Dosen Pembimbing :
DI SUSUN OLEH :
Meidyta Dwiputri
Melani Shaputri
Rofiah
Yesica Indriani
Novika Ana L.H
Neneng S. Rahayu
Salina
Dessy Susanti
Raffy Edward
Riapuni Suyanti
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha kuasa karena telah memberikan kesempatan pada
kelompok untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul kasus praktik klinik dengan kasus PPOK keperawatan dasar
profesi tepat waktu.
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas keperawatan dasar Selain itu, kelompok juga berharap
agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang asuhan keperawatan PPOK
Kelompok mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya. tugas yang telah diberikan ini dapat
menambah pengetahuan dan wawasan. kelompok juga mengucapkan terima kasih pada semua
pihak yang telah membantu proses penyusunan makalah ini. Kelompok menyadari makalah ini
masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kelompok
terima demi kesempurnaan makalah ini.
Penulis
Kelompok jambi 2
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. C.Tujuan Penelitian
BAB II TINJAUAN TEORI
A. Pengertian PPOK
B. Klasifikasi PPOK
C. Etiologi PPOK
D. Manifestasi PPOK
E. Patofisiologi PPOK
F. Pemeriksaan penunjang
G. Komplikasi
H. Penatalaksanaan
BAB III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN
A. Asuhan keperawatan PPOK
1.Pengkajian
2.Diagnosa keperawatan
3. Intervensi
4. Implementasi
5. 5. Evaluasi
BAB IV TINJAUAN KASUS DAN PEMBAHASAN
1.Pengkajian
2.Diagnosa keperawatan
3. Intervensi
4. Implementasi
5. Evaluasi
BAB V PENUTUP
1. Kesimpulan
2. Saran
Daftar pustaka
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit paru obstruktif Kronis (PPOK) merupakan istilah lain dari beberapa jenis
penyakit paru-paru yang berlangsung lama atau menahun, ditandai dengan meningkatnya
resistensi terhadap aliran udara (Maisaroh, 2018). Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
merupakan salah satu kelompok penyakit tidak menular yang menjadi masalah di bidang
kesehatan baik di Indonesia maupun di dunia. PPOK adalah penyakit inflamasi kronik pada
saluran napas dan paru yang ditandai oleh adanya hambatan aliran udara yang bersifat persisten
dan progresif sebagai respon terhadap partikel atau gas berbahaya.
Karakteristik hambatan aliran udara PPOK biasanya disebabkan oleh obstruksi saluran
nafas kecil (bronkiolitis) dan kerusakan saluran parenkim (emfisema) yang bervariasi antara
setiap individu (Perhimpunan Dokter Paru Indonesia dalam Agustin, 2017). Pada umumnya
penyakit ini dapat dicegah dan diobati (Suyanto dalam Agustin, 2017). PPOK dianggap sebagai
penyakit yang berhubungan dengan interaksi genetik dengan lingkungan. Adapun faktor
penyebabnya adalah: merokok, polusi udara, dan pemajanan di tempat kerja (terhadap batu
bara, kapas, padi-padian) merupakan faktor-faktor resiko penting yang menunjang pada
terjadinya penyakit ini. Prosesnya dapat terjadi dalam rentang lebih dari 20 tahunan. (Smeltzer
dan Bare dalam Rahmadi, 2015. Penyakit ini juga mengancam jiwa seseorang jika tidak segera
ditangani (Smeltzer dan Bare dalam Rajmadi, 2015).
Angka kejadian PPOK di Indonesia cukup tinggi dengan menggambil beberapa sempel di
daerah DKI Jakarta 2,7%, Jawa Barat 4,0%, Jawa Tengah 3,4%, DI Yogyakarta 3,1%, Jawa
Timur 3,6% dan Bali 3,6%. Hasil wawancara pada peserta umur kurang lebih 30 tahun
berdasarkan gejala. Dalam kasus PPOK laki-laki cenderung lebih tinggi di banding perempuan
dan lebih tinggi pedesaan di banding perkotaan (Kemenkes dalam Agustin, 2017). World
Health Organizatiton (WHO) memperkirakan pada tahun 2020 yang akan datang angka
kejadian PPOK akan mengalami peningkatan dan menduduki dari peringkat 6 menjadi
peringkat 3 sebagai penyebab kematian tersering (Ikawati dalam Agustin, 2017).
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)?
2. Bagaimana Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis
(PPOK)?
2
C. Tujuan
1. Memahami tentang definisi, etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi, pemeriksaan
diagnosa dan penatalaksanaan pada pasien PPOK.
2. Memahami asuhan keperawatan pada pasien dengan PPOK.
3
BAB II TINJAUAN TEORI
A. Definisi
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) atau Chronic Obstructive Pulmunary Disease
(COPD) adalah penyakit yang dicirikan oleh keterbatasan aliran udara yang tidak dapat pulih
sepenuhnya. Keterbatasan aliran udara biasanya bersifat progresif dan dikaitkan dengan
respons inflamasi paru yang abnormal terhadap partikel atau gas berbahaya, yang menyebabkan
penyempitan jalan napas, hipersekresi mukus, dan perubahan pada sistem pembuluh darah paru
(Brunner & Suddarth, 2013)
Penyakit Paru Obstuktif Kronis (Chronic obstructive pulmonary disease – COPD)
merupakan istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang
berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai
gambaran patofisiologi utamanya. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan
penyakit paru-paru yang ditandai dengan penyumbatan pada aliran udara dari paru-paru.
Penyakit ini merupakan penyakit yang mengancam kehidupan dan mengganggu pernafasan
normal (WHO dalam Maisaroh, 2018).
B. Klasifikasi PPOK
PPOK diklasifikasikan berdasarkan derajat, menurut Global Initiative for Chronic
Obstructuve Lung Disease (GOLD) dalam Rahmadi tahun 2015, yaitu:
1. Derajat 0 (beresiko)
Gejala klinis : memiliki satu atau lebih gejala batuk kronis, produksi sputum, dan dispnea,
terdapat paparan faktor resiko, sprirometri : normal.
2. Derajat I (PPOK ringan)
Gejala Klinis : batuk kronik dan produksi sputum ada tetapi tidak sering. Pada derajat ini
pasien sering tidak menyadari bahwa menderita PPOK.
3. Derajat II (PPOK sedang)
Gejala Klinis : sesak mulai dirasakan saat aktivitas dan kadang ditemukan gejala batuk dan
produksi sputum. Pada derajat ini biasanya pasien mulai memeriksakan kesehatannya.
4. Derajat III (PPOK Berat)
Gejala Klinis : sesak lebih berat, penurunan aktivitas, rasa lelah dan serangan eksasernasi
semakin sering dan berdampak pada kualitas hidup pasien
C. Etiologi
Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) menurut
Mansjoer (2008) dan Ovedoff (2006) dalam Rahmadi (2015) adalah :
1. Kebiasaan merokok, polusi udara, paparan debu, asap dan gas-gas kimiawi.
2. Faktor Usia dan jenis kelamin sehingga mengakibatkan berkurangnya fungsi paru-paru
bahkan pada saat gejala penyakit tidak dirasakan.
3. Infeksi sistem pernafasan akut, seperti peunomia, bronkitis, dan asma orang dengan
kondisi ini berisiko mendapat PPOK.
4. Kurangnya alfa anti tripsin. Ini merupakan kekurangan suatu enzim yang normalnya
melindungi paru-paru dari kerusakan peradangan orang yang kekurangan enzim ini dapat
terkena empisema pada usia yang relatif muda, walau pun tidak merokok.
D. Manisfestasi Klinis
Manifestasi klinis pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Reeves
(2001) dalam Rahmadi (2015) adalah :
Perkembangan gejala-gejala yang merupakan ciri dari PPOK adalah malfungsi kronis pada
sistem pernafasan yang manifestasi awalnya ditandai dengan batuk-batuk dan produksi dahak
khususnya yang makin menjadi di saat pagi hari. Nafas pendek sedang yang berkembang
menjadi nafas pendek akut. Batuk dan produksi dahak (pada batuk yang dialami perokok)
memburuk menjadi batuk persisten yang disertai dengan produksi dahak yang semakin banyak.
Biasanya pasien akan sering mengalami infeksi pernafasan dan kehilangan berat badan yang
cukup drastis, sehingga pada akhirnya pasien tersebut tidak akan mampu secara maksimal
melaksanakan tugas-tugas rumah tangga atau yang menyangkut tanggung jawab pekerjaannya.
Pasien mudah sekali merasa lelah dan secara fisik banyak yang tidak mampu melakukan
kegiatan sehari-hari.
Selain itu pada pasien PPOK banyak yang mengalami penurunan berat badan yang cukup
drastis, sebagai akibat dari hilangnya nafsu makan karena produksi dahak yang makin
melimpah, penurunan daya kekuatan tubuh, kehilangan selera makan (isolasi sosial) penurunan
kemampuan pencernaan sekunder karena tidak cukupnya oksigenasi sel dalam sistem (GI)
5
gastrointestinal. Pasien dengan PPOK lebih membutuhkan banyak kalori karena lebih banyak
mengeluarkan tenaga dalam melakukan pernafasan.
E. Patofisiologi
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen asap rokok
merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain itu, silia yang melapisi
bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan pada sel-sel
penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan
penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas. Mukus
berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat
purulen. Proses ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi
yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan.
(Jackson dalam Rahmadi, 2015).
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan kronik pada paru.
Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak strukturstruktur penunjang di paru.
Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang.
Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat
pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian apabila tidak terjadi
recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps. (Grece &
Borley dalam Rahmadi, 2015).
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnostik untuk pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)
menurut Somantri (2009) antara lain :
a. Chest X-Ray : dapat menunjukan hiperinflation paru, flattened diafragma, peningkatan
ruang udara restrotenal, penurunan tanda vaskuler/bullae (emfisema), peningkatan suara
bronkovaskular (bronkitis), normal ditemukan saat periode remisi (asma).
b. Pemeriksaan Fungsi Paru : dilakukan untuk menentukan penyebab dispnea, menentukan
abnormalitas fungsi tersebut apakah akibat obstruksi atau restriksi, memperkirakan tingkat
disfungsi, dan mengevaluasi efek dari terapi, misalnya bronkodilator.
c. Total Lung Capacity (TLC) : meningkat pada bronkitis berat dan biasanya pada asma,
namun menurun pada emfisema.
d. Kapasitas Inspirasi : menurun pada emfisema.
6
e. FEV1/FVC : rasio tekanan volume ekspirasi (FEV) terhadap tekanan kapasitas vital (FVC)
menurun pada bronkitis dan asma.
f. Arterial Blood Gasses (ABGs) : menunjukan proses penyakit kronis, sering kali PaO2
menurun dan PaCO2 normal atau meningkat (bronkitis kronis dan emfisema), tetapi sering
kali menurun pada asma, pH normal atau asidosis, alkalosis repiratori ringan sekunder
terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau asma).
g. Bronkogram : dapat menunjukan dilatasi dari bronki saat inspirasi, kolaps bronkial pada
tekanan ekspirasi (emfisema), pembesaran kelenjar mukus (bronkitis).
h. Darah Lengkap : terjadi peningkatan hemoglobin (emfisema berat) dan eosinofil (asma).
i. Kimia Darah : alpha 1-antitripsin kemungkinan kurang pada emfisema primer.
j. Sputum Kultur : untuk menentukan adanya infeksi dan mengidentifikasi patogen,
sedangkan pemeriksaan sitologi digunakan untuk menentukan penyakit keganasan atau
alergi.
k. Elektrokardiogram (EKG) : deviasi aksis kanan, gelombang P tinggi (asma berat), atrial
distritmia (bronkitis), gelombang P pada leads II, III, dan AVF panjang, tinggi (pada
bronkitis dan emfisema), dan aksis QRS vertikal (emfisema).
l. Exercise EKG, Stress test : membantu dalam mengkaji tingkat disfungsi pernapasan,
mengevaluasi keefektifan obat bronkodilator, dan merencanakan/evaluasi program.
G. Komplikasi PPOK
Menurut Irman Sumantri (2009), Komplikasi PPOK yaitu :
a. Hipoksemia
Hipoksemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 < 55 mmHg, dengan nilai saturasi
oksigen < 85%. Pada awalnya klien akan mengalami perubahan mood, penurunan
konsentrasi, dan menjadi pelupa. Pada tahap lanjut akan timbul sianosis.
b. Asidosis Respiratori
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnea). Tanda yang muncul antara lain
nyeri kepala, fatigue, letargi, dizzines, dan takipnea.
c. Infeksi Respiratori
Infeksi pernapasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus dan rangsangan
otot polos bronkial serta edem mukus. Terbatasnya aliran udara akan menyebabkan
peningkatan kerja napas dan timbulnya dispnea.
d. Gagal Jantung
7
Terutama kor pulmonl (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus diobservasi
terutama pada klien dengan dispnea berat. Komplikasi ini sering kali berhubungan dengan
bronkitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga dapat mengalami masalah ini. e.
Kardiak Disritma
Timbul karena hipoksemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis respiratori.
f. Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asma brokial. Penyakit ini sangat
berat, potensial mengancam kehidupan, dan sering kali tidak berespons terhadap terapi
yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu pernapasan dan distensi vena leher sering kali
terlihat pada klien dengan asma.
H. Pentalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Mansjoer
dalam Rahmadi (2015) adalah :
1. Pencegahan yaitu mencegah kebiasaan merokok, infeksi, polusi udara.
2. Terapi eksasebrasi akut dilakukan dengan :
a. Antibiotik, karena eksasebrasi akut biasanya disertai infeksi. Infeksi ini umumnya
disebabkan oleh H. Influenzae dan S. Pneumonia, maka digunakan ampisillin 4 x
0,250,5 g/hari atau eritromisin 4 x 0,5 g/hari.
b. Augmentin (amoksisilin dan asam kluvanat) dapat diberikan jika kuman penyebab
infeksinya adalah H. Influenzae dan B. Catarhalis yang memproduksi beta laktamase.
c. Pemberian antibiotik seperti kotrimoksasol, amoksisilin, atau doksisilin pada pasien
yang mengalami eksasebrasi akut terbukti mempercepat penyembuhan dam membantu
mempercepat kenaikan peak flow rate. Namun hanya dalam 7-10 hari selama periode
eksasebrasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-tanda pneumonia, maka
dianjurkan antibiotic yang lebih kuat.
d. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena hiperkapnia dan
berkurangnya sensitivitas terhadap CO2.
e. Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan baik.
f. Bronkodilator untuk mengatasi, termasuk didalamnya golongan adrenergik. Pada
pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau ipratorium bromide 250 mikrogram
diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer atau aminofilin 0,25-0,5 g iv secara perlahan.
3. Terapi jangka panjang dilakukan dengan :
8
a. Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisillin 4 x 0,25-0,5/hari
dapat menurunkan kejadian eksasebrasi akut.
b. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran nafas tiap pasien
maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif dari fungsi faal
paru.
c. Fisioterapi.
d. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik.
e. Mukolitik dan ekspektoran.
f. Terapi jangka penjang bagi pasien yang mengalami gagal nafas tipe II dengan
PaO2<7,3kPa (55 mmHg).
g. Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri dan
terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar dari depresi. Rehabilitasi
pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis adalah fisioterapi, rehabilitasi psikis
dan rehabilitasi pekerjaan.
Asih dalam Rahmadi (2015) menambahkan penatalaksanaan medis pada pasien dengan
Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah :
a. Penatalaksanaan medis untuk asma adalah penyingkiran agen penyebab dan edukasi atau
penyuluhan kesehatan. Sasaran dari penatalaksanaan medis asma adalah untuk
meningkatkan fungsi normal individu, mencegah gejala kekambuhan, mencegah serangan
hebat, dan mencegah efek samping obat. Tujuan utama dari berbagai medikasi yang
diberikan untuk klien asma adalah untuk membuat klien mencapai relaksasi bronkial
dengan cepat, progresif dan berkelanjutan. Karena diperkirakan bahwa inflamasi adalah
merupakan proses fundamental dalam asma, maka inhalasi steroid bersamaan preparat
inhalasi beta dua adrenergik lebih sering diresepkan. Penggunaan inhalasi steroid
memastikan bahwa obat mencapai lebih dalam ke dalam paru dan tidak menyebabkan
efek samping yang berkaitan dengan steroid oral. Direkomendasikan bahwa inhalasi beta
dua adrenergik diberikan terlebih dahulu untuk membuka jalan nafas, kemudian inhalasi
steroid akan menjadi lebih berguna.
b. Penatalaksanaan medis untuk bronkhitis kronis didasarkan pada pemeriksaan fisik,
radiogram dada, uji fungsi pulmonari, dan analisis gas darah. Pemeriksaan ini
mencerminkan sifat progresif dari penyakit. Pengobatan terbaik untuk bronkitis kronis
adalah pencegahan, karena perubahan patologis yang terjadi pada penyakit ini bersifat
9
tidak dapat pulih (irreversible). Ketika individu mencari bantuan medis untuk mengatasi
gejala, kerusakan jalan nafas sudah terjadi sedemikian besar.
Jika individu berhenti merokok, progresif penyakit dapat ditahan. Jika merokok dihentikan
sebelum terjadi gejala, resiko bronkhitis kronis dapat menurun dan pada akhirnya mencapai
tingkat seperti bukan perokok. Bronkodilator, ekspektoran, dan terapi fisik dada diterapkan
sesuai yang dibutuhkan. Penyuluhan kesehatan untuk individu termasuk konseling nutrisi,
hygiene respiratory, pengenalan tanda-tanda dini infeksi, dan teknik yang meredakan dispnea,
seperti bernafas dengan bibir dimonyongkan, beberapa individu mendapat terapi antibiotik
profilaktik, terutama selama musim dingin. Pemberian steroid sering diberikan pada proses
penyakit tahap lanjut (Rahmadi, 2015)
10
BAB III KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PALIATIF PADA PASIEN
DENGAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK) A. Asuhan
Keperawatan Paliatif Care pada Pasien PPOK
1. Pengkajian a
Biodata
Penyakit PPOK (Asma bronkial) terjadi dapat menyerang seagala usia tetapi lebih sering
di jumpai pada usia dini. Separuh kasus timbul sebelum usia 10 tahun dan sepertiga kasus
lainnya terjadi sebelum usia 40 tahun. Predisposisi laki-laki dan perempuan di usia dini
sebesar 2:1 yang kemudian sama pada usia 30 tahun.
b Riwayat kesehatan
1) Keluhan utama
Keluhan utama yang timbul pada klien dengan sama bronkial adalah dispnea (bias
sampai berhari-hari atau berbulan-bulan),batuk,dan mengi (pada beberapa kasus
lebih banyak paroksismal).
2) Riwayat kesehatan dahulu
Terdapat data yang menyatakan adanya faktor predisposisi timbulnya penyakit ini, di
antaranya adalah riwyat alergi dan riwayat penyakit saluran napas bagian bawah
( rhinitis, urtikaria, dan eksim).
3) Riwayat kesehatan keluarga
Klien dengan asma bronkial sering kali di dapatkan adanya riwayat penyaakit
keturunan, tetapi pada beberapa klien lainnya tidak di temukan adanya penyakit yang
sama pada anggota keluarganya.
c Pengkajian diagnostic COPD
1) Chest X- Ray : dapat menunjukkan hyperinflation paru, flattened diafragma,
peningkatan ruangan udara retrosternal, penurunan tanda vascular / bullae
( emfisema ), peningkatan suara bronkovaskular ( bronchitis ), normal ditemukan saat
periode remisi ( asma ).
2) Pemeriksaan fungsi paru : dilakukan untuk menentukan penyebab dispnea,
menentukan abnormalitas fungsi tersebut apakah akibat obstruksi atau restriksi,
memperkirakan tingkat disfungsi, dan mengevaluasi efek dari terapi, misalnya
bronkodilator.
3) Total lung capacity (TLC) : meningkat pada bronkitis berat dan biasanya pada asma,
namun menurun pada emfisema.
4) Kapasitas inspirasi : menurun pada emfisema.
11
5) FEV1/FVC : rasio tekanan volume ekspirasi (FEV) terhadap tekanan kapasitas vital
(FVC) menurun pada bronkitis dan asma.
6) Arterial blood gasses (ABGs) : menunjukan prose penyakit kronis, sering kali PaO2
menurun dan PaCO2 normal atau meningkatkan (bronkitis kronis dan emfisema), terapi
sering kali menurun pada asma, Ph normal atau asidosis, alkalosis respiratori ringan
sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau asma).
7) Bronkogram : dapat menunjukkan dilatasi dari bronki saat inspirasi, kolabs bronkial
pada tekanan ekspirasi (emfisema), pembesaran kelenjar mucus( brokitis).
8) Darah lengkap : terjadi peningkatan hemoglobin (emfisema berat) dan eosinophil
(asma).
9) Kimia darah : alpha 1-antitripsin kemungkinan kurang pada emfisema perimer.
10)Skutum kultur : untuk menentukan adanya infeksi dan mengidentifikasi pathogen,
sedangkan pemeriksaan sitologi digunakan untuk menentukan penyakit keganasan/
elergi.
11)Electrokardiogram (ECG) : diviasi aksis kanan, glombang P tinggi (asma berat),
atrial disritmia (bronkitis), gelombang P pada leadsII, III, dan AVF panjang,
tinggi( pada bronkitis dan efisema) , dan aksis QRS vertical (emfisema).
12)Exercise ECG , stress test :membantu dalam mengkaji tingkat disfungsi pernafasan,
mengevaluasi keektifan obat bronkodilator, dan merencanakan/ evaluasi program.
d Pemeriksaan fisik
Objektif
a) Batuk produktif/nonproduktif
b) Respirasi terdengar kasar dan suara mengi (wheezing) pada kedua fase respirasi
semakin menonjol.
c) Dapat disertai batuk dengan sputum kental yang sulit di keluarka.
d) Bernapas dengan menggunakan otot-otot napas tambahan.
e) Sianosis, takikardi, gelisah, dan pulsus paradoksus.
f) Fase ekspirasi memanjang diseratai wheezing( di apeks dan hilus )
g) Penurunan berat badan secara bermakna.
Subjektif
Klien merasa sukar bernapas,sesak dan anoreksia
Psikososial
a) Cemas, takut, dan mudah tersinggung.
b) Kurangnya pengetahuan klien terhadap situasi penyakitnnya
12
c) Data tambahan (medical terapi)
Bronkodilator
Tidak digunakan bronkodilator oral, tetapi dipakai secara inhalasi atau
parenteral. Jika sebelumnya telah digunakan obat golongan simpatomimetik,
maka sebaiknya diberikan Aminophilin seacara parenteral, sebab mekanisme
yang berlainan, demikian pula sebaliknya, bila sebelmnya telah digunakan
obat golongan Teofilin oral, maka sebaiknya diberikan obat golongan
simpatomimetik secara aerosol atau parenteral.
Obat obatan bronkodilator golongan simpatomimetik bentuk selektif terhadap
adrenoreseptor (orsiprendlin, salbutamol, terbutalin, ispenturin, fenoterol)
mempunyai sifat lebih efektif dan masa kerja lebih lama serta efek samping
kecil dibandingkan dengan bentuk non selektif (adrenalin,Efedrin,
Isoprendlin)
• Obat-obat bronkodilator serta aerosol bekerja lebih cepat dan efek samping
sistemiknya lebih kecil. Baik digunakan untuk sesak napas berat pada
anak-anak dan dewasa. Mula-mula deberikan dua sedotan dari Metered
Aerosol Defire (AfulpenMetered Aerosol ). Jika menunjukkan perbaikan
dapat diulang setiap empat jam, jika tidak ada perbaikan dalam 10-15
menit setelah pengobatan, maka berikan Aminophilin intravena
• Obat-obat bronkodilator simpatomimetik memberi efek samping takikardi,
penggunaan parenteral pada orang tua harus hati-hati, berbahaya pada
penyakit hipertensi, kardiovaskuler, dan serebrovaskuler. Pada dewasa
dicoba dengan 0,3 ml larutan epinefrin 1 : 1000 secara subkutan. Pada
anak-anak 0,01 mg /KgBB subkutan (1 mg per mil) dapat diulang setiap
30 menit untuk 2-3 kali sesuai kebutuhan .
• Pemberian Aminophilin secara intravena denagn dosis awal 5-6 mg/KgBB
dewasa/ anak-anak, disuntikkan perlahan dalam 5-10 menit, untuk dosis
penunjang dapat diberikan sebanyak 0-9 mg/kgBB/jam secara intravena.
Efek sampingnya tekanan darah menurun bila tidak dilakukan secara
perlahan.
Kortikosteroid
Jika pemberian obat-obat bronkodilator tidak menunjukkan perbaikan, maka
bisa dilanjutkan deagan pengobatan kortikosteroid, 200 mg hidrokortison
secara oral atau dengan dosis 3-4 mg/KgBB intravena sebagai dosis
13
permulaan dan dapat diulang 2-4 jam secara parental sampai serangan akut
terkontrol,dengan diikuti pemberian 30-60 mg prednison atau dengan dosis
12 mg/KgBB/hari secara oral dalam dosis terbagi, kemudian dosis dikurangi
secara bertahap
Pemberian oksigen
Oksigen dialirkan melalui kanul hidung dengan kecepatan 2-4 liter/menit
menggunakan air (humidifier) untuk memberiakan pelembapan. Obat
eksfektoran seperti gliserolguaiakolat juga dapat digunakan untuk
memperbaiki dehidrasi, oleh karena itu intake cairan per oral infus harus
cukup sesuai dengan prinsip.
Beta Agonis
Beta agonis ( β–adrenergic agents) merupakan pengobatan awal yang
digunakan dalam penatalaksanaan penyakit asma, dikarenakan obat ini
berekrja dengan cara mendilatsikan otot polos ( vasedilator). Andrenerigic
agent juga meningkatkan pergerakan siliari , menurunkan mediator kimia
anafilaksis, dan dapat meningkatan efek bronkodilatasi dari kortikosteroid.
Andrenergic yang sering digunakan antara lain epinefrin, albuterol,
metaproterenol, isoproterenol, isoetarin, dan terbutalin. Biasanya diberikan
secara parenteral atau inhalasi. Jalan inhalasi merupakan salah satu pilihan
dikarenakan dapat mempengaruhi secara langsung dan mempunyai efek
samping yang lebih kecil.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut
Doenges (2012) adalah :
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasma, peningkatan
produksi sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental, penurunan energi atau kelemahan.
b. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ganguan oksigenasi (obstruksi jalan nafas
oleh sekresi, spasma bronkus, jebakan udara), kerusakan alveoli.
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea, kelemahan,
efek samping obat, produksi sputum, anoreksia, mual atau muntah.
d. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan utama
(penurunan kerja silia, menetapnya sekret), tidak adekuatnya imunitas (kerusakan jaringan,
peningkatan pemajanan pada lingkungan), proses penyakit kronis, malnutrisi.
14
3. Intervensi Keperawatan
Intervensi Keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut
Doenges (2012) adalah :
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasma, peningkatan
produksi sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental, penurunan energi atau kelemahan.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien akan
mempertahankan jalan nafas yang paten dengan bunyi nafas bersih atau jelas dengan
kriteria hasil pasien akan menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan nafas
misalnya batuk efektif dan mengeluarkan sekret.
Intervensi :
Mandiri :
1) Auskultasi bunyi nafas. Catat adanya bunyi nafas misalnya mengi, krekels, ronkhi. R/
mengetahui ada tidaknya obstruksi jalan nafas dan menjadi manifestasi adanya bunyi
nafas adventisius.
2) Kaji atau pantau frekuensi pernafasan. Catat rasio inspirasi atau ekspirasi.
R/ takipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada penerimaan
atau selama stress/adanya proses infeksi akut.
3) Catat adanya derajat dispnea, misalnya keluhan lapar udara, gelisah, ansietas, distress
pernafasan, penggunaan otot bantu.
R/ mengetahui disfungsi pernapasan.
4) Kaji pasien untuk posisi yang nyaman, misalnya peninggian kepala tempat tidur,
duduk pada sandaran tempat tidur.
R/ mempermudah fungsi pernapasan dengan menggunakan gravitasi.
5) Dorong atau bantu latihan nafas abdomen atau bibir.
R/ mengatasi dan mengontrol dispnea dan menurunkan jebakan udara.
6) Observasi karakteristik batuk, misalnya batuk menetap, batuk pendek, basah. Bantu
tindakan untuk memperbaiki keefektifan upaya batuk.
R/ batuk dapat menetap tetapi tidak efektif.
7) Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi jantung. Memberikan
air hangat. Anjurkan masukan cairan antara sebagai pengganti makanan.
R/ hidrasi membantu menurunkan kekentalan sekret, mempermudah pengeluaran.
Kolaborasi :
1) Berikan obat sesuai indikasi.
15
a. Bronkodilator misalnya albuterol (ventolin).
b. Analgesik, penekan batuk atau antitusif misalnya dextrometorfan.
c. Berikan humidifikasi tambahan misalnya nebulizer ultranik, humidifier aerosol
ruangan.
d. Bantu pengobatan pernafasan misalnya fisioterapi dada.
R/ merilekskan otot halus dan menurunkan kongesti lokal, menurunkan spasme
jalan napas, mengi, dan produksi mukosa
b. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ganguan supply oksigen (obstruksi jalan
nafas oleh sekresi, spasma bronkus, jebakan udara), kerusakan alveoli.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien
menunjukkan perbaikan ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan GDA dalam
rentang normal dan bebas gejala distress pernafasan dengan kriteria hasil pasien akan
berpartisipasi dalam program pengobatan dalam tingkat kemampuan atau situasi.
Intervensi :
Mandiri :
1) Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan. Catat penggunaan otot aksesori, nafas bibir,
ketidakmampuan berbicara atau berbincang.
R/ berguna dalam evaluasi derajat distres pernapasan dan kronisnya proses penyakit.
2) Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi yang mudah untuk
bernafas. Dorong nafas dalam perlahan atau nafas bibir sesuai kebutuhan atau toleransi
individu.
R/ posisi duduk tinggi dan latihan nafas untuk menurunkan kolaps jalan napas,
dispnea, dan kerja napas.
3) Kaji atau awasi secara rutin kulit dan warna membran mukos.
R/ Keabu-abuan dan sianosis sentral mengidentifikasikan beratnya hipoksemia.
4) Dorong mengeluarkan sputum, penghisapan bila di indikasikan.
R/ banyaknya sekret menjadi sumber utama gangguan pertukaran gas pada jalan nafas.
5) Auskultasi bunyi nafas, catat area penurunan aliran udara dan atau bunyi tambahan. R/
bunyi nafas mungkin redup karena penurunan aliran udara atau area konsolidasi.
6) Palpasi fremitus.
R/ penurunan getaran vibrasi diduga ada pengumpulan cairan atau udara terjebak.
7) Awasi tingkat kesadaran atau status mental. Selidiki adanya perubahan.
R/ gelisah dan ansietas adalah manifestasi umum pada hipoksia.
16
8) Evaluasi tingkat toleransi aktivitas. Berikan lingkungan tenang dan kalem. Batasi
aktivitas pasien atau dorong untuk tidur atau istirahat di kursi selama fase akut.
Mungkinkan pasien melakukan aktivitas secara bertahap dan tingkatkan sesuai
toleransi individu.
R/ program latihan ditujukan untuk meningkatkan ketahanan dan kekuatan tanpa
menyebabkan dispnea berat, dan dapat meningkatkan rasa sehat.
9) Awasi tanda vital dan irama jantung.
R/ takikardia, disritmia dan perubahan TD dapat menunjukkan efek hipoksemia
sistemik pada fungsi jantung.
Kolaborasi :
1) Awasi dan gambarkan seri GDA dan nadi oksimetri.
R/ PaCO2 biasanya meningkat dan PaCO2 secara umum menurun, sehingga hipoksia
terjadi dengan derajat lebih kecil atau lebih besar.
2) Berikan oksigen tambahan yang sesuai dengan indikasi hasil GDA dan toleransi
pasien.
R/ dapat memperbaiki/mencegah memperburuknya hipoksia
3) Berikan penekan SSP (antiansietas, sedative, atau narkotik) dengan hati-hati. R/
digunakan untuk mengontrol ansietas/gelisah yang meningkatkan konsumsi
oksigen/kebutuhan, eksaserbasi dispnea.
4) Bantu intubasi, berikan atau pertahankan ventilasi mekanik dan pindahkan ke ICU
sesuai instruksi untuk pasien.
R/ terjadinya kegagalan nafas yang akan datang memerlukan upaya tindakan
penyelamatan hidup.
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea, kelemahan,
efek samping obat, produksi sputum, anoreksia, mual atau muntah.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien
menunjukkan peningkatan berat badan menuju tujuan yang tepat dengan kriteria hasil
pasien akan menunjukkan perilaku atau perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan
atau mempertahankan berat yang tepat.
Intervensi :
Mandiri :
1) Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat kesulitan makanan. R/
pasien distres pernapasan akut sering anoreksia karena dispnea, produksi sputum, dan
obat.
17
2) Evaluasi berat badan dan ukuran tubuh.
R/ meskipun kegagalan pernapasan membuat status hipermetabolik dengan
peningkatan kebutuhan kalori.
3) Auskultasi bunyi usus.
R/ penurunan bising usus menunjukkan penurunan motilitas gaster dan konstipasi.
4) Berikan perawatan oral sering, buang sekret, berikan wadah khusus untuk sekali pakai
dan tissu.
R/ mencegah utama terhadap tidak nafsu makan dan dapat membuat mual dan muntah
dengan peningkatan kesulitan nafas.
5) Dorong periode istirahat selama 1 jam sebelum dan sesudah makan. Berikan makan
porsi kecil tapi sering.
R/ membantu menurunkan kelemahan selamawaktu makan dan memberikan
kesempatan untuk meningkatkan masukan kalori total.
6) Hindari makanan penghasil gas dan minuman karbonat.
R/ dapat menghasilkan distensi abdomen yang mengganggu nafas abdomen dan
gerakan diafragma, dapat meningkatkan dispnea.
7) Hindari makanan yang sangat panas atau yang sangat dingin.
R/ suhu ekstrem dapat mencetuskan/meningkatkan spasme batuk.
8) Timbang berat badan sesuai indikasi.
R/ berguna untuk menentukan kebutuhan kalori, menyusun tujuan berat badan, dan
evaluasi keadekuatan rencana nutrisi.
Kolaborasi :
1) Konsul ahli gizi atau nutrisi pendukung tim untuk memberikan makanan yang mudah
dicerna, secara nutrisi seimbang, misalnya nutrisi tambahan oral atau selang, nutrisi
parenteral.
R/ memberikan nutrisi maksimal dengan upaya minimal pasien/ penggunaan energi.
2) Kaji pemeriksaan laboratorium misalnya glukosa, elektrolit. Berikan vitamin atau
mineral atau elektrolit sesuai indikasi.
R/ mengevaluasi kekurangan dan mengawasi keefektifan terapi nutrisi.
3) Berikan oksigen tambahan selama makan sesuai indikasi.
R/ menurunkan dispnea dan meningkatkan energi untuk makan meningkatkan
masukan.
18
d. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan utama
(penurunan kerja silia, menetapnya sekret), tidak adekuatnya imunitas (kerusakan
jaringan, peningkatan pemajanan pada lingkungan), proses penyakit kronis, malnutrisi.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien menyatakan
pemahaman penyebab atau faktor resiko individu dengan kriteria hasil pasien akan
mengidentifikasi intervensi untuk mencegah atau menurunkan resiko infeksi dan pasien
akan menunjukkan teknik, perubahan pola hidup untuk meningkatkan lingkungan yang
aman.
Intervensi :
Mandiri :
1) Awasi suhu.
R/ demam dapat terjadi karena infeksi atau dehidrasi.
2) Kaji pentingnya latihan nafas, batuk efektif, perubahan posisi sering, dan masukan
cairan adekuat.
R/ aktivitas ini meningkatkan mobilisasi dan pengeluaran sekret untuk menurunkan
resiko terjadinya infeksi paru.
3) Observasi warna, karakter, bau sputum.
R/ sekret berbau, kuning tau kehijauan menunjukan adanya infeksi paru.
4) Tunjukkan dan bantu pasien tentang pembuangan tisu dan sputum. Tekankan cuci
tangan yang benar (perawat dan pasien) dan penggunaan sarung tangan bila memegang
atau membuang tisu, wadah sputum.
R/ mencegah penyebaran patogen melalui cairan.
5) Awasi pengunjung, berikan masker sesuai indikasi.
R/ menurunkan potensial terpajan pada penyakit infeksius.
6) Dorong keseimbangan antara aktivitas dan istirahat.
R/ menurunkan kebutuhan keseimbangan oksigen dan memperbaiki pertahanan pasien
terhadap infeksi, meningkatkan penyembuhan.
7) Diskusikan kebutuhan masukan nutrisi adekuat.
R/ malnutrisi dapat mempengaruhi kesehatan umum dan menurunkan tahanan
terhadap infeksi.
Kolaborasi:
1) Dapatkan spesimen sputum dengan batuk atau penghisapan untuk pewarnaan kuman
gram, kultur atau sensitivitas.
19
R/ dilakukan untuk mengidentifikasi organisme penyebab dan kerentanan terhadap
berbagai antimikrobial.
2) Berikan antimikrobial sesuai indikasi.
R/ dapat diberikan untuk organisme khusus yang teridentifikasi dengan kultur dan
sensitifitas, atau diberikan secara profilaktif karena resiko tinggi.
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah pelaksanaan dari rencana intervensi untuk mencapai tujuan yang
spesifik. Tahap implementasi dimulai setelah rencana intervensi disusun dan ditujukan pada
nursing orders untuk membantu klien mencapai tujuan yang diharapakan. Oleh karena itu
rencana intervensi yang spesifik dilaksanakan untuk memodifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi masalah kesehatan klien (Nursalam, 2008). Intervensi pada klien PPOK dengan
masalah keperawatan bersihan jalan tidak efektif yaitu Implementasi yang dilakukan NIC:
Meningkatkan manajemen batuk: Mengajarkan klien untuk menarik nafas dalam, mengajarkan
klien untuk nafas dalam kemudian tahan selama 2 detik setelah itu batukkan 2-3 kali,
mengajarkan klien untuk batuk kemudian dilanjutkan untuk nafas dalam beberapa kali,
mendampingi klien menggunakan bantal atau selimut yang dilipat untuk menahan perut saat
batuk. Mengatur posisi: memposisikan klien semi fowler untuk mengurangi sesak nafas
(Herdman, 2015 dan Buthcer, 2016). Menurut peneliti implementasi yang dilakukan bisa saja
berbeda dengan intervensi yang dibuat, karena penulis harus menyesuaikan dengan kondisi
klien.
5. Evaluasi Keperawatan
Tahap penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sitematis dan tere ncana tentang
kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengancara bersambungan
dengan melibatkan klien, keluarga, dan tenaga kesehatnnya. (Wahyuni, 2016).
Evaluasi adalah penilaian terakhir didasarkan pada tujuan keperawatan yang ditetapkan.
Penetapan keberhasilan suatu asuhan keperawatan didasarkan pada kriteria hasil yang telah
ditetapkan, yaitu terjadinya adaptasi pada individu (Nursalam, 2008)
BAB IV TINJAUAN KASUS
20
PENGKAJIAN KEPERAWATAN DASAR
A. DATA BIOGRAFI
1. Nama pasien : Tn AM
2. Tempat/ tanggal lahir : 56 Tahun
3. Jenis kelamin : Laki laki
4. Status perkawinan : kawin
5. Suku bangsa : jawa/ indonesia
6. Agama : islam
7. Bahasa yang dipakai : indonesia
8. Pendidikan terakhir : SMA
9. Pekerjaan : PNS
10.Alamat rumah : Ampel Madrasah 18 Surabaya
PENANGGUNG JAWAB PASIEN
1. Nama : Ny. Y
2. Umur : 53 thn
3. Pekerjaan : IRT
4. Alamat rumah : Ampel Madrasah 18 Surabaya
5. Hubungan dengan pasien : Istri
2. ELIMINASI
Eliminas urine
Eliminasi Bowel
Frekuensi BAB/ 24 jam : 1x / 24 jam
22
Karakteristik feses :
Warna kuning
Konsistensi lunak
Bau khas
L
a. Penampilan wajah :
Pucat
Tampak mengantuk √
Lain-lain, sebutkan ..................................................................
b. Mata :
Sayu Ptosis
Tampak lengket Konjungtiva merah
c. Perilaku :
Iritabel Sering menguap √
Kurang perhatian Postur tubuh tidak stabil
Menarik diri
Bingung dan kurang koordinasi
Lain-lain (penjelasan) : tidak ada
ain-lain (sebutkan) tidak ada Gangguan
tidur atau faktor kontribusi :
4. MOBILITAS FISIK
Tingkat aktifitas sehari-hari
a. Aktifitas yang biasa dilakukan sehari-ha Dibantu total √
Toleransi aktifitas
a. Keluhan setelah melakukan aktifitas
Pusing Lelah √
Sesak napas √ Lain-lain, sebutkan .......................................................
Berdebar-debar
Keletihan, kelelahan, malaise. Ketidakmampuan melakukan aktivitas sehari-hari karena sulit
bernafas. Kelelahan, kelemahan umum/kehilangan masa otot
Exercise/ Latihan
a. Jenis latihan yang biasa dilakukan : tidak ada
b. Kapan latihan dilakukan : tidak ada
c. Berapa kali latihan dilakukan : tidak ada
Body Alignment
Body Mechanic
a. Kekuatan dan sikap tubuh waktu berjalan :
b.
Cepat Lambat √ Lain-lain .................................
Gaya berjalan
Ya Tidak
Mulai berjalan dan berhenti dengan mudah :
Ya Tidak
Ayunan tangan
c.
d.
e.
Mobilitas
a. Sendi
Bengkak Deformitas Kontraktur
b. Pergerakan terbatas
c. Ya Tidak
Bergerak memerlukan bantuan
Ya √ Tidak
d. ROM
Aktif,
Pasif,
e. Kekuatan Otot
Minimal Maksimal
Lain-lain (penjelasan)
Pasien mengatakan cepat lelah sehingga tidak mampu meakukan ktivitas sehari-hari secara
mandiri, Pasien hanya dapat berbaring dibed
b. Kedalaman dan irama napas : Nafas pendek, gerakan diagfrahma minimal .........
Keluhan
j. Karakteristik nyeri dada :
Suhu : 36,8 °C
Pernapasan : 32 x/menit
Ubun-ubun cekung : Ya .......................... Tidak √...........................
Mukosa mulut/lidah/bibir kering : Ya ......................... Tidak ..............................
Ektremitas : Teraba dingin : Ya ............. Tidak ..............
Teraba hangat : Ya ............. Tidak ..............
Tampak kering : Ya ............. Tidak ..............
Tampak lembab : Ya ............. Tidak ..............
Turgor kulit: jelek
Edema : Ya √ .......................... Tidak ..............................
o Anasarka o PalpebraEktremitas √
o Lain-lain ..................
7. PERSONAL HYGIENE
Kulit kepala dan rambut Ketombe (+), rambut bau
Mata
Tidak ada masalah
Hidung
Tidak ada masalah
Telinga
Serumen (+)
Kuku kaki dan tangan Kotor(+)
Genetalia
Tidak ada masalah
Kulit seluruh badan Kulit tampak kusam
Tubuh secara keseluruhan
Kebersihan buruk dan bau badan
Masalah keperawatan yang muncul: Defisit perawatan diri
8. KENYAMANAN : NYERI
Karakteristik nyeri
a. Lokasi nyeri : tidak ada
Intensitas nyeri :
d.
Tercekik Berdenyut-denyut Menyebar
Lain-lain ......................
Kapan pertama kali nyeri dirasakan tidak ada
Kapan terakhir kali nyeri dirasakan tidak ada
Waktu timbulnya nyeri
Mendadak Bertahap Hilang timbul
e.
f.
g.
c. Interaksi sosial
Menghindar untuk bicara
Terpusat pada aktifitas untuk mengurangi nyeri
Menghindar untuk kontak sosial
Perhatian terhadap lingkungan sekitar berkurang
Lainnya, sebutkan ..............................................................................................................
Riwayat nyeri
a. Apakah pernah menderita nyeri ini sebelumnya : tidak ada
b. Sudah berapa lama menderita nyeri ini
c. Apakah nyeri yang dirasakan mengganggu aktivitas
d. Kondisi yang memperberat nyeri
Lain-lain (penjelasan)
tidak ada
Masalah keperawatan yang muncul:
tidak ada
10. KEBIASAAN SEKSUAL
Apakah anda selalu melakukan hubungan seksual dengan pasangan?
Ya
Tidak √
Frekuensi hubungan seksual: tdk teratur
Apakah ada gangguan dalam melakukan hubungan seksual?
Ya √
Tidak
Gangguan hubungan seksual disebabkan kondisi sebagai berikut:
Fertilitas
Libido √ Ereksi√
Menstruasi
Kehamilan
Alat kontrasepsi
Lainnya,
Pemahaman terhadap fungsi seksual:
Lain-lain (penjelasan) Tidak ada
Masalah keperawatan yang muncul:
Ideal diri
a. Apakah perilaku sesuai dengan standar pribadi ........................................................................
b. Harapan pribadi berdasarkan normal sosial dari :
Keluarga
Budaya
Agama
Lain-lain, sebutkan ...........................................................................................................
c. Pada masa kanak-kanak, yang berperan dalam memberikan tuntutan/ harapan
Orangtua
Saudara
Teman sebaya
Lain-lain, sebutkan ...........................................................................................................
d. Hal yang amat dipikirkan saat ini
Adanya perubahan fungsi dan struktur tubuh akan menyebabkan penderita Lamanya
perawatan, banyaknya biaya perawatan dan pengobatan menyebabkan pasien mengalami
kecemasan dan gangguan peran pada keluarga (self esteem). Klien mengalami cemas karena
Kurangnya pengetahuan tentang sifat penyakit, pemeriksaan diagnostik dan tujuan tindakan
yang diprogramkan
13. SPIRITUAL
Nilai dan keyakinan
a. Siapa atau apa sumber kekuatan
b. Keyakinan terhadap Tuhan dan agama pasien memiliki keyakinan
Kegiatan ibadah
a. Kegiatan ibadah yang biasa dilakukan sendiri di rumah (sebutkan) .........................................
Sholat
b. Kegiatan ibadah berkelompok di masyarakat (sebutkan)
Tidak ada
c. Hambatan ibadah yang dirasakan saat ini
Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh berupa PPOM tidak
menghambat klien dalam melaksanakan ibadah tetapi mempengaruhi pola ibadah klien
Lain-lain (penjelasan) Tidak ada
Masalah keperawatan yang muncul:
16. LUKA
Penyebab luka : tidak ada
Penampilan luka : tidak ada
Drainage : tidak ada
Pembengkakan : tidak ada
Bau : tidak ada
Nyeri : tidak ada
Teraba hangat : tidak ada
Tindakan perawatan luka : tidak ada
Tanda-tanda komplikasi :
Infeksi
Perdarahan
Dehiscene
Lain-lain ............................................................
Lain-lain (penjelasan)
tidak ada
Masalah keperawatan yang muncul:
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Radiologi
Hasil foto Thorax PA tanggal 15 Mei 2002: Cor : bentuk Tear Drops Pulmo : Tampak
bronchopulmonary Pattern sedikit meningkat hiperacrated kedua paru. Kedua sinus Phrenicocostalis
tumpul (tampak tenting pada kedua hemidiafragma). Tampak perselubungan homogen pada
hemithorax kanan bawah lateral. Tampak callus formation pada costa 5, 6, 7, dan 8 kanan belakang.
Kesimpulan : Emphysematous Lung, Efusi Pleura bilateral yang telah mengalami organisasi bekas
fraktur Costa 5, 6, 7, dan 8 kanan belakang.
2. EKG
Hasil EKG tanggal 17 Mei 2002: Sinus takikardi disertai PAC dan PVC oleh karena pemberian
Aminophyllin (Efek Aritmogenik)
3. USG
Tidak ada
4. Laboratorium
Darah
Darah lengkap tanggal : 4 sept 2021.
- Hb : 10,7 gr% mg/dl (L 13,5 – 18,0 – P 11,5 – 16,0 mg/dl) - Leukosit : 18.600 (4000 –
11.000). - Trombosit : 381 (150 – 350). - PCV : 0,33
Faal Hati tanggal :. - SGOT : 20 (L < 37 P < 31) U/L
Faal Ginjal tanggal : - Ureum/BUN : 12 mg/dl (10 – 45) - Serum Creatinin : 0,93 mg/dl (L :
0,9 – 1,5 P : 0,7 – 1,3)
Darah lengkap tanggal : 9 sept 2021
- Hb : 10,6 gr% mg/dl (L 13,5 – 18,0 – P 11,5 – 16,0 mg/dl) - LED : 100 (L 0 – 15/jam P
0 – 20/jam - Leukosit : 17.600 (4000 – 11.000). - Hematokrit : 31,1 (L 0,40 – 0,47 P 0,38
– 0,42) - Trombosit : 421 (150 – 350) - PCV : 0,33
Urine
Tidak ada
Feses
Tidak ada
5. Lain-lain, sebutkan. Tidak ada
D. PROGRAM PENGOBATAN
• Oksigen 2 Lt/mt
• Inj Cepotaxime 3 X 1 gr. Tab Cefrofloxacin 2 X 500 mg Atroven Nebulizer 4 x / hr.
• Bricasma Nebulizer 4 x / hr.
• Syr Antacid 3 X 1 C1
• Tab Ranitidin 2 X 1
• Tab Codein 3 X 10 mg
• Infus RL drip KCl 25 mg/24 jam
- Hasil laboratorium
Hb : 10.6 gr %
4 DS: Kurang Gangguan
Pasien mengeluh susah tidur, control tidur pola tidur
-
sesak saat berbaring,
- Keluarga pasien mengatakan
pasien sering terbangun saat tidur
DO: 09
- Pasien tampak gelisah saat tidur September
dimalam hari 2021
5 DS : Ketidakseimb Intoleransi
- Pasien mengeluh cepat lelah angan suplai aktivitas
sehingga tidak mampu melakukan dan
aktivitas sehari- hari secara kebutuhan
mandiri oksigen
DO :
- Tampak aktivitas sehari-hari 09
pasien dibantu oleh keluarga dan September
perawat 2021
- Pasien hanya dapat berbaring
dibed
6 DS: Kelemahan Defisit
- Keluarga mengatakan untuk Perawatan
perawatan diri seperti mandi diri
dibantu oleh keluarga
DO:
- Tampak pemenuhan kebutuhan
dibantu keluarga
- Kebersihan buruk terdapat bau 09
badan September
2021
7 DS : Kurang Defisit
- Pasien dan keluarga mengatakan terpapar pengetahuan
tidak mengetahui dampak informasi
Penyakit Paru Obstruktif Kronik
DO:
- Pasien dan keluarga tidak
mematuhi prosedur pengobatan
dan perawatan yang lama karena 09
kurang informasi September
2021
8 DS : Ketidakadeku Koping tidak
- Pasien mengatakan cemas dan atan strategi efektif
takut terhadap perawatan dan koping
penyakitnya
- Pasien mengatakan merasa
terasingkan karena bergantung 09
pada keluarga September
DO : 2021
selama 8 detik
j. Anjurkan mengulangi tarik napas
dalam hingga 3 kali
k. Anjurkan batuk dengan kuat langsung
setelah tarik napas dalam yang ke-3
l. Kolaborasi pemberian mukolitik atau
ekspektoran, jika perlu
Terapi Oksigen
a. Monitor kecepatan aliran oksigen
b. Monitor posisi alat terapi oksigen
c. Monitor aliran oksigen secara periodic
dan pastikan fraksi yang diberikan
cukup
d. Monitor efektifitas terapi oksigen (mis
oksimetri, analisa gas darah)
e. Monitor kemampuan melepaskan
oksigen saat makan
f. Monitor tanda-tanda hipoventilasi
g. Monitor tanda dan gejala toksikasi
oksigen dan atelektasis
h. Monitor tingkat kecemasan akibat
terapi oksigen
i. Monitor integritas mukosa hidung
akibat pemasangan oksigen
j. Bersihkan secret pada mulut, hidung
dan trakea, jika perlu
k. Pertahankan kepatenan jalan napas
l. Siapkan danatur peralatan pemberian
oksigen
m. Berikan oksigen tambahan, jika perlu
n. Tetap berikan oksigen saat pasien
ditransportasi
o. Gunakan perangkat oksigen yang
sesuai dengan tingkat mobilitas pasien
p. Ajarkan pasien dan keluarga cara
menggunakan oksigen di rumah
q. Kolaborasi penentuan dosis oksigen
Kolaborasi penggunaan oksigen saat
aktivitas dan atau tidur
Perfusi Perifer Tujuan: Setelah dilakukan Perawatan Sirkulasi
Tidak Efektif tindakan keperawatan 3x24 Observasi:
jam diharapkan perfusi Periksa sirkulasi perifer
perifer Identifikasi faktor risiko gangguan
meningkat sirkulasi
Kriteria Hasil: Monitor panas, kemerahan, nyeri,
Warna kulit pucat berkurang atau bengkak pada ekstremitas
Edema perifer berkurangg Terapeutik
Kelemahan otot berkurang Hindari pemasangan infus atau
Akral teraba hangat pengambilan darah di area
Turgor kulit membaik keterbatasan perfusi
IMPLEMENTASI
memperbaiki sirkulasi
6. Menginformasikan tanda dan gejala darurat yang
harus dilaporkan
3 September Observasi:
2021 1. Mengidentifikasi status nutrisi
2. Mengidentifikasi alergi dan intoleransi
5. Monitor kelelahan fisik dan emosional
Edukasi
1. Menganjurkan tirah baring
2. Menganjurkan melakukan
aktivitas secara bertahap Terapeutik:
1. Menyediakan lingkungan nyaman dan rendah
stimulus
2. Melakukan latihan rentang gerak pasif dan/atau
aktif
3. Memberikan aktivitas distraksi yang
menenangkan
4. Memfasilitasi duduk di sisi tempat tidur, jika tidak
dapat berpindah atau berjalan
Kolaborasi
1. Mengkolaborasi dengan ahli gizi tentang cara
meningkatkan asupan makanan
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan kumpulan penyakit paru yang sudah
lama dan bertahun tahun, ditandai dengan adanya penyumbatan pada aliran udara dari
paruparu. Dengan penyebab utama dari lingkungan polusi udara, merokok, paparan debu, dan
gasgas kimiawi. Faktor Usia dan jenis kelamin sehingga mengakibatkan berkurangnya fungsi
paruparu bahkan pada saat gejala penyakit tidak dirasakan. Infeksi sistem pernafasan akut,
seperti peunomia, bronkitis, dan asma orang dengan kondisi ini berisiko mendapat PPOK.
Jika individu berhenti merokok, progresif penyakit dapat ditahan. Jika merokok dihentikan
sebelum terjadi gejala, resiko bronkhitis kronis dapat menurun dan pada akhirnya mencapai
tingkat seperti bukan perokok.
B. Saran
Sebagai perawat diharapkan mampu membuat asuhan keperawatan dengan baik terhadap
penderita penyakit saluran pernapasan terutama PPOK. Oleh karena itu, perawat juga harus
mampu berperan sebagai pendidik dalam hal ini melakukan penyuluhan ataupun memberikan
edukasi kepada pasien maupun keluarga pasien terutama mengenai tanda-tanda, penanganan
dan penceganhanya.
DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer, Susan C. 2011. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Somantri, Irman. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan.
Jakarta : Penerbit Salemba Medika.
Somantri, Irman. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan .
Vol:2. Jakarta : Penerbit Salemba Medika.
http://repo.stikesicme-jbg.ac.id/910/13/151210013_Iis%20Maisaroh_KTI%20benarkunci.pdf
http://elib.stikesmuhgombong.ac.id/539/1/NISA%20AGUSTIN%20NIM.
%20A01401932.pdf http://eprints.ums.ac.id/25892/14/NASKAH_PUBLIKASI.pdf
https://www.google.com/url?
q=https://www.academia.edu/37689132/asuhan_keperawatan_pada_pasien_dengan_PPOK&s
a=U&ved=2ahUKEwjf0_7S2ZvlAhWFdn0KHYzXA3MQFjAAegQIAhAB&usg=AOvVaw3
TTVNbVYVQVmbPnhQAJqM7