Anda di halaman 1dari 17

TUGAS MATA KULIAH

KEPERAWATAN MEDIKAL BEDAH I


ASUHAN KEPERAWATANPADA PASIEN DENGAN COPD/PPOK
Dosen Pengampuh Mata Kuliah : Reni Devianti, S.Kep., Ns., M.kep., Sp.KepMB

OLEH :
Johan Tirta (P00320022065)
Muh. Irfan (P00320022054)
Marsela Dematangkin (P00320022080)
Indah Permata Sari (P00320022090)
Indah Febriani (P00320022072)
Leni Meliani (P00320022069)
Jumirah (P00320022085)
Imelda Febrianti (P00320022058)
Mitra Yunita (P00320022078)
Muh. Alkhi Lail (P00320022070)

JURUSAN KEPERAWATAN POLTEKKES KEMENKES KENDARI


2023
KATA PENGANTAR

Syukur Alhamdulillah serantiasa kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini
gum memenuhi tugas kelompok untuk mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah dengan
judul: "Asuhan Keperawatanpada Pasien Dengan COPD/PPOK".

Kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini tidak terlepas dari bantuan banyak
pihak yang dengan tulus memberikan doa, saran dan kritik sehingga makalah ini dapat
terselesaikan.

Kami menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dikarenakan
terbatasnya pengalaman dan pengetahuan yang kami miliki Oleh karena itu, kami
mengharapkan segala bentuk saran serta masukan bahkan kritik yang membangun dari
berbagai pihak Akhirnya kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat
bagi perkembangan dunia pendidikan utamanya pada dunia keperawatan

Kendari 27, Februari 2023

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit paru obstruksi kronis (PPOK) bukan satu penyakit
tunggal namun merupakan istilah umum yang digunakan untuk
menggambarkan penyakit paru-paru kronis yang menyebabkan
keterbatasan aliran udara di paru-paru. Istilah yang lebih dikenal seperti
'bronkitis kronis' dan 'emphysema' tidak lagi digunakan, namun sekarang
termasuk dalam diagnosis PPOK. Gejala COPD/PPOK yang paling umum
adalah sesak napas, atau kebutuhan akan udara, produksi sputum
berlebihan, dan batuk kronis. Namun, PPOK bukan hanya sekedar "batuk
perokok", tapi penyakit paru yang kurang terdiagnosis dan mengancam
jiwa yang dapat menyebabkan kematian secara progresif. (WHO, 2017).
Penyakit paru obstruksi kronis adalah penyakit yang ditandai
dengan pengurangan aliran udara yang terus-menerus. Gejala
COPD/PPOK semakin memburuk dan sesak napas terus-menerus pada
pengerahan tenaga, akhirnya menyebabkan sesak napas saat istirahat. Ini
cenderung kurang di diagnosis dan bisa mengancam nyawa. Istilah yang
lebih dikenal "bronkitis kronis" dan "emphysema" sering digunakan
sebagai label untuk kondisinya.(WHO, 2017) Riskesdas 2013 berhasil
mengunjungi 11.986 blok sensus (BS) dari 12.000 BS yang di targetkan
(99,9%), 294.959 dari 300.000 RT (98,3%) dan 1.027.763 anggota RT
(93,0%). Data hasil riskesdas tersebut menempatkan Sulawesi Tenggara
pada peringkat 10 dengan penderita penyakit PPOK sebesar 4,9% dari 33
provinsi di Indonesia. (Riskesdas,2013).
Menurut data dari dinas kesehatan provinsi Sulawesi Tenggara
tahun 2016 diketahui bahwa penderita penyakit paru obstruksi kronis
(PPOK) adalah sebesar: TBC paru BTA (+) 267 orang, tersangka TBC
paru 1927 orang, pneumonia 247 orang, TB BTA (-) RO (+) 37 orang,
ISPA bukan pneumonia 25473 orang. Dari data tersebut diketahui
bahwasannya penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) termasuk kedalam
38 besar kasus kesehatan terbanyak/tertinggi se-Sulawesi Tenggara.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian pada latar belakang diatas, rumusan masalah
pada makalah ini adalah “Asuhan Keperawatanpada Pasien Dengan
COPD/PPOK”
C. Tujuan
Berdasarkan Latar Belakang serta Rumusan Masalah maka tujuan
penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui “Asuhan
Keperawatanpada Pasien Dengan COPD/PPOK”

