Anda di halaman 1dari 20

ASUHAN KEPERAWATAN

PADA KLIEN DENGAN MASALAH KEPERAWATAN


KETIDAKEFEKTIFAN BERSIHAN JALAN NAFAS PADA
KASUS
PPOK DI INSTALASI GAWAT DARURAT
RSD BALUNG JEMBER

DISUSUN OLEH:
Pradana Gilang Ramadhan
NIM. 15.0103.1030

PROGRAM STUDI PROFESI NERS


FAKULTAS ILMU KESEHATAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JEMBER
2016
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah sekolompok penyakit
paru menahun yang berlangsung lama dan disertai dengan peningkatan
resistensi terhadap aliran udara (Padila, 2012). Sumbatan udara ini biasanya
berkaitan dengan respon inflamasi abnormal paru terhadap partikel atau gas
yang berbahaya (Ikawati, 2011). Karakteristik hambatan aliran udara PPOK
biasanya disebabkan oleh obstruksisaluran nafas kecil (bronkiolitis)dan
kerusakan saluran parenkim (emfisema)yang bervariasi antara setiap individu
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011).
The Asia Pacific Chronic Obstructive Pulmonary Disease Roundtable
Group memperkirakan jumlah penderita Penyakit Paru Obstruksi Kronik
sedang hingga berat di negara-negara Asia Pasifik tahun 2006 mencapai 56,6
juta penderita dengan prevalensi 6,3%, sementara di Indonesia berkisar 4,8
juta dengan prevalensi 5,6% (Kemenkes, 2011).
Penyakit Paru Obstruksi Kronik merupakan salah satu masalah besar di
bidang kesehatan dengan prevalensi 4-6% pada penduduk dewasa di Eropa 34
dengan prevalensi didominasi jenis kelamin laki-laki dan meningkat seiring
dengan bertambahnya usia (Gulsvik, 1999). Penyakit Paru Obstruksi Kronik
adalah penyebab utama kematian bagi individu berusia diatas 65 tahun dan
merupakan penyebab kematian ke empat penduduk di Amerika Utara
(Hackett, 2010).
Menurut Widjaya dalam Suradi (2007), Penyakit Paru Obstruksi Kronik
menempati urutan ke-4, naik dari peringkat ke-6 pada 5 tahun sebelumnya
dalam daftar penyakit penyebab kematian, dan diperkirakan pada tahun 2020
PPOK akan menempati urutan ke-3. Hal ini sama dengan yang dikatakan
Lopez (2006) yang mengatakan bahwa PPOK menempati urutan kelima
penyakit terbanyak di seluruh dunia pada tahun 2002 dan akan menempati
urutan ketiga pada tahun 2020. Studi nasional di Inggris menyebutkan 10%
laki-laki dan 11% perempuan berumur 16 65 tahun mengalami obstruksi
ringan, sedangkan di Kota Manchester dilaporkan sekitar 11% orang dewasa
berumur lebih dari 45 tahun mengalami obstruksi saluran nafas yang
irreversible, 6,8% penduduk dewasa di Amerika mengalami PPOK ringan,
1,5 % derajat sedang dan 0,5 % dalam kondisi derajat berat (Devereux, 2006).
Sedangkan menurut Suradi (2007) mengatakan bahwa angka kesakitan
penderita PPOK laki-laki mencapai 4%, angka kematian mencapai 6% dan
angka kesakitan pada wanita adalah 2% dengan angka kematian 4% pada
umur di atas 45 tahun. Prevalensi PPOK pada laki-laki sebesar 8,5-22,2% dan
pada perempuan sebesar 5,1-16,7%, sedangkan pada orang dewasa pada usia
lebih dari 40 tahun mencapai 9-10% (Buist, et.al., 2007). Pada laki-laki usia
55-74 tahun PPOK merupakan penyebab kematian ke tiga dan pada
perempuan merupakan penyebab kematian ke empat. Antara tahun 1980 dan
tahun 2000, didapat angka kematian akibat PPOK meningkat 28,2% pada
perempuan dan 13% pada laki-laki (Mahler, et al., 2007). Demikian juga
dengan tingkat mortalitas dan morbiditas juga meningkat dengan kematian
mencapai 30.000 jiwa setiap tahun di Inggris dan di Amerika Utara
merupakan penyebab kematian ke empat (Mannino, 2007).
World Health Organization (WHO) menyebutkan angka kematian
akibat PPOK tahun 2010 diperkirakan menduduki peringkat ke empat bahkan
dekade mendatang menjadi peringkat ke tiga. Data WHO juga menunjukkan
bahwa pada 35tahun 1990 PPOK menempati urutan ke-6 sebagai penyebab
utama kematian di dunia, sedangkan pada tahun 2002 telah menempati urutan
ke-3 setelah penyakit kardiovaskuler dan kanker (Depkes RI, 2008).
Hasil survei penyakit tidak menular oleh Direktur Jenderal
Pemberantasan Penyakit Menular dan Penyehatan Lingkungan di lima rumah
sakit propinsi di Indonesia (Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Lampung,
dan Sumatera Selatan) tahun 2004, menunjukkan PPOK menempati urutan
pertama angka kesakitan (35%), diikuti asma bronkial (33%), kanker paru
(30%) dan lainnya (2%) (Depkes RI, 2008).
Penyebab utama penyakit PPOK yaitu kebiasaan merokok batang
karena setiap batang mengandung ribuan bahan kimia yang dapat
menyebabkan kerusakan jaringan maupun kerusakan paru (Chang, 2010).
Kandungan tembakau pada rokok juga merangsang inflamasi/peradangan,
dapat merusak jaringan pernafasan dan juga dapat merangsang produksi
sputum sehingga menyebabkan sumbatan pada saluran nafas (Chang, 2010).
PPOK juga dapat disebabkan karena polusi udara yang berupa asap
kendaraan, asap pabrik dan juga sebelumnya sudah pernah menderita
penyakit paru misalnya bronkhitis (Ikawati, 2011). Timbulnya kasus PPOK
disebabkan oleh meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya
paparan faktor risiko, antara lain semakin banyaknya jumlah perokok
khususnya pada kelompok usia muda, serta pencemaran udara di dalam
ruangan maupun di luar ruangan dan di tempat kerja (Kepmenkes, 2008).
Gejala yang muncul pada pasien PPOK antara lain sesak nafas,
produksi sputum meningkat dan keterbatasan aktivitas (Khotimah, 2013).
Keterbatasan aktivitas merupakan keluhan yang dapat menurunkan kualitas
hidup penderita termasuk di usia <40 tahun akibat disfungsi otot rangka
(Oemiati, 2013). Sedangkan akibat produksi sputum berlebih menyebabkan
proses pembersihan silia tidak berjalan lancarsehingga sputum tertimbun dan
menyebabkan bersihan jalan nafas tidak efektif, dan sputum dapat
dikeluarkan dengan tekanan intrathorakal dan intra abdomen yang tinggi
(Nugroho, 2011). Pengeluaran dahak dapat dilakukan dengan cara
membatukkan atau postural drainasedengan bantuan penguapan, namun jika
batuk yang dilakukan tidak baik maka penderita akan mengalami kesulitan
bernafas dan mengakibatkan munculnya sianosis(pucat), kelelahan dan
merasa lemah. Jika hal tersebut tidak segera diatasi maka pada tahap
selanjutnya akan mengalami perlengketan jalan nafas dan menyebabkan
obstruksi (sumbatan) jalan nafas (Nugroho, 2011).
Berbagai permasalahan keperawatan yang timbul baik masalah aktual
maupun potensial akibat adanya PPOK antara lain adalah ketidak efektifan
pola nafas, ketidakefektifan pola nafas, gangguan rasa nyaman, gangguan
pemenuhan kebutuhan tidur dan istirahat, kurangnya pengetahuan tentang
proses penyakit, gangguan pemenuha kebutuhan nutrisi yang menyebabkan
penurunan berat badan pasien serta masih banyak lagi permasalahan lain yang
mungkin timbul.
Dalam hal ini peran perawat sangat penting, dimana perawat merupakan
tim kesehatan yang banyak kontak langsung dengan klien. Dengan banyaknya
keterlibatan tersebut perawat dapat memberikan asuhan keperawatan secara
maksimal baik secara mandiri maupun kolaborasi.
Berdasarkan uraian di atas, dengan tingginya angka kejadian penyakit
PPOK serta akibat yang dapat ditimbulkan, maka penulis tertarik membahas
tentang Asuhan Keperawatan pada klien PPOK dengan masalah keperawatan
Ketidakefektifan Pola Nafas di Instalasi Gawat Darurat RS Paru Jember.

