Anda di halaman 1dari 53

MAKALAH KONSEP PENYAKIT DAN KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN

PADA PASIEN DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS

Dosen Pembimbing:

Fransisca Anjar Rina S., M.Kep., Ns.Sp.Kep.M.B

Disusun oleh:

1. Anita Rayung Sri Wedanti : 202243001


2. Dina Dwi Puspitasari : 202243016
3. Hestina Uli Sianipar : 202243028
4. Maria Reni Kristiningsih : 202243031
5. Renata Vicky Indriyani : 202243044
6. Shyntia Hapinawan : 202243052
7. Yosi Agung Kristanti : 202243063
8. Y. Jaka Riyanta : 202243059

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN SEKOLAH TINGGI


KESEHATAN PANTI RAPIH YOGYAKARTA

1
2022

2
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan YME atas berkat rahmat yang
diberikan kepada kami,sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul
“Konsep Penyakit Dan Konsep Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Penyakit Paru
Obstruktif Kronis (PPOK)“ dengan baik meskipun jauh dari kesempurnaan. Tujuan dalam
penulisan laporan ini untuk memenuhi salah satu tugas kelompok mata kuliah KMB di
STIKes Panti Rapih Yogyakarta.
Demikian yang dapat kami sampaikan, kami menyadari masih banyak kekurangan
dalam makalah ini,kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna
perbaikan dalam pembuatan makalah selanjutnya. Semoga laporan ini dapat bermanfaat
bagi kita semua.

Yogyakarta, 25 Oktober 2022

Kelompok 3

DAFTAR ISI

III
HALAMAN JUDUL I
KATA PENGANTAR II
DAFTAR ISI III
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan Penelitian 2
BAB II PEMBAHASAN 3
A. Konsep Penyakit 3
B. Konsep Keperawatan 18
C. Asuhan Keperawatan 37.
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN 35
A.Kesimpulan 35
B.Saran 35
DAFTAR PUSTAKA 36

IV
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) merupakan penyakit yang umum dan
sering dijumpai tetapi PPOK juga merupakan penyakit yang dapat dicegah dan dapat
diobati (Susanto, 2021). Penyakit Paru Obstruksi (PPOK) merupakan penyakit paru
dengan respon inflamasi kronis yang ditandai oleh terjadi obstruksi atau hambatan aliran
udara di saluran nafas yang mengakibatkan PaO2 rendah dan PaCo2 dalam tubuh tinggi.
Hal ini diakibatkan artikel gas tertentu yang menyebabkan penurunan suplai oksigen
keseluruh tubuh.(Harianto,Maghfirah & Andayani 2021). Menurut Lindayani (2017)
PPOK dapat disebut sebagai penyakit kronis progresif pada paru yang ditandai oleh
adanya hambatan atau sumbatan aliran udara yang bersifat irreversible atau reversible
sebagian.
Prevalensi morbiditas dan mortalitas PPOK telah meningkat dari waktu ke waktu
terdapat 600 juta orang menderita PPOK didunia dengan 65 juta orang menderita PPOK
derajat sedang hingga berat.(Worth Health Organization dalam Wardani,Faidah dan
Nugroho,2019).Lim dkk (2015) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa di Asia Pasifik
angka prevalensi PPOK sebesar 6,2% dan di Indonesia sebesar 4,5%. Penelitian yang
dilakukan oleh Nguyen dkk (2015) di Vietnam dan Indonesia juga menemukan angka
prevalensi PPOK pada bukan perokok adalah 6,9%.
Penelitian-penelitian di populasi secara konsisten menunjukkan sebesar 10-15%
total PPOK berhubungan dengan pajanan bahan di tempat kerja. Susanto (2021)
menjelaskan bahwa pajanan di tempat kerja berhubungan dengan peningkatan risiko
PPOK. Pajanan bahan-bahan yang berbahaya di tempat kerja berupa uap, gas, debu dan
asap (vapours, gases, dusts dan fumes/VGDF) dilihat dari bukti-bukti berbagai penelitian
berpotensi meningkatkan risiko PPOK.

Pajanan di lingkungan kerja merupakan salah satu faktor risiko penting terjadinya
PPOK pada bukan perokok. Telaah sistematik terbaru menyimpulkan bahwa terdapat bukti
kuat dan konsisten antara pajanan bahan di tempat kerja dengan PPOK. Penelitian pada
bukan perokok di Vietnam dan Indonesia menemukan faktor risiko PPOK pada bukan
perokok adalah pajanan polusi udara, pajanan debu dan asap di tempat kerja, infeksi

1
berulang pada waktu anak-anak, riwayat tuberkulosis, asma kronik dan sosial ekonomi
rendah. Penelitian-penelitian di populasi secara konsisten menunjukkan PPOK
berhubungan dengan pajanan bahan di tempat kerja. (Nguyen. dkk, 2015).
Gejala PPOK secara umum ada tiga yaitu, batuk, berdahak dan sesak napas
khsususnya saat beraktivitas. ATS telah membagi skala sesak napas dari tingkat 0, satu,
dua, tiga dan empat, yang menuju ke tingkat keparahan. Sedangkan klasifikasi PPOK
terdiri dari ringan sedang dan berat yang diukur berdasarkan pemeriksaan spirometri yang
menghasilkan nilai VEP1 dibagi dengan KVP yaitu besarnya ratio udara yang mampu
dihisap dan dikeluarkan oleh paru-paru manusia. Faktor risiko utama PPOK antara lain
merokok, polutan indoor, outdoor dan polutan di tempat kerja, selain itu ada juga faktor
risiko lain yaitu genetik, gender, usia, konsumsi alkohol dan kurang aktivitas
fisik. ( Oemiati, 2013).
Oleh karena itu dalam makalah ini kelompok ingin memaparka konsep teori
tentang PPOK dan konsep asuhan keperawatan pada pasien yang mengalami PPOK.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan apa yang diperoleh dari latar belakang, maka dapat dirumusan
masalah dalam makalah ini yaitu,
1. Apa Yang Dimaksud Dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronis?
2. Bagaimana Konsep Penyakit Paru Obstruktif Kronis?
3. Bagaimana Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronis?

C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Apa Itu Penyakit Paru Obstruktif Kronis.
2. Untuk Mengetahui Konsep Penyakit Paru Obstruktif Kronis.
3. Untuk Mengetahui Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronis.

2
BAB II

KONSEP PENYAKIT
A. Pengertian

Menurut Dongoes (2012) PPOK adalah obstruksi kronis pada aliran udara
dengan klasifikasi luas, penyebab obstruksi bermacam-macam contoh inflamasi jalan
nafas ,pelengketan mukosa, penyempitan lumen jalan nafas, kerusakan jalan nafas,
asma, bronkhitis kronis, emfisema. Menurut Lindayani (2017), Penyakit Paru
Obstruktif Kronis (PPOK) dapat disebut sebagai penyakit kronis progresif pada paru
yang ditandai oleh adanya hambatan atau sumbatan aliran udara yang bersifat
irreversible atau reversible sebagian dan menimbulkan konsekuensi ekstrapulmoner
bermakna yang berkontribusi terhadap tingkat keparahan pasien.
Menurut Hermanto (2018), Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah
penyakit paru yang ditandai dengan penyumbatan kronis aliran udara dari paru
sehingga mengganggu pernapasan normal dan tidak sepenuhnya reversibel.
Penyumbatan kronis aliran udara pada umumnya bersifat progresif yang disertai
respon inflamasi obnormal pada paru disebabkan oleh paparan partikel atau gas
berbahaya. PPOK terdiri dari bronkitis dan emfisema atau gabungan antara
keduanya.
Menurut Susanto (2021), Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan
penyakit yang umum, dapat dicegah dan dapat diobati yang ditandai dengan gejala
berupa respirasi yang menetap dan keterbatasan aliran udara yang disebabkan oleh
abnormalitas saluran udara dan/atau alveolar yang biasanya disebabkan oleh pajanan
partikel atau gas-gas berbahaya.
Dari pendapat ahli diatas dapat disimpulkan PPOK atau Penyakit Paru
Obstruksi Kronis adalah penyakit paru yang ditandai dengan adanya hambatan atau
sumbatan aliran udara yang bersifat reversible atau irreversible dan juga bersifat
progresif yang dapat mengakibatkan inflamsi abnormal pada paru, PPOK terdiri dari
brokhitis dan emfisema.

