Anda di halaman 1dari 21

PENYAKI

T PARU
OBSTRU
KSI
KRONIS
(PPOK)

Disusun Oleh:

1. Riskayanti
2. Silvia Claudia Talalab
3. Wiwi Kartiwi

HALAMA

N JUDUL

PROGRAM STUDI S2 ILMU FARMASI


FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2020

BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Menurut Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD),
PPOK adalah penyakit dengan karakteristik keterbatasan saluran napas yang tidak
sepenuhnya reversible. Keterbatasan saluran napas tersebut biasanya progresif dan
berhubungan dengan respons inflamasi dikarenakan bahan yang merugikan atau
gas. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah suatu penyakit pernafasan
umum yang mendunia dan dapat dicegah serta diobati dengan karakteristik berupa
adanya hambatan aliran udara dan gejala pernafasan yang persisten berhubungan
dengan ketidaknormalan aliran udara dan/atau alveolar yang disebabkan oleh
paparan gas atau partikel berbahaya (Gold, 2017, Kakarla et.al., 2016, Soeroto dan
Suryadinata, 2014). Hambatan aliran udara tersebut bersifat progresif dan
disebabkan oleh ketidaknormalan respon inflamasi paru dalam menghirup gas atau
partikel berbahaya, terutama disebabkan oleh asap rokok (Bezerra dan Fernandes,
2006, PDPI, 2003).
PPOK sekarang ini menjadi penyebab kematian keempat di dunia, tetapi
diproyeksikan akan meningkat menjadi penyebab kematian ketiga pada tahun
2020. PPOK merupakan penyebab utama masalah kronik yang mengakibatkan
kematian dan kesakitan di dunia (GOLD, 2017). The 2013 Global Burden Disease
Study menunjukkan bahwa PPOK menjadi urutan ke-8 yang menyebabkan
penderitanya hidup dalam kecacatan. Riset Kesehatan dasar (Riskesdas) 2013
menyatakan prevalensi PPOK di Indonesia sebesar 3,7%. Data Profil Kesehatan
Provinsi Jawa Tengah Tahun 2013 menunjukkan jumlah kasus PPOK di Provinsi
Jawa Tengah mengalami penurunan dari tahun 2012 sebanyak 13%. Kasus PPOK
tertinggi di Provinsi Jawa Tengah terdapat di Kota Salatiga sebesar 1.744 kasus.
PPOK merupakan salah satu penyakit tidak menular utama, yang agak
jarang terekpose karena kurangnya informasi yang diberikan. Di Amerika Serikat
data tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi PPOK sebesar 10,1% (SE 4,8)
pada lakilaki sebesar 11,8% (SE 7,9) dan untuk perempuan 8,5% (SE 5,8)3 .
Sedangkan mortalitas menduduki peringkat keempat penyebab terbanyak yaitu
18,6 per 100.000 penduduk pada tahun 1991 dan angka kematian ini meningkat
32,9% dari tahun 1979 sampai 1991. Sedangkan prevalensi PPOK di negara-
negara Asia Tenggara diperkirakan 6,3% dengan prevalensi tertinggi terdapat di
Vietnam (6,7%) dan China (6,5%). PPOK akan berdampak negatif dengan kualitas
hidup penderita, termasuk pasien yang berumur >40 tahun akan menyebabkan
disabilitas penderitanya. Padahal mereka masih dalam kelompok usia produktif
namun tidak dapat bekerja maksimal karena sesak napas yang kronik. Co
morbiditas PPOK akan menghasilkan penyakit kardiovaskuler, kanker bronchial,
infeksi paru-paru, trombo embolik disorder, keberadaan asma, hipertensi,
osteoporosis, sakit sendi, depresi dan axiety.
Indonesia sebagai negara dengan jumlah perokok yang banyak dipastikan
memiliki prevalensi PPOK yang tinggi. Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)
yang merupakan suatu penyakit paru yang dapat dicegah dan diobati, ditandai
dengan hambatan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel, progresif dan
berhubungan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang
beracun atau berbahaya.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana Epidemiologi/Prevalensi Penyakit Paru Obstruksi Kronis?
2. Bagaimana Patofisiologi Penyakit Paru Obstruksi Kronis?
3. Bagaimana Tatalaksana Terapi Penyakit Paru Obstruksi Kronis?
C. TUJUAN
1. Mengetahui Epidemiologi/Prevalensi Penyakit Paru Obstruksi Kronis
2. Mengetahui Patofisiologi Penyakit Paru Obstruksi Kronis
3. Mengetahui Tatalaksana Terapi Penyakit Paru Obstruksi Kronis

