Anda di halaman 1dari 15

LAPORAN KELOMPOK PRAKTIKUM FARMAKOTERAPI

Rheumatoid Arthritis

Disusun Oleh:
Arsita Rizkywanda 1804019004
Hilma Azzahrah 1804019005
Mauidhah 1804019007
Kelompok : 8
Kelas : E1
Dosen : Nurhasnah M. Farm., Apt

PROGRAM STUDI FARMASI


FAKULTAS FARMASI DAN SAINS
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PROF. DR. HAMKA
JAKARTA
2019
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Masalah Rheumatoid arthritis adalah penyakit kronis yang menyebabkan
nyeri, kekakuan, pembengkakan dan keterbatasan gerak serta fungsi dari banyak
sendi. Rheumatoid arthritis dapat mempengaruhi sendi apapun, sendi-sendi kecil
di tangan dan kaki cenderung paling sering terlibat. Pada rheumatoid arthritis
kekakuan paling sering terburuk di pagi hari. Hal ini dapat berlangsung satu
sampai dua jam atau bahkan sepanjang hari. Kekakuan untuk waktu yang lama di
pagi hari tersebut merupakan petunjuk bahwa seseorang mungkin memiliki
rheumatoid arthritis, karena sedikit penyakt arthritis lainnya berperilaku seperti
ini. Misalnya, osteoarthritis paling sering tidak menyebabkan kekakuan di pagi
hari yang berkepanjangan (American Collage of Rheumatology, 2012).
Penyakit arthritis bukan penyakit yang mendapat sorotan seperti penyakit
hipertensi, diabetes atau AIDS, namun penyakit ini menjadi masalah kesehatan
yang cukup mengganggu dan terjadi dimana-mana. Rheumatoid arthritis adalah
bentuk paling umum dari arthritis autoimun, yang mempengaruhi lebih dar 1,3
juta orang Amerika. Dari jumlah tersebut, sekitar 75% adalah perempuan.
Bahkan, 1-3% wanita mungkin mengalami 2 rheumatoid arthritis dalam hidupnya.
Penyakit ini paling sering dimulai antara dekade keempat dan keenam dari
kehidupan. Namun, rheumatoid arthritis dapat mulai pada usia berapa pun
(American Collage of Rheumatology, 2012).
Di Indonesia, prevalensi AR hanya 0,1-0,3 persen di kelompok orang
dewasa dan 1:100 ribu jiwa dikelompok anak-anak. Total, diperkirakan hanya
terdapat 360 ribu pasien di Indonesia. Wanita tiga kali lebih sering menderita
rheumatoid artritis (radang sendi) dibanding dengan laki-laki (3:1). Penyakit ini
menyerang semua etnis, dengan insiden pada orang berusia di atas 18 tahun
berkisar 0,1 persen sampai 0,3 persen, sedangkan pada anak-anak dan remaja
yang berusia kurang dari 18 tahun 1/100.000 orang.Prevelensi diperkirakan kasus
RA diderita pada usia di atas 18 tahun dan berkisar 0,1% sampai dengan 0,3%
dari jumlah penduduk Indonesia. Berdasarkan studi, RA lebih banyak terjadi pada
wanita dibandingkan pria dengan rasio kejadian 3 : 1. Penyakit ini 75 % diderita
oleh kaum wanita, bisa menyerang semua sendi. Prevalensi meningkat 5 % pada
wanita diatas usia 50 tahun.
Walaupun penyebab RA masih belum diketahui secara pasti, namun
banyak faktor risiko yang dapat meningkatkan angka kejadian RA. Diantaranya
adalah faktor genetik, usia lanjut, jenis kelamin perempuan, faktor sosial ekonomi,
faktor hormonal, etnis, dan faktor lingkungan seperti merokok, infeksi, faktor diet,
polutan, dan urbanisasi (Tobon et al,2009).

