Dosen Pembimbing:
Disusun oleh:
1
2022
2
KATA PENGANTAR
Segala puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan YME atas berkat rahmat yang
diberikan kepada kami,sehingga kami dapat menyelesaikan Makalah yang berjudul
“Konsep Penyakit Dan Konsep Asuhan Keperawatan Pada Pasien Dengan Penyakit Paru
Obstruktif Kronis (PPOK)“ dengan baik meskipun jauh dari kesempurnaan. Tujuan dalam
penulisan laporan ini untuk memenuhi salah satu tugas kelompok mata kuliah KMB di
STIKes Panti Rapih Yogyakarta.
Demikian yang dapat kami sampaikan, kami menyadari masih banyak kekurangan
dalam makalah ini,kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang membangun guna
perbaikan dalam pembuatan makalah selanjutnya. Semoga laporan ini dapat bermanfaat
bagi kita semua.
Kelompok 3
DAFTAR ISI
III
HALAMAN JUDUL I
KATA PENGANTAR II
DAFTAR ISI III
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar belakang 1
B. Rumusan Masalah 2
C. Tujuan Penelitian 2
BAB II PEMBAHASAN 3
A. Konsep Penyakit 3
B. Konsep Keperawatan 18
C. Asuhan Keperawatan 37.
BAB III KESIMPULAN DAN SARAN 35
A.Kesimpulan 35
B.Saran 35
DAFTAR PUSTAKA 36
IV
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) merupakan penyakit yang umum dan
sering dijumpai tetapi PPOK juga merupakan penyakit yang dapat dicegah dan dapat
diobati (Susanto, 2021). Penyakit Paru Obstruksi (PPOK) merupakan penyakit paru
dengan respon inflamasi kronis yang ditandai oleh terjadi obstruksi atau hambatan aliran
udara di saluran nafas yang mengakibatkan PaO2 rendah dan PaCo2 dalam tubuh tinggi.
Hal ini diakibatkan artikel gas tertentu yang menyebabkan penurunan suplai oksigen
keseluruh tubuh.(Harianto,Maghfirah & Andayani 2021). Menurut Lindayani (2017)
PPOK dapat disebut sebagai penyakit kronis progresif pada paru yang ditandai oleh
adanya hambatan atau sumbatan aliran udara yang bersifat irreversible atau reversible
sebagian.
Prevalensi morbiditas dan mortalitas PPOK telah meningkat dari waktu ke waktu
terdapat 600 juta orang menderita PPOK didunia dengan 65 juta orang menderita PPOK
derajat sedang hingga berat.(Worth Health Organization dalam Wardani,Faidah dan
Nugroho,2019).Lim dkk (2015) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa di Asia Pasifik
angka prevalensi PPOK sebesar 6,2% dan di Indonesia sebesar 4,5%. Penelitian yang
dilakukan oleh Nguyen dkk (2015) di Vietnam dan Indonesia juga menemukan angka
prevalensi PPOK pada bukan perokok adalah 6,9%.
Penelitian-penelitian di populasi secara konsisten menunjukkan sebesar 10-15%
total PPOK berhubungan dengan pajanan bahan di tempat kerja. Susanto (2021)
menjelaskan bahwa pajanan di tempat kerja berhubungan dengan peningkatan risiko
PPOK. Pajanan bahan-bahan yang berbahaya di tempat kerja berupa uap, gas, debu dan
asap (vapours, gases, dusts dan fumes/VGDF) dilihat dari bukti-bukti berbagai penelitian
berpotensi meningkatkan risiko PPOK.
Pajanan di lingkungan kerja merupakan salah satu faktor risiko penting terjadinya
PPOK pada bukan perokok. Telaah sistematik terbaru menyimpulkan bahwa terdapat bukti
kuat dan konsisten antara pajanan bahan di tempat kerja dengan PPOK. Penelitian pada
bukan perokok di Vietnam dan Indonesia menemukan faktor risiko PPOK pada bukan
perokok adalah pajanan polusi udara, pajanan debu dan asap di tempat kerja, infeksi
1
berulang pada waktu anak-anak, riwayat tuberkulosis, asma kronik dan sosial ekonomi
rendah. Penelitian-penelitian di populasi secara konsisten menunjukkan PPOK
berhubungan dengan pajanan bahan di tempat kerja. (Nguyen. dkk, 2015).
Gejala PPOK secara umum ada tiga yaitu, batuk, berdahak dan sesak napas
khsususnya saat beraktivitas. ATS telah membagi skala sesak napas dari tingkat 0, satu,
dua, tiga dan empat, yang menuju ke tingkat keparahan. Sedangkan klasifikasi PPOK
terdiri dari ringan sedang dan berat yang diukur berdasarkan pemeriksaan spirometri yang
menghasilkan nilai VEP1 dibagi dengan KVP yaitu besarnya ratio udara yang mampu
dihisap dan dikeluarkan oleh paru-paru manusia. Faktor risiko utama PPOK antara lain
merokok, polutan indoor, outdoor dan polutan di tempat kerja, selain itu ada juga faktor
risiko lain yaitu genetik, gender, usia, konsumsi alkohol dan kurang aktivitas
fisik. ( Oemiati, 2013).