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK), merupakan suatu penyakit paru
yang dapat dicegah dan diobati, ditandai dengan hambatan aliran udara yang tidak
sepenuhnya reversibel, progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi paru
terhadap partikel atau gas yang bearcun atau berbahaya. PPOK adalah penyakit
paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang
bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari
bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya.
Bronkitis kronik merupakan kelainan saluran napas yang ditandai oleh
batuk kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua
tahun berturut - turut, tidak disebabkan penyakit lainnya.
Emfisema merupakan suatu kelainan anatomis paru yang ditandai oleh
pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal,disertai kerusakan dinding
alveoli. PPOK eksaserbasi akut didefinisikan sebagai suatu kejadian akut yang
ditandai dengan memburuknya gejala respiratori pasien yang melebihi variasi
normal hari ke hari dan menyebabkan perlunya perubahan pengobatan.
PPOK eksaserbasi merupakan kejadian penting pada perjalanan penyakit
karena:
1. Memberi pengaruh negatif pada kualitas hidup pasien
2. Memberi efek pada fungsi paru yang membutuhkan waktu beberapa minggu
untuk perbaikan
3. Mempercepat tingkat penurunan fungsi paru Berhubungan dengan
meningkatnya kematian secara signifikan, terutama pada mereka yang
membutuhkan perawatan di rumah sakit.
4. Mengakibatkan tingginya biaya sosial ekonomi.
Pasien PPOK dikatakan mengalami eksaserbasi akut bila kondisi pasien
mengalami perburukan yang bersifat akut dari kondisi yang sebelumnya stabil dan
dengan variasi gejala harian normal sehingga pasien memerlukan perubahan
pengobatan yang biasa digunakan. Eksaserbasi ini biasanya disebabkan oleh
infeksi (bakteri atau virus), bronkospasme, polusi udara atau obat golongan
sedatif. Sekitar sepertiga penyebab eksaserbasi ini tidak diketahui. Pasien yang
mengalami eksaserbasi akut dapat ditandai dengan gejala yang khas seperti sesak
nafas yang semakin bertambah, batuk produktif dengan perubahan volume atau
purulensi sputum, atau dapat juga memberikan gejala yang tidak khas seperti
malaise, fatigue dan gangguan susah tidur. Klasifikasi PPOK adalah sebagai
berikut

B. KLASIFIKASI PPOK
Menurut GOLD, 2020

C. EPIDEMIOLOGI/PREVALENSI
COPD mempengaruhi sekitar 15 juta orang Amerika dan merupakan
penyebab kematian keempat di seluruh dunia. Pada tahun 2010, biaya perawatan
kesehatan AS yang terkait adalah sekitar $ 49,9 miliar dolar, termasuk $ 29,5
miliar dalam pengeluaran perawatan kesehatan langsung. Eksaserbasi PPOK
adalah penyumbang paling signifikan terhadap beban biaya penyakit terhitung
sekitar 50% hingga 75% dari semua biaya
Menurut World Health Organization (WHO) tahun 1990 PPOK menempati
urutan keenam sebagai penyebab kematian di dunia, tahun 2002 PPOK menempati
urutan kelima sebagai penyebab kematian di dunia, dan WHO memprediksi tahun
2030 PPOK akan menempati urutan ketiga sebagai penyebab kematian di dunia.
Prevalensi dari PPOK meningkat, tahun 1994 kira-kira 16,2 juta laki-laki dan
perempuan menderita PPOK di Amerika dan lebih dari 52 juta individu di dunia.
Berdasarkan hasil survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Departemen
Kesehatan Republik Indonesia (DEPKES) tahun 1986 asma, bronkitis kronik dan
emfisema menduduki peringkat kelima sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari
10 penyebab kesakitan utama. SKRT DEPKES 1992 menunjukkan angka
kematian karena asma, bronkitis kronik dan emfisema menduduki peringkat
keenam dari 10 penyebab tersering kematian di Indonesia. Dari hasil Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS) 2013 menunjukkan bahwa prevalensi PPOK di
Indonesia sebanyak 3,7%.
D. ANATOMI NORMAL
E. PATOFISIOLOGI