B. Tujuan
1. Memahami pengertian Rheumatoid Arthritis
2. Mengetahui perjalanan penyakit atau paotifisologi Rheumatoid Arthritis
3. Mengetahui tanda dan gejala pada penderita Rheumatoid Arthritis
4. Memahami algoritma atau tindakan yang harus dilakukan pada penderita
Rheumatoid Arthritis
5. Mengetahui dan memahami pencegahan dan pengobatan farmakologi
Rheumatoid Arthtritis
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. Pengertian Rheumatoid Arthritis


Rheumatoid Arthritis (RA) adalah inflamasi sistemik yang kompleks
dengan manifestasi klinis seperti pembengkakakn sendi simetris pada tangan atau
kaki (Dipiro 2008). RA juga dapat diartikan sebagai gangguan inflamasi progresif
kronis yang etiologinya tidak diketahui yang ditandai dengan adanya keterlibatan
sendi simetris poliartikular dan manifestasi sistemik (Dipiro 2015). Selain itu
menurut Pehimpunan Reumatologi Indonesia, RA adalah penyakit autoimun yang
etiologinya belum diketahui dan ditandai oleh sinovitis erosif yang simetris dan
pada beberapa kasus disertai dengan keterlibatan jaringan ekstraarikular.
B. Epidemiologi
Rheumatoid Arthritis mempengaruhi sekitar 1% populasi di Amerika
Serikat dan 1% - 2% di dunia. RA muncul dari reaksi imunologik karena respon
genetik atau antigen infeksi (Dipiro 2008). Di Indonesia sendiri, prevelensi RA di
Bandungan Jawa Tengah mencapai 0,5%, di Malang pada penduduk berusia
diatas 40 tahun prevelensinya 0,5% di daerah kotamadya dan 0,6% di daerah
kabupaten. Pada tahun 2000 kasus baru RA merupakan 4,1% dari seluruh kasus
bari di RSCM (Perhimpunan Reumatologi Indonesia 2014)
C. Patofisiologi
Karakteristik sinovium dipengaruhi oleh Rheumatoid Arthritis adalah
(Dipiro 2008):
1. Penebalan lapisan membran dan meradang yang disebut pannus
2. Perkembangan pembuluh darah baru
3. Masuknya sel-sel inflamasi dalam cairan sinovial (didominasi oleh limfosit T)
Rheumatoid Arthritis (RA) merupakan hasil dari disregulasi imunitas
humoral dan seluler. Kebanyakan pasien menghasilkan antibodi yang disebut
faktor rheumatoid. Ig (Imunoglobulin) mengaktifkan sistem complement yang
memperkuat respon kekebalna tubuh dengan meningkatkan kemotaksis
fagositosis dan pelepasan limfoin oleh sel mononuklear yang kemudian disajikan
ke limfosit T. antigen yang diproses dikenali oleh protein “histocompatibility
complex” utama pada permukaan limfosit sehingga mengaktivasi sel T dan sel B.
Tu,or Nekrosis Faktor (TNF-α) serta Interleukin 1 dan 6 (IL-1 dan IL-6)
merupakan sitokin proinflamasi penting dalam insiasi dan kelanjutan peradangan.
Sel T yang diaktivasi menghasolkan sitotoksin dan sitokin yang
mestimulasi lebih lanjut aktivasi proses inflamasi dan menarik sel ke arah
peradangan. Makrofag dirangsang untuk melepaskan prostaglandin dan sitotoksin.
Aktivasi sel T sendiri membutuhkan stimulasi yang baik oleh sitokin proinflamasi
maupun interaksi antara reseptor permukaan sel (kostimulasi), contohnya adalah
interaksi antara CD2 dan CD80/CD86.
Sel B yang diaktivasi akan menghasilkan sel-sel plasma pembentuk
antibodi yang dikombinasi dengan sistem complement sehingga menghasilkan
akumulasi polimorfonukelar leukosit. Leukosit ini melepaskan sitotoksin, radikal
