Oleh Kelompok : 7
Kelas 4C 2016
S1 Kesehatan Masyarakat
Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta
2018
1
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas nikmat sehat beserta
kesempatan dalam membagi waktu, sehingga kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah
Epidemiologi Penyakit Tidak Menular mengenai “ Epidemiologi Penyakit Paru Obstruktif
Kronis dan Penyakit Akibat Rokok, Riwayat Alamiah dan Pencegahannya” dengan lancar dan
terkoordinir demi pencapaian nilai sesuai tugas yang telah diberikan kepada kami.
Tentunya pembuatan makalah ini tidak lepas dari kesulitan-kesulitan atau pun
permasalahan yang harus diselesaikan. Namun dengan kebersamaan dan mengerahkan
kemampuan, kami dapat menyelesaikan tugas mata kuliah epidemiologi penyakit tidak menular
kelompok kami.
Dalam isi makalah ini kami merasa masih banyak kekurangan baik dari segi isi maupun
pembahasannya, untuk itu kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat kami harapkan dari
para pembaca.
Penyusun
i
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
BAB II PEMBAHASAN
ii
BAB I
PENDAHULUAN
1.3 Latar Belakang
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang progresif,
artinya penyakit ini berlangsung seumur hidup dan semakin memburuk secara lambat dari
tahun ke tahun. Dalam perjalanan penyakit ini terdapat fase-fase eksaserbasi akut. Berbagai
faktor berperan pada perjalanan penyakit ini, antara lain faktor resiko yaitu faktor yang
menimbulkan atau memperburuk penyakit seperti kebiasaan merokok, polusi udara, polusi
lingkungan, infeksi, genetik dan perubahan cuaca(Arif.M, 2008).
Penyakit Paru Obstruktif Kronik yang biasa dikenal sebagai PPOK merupakan penyakit
kronik yang ditandai dengan keterbatasan aliran udara dalam saluran napas yang tidak
sepenuhnya reversibel dan biasanya menimbulkan obstruksi. Gangguan yang bersifat
progresif (cepat dan berat) ini disebabkan karena terjadinya Radang kronik akibat pajanan
partikel atau gas beracun yang terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama dengan gejala
utama sesak napas, batuk, dan produksi sputum dan keterbatasan aktifitas(Fitriana and
Susanti, 2015).
Penyakit paru obstruksi kronik adalah klasifikasi luas dari gangguan yang mencakup
bronkitis kronik, bronkiektasis, emfisema dan asma, yang merupakan kondisi ireversibel
yang berkaitan dengan dispnea saat aktivitas dan penurunan aliran masuk dan keluar udara
paru-paru(APRILIA WAHYU FITRIANI, 2012).
Suatu kasus obstruksi aliran udara ekspirasi dapat digolongkan sebagai PPOK bila
obstruksi aliran udara ekspirasi tersebut cenderung progresif. Kedua penyakit tadi
(bronkitis kronik, emfisema) hanya dapat dimasukkan ke dalam kelompok PPOK jika
keparahan penyakitnya telah berlanjut dan obstruksinya bersifat progresif. Pada fase awal,
kedua penyakit ini belum dapat digabungkan ke dalam PPOK(Djojodibroto, 2007).
Patofisiologi terjadinya obstruksi adalah peradangan pada saluran pernapasan kecil.
Pada PPOK yang stabil, ciri peradangan yang dominan adalah banyaknya sel neutrofilik
yang ditarik oleh IL-8. Walaupun jumlah limfosit juga meningkat, namun yang meningkat
hanya sel T CD8 helper tipe 1. Berbeda pada asma, yang dominan adalah eosonofi, sel
mast, dan sel T CD4 helper tipe 2. Ketika terjadi eksaserbasi akut pada PPOK maka jumlah
eosonofil meningkat tiga puluh kali lipat. Perbedaan jenis sel yang menginfilttrasi inilah
yang menyebabkan perubahan respon terhadap pengobatan kortikosteroid (Djojodibroto,
2007).