Oleh karena itu dalam makalah ini kelompok ingin memaparka konsep teori
tentang PPOK dan konsep asuhan keperawatan pada pasien yang mengalami PPOK.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan apa yang diperoleh dari latar belakang, maka dapat dirumusan
masalah dalam makalah ini yaitu,
1. Apa Yang Dimaksud Dengan Penyakit Paru Obstruktif Kronis?
2. Bagaimana Konsep Penyakit Paru Obstruktif Kronis?
3. Bagaimana Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronis?
C. Tujuan
1. Untuk Mengetahui Apa Itu Penyakit Paru Obstruktif Kronis.
2. Untuk Mengetahui Konsep Penyakit Paru Obstruktif Kronis.
3. Untuk Mengetahui Penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruktif Kronis.
2
BAB II
KONSEP PENYAKIT
A. Pengertian
Menurut Dongoes (2012) PPOK adalah obstruksi kronis pada aliran udara
dengan klasifikasi luas, penyebab obstruksi bermacam-macam contoh inflamasi jalan
nafas ,pelengketan mukosa, penyempitan lumen jalan nafas, kerusakan jalan nafas,
asma, bronkhitis kronis, emfisema. Menurut Lindayani (2017), Penyakit Paru
Obstruktif Kronis (PPOK) dapat disebut sebagai penyakit kronis progresif pada paru
yang ditandai oleh adanya hambatan atau sumbatan aliran udara yang bersifat
irreversible atau reversible sebagian dan menimbulkan konsekuensi ekstrapulmoner
bermakna yang berkontribusi terhadap tingkat keparahan pasien.
Menurut Hermanto (2018), Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah
penyakit paru yang ditandai dengan penyumbatan kronis aliran udara dari paru
sehingga mengganggu pernapasan normal dan tidak sepenuhnya reversibel.
Penyumbatan kronis aliran udara pada umumnya bersifat progresif yang disertai
respon inflamasi obnormal pada paru disebabkan oleh paparan partikel atau gas
berbahaya. PPOK terdiri dari bronkitis dan emfisema atau gabungan antara
keduanya.
Menurut Susanto (2021), Penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) merupakan
penyakit yang umum, dapat dicegah dan dapat diobati yang ditandai dengan gejala
berupa respirasi yang menetap dan keterbatasan aliran udara yang disebabkan oleh
abnormalitas saluran udara dan/atau alveolar yang biasanya disebabkan oleh pajanan
partikel atau gas-gas berbahaya.
Dari pendapat ahli diatas dapat disimpulkan PPOK atau Penyakit Paru
Obstruksi Kronis adalah penyakit paru yang ditandai dengan adanya hambatan atau
sumbatan aliran udara yang bersifat reversible atau irreversible dan juga bersifat
progresif yang dapat mengakibatkan inflamsi abnormal pada paru, PPOK terdiri dari
brokhitis dan emfisema.
B. Faktor Resiko
Menurut Paramasivam (2017), faktor resiko paling utama dari PPOK adalah
3
kebiasaan merokok yang merupakan satu-satunya penyebab kausal yang terpenting
dan jauh lebih penting dari faktor penyebab lainnya. Rokok sejauh ini masih menjadi
faktor resiko penting untuk terjadinya PPOK. Faktor risiko penting lainnya adalah
paparan di tempat kerja, status sosoial ekonomi, dan predisposisi genetik. PPOK
mempunyai riwayat yang bervariasi dan tidak semua individu mempunyai riwayat
yang sama.
Susanto (2021) juga menjelaskan bahwa faktor resiko utama dari PPOK adalah
merokok. Diperkirakan asap rokok merupakan faktor risiko pada 85-95% kasus PPOK
pada laki-laki dewasa. Pajanan pasif asap rokok (perokok pasif) juga merupakan faktor
risiko penting timbulnya PPOK. Beberapa faktor risiko lain adalah polusi udara di luar
ruangan seperti asap kendaraan, debu jalanan, polusi udara dalam ruangan seperti asap
kompor serta debu dan gas berbahaya di lingkungan kerja. Infeksi juga berperan
penting sebagai salah satu faktor risiko berkembangnya PPOK. Selain itu faktor status
nutrisi juga menjadi salah satu faktor risiko pada patogenesis PPOK. Faktor genetik
juga mempunyai peran penting dalam perkembangan PPOK. Sampai saat ini bukti
yang ada menunjukkan abnormalitas genetik yang berkaitan dengan peningkatan risiko
PPOK adalah defisiensi α-1 antitripsin, dalam hal ini berhubungan dengan
perkembangan emfisema.
Hermanto (2018) juga menambahkan beberapa faktor resiko PPOK
dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain:
1. Merokok
Merokok merupakan penyebab PPOK terbanyak yaitu sebesar 95% kasus di negara
berkembang. Perokok aktif dapat mengalam hipersekresi mucus dan obstruksi
jalan napas kronik. Dilaporkan ada hubungan antara penurunan volume ekspirasi
paksa detik pertama (VEP1) dengan jumlah, jenis dan lamanya merokok. Perokok
pasif juga menyumbang terhadap symptom saluran napas dan PPOK dengan
peningkatan kerusakan paru-paru akibat menghisap partikel dan gas-gas
berbahaya. Merokok pada saat hamil juga akan meningkatkan risiko terhadap
janin dan mempengaruhi pertumbuhan paru-parunya.
2. Polusi Indoor
Memasak dengan bahan biomass dengan ventilasi dapur yang jelek misalnya terpajan
asap bahan bakar kayu dan asap bahan bakar minyak diperkirakan memberi
kontribusi sampai 35%. Manusia banyak menghabiskan waktunya pada lingkungan
4
rumah (indoor) seperti rumah, tempat kerja, perpustakaan, ruang kelas, mall, dan
kendaraan. Polutan indoor yang penting antara lain SO2, NO2 dan CO yang
dihasilkan dari memasak dan kegiatan pemanasan, zat-zat organik yang mudah
menguap dari cat, karpet, dan mebelair, bahan percetakan dan alergi dari gas dan
hewan peliharaan serta perokok pasif.
3. Polusi Out door
Polusi udara mempunyai pengaruh buruk pada VEP1, inhalan yang paling kuat
menyebabkan PPOK adalah Cadmium, Zinc dan debu. Bahan asap pembakaran/
pabrik/tambang. Bagaimanapun peningkatan relatif kendaraan sepeda motor di
jalan raya pada dekade terakhir ini saat ini telah mengkhawatirkan sebagai
masalah polusi udara pada banyak kota metropolitan seluruh dunia. Pada negara
dengan income rendah dimana sebagian besar rumah tangga di masyarakat
menggunakan cara masak tradisional dengan minyak tanah dan kayu bakar, polusi
indoor dari bahan sampah biomassa telah memberi kontribusi untuk PPOK dan
penyakit kardio respiratory, khususnya pada perempuan yang tidak merokok.
