Anda di halaman 1dari 42

ASUHAN KEPERAWATAN GAWAT DARURAT

APLIKASI EVIDENCE BASED NURSING PRACTICE EFEKTIVITAS


DIAPHRAGMATIC BREATHING EXERCISE TERHADAP
PENINGKATAN SATURASI OKSIGEN PADA Tn. K DENGAN PPOK DI
INSTALASI GAWAT DARURAT (IGD) RS ROEMANI
MUHAMMADIYAH SEMARANG

Oleh :
Isti Chawari
G3A021220

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN DAN KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SEMARANG
2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit pada saluran
pernapasan, yang dapat mengakibatkan hambatan aliran udara dengan manifestasi
sesak napas dan gangguan oksigenasi jaringan serta diikuti dengan adanya
obstruksi jalan napas yang sifatnya menahun, berkurangnya kapasitas kerja dan
kekambuhan yang sering terjadi berulang menyebabkan menurunnya kualitas
hidup penderita (Khasanah et al., 2013). Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)
merupakan penyakit yang umum, dapat dicegah dan diobati, penyakit yang
ditandai dengan gejala pernapasan yang persisten dan keterbatasan aliran udara
karena jalan napas dan / atau kelainan alveolar biasanya disebabkan oleh pajanan
partikel yang signifikan atau gas berbahaya (Global Initiative for Chronic
Obstructive Lung Disease, 2017).
Menurut Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (2017)
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) saat ini merupakan penyebab utama
keempat kematian di dunia, namun diproyeksikan menjadi ke-3 penyebab utama
kematian pada tahun 2020. Lebih dari 3 juta orang meninggal karena COPD pada
tahun 2012 terhitung 6% dari semua kematian secara global. Prevalensi
morbiditas dan mortalitas terkait PPOK telah meningkat dari waktu ke waktu.
Terdapat 600 juta orang menderita PPOK di dunia dengan 65 juta orang menderita
PPOK derajat sedang hingga berat. Berdasarkan Hasil Riset Kesehatan Dasar
tahun 2013 menunjukan prevalensi PPOK di Indonesia sebesar
3,7% dan lebih tinggi pada laki-laki sebesar 4,2% sedangkan pada perempuan
3,3% (WHO, 2015).
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) merupakan salah satu dari
kelompok penyakit yang tidak menular akan tetapi menjadi masalah kesehatan
masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya usia angka harapan
hidup dan semakin tingginya pajanan faktor resiko, seperti jumlah perokok yang
semakin meningkat dan juga pencemaran udara didalam ruangan maupun diluar
ruangan (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2015). Penyebab salah satu dari
PPOK adalah asap tembakau (perokok aktif), perubahan gaya hidup karena
pembangunan ekonomi juga mempengaruhi peningkatan penggunaan tembakau di
negara-negara berpenghasilan tinggi. Kematian karena PPOK terus meningkat
dari tahun ke tahun (WHO, 2015).
Masalah utama dan juga alasan paling sering yang menyebabkan penderita
PPOK mencari pengobatan adalah sesak napas dan batuk yang diderita yang
bersifat persisten dan progresif (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2015).
Karakteristik PPOK adalah kecenderungan untuk eksaserbasi. Eksaserbasi PPOK
didefinisikan sebagai peristiwa akut yang ditandai dengan semakin memburuknya
kondisi penyakit pasien dari kondisi sebelumnya dan menyebabkan perubahan
dalam pengobatannya (Global Initiative for Chronic Obstructive Lung
Disease, 2017).
Pada pasien dengan PPOK, hal yang terjadi adalah penurunan saturasi
oksigen karena suplai okesigen kejaringan paru berkurang sehingga perfusi
jaringan ke seluruh tubuh juga berkurang. Penurunan saturasi oksigen yang terjadi
pada pasien PPOK dapat dipantau menggunakan alat oksimetri. Salah satu upaya
untuk meningkatkan saturasi oksigen dengan cara melatih otot pernapasan,
misalnya menggunakan teknik diagfragmatic breathing exercise. Banyak tenaga
kesehatan yang belum tahu dan belum menerapkan diagfragmatic breathing
exercise. Latihan diagfracmatic breathing exercise adalah latihan pernapasan
menggunakan otot diagfragma untuk melatih pernapasan pasien agar dapat
menggunakan otot otot pernafasan secara maksimal. Penggunaan otot-otot
pernapasan secara maksimal dapat melatih pasien untuk bernapas lebih maksimal
saat sesak napas datang.
Berdasarkan latar belakang di atas, maka penulis tertarik menyusun laporan
EBN yang berjudul “aplikasi evidence based nursing practice efektivitas
diagfragmatic breathing exercise terhadap peningkatan saturasi oksigen pada Tn.
K dengan PPOK di Ruang IGD RS Roemani Muhammadiyah Semarang.”
B. Rumusan masalah
Berdasarkan latar belakang diatas bagaimanakah efektivitas EBN
diagfragmatic breating exerxice terhadap peningkatan saturasi oksigen pada Tn. K
dengan PPOK di Ruang IGD RS Roemani Muhammadiyah Semarang.
C. Tujuan penulisan
a. Tujuan umum
Secara umum penulisan ini bertujuan untuk melaporkan pengelolaan
kasus dan pengaruh aplikasi evidence based practice nursing efektivitas
diagfragmatic breathing exercise terhadap peningkatan saturasi oksigen
pada Tn.K dengan PPOK di ruang IGD RS Roemani Muhammadiyah
Semarang.
b. Tujuan khusus
Tujuan khusus penulisan makalah ini adalah :
a. Memahami konsep dasar PPOK
b. Memahami asuhan keperawatan pada pasien PPOK
c. Melakukan asuhan keperawatan pada pasien PPOK
d. Mampu menerapkan aplikasi EBN diagfragmatic breathing exercise
pada pasien PPOK
e. Mampu mengevaluasi penerapan aplikasi EBN diagfragmatic
breathing exercise.
D. Metode Penulisan
1. Metode kepustakaan
Yaitu dengan mengumpulkan referensi dari beberapa buku seperti
buku keperawatan medikal bedah, sdki, dll.
2. Media internet
Yaitu bersumber dari internet yang relevan dengan asuhan
keperawatan diabetus melitus dan berbagai jurnal.
E. Sistematika Penulisan
Berdasarkan dari hasil penyusunan ini, sistematika penulisan yang dimulai
dari :
BAB I : Pendahuluan
Yang terdiri dari, latar belakang, tujuan penulisan, metode penulisan, dan
sistematika penulisan.
BAB II : Konsep Dasar
Yang terdiri dari pengertian, etiologi, patofisiologi, manifestasi klinis,
penatalaksanaan, pengkajian, pathways, intervensi dan rasional.
BAB III : Resume Asuhan Keperawatan
Yang terdiri dari biodata, riwayat kesehatan, analisa data, diagnose
keperawatan, dan intervensi keperawatan
BAB IV : Aplikasi evidence based nursing riset
BAB V : Pembahasan
BAB VI : Penutup
BAB II
KONSEP DASAR