D. Manfaat
Merupakan bahan literatur bagi masyarakat luas serta bahan evaluasi
penulis mengenai Asuhan Keperawatan Pada pasien dengan COPD/PPOK.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) masih menjadi
permasalahan utama di dunia dengan mortalitas dan morbiditas yang
tinggi (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011). Penyakit paru-paru
obstruksi kronis (PPOK) merupakan suatu istilah yang sering digunakan
untuk sekelompok penyakit paru paru yang berlangsung lama (Grace &
Borlay, 2011) yang ditandai oleh adanya respons inflamasi paru terhadap
partikel atau gas yang berbahaya (Padila, 2012). Adapun pendapat lain
mengenai PPOK adalah kondisi ireversibel yang berkaitan dengan dispnea
saat aktivitas dan penurunan aliran masuk dan keluar udara paru-paru
(Smeltzer & Bare, 2006) yang ditandai oleh peningkatan resistensi
terhadap aliran udara sebagai gambaran patofisiologi utamanya (Edward.
2012).

B. Etiologi
Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit Paru Obstruksi Kronik
(PPOK) menurut Mansjoer (2008) dan Ovedoff (2006) adalah :
a. Kebiasaan merokok, polusi udara, paparan debu, asap dan gas- gas
kimiawi.
b. Faktor Usia dan jenis kelamin sehingga mengakibatkan berkurangnya
fungsi paru-paru, bahkan pada saat gejala penyakit tidak dirasakan.
c. Infeksi sistem pernafasan akut, seperti peunomia, bronkitis, dan
asmaorang dengan kondisi ini berisiko mendapat PPOK.
d. Kurangnya alfa anti tripsin. Ini merupakan kekurangan suatu enzim
yang normalnya melindungi paru-paru dari kerusakan peradangan
orang yang kekurangan enzim ini dapat terkena empisema pada usia
yang relatif muda, walau pun tidak merokok.
Menurut Kemenkes (2008) faktor resiko penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK) adalah hal-hal yang berhubungan yang mempengaruhi
menyebabkan terjadinya PPOK pada seseorang atau kelompk tertentu.
Antara lain :
a. Faktor Penjamu (Host). Faktor penjamu yang utama adalah genetik,
hiper responsif jalan napas dan pertumbuhan paru. Dalam kasus yang
jarang terjadi, faktor genetik dapat menyebabkan orang yang tidak
pernah merokok memiliki resiko terkena PPOK., seperti kelainan
genetik yang menyebabkan kekurangan α1-antitrypsin (AAT) .
Defisiensi AAT adalah satu-satunya faktor resiko genetik PPOK yang
ada, kemungkinan beberapa gen merupakan faktor risiko tambahan,
para peneliti belum dapat membuktikan hal ini (Samiadi, 2017).
b. Faktor perilaku atau kebiasaan. Adalah faktor yang paling riskan
penyebab penyakit PPOK. Faktor risiko utama PPOK adalah
merokok, merokok menjadi penyebab sampai 90% kematian PPOK di
dunia menurut American Lung Association (ALA). Para perokok kira-
kira 13 kali lebih mungkin untuk mengalami kematian akibat penyakit
PPOK daripada mereka yang tidak pernah merokok, paparan jangka
panjang terhadap asap tembakau sangatlah berbahaya. Semakin lama
tahun dan semakin banyak bungkus rokok yang dihisap, maka
semakin besar pula risiko terkena penyakit PPOK. Perokok batang dan
perokok cerutu semuanya sama berisikonya, paparan terhadap asap
rokok pasif (secondhand smoke) juga meningkatkan risiko terkena
PPOK. Asap rokok yang dihirup oleh perokok pasif pasif mengandung
baik asap dari tembakau yang terbakar dan asap yang dihembuskan
perokok (Samiadi, 2017).
c. Faktor Lingkungan. Paparan terhadap polusi lingkungan dalam jumlah
besar adalah faktor risiko yang lain, kualitas udara dalam ruangan
memainkan peran penting dalam perkembangan PPOK di negara-
negara berkembang. Paparan jangka panjang terhadap debu, bahan
kimia, dan gas industri dapat mengiritasi dan mengakibatkan
peradangan saluran napas dan paru-paru, sehingga meningkatkan
kemungkinan PPOK. Orang-orang dengan profesi yang sering
berhadapan dengan paparan debu dan uap kimia, seperti penambang
batu bara, pekerja biji-bijian, dan pembuat cetakan logam, memiliki
reiiko lebih besar untuk terkena penyakit ini.