5
Konsumsi alkohol RR 1,77 (95% CI : 1,45 ± 2,15), dan kurang aktivitas fisik 2,66
(95% CI ; 2,34 ± 3,02).
C. Etiologi
Menurut Mansjoer (2008) dan Ovedoff (2006) ada beberapa faktor yang
menyebabkan Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK)
1. Kebiasaan merokok, polusi udara, paparan debu, asap dan gas-gas kimiawi.
1. Bronkitis kronik
2. Emfisema
6
udara yang abnormal. Merokok juga merupakan penyebab utama dari enfisema,
makrofag dari alveoli dan limfosit CD-8 meningkatkan dan menghancurkan
jaringan paru. Sitokin juga memainkan paru peran dalam inflamasi. Selain itu
anti-proteinase, yang melindungi jaringan paru menjadi inaktivitas,
menyebabkan penurunan perbaikan paru. Hal ini menyebabkan kerusakan pada
dinding alveolar menyebabkan alveoli dan ruang udara membesar dan
kehilangan capillary bed pulmonal yang saling berhubungan. Akibatnya
permukaan untuk difusi kapiler alveolar berkurang mempengaruhi pertukaran
gas.
D. Manifestasi klinis
Menurut Hurts (2015) tanda dan gejala PPOK ada 2 yaitu pink puffer pada
pasien emfisema dan blue bloater pada pasien bronkhitis adapun tanda dan gejala
yang lain yaitu :
1. Emfisema
d. Jari dan kaki tangan seperti gada karna hipoksia kronis dan terjadi
perubahan jaringan
e. Mengi saat inspirasi, bunyi meletih karena kolaps bronkiolus
2. Bronkhitis kronis
7
atau cairan belik ke sirkulasi sistemik
c. Mengi saat ekspirasi, ronkhi meletih
E. Klasifikasi
Menurut Lemone (2015) ada tahapan klasifikasi PPOK dibagi menjadi 5 yaitu :
1. Tahap 0 (Berisiko)
Aliran udara ringan terbatas, biasanya ditandai dengan adanya batuk kronis dan
produksi sputum
3. Tahap 2 (PPOK)
Pemburukan aliran udara lebih lanjut, sesak napas meningkat dan eksaserbasi berulang
5. Tahap 4 (PPOK sangat berat)
8
9
F. Patofisiologi
10
Sumber : Mutaqqin (2008), Huda Nurarif (2015), Lemone (2015)
11
G. Pemeriksaan penunjang medis
Foto thorax PA dan lateral berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain. CT
scan juga dapat dilakukan bila ada kecurigaan tumor paru
4. Analisis Gas Darah : dilakukan apabila saturasi oksigen arteroperifer <92%
12
H. Penatalaksanaan medis
1. Bronkodilator
2. Mukolitik
3. Antikolinergik/Antagonis Muskarinik
4. Antibiotik
13
berdasarkan pada mikroorganisme penyebab dan hasil uji kepekaan. Terapi
empiris perlu segera diberikan sementara menunggu hasil pemeriksaan dari
laboratorium mikrobiologi. Selanjutnya barulah dilakukan penyesuaian pemberian
antibiotika untuk mendapatkan hasil yang maksimal. World Health Organization
telah menetapkan antibiotik sebagai terapi empiris PPOK eksaserbasi akut yaitu
amoksisilin atau eritromisin atau kloramfenikol (Hidayatulloh, 2015).
6. Kombinasi LABA/ICS
Pada pasien dengan PPOK sedang hingga sangat berat dan eksaserbasi, kombinasi
LABA/ICS lebih efektif dibanding obat tunggal dalam memperbaiki fungsi paru,
status kesehatan, dan menurunkan eksaserbasi.
Terapi oksigen dalam jangka panjang di gunakan untuk hipoksemia berat dan
progresif. Meningkatkan toleransi latihan, fungsi mental, dan kualitas hidup pada
PPOK tingkat lanjut. Pemberian oksigen menggunakan nasal kanul 1-2
liter/menit.
9. Glucocorticoid oral
14
Tahapan penatalaksanaan :
Setelah pelaksanaan terapi, pasien harus dinilai ulang untuk pencapaian tujuan
pengobatan dan identifikasi hambatan untuk pengobatan yang berhasil. Setelah
meninjau respons pasien terhadap inisiasi pengobatan, penyesuaian dalam
pengobatan farmakologis mungkin diperlukan. Untuk pengobatan farmakologis
diklasifisifikasikan ( Kelompok GOLD) sebagai berikut :
a. Grup A
Terapi awal harus terdiri dari bronkodilator kerja panjang tunggal. Dalam dua
15
perbandingan head-to-head, LAMA yang diuji lebih unggul daripada LABA
dalam hal pencegahan eksaserbasi oleh karena itu GOLD merekomendasikan
untuk memulai terapi dengan LAMA pada kelompok ini.