Obstruksi aliran udara yang disebabkan oleh PPOK biasanya bersifat


progresif dan dikaitkan dengan perubahan patologis di paru-paru yang
mempengaruhi saluran udara proksimal, saluran udara perifer, parenkim paru, dan
pembuluh darah paru. Perubahan struktur jaringan disebabkan oleh peradangan
kronis yang melibatkan perekrutan sel inflamasi ke dalam paru-paru, serta
perubahan struktural yang diakibatkan oleh cedera berulang dan pembentukan
ulang jaringan. Besarnya perubahan struktural dan disfungsi jaringan bervariasi di
antara pasien dan sering dibedakan oleh dua fenotipe utama yang meliputi
bronkitis kronis dan emfisema. Keterbatasan aliran udara kronis dapat terjadi
akibat kedua proses ini. GOLD atau American Thoracic Society (ATS) terbaru dan
Pedoman European Thoracic Society tidak membedakan kedua entitas ini; namun,
definisi klasik dan gambaran patofisiologi dijelaskan di sini untuk membantu
pemahaman yang lebih baik tentang proses penyakit.
Walaupun COPD terdiri dari berbagai penyakit tetapi seringkali
memberikan kelainan fisiologis yang sama. Akibat infeksi dan iritasi yang
menahun pada lumen bronkus, sebagian bronkus tertutup oleh secret yang
berlebihan, hal ini menimbulkan dinding bronkus menebal, akibatnya otot-otot
polos pada bronkus dan bronkielus berkontraksi, sehingga menyebabkan hipertrofi
dari kelenjar-kelenjar mucus dan akhirnya terjadi edema dan inflamasi.
Penyempitan saluran pernapasan terutama disebabkan elastisitas paru-paru
yang berkurang. Bila sudah timbul gejala sesak, biasanya sudah dapat dibuktikan
adanya tanda-tanda obstruksi. Gangguan ventilasi yang berhubungan dengan
obstruksi jalan napas mengakibatkan hiperventilasi (napas lambat dan dangkal)
sehingga terjadai retensi CO2 (CO2 tertahan) dan menyebabkan hiperkapnia (CO2
di dalam darah/cairan tubuh lainnya meningkat). Pada orang normal sewaktu
terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan paru akan berkurang,
sehingga saluran-saluran pernapasan bagian bawah paru akan tertutup.
F. MANIFESTASI KLINIK
1. Batuk
2. Sputum putih atau mukoid, jika ada infeksi menjadi purulen atau mukopurulen
3. Sesak
4. DIAGNOSA
Diagnosis sebagian didasarkan pada gejala pasien. Klasifikasi tingkat
keparahan penyakit didasarkan pada penilaian pembatasan aliran udara dengan
spirometri, pengukuran keparahan gejala, dan penilaian frekuensi eksaserbasi.
Tingkat keparahan gejala dinilai dengan COPD Assessment Test (CAT) atau skala
Medical Research Council (mMRC) yang dimodifikasi. Pasien pertama-tama
diklasifikasikan menurut tingkat keparahan obstruksi aliran udara (Kelas 1-4) dan
kemudian ditempatkan ke dalam Grup (A, B, C, atau D) berdasarkan dampak
gejala dan risiko eksaserbasi di masa mendatang.
5. TATALAKSANA TERAPI
a. Penatalaksaan Penyakit Paru Obstruksi Akut (PPOK)
1. Tujuan penatalaksanaan :
 Mengurangi gejala
 Mencegah eksaserbasi berulang
 Memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru
 Meningkatkan kualiti hidup penderita
2. Penatalaksanaan Farmakologi
 Obat - obatan
a) Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis
bronkodilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit.
Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada
penggunaan jangka panjang. Pada derajat berat diutamakan pemberian obat
lepas lambat ( slow release ) atau obat berefek panjang ( long acting ).
Macam - macam bronkodilator :
 Golongan antikolinergik
Digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai
bronkodilator juga mengurangi sekresi lendir (maksimal 4 kali perhari).
 Golongan agonis beta-2
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah
penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat
pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang.
Bentuk nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak
dianjurkan untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau
drip untuk mengatasi eksaserbasi berat.
 Kombinasi antikolinergik dan agonis beta-2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek
bronkodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda.
Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan
mempermudah penderita.
 Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka
panjang, terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau
puyer untuk mengatasi sesak (pelega napas), bentuk suntikan bolus atau drip
untuk mengatasi eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan
pemeriksaan kadar aminofilin darah.
b) Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau
injeksi intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan
metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka
panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat
perbaikan VEP1 pascabronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.
c) Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang
digunakan :
 Lini I : amoksisilin makrolid
 Lini II : amoksisilin dan asam klavulanat sefalosporin kuinolon makrolid
baru
Perawatan di Rumah Sakit :
 Amoksilin dan klavulanat
 Sefalosporin generasi II & III injeksi
 Kuinolon per oral

ditambah dengan yang anti pseudomonas


 Aminoglikose per injeksi
 Kuinolon per injeksi
 Sefalosporin generasi IV per injeksi
d) Antioksidan

Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan


N - asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering,
tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin

e) Mukolitik

Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan


mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan
sputum yang viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik,
tetapi tidak dianjurkan sebagai pemberian rutin.

f) Antitusif
3. Penatalaksanaan Non Farmakologi
a) Edukasi

Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada


PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena
PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi
adalah menyesuaikan keterbatasan aktiviti dan mencegah kecepatan perburukan
fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat reversibel, menghindari
pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi atau tujuan pengobatan
dari asma.

Tujuan edukasi pada pasien PPOK :

1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan


2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal
3. Mencapai aktiviti optimal
4. Meningkatkan kualiti hidup
6. Mendeteksi dan menghindari pencetus eksaserbasi
7. Menyesuaikan kebiasaan hidup dengan keterbatasan aktiviti
b) Nutrisi

Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya


kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena
hipoksemia kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme.
Kondisi malnutrisi akan menambah mortaliti PPOK karena berkolerasi dengan
derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah. Malnutrisi dapat
dievaluasi dengan :

- Penurunan berat badan


- Kadar albumin darah
- Antropometri
- Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot pipi)
- Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)
c) Rehabilitasi PPOK

Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan


memperbaiki kualiti hidup penderita PPOK Penderita yang dimasukkan ke dalam
program rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan optimal
yang disertai : - Simptom pernapasan berat - Beberapa kali masuk ruang gawat
darurat - Kualiti hidup yang menurun Program dilaksanakan di dalam maupun
diluar rumah sakit oleh suatu tim multidisiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi,
respiratori terapis dan psikolog. Program rehabilitiasi terdiri dari 3 komponen
yaitu : latihan fisis, psikososial dan latihan pernapasan.

6. Study Kasus

Kakek 72 tahun, masuk ke IGD dengan kodisi sesak napas. Beliau batuk
produktif dengan sputum berwarna kecoklatan yang beliau anggap normal.
Pengobatan saat ini adalah salbutamol. Chest X-ray menunjukkan adanya hiperinflasi
paru dan didiagnosa PPOK exaserbasi akut.
a. S (Subjek)
Sesak napas,

b. O (Objektif)
Chest X-ray menunjukkan adanya hiperinflasi paru
c. A (Assesment)

Problem Medik Subjektif Objektif Terapi Assessment

PPOK Sesak Nafas, Chest X-ray Salbutamol Digunakan pada


Eksaserbase batuk produktif menunjukkan derajat ringan
dengan sputum adanya sampai berat,
berwarna hiperinflasi disamping
kecoklatan paru sebagai
bronkodilator
juga
mengurangi
sekresi lendir

d. P (Planning)
1) Non Farmakologi
 Berhenti merokok
 Deep breathing atau latihan pernapasan dalam
2) Farmakologi
 Prinsip penatalaksanaan PPOK pada eksaserbasi akut adalah mengatasi
segera eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya gagal napas, maka
pertama kali yang diberikan adalah terapi oksigen. Tujuan terapi oksigen
adalah untuk memperbaiki hipoksemi dan mencegah keadaan yang
mengancam jiwa. Sebaiknya dipertahankan PaO2>60 mmHg atau Saturasi
O2>90%, evaluasi ketat hiperkapnoe. Pemberian terapi oksigen :
 penyakit paru obstruktif kronik dengan PaO2< 7,3 kPa sewaktu
menghirup udara selama periode stabil secara klinis;
 penyakit paru obstruktif kronik dengan PaO2 7,3-8 kPa dengan adanya
polisitemia sekunder, hipoksemia nokturnal, udem perifer, atau hipertensi
paru;
 Pemberian Bronkodilator
Kombinasi antikolinergik dan agonis beta - 2 Kombinasi kedua
golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi, karena keduanya
mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat
kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita.
Penggunaanya : dengan combivent (salbutamol dan ipatropium)
Dosis : Combivent (R) aerosol inhalasi: 2 inhalasi 4 kali sehari.
Pasien dapat menghirup inhalasi tambahan yang diperlukan. Namun, jumlah
inhalasi tidak boleh melebihi 12 dalam 24 jam.
Combivent (R) Respimat (R) inhalasi semprot: 1 inhalasi 4 kali
sehari. Pasien dapat menghirup inhalasi tambahan yang diperlukan. Namun,
jumlah inhalasi tidak boleh melebihi 6 dalam 24 jam.
1. SALBUTAMOL+IPRATROPIUM BROMIDA

Indikasi : bronkospasme reversibel yang berkaitan dengan

penyakit paru obstruksi dan serangan asma akut

yang membutuhkan terapi lebih dari bronkodilator

tunggal

Interaksi : penggunaan bersama dengan turunan xantin dan

beta adrenergik serta antikolinergik lainnya dapat

meningkatkan efek samping, potensi hipokalemia

meningkat pada penggunaan bersama dengan

turunan xantin, glukokortikosteroid, diuretik dan


digoksin,  penurunan efek bronkodilator secara

signifikan terjadi selama penggunaan bersama

dengan beta bloker, pemberian agonis beta

adrenergik dilakukan secara hati-hati pada pasien

yang mendapatkan terapi penghambat monoamin

oksidase atau antidepresan trisiklik karena

meningkatkan efek obat agonis beta adrenergik,

inhalasi dari anastesi hidrokarbon terhalogenasi

seperti halotan, trikloroetilen dan enfluran

berpotensi meningkatkan kemungkinan

munculnya efek kardiovaskular dari agonis beta.

Kontraindikasi : kardiomiopati obstruktif, hipertrofi, takiaritmia,

hipersensitivitas.

Efek Samping : sakit kepala, iritasi tenggorokan, batuk, mulut


kering, gangguan motilitas saluran cerna (termasuk
konstipasi, diare dan muntah), mual dan pusing,
reaksi anafilaktik.

Dosis : Combivent (R) aerosol inhalasi: 2 inhalasi 4 kali


sehari. Pasien dapat menghirup inhalasi tambahan
yang diperlukan. Namun, jumlah inhalasi tidak boleh
melebihi 12 dalam 24 jam. Combivent (R) Respimat
(R) inhalasi semprot: 1 inhalasi 4 kali sehari. Pasien
dapat menghirup inhalasi tambahan yang diperlukan.
Namun, jumlah inhalasi tidak boleh melebihi 6
dalam 24 jam. Duoneb (R) larutan inhalasi: Satu
botol 3 ml dengan pengabutan 4 kali sehari dengan
tambahan hingga 2 dosis 3 ml yang diperbolehkan
per hari. Dosis maksimum yang disarankan adalah 6
botol (18 ml)/hari.

2. AMOKSISILIN

Mekanisme kerja : Bersifat bakteriostatik. Mekanisme kerjanya

yaitu pengikatan reversibel pada ribosom

kuman, sehingga mengganggu sintesis

protein. Penggunaannya merupakan pilihan

pertama pada infeksi paru-paru. Digunakan

untuk mengobati infeksi saluran nafas bagian

atas seperti infeksi tenggorokan dan infeksi

telinga, infeksi saluran nafas bagian bawah

seperti pneumonia, untuk infeksi kulit dan

jaringan lunak, untuk sifilis, dan efektif untuk

penyakit legionnaire (penyakit yang

ditularkan oleh serdadu sewaan). 

Dosis : Tersedia amoksisilin tablet dan kapsul

dengan ukuran 250 mg dan 500 mg.

Sedangkan untuk sirup, tersedia ukuran dosis

125 mg/5ml, 200 mg/5ml, dan 250 mg/ml.


Amoksisilin dapat ditemukan sebagai obat

paten maupun generik.

Efek Samping : Diare, Mual, Sakit kepala, Muntah , Nyeri

perut

Indikasi : Amoksisilin diindikasikan untuk bakteri

gram positif, yaitu bakteri-bakteri yang

banyak ditemukan di kulit, saluran napas, dan

saluran kemih.

3. PREDNISOLON

Indikasi : supresi inflamasi dan gangguan alergi,

inflamasi usus besar, asma, supresi inflamsi,

rematik

Kontraindikasi : infeksi sistemik (kecuali kalau diberikan

pengobatan microbial spesifik), hindari

pemberian vaksin virus hidup pada pemberian

dosis imunosupresif (respon serum antibodi

berkurang).
Efek Samping : dikurangi dengan menggunakan dosis

efektif paling rendah untuk periode sesingkat

mungkin, efek saluran pencernaan termasuk

dyspepsia, tukak lambung.

Dosis : Oral, awal 10-20 mg/hari (penyakit berat

sampai 60 mg/hari), sebaiknya diberikan pagi

setelah sarapan pagi, dosis dapat diturunkan

dalam beberapa hari tetapi dilanjutkan selama

beberapa minggu atau bulan. Pemeliharaan,

2,5-15 mg/hari, tetapi dapat ditingkatkan bila

diperlukan, efek samping meningkat pada

dosis di atas 7,5 mg/hari. Injeksi

intramuscular, prednisolon asetat (bagian

10.1.2), 25-100mg sekali atau dua kali

seminggu.

Mekanisme kerja : Prednison menurunkan peradangan melalui

penghambatan migrasi leukosit

polimorfonuklear dan mengurangi proses

permeabilitas pada dinding kapiler. Sehingga

dapat menekan sistem kekebalan tubuh

dengan mengurangi aktivitas dan volume dari

sistem limfatik.  
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di
saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK
terdiri dari bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya. Eksaserbasi akut
pada PPOK adalah kejadian akut pada penyakit dengan karakteristik adanya
perubahan sesak napas, batuk, atau sputum yang diluar batas normal. Pengobatan
PPOK eksaserbasi dimulai dengan pemberian terapi oksigen, Beta 2 agonis dengan
atau tanpa short acting anticholinergics sebagai terapi bronkodilator pilihan pertama
untuk pasien PPOK eksaserbasi, kortikostiroid, antibiotic ketika terjadinya infeksi.
DAFTAR PUSTAKA

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. (2020). Gold: Pocket Guide
To Copd Diagnosis, Management, and Prevention. Handout, 1, 1.
Kincade, K. (2008). Satellite sensors zero in on resource and disaster planning. In
Laser Focus World (Vol. 44, Issue 8).
DiPiro J.T., Wells B.G., Schwinghammer T.L. and DiPiro C. V., 2015,
Pharmacotherapy Handbook, Ninth Edit., McGraw-Hill Education Companies,
Inggris.
Carvalho M.G., Zeind Caroline.S.,2018 Applied Therapautics the clinical use of
drugs, eleventh edition, Wolters Kluwer, Newyork
Williams B.R., Alldredge B.K, 2016 Hanbook of applied therapeutics ninth edition,
wolters Kluwer, Newyork
MMN Publishing, 2019 Basic Pharmacology & Drug Notes, Team Medical Mini
Nose, Makassar

Anda mungkin juga menyukai