C. Prevalensi
World Health Organization (WHO) mendata pada tahun 2016
sebanyak 3 juta kematian di dunia disebabkan oleh PPOK. WHO juga
menyatakan bahwa 12 negara di Asia Tenggara mempunyai prevalensi
PPOK sedang-berat pada usia >30 tahun dengan rata-rata 6,3% (World
Health Organization, 2021). Prevalensi PPOK di Indonesia berdasarkan
data Kemenkes RI tahun 2019 sebesar 3,7% per satu juta penduduk
dengan prevalensi tertinggi pada umur lebih dari 30 tahun. Prevalensi
kejadian PPOK di Indonesia terus meningkat sejalan dengan peningkatan
prevalensi perilaku merokok masyarakat di Indonesia. Perilaku merokok
masyarakat Indonesia meningkat dari 32,8% pada tahun 2016 menjadi
33,8% pada tahun 2018 (Kementerian Kesehatan Republik Indonesia,
2019).
D. Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis menurut Reeves (2006) dan Mansjoer (2008)
pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis adalah perkembangan
gejalagejala yang merupakan ciri dari PPOK yaitu: malfungsi kronis pada
sistem pernafasan yang manifestasi awalnya ditandai dengan batuk- batuk
dan produksi dahak khususnya yang muncul di pagi hari. Napas pendek
sedang yang berkembang menjadi nafas pendek akut.

E. Patofisiologi
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok
Komponenkomponen asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel
penghasil mukus bronkus. Selain itu, silia yang melapisi bronkus
mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan
pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator
mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah
besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai
tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat
purulen. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi yang memanjang dan
sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan (Jackson,
2014).
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya
peradangan kronik pada paru. Akibat hilangnya elastisitas saluran udara
dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang. Saluran udara kolaps
terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat
pengempisan recoil paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian
apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam
paru dan saluran udara kolaps (Grece & Borley, 2011).

F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada diagnosis PPOK antara lain:
a Radiologi (foto toraks)
b Spirometri
c Laboratorium darah rutin (timbulnya polisitemia menunjukkan telah
terjadi hipoksia kronik)
d Analisa gas darah
e Mikrobiologi sputum diperlukan untuk pemilihan antibiotic bila terjadi
eksaserbasi.
G. Terapi/Penatalaksanaan
Secara umum penatalaksanaan PPOK adalah sebagai berikut:
a. Pemberian obat obatan
1. Bronkodilator Dianjurkan penggunaan dalam bentuk inhalasi
kecuali pada eksaserbasi digunakan oral atau sistemik
2. Anti inflamasi Pilihan utama bentuk metilprednisolon atau
prednison. Untuk penggunaan jangka panjang pada PPOK stabil
hanya bila uji steroid positif. Pada eksaserbasi dapat digunakan
dalam bentuk oral atau sistemik
3. Antibiotik Tidak dianjurkan penggunaan jangka panjang untuk
pencegahan eksaserbasi. Pilihan antibiotik pada eksaserbasi
disesuaikan dengan pola kuman setempat.
4. Mukolitik Tidak diberikan secara rutin. Hanya digunakan sebagai
pengobatan simptomatik bila tedapat dahak yang lengket dan
kental.
5. Antitusif Diberikan hanya bila terdapat batuk yang sangat
mengganggu. Penggunaan secara rutin merupakan kontraindikasi.

b. Pengobatan penunjang
1. Rehabilitasi
a) Edukasi
b) Berhenti merokok
c) Latihan fisik dan respirasi
d) Nutrisi
2. Terapi oksigen Harus berdasarkan analisa gas darah baik pada
penggunaan jangka panjang atau pada eksaserbasi. Pemberian yang
tidak berhati hati dapat menyebabkan hiperkapnia dan
memperburuk keadaan. Penggunaan jangka panjang pada PPOK
stabil derajat berat dapat memperbaiki kualiti hidup
3. Ventilasi mekanik Ventilasi mekanik invasif digunakan di ICU
pada eksaserbasi berat. Ventilasi mekanik noninvasif digunakan di
ruang rawat atau di rumah sebagai perawatan lanjutan setelah
eksaserbasi pada PPOK berat
4. Operasi paru Dilakukan bulektomi bila terdapat bulla yang besar
atau transplantasi paru (masih dalam proses penelitian di negara
maju)
5. Vaksinasi influensa Untuk mengurangi timbulnya eksaserbasi pada
PPOK stabil. Vaksinasi influensa diberikan pada:
a) Usia diatas 60 tahun
b) PPOK sedang dan berat