d. Grup D
Secara umum, terapi dapat dimulai dengan LAMA karena memiliki efek pada
sesak napas dan eksaserbasi
2. Tindak lanjut manajemen farmakologis
Untuk pasien dengan sesak napas persisten atau pembatasan olahraga pada
16
monoterapi bronkodilator kerja panjang, penggunaan dua bronkodilator
dianjurkan. Jika penambahan bronkodilator kerja lama kedua tidak
memperbaiki gejala, GOLD menyarankan pengobatan dapat dihentikan lagi
menjadi monoterapi. Mengganti perangkat atau molekul inhaler juga dapat
dipertimbangkan. Untuk pasien dengan sesak napas persisten atau
keterbatasan olahraga pada pengobatan LABA/ICS, LAMA dapat
ditambahkan untuk meningkatkan terapi tiga kali lipat. Alternatif, beralih dari
LABA/ICS ke LABA/LAMA harus dipertimbangkan jika indikasi awal untuk
ICS tidak tepat (misalnya ICS digunakan untuk mengobati gejala tanpa
adanya riwayat eksaserbasi), atau telah terjadi kurangnya respon terhadap
pengobatan ICS, atau jika efek samping ICS memerlukan penghentian. Pada
semua tahap, dispnea karena penyebab lain (bukan PPOK) harus diselidiki
dan diobati dengan tepat. Teknik inhaler dan kepatuhan harus
dipertimbangkan sebagai penyebab respon pengobatan yang tidak memadai.
b. Eksaserbasi
17
jumlah eosinofil yang lebih tinggi. Tambahkan roflumilast atau azitromisin
jika eosinofil darah <100 sel/μl
Merokok dapat mecegah PPOK dan juga meningkatkan fungsi paru ketika
penyakit terdiagnosis. Berhenti merokok tidak hanya mencegah PPOK, tetapi juga
meningkatkan fungsi paru ketika penyakit terdiagnosis. Volume ekspirasi paksa
meningkat dan kesintasan lebih lama, lebih besar akibat kecepatan kangker paru
paru dan penyakit jantung yang lebih rendah. Strategi untuk membantu pasien
berhenti merokok adalah 5A (PDPI /Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2015)
dalam (Tuk, 2020) :
Meminimalkan produk susu dan garam untuk tindakan diit akan membantu
mengurangi produk mukosa dan mempertahankan mukus tetap cair tetapi tetap
dianjurkan untuk mengganti produksi protein dan kalsium. Teh herbal dengan
18
papermint dan yarrow, coldsfood atau comfrey juga dimanfaatkan sebagai
ekspektoran dan dapat membantu untuk meredakan kongesti dada. Diet yang
cocok untuk penderita PPOK dengan defisit nutrisi adalah diet TKTP yaitu diet
yang mengandung energi dan protein di atas kebutuhan normal. Diet ini diberikan
dalam bentuk makanan biasa atau lunak (bubur) ditambah bahan makanan sumber
protein tinggi seperti susu, telur dan daging dalam bentuk minuman enternal. Diet
Tinggi Kalori Tinggi Protein (TKTP) bertujuan memberikan makanan lebih
banyak daripada keadaan biasa untuk memenuhi kebutuhan energi dan protein
yang meningkat dan mengurangi kerusakan jaringan tubuh atau guna menambah
berat badan hingga mencapai normal. Prinsipnya berupa pemenuhan kebutuhan
tinggi kalori tinggi protein :
a. Energy : tinggi (2500 – 3000 kal/hari) berat badan ideal
d. Lemak : rendah/cukup (20 – 25% total energy) yaitu sebesar 35,3 gram
Selain menghindari alergen jalan napas, tindakan hygiene paru yang dapat
dilakukan antara lain hidrasi, batuk efektif, perkusi dan drainasi poatural
digunakan untuk memperbaiki kebersihan sekresi jalan napas. Rehabilitasi paru
mengajarkan pasien untuk mengelola gejala dan mencapai tingkat fungsi
maksimal mereka antara lain latihan fisik, edukasi, dan dukungan psikologis.
Latihan fisik yang disarankan antara lain 30-90 menit, 3-5 kali per minggu.
19
BAB III
KONSEP KEPERAWATAN
A. Pengkajian fokus
Menurut Dongoes dan Marilynn (2012), pengkajian pada pasien dengan PPOK antara
lain:
1. Identitas pasien atau biodata
Penyakit PPOK (asma bronkial) dapat menyerang berbagai usia tetapi lebih
sering dijumpai pada usia dini. Separuh kasus timbul usia 10 tahun dan sepertiga
kasus timbul di usia 40 tahun. Predisposisi laki-laki dan perempuan usia dini
sebesar 2:1 yang kemudian sama pada usia 30 tahun.
2. Riwayat kesehatan
a. Keluhan utama
Keluhan utama yang timbul pada pasien PPOK adalah sesak nafas, lemas,
batuk berdahak karena produksi sputum/lendir, nafsu makan menurun, mual
dan muntah, mukosa bibir kering, penurunan berat badan.
b. Riwayat kesehatan dahulu
Perlu ditanyakan pada keluarga apakah salah satu anggota keluarganya ada
yang pernah mengalami sakit yang sama dengan pasien
3. Aktivitas dan istirahat
20
c. Ketidakmampuan tidur, bisa tidur dalam posisi duduk yang tinggi
4. Sirkulasi
d. Edema dependent
f. Membran mukosa normal atau abu-abu atau sianosis, kuku tubuh dan
sianosis perifer
5. Integritas ego
Gejala yang sering muncul antara lain mual muntah, napsu makan
buruk/anoreksia, ketidakmampuan makan karena distress pernapasan, penurunan
berat badan (emfisema), peningkatan berat badan menunjukkan edema
(bronkhitis)
7. Hygiene
Gejala yang sering timbul yaitu adanya penurunan kemampuan atau peningkatan
kebutuhan aktivitas sehari-hari
8. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
21
b. Pemeriksaan kepala dan wajah
Inspeksi : Pada pasien PPOK ditemukan wajah nampak lesu karena keletihan
dan kurang tidur, terdapat area gelap disekitar kelopak mata
Palpasi : Pastikan tidak adanya benjolan atau tumor yang tumbuh di area
kepala maupun wajah.
c. Pemeriksaan telinga
Inspeksi : kesimetrisan telingan kanan dan kiri, kebersihan telinga kanan dan
kiri serta kelainan bentuk pada telinga.
d. Pemeriksaan mata
Inspeksi : Adanya anoreksia dan mual muntah. Inspeksi mukosa mulut, dan
kebersihan mulut, kaji adanya pembesaran tonsil.
f. Pemeriksaan leher
22
tidak (Sonor) Auskultasi : Adanya bunyi tambahan seperti ronchi, whezzing
i. Jantung
Perkusi : Dengarkan bunyi jantung jika normal akan terdengar pekak jika
tidak biasanya ada suara tambahan.