B. Faktor Resiko
Menurut Paramasivam (2017), faktor resiko paling utama dari PPOK adalah

3
kebiasaan merokok yang merupakan satu-satunya penyebab kausal yang terpenting
dan jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Rokok sejauh ini masih menjadi
faktor resiko penting untuk terjadinya PPOK. Faktor risiko penting lainnya adalah
paparan di tempat kerja, status sosoial ekonomi, dan predisposisi genetik. PPOK
mempunyai riwayat yang bervariasi dan tidak semua individu mempunyai riwayat
yang sama.
Susanto (2021) juga menjelaskan bahwa faktor resiko utama dari PPOK adalah
merokok. Diperkirakan asap rokok merupakan faktor risiko pada 85-95% kasus PPOK
pada laki-laki dewasa. Pajanan pasif asap rokok (perokok pasif) juga merupakan faktor
risiko penting timbulnya PPOK. Beberapa faktor risiko lain adalah polusi udara di luar
ruangan seperti asap kendaraan, debu jalanan, polusi udara dalam ruangan seperti asap
kompor serta debu dan gas berbahaya di lingkungan kerja. Infeksi juga berperan
penting sebagai salah satu faktor risiko berkembangnya PPOK. Selain itu faktor status
nutrisi juga menjadi salah satu faktor risiko pada patogenesis PPOK. Faktor genetik
juga mempunyai peran penting dalam perkembangan PPOK. Sampai saat ini bukti
yang ada menunjukkan abnormalitas genetik yang berkaitan dengan peningkatan risiko
PPOK adalah defisiensi α-1 antitripsin, dalam hal ini berhubungan dengan
perkembangan emfisema.
Hermanto (2018) juga menambahkan beberapa faktor resiko PPOK
dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain:
1. Merokok
Merokok merupakan penyebab PPOK terbanyak yaitu sebesar 95% kasus di negara
berkembang. Perokok aktif dapat mengalam hipersekresi mucus dan obstruksi
jalan napas kronik. Dilaporkan ada hubungan antara penurunan volume ekspirasi
paksa detik pertama (VEP1) dengan jumlah, jenis dan lamanya merokok. Perokok
pasif juga menyumbang terhadap symptom saluran napas dan PPOK dengan
peningkatan kerusakan paru-paru akibat menghisap partikel dan gas-gas
berbahaya. Merokok pada saat hamil juga akan meningkatkan risiko terhadap
janin dan mempengaruhi pertumbuhan paru-parunya.
2. Polusi Indoor
Memasak dengan bahan biomass dengan ventilasi dapur yang jelek misalnya terpajan
asap bahan bakar kayu dan asap bahan bakar minyak diperkirakan memberi
kontribusi sampai 35%. Manusia banyak menghabiskan waktunya pada lingkungan

4
rumah (indoor) seperti rumah, tempat kerja, perpustakaan, ruang kelas, mall, dan
kendaraan. Polutan indoor yang penting antara lain SO2, NO2 dan CO yang
dihasilkan dari memasak dan kegiatan pemanasan, zat-zat organik yang mudah
menguap dari cat, karpet, dan mebelair, bahan percetakan dan alergi dari gas dan
hewan peliharaan serta perokok pasif.
3. Polusi Out door
Polusi udara mempunyai pengaruh buruk pada VEP1, inhalan yang paling kuat
menyebabkan PPOK adalah Cadmium, Zinc dan debu. Bahan asap pembakaran/
pabrik/tambang. Bagaimanapun peningkatan relatif kendaraan sepeda motor di
jalan raya pada dekade terakhir ini saat ini telah mengkhawatirkan sebagai
masalah polusi udara pada banyak kota metropolitan seluruh dunia. Pada negara
dengan income rendah dimana sebagian besar rumah tangga di masyarakat
menggunakan cara masak tradisional dengan minyak tanah dan kayu bakar, polusi
indoor dari bahan sampah biomassa telah memberi kontribusi untuk PPOK dan
penyakit kardio respiratory, khususnya pada perempuan yang tidak merokok.

4. Genetik (defisiensi Alpha 1-antitrypsin)


Faktor risiko dari genetic memberikan kontribusi ±3% pada pasien PPOK. Alpha-1
antitrypsin (AAT) adalah protein dalam darah yang melindungi paru dari
kerusakan yang disebabkan oleh enzim yang diaktifkan. Defisiensi alfa-1
antitripsin adalah penyakit keturunan yang terjadi akibat kekurangan atau tidak
adanya protein alfa-1 antitripsin dalam tubuh. Hal ini dapat menyebabkan
gangguan di paru-paru dan hati. Umumnya, mulai merasakan kemunculan gejala
pada usia 20–50 tahun. Di Indonesia defisienasi antitripsin alfa-1 sangat jarang terj
adi
5. Riwayat infeksi saluran napas berulang
Infeksi saluran napas akut adalah infeksi akut yang melibatkan organ saluran
pernafasan, hidung,sinus, faring, atau laring. Infeksi saluran napas akut adalah
suatu penyakit terbanyak diderita anak-anak. Penyakit saluran pernafasan pada
bayi dan anak-anak dapat pula memberi kecacatan sampai pada masa dewasa,
dimana ada hubungan dengan terjadinya PPOK.
6. Gender, usia, konsumsi alkohol dan kurang aktivitas fisik
Studi pada orang dewasa di Cina didapatkan risiko relative pria terhadap wanita adalah
2,80 (95% C I ; 2,64-2,98). Usia tua RR 2,71 (95% CI 2,53-2,89).

5
Konsumsi alkohol RR 1,77 (95% CI : 1,45 ± 2,15), dan kurang aktivitas fisik 2,66
(95% CI ; 2,34 ± 3,02).

C. Etiologi

Menurut Mansjoer (2008) dan Ovedoff (2006) ada beberapa faktor yang
menyebabkan Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)
1. Kebiasaan merokok, polusi udara, paparan debu, asap dan gas-gas kimiawi.

2. Faktor usia dan jenis kelamin sehingga mengakibatkan berkurangnya fungsi


paru- paru, bahkan pada saat gejala penyakit tidak dirasakan.
3. Infeksi sistem pernafasan akut, seperti pneumonia, bronchitis, dan asma
orang dengan kondisi ini beresiko mendapat PPOK.
4. Kurangnya alfa anti tripsin. Ini merupakan kekurangan enzim yang
normalnya melindungi paru-paru dari kerusakan peradangan orang yang
kekurangan enzim ini dapat terkena empisema pada usia yang relatif muda,
walaupun tidak merokok.

Menurut Lemone (2015) etiologi di bagi menjadi 2 yaitu :

1. Bronkitis kronik

Kebiasaan merokok menyebabkan iritan inhalasi menyebabkan proses inflamasi


kronik dengan vasodilatasi, kongesti dan edema mukosa bronkial. Sel goblet
meningkat dalam hal ukuran dan jumlah serta kelenjar mukosa membesar.
Mukus yang tebal dan banyak dihasilkan dalam jumlah yang bertambah banyak.
Perubahan pada sel skamousa bronkial menganggu kemampuan untuk
membersihkan mukus. Penyempitan jalan nafas dan kelebihan sekresi
mengobtruksi jalan nafas, ekspirasi terkena pertama kali, kemudian inspirasi.
Karena fungsi silier terganggu, mekanisme pertahanan normal tidak mampu
membersihkan mukus serta semua patogen yang di inhalasi. Infeksi berulang
umum pada bronkitis kronik. Ketidak seimbangan ventilasi dan perfusi
menyebabkan hipoksia, hiperkapnia, dan hipertensi pulmonal yang sering
menyerang gagal jantung sisi kanan.

2. Emfisema

Ditandai dengan kerusakan dinding alveoli, dengan menyebabkan pembesaran ruang

6
udara yang abnormal. Merokok juga merupakan penyebab utama dari enfisema,
makrofag dari alveoli dan limfosit CD-8 meningkatkan dan menghancurkan
jaringan paru. Sitokin juga memainkan paru peran dalam inflamasi. Selain itu
anti-proteinase, yang melindungi jaringan paru menjadi inaktivitas,
menyebabkan penurunan perbaikan paru. Hal ini menyebabkan kerusakan pada
dinding alveolar menyebabkan alveoli dan ruang udara membesar dan
kehilangan capillary bed pulmonal yang saling berhubungan. Akibatnya
permukaan untuk difusi kapiler alveolar berkurang mempengaruhi pertukaran
gas.

D. Manifestasi klinis

Menurut Hurts (2015) tanda dan gejala PPOK ada 2 yaitu pink puffer pada
pasien emfisema dan blue bloater pada pasien bronkhitis adapun tanda dan gejala
yang lain yaitu :
1. Emfisema

a. Dispnea, takipnea, penggunaan obat tambahan karena peningkatan


kerja pernapasan dan penurunan ventilasi alveolar
b. Dada bentuk tong dengan peningkatan diameter anterior posterior
karena paru mengalami hiperinflasi dan terperangkap banyak udara
c. Ekspirasi memanjang untuk mempertahankan jalan napas terbuka

d. Jari dan kaki tangan seperti gada karna hipoksia kronis dan terjadi
perubahan jaringan
e. Mengi saat inspirasi, bunyi meletih karena kolaps bronkiolus

f. Batuk produktif pagi hari karena sekret terkumpul sebanyak malam

g. Penurunan berat badan karena pengeluaran energi berlebihan untuk


bernapas dan asupan nutrisi menurun karena dispea
h. Penurunan pengembangan dada karena udara terperangkap di paru yang kaku

2. Bronkhitis kronis

a. Produksi mukus berlebihan warna abu-abu, putih atau kuning

b. Edema asites karena gagal jantung kanan menyebabkan aliran darah

7
atau cairan belik ke sirkulasi sistemik
c. Mengi saat ekspirasi, ronkhi meletih

d. Batuk kronis sebagai usaha untuk mengeluarkan mukus

e. Penambahan berat badan karena retensi cairan sekunder dari


corpulmonale (gagal jantung kanan) yang disebabkan hipertensi
pulmonal
f. Dispnea, takipnea, ada otot bantu napas

g. Polistemia karena hipoksemia kronis

E. Klasifikasi
Menurut Lemone (2015) ada tahapan klasifikasi PPOK dibagi menjadi 5 yaitu :

1. Tahap 0 (Berisiko)

Fungsi paru normal tetapi batuk kronik dan sputum ada

2. Tahap 1 (PPOK ringan)

Aliran udara ringan terbatas, biasanya ditandai dengan adanya batuk kronis dan
produksi sputum
3. Tahap 2 (PPOK)

Aliran udara yang terbatas mengalami perburukan, ditandai dengan dipsnea

4. Tahap 3 (PPOK berat)

Pemburukan aliran udara lebih lanjut, sesak napas meningkat dan eksaserbasi berulang
5. Tahap 4 (PPOK sangat berat)

Keterbatasan aliran udara berat dengan penurunan kualitas hidup dan


kemungkinan eksaserbasi mengancam nyawa

8
9
F. Patofisiologi

10
Sumber : Mutaqqin (2008), Huda Nurarif (2015), Lemone (2015)

11
G. Pemeriksaan penunjang medis

Menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (2011) ada beberapa pemeriksaan


yang bisa dilakukan untuk penyakit PPOK antara lain:
1. Spirometri

(FEV1(Forced expiratory voleme in one second), FEV1 prediksi, FVC (Forced


Vital Capacity), FEV1/FVC)

a. Obstruksi : nilai FEV1 (%) dan atau FEV1/FVC (%).

Kriteria obstruksi pada spirometri: FEV1(FEV1 atau FEV1 pred) <80%


atau FEV1/FVC <70%
b. FEV1 merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai
beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit.
2. Uji Bronkodilator

Uji bronkodilator dilakukan pada PPOK stabil. Penggunaan bronkodilator : dosis


400 mcg beta agonis short acting, 160 mcg anti kolinergik short acting, atau 2
kombinasi. FEV diukur 10-15 menit setelah beta agonis short acting, atau 30-45
menit setelah anti kolinergik short acting atau bila kombinasi keduanya. Bila
setelah bronkodilator FEV1/FVC tetap <70% maka terkonfirmasi adanya limitasi
airflow (obstruksi).
3. Foto Thorax

Foto thorax PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain. CT
scan juga dapat dilakukan bila ada kecurigaan tumor paru
4. Analisis Gas Darah : dilakukan apabila saturasi oksigen arteroperifer <92%

5. Uji latihan kardiopulmoner : sepeda statis (ergocycle), treadmill, jalan 6 menit

6. Pemeriksaan sputum merupakan pemeriksaan gram kuman

7. Pemeriksaan Bronkogram menunjukan dilatasi bronkhus,kolap bronkhiale pada


ekspirasi kuat

12
H. Penatalaksanaan medis

Berikut merupakan penatalaksanaan medis menurut Kristiningrum (2019) :

1. Bronkodilator

Bonkodilator merupakan obat yang meningkatkan FEV1 dan/atau memperbaiki


variabel spirometri lainnya dengan mempengaruhi tonus otot polos jalan napas
dan memperbaiki aliran udara ekspirasi, yang mencerminkan pelebaran jalan
napas dari pada perubahan elastisitas paru. Bronkodilator diberikan secara
tunggal atau pun secara kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan disesuaikan
dengan klasifikas berat derajat penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan
adalah inhalasi (dihisap melalui saluran nafas), pemberian nebulizer tidak
dianjurkan pada penggunaan dalam jangka panjang. Pada PPOK derajat berat
maka diutamakan pemberian obat bronkodilator lepas lambat (slow release)
atau obat bronkhodilator berefek panjang (long acting). Macam-macam obat
bronkodilator antara lain golongan antikolinergik, golongan agonis beta-2,
kombinasi antikolinergik dan beta-2, serta golongan xantin.

2. Mukolitik

Pemberian mukolitik hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut, karena


akan mempercepat perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan
sputum yang kental. Tetapi, obat ini tidak dianjurkan untuk pemakaian jangka
panjang. Obat yang dapat diberikan antara lain ambroksol, karbosistein, dan
gliserol iodida (Hidayatulloh, 2015).

3. Antikolinergik/Antagonis Muskarinik

Bekerja memblokade efek bronkokonstriktor asetilkolin pada reseptor muskarinik


M3 yang diekspresikan pada otot polos jalan napas. Antikolinergik inhalasi
hampir tidak diabsorpsi sehingga efek samping sistemiknya lebih rendah
dibanding atropine. Secara umum obat ini relatif aman, dengan efek samping
short-acting (SAMA) dan long-acting (LAMA) muscarinic antagonist.

4. Antibiotik

Pengobatan dengan menggunakan antibiotik telah terbukti efektif terhadap PPOK


eksaserbasi akut yang disebabkan oleh bakteri. Pemberian antibiotika sebaiknya

13
berdasarkan pada mikroorganisme penyebab dan hasil uji kepekaan. Terapi
empiris perlu segera diberikan sementara menunggu hasil pemeriksaan dari
laboratorium mikrobiologi. Selanjutnya barulah dilakukan penyesuaian pemberian
antibiotika untuk mendapatkan hasil yang maksimal. World Health Organization
telah menetapkan antibiotik sebagai terapi empiris PPOK eksaserbasi akut yaitu
amoksisilin atau eritromisin atau kloramfenikol (Hidayatulloh, 2015).

5. Alpha-1 antitrypsin augmentation therapy

Obat ini diberikan secara intravena untuk meminimalisasi perkembangan dan


progresivitas penyakit paru serta menjaga fungsi dan struktur paru pada pasien
dengan defisiensi alpha-1 antitrypsin (AATD)

6. Kombinasi LABA/ICS

Pada pasien dengan PPOK sedang hingga sangat berat dan eksaserbasi, kombinasi
LABA/ICS lebih efektif dibanding obat tunggal dalam memperbaiki fungsi paru,
status kesehatan, dan menurunkan eksaserbasi.

7. Terapi inhalasi 3 obat

Penambahan LAMA pada kombinasi LABA/ICSd apat memperbaiki fungsi paru


dan outcome, khususnya pada risiko eksaserbasi

8. Pemberian terapi oksigen

Terapi oksigen dalam jangka panjang di gunakan untuk hipoksemia berat dan
progresif. Meningkatkan toleransi latihan, fungsi mental, dan kualitas hidup pada
PPOK tingkat lanjut. Pemberian oksigen menggunakan nasal kanul 1-2
liter/menit.

9. Glucocorticoid oral

Penggunaan glucocorticoid sistemik untuk terapi eksaserbasi akut pada pasien


dirawat di rumah sakit, atau selama di unit gawat darurat, menurunkan tingkat
kegagalan terapi, tingkat relaps, dan memperbaiki fungsi paru dan sesak napas,
namun penggunaannya pada terapi harian jangka panjang pada PPOK tidak
dianjurkan karena komplikasi sistemik yang tinggi.

14
Tahapan penatalaksanaan :

1. Penatalaksanaan farmakologi awal yaitu penyelamatan bronkodilator short-


acting harus diresepkan untuk semua pasien untuk menghilangkan gejala segera.

Algoritma 1 untuk gambaran pengobatan farmakologis awal

Setelah pelaksanaan terapi, pasien harus dinilai ulang untuk pencapaian tujuan
pengobatan dan identifikasi hambatan untuk pengobatan yang berhasil. Setelah
meninjau respons pasien terhadap inisiasi pengobatan, penyesuaian dalam
pengobatan farmakologis mungkin diperlukan. Untuk pengobatan farmakologis
diklasifisifikasikan ( Kelompok GOLD) sebagai berikut :
a. Grup A

Semua pasien Grup A harus ditawarkan pengobatan bronkodilator berdasarkan


efeknya pada sesak napas. Ini bisa berupa bronkodilator kerja pendek atau
panjang ini harus dilanjutkan jika manfaatnya didokumentasikan
b. Grup B

Terapi awal harus terdiri dari bronkodilator kerja panjang. Bronkodilator


inhalasi kerja panjang lebih unggul daripada bronkodilator kerja pendek yang
diminum sesuai kebutuhan. Pada masing-masing pasien, pilihannya harus
bergantung pada persepsi pasien tentang pengurangan gejala. Untuk pasien
dengan sesak napas berat, terapi awal dengan dua bronkodilator dapat
dipertimbangkan. Pasien kelompok B cenderung memiliki komorbiditas yang
dapat menambah gejala dan mempengaruhi prognosis mereka, dan
kemungkinan ini harus diselidiki.
c. Grup C

Terapi awal harus terdiri dari bronkodilator kerja panjang tunggal. Dalam dua

15
perbandingan head-to-head, LAMA yang diuji lebih unggul daripada LABA
dalam hal pencegahan eksaserbasi oleh karena itu GOLD merekomendasikan
untuk memulai terapi dengan LAMA pada kelompok ini.
d. Grup D

Secara umum, terapi dapat dimulai dengan LAMA karena memiliki efek pada
sesak napas dan eksaserbasi
2. Tindak lanjut manajemen farmakologis

Algoritme pengobatan farmakologis tindak lanjut dapat diterapkan pada setiap


pasien yang telah menjalani pengobatan pemeliharaan terlepas dari kelompok
GOLD yang dialokasikan pada inisiasi pengobatan. Kebutuhan untuk mengobati
terutama dispnea/pembatasan olahraga atau mencegah eksaserbasi lebih lanjut
harus dievaluasi. Jika perubahan dalam pengobatan dianggap perlu maka pilih
algoritma yang sesuai untuk dyspnoea atau eksaserbasi.

Algoritma 2 : Follow-up pharmacological treatment

Tindak lanjut manajemen farmakologis harus dipandu oleh prinsip-prinsip


tinjauan dan penilaian pertama, kemudian sesuaikan jika diperlukan. Setiap
perubahan dalam pengobatan memerlukan tinjauan respon klinis berikutnya,
termasuk efek samping.
a. Pada Dyspnoe /Sesak napas

Untuk pasien dengan sesak napas persisten atau pembatasan olahraga pada

16
monoterapi bronkodilator kerja panjang, penggunaan dua bronkodilator
dianjurkan. Jika penambahan bronkodilator kerja lama kedua tidak
memperbaiki gejala, GOLD menyarankan pengobatan dapat dihentikan lagi
menjadi monoterapi. Mengganti perangkat atau molekul inhaler juga dapat
dipertimbangkan. Untuk pasien dengan sesak napas persisten atau
keterbatasan olahraga pada pengobatan LABA/ICS, LAMA dapat
ditambahkan untuk meningkatkan terapi tiga kali lipat. Alternatif, beralih dari
LABA/ICS ke LABA/LAMA harus dipertimbangkan jika indikasi awal untuk
ICS tidak tepat (misalnya ICS digunakan untuk mengobati gejala tanpa
adanya riwayat eksaserbasi), atau telah terjadi kurangnya respon terhadap
pengobatan ICS, atau jika efek samping ICS memerlukan penghentian. Pada
semua tahap, dispnea karena penyebab lain (bukan PPOK) harus diselidiki
dan diobati dengan tepat. Teknik inhaler dan kepatuhan harus
dipertimbangkan sebagai penyebab respon pengobatan yang tidak memadai.
b. Eksaserbasi

Untuk pasien dengan eksaserbasi persisten pada monoterapi bronkodilator


kerja lama, eskalasi ke LABA/LAMA atau LABA/ICS dianjurkan.
LABA/ICS mungkin lebih disukai untuk pasien dengan riwayat atau
temuan sugestif asma. Jumlah eosinofil darah dapat mengidentifikasi pasien
dengan kemungkinan lebih besar dari respons yang menguntungkan terhadap
ICS. Untuk pasien dengan satu eksaserbasi per tahun, tingkat darah perifer
300 eosinofil/μl mengidentifikasi pasien yang lebih mungkin untuk merespon
pengobatan LABA/ICS. Untuk pasien dengan eksaserbasi sedang per tahun
atau setidaknya satu eksaserbasi berat yang memerlukan rawat inap di rumah
sakit pada tahun sebelumnya, pengobatan LABA/ICS dapat dipertimbangkan
pada jumlah eosinofil darah 100 sel/μl, karena efek ICS lebih jelas pada
pasien dengan eksaserbasi yang lebih besar. frekuensi dan/atau keparahan
Pada pasien yang mengalami eksaserbasi lebih lanjut pada terapi
LABA/LAMA, GOLD menyarankan dua jalur alternatif. Jumlah eosinofil
darah <100 sel/μL dapat digunakan untuk memprediksi kemungkinan rendah
dari respons ICS yang menguntungkan. Respons yang menguntungkan
setelah penambahan ICS dapat diamati pada jumlah eosinofil darah 100
sel/μl, dengan besarnya respons yang lebih besar kemungkinannya dengan

17
jumlah eosinofil yang lebih tinggi. Tambahkan roflumilast atau azitromisin
jika eosinofil darah <100 sel/μl

3. Pengobatan medis untuk pasien dengan defisiensi alpha-1 antitripsin maka


diberikan obat Alpha-1 antitripsin augmentation therapy yang pemberiannya
secara intravena untuk meminimalisasi perkembangan dan progresivitas penyakit
paru serta menjaga fungsi dan struktur paru.

I. Penatalaksanaan keperawatan (Diit dan edukasi)

Menurut Lemone (2015) ada beberapa penatalaksaan keperawatan untuk penyakit


PPOK antara lain:
1. Menganjurkan untuk berhenti merokok

Merokok dapat mecegah PPOK dan juga meningkatkan fungsi paru ketika
penyakit terdiagnosis. Berhenti merokok tidak hanya mencegah PPOK, tetapi juga
meningkatkan fungsi paru ketika penyakit terdiagnosis. Volume ekspirasi paksa
meningkat dan kesintasan lebih lama, lebih besar akibat kecepatan kangker paru
paru dan penyakit jantung yang lebih rendah. Strategi untuk membantu pasien
berhenti merokok adalah 5A (PDPI /Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2015)
dalam (Tuk, 2020) :

a. Ask (Tanyakan): mengidentifikasi semua perokok pada setiap kunjungan


b. Advise (Nasihati): dorongan kuat pada semua perokok untuk berhenti
merokok.
c. Assess (Nilai): Keinginan untuk usaha berhenti merokok (misal: dalam 30 hari
ke depan).
d. Assist (Bimbing): bantu pasien dengan rencana berhenti merokok,
menyediakan konseling praktis, merekomendasikan penggunaan
farmakoterapi.
e. Arrange (Atur): buat jadwal kontak lebih lanjut
2. Pemenuhan nutrisi

Meminimalkan produk susu dan garam untuk tindakan diit akan membantu
mengurangi produk mukosa dan mempertahankan mukus tetap cair tetapi tetap
dianjurkan untuk mengganti produksi protein dan kalsium. Teh herbal dengan

18
papermint dan yarrow, coldsfood atau comfrey juga dimanfaatkan sebagai
ekspektoran dan dapat membantu untuk meredakan kongesti dada. Diet yang
cocok untuk penderita PPOK dengan defisit nutrisi adalah diet TKTP yaitu diet
yang mengandung energi dan protein di atas kebutuhan normal. Diet ini diberikan
dalam bentuk makanan biasa atau lunak (bubur) ditambah bahan makanan sumber
protein tinggi seperti susu, telur dan daging dalam bentuk minuman enternal. Diet
Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP) bertujuan memberikan makanan lebih
banyak daripada keadaan biasa untuk memenuhi kebutuhan energi dan protein
yang meningkat dan mengurangi kerusakan jaringan tubuh atau guna menambah
berat badan hingga mencapai normal. Prinsipnya berupa pemenuhan kebutuhan
tinggi kalori tinggi protein :
a. Energy : tinggi (2500 – 3000 kal/hari) berat badan ideal

b. Karbohidrat cukup (60 – 70% total energy) diberikan 275,7 gram

c. Protein : Tinggi (75 – 100 gram/hari) atau 4 gram/kg BB/hari.

d. Lemak : rendah/cukup (20 – 25% total energy) yaitu sebesar 35,3 gram

e. Mineral : mineral Fe untuk mengganti Fe yang hilang

f. Vitamin : tinggi (Vitamin C, E, B kompleks)

g. Cairan : cukup 30-35 ml/kgBB/hari

h. Makanan lunak (sesuai kemampuan pasien)

3. Edukasi dan rehabilitasi

Selain menghindari alergen jalan napas, tindakan hygiene paru yang dapat
dilakukan antara lain hidrasi, batuk efektif, perkusi dan drainasi poatural
digunakan untuk memperbaiki kebersihan sekresi jalan napas. Rehabilitasi paru
mengajarkan pasien untuk mengelola gejala dan mencapai tingkat fungsi
maksimal mereka antara lain latihan fisik, edukasi, dan dukungan psikologis.
Latihan fisik yang disarankan antara lain 30-90 menit, 3-5 kali per minggu.

19
BAB III

KONSEP KEPERAWATAN

A. Pengkajian fokus

Menurut Dongoes dan Marilynn (2012), pengkajian pada pasien dengan PPOK antara
lain:
1. Identitas pasien atau biodata

Penyakit PPOK (asma bronkial) dapat menyerang berbagai usia tetapi lebih
sering dijumpai pada usia dini. Separuh kasus timbul usia 10 tahun dan sepertiga
kasus timbul di usia 40 tahun. Predisposisi laki-laki dan perempuan usia dini
sebesar 2:1 yang kemudian sama pada usia 30 tahun.
2. Riwayat kesehatan

a. Keluhan utama

Keluhan utama yang timbul pada pasien PPOK adalah sesak nafas, lemas,
batuk berdahak karena produksi sputum/lendir, nafsu makan menurun, mual
dan muntah, mukosa bibir kering, penurunan berat badan.
b. Riwayat kesehatan dahulu

Apakah pasien pernah terkena penyakit saluran pernapasan bagian bawah


(rhinitis, urtikaria, eksim) sebelumnya atau terkena penyakit menular lainnya.
Perlu ditanyakan apakah pasien seorang perokok atau sebelumnya pernah
bekerja di tempat yang terpapar partikel atau suatu gas yang berbahaya.
c. Riwayat kesehatan keluarga

Perlu ditanyakan pada keluarga apakah salah satu anggota keluarganya ada
yang pernah mengalami sakit yang sama dengan pasien
3. Aktivitas dan istirahat

Pada pasien PPOK ditemukan keletihan, gelisah, kelemahan umum atau


kehilangan masa otot dengan gejala antara lain:
a. Keletihan, kelemahan, malaise

b. Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari karena sulit bernapas

20
c. Ketidakmampuan tidur, bisa tidur dalam posisi duduk yang tinggi

d. Dispea pada saat istirahat atau aktivitas

4. Sirkulasi

Pada pasien PPOK banyak ditemukan pembengkakan pada bagian


ekstremitas bawah ditandai dengan:
a. Peningkatan tekanan darah

b. Peningkatan frekuensi jantung atau takikardi berat atau disritmia

c. Distensi vena leher atau penyakit berat

d. Edema dependent

e. Bunyi jantung redup tidak berhubungan pada diameter AV dada

f. Membran mukosa normal atau abu-abu atau sianosis, kuku tubuh dan
sianosis perifer
5. Integritas ego

Gejala yang muncul yaitu:

a. Peningkatan faktor resiko

b. Perubahan pola hidup


6. Ansietas, ketakutan, peka rangsang makanan dan cairan

Gejala yang sering muncul antara lain mual muntah, napsu makan
buruk/anoreksia, ketidakmampuan makan karena distress pernapasan, penurunan
berat badan (emfisema), peningkatan berat badan menunjukkan edema
(bronkhitis)
7. Hygiene

Gejala yang sering timbul yaitu adanya penurunan kemampuan atau peningkatan
kebutuhan aktivitas sehari-hari
8. Pemeriksaan fisik

a. Keadaan umum

Meliputi keadaan umum pasien, kesadaran, dan pemeriksaan TTV meliputi


tekanan darah, nadi, suhu dan juga pernafasan

21
b. Pemeriksaan kepala dan wajah

Inspeksi : Pada pasien PPOK ditemukan wajah nampak lesu karena keletihan
dan kurang tidur, terdapat area gelap disekitar kelopak mata
Palpasi : Pastikan tidak adanya benjolan atau tumor yang tumbuh di area
kepala maupun wajah.
c. Pemeriksaan telinga

Inspeksi : kesimetrisan telingan kanan dan kiri, kebersihan telinga kanan dan
kiri serta kelainan bentuk pada telinga.

Palpasi : palpasi adanya nyeri tekan dan benjolan abnormal.

d. Pemeriksaan mata

Inspeksi : Pada pasien dengan masalah defisit nutrisi ditemukan konjungtiva


berwarna pucat/anemis, mata terlihat cekung, nampak loyo/layu/kurang
bersemangat. Terdapat gangguan visual seperti diplopia (pandangan kabur
atau pandangan ganda).
e. Pemeriksaan mulut dan faring

Inspeksi : Adanya anoreksia dan mual muntah. Inspeksi mukosa mulut, dan
kebersihan mulut, kaji adanya pembesaran tonsil.
f. Pemeriksaan leher

Palpasi : Ditemukan adanya peningkatan nadi pada artei karotis, vena


jugularis. Serta adanya distensi pada vena jugularis.
g. Pemeriksaan payudara dan ketiak

Inspeksi : Kesimterisan payudara kanan dan kiri, kebersihan payudara dan


ketiak.
Palpasi : Adanya nyeri tekan dan benjolan abormal.

h. Pemeriksaan thoraks dan Paru

Inspeksi : Periksa adanya peningkatan retraksi dinding dada, adanya lesi,


kesimetrisan bentuk dada, adanya kelainan bentuk dada (pigeon chest, barrell
chest, funnel chest)
Palpasi : Adanya nyeri tekan akibat lesi maupun kelainan dari bentuk dada
Perkusi : Dengarkan suara paru adakah bunyi tambahan yang muncul jika

22
tidak (Sonor) Auskultasi : Adanya bunyi tambahan seperti ronchi, whezzing
i. Jantung

Inspeksi : Adanya pembesaran pada jantung, pulsasi normal, ictus cordis


tidak nampak
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS 5

Perkusi : Dengarkan bunyi jantung jika normal akan terdengar pekak jika
tidak biasanya ada suara tambahan.
Auskultasi : Dengarkan letak atau posisi bunyi jantung

j. Pemeriksaan abdomen

Inspeksi : Perhatikan warna kulit dan adanya lesi disekitar abdomen

Auskultasi : Dengarkan bunyi bising usus menggunakan stetoskop selama 1


menit
Perkusi : Adanya bunyi hiperthympani/thympani

Palpasi : Adanya nyeri tekan maupun adanya pembesaran pada ginjal dan
periksa adanya distensi maupun acites. Teraba 35 nyeri atau massa pada
abdomen (pheochromocytoma) atau sel kromafin.
k. Pemeriksaan integumen

Palpasi : Suhu kulit dingin, kulit berwarna pucat, CRT >2 detik, dan sianosis.

l. Pemeriksaan ektremitas

Palpasi : Adanya edema pada ekstremitas bawah, adanya tremor

m. Pemeriksaan genetalia dan sekitar anus

Inspeksi : Kaji kebersihan genetalia dan anus, adakah nyeri tekan dan
benjolan abnormal.
9. Keamanan

Gejala yang dapat terjadi yaitu adanya riwayat reaksi alergi atau sensitif
terhadap zat atau faktor lingkungan lain
10.Seksual

Terjadi penurunan libido

23
11.Interaksi sosial

Adanya ketergantungan dengan anggota keluarga lain

12.Penyuluhan atau pembelajaran

Banyak pasien PPOK yang kesulitan berhenti merokok dan masih konsumsi
alkohol

B. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa Keperawatan berdasarkan patofisiologi menurut Lemone, Burke & Bauldof


(2008), Mutaqqin (2009), Huda & Kusuma (2015) dan dari hasil pengkajian PPOK
didapatkan beberapa diagnosa keperawatan sebagai berikut:
1. Bersihan jalan napas tidak efektif berhubungan dengan hipersekresi jalan napas
dan sekresi yang tertahan.(D.0001)
2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan depresi pusat pernapasan.(D.0005)

3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi


perfusi.(D.0003)

4. Defisit nutrisi berhubungan dengan faktor psikologis.(D.0019)

5. Gangguan pola tidur berhubungan dengan kurangnya kontrol tidur.(D.0055)

6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan dan ketidakseimbangan antara


suplai dan kebutuhan oksigen.(D.0056)

7. Hipertemi berhubungan dengan proses penyakit. (D.0130)

24
C.. Rencana Keperawatan

Rencana keperawatan untuk pasien PPOK, kelompok kami menggunakan Standar


Luaran Keperawatan Indonesia (2019) untuk tujuan dan kriteria hasil. Untuk
intervensi atau perencanaan menggunakan Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(2018), berikut rencana asuhan keperawatan pasien dengan PPOK:

No Diagnosa (SDKI) Tujuan & Kriteria Hasil Intervensi (SIKI)

(SLKI)
1. Bersihan jalan nafas Setelah dilakukan intervensi Latihan batuk efektif
tidak efektif keperawatan selama …x… ((I.01066)dan manajemen
berhubungan dengan jam maka bersihan jalan jalan napas(I.01011)
hipersekresi jalan nafas napas pasien meningkat Observasi:
dan dengan kriteria hasil:
1. Identifikasi
sekresi yang tertahan. 1. Batuk efektif meningkat
kemampuan
Ditandai dengan:
2. Produksi sputum batuk
DO:
menurun 2. Monitor sputum
1. Batuk tidak efektif
3. Mengi dan wheezing (jumlah, warna,
2. Tidak mampu batuk
menurun konsistensi)
3. Sputum berlebih 4. Dispnea membaik 3. Monitor pola
napas (frekuensi,
4. Mengi, wheezing 5. Orthopnea membaik
kedalaman, usaha
5. Gelisah 6. Sianosis membaik
napas)
6. Sianosis 7. Frekuensi napas 4. Monitor bunyi
membaik napas tambahan
7. Bunyi napas
8. Pola napas membaik (mengi, wheezing
menurun
(L.01001) atauu ronkhi)
8. Frekuensi napas
Terapeutik:
berubah
9. Pola napas berubah 1. Posisikan semi
fowler atau
fowler

25
2. Beri minum
DS: 3. hangat

1. Dispnea 4. Lakukan

2. Sulit bicara 5. fisioterapi dada


jika perlu
3. Orthopnea
6. Beri oksigen
jika perlu
Edukasi:

1. Ajarkan teknik
batuk efektif
Kolaborasi:

1. Kolaborasi dalam
pemberian
bronkodilator,
ekspektoran,
mukolitik jika
perlu

26
2. Pola napas tidak efektif Setelah dilakukan intervensi Pemantauan respirasi
berhubungan dengan keperawatan selama …x… jam (I.01014)
depresi pusat pernapasan maka pola napas pasien Observasi:
Ditandai dengan: DO: membaik dengan kriteria hasil: 1. Monitor
1. Penggunaan otot 1. Penggunaan otot bantu frekuensi, irama,
bantu pernapasan napas menurun kedalaman dan
2. Fase ekspirasi 2. Pemanjangan fase upaya napas
memanjang ekspirasi menurun 2. Monitor
3. Pola napas 3. Frekuensi napas kemampuan
abnormal membaik batuk efektif
4. Pernafasan cuping 4. Kedalaman napas 3. Auskultasi bunyi
hidung membaik napas
5. Kapasita vital (L.01004) 4. Monitor saturasi
menurun oksigen
6. Tekanan ekspirasi 5. Monitor nilai
dan inspirasi AGD
menurun Terapeutik:
DS: 1. Atur intervensi
1. Dispnea

27
2. Ortopnea pemantaun sesuai
kondisi pasien
2. Dokumentasi
hasil pemantauan
Edukasi:

1. Jelaskan tujuan
dan prosedur
pemantauan
2. Informasikan
hasil pemantauan
jika perlu
3. Gangguan pertukaran Setelah dilakukan intervensi Terapi
gas berhubungan keperawatan selama …x… oksigen(I.01026)
dengan jam maka pertukaran gas Observasi:
ketidakseimbangan pasien meningkat dengan 1. Monitor
ventilasi perfusi kriteria hasil: frekuensi, irama,
Ditandai dengan: 1. Dispnea menurun kedalaman dan
DO: upaya napas
2. Bunyi napas tambahan
2. Monitor
1. PCO2 meningkat menurun
kemampuan
atau menurun 3. Pusing menurun
batuk efektif
2. PO2 menurun
4. Gelisah menurun
3. Auskultasi bunyi
3. Takikardi
5. Napas cuping hidung napas
4. pH arteri menurun 4. Monitor saturasi
meningkat atau 6. PCO2 membaik oksigen
menurun 5. Monitor nilai
7. PO2 membaik
5. Bunyi napas AGD
8. Takikardi membaik
tambahan 6. Monitor
6. Sianosis 9. pH arteri membaik kecepatan aliran
oksigen
7. Napas cuping 10. Sianosis membaik
7. Monitor aliran
hidung
11. Pola napas membaik
oksigen secara

28
periodik dan
8. Pola nasaf (L.01003)
abnormal pastikan fraksi

9. Warna kulit
abnormal
10. Gelisah
11. Kesadaran
menurun

29
DS: yang diberikan
cukup
1. Dispnea
8. Monitor
2. Pusing
efektifitas terapi
3. Penglihatan kabur oksigen
9. Monitor tanda-
tanda
hipoventilasi
10. Monitor tanda
dan gejala
toksikasi oksigen
dan atelectasis
Terapeutik:

1. Bersihkan sekret
pada mulut,
hidung
2. Pertahankan
kepatenan jalan
napas
3. Berikan oksigen
tambahan jika
perlu
Edukasi:

1. Ajarkan pasien
dan keluarga cara
menggunakan
oksigen dirumah
Kolaborasi:

1. Kolaborasi
penentuan dosis
oksigen
2. Kolaborasi

30
Penggunaan
oksigen saat

aktivitas atau
tidur

31
4. Defisit nutrisi Setelah dilakukan intervensi Manajemen
berhubungan dengan keperawatan selama …x… jam nutrisi ( I.03119)
faktor psikologis maka status nutrisi pasien Observasi:
Ditandai dengan: membaik dengan kriteria hasil: 1. Identifikasi status
DO: 1. Porsi makanan yang nutrisi
dihabiskan meningkat 2. Identifikasi
1. Berat badan
2. Serum albumin makanan yang
menurun minimal
meningkat disukai
10% dibawah
3. Perasaan cepat kenyang 3. Identifikasi
rentang ideal
menurun kebutuhan kalori
2. Bising usus
4. Frekuensi makan dan jenis nutrien
hiperaktif
membaik 4. Monitor asupan
3. Membran mukosa
5. Napsu makan membaik makanan
pucat
Terapeutik:
4. Serum albumin 6. Bising usus membaik
turun 1. Lakukan oral
Membran mukosa
DS: hygiene sebelum
membaik
makan, jika perlu
1. Cepat kenyang
(L.03030)
2. Sajikan makanan
setelah makan
dengan menarik
Napsu makan
dan suhu yang
menurun
sesuai
2. Nafsu makan
3. Berikan makanan
menurun
tinggi kalori dan
protein
4. Berikan makanan
tinggi serat untuk
mencegah
konstipasi
Edukasi:
1. Anjurkan posisi
duduk, jika mampu

32
Ajarkan diet yang
diprogramkan
Kolaborasi:

1. Kolaborasi
pemberian
medikasi sebelum
makan, jika perlu
2. Kolaborasi
dengan ahli gizi
untuk
menentukan
jumlah kalori dan
jenis nutrien yang
dibutuhkan

33
5. Gangguan pola tidur Setelah dilakukan intervensi Dukungan tidur
berhubungan dengan keperawatan selama …x… :Observasi:
kurangnya kontrol tidur jam maka pola tidur pasien 1. Identifikasi pola
Ditandai dengan: membaik dengan kriteria aktivitas dan tidur
DS: hasil: 2. Identifikasi faktor
1. Keluhan sulit tidur penggangu tidur
1. Mengeluh sulit
meningkat Terapeutik:
tidur
2. Keluhan tidak puas tidur
2. Mengeluh pola 1. Lakukan prosedur
meningkat
tidur berubah untuk
3. Keluhan pola tidur
3. Mengeluh istirahat meningkatkan
berubah meningkat
tidak cukup kenyamanan
4. Keluhan istirahat tidak
2. Modifikasi
cukup meningkat
lingkungan
(L.05045)
3. Tetapkan jadwal
tidur rutin
Edukasi:

1. Anjurkan
Menghindari
makanan atau

minuman yang
menggangu tidur
2. Ajarkan relaksasi
otot autogenik
atau cara

nonfarmakologi
lainnya

34
6. Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan intervensi Manajemen energi
berhubungan dengan keperawatan selama …x… Dan terapi aktivitas
kelemahan dan jam maka intoleransi (I.05186)
ketidakseimbangan aktivitas pasien meningkat Observasi:
antara suplai dan dengan kriteria hasil: 1. Monitor
kebutuhan oksigen 1. Keluhan lelah menurun kelelahan fisik
Ditandai dengan: dan emosional
2. Dispea saat/setelah
DO: 2. Monitor lokasi
aktivitas menurun
dan
1. Frekuensi jantung 3. Frekuensi nadi
ketidaknyamanan
meningkat >20% meningkat
selama
dari kondisi 4. Tekanan darah membaik
melakukan
istirahat
5. Gambaran EKG aritmia
aktivitas
2. Tekanan darah
menurun
Terapeutik:
berubah >20%
6. Frekuensi napas
dari kondisi 1. Fasilitasi aktivitas
membaik
istirahat fisik rutin
7. Saturasi oksigen
3. Gambaran EKG 2. Fasilitasi duduk
meningkat
menunjukkan di tempat tidur
8. Sianosis menurun
aritmia saat atau jika tidak dapat
9. Kekuatan tubuh bagian
setelah aktivitas berpindah atau
atas meningkat
4. Sianosis berjalan
10. Kekuatan tubuh bagian
DS : 3. Sediakan
bawah meningkat
1. Mengeluh lelah lingkungan
(L.05047)
nyaman dan
2. Dispnea
rendah stimulus
saat/setelah
Edukasi:
aktivitas
3. Merasa tidak

35
nyaman setelah 1. Anjurkan tirah
aktivitas baring
4. Merasa lemah 2. Anjurkan

melakukan
aktifitas secara
bertahap
3. Anjurkan

menghubungi
perawat jika ada
tanda gejala
kelelahan tidak

berkurang

36
7. Hipertemi berhubungan Setelah dilakukan intervensi Manajemen Hipertermi
dengan proses penyakit, keperawatan selama …x… (1.15506)
ditandai dengan: jam maka Observsi:
DO : t e r m o r e g u l a s i pasien 1. Identifikasi
1. Suhu tubuh di atas membaik dengan kriteria penyebab
nilai normal hasil: hipertermia (mis
2. Kulit merah 1. Menggigil menurun dehidrasi, terpapar
3. Kejang 2. Kulit merah menurun lingkungan panas,
4. Takikardi 3. Suhu tubuh membaik penggunaan
5. Takipnea 4. Takikardi menurun inkubator)
6. Kulit terasa hangat 5. Takipnea menurun 2. Monitor suhu tubuh
6. Kejang menurun 3. Monitor kadar
elektrolit
4. Mpnitor haluaran
urin
5. Monitor komplikasi
akibat hipertermia
Terapeutik:
1. Sediakan
lingkungan yang
dingin
2. Linggarkan atau
lepaskan pakaian
3. Basahi dan kipasi
permukaan tubuh
4. Berikan cairan oral
5. Ganti linen setiap
hari atau lebih sering
jika mengalami

37
hiperhidrosis
(keringat berlebih)
6. Lakukan
pendinginan external
(mis selimut
hipotermia atau
kompres dingin pada
dahi, leher, dada,
abdomen, aksila)
7. Hindari pemberian
antipiretik atau
aspirin
8. Berikan oksigen,
jika perlu
Edukasi:
Anjurkan tirah baring
Kolaborasi
Kolaborasi
pemberian cairan dan
elektrolit intravena,
jika perlu

38
BAB IV
ASUHAN KEPERAWATAN

KASUS PPOK :
Seorang laki-laki usia 60 tahun dirawat di Ruang Elisabeth I RS Panti Rapih
Yogyakarta. Pasien di diagnosis oleh dokter menderita COPD. Saat dikaji, pasien
mengeluh sesak nafas, batuk berdahak selama 3 bulan, sputum kental berwana kuning,
badan panas.
Pasien memiliki riwayat merokok selama 10 tahun. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan
data: pernafasan hyperventilasi, terlihat adanya penggunaan otot bantu pernafasan, pasien
gelisah, terjadi diaphoresis, terlihat adanya sianosis di ujung-ujung jari, Pasien terlihat
batuk namun sulit untuk mengeluarkan dahak. Hasil pemeriksaan TTV: Nadi: 120 x/mnt,
RR: 40 x/mnt, TD: 160/90 mm Hg, Suhu: 39, 8 oC. Hasil pemeriksaan AGD: PH: 7,36; Pa
O2: 75 ; Pa CO2: 42; BE: -3, SA O2: 90%.
Melihat keadaan tersebut, pasien diberikan terapi oksigen masker 7 lpm, nebulizer dengan
bisolvon 2 cc dan ventolin 2,5 mg, dilakukan fisioterapi dada.

I. IDENTITAS

Nama : Tn. B
Umur : 60 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Diagnosa medis : COPD
II. KELUHAN UTAMA :
Pasien mengatakan sesak napas dan batuk dengan mucus yang berwarna kuning,
badan panas.
III. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG :
Pasien mengatakan bahwa sudah batuk berdahak selama 3 bulan, sputum kental
warna kuning, dan badan panas.
IV. RIWAYAT KESEHATAN DAHULU :
Pasien memiliki riwayat merokok selama 10 tahun

V. PEMERIKSAAN FISIK
a. Keadaan Umum: Lemah
Kesadaran : Composmentis

39
GCS : 4-5-6
Tanda-tanda vital:
TD : 160/90 mmHg
Nadi: 120x/menit
Suhu: 39,8°C
RR: 40x/menit
b. Pemeriksaan Kuku
Inspeksi
Warna Kulit: sawo matang, tidak ada lesi, tampak sianosis di ujung kuku
c. Pemeriksaan Hidung
Hidung : terdapat alat bantu napas O2 masker 7 L/menit

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG


1. Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan Hasil
Pemeriksaan AGD
PH 7,36
PaO2 75
PaCO2 42
BE -3
SA O2 90%

VII. TERAPI MEDIS


No Nama Obat Rute Pemberian Kegunaan
1 Bisolvon 2cc Inhalasi (nebulizer) Untuk meringankan sesak nafas
2 Ventolin 2,5 mg Inhalasi (nebulizer) Untuk meringankan sesak nafas

40
VIII. PENGELOMPOKAN DATA
PENGELOMPOKAN DATA
DATA SUBYEKTIF DATA OBYEKTIF
1. Sesak napas 1. Pernapasan hiperventilasi
2. Batuk berdahak selama 3 bulan 2. Terlihat adanya penggunaan otot bantu
3. Badan panas pernapasan
3. Pasien gelisah
4. TD: 160/90 mmHg, nadi 120 x/i, RR
40x/i, Suhu 39,8 C
5. AGD: BE: -3, SA O2: 90%.
6. Sianosis di ujung-ujung jari
7. Pasien tampak batuk sulit mengeluarkan
dahak dan sputum kental berwarna kuning
8. Terjadi diaforesis

IX. DIAGNOSA

No. Masalah Etiologi Tanda dan Gejala


1 Bersihan jalan napas tidak Hipersekresi jalan DO:
efektif.(D.0001) napas dan sekresi 1. Batuk sulit mengeluarkan
yang tertahan. dahak
2. Spuntum kental berwarna
kuning
3. Sianosis diujung -ujung jari
4. Pernfasan
hyperventilasi,RR 40x/mnt
DS:
1. Pasien mengatakan sesak
2. Batuk berdahak selama 3
bulan

2 Ketidakseimbangan D0:
Gangguan pertukaran gas
ventilasi perfusi 1. Gelisah
D.0003)
2. AGD: BE: -3, SA 02 90%

41
3. Takikardi, N=120x/mnt
4. Hiperventilasi RR : 40 x/m
5. Terjadi Diaforesis
DS:
1. Pasien mengatakan sesak
3 Hipertermi (D.0130) Proses Penyakit DO :
1. Badan teraba panas
2. Sianosis di ujung-ujung
jari
3. S : 39,8 C, N : 120 x/m,
RR : 40 x/m

DS :
1. Badan panas

X. RENCANA KEPERAWATAN

No Diagnosa Luaran Keperawatan Intervensi Keperawatan


Keperawatan
1. Bersihan jalan nafas Setelah dilakukan intervensi Latihan batuk efektif
tidak efektif keperawatan selama 3x24 jam dan manajemen jalan
berhubungan maka bersihan jalan napas napas
dengan hipersekresi pasien meningkat dengan Observasi: ( I.01006)
jalan nafas dan kriteria hasil: (L.01001)
1. Identifikasi
sekresi yang 1. Batuk efektif meningkat
kemampuan
tertahan dibuktikan
2. Produksi sputum menurun batuk
dengan: Pasien
3. Dispnea membaik,RR=12- 2. Monitor sputum
mengatakan sesak,
20x/mnt (jumlah, warna,
Batuk sulit
konsistensi)
4. Sianosis
mengeluarkan
3. Monitor pola napas
membaik,CRT<3detik,kulit
dahak,.Spuntum
(frekuensi, kedalaman,
berwarna merah muda

42
kental berwarna usaha napas)
5. Frekuensi napas
kuning 4. Monitor bunyi napas
membaik,RR=12-20x/mnt
Sianosis diujung - tambahan (mengi,
6. Pola napas membaik
ujung jari.Pernfasan wheezing atau
eupneu
hyperventilasi,RR ronkhi)
40x/mnt Terapeutik:

1. Posisikan semi fowler


atau fowler
2. Beri minum hangat

3. Lakukan fisioterapi dada


jika perlu
4. Beri oksigen jika
perlu
Edukasi:

1. Ajarkan teknik
batuk efektif
Kolaborasi:
1. Kolaborasi dalam
pemberian
bronkodilator,
ekspektoran, mukolitik
jika perlu
2 Gangguan Setelah dilakukan intervensi Terapi Oksigen ( I.01026)
pertukaran gas keperawatan selama 3 x 24 Observasi
berhubungan jam maka pertukaran gas 1. Monitor kecepatan
dengan pasien meningkat dengan aliran oksigenasi
ketidakseimbangan kriteria hasil : ( L.01003) 2. Monitor posisi alat
ventilasi perfusi 1. Dispneu/ hiperventilasi terapi oksigen
yang dibuktikan menurun (5) 3. Monitor aliran
dengan : 2. Gelisah menurun (5) oksigen secara dan
Pasien mengatakan 3. Diaforesis menurun (5) pastikan fraksi yang
sesek 4. Takikardi Membaik (5) diberikan cukup

43
Pasien tampak 5. Sianosis membaik (5) 4. Monitor efektifitas
Gelisah terapi oksigen
Terjadi diaforesis (Oksimetri, AGD)
Hiperventilasi RR 5. Monitor tingkat
40 x/m kecemasan
Takikardi N : 120 Rerapeutik
x/m 1. Bersihkan sekret pada
Hasil AGD : mulut, hidung dan
BE : -3, SaO2 : 90 trakea
% 2. Berikan oksigenasi
tambahan
Edukasi
1. Ajarkan pasien dan
keluarga cara
menggunakan
oksigen di rumah
Kolaborasi
1. Kolaborasi penentuan
dosis oksigen
2. Kolaborasi
penggunaan oksigen
saat aktivitas da/atau
tidur
3 Hipertermi Setelah dilakukan tindakan Manajemen Hipertermi
berhubungan keperawatan selama 3 x 24 ( I.15506)
dnegan proses jam maka termoregulasi Observasi
penyakit dibuktikan pasien membaik dengan 1. Monitor suhu tubuh
dengan : kriteria hasil : (L.14134) 2. Monitor komplikasi
Pasien mengeluh 1. Dasar kuku sianosis akibat hipertermi
badan panas menurun (5) Terapeutik
Sianosis di ujung- 2. Takikardi menurun (5) 1. Longgarkan atau
ujung jari 3. Takipnea Menurun lepaskan pakaian
S : 39,8 C 4. Suhu tubuh membaik 2. Berikan cairan oral

44
N : 120 x/m 5. Suhu kulit membaik 3. Berikan oksigen, jika
RR : 40 x/m perlu
Edukasi
1. Anjurkan tirah baring
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberia
cairan intervena

BAB V

45
KESIMPULAN

PPOK atau Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah penyakit paru yang ditandai
dengan adanya hambatan atau sumbatan aliran udara yang bersifat reversible atau
irreversible dan juga bersifat progresif yang dapat mengakibatkan inflamsi abnormal pada
paru, PPOK terdiri dari brokhitis dan emfisema.
Faktor resiko dari PPOK yaitu seseorang yang merokok, pajanan polusi udara,
genetik, riwayat infeksi paru berulang, kurangnya alfa anti tripsin genetik, usia, gender
dan kurang aktivitas fisik. Tanda dan gejala dari PPOKditemukan sesak napas, batuk,
sputum meningkat, sianosis, dan penurunan berat badan. Pemeriksaan penunjang yang
adapat dilakukan antara lain spirometri, uji bronkodilator, foto thorax, AGD dan uji
latihan kardiopulmoner. Sedangkan untuk penatalaksanaan medis yang dapat dilakukan
mukolitik, bronkodilator, antikoligernik, antibiotik, theraphy kombinasi LABA/ICS.
Untuk penataksanaan nonmedis dapat dilakukan dengan memberi edukasi untuk berhenti
merokok, pemenuhan nutrisi, rehabilitasi.
Konsep asuhan keperawatan untuk pasien dengan PPOK dilakukan dari pengkajian
fokus, merumuskan diagnosa yang didapatkan antara lain bersihan jalan napas tidak
efektif, pola napas tidak efektif, gangguan pertukaran gas, defisit nutrisi, gangguan pola
tidur dan intoleransi aktivitas. Rencana keperawatan disesuaikan dengan diagnosa yang
sudah ada.

46
DAFTAR PUSTAKA

Bachrudin, M dan Najib, M. (2016). Keperawatan Medical Bedah I. Jakarta Selatan:


Pusdik SDM Kesehatan.
Doenges, M.E (2012). Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk Perencanaan dan
Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. (2021). Global Strategy for
the Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary
Disease 2021 Report

Harianto, H., Maghfirah, S., & Andayani, S. (2021). Studi kasus: asuhan keperawatan
pada pasien dewasa penderita ppok dengan masalah keperawatan gangguan pola
tidur di ruang asoka rsud dr. Harjono ponorogo. Health Sciences Journal, 5(1),
89-94.http://studentjournal.umpo.ac.id/index.php/HSJ/article/view/675/438
Huda, N.A., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & NANDA NIC-NOC. Yogyakarta: MediAction
Hurst, M. (2015). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC

Hermanto, A. D. (2018). Prevalensi Dan Komorbiditas Penyakit Paru Obstruktif Kronik


(Ppok) Di Kabupaten Jember. Jember: Repository Universitas Jember, Skripsi.
Kristiningrum. (2019). Farmakoterapi penyakit paru obstruksi kronik (ppok).

Departemen Medical Pt Kalbe Farma Jakarta, 262-271.


Lemone, P. (2015). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC

Lim S, Lam DC, Muttalif AR, Yunus F, Wongtim S, Lan le TT, et.al. Impact of chronic
obstructive pulmonary disease (COPD) in the Asia-Pacific region: the EPIC Asia
population-based survey. Asia Pac Fam Med. 2015;14(1):4.
Lindayani, L. P. (2017). PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK). Denpasar:

https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir.

Mutaqqin, A (2008) Buku Ajar Klien Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba
Medika
Nguyen VN, Yunus F, Nguyen TPA, Dao Bich V Damayanti T, Wiyono WH, et.al. The
prevalence and patient characteristics of chronic obstructive pulmonary disease in

47
non-smokers in Vietnam and Indonesia: An observational survey. Respirology.
2015;20(4):602-11.
Oemiati, R. (2013). EPIDEMIOLOGIC STUDY OF CHRONIC OBSTRUCTIVE

PULMONARY DISEASE (COPD). Media Litbangkes Vol. 23 No. 2, Juni 2013:


82-88.
Paramasivam, K. (2017). PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS (PPOK). Denpasar:

http://erepo.unud.ac.id/id/eprint/18277/1/23f8d4e4236fc8d9f53f0832bf8aba04.pdf.

PPNI. (2017). Standar diagnosis keperawatan indonesia : definisi dan indikator


diagnostik , Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

PPNI. (2018). Standar intervensi keperawatan indonesia : definisi dan tindakan


keperawatan, Edisi 1. Jakarta: DPP PPNI

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2011). Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
Edisi Buku Lengkap, Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksanaan di Indonesia.
Jakarta
Susanto, A. D. (2021). PROBLEMS OF CHRONIC OBSTRUCTIVE PULMONARY

DISEASE (COPD) AMONG WORKERS. Jurnal Respirologi Indonesia.


Wardani, E. D. K., Faidah, N., & Nugroho, T. W. (2020). Efektivitas Diaphragmatic
Breathing Exercise terhadap Peningkatan Saturasi Oksigen Pasien PPOK di Ruang
Melati I dan Melati II RSUD dr. Loekmonohadi Kudus. Prosiding HEFA (Health
Events for All), 4.
http://prosiding.stikescendekiautamakudus.ac.id/index.php/pros/article/view/357
/137

Wulandari, R. A. (2021). ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN DENGAN PENYAKIT


PARU OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK) DI RUANG BUKETAN
RSUD BENDAN KOTA PEKALONGAN (Doctoral dissertation, Universitas
Pekalongan

48
49

Anda mungkin juga menyukai