1
1.2 Rumusan Masalah
1.3 Tujuan
2
BAB II
PEMBAHASAN
Menurut Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD), PPOK adalah penyakit
dengan karakteristik keterbatasan saluran napas yang tidak sepenuhnya reversible. Keterbatasan
saluran napas tersebut biasanya progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi di-karenakan
bahan yang merugikan atau gas(Oemiati, 2013).
Menurut Grace & Borlay Penyakit paru-paru obstrutif kronis (PPOK) merupakan suatu istilah
yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paruparu yang berlangsung lama(Yasir Rahmadi,
2015).
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas
yang bersifat progressif non reversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari bronkitis kronik dan
emfisema atau gabungan keduanya(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2017).
Jadi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang berlangsung lama dan
ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversibel. Hambatan
aliran udara ini bersifat progresif dan berhubyngan dengan respons inflamasi paru terhadap partikel
atau gas beracun atau berbahaya
Penentuan klasifikasi (derajat) PPOK sesuai dengan ketentuan Perkumpulan Dokter Paru
Indonesia (PDPI) dan GOLD tahun 2015 sebagai berikut:
Terdapat ketidak sesuaian antara nila VEP1 (volume ekspirasi paksa detik pertama) dan gejala penderita,
oleh sebab itu perlu di perhatikan kondisi lain. Gejala sesak napas mungkin tidak bisa di prediksi dengan
VEP1
3
Sesak napas derajat
sesak 0 sampai derajat
sesak 1
4
GOLD 1 Ringan VEP1 ≥ 80% prediksi
GOLD 2 Sedang 50% ≤ VEP1 < 80% prediksi
GOLD 3 Berat 30% ≤ VEP1 < 50% prediksi
VEP1 < 30% prediksi
GOLD 4 Sangat berat Prediksi tambahan
kegagalan pernafasan kronis
Tabel 2. Klasifikasi Tingkat Keparahan Penyakit Paru Obstretrik Kronis menurut GOLD
Klasifikasi PPOK menurut Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease tahun
2010:(soraya, 2014)
5
Gambar 2. Grafik Penyakit Paru Obstretik Kronik Di Indonesia Litbang Depkes
2013
Secara normal silia dan mukus di bronkus melindungi dari inhalasi iritan, yaitu
dengan menangkap dan mengeluarkannya. Iritasi yang terus menerus seperti asap rokok
atau polutan dapat menyebabkan respon yang berlebihan pada mekanisme pertahanan ini.
Asap rokok yang menghambat pembersihan mukosiliar ( mucociliary clearance). Faktor
yang menyebabkan gagalnya pembersihan mukosiliar adalah adanya proliferasi sel globet
dan pergantian epitel yang bersilia dengan tidak yang bersilia. Hiperplasia dan hipertrofi
kelenjar penghasil mukus menyebabkan hipersekresi mukus di saluran pernapasan. Iritasi
asap rokok juga menyebabkan inflamasi bronkiolus (bronkiolitis) dan alveoli (alveolitis).
Akibatnya makrofag dan neutrofil berinfiltrasi ke epitel dan memperkuat tingkat
kerusakan epitel. Bersama dengan adanya produksi mukus, terjadi sumbatan brokiolus
dan alveoli. Dengan banyaknya mukus yang kental dan lengket serta menurunnya
pembersihan mukosiliar menyebabkan meningkatkannya risiko infeksi
Inflamasi yang terjadi pada bronchitis kronis dengan pengeluaran mukus dan
penyempitan lumen, juga diikuti fibrosis dan ketidakteraturan dari saluran pernapasan
6
yang kecil, yang makin mempersempit saluran pernapasan. Autopsi menunjukkan bahwa
pasien dengan bronkitis kronis mempunyai diameter jalur pernapasan yang kurang dari
0,4mm
Bronkitis kronik berkembang selama beberapa tahun, perubahan pada saluran nafas
kecil menyebabkan berkurangnya ventilasi (V), dimana perfusi (Q) tetap, sehingga terjadi
ketidakseimbangan V/Q dan hipoksemia. Hipoksemia mengakibatkan hipertensi
pulmonary dengan berikutnya terjadi gagal jantung kanan ( cor pulmonale). Pasien
dengan hipertensi pulmonary mengalami peningkatan persentasi intima dan media pada
arteri pulmonari. Hipoksemia persisten menstimulasi eritropoises dengan akibat
polisitemia dan meningkatnya viskositas darah yang akan mendorong terjadi mental
confussion dan thrombotic stroke.