Auskultasi : Dengarkan letak atau posisi bunyi jantung
j. Pemeriksaan abdomen
Palpasi : Adanya nyeri tekan maupun adanya pembesaran pada ginjal dan
periksa adanya distensi maupun acites. Teraba 35 nyeri atau massa pada
abdomen (pheochromocytoma) atau sel kromafin.
k. Pemeriksaan integumen
Palpasi : Suhu kulit dingin, kulit berwarna pucat, CRT >2 detik, dan sianosis.
l. Pemeriksaan ektremitas
Inspeksi : Kaji kebersihan genetalia dan anus, adakah nyeri tekan dan
benjolan abnormal.
9. Keamanan
Gejala yang dapat terjadi yaitu adanya riwayat reaksi alergi atau sensitif
terhadap zat atau faktor lingkungan lain
10.Seksual
23
11.Interaksi sosial
Banyak pasien PPOK yang kesulitan berhenti merokok dan masih konsumsi
alkohol
B. Diagnosa Keperawatan
24
C.. Rencana Keperawatan
(SLKI)
1. Bersihan jalan nafas Setelah dilakukan intervensi Latihan batuk efektif
tidak efektif keperawatan selama …x… ((I.01066)dan manajemen
berhubungan dengan jam maka bersihan jalan jalan napas(I.01011)
hipersekresi jalan nafas napas pasien meningkat Observasi:
dan dengan kriteria hasil:
1. Identifikasi
sekresi yang tertahan. 1. Batuk efektif meningkat
kemampuan
Ditandai dengan:
2. Produksi sputum batuk
DO:
menurun 2. Monitor sputum
1. Batuk tidak efektif
3. Mengi dan wheezing (jumlah, warna,
2. Tidak mampu batuk
menurun konsistensi)
3. Sputum berlebih 4. Dispnea membaik 3. Monitor pola
napas (frekuensi,
4. Mengi, wheezing 5. Orthopnea membaik
kedalaman, usaha
5. Gelisah 6. Sianosis membaik
napas)
6. Sianosis 7. Frekuensi napas 4. Monitor bunyi
membaik napas tambahan
7. Bunyi napas
8. Pola napas membaik (mengi, wheezing
menurun
(L.01001) atauu ronkhi)
8. Frekuensi napas
Terapeutik:
berubah
9. Pola napas berubah 1. Posisikan semi
fowler atau
fowler
25
2. Beri minum
DS: 3. hangat
1. Dispnea 4. Lakukan
1. Ajarkan teknik
batuk efektif
Kolaborasi:
1. Kolaborasi dalam
pemberian
bronkodilator,
ekspektoran,
mukolitik jika
perlu
26
2. Pola napas tidak efektif Setelah dilakukan intervensi Pemantauan respirasi
berhubungan dengan keperawatan selama …x… jam (I.01014)
depresi pusat pernapasan maka pola napas pasien Observasi:
Ditandai dengan: DO: membaik dengan kriteria hasil: 1. Monitor
1. Penggunaan otot 1. Penggunaan otot bantu frekuensi, irama,
bantu pernapasan napas menurun kedalaman dan
2. Fase ekspirasi 2. Pemanjangan fase upaya napas
memanjang ekspirasi menurun 2. Monitor
3. Pola napas 3. Frekuensi napas kemampuan
abnormal membaik batuk efektif
4. Pernafasan cuping 4. Kedalaman napas 3. Auskultasi bunyi
hidung membaik napas
5. Kapasita vital (L.01004) 4. Monitor saturasi
menurun oksigen
6. Tekanan ekspirasi 5. Monitor nilai
dan inspirasi AGD
menurun Terapeutik:
DS: 1. Atur intervensi
1. Dispnea
27
2. Ortopnea pemantaun sesuai
kondisi pasien
2. Dokumentasi
hasil pemantauan
Edukasi:
1. Jelaskan tujuan
dan prosedur
pemantauan
2. Informasikan
hasil pemantauan
jika perlu
3. Gangguan pertukaran Setelah dilakukan intervensi Terapi
gas berhubungan keperawatan selama …x… oksigen(I.01026)
dengan jam maka pertukaran gas Observasi:
ketidakseimbangan pasien meningkat dengan 1. Monitor
ventilasi perfusi kriteria hasil: frekuensi, irama,
Ditandai dengan: 1. Dispnea menurun kedalaman dan
DO: upaya napas
2. Bunyi napas tambahan
2. Monitor
1. PCO2 meningkat menurun
kemampuan
atau menurun 3. Pusing menurun
batuk efektif
2. PO2 menurun
4. Gelisah menurun
3. Auskultasi bunyi
3. Takikardi
5. Napas cuping hidung napas
4. pH arteri menurun 4. Monitor saturasi
meningkat atau 6. PCO2 membaik oksigen
menurun 5. Monitor nilai
7. PO2 membaik
5. Bunyi napas AGD
8. Takikardi membaik
tambahan 6. Monitor
6. Sianosis 9. pH arteri membaik kecepatan aliran
oksigen
7. Napas cuping 10. Sianosis membaik
7. Monitor aliran
hidung
11. Pola napas membaik
oksigen secara
28
periodik dan
8. Pola nasaf (L.01003)
abnormal pastikan fraksi
9. Warna kulit
abnormal
10. Gelisah
11. Kesadaran
menurun
29
DS: yang diberikan
cukup
1. Dispnea
8. Monitor
2. Pusing
efektifitas terapi
3. Penglihatan kabur oksigen
9. Monitor tanda-
tanda
hipoventilasi
10. Monitor tanda
dan gejala
toksikasi oksigen
dan atelectasis
Terapeutik:
1. Bersihkan sekret
pada mulut,
hidung
2. Pertahankan
kepatenan jalan
napas
3. Berikan oksigen
tambahan jika
perlu
Edukasi:
1. Ajarkan pasien
dan keluarga cara
menggunakan
oksigen dirumah
Kolaborasi:
1. Kolaborasi
penentuan dosis
oksigen
2. Kolaborasi
30
Penggunaan
oksigen saat
aktivitas atau
tidur
31
4. Defisit nutrisi Setelah dilakukan intervensi Manajemen
berhubungan dengan keperawatan selama …x… jam nutrisi ( I.03119)
faktor psikologis maka status nutrisi pasien Observasi:
Ditandai dengan: membaik dengan kriteria hasil: 1. Identifikasi status
DO: 1. Porsi makanan yang nutrisi