A. Pengertian

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) atau Chronic Obstructive


Pulmonary Disease (COPD) adalah suatu penyumbatan menetap pada
saluran pernapasan yang disebabkan oleh emfisema dan bronkitis kronis.
Menurut American College of Chest Physicians/American Society, (2015).
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah sekolompok penyakit paru
menahun yang berlangsung lama dan disertai dengan peningkatan resistensi
terhadap aliran udara (Padila, 2012). Sekelompok penyakit paru tersebut
adalah bronkitis kronis, emfisema paru-paru dan asma bronchial (Smeltzer,
2011).
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru yang
dapat dicegah dan diobati, ditandai oleh hambatan aliran udara, bersifat
progresif, dan berhubungan dengan respon inflamasi paru terhadap partikel
atau gas yang beracun / berbahaya (Antariksa B, Djajalaksana S,
Pradjanaparamita, Riyadi J, Yunus F, Suradi, dkk 2011). Penyakit Paru
Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang umum, dapat dicegah dan
dapat ditangani yang memiliki karakteristik gejala pernafasan yang menetap
dan keterbatasan aliran udara. Hal ini dikarenakan abnormalitas saluran
napas dan/atau alveolus yang biasanya disebabkan oleh pajanan gas atau
partikel berbahaya (GOLD, 2017).
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merujuk pada beberapa hal
yang menyebabkan terganggunya pergerakan udara masuk dan keluar paru.
Meskipun beberapa jenis seperti, bronkitis obstruktif, emfisema, dan asma
dapat muncul sebagai penyakit tunggal, sebagian besar bertumpangan
dalam manifestasi klinisnya. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) dapat
terjadi sebagai hasil dari peningkatan resistensi sekunder terhadap edema
mukosa bronkus atau kontraksi otot polos. Hal tersebut juga dapat
diakibatkan oleh penurunan kelenturan, seperti pada emfisema. Kelenturan
(elastic recoil) adalah kemampuan mengempiskan paru dan
menghembuskan nafas secara apasif, serupa dengan kemampuan karet
kembali ke bentuk semula setelah diregangkan. Penurunan kelenturan dapat
dibayangkan sebagai pita karet yang lemah dan telah diregangkan melebihi
batas kemampuannya, sehingga akan berakibat penurunan kemampuan paru
untuk mengosongkan isinya (Black, 2014).
B. Etiologi

Merokok merupakan resiko utama terjadinya Penyakit Paru Obstruktif


Kronik (PPOK). Sejumlah zat iritan yang ada didalam rokok menstimulasi
produksi mukus berlebih, batuk, merusak fungsi silia, menyebabkan
inflamasi, serta kerusakan bronkiolus dan dinding alveolus. Faktor resiko
lain termasuk polusi udara, perokok pasif, riwayat infeksi saluran nafas saat
anak-anak, dan keturunan. Paparan terhadap beberapa polusi industri tempat
kerja juga dapat meningkatkan resiko terjadinya Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK) (Black, 2014). Menurut Irwan (2016) etiologi Penyakit
Paru Obstruktif Kronik (PPOK) sebagai berikut :
a. Kebiasaan merokok merupakan satu-satunya penyebab
utama
b. Riwayat terpajan polusi udara di lingkungan dan tempat kerja
c. Hiperaktivitas bronkus
d. Riwayat infeksi saluran nafas bawah berulang
e. Defisiensi antitrypsin alfa – 1, yang umumnya jarang terdapat di
Indonesia
f. Usia
Perjalanan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) yang khas adalah
lamanya dimulai dari usia 20-30 tahun dengan paparan rokok atau
batuk pagi disertai pembentukan sedikit mukoid (Pedila, 2012)
g. Selain merokok, faktor paparan lain yang dapat menyebabkan terjadinya
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah polusi udara hasil
rumah tangga seperti asap dapur, terutama pada dapur ventilasi buruk
dan terkena terutama adalah kaum perempuan. Selain asap dapur, debu
dan iritan lain seperti asap kendaraan bermotor juga diduga menjadi
penyebab karena partikel-partikel yang dikandung dapat menyebabkan
kerja paru menjadi lebih berat, meskipun dalam jumlah yang relatif
kecil (GOLD, 2017).
C. Patofisiologi

PPOK merupakan kombinasi antara penyakit bronkitis obstruksi


kronis, emfisema, dan asma. Menurut Black (2014), patologi penyakit
tersebut adalah :
a. Bronkitis Obstruksi Kronis

Bronkitis obstruksi kronis merupakan akibat dari inflamasi bronkus,


yang merangsang peningkatan produksi mukus, batuk kronis, dan
kemungkinan terjadi luka pada lapisan bronkus. Berbeda dengan
bronkitis akut, manifestasi klinis bronkitis kronis berlangsung
minimal tiga bulan selama satu tahun dalam dua tahun berturut-turut.
Bila pasien memiliki resiko FEV1 (Forced expiratory volume in one
second) / FVC (Force vital capacity) kurang dari 70% setelah
pemberian bronkodilator dan bronchitis kronis, maka pasien tersebut
dapat didiagnosa bronkitis obstruktif kronis, yang menunjukkan
pasien memiliki kombinasi obstruksi paru dan batuk kronis. Bronkitis
kronis ditandai dengan hal-hal berikut :
a. Peningkatan ukuran dan jumlah kelenjar submukosa pada bronkus
yang menyebabkan peningkatan produksi mukus.
b. Peningkatan jumlah sel goblet yanag juga memproduksi mukus.
c. Terganggunya fungsi silia, sehingga menurunkan pembersihan
mukus.
Kemampuan pertahanan mukosilier paru berkurang, sehingga
paru akan lebih mudah terinfeksi. Ketika terjadi infeksi, produksi
mukus akan menjadi lebih banyak, serta dinding bronkus akan
meradang dan menebal. Bronkitis kronis awalnya hanya mengenai
bronkus besar, namun pada akhirnya seluruh saluran nafas akan
terpengaruh. Mukus kental dan inflamasi bronkus akan menghalangi
jalan nafas, terutama saat ekspirasi. Jalan nafas yang tertutup
menyebabkan udara terjebak di bagian bawah paru. Obstruksi ini
menyebabkan ventilasi alveolus berkurang dan akhirnya
mempengaruhi terhadap turunnya PaO2. Selanjutnya akan terjadi
polisitemia (produksi eritrosit berlebih), sebagai kompensasi dari
hipoksemia.

b. Emfisema
Emfisema adalah gangguan yang berupa terjadinya kerusakan
pada dinding alveolus. Kerusakan tersebuat menyebabkan ruang
udara terdistensi secara permanen. Akibatnya aliran udara akan
terhambat, tetapi bukan karena produksi mukus yang berlebih seperti
bronchitis kronis. Beberapa bentuk dari emfisema dapat terjadi akibat
rusaknya fungsi pertahanan normal pada paru melawan enzim-enzim
tertentu. Peneliti menunjukkan enzim protease dan elastase dapat
menyerang dan menghancurkan jaringan ikat paru. Ekspirasi yang sulit
pada penderita emfisema merupakan akibat dari rusaknya dinding di
antara alveolus (septa), kolaps parsial pada jalan nafas, dan hilangnya
kelenturan alveolus untuk mengembang dan mengempis. Dengan
kolapsnya alveolus dan septa, terbentuk kantong udara di antara
alveoli (belb) dan di dalam parenkim paru (bula). Proses tersebut
menyebabkan peningkatan ruang rugi ventilasi (ventilator dead space),
yaitu area yang tidak berperan dalam pertukaran udara maupun darah.
Usaha untuk bernafas akan meningkat karena jaringan fungsional paru
untuk pertukaran oksigen dan karbondioksida berkurang. Emfisema
menyebabkan kerusakan pada pembuluh darah kapiler paru, serta
penurunan perfusi dan ventilasi oksigen lebih jauh.
c. Asma
Asma melibatkan proses peradangan kronis yang menyebabkan
edema mukosa, sekresi mukus, dan peradangan saluran nafas. Ketika
orang dengan asma terpapar alergen ekstrinsik dan iritan (misalnya :
debu, serbuk sari, asap, tungau, obat-obatan, makanan, infesi saluran
napas) saluran napasnya akan meradang yang menyebabkan kesulitan
napas, dada terasa sesak, dan mengi.
Hambatan aliran udara yang progresif memburuk merupakan
perubahan fisiologi utama pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK) yang disebabkan perubahan saluran nafas secara anatomi di
bagian proksimal, perifer, parenkim dan vaskularisasi paru
dikarenakan adanya suatu proses peradangan atau inflamasi yang
kronik dan perubahan struktural pada paru. Dalam keadaan normal
radikal bebas dan antioksidan berada dalam keadaan dan jumlah yang
seimbang, sehingga bila terjadi perubahan pada kondisi dan jumlah ini
maka akan menyebabkan kerusakan di paru. Radikal bebas
mempunyai peran besar menimbulkan kerusakan sel dan menjadi dasar
dari berbagai macam penyakit paru. Pajanan terhadap faktor pencetus
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) yaitu partikel noxius yang
terhirup bersama dengan udara akan memasuki saluran pernafasan dan
mengendap dan terakumulasi. Partikel tersebut mengendap pada
lapisan mukus yang melapisi mukosa bronkus sehingga menghambat
aktivitas sillia. Akibatnya pergerakan cairan yang melapisi mukosa
berkurang dan menimbulkan iritasi pada sel mukosa sehingga
merangsang kelenjar mukosa. Kelenjar mukosa akan melebar dan
terjadi hiperplasia sel goblet sampai produksi mukus yang akan
berlebih. Produksi mukus yang berlebihan menimbulkan infeksi serta
menghambat proses penyembuhan, keadaan ini merupakan suatu siklus
yang menyebabkan terjadinya hipersekresi mukus. Manifestasi klinis
yang terjadi adalah batuk kronis yang produktif (Antariksa B dkk,
2011).
Dampak lain yang ditimbulkan partikel tersebut dapat berupa
rusaknya dinding alveolus. Kerusakan yang terjadi berupa perforasi
alveolus yang kemudian mengakibatkan bersatunya alveolus satu dan
yang lain membentuk abnormal large-space. Selain itu, terjadinya
modifikasi fungsi anti-protase pada saluran pernafasan yang berfungsi
untuk menghambat neutrofil, menyebabkan timbulnya kerusakan
jaringan interstitial alveolus. Seiring dengan terus terjadinya iritasi di
saluran pernafasan makan lama-kelamaan akan menyebabkan erosi
epitel hingga terbentuknya jaringan parut pada saluran nafas. Selain itu
juga dapat menimbulkan metaplasia skuamosa (sel yang berada di
permukaan dan lapisan tengah kulit) dan penebalan lapisan skuamosa
yang dapat menimbulkan stenosis dan obstruksi irreversibel dari
saluran nafas. Walaupun tidak bergitu terlihat seperti pada penderita
penyakit asma, namun pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK) juga dapat terjadi hipertrofi otot polos dan hiperaktivitas
bronkus yang menyebabkan masalah gangguan sirkulasi udara pada
sisitem pernafasan (GOLD, 2017).
Pada bronkitis kronis akan terdapat pembesaran kelenjar mukosa
bronkus, metaplasia sel goblet, inflamasi saluran pernafasan, hipertrofi
otot polos serta distorsi yang diakibatkan fibrosis. Sedangkan pada
emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus
terminal, yang disertai dengan kerusakan dinding alveoli yang
menyebabkan berkurangnya daya renggang elastisitas paru-paru.
Terdapat dua jenis emfisema yang relevan terhadap Penyakit Paru
Obstruktif Kronik (PPOK), yaitu emfisema pan-asinar dan
emfisema sentri-asimar. Pada jenis pan-asinar kerusakan pada asinar
bersifat difus dan dihubungkan dengan proses penuaan serta
pengurangan luas permukaan alveolus. Pada jenis sentri-asinar
kelainan terjadi bronkiolus dan daerah perifer asinar, yang banyak
disebabkan oleh asap rokok (Sudoyo AW, 2017).
D. Manifestasi klinik
Menurut Putra (2013) manifetasi klinis pasien Penyakit Paru
Obstruktif Kronik (PPOK) adalah : Gejala dari Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK) adalah seperti susah bernapas, kelemahan badan, batuk
kronik, nafas berbunyi, mengi atau wheezing dan terbentuknya sputum
dalam saluran nafas dalam waktu yang lama. Salah satu gejala yang paling
umum dari Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah sesak nafas atau
dyosnea. Pada tahap lanjutan dari Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK),
dypsnea dapat memburuk bahkan dapat dirasakan ketika penderita
sedang istirahat atau tidur.
Manifestasi klinis utama yang pasti dapat diamati dari penyakit ini
adalah sesak nafas yang berlangsung terus menerus. Menurut Chronic
Obstructive Pulmonary Disease (COPD) Internasional (2012), pasien
dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) mengalami perubahan
bentuk dada. Perubahan bentuk yang terjadi yaitu diameter bentuk dada
antero-posterior dan transversal sebanding atau sering disebut barrel chest.
Kesulitan bernafas juga terjadi pada pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK) yaitu bernafas dengan menggunakan otot bantu pernafasan dalam
jangka waktu yang lama, maka akan terjadi hipertropi otot dan pelebaran di
sela-sela iga atau daerah intercostalis. Bila telah mengalami gagal jantung
kanan, tekanan vena jugularis meninggi dan akan terjadi edema pada
ekstremitas bagian bawah. Hal ini menandakan bahwa terlah terjadi
penumpukan cairan pada tubuh akibat dari gagalnya jantung memompa
darah dan sirkulasi cairan ke seluruh tubuh. Palpasi tektil fremitus tada
emfisema akan teraba lemah, perkusi terdengar suara hipersonor, batas
jantung mengecil, letak diafragma rendah, dan hepar terdorong ke
bawah. Bunyi nafas vesikuler normal atau melemah, ronkhi pada waktu
nafas biasa atau ekspirasi paksa. Ekspirasi akan terdengar lebih panjang dari
pada inspirasi dan bunyi jangtung juga terdengar menjauh.
E. Komplikasi
1. Infeksi saluran napas
2. Pneumotorax spontan
3. Dispnue
4. Hipoksemia
5. Asidosis respiratorik
F. Pemeriksaan penunjang