bebal, dan radikal hidroksil yang menyebabkan terjadinya kerusakan pada
sinovium dan tulang. JAK (Janus Kinase) adalah tirosin kinase yang bekerja
dalam mengatur pematangan dan aktivasi leukosit serta memiliki efek pada
produksi stiokin dan imunoglobulin. Zat vasa aktif (histamin, kinin dan
prostaglandin) diepaskan pada area peradangan, sehingga meningkatkan aliran
darah dan permeabilitas pembuluh darah sehingga menyebabkan edema, rasa
hangat, eritema dan nyeri serta memfasilitasi saluran granulosit dari pembuuh
darah ke aea peradangan.
Peradangan kronis jaringan sinovial menyebabkan proliferasi jaringan
(pembentukan pannus). Pannus akan menginvasi kartilago dan permukaan tulang
sehingga menyebabkan erosi tulang dan tulang rawan dan menyebabkan
kerusakan sendi. Hasil akhirnya mungkin akan terjadi hilangnya ruang sendi dan
gerakan sendi, ankilosis (fusi tulang), sendi subluksasi, kontraktur tendon dan
deformitas kronis (Dipiro 2015).
D. Tanda dan Gejala
Berikut adalah tanda dan gejala pada Rheumatoid Arthritis menurut Dipiro
2015:
1. Gejala nonspesifik (berkembang selama beberapa minggu hingga bulan)
seperti kelelahan, lemah, anoreksia, demam ringan dan nyeri sendi. Kekakuan
dan mialgia dapat dijadikan sebagai tanda dan gejala perkembangan sinovitis
2. Keterlibatan sendi simetris dan terjadi Metacarpophalangeal (MCP),
Interphalangeal Proksimal (PIP), Metatarsophalangeal (MTP) dan sendi
pergelangan tangan
3. Kekakuan sendi terjadi lebih buruk pada pagi hari, lebih dari 30 menit dan
mungkin sepanjang hari
4. Pembengkakan sendi, jaringan terasa hangat, lembut dan eritema
5. Manifestasi ekstraartikular seperti nodul rheumatoid, vaskulitis (ulkus
sistemik, lesi kulit, leukositoklasik vaskulitis), pleura efusi, fibrosis paru,
manifestasi okular (skleresis), perikarditis, kelainan konduksi jantung, supresi
sumsum tulang dan limfadenopati
E. Diagnosis
Ada 7 kriteria untuk diagnosis Rheumatoid Arthritis (Dipiro 2008):
1. Kekauan sendi pada pagi hari yang berlangsung lebih dari 1 jam sebelum
hilang
2. Keterlibatan 3 atau lebih area sendi
3. Arthritis sendi tangan
4. Keterlibatan sendi simetris
5. Adanya nodul rheumatoid
6. Faktor rheumatoid meningkat
7. Perubahan radiografi
Dapat didiagnosa Rheumatoid Arthritis jika 4 dari 7 kriteria terjadi atau
dirasakan pada pasien. Selin itu ada pula diagnosis lainnya meurut Dipiro 2008
dan Dipiro 2015:
1. Anemia normositik dan normokromik, trombositosis atau trombopenia,
leukopenia, peningkatan tingkat sedimentasi eritrosit (pada pria >20 mm/jam
dan pada wanita >30 mm/jam)
2. Faktor rheumatoid positif (pada 60-70%)
3. Positif antibodi protein anticitrullinated (ACPA pada 50-80% pasien) dan
antinuclear antibodi (pada 25% pasien).
F. Pemeriksaan Penunjang
Berikut adalah pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk
mendiagnosa Rheumatoid Arthritis menurut Dipiro 2008 dan Dipiro 2015):
1. Temuan radiologis dini (pembengkakan jaringan lunak)
2. Analisis cairan sinovial (jerami berwarna, sedikit berawan, sel darah putih
5000 – 25000/mm3 (5 – 25 x103 L)
3. Magnetic Resonance Imaging (MRI) dilakukan untuk mendeteksi adanya erosi
G. Algoritma
Berikut adalah algoritma dalam penatalaksanaan Rheumatoid Arthritis
menurut Dipiro 2015:
BAB III

METODOLOGI PRAKTIKUM

A. Tanggal dan Waktu Praktikum


Praktikum dilakukan pada hari Selasa tanggal 13 Desember 2019 pada
pukul 08.00 WIB sampai dengan 10.30 WIB yang berlokasi di Laboratorium
Farmakoterapi Universitas Muhammadiyah Prof. Dr. Hamka.
B. Judul Praktikum
Judul praktikum yang dilakukan adalah Rheumatoid Arthtritis
C. Kasus dan Pertanyaan
1. Kasus
Nyonya RA 57 tahun datang ke dokter mengeluh nyeri kaki dibagian lutut
kiri dan kanan, tidak ada bengkak, saat bangun dari duduknya terasa sangat nyeri
sehingga membutuhkan waktu beberapa menit baru bisa jalan setelah bangun dari
duduknya, saat berjalan tidak terasa nyeri. Nyeri yang dirasakan dimulai 2 tahun
lalu ketika jatuh dari motor.
Hasil Pemeriksaan laboraturium

No Parameter Hasil
1 Rematoid Faktor (RF) +
2 Anti MCVMCV (Mutated Citrunilated -
Vimentin)

Dari hasil anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium pasien di


diagnosa menderita Rhematoid Arthritis dan dokter meresepkan obat sebagai
berikut :
R/ Flamar gel No 1
S.2.d.d 1
R/ Tramadol 50 mg
Paracetamol 500 mg
Metilprednisolon 8 mg
Glukosamin 500 mg
S.3.d.d.1 caps No XXX
R/ Lansoprazole 30 mg No X
S.2.d.d.1 tab

2. Pertanyaan
Dari kasus diatas didapatkan pertanyaan seperti:
a. Jelaskan masalah apa yang dialami pasien?
b. Jelaskan tujuan terapi masing-masing obat diatas?
c. Apakah ada ADR pada pemberian obat diatas, jelaskam!
d. Jelaskan kenapa pasien menggunakan lansoprazole?
e. Apakah ada DRP pada kasus diatas, jelaskan!
f. Apakah pemantauan terapi yang dibutuhkan untuk pasien?
BAB IV

PEMBAHASAN

A. Analisis SOAP
1. Subjek
Pasien mengeluh nyeri kaki dibagian lutut kiri dan kanan, tidak ada bengkak,
saat bangun dari duduknya terasa sangat nyeri sehingga membutuhkan waktu
beberapa menit baru bisa jalan setelah bangun dari duduknya, saat berjalan tidak
terasa nyeri.
2. Objek

No Parameter Hasil
1 Rematoid Faktor (RF) +
2 Anti MCVMCV (Mutated Citrunilated -
Vimentin)

3. Assessment
a. Indikasi ada namun tidak ada obat imunosupressant
b. Penggunaan glukosamin, ada obat tidak ada indikasi untuk pasien RA
c. Duplikasi obat untuk analgetik paracetamol dan tramadol
d. Lansoprazole tidak tepat indikasi
4. Planning
a. Pemberian obat DMARD yaitu Metotreksat 7,5-25 mg/ minggu. MTX sering
dipilih awalnya karena data jangka panjang menunjukan hasil yang unggul
dibandingkan dengan obat yang lain (perhimpunan reumatologi indonesia,
2014. hal 11 dan 13) dan dengan penambahan kortikosteroidnya
methylprednisolon untuk perbaikan gejala (dipiro ed 9 halaman 26).
b. Penggunaan glukosamin tidak tepat indikasi untuk RA, karena diindikasikan
untuk pengobatan osteoarthtritis.
c. Penggunaan paracetamol dan tramadol tidak di rekomendasikan.
d. Tidak direkomendasikan penggunaan lansoprazole karena tidak ada riwayat
gastritis.
B. Pertanyaan dan Jawaban dari Kasus
1. Jelaskan masalah apa yang dialami pasien?
Pasien mengeluh nyeri kaki dibagian lutut kiri dan kanan, tidak ada bengkak,
saat bangun dari duduknya terasa sangat nyeri sehingga membutuhkan waktu
beberapa menit baru bisa jalan setelah bangun dari duduknya, saat berjalan tidak
terasa nyeri.