Karena adanya mukus dan kurangnya jumlah silia dan gerakan silia untuk
membersihkan mukus maka pasien dapat menderita infeksi berulang. Bakteri yang dapat
menyerangnya yaitu Streptococcus pneumoniae dan Haemophilus influenza. Tanda-
tanda infeksi adalah perubahan sputum seperti meningkatnya volume mukus, mengental
dan perubahan warna. Demam dapat terjadi ataupun tidak. Infeksi yang berulang dapat
menyebabkan keparahan akut pada status pulmonary dan berkontribusi secara signifikan
pada percepatan penurunan fungsi pulmonary karena inflamasi menginduksi fibrosis pada
bronkus dan bronkiolus(Ikawawati, 2016).
2. Emfisema
7
Gambar 3. Kerusakan Alveoli Pada Emfisema
Rusaknya daerah permukaan untuk pertukaran gas dalam asinus berakibat pada
hilangnya elastisitas pengempisan (recoil). Hal ini menyebabkan tertekannya jalan udara
selama penghembusan nafas yang berkontribusi secara signifikan pada alur abstruksi
yang terlihat pada tes fungsi pulmunar. Hilangnya dinding alveolar berakibat pada
hilangnya jaringan kapiler yang penting untuk perfusi yang cukup. Akibatnya terjadi
penurunan ventilasi dan perfusi, sehingga rasio V/Q dipertahankan dengan lebih baik
daripada pada bronkitis kronik. Oleh karena itu, pada pasien emfisema lebih banyak
mengalami dyspnea (sesak nafas) daripada pasien bronkitis.
8
Gambar 4. Patofisiologi Penyakit Paru Obstruktf Kronik
Asap rokok dan polusi udara dapat menyebabkan inflamasi paru-paru. Inflamasi
menyebabkan rekrutmen neutrophil dan makrofag ke tempat inflamasi yang akan melepaskan
enzim proteolitik ( elatase dan kolagenase). Pada orang normal, kerja enzim ini akan dihambat
oleh α1- antitripsin, namun pada kondisi dimana terjadi defisiensi α1- antitripsin, enzim
proteolitik akan menyebabkan kerusakan pada alveolus menyebabkan emfisema(Ikawawati,
2016).
a. Menurut Orang
Usia
Prevalensi PPOK meningkat seiring dengan bertambahnya usia (Kementerian
Kesehatan RI, 2013). Mortalitas PPOK lebih tinggi pada laki-laki dan akan
meningkat pada kelompok umur > 45 tahun. Menurut Mannino, hal ini bisa
dihubungkan bahwa penurunan fungsi respirasi pada umur 30-40 tahun (Dalam
Oemiati, 2013).
Jenis Kelamin
PPOK lebih sering terjadi pada pria, tetapi karena tingkat merokok tembakau yang
tinggi di antara wanita di negara-negara berpenghasilan tinggi, dan risiko yang
lebih tinggi dari paparan polusi udara dalam ruangan (seperti bahan bakar padat
yang digunakan untuk memasak dan pemanasan) untuk wanita yang tinggal di
negara-negara berpenghasilan rendah, penyakit ini sekarang hampir sama
9
pengaruhnya baik bagi laki-laki maupun perempuan (WHO, 2017). Di Indonesia,
prevalensi PPOK lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan dengan perempuan
(Kementerian Kesehatan RI, 2013).