1) Chest X-ray : dapat menunjukkan hiperinflasi paru-paru, diafragma


mendatar, peningkatan ruang udara retrosternal, penurunan tanda
vaskuler/bullae (emfisema), peningkatan bentuk bronkovaskuler
(bronchitis), dan normal ditemukan saat periode remisi (asma)
(Soemantri, 2008).
2) Uji Faal Paru Dengan Spirometri dan Bronkodilator (post-
bronchodilator) : berguna untuk menegakkan diagnosis, melihat
perkembangan penyakit, dan menentukan prognosis pasien.
Pemerikasaan ini penting untuk memperlihatkan secara objektif adanya
obstruktif saluran pernafasan dalam berbagai tingkat. Spirometri
digunakan untuk mengukur volume maksimal udara yang dikeluarkan
setelah inspirasi maksimal atau dapat disebut forced vital capacity
(FVC). Spirometri juga berfungsi untuk mengukur volume udara yang
dikeluarkan pada satu detik pertama atau disebut juga forced
expiratory volueme in 1 second (FEV1). Rasio dari kedua pengukuran
inilah (FEV1/FVC) yang sering digunakan untuk menilai fungsi paru-
paru. Penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) secara khas
akan menunjukkan penurunan dari FEV1 dan FVC serta nilai dari rasio
pengukuran FEV1/FVC <70%, maka ini menunjukkan adanya
pembatasan aliran udara yang tidak sepenuhnya reversibel. Pengujian
ini dilakukan pada saat penderita atau pasien Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK) pada masa stabil atau tidak dalam masa ekserbasi akut.
Dan hasil pemeriksaan spirometri setelah pemberian bronkodilator
dapat digunakan untuk menentukan klasifikasi penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK) berdasarkan derajat obstruksinya. Klasifikasi penyakit
paru ini berdasarkan GOLD (2017) sebagai berikut:
1. Stage I (Ringan) : pemeriksaan spirometri post-bronchodilator
menunjukkan hasil rasio FEV1/FVC <70% dan nilai FEV1 ≥80%
dari nilai prediksi.
2. Stage II (Sedang) : rasio FEV1/FVC <70% dengan perkiraan nilai
FEV1 diantara 50-80% dari nilai prediksi.
3. Stage III (Berat) : rasio FEV1/FVC <70% dan nilai FEV1
menunjukkan diantara 30-50% dari nilai prediksi.
4. Stage IV (Sangat Berat) : rasio FEV1/FVC <70% dan nilai FEV1
diperkirakan kurang dari 30% ataupun kurang dari 50% dengan
kegagalan respiratorik kronik.
3) TLC (Total Lung Capacity) : meningkat pada bronchitis berat dan
biasanya pada asma, menurun pada penderita emfisema (Soemantri,
2008).
4) Kapasitas Inspirasi : menurun pada penderita emfisema (Soemantri,
2008).
ABGs : menunjukkan proses penyakit kronis, sering kali PO 2 menurun
dan PCO2 normal meningkat (pada bronchitis kronis dan emfisema).
Sering kali menurun pada asma dengan pH normal atau asidosis,
alkaiosis respiratori ringan sekunder akibat terjadinya hiperventilasi
(emfisema sedang dan asma) (Soemantri, 2008).
5) Bronkogram : dapat menunjukkan dilatasi dari bronkus saat inspirasi,
kolaps bronchial pada tekanan ekspirasi (emfisema), dan pembesaran
kelenjar mukus (bronchitis) (Muttaqin, 2014).
6) Pemeriksaan Darah Lengkap : dapat menggambarkan adanya
peningkatan hemoglobin (emfisema berat) dan peningkatan eosinofil
(asma) (Muttaqin, 2014).
7) Kimia Darah : menganalisis keadaan alpha 1-antitypsin yang
kemungkinannya berkurang pada emfisema primer (Muttaqin, 2014).
8) Sputum Kultur : pemeriksaan pada bakteriologi gram pada sputum
pasien yang diperlukan untuk mengetahui adanya pola kuman dan
untuk menentukan jenis antibiotik yang paling tepat. Infeksi saluran
pernafasan yang berulang merupakan penyebab dari ekserbasi akut
pada penderita Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) (Muttaqin,
2014).
9) Pemeriksaan penunjang lainnya meliputi pemeriksaan ECG (Elektro
Kardio Graph) yang difungsikan untuk mengetahui adanya komplikasi
yang terjadi pada organ jantung yang ditandai oleh kor pulmonale atau
hipertensi pulmonal. Pemeriksaan lain yang dapat dilakukan namun
jarang dilakukan yaitu uji latih kardiopulmoner, uji provokasi brunkus,
CT-scan resolusi tinggi, ekokardiografi, dan pemeriksaan kadar alpha
1-antitrypsin (Putra PT dkk, 2013).
G. Penatalaksanaan

Menurut Black (2014) penatalaksanaan non medis Penyakit Paru


Obstruktif Kronik (PPOK) meliputi :
a. Membersihkan sekret bronkus
Kebersihan paru diperlukanan untuk mengurangi resiko infeksi. Cara
untuk membersihkan sekret adalah dengan mengeluarkannya, dengan
cara :
b. Batuk efektif
Batuk membantu memecah sekret dalah paru-paru sehingga lendir
dapat dikeluarkan atau diludahkan. Caranya pasien diposisikan duduk
tegak dan menghirup nafas dalam lalu setelah 3 kali nafas dalam, pada
ekspirasi ketiga nafas dihembuskan dan dibatukkan.

c. Fisioterapi dada
Tindakan fisioterapi dada menurut Pangastuti, HS dkk (2019) meliputi
: perkusi, vibrasi, dan postural drainase. Tujuan dari intervensi ini
adalah untuk membantu pasien bernafas dengan lebih bebas dan
membantu dalam pembersihan paru dari sekret yang menempel di
saluran nafas. Tindakan ini dilakukan bersamaan dengan tindakan lain
untuk lebih mempermudah keluarnya sekret, contoh : suction, batuk
efektif, pemberian nebulizer dan pemberian obat ekspektoran.
Sebelum pasien dilakukan fisioterapi, terlebih dahulu evalusai kondisi
pasien dan tentukan letak dimana sekret yang tertahan untuk
mengetahui bagian mana yang akan dilakukan fisioterapi dada.

d. Bronkodilator
Bronkidilator merupakan pengobatan yang dapat meningkatkan FEV1
dan atau mengubah variabel spirometri. Obat ini bekerja dengan
mengubah tonus otot polos pada saluran pernafasan dan meningkatkan
refleks bronkodilatasi pada aliran ekspirasi dibandingkan dengan
mengubah elastisitas paru. Bronkodilator berkerja dengan menurunkan
hiperventilasi saat istirahat dan beraktivitas, serta akan memperbaiki
toleransi tubuh terhadap aktivitas. Pada kasus Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK) kategori berat atau sangat berat sulit untuk
memprediksi perbaikan FEV1 yang diukur saat istirahat.

e. Mendorong olahraga
Semua pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) mendapat
keuntungan dengan program olahraga, yaitu meningkatkan toleransi
tubuh terhadap aktvitas, menurunnya dypsnea dan kelelahan. Olahraga
tidak memperbaiki fungsi paru, tetapi olahraga dapat memperkuat otot
pernafasan.

f. Meningkatkan kesehatan secara umum


Cara lain adalah dengan memperbaiki pola hidup pasien Penyakit Paru
Obstruktif Kronik (PPOK), yaitu dengan menghindari rokok, debu
dan bahan kimia akibat pekerjaan, serta polusi udara. Serta didukung
dengan asupan nutrisi yang adekuat.
g. Latihan otot pernapasan diagfragma
Latihan otot diagfragma melatih kekuatan-kekuatan otot pernapasan
agar berkembang maksimal.
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
1. Keluhan utama

Keluhan utama yang biasanya dialami oleh penderita asma yaitu batuk,

peningkatan sputum, dispnea (bisa berhari-hari atau berbulan-bulan,

wheezing, dan nyeri dada (Somantri, 2009).

2. Riwayat penyakit sekarang

Riwayat penyakit sekarang yang biasa timbul pada pasien asma yaitu

pasien mengalami sesak nafas, batuk berdahak, biasanya pasien sudah

menderita penyakit asma, dalam keluarga ada yang menderita penyakit

asma (Ghofur A, 2008).

3. Riwayat kesehatan dahulu

Terdapat data yang menyertakan adanya faktor predisposisi penyakit

ini, diantaranya yaitu riwayat alergi dan penyakit saluran napas bawah

(Somantri, 2009). Perawat dapat juga menanyakan tentang riwayat

penyakit pernafasan pasien.

4. Riwayat merokok
Merokok merupakan penyebab utama kanker paru-paru, bronkitis
kronis dan asma. Semua keadaan itu sangat jarang menimpa non

perokok. Pengobatan sat ini, alergi, dan tempat tinggal. Anamnesis

harus mencangkup hal-hal : berapa lama merokok, sejak kapan

5. Riwayat Kesehatan Keluarga


Klien dengan asam sering kali ditemukan didapatkan adanya riwayat
penyakit genetik atau keturunan, tetapi pada beberapa klien lainya tidak
ditemukan adanya penyakit yang sama dengan anggota keluarganya
(Somantri, 2009).
6. Primary Survey (ABCDE)
Airway. Tanda-tanda objektif-sumbatan Airway. Look (lihat) apakah
penderita mengalami agitasi atau kesadarannya menurun. Agitasi
memberi kesan adanya hipoksia, dan penurunan kesadaran memberi
kesan adanya hiperkarbia. Sianosis menunjukkan hipoksemia yang
disebabkan oleh kurangnya oksigenasi dan dapat dilihat dengan melihat
pada kuku-kuku dan kulit sekitar mulut. Lihat adanya retraksi dan
penggunaan otot-otot napas tambahan yang apabila ada, merupakan
bukti tambahan adanya gangguan airway. Airway (jalan napas) yaitu
membersihkan jalan napas dengan memperhatikan kontrol servikal,
pasang servikal kollar untuk immobilisasiservikal sampai terbukti tidak
ada cedera servikal, bersihkan jalan napas dari segala sumbatan, benda
asing, darah dari fraktur maksilofasial, gigi yang patah dan lain-lain.
Lakukan intubasi (orotrakeal tube) jika apnea, GCS (Glasgow Coma
Scale) < 8, pertimbangan juga untuk GCS 9 dan 10 jika saturasi oksigen
tidak mencapai 90%. Listen (dengar) adanya suara-suara abnormal.
Pernapasan yang berbunyi (suara napas tambahan) adalah pernapasan
yang tersumbat. Feel (raba).
Breathing. Tanda-tanda objektif-ventilasi yang tidak adekuat. Look
(lihat) naik turunnya dada yang simetris dan pergerakan dinding dada
yang adekuat. Asimetris menunjukkan pembelatan (splinting) atau flail
chest dan tiap pernapasan yang dilakukan dengan susah (labored
breathing) sebaiknya harus dianggap sebagai ancaman terhadap
oksigenasi penderita dan harus segera dievaluasi. Evaluasi tersebut
meliputi inspeksi terhadap bentuk dan pergerakan dada, palpasi
terhadap kelainan dinding dada yang mungkin mengganggu ventilasi,
perkusi untuk menentukan adanya darah atau udara ke dalam paru.
Listen (dengar) adanya pergerakan udara pada kedua sisi dada.
Penurunanatau tidak terdengarnya suara napas pada satu atau
hemitoraks merupakantanda akan adanya cedera dada. Hati-hati
terhadap adanya laju pernapasan yang cepat-takipneu mungkin
menunjukkan kekurangan oksigen. Gunakan pulse oxymeter. Alat ini
mampu memberikan informasi tentangsaturasi oksigen dan perfusi
perifer penderita, tetapi tidak memastikan adanyaventilasi yang
adekuat.
Circulation dengan kontrol perdarahan. Respon awal tubuh terhadap
perdarahan adalah takikardi untukmempertahankan cardiac output
walaupun stroke volum menurun. Selanjutnya akan diikuti oleh
penurunan tekanan nadi (tekanan sistolik-tekanan diastolik). Jika aliran
darah ke organ vital sudah dapat dipertahankan lagi, maka timbullah
hipotensi. Perdarahan yang tampak dari luar harus segera dihentikan
dengan balut tekanpada daerah tersebut. Ingat, khusus untuk otorrhagia
yang tidak membeku, jangan sumpal MAE (Meatus Akustikus
Eksternus) dengan kapas atau kain kasa, biarkan cairan atau darah
mengalir keluar, karena hal ini membantu mengurangi TTIK (Tekanan
Tinggi Intra Kranial). Semua cairan yang diberikan harus dihangatkan
untuk menghindari terjadinya koagulopati dan gangguan irama jantung.
Disability. GCS setelah resusitasi. Bentuk ukuran dan reflek cahaya
pupil. Nilai kuat motorik kiri dan kanan apakah ada parese atau tidak.
Expossure dengan menghindari hipotermia. Semua pakaian yang
menutupi tubuh penderita harus dilepas agar tidak ada cedera
terlewatkan selama pemeriksaan. Pemeriksaan bagian punggung harus
dilakukan secara log-rolling dengan harus menghindari terjadinya
hipotermi (America College of Surgeons ; ATLS).
7. Pemeriksaan fisik

1. Keadaan umum pada klien PPOK yaitu composmentis, lemah,


dan sesak nafas.
2. Pemeriksaan kepala dan muka
Inspeksi :Simetris, warna rambut hitam atau putih, tidak ada lesi.
Palpasi : tidak ada nyeri tekan
3. Pemeriksaan telinga

Inspeksi: simetris, tidak ada lesi, tidak ada benjolan

.. Palpasi : tidak ada nyeri tekan

4. Pemeriksaan mata

Inspeksi: simetris, tidak ada lesi, tidak ada oedema, konjungtiva

merah muda, sclera putih

5. Pemeriksaan hidung

Inspeksi: simetris, terdapat bulu hidung, tidak ada lesi, tidak ada

kotoran hidung

Palpasi: tidak nyeri tekan

6. Pemeriksaan mulut dan faring

Inspeksi: mukosa bibir lembab, tidak ada lesi disekitar mulut,

biasanya ada kesulitan untuk menelan

7. Pemeriksaan leher

Inspeksi : simetris, tidak ada peradangan

Palpasi : tidak ada nyeri tekan, tidak ada pembesaran vena

jagularis dan kelenjar tiroid

8. Pemeriksan payudara dan ketiak


Inspeksi : ketiak tumbuh bulu/rambut, tidak ada lesi, payudara

simetris, tidak ada benjolan

Palpasi : tidak ada nyeri tekan pada payudara

9. Pemeriksaan thoraks
Pemeriksaan paru
Inspeksi : batuk produktif non produktif, terdapat sputum
yang kental dan sulit dikeluarkan, bernafas menggunakan otot- otot
tambahan, ada sianosis (Somantri, 2009). Pernafasan cuping
hidung, penggunaan oksigen, sulit bicara karena sesak nafas
(Marelli, 2008).
Palpasi : bernafas menggunakan otot-otot nafas tambahan
(Somantri, 2008). Takikardi akan timbul diawal serangan,
kemudian diikuti dengan sianosis sentral (Djojodibroto, 2016).
Perkusi : lapang paru yang hipersonor pada perkusi
(Kowalak, Welsh, dan Mayer, 2012).
Auskultasi : respirasi terdengar kasar dan suara mengi (wheezing)
pada fase respirasi semakin menonjol (Somantri, 2009).
Pemeriksaan jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak tampak
Palpasi : ictus cordis terletak di ICS V mid
calcicula sinistra
Perkusi : suara pekak
Auskultasi : BJ 1 dan BJ 2 terdengar tunggal, tidak ada suara
tambahan
10. Pemeriksaan Abdomen
Inspeksi : Tidak ada lesi, warna kulit merata.
Auskultasi: Terdengar bising usus 12x/menit.
Palpasi : Tidak ada pembesaran abnormal, tidak ada
nyeri tekan.
Perkusi : tympani
11. Pemeriksaan integument
Inspeksi : struktur kulit halus, warna kulit sawo
matang, tidak ada benjolan
B. Diagnosa keperawatan dan intervensi keperawatan
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi
jalan napas (D0001)
Bersihan jalan napas (L.01001)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x 24 jam
membersihkan jalan napas agar dapat mempertahankan jalan napas
tetap paten dengan kriteria hasil :
1. Batuk efektif meningkat
2. Produksi sputum menurun
3. Whezing ronchki menurun
4. Dispneu menurun
5. Frekuensi napas membaik
6. Pola napas membaik
Manajemen jalan napas (I.01011)
Observasi
- Monitor pola napas (frekuensi, kedalaman, usaha napas)
- Monitor bunyi napas tambahan (ronkhi, whezing)
- Monitor sputum
Terapiutik
- Posisikan semifowler- fowler
- Berikan minum hangat
- Lakukan fisioterapi dada
- Berikan oksigen
Edukasi
- Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi
- Kolaborasi dalam pemberian bronkodilator
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya napas
(D0005)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam pola napas
membaik (L01004) dengan kriteria hasil :
- Dispneu menurun
- Pola napas membaik
- Frekuensi napas membaik

Pemantauan respirasi (I.01014)

Observasi

- Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas


- Monitor pola napas (bradipneu, takipneu, hiperventilasi, kusmaul,
cheyne stoke)
- Monitor kemampuan batuk efektif
- Monitor adanya produksi sputum
- Monitor saturasi o2
- Monitor hasil x ray thorax
- Monitor AGD

Terapiutik

- Atur interval waktu pemantuan respirasi


- Dokumentasi hasil pemantauan
- Latih pernapasan diagfragma

Edukasi

- Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan


- Informasikan hasil pemantauan
3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan
ventilasi perfusi (D0003)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3x24 jam pola napas
membaik (L01004) dengan kriteria hasil :
- Dispneu menurun
- Pola napas membaik
- Frekuensi napas membaik

Pemantauan respirasi (I.01014)

Observasi

- Monitor frekuensi, irama, kedalaman dan upaya napas


- Monitor pola napas (bradipneu, takipneu, hiperventilasi, kusmaul,
cheyne stoke)
- Monitor kemampuan batuk efektif
- Monitor adanya produksi sputum
- Monitor saturasi o2
- Monitor hasil x ray thorax
- Monitor AGD

Terapiutik

- Atur interval waktu pemantuan respirasi


- Dokumentasi hasil pemantauan
- Latih pernapasan diagfragma

Edukasi

- Jelaskan tujuan dan prosedur pemantauan


- Informasikan hasil pemantauan
4. Gangguan pola tidur berhungan dengan hambatan lingkungan (D0055)
Pola tidur (L05045)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam keadekuatan
kualitas dan kuantitas tidur membaik dengan kriteria hasil :
- Keluhan sulit tidur menurun
- Keluhan sering terjaga menurun
- Keluhan tidak puas tidur menurn
- Kemampuan berkativitas meningkat.
Dukungan tidur (I.05174)
Observasi :
- Mengidentifikasi pola aktivitas dan tidur
- Identifikasi faktor pengganggu tidur
- Identifikasi obat tidur yang dikonsumsi
Terapiutik
- Modifikasi lingkungan (mis pencahayaan, suhu, kebisingan, tempat
tidur)
- Tetapkan jadwal tidur rutin
- Lakukan prosedur meningkatkan kenyamanan seperti pijat,
mengatur posisi nyaman
- Sesuaikan jadwal pemberian obat/ tindakan untuk menunjang
siklus tidur terjaga
Edukasi
- Jelaskan pentingnya tidur yang cukup
- Anjurkan menghindari makanan/minuman yang mengganggu tidur
- Ajarkan relaksasi otot
Kolaborasi
- Kolaborasi dalam pemberian obat tidur
5. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai dan kebutuhan oksigen (D0056)
Toleransi aktivitas (L.05047)
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1x24 jam diharapkan
tolerasi aktivitas meningkat dengan kriteria hasil :
1. Kemudahan melakukan aktivitas sehari-hari meningkat
2. Kekuatan bagian atas dan bawah tubuh meningkat
3. Keluhan dispneu saat aktivitas menurun
4. Keluhan lelah menurun
5. Perasaan lemah menurun
Manajemen Energi (I.05178)
Observasi
- Identifikasi gangguan fungsi tubuh yang mengakibatkan kelelahan
- Memonitor pola dan jam tidur
- Monitor lokasi dan ketidaknyamanan selama melakukan aktivitas
Terapiutik
- Sediakan lingkungan yang nyaman dan rendah stimulus(mis.
Cahaya, suara, kunjungan)
- Lakukan latihan rentang gerak pasif atau aktif
- Berikan aktivitas distraksi yang menenangkan
- Fasilitasi duduk disisi tempat tidur jika tidak dapat berpindah
tempat
Edukasi
- Anjurkan tirah baring
- Anjurkan melakukan aktivitas secara bertahap
- Ajarkan strategi koping untuk mengurangi kelelahan
- Kolaborasi dengan ahli gizi dalam meningkatkan asupan makanan
Pathway
BAB III
RESUME ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian
Tanggal pengkajian : 29 September 2022
1. Identitas klien
Nama : Tn. K
Umur : 67 tahun
Jenis kelamin : laki- laki
Register : 540122
Diagnosa Medis : obs. Dypneu, PPOK
Tanggal masuk : 29 September 2022
2. Riwayat penyakit sekarang
Pasien mengeluh sesak napas sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit.
Sesak napas semakin memberat, dirumah sudah menggunakan oksigen
namun belum ada perubahan. Klien mengatakan demam dan batuk
berdahak, dahak berwarna kuning bisa keluar sedikit sedikit. Klien
memiliki riwayat penyakit PPOK dan rutin kontrol ke dokter spesialis
paru-paru. Klien mengatakan saat muda merokok sampai umur 45 tahun,
kemudian berhenti karena sering batuk.
3. Pengkajian fokus
a. Airway
Jalan napas paten
b. Breathing
Pola napas ireguler, RR : 35x/menit, SpO2 : 88 % room air, Spo2
95% terpasang NOC 4 lpm
c. Circulation
Badan teraba panas, TD : 146/100, HR : 100x/mnt, S 38, terpasang
infus RL 20 tpm, CRT < 2 detik, tidak ada edema pada ektermitas,
BAK normal,
d. Disability
GCS : E4M6V5, GDS 110 g/dl. Tampak gelisah, Tidak terdapat
kelemahan ekstremitas. Kekuatan otot : sinestra : 555/555, dextra
555/555
Terpasang IV line tanggal 29 September 2022.
e. Exposure
Tidak terdapat fraktuk pada ekstemitas maupun bagian tubuh yang
lain. Tidak terdapat luka atau lesi.
f. Pemeriksaan fisik
Kepala : normal, bentuk mesochepal, rambut berwarna putih, tidak
terdapat benjolan atau lesi.
Mata : pupil isokor, reflek cahaya ada, tidak anemis, tidak tampak
ikterik, fungsi penglihatan berkurang, tampak letih
Hidung : hidung simetris, tidak ada kelainan, tidak ada sinus, fungi
penghidu baik
Mulut dan gigi : gig banyak yang tanggal, mulut bersih, bibir tidak
sianosis, mukosa bibir kering
Leher : tidak ada pembesaran tyroid, tidak ada distensi vena
jugolaris
Pemeriksaan dada
Perkembangan dada simetris, tidak ada lesi atau luka
Jantung : bunyi jantung l dan 2 reguler, perkusi : pekak
Paru-paru : terdengan ronchi dikedua lapang paru
Abdomen : abdomen supel, datar, bising usus 8x/ mnt,perkusi
tympani
Ekstremitas : hangat, CRT< 2 detik, tidak terdapat luka atau lesi,
tidak ada edema
Kulit : kulit kering, keriput
g. Pemeriksaan penunjang
X foto thorax kesan : kardiomegali, gambaran bronkopneumonia
Gambaran EKG : NSR
Hasil laboratorium :
18-9-2022
Hb : 12,8
Lekosit 16.550
Ht : 39.9
Trombosit : 217.000
h. Terapi yang diberikan
- Infus RL 20 tpm
- Nebulizer pulmicort 1, bisolvon 15 tts
- Po. Paracetamol
i. Data fokus
No Data subjektif dan objektif Masalah Etiologi
. keperawatan
1 DS : klien mengatakan sesak napas, Gangguan Perubahan
batuk berdahak pertukaran gas membran
(D0003) alveolus
DO : tampak gelisah, RR 35x/mnt, kapiler
pola napas ireguler, Spo2 95%
terpasang NOC 4 lpm, terdengar
ronchi dikedua lapang paru, gambaran
paru bronkopneumonia,

A. Diagnosa keperawatan
1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran
alveolus kapiler (D0003)
B. Intervensi keperawatan
No. Tanggal/ Diagnosa Tujuan dan kriteria Intervensi
jam keperawatan hasil
1 29-9-2022 Gangguan Setelah dilakukan Pemantauan respirasi
jam 11.00 pertukaran gas tindakan keperawatan (I.01014)
berhubungan selama 1x 4 jam Observasi
dengan pertukaran gas - Monitor frekuensi,
perubahan meningkat (L01003) irama, kedalaman dan
membran dengan kriteria hasil : upaya napas
alveolus - Dispneu menurun Rasional : mengetahui
kapiler - Gelisah menurun pernafasan
(D0003) - Bunyi napas - Monitor kemampuan
tambahan tidak ada batuk efektif
- Tidak ada sianosis Rasional : batuk
- Pola napas efektif membuat jalan
membaik napas paten
- Monitor saturasi o2
Rasional : Mengetahui
suplai oksigen dalam
darah
- Monitor hasil x ray
thorax
Rasional : Mengetahui
kondisi dan penyebab
dispneu
Terapiutik
- Berikan posisi
semifowler
Rasional :
perkembangan paru
lebih maksimal
- Berikan oksigen
Rasional : memenuhi
kebutuhan o2
- Ajarkan napas dengan
otot diafragma
Rasional : melatih otot
otot pernafasan agar
berkembang maksimal
Kolaborasi
- Kolaborasi dalam
pemberian
bronkodilator
Rasional : melebarkan
jalan napas

C. Implementasi keperawatan
NO Tanggal/ Implementasi Respon pasien TTD
jam
1. 29-9-2022 Memonitor frekuensi, irama, DS : klien mengatakan isti
jam 11.00 kedalaman dan upaya napas sesak napas
DO : klien tampak sesak
napas, RR 35x/mnt, spo2
88% room air

Memonitor kemampuan DS : klien mengatakan


batuk efektif batuk
DO : klien tampak batuk

Memonitor saturasi o2
DS : -
DO : spo2 88% room air

Memberikan posisi DS : klien mengatakan


semifowler lebih nyaman posisi duduk
DO : klien tampak
kooperatif
Memberikan oksigen DS : klien mengatakan
mau memakai oksigen
DO : terpasang NOC 4
lpm
Melatih pernapasan
diagfragma
DS : klien mengatakan
mengerti
DO : klien tampak
melakukan
Memberikan nebulizer
pulmicort 1, bisolvon 15 tts
DS : -
DO : klien tampak
kooperatif

D. Evaluasi
No Tanggal/jam Respon perkembangan TTD
1. 29-9-2022 S : klien mengatakan sesak napas berkurang isti
jam 14.00 O:
A : jalan napas paten, B : Pola napas ireguler, RR :
28x/menit, Spo2 96% terpasang NOC 4 lpm, klien tampak
lebih tenang, C : TD 142/98, HR 98x/mnt, S : 37.4 Badan
teraba hangat, terpasang infus RL 20 tpm, CRT < 2 detik,
tidak ada edema pada ektermitas, BAK normal, D : GCS :
E4M6V5, GDS 110 g/dl. Tampak lebih tenang, Tidak
terdapat kelemahan ekstremitas. Kekuatan otot : sinestra :
555/555, dextra 555/555. E : tidak teradapat fraktur/lesi
A : masalah belum teratasi
P : lanjutkan intervensi pindah ruang perawatan

BAB IV
APLIKASI JURNAL APLIKASI EVIDENCE BASED NURSING
PRACTICE EFEKTIVITAS DIAPHRAGMATIC BREATHING
EXERCISE

A. Identitas Pasien
Nama : Tn K
Umur : 67 thn
Jenis Kelamin : Laki - laki
Diagnosa Medis : obs. Dypsneu, PPOK
B. Analisa Data
Data Fokus Masalah Etiologi
DS : klien mengatakan sesak Gangguan pertukaran Perubahan membran
napas, batuk berdahak gas alveolus kapiler

DO : tampak gelisah, RR
35x/mnt, pola napas ireguler,
Spo2 95% terpasang NOC 4
lpm, terdengar ronchi dikedua
lapang paru, gambaran paru
bronkopneumonia,
C. Diagnosa Keperawatan yang Berhubungan Dengan Jurnal Evidence
Based Nursing
Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran
alveolus kapiler (D0003)
D. Evidence Based Nursing Pratice Yang Diterapkan Pada Pasien
Efektivitas diagfragmatic breathing terhadap peningkatan saturasi o2

E. Analisa Sintesa Justifikasi/Alasan Penerapan Evidence Based Nursing


Pratice

Faktor predisposisi

PPOK

Penyempitan jalan napas,


spasme, hipersekresi

RR meningkat, ventilasi tidak maksimal, penurunan


saturasi

Gangguan pertukaran gas

Latihan pernapasan
diagfragma

Ventilasi maksimal
F. Landasan Teori Terkait Penerapan Evidence Based Nursing Practise
Penurunan saturasi oksigen yang terjadi pada pasien PPOK dapat dipantau
menggunakan alat oksimetri. Salah satu upaya untuk meningkatkan
saturasi oksigen yaitu dengan melatih otot pernafasan, misalnya
menggunakan teknik diaphragmatic breathing exercise. Latihan pernafasan
ini merupakan sebuah teknik untuk merelaksasikan otot pernafasan saat
melakukan inspirasi dalam, dan meningkatkan ventilasi alveolar,
mengurangi frekuensi pernafasan, dan membantu mengeluarkan udara
sebanya mungkin selama ekspirasi (Smeltzer & Bare,2013). Hasil
penelitian sejalan juga pernah dibuktikan oleh Sentana, D.A,Mardiatun, &
Pandit.D, 2018 menyebutkan bahwa latihan pernafasan diafragma dapat
meningkatkan saturasi oksigen pasien asma dengan hasil uji Wilcoxon
menunjukkan Sig p-value 0,000.
Penelitian ini juga dibenarkan dengan teori bahwa, masalah yang sering
terjadi terjadi pada pasien PPOK yang dapat menyebabkan penurunan
saturasi oksigen salah satunya adalah sesak nafas, hal tersebut terjadi
karena adanya penyempitan saluran pernafasan sehingga mengakibatkan
minimnya suplai oksigen ke dalam paru-paru. Penyempitan jalan nafas
yang terjadi akan menyebabkan pengembangan paru tidak optimal,
keterbatasan ventilasi perfusi, dan penurunan difusi oksigen sehingga
berdampak pada penurunan saturasi oksigen (Smeltzer & Bare,2013).
Pemberian latihan pernafasan diafragma akan mengakibatkan
pengembangan rongga thorax dan paru-paru saat inspirasi serta otot-otot
ekspirasi (otot-otot abdomen) berkontraksi secara aktif untuk
mempermudah pengeluaran udara (CO2) dari rongga thorax kemudian
mengurangi kerja pernafasan dan meningkatkan ventilasi sehingga terjadi
peningkatan perfusi juga perbaikan kerja alveoli untuk mengefektifkan
pertukaran gas, dan kadar CO2 dalam arteri berkurang maka akan terjadi
peningkatan saturasi oksigen (Semara,2012). Hal tersebut juga didukung
oleh penelitian dari Pangenstuti D.S,dkk (2015) yang menyatakan bahwa
latihan diapragmatic breathing exercise yang dilakukan secara teratur
dapat memperlambat proses penurunan fungsi pernafasan dan
memperbaiki kondisi fungsi pernafasan pada lansia.

BAB V
PEMBAHASAN

A. Justifikasi Pemilihan Tindakan Berdasarkan Evidence Based Nursing


Practice
Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan suatu penyakit yang
berhubungan dengan dengan respon inflamasi kronis saluran pernafasan dan paru-
paru akibat artikel atau gas tertrntu yang menyebabkan perubahan struktur dan
penyempitan jalan nafas. Dan hal tersebut yang mengakibatkan penurunan suplai
oksigen keseluruh tubuh (GOLD,2013). Prevalensi morbiditas dan mortalitas
PPOK telah meningkat dari waktu ke waktu. Dan terdapat 600 juta orang
menderita PPOK di dunia dengan 65 juta orang menderita PPOK derajat sedang
hingga berat.
Penurunan saturasi oksigen yang terjadi pada pasien PPOK dapat dipantau
menggunakan alat oksimetri. Salah satu upaya untuk meningkatkan saturasi
oksigen yaitu dengan melatih otot pernafasan, misalnya menggunakan teknik
diaphragmatic breathing exercise. Latihan pernafasan ini merupakan sebuah
teknik untuk merelaksasikan otot pernafasan saat melakukan inspirasi dalam, dan
meningkatkan ventilasi alveolar, mengurangi frekuensi pernafasan, dan membantu
mengeluarkan udara sebanya mungkin selama ekspirasi (Smeltzer & Bare,2013).

Pemberian latihan pernafasan diafragma akan mengakibatkan pengembangan


rongga thorax dan paru-paru saat inspirasi serta otot-otot ekspirasi (otot-otot
abdomen) berkontraksi secara aktif untuk mempermudah pengeluaran udara
(CO2) dari rongga thorax kemudian mengurangi kerja pernafasan dan
meningkatkan ventilasi sehingga terjadi peningkatan perfusi juga perbaikan kerja
alveoli untuk mengefektifkan pertukaran gas, dan kadar CO2 dalam arteri
berkurang maka akan terjadi peningkatan saturasi oksigen (Semara,2012). Hal
tersebut juga didukung oleh penelitian dari Pangenstuti D.S,dkk (2015) yang
menyatakan bahwa latihan diapragmatic breathing exercise yang dilakukan secara
teratur dapat memperlambat proses penurunan fungsi pernafasan dan
memperbaiki kondisi fungsi pernafasan pada lansia.

B. Mekanisme Penerapan Evidence Based Nuring Practice Pada Kasus


Pada tanggal 7-6-2022 dilakukan pengkajian pada Tn. S dengan diagnosa PPOK.
Klien mengeluh sesak napas, napas pendek ngos-ngosan disertai batuk terus
menerus.
Pada tanggal 7-6-2022 pasien diberikan terapi diagfragmatic breathing dengan
prosedur sebagai berikut :
1. Mencuci tangan
2. Identifikasi pasien
3. Menjelaskan tujuan dan prosedure
4. Menanyakan keluhan utama pasien
5. Jaga privasi klien
6. Diobervasi apakah klien mengalami ketidaknyamanan
7. Memberikan posisi nyaman
8. Sebelum kegiatan spa dilakukan TTV dan diukur saturasi o2
9. Menjelaskan langkah-langkah pernapasan diagfragma
10. Mempraktekkan bersama klien : tarik napas lewat hidung rasakan perut
mengembang selama 3 hitungan kemudian tahan selama 3 hitungan
hembuskan napas lewat mulut
11. Ulangi kegiatan tersebut dengan meningkatkan hitungannya
12. Mengajarkan napas tersebut selama 10 menit
13. Mengajari keluarga untuk bisa mempraktekan ke pasien secara mandiri
14. Menganjurkan keluarga mendampingi klien untuk berlatih pagi dan sore
selama 10 menit
15. Kegiatan ini dilakukan selama 2 hari
C. Hasil Yang Dicapai
Klien dapat mengatur pola napas, RR 28x/mnt, saturasi o2 97% noc 3 lpm, napas
ireguler, ventilasi maksimal
D. Kelebihan dan Kekurangan Atau Hambatan Yang Ditemui Selama
diterapkan ebn
Kelebihan :
Latihan pernapasan diagfragma mudah dilakukan untuk semua kalangan terutama
lansia. Latihan pernapasan diagfragma dapat dilakukan secara mandiri dirumah
agar klien dapat menghasilkan ventilasi yang maksimal.
Kekurangan :
PPOK biasa menyerang pada lansia. Latihan ini tampak sederhana tapi sangat
sulit untuk dilakukan bagi penderita PPOK terutama lansia.
BAB VI
PENUTUP

A. Kesimpulan
Tindakan latihan pernafasan diafragma exercixe bagi penderita PPOK
sangat bermanfaat. Latihan tersebut dapat menghasilkan ventilasi yang
maksimal sehingga klien dapat mengatur napasnya saat tanda dan gejala
PPOK timbul. Ventilasi yang maksimal maka transportasi oksigen ke
seluruh tubuh akan maksimal.
B. Saran
1. Keluarga
Bagi orang tua diharapkan dapat menggunakan menerapkan tindakan
tersebut di rumah secara mandiri
2. Penulis
Bagi penulis mampu meningkatkan dalam pemberian asuhan
keperawatan secara mandiri kepada pasien PPOK yang mengalami
masalah gangguan pernapasan
3. Rumah Sakit
Bagi institusi pelayanan kesehatan, diharapkan perawat RS Roemani
Muhammadiyah Semarang dapat memberikan pelayanan keperawatan
mandiri dengan lebih banyak mengaplikaskan jurnal-jurnal terbaru yang
ada. Memahami bagaimana latihan pernafasan diafragma pada pasien
PPOK dirumah maupun di perawatan rumah sakit.
4. Profesi Keperawatan
Dapat digunakan sebagai referensi dan pengetahuan yang mampu
dikembangkan untuk memberikan pelayanan pada pasien

DAFTAR PUSTAKA

Basuki N. (2012). Fisioterapi pada Kasus Respirasi. Surakarta:


Politeknik Kesehatan Surakarta Jurusan Fisioterapi

Darmanto, D. (2009). Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta:


Buku Kedokteran

Fitriananda, E., Waspada, E., & Fis, S. (2017). Pengaruh Chest


Physiotherapy terhadap Penurunan Frekuensi Batuk pada Balita
dengan PPOK di Balai Besar Kesehatan Paru Masyarakat
Surakarta (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah
Surakarta)

Haraguchi, M., Nakamura, H., Sasaki, M., Miyazaki, M., Chbachi, S.,
Takahashi, S., Asano, K., Jones, P., Betsuyaku, T., K-CCR
group. (2016). Determinants of Chronic Obstructive Pulmonary
Disease Severity in the Late Elderly Differ from Those in
Younger Patients. BMC Res Notes, 9(7)

Huriah, T., Ningtias, D. W. (2017). Pengaruh Active Cycle of


Breathing Technique terhadap Peningkatan Nilai VEP1, Jumlah
Sputum dan mobilisasi Sangkar Thoraks Pasien PPOK.
Indonesian Journal or Nursing Practices, 1(2), 44-54. DOI:
10.18196/ijnp.1260

I Imade, M. (2018). Pengaruh Pemberian Deep Breathing Exercise


terhadap Saturasi Oksigen pada Pasien PPOK. Jurnal Gema
Keperawatan: Potekkes Kemenkes Denpasar Bali

Kent, B. D., Mitchell, P. D., McNicholas, W. T. (2011). Hypoxemia in


Patients with COPD. Cause, Effects, and Diseases Progression.
International Journal of COPD, 6, 199-208s Koes,

I. (2014). Epidemiologi Penyakit Menular dan Tidak Menular.


Bandung: Alfabeta

Oemiyati, R. (2013). Kajian Epidemiologis Penyakit Paru Obstruktif


Kronik (PPOK). Jakarta: Kemenkes RI

Padila, P. (2012). Buku Ajar Asuhan Keperawatan Medikal Bedah.


Yogyakarta: Nuhamedika

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI). (2015). Diagnosis dan


Penatalaksaan Asma.

Anda mungkin juga menyukai