H. Asuhan Keperawatan
a. Pengkajian
Pengkajian keperawatan adalah proses sistematis dari pengumpulan,
verifikasi, dan komunikasi data tentang klien. Fase proses keperawatan
ini mencakup dua langkah yaitu pengumpulan data dari sumber primer
(klien) dan sumber sekunder (keluarga / tenaga kesehatan), dan analisis
data sebagai dasar untuk diagnosa keperawatan. Pengkajian terdiri dari
pengumpulan informasi subjektif dan objektif (mis: tanda-tanda vital,
wawancara pasien / keluarga, pemeriksaan fisik dan peninjauan
informasi riwayat pasien pada rekam medik (Doenges, 2012).
Menurut Doenges (2012) pengkajian pada pasien dengan PPOK ialah:
1. Identitas Klien
Yang perlu dikaji pada bagian ini meliputi nama, umur
factor usia dan jenis kelamin mengakibatkan berkurangnya
fungsi paru bahkan saat gejala penyakit tidak di rasakan, jenis
kelamin, nomor registrasi, agama, alamat, Pendidikan.
pekerjaan yang sering terpapar asap rokok, polusi udara,
paparan debu, asap dan gas kimiawi (menurut mansoer 2008)
status perkawinan, tanggal MRS, dan diagnosa medis.
2. Keluhan utama
Ditemukan keluhan sesak nafas, lemas, batuk berdahak
karena produksi sputum/lender peningkatan tekanan darah,
nadi dan respirasi meningkat. Ketidaknyamanan beraktivitas,
polusi udara, paparan debu, asap dan gas-gas kimiawi
kebiasaan merokok. Faktor usia dan jenis kelamin sehingga
mengakibatkan berkurangnya fungsi paru, bahkan saat gejala
penyakit tidak di rasakan.
3. Riwayat penyakit sekarang
Riwayat kesehatan saat ini berupa uraian mengenai
penyakit yang diderita oleh pasien dan mulai timbulnya
keluhan yang dirasakan sampai klien dibawa ke rumah sakit,
serta pengobatan apa saja yang pernah diberikan dan
bagaimana penyembuhannya serta data yang diperoleh dari
hasil pengkajian. Pasien merasakan sesak bila digunakan
aktivitas, lemas.
4. Riwayat penyakit dahulu
Apakah pasien pernah terkena penyakit PPOK sebelumnya
atau terkena penyakit menular lainnya. Perlu ditanyakan
apakah pasien seorang perokok atau sebelumnya pernah
bekerja di tempat yang terpapar partikel atau suatu gas yang
berbahaya.
5. Riwayat kesehatan keluarga
Perlu ditanyakan pada keluarga apakah salah satu anggota
keluarganya ada yang pernah mengalami sakit yang sama
dengan pasien atau penyakit yang menular.
6. Pola kesehatan sehari-hari
a. Nutrisi Gejala: nafsu makan berkurang, mual, muntah
asupan nutrisi yang berkurang Tanda: penurunan berat
badan, penurunan massa otot.
b. Eliminasi BAK/BAB Terdapat gangguan ginjal saat ini
(seperti obstruksi atau riwayat penyakit ginjal pada
masa yang lalu). Produksi urine <50ml/jam atau
oliguria.
c. Aktivitas/istirahat tidur Terdapat kesulitan tidur karena
