.

3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi perfusi


a. Tujuan
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan
Gangguan pertukaran gas dapat teratasi, dengan kriteria:
1) Frkuensi nafas normal (16-24x/menit)
2) Tidak terdapat disritmia
3) Melaporkan penurunan dispnea
4) Menunjukkan perbaikan dalam laju aliran ekspirasi
b. Intervensi:
1) Deteksi bronkospasme saatauskultasi .
2) Pantau klien terhadap dispnea dan hipoksia.
3) Berikan obat-obatan bronkodialtor dan kortikosteroid dengan tepat dan
waspada kemungkinan efek sampingnya.
4) Berikan terapi aerosol sebelum waktu makan, untuk membantu
mengencerkan sekresi sehingga ventilasi paru mengalami perbaikan.
5) Pantau pemberian oksigen

4. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai


dengan kebutuhan oksigen
a. Tujuan
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan
Intoleransi aktivitas dapat teratasi, dengan kriteria hasil:
1) Berpartisipasi dalam aktivitas fisik tanpa disertai peningkatan tekanan
darah, nadi dan RR
2) Mampu melakukan aktivitas sehari hari (ADLs) secara mandiri
b. Intervensi:
1) Kaji respon individu terhadap aktivitas; nadi, tekanan darah,
pernapasan
2) Ukur tanda-tanda vital segera setelah aktivitas, istirahatkan klien
selama 3 menit kemudian ukur lagi tanda-tanda vital.
3) Dukung pasien dalam menegakkan latihan teratur dengan
menggunakan treadmill dan exercycle, berjalan atau latihan lainnya
yang sesuai, seperti berjalan perlahan
4) Kaji tingkat fungsi pasien yang terakhir dan kembangkan rencana
latihan berdasarkan pada status fungsi dasar.
5) Sediakan oksigen sebagaiman diperlukan sebelum dan selama
menjalankan aktivitas untuk berjaga-jaga.
5. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea,
kelamahan, efek samping obat, produksi sputum dan anoreksia, mual muntah
a. Tujuan:
Setelah dilakukan asuhan keperawatan selama 3x24 jam, diharapkan
Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dapat teratasi,
dengan kriteria hasil:
1) Adanya peningkatan berat badan sesuai dengan tujuan
2) Berat badan ideal sesuai dengan tinggi badan
3) Mampu mengidentifikasi kebutuhan nutrisi
4) Tidak ada tanda tanda malnutrisi
5) Tidak terjadi penurunan berat badan yang berarti
a. Intervensi:
1) Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat kesulitan
makan. Evaluasi berat badan dan ukuran tubuh.
2) Auskultasi bunyi usus
3) Berikan perawatan oral sering, buang sekret.
4) Dorong periode istirahat I jam sebelum dan sesudah makan.
5) Pesankan diet lunak, porsi kecil sering, tidak perlu dikunyah lama.
6) Hindari makanan yang diperkirakan dapat menghasilkan gas.
7) Timbang berat badan tiap hari sesuai indikasi.
DAFTAR PUSTAKA

Brashers, Valentina L. (2007). Aplikasi Klinis Patofisiologi: pemeriksaan dan


manajemen ; alih bahasa H.Y Kuncara ; editor edisi bahasa Indonesia, Devi
Yulianti, Edisi 2. Jakarta : EGC

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD). 2015. Global
Strategy for The Diagnosis, Management, And Prevention of Chronic Obstructive
Pulmonary Disease

Khotimah, S. 2013. Latihan Endurance Meningkatkan Kualitas Hidup Lebih Baik


Dari Pada Latihan PernafasanPada Pasien PPOK di BP4 Yogyakarta. Sport and
Fitness Journal. Juni 2013:1. No. 20-32

Kumalasari Yosy Etha. 2013. Angka Kematian Pasien Gagal Jantung Kongestif
Di HCU Dan ICU RSUP dr.Kariadi Semarang.Universitas Diponegoro.
http://eprints.undip.ac.id/43854/9/Etha_Yosy_K_Lap.KTI_Bab2.pdf
Mannino DM, Buist AS. Global Burden of COPD: Risk Factors, Prevalence, and
Future Trends. Lancet [Internet]. Sep 2007[cited 5 December 2012]. 370(9589)
:765-73.
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pubmed/17765526
(diakses pada 6 juni 2017 08.21 WIB)

Muttaqin Arif. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan


Klien Dengan Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta : Salemba Medika.

Oemiati Ratih. 2013. Kajian Epidemiologi Penyakit Paru Obstruktif Kronik


(PPOK). Media Litbangkes Vol. 23 No. 2.
PDPI. 2011. Tuberkulosis Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia.
Indah Offset Citra Grafika. Jakarta.

Riset Kesehatan Dasar(Riskesdas). (2013). Badan Penelitian dan Pengembangan


Kesehatan Kementerian RI tahun 2013. Diakses: 6 Juni 2017, dari
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas%20201
3.pdf

http://ejournal.litbang.depkes.go.id/index.php/MPK/article/view/3130/3104
(diakses pada 5 juni 2017 09.00 WIB)

Anda mungkin juga menyukai