b. Menurut Tempat
Lebih dari 90% kematian PPOK terjadi di negara-negara yang memiliki pendapatan
rendah dan menengah, di mana strategi efektif untuk pencegahan dan pengendalian
tidak selalu dilaksanakan atau dapat diakses (WHO, 2017). Pada tahun 1990,
diperkirakan sekitar 120,9 juta kasus PPOK di antara penduduk perkotaan (prevalensi
10
13,2%) dan 106,3 juta kasus di antara penduduk pedesaan (prevalensi 8,8%). Pada
tahun 2010, ada lebih dari 230 juta kasus PPOK di antara penduduk perkotaan
(prevalensi 13,6%) dan 153,7 juta di antara penduduk pedesaan (prevalensi 9,7%)
(Adeloye et al., 2015). Di Indonesia PPOK lebih tinggi di perdesaan dibanding
perkotaan (Kementerian Kesehatan RI, 2013).
c. Menurut Waktu
Secara global, diperkirakan bahwa 3,17 juta kematian disebabkan oleh penyakit pada
tahun 2015 (yaitu, 5% dari semua kematian secara global pada tahun itu). The Global
Burden of Disease Study melaporkan prevalensi 251 juta kasus COPD secara global
pada tahun 2016 (WHO, 2017). Diperkirakan sekitar 227,3 juta kasus PPOK pada
tahun 1990 di antara orang berusia 30 tahun atau lebih, sesuai dengan prevalensi global
10,7% dalam kelompok usia ini. Jumlah kasus PPOK meningkat menjadi 384 juta pada
tahun 2010, dengan prevalensi global sebesar 11,7% (8,4% -15,0%). Peningkatan
sebesar 68,9% ini terutama didorong oleh perubahan demografis global (Adeloye et al.,
2015). Prevalensi PPOK di Indonesia pada tahun 2013 yang tertinggi terdapat di Nusa
Tenggara Timur (10,0%), diikuti Sulawesi Tengah (8,0%), Sulawesi Barat, dan
Sulawesi Selatan masing-masing 6,7 persen (Kementerian Kesehatan RI, 2013).
11
Tabel 3 Kelompok risiko menurut waktu (Riskesdas, 2013)
12
Tabel 4
Data WHO tahun 2001 menunjukkan angka mortalitas PPOK adalah 4,8% dan 2
menduduki urutan keempat penyebab kematian di dunia, di Indonesia, PPOK adalah salah
satu dari 10 penyebab kematian utama. Data Badan Kesehatan Dunia (WHO),
menunjukkan bahwa pada tahun 1990 PPOK menempati urutan ke-6 sebagai
penyebab utama kematian di dunia, sedangkan pada tahun 2002 telah menempati urutan
ke-3 setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker (WHO,2002).
Di Amerika Serikat dibutuhkan dana sekitar 32 juta US$ dalam setahun untuk
menanggulangi penyakit ini, dengan jumlah pasien sebanyak 16 juta orang dan lebih dari
13
100 ribu orang meninggal. Hasil survei penyakit tidak menular oleh Direktorat Jenderal
PPM & PL di 5 rumah sakit propinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur,
Lampung, dan Sumatera Selatan) pada tahun 2004, menunjukkan PPOK menempati
urutan pertama penyumbang angka kesakaitan (35%), diikuti asma bronkial (33%), kanker
paru (30%) dan lainnya (2%) (Depkes RI, 2004).
Menurut RISKESDAS tahun 2013 Prevalensi PPOK tertinggi terdapat di Nusa Tenggara
Timur (10,0%), diikuti Sulawesi Tengah (8,0%), Sulawesi Barat, danSulawesi Selatan
masing- masing 6,7 persen sedangkan untuk di kalimantan timur sendiri sebanyak 2,8
%(Ana adina, 2010).
Tabel 5
Prevalensi penyakit asma, PPOK, dan kanker menurut provinsi Indonesia 2013
14
2.8 Faktor Risiko Penyakit Paru Obstruktif Kronis
Ada beberapa faktor resiko utama berkembangnya penyakit ini, yang dibedakan
menjadi faktor paparan lingkungan dan faktor host. Beberapa faktor paparan lingkungan
antara lain sebagai berikut :
a. Merokok
Merokok merupakan penyebab utama terjadinya PPOK, dengan resiko 30 kali lebih
besar pada perokok dibanding dengan bukan perokok, dan merupakan penyebab dari
85-90% kasus PPOK. Kurang lebih 15-20% perokok akan mengalami PPOK.
Kematian akibat PPOK terkait dengan banyaknya rokok yang dihisap, umur mulai
merokok, dan status merokok yang terakhir saat PPOK berkembang. Namun
demikian, tidak semua penderita PPOK adalah perokok. Kurang lebih 10% orang
yang tidak merokok juga mungkin menderita PPOK. Perokok pasif juga beresiko
menderita PPOK.
b. Pekerjaan
Para pekerja emas atau batu bara, industri gelas dan keramik yang terpapar debu
silika, atau pekerja yang terpapar debu katun dan debu gandum, toluene diisosianat,
dan asbes, mempunyai risiko yang lebih besar daripada yang bekerja di tempat selain
yang disebutkan di atas.
c. Polusi Udara
Pasien yang mempunyai disfungsi paru akan semakin memburuk gejalanya dengan
adanya polusi udara. Polusi ini bisa berasal dari luar rumah seperti asap pabrik, asap
kendaraan bermotor, maupun polusi dari dalam rumah seperti asap dapur.
d. Infeksi
Kolonisasi bakteri pada saluran pernafasan secara kronis merupakan suatu pemicu
inflamasi neutrofilik pada saluran nafas, telepas dari paparan rokok. Adanya
kolonisasi bakteri menyebabkan peningkatan kejadian inflamasi yang dapat diukur
dari peningkatan jumlah sputum, peningkatan frekuensi eksaserbasi, dan percepatan
penurunan fungsi paru, yang semua ini meningkatkan risiko kejadian PPOK.
Sedangkan faktor resiko yang berasal dari host/pasiennya antara lain adalah :
a. Usia
Semakin bertambah usia, semakin besar risiko menderita PPOK. Pada pasien yang
didiagnosa PPOKsebelum usia 40 tahun, kemungkinan besar dia menderita gangguan
genetik berupa defisiensi a1-antitripsin. Namun kejadian ini hanya dialami kurang
dari 1% pasien PPOK.
b. Jenis Kelamin
Laki-laki lebih berisiko terkena PPOK daripada wanita, mungkin ini terkait dengan
kebiasaan merokok pada pria. Namun ada kecenderungan peningkatan prevalensi
PPOK pada wanita karena meningkatnya jumlah wanita yang merokok. Selain itu,
ada fenomena menarik bahwa wanita ternyata lebih rentan terhadap bahaya rokok
daripada pria. Bukti-bukti klinis menunjukkan bahwa wanita dapat mengalami
15
penurunan fungsi paru yang lebih besar dari pada pria dengan status merokok yang
relatif sama. Wanita juga akan mengalami PPOK yang lebih parah daripada pria. Hal
ini diduga karena ukuran paru-paru wanita umumnya relatif lebih kecil daripada pria,
sehingga dengan paparan rokok yang sama presentase paru yang terpapar pada
wanita lebih besar daripada pria.
c. Adanya Gangguan Fungsi Paru
Adanya gangguan fungsi paru-paru merupakan faktor risiko terjadinya PPOK,
misalnya defisiensi immunoglobulin A (igA/hypogammaglubin) atau infeksi pada
masa kanak-kanak seperti TBC dan bronkiektasis. Individu dengan gangguan fungsi
paru-paru mengalami penurunan fungsi paru-paru lebih besar sejalan dengan waktu
daripada yang fungsi parunya normal, sehingga lebih berisiko terhadap
berkembangnya PPOK. Termasuk di dalamnya adalah orang yag pertubuhan parunya
tidak normal karena lahir dengan berat badan rendah, ia memiliki risiko lebih besar
untuk mengalami PPOK.
d. Predisposisi genetik, yaitu defisiensi a1antitripsin (AAT)
Defisiensi AAT ini terutama dikaitkan dengan kejadian emfisema, yang disebabkan
oleh hilngnya elastisitas jaringan di dalam paru-paru secara progresif karena adnya
ketidakseimbangan antara enzim proteolitik dan faktor protektif. Makrofog dan
neutrofil melepaskan enzim lisosomal yaitu elastase yang dapat merusak jaringan di
paru. Pada keadaan normal faktor protektof AAT menghambat enzim proteolitik
sehingga mencegah kerusakan. Karena itu, kekurangan ATT menyebabkan faktor
proteksi terhadap kerusakan paru(Ikawawati, 2016)
Namun, dari berbagai faktor resiko yang ada, merokok merupakan faktor resiko
utama untuk COPD/PPOK karena tembakau kronis. Di Amerika Serikat, 80 sampai
90% kasus PPOK disebabkan oleh merokok. Paparan asap rokok diukur dalam paket-
tahun, rata-rata jumlah rokok yang dihisap paket harian dikalikan dengan jumlah tahun
merokok. Tidak semua perokok akan mengembangkan PPOK, namun perokok terus
menerus memiliki setidaknya risiko 25% setelah 25 tahun. Kemungkinan
mengembangkan PPOK meningkat dengan bertambahnya usia dengan meningkatnya
paparan asap kumulatif.
16
2) Pencegahan primer ( primary prevention )
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat agar
tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Tujuan dari pencegahan
primer adalah untuk mengurangi insidensi penyakit dengan cara mengendalikan
penyebab-penyebab penyakit dan faktor-faktor resikonya. Hal-hal yang perlu dijaga
adalah dalam indikator fungsi paru yang meliputi Kapasitas vital paksa (KVP) dan
kapasitas vital (KV) sebagai nilai untuk menentukan fungsi sistem respirasi. Berikut
standar nilai kapasitas vital paru :
b)Memakai alat pelindung seperti masker di tempat kerja (pabrik) yang terdapat asap
mesin, debu.
17
pengobatan. Untuk menetapkan diagnosis dini PPOK pada pasien adalah dengan
pemeriksaan faal paru, radiologis, analisis gas darah, dan defisiensi AAT. Adapun
pencegahan sekunder terhadap penderita PPOK meliputi:
a) Uji faal paru
Uji faal paru dengan menggunakan spirometri berguna untuk menegakkan
diagnosis, melihat perkembangan penyakit dan menentukan prognosa.
Pemeriksaan ini penting untuk memperlihatkan secara obyektif adanya
obstruksi saluran nafas dalam berbagai tingkat. Spirometri harus digunakan
untuk mengukur volume maksimal udara yang dikeluarkan setelah inspirasi
maksimal, atau disebut forced vital capacity (FVC). Spirometri juga harus
digunakan untuk mengukur volume udara yang dikeluarkan pada satu detik
pertama pada saat melakukan manuver di atas. Uji faal paru dapat juga
dilakukan dengan uji bronkodilator
b) Kortikostreroid
c) Antibiotik
d) pemberian oksigen dan pembedahan(Putra and Artika, 2007)
4) Pencegahan Tersier
Tujuan pencegahan tertier adalah untuk mengurangi ketidakmampuan dan
mengadakan rehabilitasi. Pencegahan tertier meliputi:
a) Rehabilitasi Psikis
Rehabilitasi psikis bertujuan memberikan motivasi pada penderita untuk
dapat menerima kenyataan bahwa penyakitnya tidak dapat disembuhkan
bahkan akan mengalami kecemasan, takut dan depresi terutama saat eksaserbasi.
Rehabilitasi psikis juga bertujuan mengurangi bahkan menghilangkan perasaaan
tersebut.
b) Rehabilitasi Pekerjaan
Rehabilitasi pekerjaan dilakukan untuk menyelaraskan pekerjaan yang dapat
dilakukan penderita sesuai dengan gejala dan fungsi paru penderita.
Diusahakan menghindari pekerjaan yang memiliki risiko terjadi perburukan
penyakit.
18
c) Rehabilitasi Fisik
Penderita PPOK akan mengalami penurunan kemampuan aktivitas fisik
serta diikuti oleh gangguan pergerakan yang mengakibatkan kondisi inaktif
dan berakhir dengan keadaan yang tidak terkondisi. Tujuan rehabilitasi fisik
yang utama adalah memutuskan rantai tersebut sehingga penderita tetap aktif(Ana
adina, 2010).
19
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang berlangsung lama dan
ditandai dengan hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak sepenuhnya
reversibel. Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubyngan dengan
respons inflamasi paru terhadap partikel atau gas beracun atau berbahaya
Klasifikasi PPOK menurut Perhimpunan Dokter Paru Indonesia: yaitu ringan yaitu
memiliki gejala-gejala sebagai berikut : Tidak ada gejala waktu istirahat atau bila
eksesrsais , tidak ada gejala waktu istirahat tetapi gejala ringan pada latihan dan berat
yaitu memiliki gejala sebagai berikut: mempunyai gejala ringan, sedang dan berat pada
saat istirahat dan mempunyai tanda korpulmonal
Signifikasi Penyakit Paru Obstruktif Kronis memiliki data terdapat Amerika Serikat
prevalensi PPOK sebesar 10,1 %. Sedangkan mortalitas menduduki peringkat keempat
penyebab terbanyak yaitu 18,6 per 100.000 penduduk pada tahun 1991 dan angka
kematian ini meningkat 32,9% dari tahun 1979 sampai 1991. Sedangkan prevalensi
PPOK di negara-negara Asia Tenggara diperkirakan 6,3% dengan prevalensi tertinggi
terdapat di Vietnam (6,7%) dan China (6,5%).Indonesia sebagai negara dengan jumlah
perokok yang banyak dipastikan memiliki prevalen-si PPOK yang tinggi. N (Khairani,
2013).
Patofisiologi penyakit paru obstretrik kronis dibagikan menjadi dua yaitu bronkitis
kronis dan emfisema
Kelompok risiko tinggi dibagi menjadi orang, tempat, waktu, menurut orang terbagi
menjadi usia, jenis kelamin, merokok, pendidikan, riwayat terpajan polusi udara,
riwayat infeksi saluran napas bawah berulang. Waktu terbagi menjadi bahwa 3,17 juta
kematian disebabkan oleh penyakit pada tahun 2015 (yaitu, 5% dari semua kematian
secara global pada tahun itu). The Global Burden of Disease Study melaporkan
prevalensi 251 juta kasus COPD secara global pada tahun 2016 (WHO, 2017).
Diperkirakan sekitar 227,3 juta kasus PPOK pada tahun 1990 di antara orang berusia 30
tahun atau lebih, sesuai dengan prevalensi global 10,7% dalam kelompok usia ini.
Jumlah kasus PPOK meningkat menjadi 384 juta pada tahun 2010, dengan prevalensi
global sebesar 11,7% (8,4% -15,0%). Dan tempat Lebih dari 90% kematian PPOK
terjadi di negara-negara yang memiliki pendapatan rendah dan menengah, di mana
strategi efektif untuk pencegahan dan pengendalian tidak selalu dilaksanakan atau dapat
diakses.
Distribusi penyakit paru obstrestik kronik mempunyai lebih dari 3 juta orang meninggal
karena PPOK pada tahun 2012, menyumbang 6% dari semua kematian secara global
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2017). Di seluruh wilayah WHO, prevalensi
tertinggi diperkirakan di Amerika (13,3% pada tahun 1990 dan 15,2% pada tahun
2010), dan terendah di Asia Tenggara (7,9% pada tahun 1990 dan 9,7% pada tahun
2010).
20
Faktor risiko penyakit paru obstruktif kronis terbagi menjadi dua yang pertama oleh
paparan lingkungan dan host . paparan lingkungan yaitu merokok, pekerjaan, polusi
udara, infeksi sedangkan host usia, jenis kelasmin, adanya gangguan paru, Predisposisi
genetik, yaitu defisiensi a1antitripsin (AAT).
Pencegahan dan pengendalian penyakit paru obstruktif kronis terbagi menjadi
Pencegahan tahap awal, pencegahan primer, pencegahan sekunder, pencegahan tertier.
21
DAFTAR PUSTAKA
22
23