adanya sesak nafas hingga menyebabkan kualitas tidur
menjadi buruk. Kuantitas tidur (lama tidur) siang dan
malam menjadi berkurang atau tidak seperti biasanya.
Idenifikasi keluahan saat tidur dan kebiasaan sebelum
tidur pasien seperti kebiasaan makan atau minum
sebelum tidur, membaca, tidur dalam ruangan
gelap/terang dan lain-lain. Gejala: Perasaan lelah,
gelisah, emosi, apatis, adanya kehitaman di sekitar
mata, konjungtiva berwarna merah dan perih, bengkak
pada kelopak mata, perhatian tidak fokus. Tanda:
Frekuensi jantung meningkat, perubahan irama jantung,
takipnea.
7. Pemeriksaan fisik
a. Keadaan umum
Meliputi keadaan umum pasien, kesadaran, dan
pemeriksaan TTV.
b. Pemeriksaan kepala dan wajah
Pada pasien PPOK ditemukan wajah nampak lesu
karena keletihan dan kurang tidur, terdapat area gelap
disekitar kelopak mata.
c. Pemeriksaan telinga
Inspeksi: kesimetrisan telingan kanan dan kiri,
kebersihan telinga kanan dan kiri serta kelainan bentuk
pada telinga. Palpasi: palpasi adanya nyeri tekan dan
benjolan abnormal.
d. Pemeriksaan mata
Pada pasien dengan masalah ketidakefektifan
bersihan jalan nafas ditemukan bengkak pada kelopak
mata, konjungtiva berwarna merah, mata terlihat
cekung, nampak loyo/layu/kurang bersemangat.
Terdapat gangguan visual seperti diplopia (pandangan
kabur atau pandangan ganda).
e. Pemeriksaan mulut dan faring
Adanya anoreksia dan mual muntah. Inspeksi
mukosa mulut, dan kebersihan mulut, kajia adanya
pembesaran tonsil.
f. Pemeriksaan leher
Ditemukan adanya peningkatan nadi pada artei
karotis, vena jugularis. Serta adanya distensi pada vena
jugularis.
g. Pemeriksaan payudara dan ketiak
Inspeksi kesimterisan payudara kanan dan kiri,
kebersihan payudara dan ketiak. Palpasi adanya nyeri
tekan daan benjolan abormal.
h. Pemeriksaan thoraks
1) Jantung Didapatkan hasil pemeriksaan TD
meningkat, nadi meingkat. Denyut jantung
takikardi dan disritmia.
2) Paru-paru Mengeluh sesak napas saat
beraktivitas, adanya taakipnea, ortopnea, batuk
dengan sputum, terdaapat riwatyat merokok,
menggunakan oto bantu pernapapasan.
Ditemukan suara napas tambahan seeperti
ronchi, dan mengi/wheezing.
i. Pemeriksaan abdomen
Teraba nyeri atau massa pada abdomen
(pheochromocytoma) atau sel kromafin. Kaji adanya
distensi maupun asites, ada tidaknya lesi, serta berapa
kali bising usus berbunyi.
j. Pemeriksaan integumen
Suhu kulit dingin, kulit berwarna pucat, CRT >2
detik, dan sianosis.
k. Pemeriksaan ektremitas
Adanya edema pada ekstremitas bawah, adanya
tremor
l. Pemeriksaan genetalia dan sekitar anus
Kaji kebersihan genetalia dan anus, adakah nyei
tekan dan benjolan abnormal.

b. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa merupakan penilaian klinis tentang respon individu,
keluarga, atau komunitas terhadap suatu masalah kesehatan aktual atau
potensial. Diagnosa keperawatan memberikan dasar untuk pemilihan
intervensi untuk mencapai hasil yang menjadi tanggung gugat perawat.
Diagnosa keperawtan pada pasien dengan Penyakti Paru Obstruksi
Kronik meurut Doenges (2012) adalah : Bersihan jalan napas tidak
efektif berhubungan dengan bronkopasma, peningkatan produksi
sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental, penurunan energi atau
kelemahan.

c. Tujuan dan Intervensi


1. Tujuan Keperawatan
a. Tujuan Adsministrasi Adsministrasi mengidentifikasi fokus
keperawatan.Fokus intervensi keperawatan dapat diidentifikasi
melalui rencan keperawatan yang disusun.
b. Tujuan Klinik Merupakan penunjuk dalam pelaksanaan
tindakan keperawatan
2. Intervensi Keperawatan
Intervensi keperawatan adalah suatu proses didalam
pemecahan masalah yang merupakan keputusan awal tentang
sesuatu apa yang akan dilakukan, bagaimana dilakukan, kapan
dilakukan, siapa yang melakukan dari semua tindakan keperawatan
(Dermawan, 2012). Intervensi keperawatan mencakup:
a. Perawat Langsung Yaitu penanganan yang dilaksanakan
setelah berinteraksi dengan klien. Misal klien menerima
intervensi langsung berupa obat, pemasangan infus intravena,
dan konseling saat berduka.
b. Perawatan Tidak Langsung Yaitu penanganan yang dilakukan
tanpa adanya klien, namun tetap respresentif untuk klien. Misal
pengaturan lingkungan klien (Deden, 2012) Intoleransi
aktivitas berhubungan dengan, tirah baring atau imobilitas,
kelemahan umum, ketidak seimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen, imobilitas, gaya hidup monoton.
Tabel 2.1 Rencana Asuhan Keperawatan Menurut SDKI
NO. SDKI SLKI SIKI
1. Bersihan jalan napas Kritia hasil untuk Fisioterapi Dada
tidak efektif mengukur Observasi :
Definisi : penyelesaian dari 1. Identifikasi
ketidakmampuan diagnosis setelah indikasi
membersihkan sekret dilakukan asuhan dilakukan
atau obstruksi jalan keperawatan selama 3x fisioterapi dada
napas untuk 24 jam, diharapkan (mis:
mempertahankan jalan status pernafasan: hipersekresi,
napas tetap paten bersihan jalan nafas sputum, sputum
Penyebab : Fisiologis dapat ditingkatkan, kental dan
1. Spasme jalan dengan kriteria hasil: tertahan, tirah
napas 1. Batuk efektif baring lama)
2. Hipersekresi (skala 5; 2. Identifikasi
jalan napas meningkat) kontra indikasi
3. Disfungsi 2. Produksi fisioterapi dada
neuromuskuler sputum(skala 5; (mis : ekserbasi
4. Benda asing menurun) PPOK akut,
dalan jalan 3. Mengi (skala pneumonia
napas. 5;menurun) tanpa produksi
5. Adanya jalan 4. Wheezing sputum
napas buatan (skala5; berlebih, ca
6. Sekresi yang menurun) paru-paru)
tertahan 5. Dyspnea (skala 3. Monitor status
7. Hiperplasia 5;menurun) pernapasan
dinding jalan 6. Ortopnea (skala (kecepatan,
napas 5;menurun) irama, suara,
8. Proses infeksi 7. Sulit bicara kedalaman)
9. Respons alergi (skala5; 4. Periksa segmen
10. Efek agen menurun) paru yang
farmakologis 8. Sianosis (skala mengandung
(mis.anastesi) 5;menurun) sekresi berlebih
Situasional : 9. Gelisah (skala 5. Monitor jumlah
11. Merokok aktif 5;menurun) dan karakter
12. Merokok pasif 10. Frekuensi sputum
13. Terpajan nafas(skala 6. Monitor
polutan 5;membaik) toleransi selama
Gejala dan Tanda 11. Pola nafas dan setelah
Mayor : Subjektif : - (skala5; prosedur
Objektif : membaik) Terapeutik :
1. Batuk tidak 1. Posisikan
efektif atau pasien sesuai
tidak mampu dengan area
batuk paru yang
2. Sputum mengalami
berlebih atau penumpukan
mekonium di sputum
jalan napas 2. Gunakan bantal
(pada neonatus) untuk mengatur
Gejala dan Tanda posisi
Minor : Subjektif : 3. Lakukan
1. Dispnea perkusi dengan
2. Sulit bicara posisi telapak
3. Ortopnea tangan di
Objektif : tnagkupkan 3-5
1. Gelisah menit
2. Sianosis 4. Lakukan vibrasi
3. Bunyi napas dengan posisi
menurun telapak tangan
4. Frekuensi napas rata bersamaan
berubah ekspirasi
5. Pola napas melalui mulut
berubah 5. Lakukan
fisioterapi dada
setidaknya 2
jam setelah
makan
6. Hindari perkusi
pada tulang
belakang,
ginjal, payudara
wnita, insisi,
dan tulang
rusuk patah
7. Lakukan
penghisapan
lendir untuk
pengeluaran
sekret jika perlu
Edukasi :
1. Jelaskan tujuan
dan prosedur
fisioterapi dada
2. Anjurkan batuk
segera setelah
prosedur selesai
3. Ajarkan
inspirasi
perlahan dan
dalam melalui
hidung selama
prose fisioterapi
dada.
Sumber : Tim Pokja SDKI DPP PPNI (2018), Tim Pokja SIKI DPP PPNI (2018)
dan Tim Pokja SLKI DPP PPNI (2018).

d. Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses
keperawatan yang menandakan keberhasilan dari diagnosis
keperawtan, rencana keperawatan dan implementainya. Meskipun
tahap evaluasi diletakan pada akhir proses keperawatan tetapi tahap ini
merupakan bagian integral pada setiap tahap proses keperawatan.
Evaluasi juga diperlukan pada tahap intervensi untuk menentukan
apakah tujuan intervensi tersebut dapat dicapai secara efektif
(Nursalam, 2008).
Berdasarkan tindakan fisioterapi dada yang telah dilakukan untuk
meningkatkan bersihan jalan nafas pada dengan hasil frekuensi
pernafasan (RR: 28 x/menit), irama pernafasan (reguler), mampu
mengeluarkan sputum, batuk berkurang, dan masih terdapat suara
nafas tambahan yaitu ronki sehingga masalah ketidakefektifan bersihan
jalan nafas teratasi sebagian. Sedangkan pada hasil frekuensi
pernafasan (RR: 26 x/menit), irama pernafasan (reguler), mampu
mengeluarkan sputum, tidak ada suara nafas (vesikuler), batuk jarang,
sehingga masalah ketidakefektifan bersihan jalan nafas sudah teratasi.
Kemudian klien dianjurkan untuk membatasi aktivitas supaya tidak
terlalu kelelahan dan sering meminum air putih hangat agar dahak
tetap encer sehingga mudah keluar.
DAFTAR PUSTAKA

Data Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tenggara. 2016. Jumlah Penyakit Sistem
Pernapasan.
Muh. Arif Hasanuddin (2018). Asuhan Keperawatan Pada Pasien Penyakit Paru
Obstruksi Kronis (Ppok) Dalam Pemenuhan Kebutuhan Oksigenasi Di
Rsud Bahteramas Provinsi Sulawesi Tenggara. Politeknik Kesehatan
Kendari Jurusan Keperawatan.
Lutfian (2021). Yoga Pranayama Sebagai Upaya Rehabilitatif Paru Penderita
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK): Literature Review. Jurnal ilmu
kesehatan bhakti husada: health sciences journal vol. 12 no. 02, desember
2021 doi: 10.34305/jikbh.v12i2.342.
Depkes RI (2013). Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas). Diakses
pada tanggal 27 Februari 2023. Pukul 21.18
M Hadi Iskandar (2020). Studi Literatur: Asuhan Keperawatan Dewasa Pada
Penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronik (Ppok) Dengan Masalah
Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas. Karya Tulis Ilmiah. Program
Studi D-III Keperawatan. Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas
Muhammadiyah Ponorogo.
Mansjoer, Arif. 2008. Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta : EGC Buku
Kedokteran.
World Health Organization (WHO). 2017. Data Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK). Diakses tanggal 27 Februari 2023 pukul 21.46 WITA.
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. (2019). Profil Kesehatan Indonesia
2018. Kementerian Kesehatan Republik Indonesia.
Reeves, Charlene J. 2006. Buku Satu Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta :
Salemba Medika.Sistem Pernafasan. Jakarta: Salemba Medika.
Grace A. Pierce, Borley R. Nier. (2011). Ata Glace Ilmu Bedah Edisi 3. Pt Gelora
Aksara Pratama.
Nursalam. (2016). Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Ed. 4 (4th ed.).
Jakarta:Salemba Medika.
Dermawan, D. (2012). Proses Keperawatan Penerapan Konsep & Kerangka Kerja
(1sted.). Yogyakarta: Gosyen Publishing.
Doenges, M. E. (2012). Rencana Asuhan Keperawatan : Pedoman untuk
Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta: EGC.
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. 2016. Standart keperawatan Indonesia. Edisi 1.
Jakarta : Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.\
Tim Pokja SLKI DPP PPNI. 2018. Standart keperawatan Indonesia. Edisi 1.
Jakarta : Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. 2019. Standart keperawatan Indonesia. Edisi 1.
Jakarta : Dewan Pengurus Pusat Persatuan Perawat Nasional Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai