Anda di halaman 1dari 36

MAKALAH

Asuhan Keperawatan Pada Gangguan Sistem Respirasi PPOK

DOSEN PENGAMPU: Ns. Sri Yanti, M.Kep., Sp.Kep.MB

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK 7

CUCU PUTRI CAHYANI (21301106)

DHEA FADILLA (21301109)

LUCYA ANDINI (21301119)

MUHAMMAD RIDHO (21301122)

SINARHATI LAOLI (21301135)

TESA OKTAVIA (21301138)

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


STIKes PAYUNG NEGERI PEKANBARU
2022/2023

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan yang Mahakuasa karena telah memberikan kesempatan pa
da kami untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah kami dapat men
yelesaikan makalah yang berejudul “(Penyakit Paru Obstruktif Kronik)PPOK” tepat waktu.

Makalah “(Penyakit Paru Obstruktif Kronik)PPOK” di susun guna memenuhi tugas Ib


u Ns. Sri Yanti, M.Kep., Sp.Kep.MB pada mata kuliah Keperawatan Dewasa: Respirasi, Kard
iovaskuler, Hematologi di STIKes Payung Negeri Pekanbaru. Selain itu,kami juga berharap a
gar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang bagaimana Konsep Terapi
Modalitas dan Komplementer di Masyarakat.

Kami mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada Ibu Ns. Sri Yanti, M.Kep., S
p.Kep.MB selaku dosen mata kuliah Penyakit Paru Obstruktif Kronik PPOK. Tugas yang tela
h diberikan ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan terkait bidang yang ditekuni oleh
mahasiswa/i. Kami juga mengucapkan terima kasih pada semua pihak yang telah membantu
proses penyusunan makalah ini.

Kami menyadari makalah ini jauh dari kata sempurna. Oleh Karena itu,kritik dan saran
yang membangun akan kami terima demi kesempurnaan makalah ini.

Pekanbaru, 22 September 2022

Kelompok 7
DAFTAR ISI
Kata Pengantar
Daftar Isi
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
1.2 Tujuan
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DefInisi
2.2 Etiologi
2.3 Klasifikasi
2.4 Patofisiologis dan WOC
2.5 Menifestasi Klinis
2.6 Komplikasi
2.7 Penatalaksanaan Medis
2.8 Pemeriksaan Penunjang
2.9 MCP Teori
3.1 Asuhan Keperawatan
BAB 3
3.2 Mcp Kasus
BAB 4 ANALISIS JURNAL
3.3 Judul Artikel, Peneliti, Tahun Penelitian
3.4 Jenis Dan Jumlah Sampel/Responden/Populasi
3.5 Jenis Tindakan/Intervensi/Penanganan
3.6 Pembahasan Hasil Penelitian
3.7 Kesimpilan Hasil Penelitian
BAB 5 PENUTUP
3.8 Kesimpulan
3.9 Saran
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah sekolompok penyakit paru menahun
yang berlangsung lama dan disertai dengan peningkatan resistensi terhadap aliran udara (Padi
la, 2012). Sumbatan udara ini biasanya berkaitan dengan respon intlamasi abnormal paru terh
adap partikel atau gas yang berbahaya (Ikawati, 201). Karakteristik hambatan aliran udara PP
Ok biasanya disebabkan oleh obstruksI saluran nafas kecil (bronkiolitıs) dan kerusakan salura
n parenkim (emfisema) yang bervariasi antara setiap individu (Perhimpunan Dokter Paru Ind
onesia, 2011). Penyebab utama penyakit PPOK yaitu kebiasaan merokok batang karena setia
p batang mengandung ribuan bahan kimia yang dapat menyebabkan kerusakanjaringan maup
un kerusakan paru (Chang, 2010) Kandungan tembakau pada rokok juga merangsang inflama
si/peradangan, dapat merusak jaringan pernafasan dan juga dapat merangsang produksi sputu
m sehingga menyebabkan sumbatan pada saluran nafas (Chang, 2010). PPOK juga dapat dise
babkan karena polusi udara yang berupa asap kendaraan, asap pabrik dan juga sebelumnya su
dah pernah menderita penyakit paru misalnya bronkhitis (Ikawati, 2011).

Gejala yang muncul pada pasien PPOK antara lain sesak nafas, produksi sputum meni
ngkat dan keterbatasan aktivitas (Khotimah, 2013). Akibat produksi sputum berlebih menyeb
abkan proses pembersihan silia tidak berjalan lancar sehingga sputum tertimbun dan menyeba
bkan bersihan jalan nafas tidak efektif, dan sputum dapat dikeluarkan dengan tekanan ntratho
rakal dan intra abdomen yang tinggi Pengeluaran dahak dapat dilakukan dengan cara membat
ukkan atau postural drainase dengan bantuan enguapanpamunjika batuk yang dilakukan tidak
baik maka ponderia akan mengalami kesulitan bernafas dan mengakibatkan munculnya siano
sis (pucat kelclahan dan merasa lemah. Jika hal tersebut tidak segera diatasi maka pada tahap
selanjutnya akan mengalami perlengketan jalan nafas dan menyebabkan obstruksi (sumbatan)
jalan nafas (Nugroho, 2011).

Menurut perkiraan WHO (World Health Organization) 65 juta orang mengalami Peny
akit Paru Obstruktif Kronis sedang atau berat Lebih dari 3 juta orang meninggal karena Penya
kit Paru Obstruktif Kronik pada tahun 2005, yang setara dengan 5 % dari semua kematian sec
ara global Diketahui bahwa hampir 90% kematian Penyakit Paru Obstrutif Kronik terjadi di n
egara-negara berpenghasilan rendah dan aenengah. Pada 2002 Penyakit Paru Obstruktif Kron
ik adalah penyebab kematian nomor lima. Jumlah kematian akibat Penyakit Paru Obstrutif Kr
onik diproyeksikan meningkat lebih dari 30%. Perkiraan menunjukkan bahwa Penyakit Paru
Obstrutif Kronik pada tahun 2030 menjadi penyebab kematian ketiga di seluruh dunia (WH0,
2018). Penyakit Paru Obstruktif Kronis merupakan Penyakit tidak menular (PTM), merupaka
n penyakit kronis, tidak ditular kandari orang ke orang. PTM mempunyai durasi yang panjan
g dan umumnya berkembang lambat. Di Indonesia prevalensi penyakit PPOK 3,7% dimana le
bih didominasi laki-laki. Di Jawa Timur prevalensi durasi yang panjang dan umumnya berke
mbang lambat. Di Indonesia prevalensi penyakit PPOK 3,7% dimana lebih didominasi laki-la
ki. Di Jawa Timur prevalensi PPOK sebanyak 3,6% (Riskesdes, 2013) Berdasarkan hasil stud
i pendahuluan pada tanggal 8 November 2018 dı ruang Asoka RSUD Dr Hardjono Ponorogo
di dapatkan hasil data angka kejadian PPOK pada tahun 2017, jumlah pasien darı bulan Janua
ri sampai Desember 2017 adalah 468 pasien, sedangkan pada tahun 2018, yaitu Jumlah pasie
n pada bulan Januari 201I8sampai Oktober 2018 adalah 388 pasien.