dihabiskan meningkat 2. Identifikasi
1. Berat badan
2. Serum albumin makanan yang
menurun minimal
meningkat disukai
10% dibawah
3. Perasaan cepat kenyang 3. Identifikasi
rentang ideal
menurun kebutuhan kalori
2. Bising usus
4. Frekuensi makan dan jenis nutrien
hiperaktif
membaik 4. Monitor asupan
3. Membran mukosa
5. Napsu makan membaik makanan
pucat
Terapeutik:
4. Serum albumin 6. Bising usus membaik
turun 1. Lakukan oral
Membran mukosa
DS: hygiene sebelum
membaik
makan, jika perlu
1. Cepat kenyang
(L.03030)
2. Sajikan makanan
setelah makan
dengan menarik
Napsu makan
dan suhu yang
menurun
sesuai
2. Nafsu makan
3. Berikan makanan
menurun
tinggi kalori dan
protein
4. Berikan makanan
tinggi serat untuk
mencegah
konstipasi
Edukasi:
1. Anjurkan posisi
duduk, jika mampu
32
Ajarkan diet yang
diprogramkan
Kolaborasi:
1. Kolaborasi
pemberian
medikasi sebelum
makan, jika perlu
2. Kolaborasi
dengan ahli gizi
untuk
menentukan
jumlah kalori dan
jenis nutrien yang
dibutuhkan
33
5. Gangguan pola tidur Setelah dilakukan intervensi Dukungan tidur
berhubungan dengan keperawatan selama …x… :Observasi:
kurangnya kontrol tidur jam maka pola tidur pasien 1. Identifikasi pola
Ditandai dengan: membaik dengan kriteria aktivitas dan tidur
DS: hasil: 2. Identifikasi faktor
1. Keluhan sulit tidur penggangu tidur
1. Mengeluh sulit
meningkat Terapeutik:
tidur
2. Keluhan tidak puas tidur
2. Mengeluh pola 1. Lakukan prosedur
meningkat
tidur berubah untuk
3. Keluhan pola tidur
3. Mengeluh istirahat meningkatkan
berubah meningkat
tidak cukup kenyamanan
4. Keluhan istirahat tidak
2. Modifikasi
cukup meningkat
lingkungan
(L.05045)
3. Tetapkan jadwal
tidur rutin
Edukasi:
1. Anjurkan
Menghindari
makanan atau
minuman yang
menggangu tidur
2. Ajarkan relaksasi
otot autogenik
atau cara
nonfarmakologi
lainnya
34
6. Intoleransi aktivitas Setelah dilakukan intervensi Manajemen energi
berhubungan dengan keperawatan selama …x… Dan terapi aktivitas
kelemahan dan jam maka intoleransi (I.05186)
ketidakseimbangan aktivitas pasien meningkat Observasi:
antara suplai dan dengan kriteria hasil: 1. Monitor
kebutuhan oksigen 1. Keluhan lelah menurun kelelahan fisik
Ditandai dengan: dan emosional
2. Dispea saat/setelah
DO: 2. Monitor lokasi
aktivitas menurun
dan
1. Frekuensi jantung 3. Frekuensi nadi
ketidaknyamanan
meningkat >20% meningkat
selama
dari kondisi 4. Tekanan darah membaik
melakukan
istirahat
5. Gambaran EKG aritmia
aktivitas
2. Tekanan darah
menurun
Terapeutik:
berubah >20%
6. Frekuensi napas
dari kondisi 1. Fasilitasi aktivitas
membaik
istirahat fisik rutin
7. Saturasi oksigen
3. Gambaran EKG 2. Fasilitasi duduk
meningkat
menunjukkan di tempat tidur
8. Sianosis menurun
aritmia saat atau jika tidak dapat
9. Kekuatan tubuh bagian
setelah aktivitas berpindah atau
atas meningkat
4. Sianosis berjalan
10. Kekuatan tubuh bagian
DS : 3. Sediakan
bawah meningkat
1. Mengeluh lelah lingkungan
(L.05047)
nyaman dan
2. Dispnea
rendah stimulus
saat/setelah
Edukasi:
aktivitas
3. Merasa tidak
35
nyaman setelah 1. Anjurkan tirah
aktivitas baring
4. Merasa lemah 2. Anjurkan
melakukan
aktifitas secara
bertahap
3. Anjurkan
menghubungi
perawat jika ada
tanda gejala
kelelahan tidak
berkurang
36
7. Hipertemi berhubungan Setelah dilakukan intervensi Manajemen Hipertermi
dengan proses penyakit, keperawatan selama …x… (1.15506)
ditandai dengan: jam maka Observsi:
DO : t e r m o r e g u l a s i pasien 1. Identifikasi
1. Suhu tubuh di atas membaik dengan kriteria penyebab
nilai normal hasil: hipertermia (mis
2. Kulit merah 1. Menggigil menurun dehidrasi, terpapar
3. Kejang 2. Kulit merah menurun lingkungan panas,
4. Takikardi 3. Suhu tubuh membaik penggunaan
5. Takipnea 4. Takikardi menurun inkubator)
6. Kulit terasa hangat 5. Takipnea menurun 2. Monitor suhu tubuh
6. Kejang menurun 3. Monitor kadar
elektrolit
4. Mpnitor haluaran
urin
5. Monitor komplikasi
akibat hipertermia
Terapeutik:
1. Sediakan
lingkungan yang
dingin
2. Linggarkan atau
lepaskan pakaian
3. Basahi dan kipasi
permukaan tubuh
4. Berikan cairan oral
5. Ganti linen setiap
hari atau lebih sering
jika mengalami
37
hiperhidrosis
(keringat berlebih)
6. Lakukan
pendinginan external
(mis selimut
hipotermia atau
kompres dingin pada
dahi, leher, dada,
abdomen, aksila)
7. Hindari pemberian
antipiretik atau
aspirin
8. Berikan oksigen,
jika perlu
Edukasi:
Anjurkan tirah baring
Kolaborasi
Kolaborasi
pemberian cairan dan
elektrolit intravena,
jika perlu
38
BAB IV
ASUHAN KEPERAWATAN
KASUS PPOK :
Seorang laki-laki usia 60 tahun dirawat di Ruang Elisabeth I RS Panti Rapih
Yogyakarta. Pasien di diagnosis oleh dokter menderita COPD. Saat dikaji, pasien
mengeluh sesak nafas, batuk berdahak selama 3 bulan, sputum kental berwana kuning,
badan panas.