2. Jelaskan tujuan terapi masing-masing obat diatas?


Tujuan terapi dari ;
a. Na Diclofenac : digunakan untuk menghilangkan nyeri dengan menghambat
COX.
b. Tramadol : digunakan menghilangkan nyeri (sedang hingga berat) dengan
menekan system saraf pusat di otak.
c. Paracetamol : digunakan untuk menghilangkan nyeri (ringan hingga sedang)
dengan menghambat COX.
d. Metilprednisolon : digunakan untuk menghilangkan nyeri, antiinflamasi, dan
imunosupresi dengan menekan sistem imun.
e. Glukosamin : Suplemen untuk menambah cairan sendi.
f. Lansoprazole : mengatasi gangguan lambung.
(AHFS 2011 dan Basic Pharmacology and Drug Notes 2019)

3. Apakah ada Adverse Drug Reactioons (ADR) atau efek samping obat pada
pemberian obat diatas, jelaskan!
Pada pemberian obat golongan kortikosteroid jangka panjang dapat
menyebabkan :
a. Penghentian obat secara tiba-tiba setelah penggunaan yang lama dapat
menyebabkan insufisiensi adrenal akut dengan gejala demam, myalgia,
atralgia, dan malaise.
b. Komplikasi yang timbul akibat penggunaan lama adalah gagguan cairan dan
elektrolit, hiperglikemia, glikosuria, mudah mendapat infeksi, pasien tukak
peptic mungkin dapat mengalami perdarahan atau perforasi, osteoporosis,
miopati, psikosis, hiperkoagulabilitas darah (memudahkan terjadinya
thrombosis intravascular), habitus pasien cushing (moon face, buffalo hump,
timbunan lemak supraklavikular, obesitas sentral, ekstremitas kurus, striae,
ekimosis, akne, dan hirsutisme). (Basic Pharmacology and Drug Notes 2019)

4. Jelaskan kenapa pasien menggunakan lansoprazole?


Digunakan untuk mencegah terjadinya efek samping iritasi lambung oleh
metilprednisolone. (Basic Pharmacology and Drug Notes 2019)

5. Apakah ada DRP pada kasus diatas, jelaskan!


a. Indikasi ada namun tidak ada obat imunosupressant
b. Penggunaan glukosamin, ada obat tidak ada indikasi untuk pasien
RA
c. Duplikasi obat untuk analgetik paracetamol dan tramadol
d. Lansoprazole tidak tepat indikasi

6. Apakah pemantauan terapi yang dibutuhkan untuk pasien?


a. Perbaikan termasuk pengurangan pembengkakan sendi, dan penurunan nyeri
pada palpasi sendi.
b. Radiografi sendi periodik mungkin berguna dalam menilai perkembangan
penyakit.
c. Pemantauan laboratorium sangat kecil nilainya dalam menilai respons
terhadap terapi tetapi sangat penting untuk mendeteksi dan mencegah efek
obat yang merugikan.
d. Tanyakan pasien tentang adanya gejala yang mungkin terkait dengan obat
yang menimbulkan efek merugikan

C. Pembahasan

Pada terapi pasien tidak diberikan obat imunosupressant untuk mengurangi


serangan pada RA sehingga direkomendasikan DMARD. Pasien RA harus dengan
cepat diberikan DMARD kalua tidak akan dapat menyebabkan kelumpuhan.
DMARD yang digunakan yaitu non biologis karena mempunyai harga yang lebih
murah dan efek samping yang lebih sedikit dibandingkan dengan biologis
(monoclonal). Obat yang kami rekomendasikan yaitu Metothrexat (MTX) yaitu
obat lini pertama.

Dan pada alogaritma terapi juga dijelaskan bahwa pasien sudah mengalami
selama 2 tahun akan tetapi tidak mendapat skor yang cukup karena kurangnya
diagnosis dan hasil lab pasien. Maka dari itu treatment yang penyakit baru dan
pasien termasuk kedalam poor diagnosis dengan hasil RF positif dianjurkan
menggunakan DMARD yaitu metotreksat (Dipiro et al 2015. Hlm 28).

Pemberian glukosamin ada obat tidak ada indikasi karena glukosamin


merupakan suplemen atau vitamin sendi yang tidak diperlukan dalam mengurangi
gejala dan obat ini digunakan untuk pengobatan osteoarthritis. Pada resep kedua,
glukosamin tidak digunakan, dan penggunaan metilprednisolon tunggal
(Perhimpunan Reumatologi Indonesia 2014).

Metilprednisolon disamping mengurangi gejala juga sebagai


imunosupresan yang bisa membantu pengobatan dari RA. Pada asesmen yang
ketiga, penggunaan tramadol dan paracetamol mengalami duplikasi dimana
paracetamol sebagai anti nyeri ringan, dan tramadol dari anti nyeri untuk skala
sedang sampai berat. Sebenarnya tidak ada diagnosa pasien dengan tingkat rasa
nyerinya sehingga tidak bisa menentukan berapa skala nyerinya. Sehingga obat
anti nyeri tidak perlu diberikan karena sumber nyeri adalah dari RA yang dialami
pasien maka dari itu diberikan obat RA nya yang penting.

Kemudian pemberian lansoprazol tidak tepat indikasi. Tidak ada data


pasien yang mengatakan bahwa pasien mengalami iritasi lambung atau gastritis.
Lansoprazol disini digunakan karena pada terapi yang diberikan berasal dari
golongan kortikosteroid dimana efek sampingnya besar terhadap lambung.
Namun sebaiknya lansoprazol tidak digunakan karena tidak ada indikasi yang
menyertai. Bisa monitoring respon obat dan efek sampingnya jika diperlukan.
BAB V
PENUTUP

A. Kesimpulan
Pasien mengeluh nyeri kaki dibagian lutut kiri dan kanan, tidak ada
bengkak, saat bangun dari duduknya terasa sangat nyeri sehingga membutuhkan
waktu beberapa menit baru bisa jalan setelah bangun dari duduknya, saat berjalan
tidak terasa nyeri.
Pasien tersebut menderita Rheumatoid Artritis yang belum pasti karena
kurangnya pemeriksaan lab dan hasil diagnosa tidak lengkap. Akan tetapi
pengobatan dini yang tepat adalah penggunaan DMARD non biologis lini pertama
Metothrexat (MTX) dan penggunaan metilprednisolon untuk mengurangi gejala
pada pengobatan RA. Disamping itu glukosamin dan lansoprazol tidak digunakan
karena tidak tepat indikasi. Penggunaan lansoprazole digunakan jika pada saat
monitoring efek samping obat terjadi ulkus peptik akibat pemakaian
kortikosteroid.
DAFTAR PUSTAKA

AHFS. 2011. Drug Information Essential. American Society of Health-System


Pharmacist, Maryland.
American Phamrmacist Association. 2008-2009. Drug Information Handbook: A
Comprehensive Resourches for All Clinicans and Healthcare Proffesional. .
Dipiro, J et al. 2008. Pharmacotherapy 8th Edition. The McGrow-Hill companies,
US.
Dipiro, J et al. 2008. Pharmacotherapy handbook 9th Edition. The McGrow-Hill
companies, US.
Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2011. Pedoman Interpretasi Data
Klinik. Jakarta.
Matsuno, H., Nakamura, H., Katayama, K., et al. 2014. Effects of an Oral
Administration of Glucosamine-Chondroitin-Quercetin Glucoside on the
Synovial Fluid Properties in Patients with Osteoarthritis and Rheumatoid
Arthritis. Jurnal : Biosci. Biotechnol. Biochem, 73 (2).
McInnes, I.B., Schett, G. 2011. The Pathogenesis of Rheumatoid Arthritis. Jurnal:
N Engl J Med, vol. 365, pp. 2205-19
Perhimpunan Reumatologi Indonesia. 2014. Diagnosis dan Pengelolaan Atritis
Reumatoid. Perhimpunan Reumatologi Indonesia, Jakarta.

Anda mungkin juga menyukai