1.2 Tujuan

a) Tujuan Umun

Untuk mengetahui, menguraikan, meningkatkan pengetahuan dan wawasan


mahasiswa/i terkait dalam mempelajari, mengidentifikasi, serta mengetahui
penyakit PPOK.

b) Tujuan khusus

Berdasarkan rumusan masalah tersebut, maka tujuan khusus masalahnya yaitu :

1. Menjelaskan dan mendeskripsikan definisi PPOK


2. Menjelaskan dan mendeskripsikan etiologic PPOK
3. Menjelaskan dan mendeskripsikan klasifikasi PPOK
4. Menjelaskan dan mendeskripsikan manifestasi klinis PPOK
5. Menjelaskan dan mendeskripsikan patofisiologi PPOK dan WOC
6. Menjelaskan dan mendeskripsikan komplikasi PPOK
7. Menjelaskan dan mendeskripsikan pemeriksaan penunjang/diagnostic
8. Menjelaskan dan mendeskripsikan penatalaksanaan medis dan keperawatan

BAB 2
2.1 Definisi PPOK
The Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary Disease (GOLD) tahun 2014
mendefinisikan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) sebagai penyakit respirasi kronis
yang dapat dicegah dan dapat diobati, ditandai adanya hambatan aliran udara yang persisten
dan biasanya bersifat progresif serta berhubungan dengan peningkatan respons inflamasi
kronis saluran nafas yang disebabkan oleh gas atau partikel iritan tertentu. Eksaserbasi dan
komorbit berperan pada keseluruhan beratnya penyakit pada seorang pasien. Pada defenisi ini
tidak lagi dimasukkan terminologi bronkhitis kronik dan emfisema dan secara khusus
dikemukakan pentingnya eksaserbasi dan komorbid. Pada defenis GOLD 2014 sehingga
dipandang perlu untuk dicantumkan pada defenisi. Hambatan aliran nafas kronik pada PPOK
adalah merupakan gabungan dari penyakit saluran nafas kecil dan destruksi parenkhim
dengan kontribusi yang berbeda antar pasien ke pasien. Pada kenyataannya, PPOK
merupakan sebuah kelompok penyakit dengan gejala klinis yang hamper serupa dengan
bronchitis kronis, emfisema, asma, bronkiektasis, dan bronkiolitis. Hambatan jalan nafas
yang terjadi pada penderita PPOK disebabkan oleh penyakit pada saluran nafas dan rusaknya
parenkim paru.

2.2 Etiologi

Etiologi peyakit ini belunm dikatahui. Menurut Muttaqin (2008) penyebab dari PPOK
adalah :

1. Kebiasaan merokok, merupakan penyebab utama pada bronhitis dan emfisea

2. Adanya infeksi: Haepohilus influenzza dan streptoous pnneumonia

3 Polusi oleh zat zat pereduksi.

4 Faktor keturunan

5. Faktor sosial ekonomi: keadaan lingkungan dan ekonomi yang memburuk.

Pengaruh dari masing-masing faktor terhadap terjadinya PPOK adalah saling meperku
at dan faktor merokok dianggap yang paling dominan.
2.3 Klasifikasi PPOK

Klasifikasi Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) menurut Jckson (2014):

1. ASMA
Asma ditandai dengan bronkospasme episodic reversibel yang terjadi akibat respons
bronkokonstriksi berlebihan terhadap berbagai rangsangan. Dasar hiper-reaktivitas bronkus
ini belum sepenuhnya jelas, tetapi diperkirakan karena peradangan bronkus yang persisten.
Oleh karena itu, asma bronkialis sebaiknya dianggap sebagai penyakit peradangan kronis
jalan napas. Secara klinis, asma bermanifestasi sebagai serangan dispnea, batuk, dan mengi
(suara bersiullembut sewaktu ekspirasi). Penyakit umum ini mengenai sekitar 5% orang
dewasa dan 7% hingga 10% anak.

Karena asma adalah suatu penyakit heterogen yang dipicu oleh beragam sebab, sampai
saat ini belum ada klasifikasi sederhana yang diterima secara luas. Bagai- manapun, asma
biasanya diklasifikasikan menjadi dua kategori utama berdasarkan ada tidaknya penyakit
imun penyebab:

1. Asma ekstrinsik; episode asma biasanya disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe I yang
dipicu oleh pajanan ke suatu antigen ekstrinsik (Bab 5). Tiga jenis asma ekstrinsik yang
dikenal: asma atopik, asma pekerjaan (banyak bentuk), dan aspergilosis bronkopulmonal
alergik (kolonisasi bronkus oleh organisme Aspergillus diikuti oleh terbentuknya antibodi
imunoglobulin E (IgE]). Asma atopik me- rupakan jenis asma tersering; onset biasanya pada
dua dekade pertama kehidupan, dan sering berkait- an dengan manifestasi alergi lain pada
pasien serta anggota keluarga. Kadar IgE serum biasanya meningkat, demikian juga hitung
eosinofil darah. Bentuk asma in diperkirakan diperantarai oleh sel TCD4+ subset T,2.

2. Asma intrinsik, yang mekanisme pemicunya ber sifat nonimun. Pada bentuk ini, sejumlah
rangsangan yang kecil atau tidak berefek pada orang normal dapat menyebabkan
bronkospasme pada pasien. Faktor tersebut mencakup aspirin; infeksi paru, terutama yang
disebabkan oleh virus; dingin; stress psikologis; olahraga; dan inhalasi iritan seperti ozon dan
sulfur dioksida. Biasanya tidak terdapat manifestasi alergi pada pasien atau keluarganya, dan
kadar IgE serum normal. Pasien tersebut dikatakan mengidap dintesis asmatik.

Secara umum, asma yang timbul pada awal kehidupan memiliki komponen alergi
(ekstrinsik) yang kuat, sedangkan asma yang timbul belakangan lebih sering merupakan asma
tipe intrinsik. Namun, perlu ditekankan bahwa, karena hiperreaktivitas trakeo-bronkus yang
inheren, orang dengan asma ekstrinsik juga rentan mengalami serangan asma jika terpajan
faktor yang berperan dalam asma intrinsik. Selain itu, dengan semakin terungkapnya dasar
molekular dan selular asma, diketahui bahwa kedua jalur tersebut memiliki banyak kesamaan
sehingga dikotomi yang kaku ini sudah kurang relevan lagi. Patogenesis. Seperti ditekankan
sejak awal, denominator umum yang mendasari semua bentuk asma adalah respons
bronkokonstriksi yang berlebihan (juga disebut hiperresponsivitas jalan naps) terhadap
berbagai rangsangan. Hiperresponsivitas jalan napas mudah dibuktikan dalam bentuk
peningkatan sensitivitas terhadap zat bronkokonstriktif, seperti histamin atau metakolin (suatu
agonis kolinergik).

Serangan asma ditandai dengan dispnea berat disertai mengi; kesulitan utama terletak
pada ekspirasi. Korban bersusah-payah menghirup udara dan kemudian tidak dapat mengeluar
kannya, sehingga terjadi hiperinflasi progresif par dengan udara terperangkap di sebelah distal
bronkus. Bronkus mengalami konstriksi dan terisi oleh mukus dan debris. Pada kasus yang bia
sa, serangan berlangsung 1 hingga beberapa jam dan mereda secara spontan atau dengan peng
obatan, biasanya berupa bronkodilator dan kortikosteroid. Selama interval di antara serangan
pasien biasanya bebas dari kesulitan bernapas, tetapi defisit pernapasan yang samar dan persis
ten dapat dideteksi dengan metode-metode spirometrik. Kadang-kadang terjadi serangan heba
t yang tidak berespons terhadap terapi dan menetap selama beberapa hari atau bahkan minggu
(status asmatikus). Hiperkapnia, asidosis, dan hipoksia berat yang timbul dapat menyebabkan
kematian, meskipun pada sebagian bear kasus penyakit lebih menyebabkan hendaya daripada
kematian. Namun,dalam tahun-tahun terakhir terjadi peningkatan yang mencemaskan kematia
n akibat asma berat. Penyebab kecenderungan ini masih belum jelas.

1. BRONKITIS KRONIS
Bronkitis kronis sering terjadi pada para perokok dan penduduk di kote- kata yang dip
enuhi olen kabut-asap; beberapa penelitian menunjukkan bahwa 20% hingga 25% laki-laki be
rusia antara 40 hingga 65 tahun mengidap penyakit in. Diagnosis bronkitis kronis ditegakkan
berdasarkan data klinis; penyakit ini didefinisikan sebagai batuk produktif persisten selama pa
ling sedikit 3 bulan berturut-turut pada paling sedukit 2 tahun berturut-turut. Sebagian besar p
asien menderita bronkitis kronis sederhana; batuk produktif meningkatkan sputum mukoid, jik
a sputum mengandung pus, mungkin karena inteksi sekunder, pasien dikatakan mengidap bro
nkitis mukopurulen kronis. Beberapa pasien dengan bronkitis kronis mungkin memperlihatka
n hiperresponsivitas jalan napas dan episode asma intermiten. Keadaan ini, yang disebut seba
gai bronkitis asmatik krons, sering sulit dibedakan dengan asma atopik. Suatu subpopulasi pas
ien bronkitis mengalami obstruksi aliran keluar udara yang kronis berdasarkan uji tungsi paru.
Meskipun gambaran penentu pada bronkitis kronis (hipersekrest mukus) terutama merupakan
pencerminan keterlibatan bronkus besar, dasar morfologik obstruksi aliran udara pada bronkiti
s kronis terletak lebih perifer dan terjadi akibat :

1. peradangan, fibrosis, dan penyempitan bronktolus ("small airway disease")

2. adanya emfisema secara bersamaan.

Secara umum dianggap bahwa walaupun penyakit saluran napas kecil (bronkiolitis kronis) me
mang berperan dalam obstruksi aliran udara, bronkitis kronis dengan obstruksi aliran udara ya
ng signifikan hampir selalu dipersulit oleh emtisema, Antara 5% hingga 15% perokok mempe
rlihatkan landa-landa fisiologi PPOK,dan banyak dari mereka yang awalnya memperlihatkan
gejala bronkitis kronis.

Pada pasien dengan bronkitis kronis, batuk dan pembentukan sputum dapat berlangsu
ng terus-menerus tapa distungsi ventilasi. Namun, seperti telah dibahas, beberapa pasien men
derita PPOK disertai obstruksi aliran keluar udara. Hal ini disertai hiperkapnia, hipoksemia, d
an (pada kasus berat) sianosis. Pembedaan PPOK bentuk ini dari yang disebabkan oleh emfise
ma dapat dibuat pada kasus klasik, tetapi seperti telah disinggung, banyak pasien yang mengid
ap kedua penyakit. Seiring dengan perkembangannya, bronkitis kronis dapat dipersulit oleh hi
pertensi pulmonal dan gagal jantung.

2. BRONKIEKTASIS
Bronkiektasis adalah pelebaran menetap bronkus dan bronkiolus akibat kerusakan otot
dan jaringan elastik penunjang, yang disebabkan oleh atau berkaitandengan infeksi nekrotikan
s kronis. Bronkiektasis bukanlah suatu penyakit primer, tetapi lebih merupakan akibat obstruk
si atau infeksi persisten yang ditimbulkan oleh berbagai sebab. Sekali terbentuk, bronkiektasis
menimbulkan kompleks gejala yang didominasi oleh batuk dan pengeluaran sputum purulen d
alam jumlah besar. Diagnosis bergantung pada riwayat yang sesuai dan pembuktian adanya di
latasi bronkus pada radiografi. Penyakit yang paling sering menjadi pre-disposisi bronkiektasi
s adalah:

1. Obstruksi bronkus. Penyebab yang sering adalah tumor, benda asing, dan kadang-kadang s
umbatan mukus. Pada keadaan ini, bronkiektasis terletak di segmen par yang tersumbat. Bron
kiektasis juga dapat menjadi penyulit asma atopik dan bronkitis kronis.

2. Kelainan kongenital atau herediter. Hanya beberapa yang disinggung: Pada fibrosis kistik, t
erjadi bronkiektasis berat yang luas akibat obstruksi dan infeksi karena sekresi mukus yang ter
lalu kental. Pada keadaan imunodefisiensi, terutama defisiensi imunoglobulin, mudah terjadi b
ronkiektasis karena meningkatnya kerentanan terhadap infeksi bakteri berulang; dapat terjadi
bronkiektasis lokal atau difus.Sindrom Kartagener, suatu gangguan resesif autosomal, sering b
erkaitan dengan bronkiektasis, dan sterilitas pada laki-laki. Kelainan struktural silia mengham
bat pembersihan jalan napas oleh mukosilia sehingga terjadi infeksi persisten dan berkurangn
ya mobilitas spermatozoa.

3. Pneumonia nekrotikans, atau supuratif, terutama akibat organisme virulen, seperti Staphylo
coccus aureus atau Klebsiella spp., dapat mempermudah timbulnya bronkiektasis. Dahulu, bro
nkiektasis pascainfeksi kadang-kadang menjadi sekuele dari pneumonia pada anak yang menj
adi penyulit campak, batuk rejan, dan influenza, tetapi hal ini telah jauh berkurang berkat keb
erhasilan imunisasi.Bronkiektasis pascatuberkulosis masih merupakan penyebab morbiditas y
ang bermakna di daerah endemik.

Terdapat dua proses penting yang saling kait dalam patogenesis bronkiektasis yaitu ob
struksi dan infeksi persisten kronis. Salah satu dari keduanya dapat terjadi lebih dahulu. Meka
nisme pembersihan normal terhambat oleh obstruksi, sehingga segera terjadi infeksi sekunder;
sebaliknya, infeksi kronis pada saatnya menyebabkan kerusakan dinding bronkus sehingga ter
jadi perlemahan dan dilatasi.

Gambaran klinis berupa batuk hebat persisten disertai pengeluaran sputum mukopurul
en, kadang-kadang berbau busuk. Sputum mungkin mengandung bercak-bercak darah; dapat t
erjadi hemoptoe. Gejala sering episodik dan dipicu oleh infeksi saluran napas atas atau masuk
nya patogen baru. Mungkin ditemukan jari gada. Pada kasus bronkiektasis yang para dan luas,
terjadi gangguan ventilasi yang bermakna, disertai hipoksemia, hiperkapnia, hipertensi pulmo
naris, dan (jarang) kor pulmonale. Abses otak metastatik dan amiloidosis reaktif merupakan p
enyulit bronkiektasis lain yang jarang ditemukan.

3. EMFISEMA

Emfisema Merupakan suatu perubahan anatomis parenkim paru yang ditandai oleh pembe
saran dinding alveolus dan duktus alveolaris serta destruksi dinding alveolar (Andini, 2015).
Emfisema ditandai dengan pembesaran permanen rongga udara yang terletak distal dari bronk
iolus terminal disertai destruksi dinding rongga tersebut. Terdapat beberapa penyakit dengan
pembesaran rongga udara yang tidak disertai destruksi; hal ini lebih tepat disebut “overinflati
on”. Sebagai contoh, peregangan rongga udara di paru kontralateral setelah pneumonektomi u
nilateral adalah overinflation kompensatorik bukan emfisema.

Hubungan antara bronkitis kronis dan emfisema rumit, tetapi penggunaan definisi yang te
pat menyebabkan beberapa hal yang selama ini "kacau" menjadi lebih teratur. Sejak awal perl
u ditekankan bahwa definisi emfisema adalah definisi morfologik, sedangkan bronkitis kronis
(lihat selanjutnya) didefinisikan berdasarkan gambaran klinis, seperti adanya batuk kronis rek
uren disertai pengeluaran mukus yang berlebihan. Kedua, pola anatomik distribusi juga berbe
da-bronkitis kronis mengenai saluran napas besar dan kecil (komponen terakhir disebut bronki
olitis kronis untuk menunjukkan tingkat keterlibatan); sebaliknya, emfisema terbatas di asinus
struktur yang terletak distal pada bronkiolus terminal. Meskipun bronkitis kronis dapat timbul
tanpa disertai emfisema yang nyata, sementara emfisema yang hampir murni juga mungkin ter
jadi (terutama pada pasien dengan defisiensi herediter antitripsin-a ), kedua penyakit biasanya
terdapat bersama-sama karena mekanisme patogenik utama, merokok, umum ditemukan pada
keduanya. Dapat diperkirakan jika kedua entitas ini terdapat bersama-sama, gambaran klinis d
an fisiologis akan tumpang tindih.

Jenis Emfisema. Emfisema didefinisikan tidak saja berdasarkan sifat anatomik lesi, tetapi
juga oleh distribusinya di lobulus dan asinus. Asinus adalah bagian paru yang terletak distal d
ari bronkiolus terminal dan mencakup bronkiolus respiratorik, duktusalveolaris, dan alveolus;
kelompokan yang terdiri atas tiga sampai lima asinus disebut satu lobulus. Terdapat tiga jenis
emfisema: (1) sentriasinar, (2) panasinar, dan (3) asinar distal.

Emfisema Sentriasinar (Sentrilobular). Gambaran khas pada emfisema tipe ini adalah po
la keterlibatan lobulus: bagian sentral atau proksimal asinus, yang dibentuk oleh bronkiolus re
spiratorik, terkena, sementara alveolus distal tidak terkena. Oleh karena itu, di dalam asinus d
an lobulus yang sama ditemukan rongga udara yang emfisematosa dan normal. Lesi lebih seri
ng dan lebih parah dilobus atas, terutama di segmen apeks. Pada emfisema sentriasinar yang p
arah, asinus distal juga terkena sehingga, seperti telah disinggung, pembedaan dengan emfise
ma panasinar menjadi sulit. Emfisema tipe ini paling sering terjadi pada perokok yang tidak m
enderita defisiensi kongenital antitrypsin.

Emfisema Panasinar (Panlobular). Pada tipe emfisema ini, asinus secara merata membes
ar dari tingkat bronkiolus respiratorik hingga alveolus buntu di terminal. Berbeda dengan emfi
sema sentriasinar, emfisema panasinar cenderung lebih sering terjadi di zona paru bawah dan
merupakan tipe emfisema yang terjadi pada defisiensi antitrypsin

Emfisema Asinar Distal (Paraseptal). Pada bentuk ini, bagian proksimal asinus normal, t
etapi bagian distal umumnya terkena. Emfisema lebih nyata di dekat pleura, di sepanjang sept
um jaringan ikat lobulus, dan tepi lobulus. Emfisema ini terjadi di dekat daerah fibrosis, jaring
an parut, atau atelektasis dan biasanya lebih parah di separuh atas paru. Temuan khas adalah a
danya ruang udara yang multipel, saling berhubungan, dan membesar dengan garis tengah ber
kisar dari kurang 0,5 mm hingga lebih dari 2,0 cm, kadang-kadang membentuk struktur mirip
kista yang lika membesar progresif disebut sebagai bula. Tipe emfisema ini mungkin mendasa
ri kasus pneumotoraks spontan pada orang dewasa muda.
Insiden. Emfisema adalah penyakit yang umum, tetapi insidensi pastinya suit diperkiraka
n karena diagnosis pasti, yang didasarkan pada morfologi, hanya dapat ditegakkan. melalui pe
meriksaan paru saal autopsi. Secara mum disepakati bahwa emfisema ter- dapat pada sekitar 5
0% orang dewasa yang diautopsi. Sebagian dari mereka yang diketahui menderita emfisema p
ada autopsi tidak memperlihatkan gejala. Emfisema, khususnya sentriasinar, jauh lebih sering
ditemukan dan lebih para pada laki-laki daripada perempuan. Terdapat keterkaitan yang jelas
antara merokok dalam jumlah besar dan emfisema, dan tipe paling parah terjadi pada mereka
yang banyak merokok. Meskipun emfisema tidak menyebabkan disabilitas sampai usia sekitar
lima puluh hingga delapan puluh tahun, defisit ventilasi sudah dapat bermanifestasi secara kli
nis beberapa dekade sebelumnya.

Patogenesis. Terjadinya kedua bentuk umum emfisema, sentriasinar dan panasinar, masih
belum sepenuhnya dipahami. Pendapat yang sekarang berlaku adalah bahwa emfisema terjadi
akibat dua ketidakseimbangan penting—ketidakseimbangan protease antiprotease dan ketida
kseimbangan oksidan-antioksidan. Ketidakseimbangan ini hampir selalu terjadi bersamaan, d
an pada kenyataannya, efek keduanya saling memperkuat dalam menyebabkan kerusakan jari
ngan sebagai akibat akhir.

Penyakit yang Berkaitan dengan Emfisema. Beberapa keadaan mirip emfisema hanya s
ecara sepintas dan secara tidak tepat dianggap sebagai emfisema.

Emfisema kompensatorik adalah istilah yang digunakan untuk menandai dilatasi kompens
atorik alveolus sebagai respons terhadap berkurangnya substansi paru di tempt lain, seperti ya
ng terjadi pada parenkim paru residual setelah pengangkatan lobus atau paru yang sakit secara
bedah.

Emfisema senilis mengacu pada peregangan berlebihan paru pada usia lanjut, akibat perub
ahan terkait-usia pada geometri internal paru (misal, ductus alveolaris besar dan alveolus keci
l). Tidak terjadi kerusakan jaringan yang bermakna, dan penamaan yang lebih baik untuk paru
yang mengalami penuaan seperti ini adalah hiperinflasi senilis.

Obstructive overinflation mengacu pada keadaan paru yang mengembang akibat udara ter
perangkap di dalamnya. Yang sering menjadi penyebab adalah obstruksi subtotal oleh tumor a
tau benda asing. Obstructive overinflation dapat merupakan kedaruratan yang mengancam ny
awa jika pasien melakukan ekstensi yang sedemikian sehingga paru normal sisanya mengalam
i kompresi.

Emfisema mediastinum (interstisium) menandakan masuknya udara ke dalam stroma jarin


gan ikat paru, mediastinum, dan jaringan subkutis.

2.4 Manifestasi Klinik

Manifestasi klinik pada PPOK menurut Mansjoer (2008) dan GOLD (2010) yaitu: Mal
fungsi kronis pada sistem pernafasan yang manifestasi awalnya ditandai dengan batuk-batuk d
an produksi dahak khususnya yang muncul dipagi hari. Nafas pendek sedang yang berkemban
g menjadi nafas pendek, sesak nafas akut, frekuensi nafas yang cepat, penggunaan obat bantu
pernafasan dan ekspirasi lebih lama daripada inspirasi

2.4 Patofisiologi dan WOC

Hambatan aliran udara merupakan perubahan fisiologi utama pada PPOK yang diakib
atkan oleh adanya perubahan yang khas pada saluuran nafas bagian proksimal, perifer, parenk
im, dan vaskularisasi paru yang dikarenakan adanya suatu inflamasi yang kronikdan perubaha
n structural pada paru. Terjadinya peningkatan penebalan pada saluran nafas kecil dengan pen
ingkatan formasi folikel limfoid dan deposisi kolagen dalam dinding luar saluran nafas menga
kibatkan restriksi pembukaan jalan nafas. Lumen saluran nafas kecil berkurang akibat penebal
an mukosa yang mengandung eksudat inflamasi, yang meningkat sesuai berat sakit. Dalam ke
adaan normal radikal bebas dan antioksidan berada dalam keadaan seimbang, apabila terjadi g
angguan keseimbangan maka akan terjadi kerusakan dan menjadi dasar dari berbagai macam
penyakit paru. Pengaruh gas polutan dapat menyebabkan stres oksidan, selanjutnya akan men
yebabkan terjadinya peroksidasi lipid. Peroksidasi lipid selanjutnya akan menimbulkan kerusa
kan seldan inflamasi. Proses inflamasi akan mengaktifkan sel makrofag alveolar, aktivasi sel t
ersebut akan menyebabkan dilepasnya faktor kemotataktikneutrofil seperti interleukin 8 dan l
eukotriene B4, tumor necrosis faktor (TNF), monocyte chemotactic peptide (PCP)-1 dan react
ive oxygen species (ROS). Faktor-faktor tersebut akan merangsang neutrofil melepaskan
protease yang akan merusak jaringan ikat parenkim paru sehingga timbul kerusakan dinding
alveolar dan hipersekresi mukus. Rangsangan sel epitel akan menyebabkan dilepaskannya
limfosit CD8, selanjutnya terjadi kerusakan seperti proses inflamasi. Pada keadaan normal
terdapat keseimbangan antara oksidan dan antioksidan. Enzim NADPH yang ada
dipermukaan makrofag dan neutrofil akan mentransfer satu elektron ke molekul oksigen
menjadi anion super oksida dengan bantuan enzim superoksid dismutase. Zat hidrogen
peroksida (H2O2) yang toksik akan diubah menjadi OH dengan menerima elektron dari
ion feri menjadi ion fero, ion fero dengan halida akan diubah menjadi anion hipohalida
(HOCl). Pengaruh radikal bebas yang berasal dari polusi udara dapat menginduksi batuk
kronisse hingga percabangan bronkus lebih mudah terinfeksi. Penurunan fungsi paru terjadi
sekunder setelah perubahan struktur saluran napas. Kerusakan struktur berupa destruksi
alveol yang menuju ke arah emfisema karena produksi radikal bebas yang berlebihan oleh
leukosit dan polusidan asap rokok.

Web Of Caution PPOK (Penyakit Paru


Obstruksi Kronis)

Asma, Bronkitis kronis,


Rokok dan polusi
Bronkiektasis, dan Emfisema

Inflamasi
PPOK

Sputum meningkat

Batuk
Perubahan anatomis
parenkin paru.

Pembesaran alveoli
Bersihan jalan nafas tidak
efektif
Hiperatropi kelenjar mukosa

Infeksi
Penyempitan saluran udara
secara periodik
Leukosit meningkat
Gangguan pertukaran gas
Ekspansi paru menurun
Imun menurun

Suplay oksigen tidak adekuat Kompensasi tubuh untuk


Kuman pathogen dan endogen
keseluruh tubuh memenuhi kebutuhan
difagosit makrofag
oksigen dengan
meningkatkan frekuensi
pernapasan
Hipoksia Anoreksia

Sesak Kontraksi otot pernapasan Gangguan nutrisi kurang


penggunaan energy untuk dari kebutuhan tubuh
pernapasan meningkat
Pola nafas tidak efektif

Intoleransi aktivitas

2.6 Komplikasi

Komplikasi Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) menurut Irman Soemantri


(2009) :

1. Hipoksemia

Hipoksemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 < 55 mmHg, dengan

nilai saturasi okesigen <85%. Pada awalnya klien akan mengalami perubahan mood,

penurunan konsentrasi, dan menjadi pelupa. Pada tahap lanjut akan timbul sianosis.

2. Asidosis Respiratori

Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnea). Tanda yang muncul

antara lain nyeri kepala, fatgue, letargi, dizzines, dan takipnea.

3. Infeksi Respiratori

Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus dan

rangsangan otot polos bronkial serta edema mukosa. Terbatasnya aliran akan

menyebabkan peningkatan kerja otot napas dan timbulnya dyspnea.

4. Gagal Jantung

Kor pulmonal (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus diobservasi

terutama pada klien dengan dispnea berat. Komplikasi ini sering kali berhubungan

dengan bronkitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga dapat mengalami

masalah ini.

5. Kardiak Disritmia

Timbul karena hipoksemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis

respiratori.

6. Status Asmatikus

Merupakan komplkasi mayor yang berhubungan dengan asma bronkial.

Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan, dan sering kali tidak
berespon terhadap terapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot bentu pernapasan dan

distensi vena leher sering kali terlihat pada klien dengan asma.

2.7 Penelataksanaan Medis dan Keperawatan

1. Penatalaksanaan medis

Penatalaksanaan medis dari Penyakit Kronis Obstruksi Kronik adalah

a. Berhenti merokok harus menjadi prioritas

b. Bronkodilatori (B-agonis dan antiklolinergik) bermanfant pada 20- 40% kasus

c. Pemberian terapi oksigen jangka panjang selama 16 jam memperpanjang usia

pasien dengan gagal nafas kronis (yaitu pasien dengan Pa02 sebesar 7,3 kPa dan

FEV 1 sebesar 1,5 L)

d. Rehabilitasi paru (khususnya latihan olahraga) membenikan manfaat simtomatik

yang singnifikan pada pasien dengan penyakit sedang berat.

e Operasi penurunan volume paru juga bisa memberikan perbaikan dengan meni

ngkatkan elastic recoil sehingga mempertahankan potensi jalan nafas

2. Penatalaksanaan keperawatan

Penatalaksanaan keperawatan dengan Penyakit Paru Obestrilksi Kionik adalah :

a Mempertahankan potensi jalan nafas

b. Membantu tindakan untuk mempernmudah pertukaran gas

c.Meningkatkan masukan nutrisi

d. Mencegah komplikasi, memperlambat memburuknya kondisi.

2.8 Pemeriksaan Penunjang/Diagnostik


a. Chest X-Ray: dapat menunjukkan hiperinflation paru flatterned diafiragma, penin
gkatan ruangan udara retrosternal, penuninan tanda bronkovaskuler vaskuler/bull
ae (emfisema),peningkatan siara (bronkitis), normal ditemukan saat periode remis
i (asma).

b. Pemeriksaan Fungsi Paru: dilakukan untuk menentukan penyebab di dispnea, men


entukan abnomalitas fungsi tersebut apakah akibat obstruksi atau restriksı, mempe
rkirakan tingkat disfungsi, dan mengevaluasi etek terapi, misalnya bronkodilator.

c. Total Lung Capucity (TLC); meningkat pada bronkitis berat dan biasanya pada as
ma, namun menurun pada emfisema.

d. Kapasitas inspirasi: menurun pada emfisema.

e. FEV1/FVC rasio tekanan volume eksperası (FEV) terhadap tekanan Kapasitas Vil
al (FVC) menurun pada beonkitis dan asma.

f. Arterial Blood Gasses (ABGs): menunjukkan proses penyakit kronis sering kali Pa
O2 menurun dan PaCO2 normal atau meningat (bronkitiskronis dan emfisema) tet
epi sering kali menurun pada asma, pH normal atau asidosis, alkalosis respiratori r
ingan sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau asma).

2.9 MCP Teori

3.1 Asuhan Keperawatan

1. Pengkajian
Pengkajian adalah pengumpulan, pengaturan, validasi dan dokumentasi data (info
rmasi) yang sistematis dan bersinambungan. Sebenarnya, pengkajian adalah proses be
rsinambungan yang dilakukan pada semua fase proses keperawatan. Misalnya pada fa
se evaluasi, pengkajian dilakukan untuk melakukan hasil strategi keperawatan dan me
ngevaluasi hasil pencapaian tujuan. Semua fase prsoes keperawatan bergantung pada
pengumpulan data yang akurat dan lengkap (Kozier, 2011).

a. Keluhan utama

Keluhan utama yang biasanya dialami oleh penderita asma yaitu bafuk, peningkat
an sputum, dispnea (bisa berhari-hari atau berbulan-bulan, wheezing, dan nyeri da
da (Somantri, 2009).

b. Riwayat penyakit sekarang

Riwayat penyakit sekarang yang biasa timbul pada pasien asma yaitu pasien meng
alami sesak nafas, batuk berdahak, biasanya pasien sudah menderita penyakit asm
a, dalam keluarga ada yang menderita penyakit asma (Ghofur A, 2008).

c. Riwayat kesehatan dahulu

Terdapat data yang menyertakan adanya faktor predispos isi penyakit ini, diantara
nya yaitu riwayat alergi dan penyakit saluran napas bawah (Somantri, 2009). Pera
wat dapat juga menanyakan tentang riwayat penyakit pernafasan pasien

d. Riwayat merokok

Merokok merupakan penyebab utama kanker panu-panu, bronkitis kronis dan as


ma. Semua keadaan itu sangat jarang menimpa non perokok Pengobatan sat ini, al
ergi, dan fempat tinggal Anamnesis harus mencangkup hal-hal :

1. Usia mulainya merokok secara rutin

2. Rata-rata jumlah rokok yang dihisap perhari

3. Usia menghentikan kebiasaan merokok


f. Pola kesehatan sehari-hari

Gejala asma dapat membatasi manusia untuk berperilaku hidup normal dengan as
ma harus megubah gaya hidup sesuai yang tidak akan menimbulkan serangan asm
a (Muttaqin, 2012)

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosa keperawatan utama pasien mencakup berikut ini :

1. Bersihan jalan afas tidak efektif berhubungan dengan bronkokontriksi,


peningkatan produksi sputum, batuk tidak efektif, kelebihan
berkurangnya tenaga dan infeksi bronkopulmonal

2. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan napas pendek, mucus,


bronkokontriksi dan iritan jalan napas

3. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi


perfusi

4. Gangguan pola tidur

5. Intoleransı aktuvitas

3. Perencanaan Keperawatan

Intervensi Keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis men
urut Doenges (2012) adalah :

a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasma,

peningkatan produksi sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental, penurunan


energi atau kelemahan.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan

pasien akan mempertahankan jalan nafas yang paten dengan bunyi nafas ber
sih atau jelas dengan kriteria hasil pasien akan menunjukkan perilaku untuk mem
perbaiki bersihan jalan nafas misalnya batuk efektif dan mengeluarkan

sekret.

Intervensi :

Mandiri :

Auskultasi bunyi nafas. Catat adanya bunyi nafas misalnya mengi, krekels,
ronkhi.

R/ mengetahui ada tidaknya obstruksi jalan nafas dan menjadi manifestasi


adanya bunyi nafas adventisius.

Kaji atau pantau frekuensi pernafasan. Catat rasio inspirasi atau ekspirasi.

R/ takipnea biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan


pada penerimaan atau selama stress/adanya proses infeksi akut.

Catat adanya derajat dispnea, misalnya keluhan lapar udara, gelisah,


ansietas, distress pernafasan, penggunaan otot bantu.

R/ mengetahui disfungsi pernapasan.

Kaji pasien untuk posisi yang nyaman, misalnya peninggian kepala


tempat tidur, duduk pada sandaran tempat tidur.

R/ mempermudah fungsi pernapasan dengan menggunakan gravitasi.

Dorong atau bantu latihan nafas abdomen atau bibir.

R/ mengatasi dan mengontrol dispnea dan menurunkan jebakan udara.

Observasi karakteristik batuk, misalnya batuk menetap, batuk pendek,


basah.
Bantu tindakan untuk memperbaiki keefektifan upaya batuk.

R/ batuk dapat menetap tetapi tidak efektif.

Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi jantung.

Memberikan air hangat. Anjurkan masukan cairan antara sebagai pengganti ma


kanan.

R/ hidrasi membantu menurunkan kekentalan sekret, mempermudah pengeluara


n.

Kolaborasi :

- Berikan obat sesuai indikasi.

- Bronkodilator misalnya albuterol (ventolin).

- Analgesik, penekan batuk atau antitusif misalnya dextrometorfan.

- Berikan humidifikasi tambahan misalnya nebulizer ultranik, humidifier

aerosol ruangan.

- Bantu pengobatan pernafasan misalnya fisioterapi dada.

R/ merilekskan otot halus dan menurunkan kongesti lokal menurunkan

spasme jalan napas, mengi, dan produksi mukosa.

BAB 3

3.2 MCP Kasus


BAB 4

ANALISIS JURNAL

3.3 Identitas Jurnal


Judul Artikel : Lama Sakit Berhubungan Dengan Kualitas Hidup

Pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)


Peneliti : Nieniek Ritianingsih dan Farial Nurhayati

Tahun Penelitian : 1 Februari 2017

3.4 Jenis dan Jumlah Populasi/Sampel Responden


Penelitian ini merupakan penelitian kuantitatif menggunakan metoda cross
sectional dengan jumlah pasien yang menjadi responden yaitu 60 orang. Penelitian ini
dilakukan di ruang poliklinik paru RS M. Goenawan Patowidigdo Cisarua Bogor
dengan waktu penelitian dilakukan pada bulan Januari s.d Desember 2016. Dalam
penelitian ini adalah semua pasien PPOK yang menjalani rawat jalan di poliklinik RS
Paru M. Goenawan Partowidigdo Cisarua Bogor. Tehnik pengambilan sampel yang
digunakan adalah dengan cara purposive sampling,yaitu pengambilan sampel berdasar
pertimbangan tertentu.

Dari 28 orang responden yang lama sakitnya kurang dari 24 bulan yang kualitas
hidup nya baik ada 20 orang (71,4%), yang kualitas hidupnya buruk ada sebanyak 8
orang (28,6%). Dari 32 orang responden yang lama sakitnya lebih sama dengan 24
bulan memiliki kualitas hidup baik ada 14 orang (43,8%), dan yang memiliki
kualitas hidup buruk ada 18 orang (56,8%). Hasil uji statistic diperoleh nilai p =
0,031, maka dapat disimpulkan ada perbedaan signifikan proporsi kejadian antara
lama sakit dengan kualitas hidup pasien PPOK.

3.5 Jenis Tindakan


Tehnik pengambilan sampel yang digunakan adalah dengan cara purposive
sampling, yaitu pengambilan sampel berdasar pertimbangan tertentu.

Kriteria Inklusi:

 Bersedia menjadi responden dan kooperatif


 Pasien sesak ringan
 Pasien melaksanakan kontrol yang pertama pasca rawat inap Instrumen kualitas
hidup menggunakan AQ 20 dan analisa data menggunakan analisis Chi square.
3.6 Pembahasan Hasil Penelitian

Tebel 1
Distribusi frekuensi responden berdasarkan karakteristik
Tahun 2016 (n=60)
Karakteristik Sub Karakteristikan n %
Jenis Kelamin 1. Perempuan 12 20,0
2. Laki-laki 48 80,0
Tngkat Pendidikan 1. Rendah 52 86,7
2. Tinggi 8 13,3
Pekerjaan 1. Bekerja 32 53,4
2. Tidak bekerja 28 46,6
Umur 1. Dewasa muda 0 0,0
2. Dewasa akhir 100 100

Hasil analisis didapatkan dari 60 responden sebagian besar berjenis kelamin laki-laki
yaitu 48 orang (80,0%) dan sebagian kecil yaitu 12 orang (20%) bahwa berjenis kelamin
perempuan, sebagian besar yaitu 52 orang (86,7%) berpendidikan rendah, dan sebagian
kecil yaitu 8 orang (13,3%) berpendidikan tinggi dan lebih dari setengah yaitu 32 orang
bekerja dan 28 orang (46,6%) responden tidak bekerja. Seluruh responden yaitu 60 orang
(100%) berusia dewasa akhir.

Tebel 2
Distribusi frekuensi responden berdasarkan lama sakit dan kualitas hidup pasien
PPOK
Tahun 2016 (n=60)
Variable n %
Lama sakit 1. < 24 bulan 28 46,7
2. ≥ 24 bulan 32 53,3
Kualitas hidup 1. Baik 34 56,7
2. buruk 26 43,3

Distribusi lama sakit responden PPOK terbanyak adalah ≥ 24 bulan yaitu 32 orang
(53,3%). Sedangkan yang lama sakit < 24 bulan ada sebanyak 28 orang (46,7%). Distribusi
kualitas hidup pasien PPOK terbanyak adalah baik yaitu 34 orang (56,7%). Sedangkan
responden yang kualitas hidupnya rendah ada sebanyak 26 orang (43,3%).

Tebel 3
Distribusi frekuensi responden berdasarkan lama sakit dan kualitas hidup pasien
PPOK
Tahun 2016 (n=60)
Kualitas hidup Total P value
Lama sakit Baik Buruk
n % n % n % 0,031
< 24 bulan 20 71,4 8 28,6 28 46,7
≥ 24 bulan 14 43,8 18 56,2 32 53,3
Jumlah 34 56,7 26 43,3 60 100

Dari 28 orang responden yang lama sakitnya kurang dari 24 bulan yang kualitas
hidupnya baik ada 20 orang (71,4%), yang kualitas hidupnya buruk ada sebanyak 8 orang
(28,6%). Dari 32 orang responden yang lama sakitnya lebih dari 24 bulan memiliki kualitas
hidup baik ada 14 orang (43,8%), dan yang memiliki kualitas hidup buruk ada 18 orang
(56,8%). Hasil uji statistic diperoleh nilai P = 0,031, maka dapat disimpulkan ada perbedaan
signifikan proporsi kejadian antara lama sakit dengan kualitas hidup pasien Penyakit Paru
Obstruksi Kronis (PPOK)

Hasil penelitian menunjukkan bahwa lama sakit berhubungan dengan kualitas hidup
pasien PPOK (p=0.031). Hasil penelitian ini sesuai dengan konsep proses terjadinya PPOK,
dimana pada PPOK terjadi obstruksi bronkiolus sehingga meningkatkan tahanan saluran
nafas dan meningkatkan kerja penafasan.Inspirasi merupakan gerakan aktif dengan
menggunakan otot-otot pernafasan, maka udara masih bisa masuk melalui sumbatan dan
masuk melalui alveolus. Tetapi karena proses ekspirasi merupakan proses yang pasif yang
hanya berdasarkan elastisitas paru, maka tidak semua udara hasil inspirasi dapat dikeluarkan
lagi dan akan menyebabkan adanya udara sisa dalam alveoli. Alveoli menjadi teregang dan
terjadi distensi alveolus (air trapping) dan pasien menjadis sesak (Black, J.M., & Hawk, J.H,
2009).Semakin lama apabila tidak diobati maka obstruksi akan semakin parah. Sesak yang
ditimbulkan penyakit PPOK akan mengakibatkan keterbatasan fungsi pasien, baik fungsi
social maupun aktifitas sehari-harinya sehingga akan mengurangi kualitas hidupnya.

Hasil penelitian sesuai dengan riset yang dilakukan oleh Uppal et al (2014) dimana
lama peyakit PPOK yang diderita pasien berhubungan dengan kualitas hidupnya. Semakin
lama PPOK diderita maka kondisi pasien akan semakin menurun. Pasien akan semakin sesak
sehingga akan menurunkan kualitas hidupnya. Menurut Kwon & Kim (2016) semakin lama
dan semakin berat derajat PPO yang diderita makan kualitas hidupnya akan semakin rendah.
Kualitas hidup juga dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, factor social ekonomi, dan
komorbiditas. Begitu juga dengan tingkat pendidikan dan pendapatan akan mempengaruhi
kualitas hidup.

3.7 Kesimpulan dan Saran Hasil Penelitian


Terdapat hubungan yang signifikan antara lama sakit dengan kualitas hidup pasien
PPOK. Bagi rumah sakit agar perawat memperhatikan lama pasien menderita sakit PPOK
dalam pemberian asuhan keperawatan terutama pada fase rehabilitasi sehingga kualitas hidup
dapat lebih ditingkatkan.

BAB 5

3.8 KESIMPULAN

Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) didefinisikan sebagai penyakit paru kronik
berupa obstruksi saluran pernapasan yang bersifat progresif dan tidak sepenuhnya reversible
yang diasosiasikan dengan respon inflamsi abnormal paru terhadap gas berbahaya ataupun
partikel asing. Faktor resiko yang berkaitan dengan PPOK adalah faktor herediter yaitu
defisiensi alpha – 1 antitripsin, kebiasaan merokok, riwayat terpapar polusi udara di
lingkungan dan tempat kerja, hipereaktivitas bronkus, riwayat infeksi saluran napas bawah
berulang. Manifestasi klinis pasien PPOK adalah batuk kronis, berdahak kronis, dan sesak
nafas. Diagnosis pada pasien PPOK dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan penunjang. PPOK eksaserbasi akut adalah bila kondisi pasien PPOK
mengalami perburukan yang bersifat akut dari kondisi sebelumnya yang stabil yang ditandai
dengan sesak napas yang bertambah berat, produksi sputum yang meningkat dan perubahan
warna sputum menjadi lebih purulent. Tujuan penatalaksaan PPOK adalah untuk mengurangi
gejala, mencegah eksaserbasi berulang memperbaiki dan mencegah penurunan faal paru dan
meningkatkan kualitas hidup penderita.

3.9 SARAN

 Lakukan pemeriksaan spirometry dan kultur sputum untuk keperluan diagnosis pasti
dan pengobatan definitive
 Berikan penanganan sesuai dengan indikasi populasi D menurut CAT dengan
pemberian LABA + LAMA + ICS untuk mencegah eskaserba

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Hardhi. 2013. Aplikasi Asuhan Keperawatan berdasarkan Diagnosa Medis NANDA
NIC NOC. Yogyakarta : Media Action.

Arikunto. 2002. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Yogyakarta : FIP. IKIP.
Asih, Niluh Gede Yasmin. 2003. Keperawatan Medikal Bedah Klien dengan
Gangguan Sistem Pernafasan. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.

Brashers, Valentina L. 2007. Aplikasi Klinis Patofisiologi Pemeriksaan dan


Manajemen Edisi 2. Jakarta : EGC Buku Kedokteran.

Doenges, Marilynn E. 2012. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman Untuk


Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Jakarta : EGC Buku
Kedokteran.

Engram, Barbara. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan Medikal Bedah Volume 1.


Jakarta : EGC Buku Kedokteran.

Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease. 2009. Global Strategy for The
Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary
Disease. Barcelona: Medical Communications Resources. Available from:
http://www.goldcopd.org

Hidayat, Azis Alimul. 2008. Kebutuhan Dasar Manusia Aplikasi Konsep dan Proses
Keperawatan. Jakarta : Salemba Medika.

Kasanah. 2011. Analisis Keakuratan Kode Diagnosis Penyakit Paru Obstruksi Kronis
Eksasebrasi Akut B Berdasarkan ICD 10 Pada Dokumen Rekam

LAMPIRAN

Anda mungkin juga menyukai