Pasien memiliki riwayat merokok selama 10 tahun. Hasil pemeriksaan fisik didapatkan
data: pernafasan hyperventilasi, terlihat adanya penggunaan otot bantu pernafasan, pasien
gelisah, terjadi diaphoresis, terlihat adanya sianosis di ujung-ujung jari, Pasien terlihat
batuk namun sulit untuk mengeluarkan dahak. Hasil pemeriksaan TTV: Nadi: 120 x/mnt,
RR: 40 x/mnt, TD: 160/90 mm Hg, Suhu: 39, 8 oC. Hasil pemeriksaan AGD: PH: 7,36; Pa
O2: 75 ; Pa CO2: 42; BE: -3, SA O2: 90%.
Melihat keadaan tersebut, pasien diberikan terapi oksigen masker 7 lpm, nebulizer dengan
bisolvon 2 cc dan ventolin 2,5 mg, dilakukan fisioterapi dada.
I. IDENTITAS
Nama : Tn. B
Umur : 60 Tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Diagnosa medis : COPD
II. KELUHAN UTAMA :
Pasien mengatakan sesak napas dan batuk dengan mucus yang berwarna kuning,
badan panas.
III. RIWAYAT PENYAKIT SEKARANG :
Pasien mengatakan bahwa sudah batuk berdahak selama 3 bulan, sputum kental
warna kuning, dan badan panas.
IV. RIWAYAT KESEHATAN DAHULU :
Pasien memiliki riwayat merokok selama 10 tahun
V. PEMERIKSAAN FISIK
a. Keadaan Umum: Lemah
Kesadaran : Composmentis
39
GCS : 4-5-6
Tanda-tanda vital:
TD : 160/90 mmHg
Nadi: 120x/menit
Suhu: 39,8°C
RR: 40x/menit
b. Pemeriksaan Kuku
Inspeksi
Warna Kulit: sawo matang, tidak ada lesi, tampak sianosis di ujung kuku
c. Pemeriksaan Hidung
Hidung : terdapat alat bantu napas O2 masker 7 L/menit
40
VIII. PENGELOMPOKAN DATA
PENGELOMPOKAN DATA
DATA SUBYEKTIF DATA OBYEKTIF
1. Sesak napas 1. Pernapasan hiperventilasi
2. Batuk berdahak selama 3 bulan 2. Terlihat adanya penggunaan otot bantu
3. Badan panas pernapasan
3. Pasien gelisah
4. TD: 160/90 mmHg, nadi 120 x/i, RR
40x/i, Suhu 39,8 C
5. AGD: BE: -3, SA O2: 90%.
6. Sianosis di ujung-ujung jari
7. Pasien tampak batuk sulit mengeluarkan
dahak dan sputum kental berwarna kuning
8. Terjadi diaforesis
IX. DIAGNOSA
2 Ketidakseimbangan D0:
Gangguan pertukaran gas
ventilasi perfusi 1. Gelisah
D.0003)
2. AGD: BE: -3, SA 02 90%
41
3. Takikardi, N=120x/mnt
4. Hiperventilasi RR : 40 x/m
5. Terjadi Diaforesis
DS:
1. Pasien mengatakan sesak
3 Hipertermi (D.0130) Proses Penyakit DO :
1. Badan teraba panas
2. Sianosis di ujung-ujung
jari
3. S : 39,8 C, N : 120 x/m,
RR : 40 x/m
DS :
1. Badan panas
X. RENCANA KEPERAWATAN
42
kental berwarna usaha napas)
5. Frekuensi napas
kuning 4. Monitor bunyi napas
membaik,RR=12-20x/mnt
Sianosis diujung - tambahan (mengi,
6. Pola napas membaik
ujung jari.Pernfasan wheezing atau
eupneu
hyperventilasi,RR ronkhi)
40x/mnt Terapeutik:
1. Ajarkan teknik
batuk efektif
Kolaborasi:
1. Kolaborasi dalam
pemberian
bronkodilator,
ekspektoran, mukolitik
jika perlu
2 Gangguan Setelah dilakukan intervensi Terapi Oksigen ( I.01026)
pertukaran gas keperawatan selama 3 x 24 Observasi
berhubungan jam maka pertukaran gas 1. Monitor kecepatan
dengan pasien meningkat dengan aliran oksigenasi
ketidakseimbangan kriteria hasil : ( L.01003) 2. Monitor posisi alat
ventilasi perfusi 1. Dispneu/ hiperventilasi terapi oksigen
yang dibuktikan menurun (5) 3. Monitor aliran
dengan : 2. Gelisah menurun (5) oksigen secara dan
Pasien mengatakan 3. Diaforesis menurun (5) pastikan fraksi yang
sesek 4. Takikardi Membaik (5) diberikan cukup
43
Pasien tampak 5. Sianosis membaik (5) 4. Monitor efektifitas
Gelisah terapi oksigen
Terjadi diaforesis (Oksimetri, AGD)
Hiperventilasi RR 5. Monitor tingkat
40 x/m kecemasan
Takikardi N : 120 Rerapeutik
x/m 1. Bersihkan sekret pada
Hasil AGD : mulut, hidung dan
BE : -3, SaO2 : 90 trakea
% 2. Berikan oksigenasi
tambahan
Edukasi
1. Ajarkan pasien dan
keluarga cara
menggunakan
oksigen di rumah
Kolaborasi
1. Kolaborasi penentuan
dosis oksigen
2. Kolaborasi
penggunaan oksigen
saat aktivitas da/atau
tidur
3 Hipertermi Setelah dilakukan tindakan Manajemen Hipertermi
berhubungan keperawatan selama 3 x 24 ( I.15506)
dnegan proses jam maka termoregulasi Observasi
penyakit dibuktikan pasien membaik dengan 1. Monitor suhu tubuh
dengan : kriteria hasil : (L.14134) 2. Monitor komplikasi
Pasien mengeluh 1. Dasar kuku sianosis akibat hipertermi
badan panas menurun (5) Terapeutik
Sianosis di ujung- 2. Takikardi menurun (5) 1. Longgarkan atau
ujung jari 3. Takipnea Menurun lepaskan pakaian
S : 39,8 C 4. Suhu tubuh membaik 2. Berikan cairan oral
44
N : 120 x/m 5. Suhu kulit membaik 3. Berikan oksigen, jika
RR : 40 x/m perlu
Edukasi
1. Anjurkan tirah baring
Kolaborasi
1. Kolaborasi pemberia
cairan intervena
BAB V
45
KESIMPULAN
PPOK atau Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah penyakit paru yang ditandai
dengan adanya hambatan atau sumbatan aliran udara yang bersifat reversible atau
irreversible dan juga bersifat progresif yang dapat mengakibatkan inflamsi abnormal pada
paru, PPOK terdiri dari brokhitis dan emfisema.
Faktor resiko dari PPOK yaitu seseorang yang merokok, pajanan polusi udara,
genetik, riwayat infeksi paru berulang, kurangnya alfa anti tripsin genetik, usia, gender
dan kurang aktivitas fisik. Tanda dan gejala dari PPOKditemukan sesak napas, batuk,
sputum meningkat, sianosis, dan penurunan berat badan. Pemeriksaan penunjang yang
adapat dilakukan antara lain spirometri, uji bronkodilator, foto thorax, AGD dan uji
latihan kardiopulmoner. Sedangkan untuk penatalaksanaan medis yang dapat dilakukan
mukolitik, bronkodilator, antikoligernik, antibiotik, theraphy kombinasi LABA/ICS.
Untuk penataksanaan nonmedis dapat dilakukan dengan memberi edukasi untuk berhenti
merokok, pemenuhan nutrisi, rehabilitasi.
Konsep asuhan keperawatan untuk pasien dengan PPOK dilakukan dari pengkajian
fokus, merumuskan diagnosa yang didapatkan antara lain bersihan jalan napas tidak
efektif, pola napas tidak efektif, gangguan pertukaran gas, defisit nutrisi, gangguan pola
tidur dan intoleransi aktivitas. Rencana keperawatan disesuaikan dengan diagnosa yang
sudah ada.
46
DAFTAR PUSTAKA
Harianto, H., Maghfirah, S., & Andayani, S. (2021). Studi kasus: asuhan keperawatan
pada pasien dewasa penderita ppok dengan masalah keperawatan gangguan pola
tidur di ruang asoka rsud dr. Harjono ponorogo. Health Sciences Journal, 5(1),
89-94.http://studentjournal.umpo.ac.id/index.php/HSJ/article/view/675/438
Huda, N.A., & Kusuma, H. (2015). Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan Diagnosa
Medis & NANDA NIC-NOC. Yogyakarta: MediAction
Hurst, M. (2015). Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta: EGC
Lim S, Lam DC, Muttalif AR, Yunus F, Wongtim S, Lan le TT, et.al. Impact of chronic
obstructive pulmonary disease (COPD) in the Asia-Pacific region: the EPIC Asia
population-based survey. Asia Pac Fam Med. 2015;14(1):4.
Lindayani, L. P. (2017). PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK). Denpasar:
https://simdos.unud.ac.id/uploads/file_penelitian_1_dir.
Mutaqqin, A (2008) Buku Ajar Klien Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba
Medika
Nguyen VN, Yunus F, Nguyen TPA, Dao Bich V Damayanti T, Wiyono WH, et.al. The
prevalence and patient characteristics of chronic obstructive pulmonary disease in
47
non-smokers in Vietnam and Indonesia: An observational survey. Respirology.
2015;20(4):602-11.
Oemiati, R. (2013). EPIDEMIOLOGIC STUDY OF CHRONIC OBSTRUCTIVE
http://erepo.unud.ac.id/id/eprint/18277/1/23f8d4e4236fc8d9f53f0832bf8aba04.pdf.
Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. (2011). Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
Edisi Buku Lengkap, Pedoman Diagnosis Dan Penatalaksanaan di Indonesia.
Jakarta
Susanto, A. D. (2021). PROBLEMS OF CHRONIC OBSTRUCTIVE PULMONARY
48
49