B. Tujuan
1. Tujuan umum
Memberikan asuhan keperawatan pada pasien dengan PPOK
2. Tujuan khusus
a. Melakukan pengkajian pada pasien dengan PPOK
b. Menegakkan diagnosis keperawatan pada pasien dengan PPOK
c. Menentukan rencana tindakan bagi pada pasien dengan PPOK
d. Mengevaluasi tindakan keperawatan pada pasien dengan PPOK
e. Melakukan analisa bagi setiap pasien dengan PPOK
f. Melakukan dokumentasi asuhan keperawatan pada pasien dengan
PPOK

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Konsep PPOK
1. Pengertian
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) atau juga dikenali sebagai
Chronic Obstructive Pulmonary Disease (COPD) merupakan obstruksi
saluran pernafasan yang progresif dan ireversibel; terjadi bersamaan
bronkitis kronik, emfisema atau kedua-duanya (Snider, 2003).
PPOK adalah sebuah istilah keliru yang sering dikenakan pada
pasien yang menderita emfisema, bronkitis kronis, atau campuran dari
keduanya. Ada banyak pasien yang mengeluh bertambah sesak napas
dalam beberapa tahun dan ditemukan mengalami batuk kronis, toleransi
olahraga yang buruk, adanya obstruksi jalan napas, paru yang terlalu
mengembang, dan gangguan pertukaran gas (John B. West, 2010).
PPOK merupakan penyakit kronis yang ditandai dengan batuk
produktif dan dispnea dan terjadi obstruksi saluran napas sekalipun
penyakit ini bersifat kronis dan merupakan gabungan dari emfisema,
bronkitis kronik maupun asma, tetapi dalam keadaan tertentu terjadi
perburukan dari fungsi pernapasan (Rab Tabrani, 2010). Penyakit Paru
Obstruksi Kronis (PPOK) bukanlah penyakit tunggal, tetapi merupakan
satu istilah yang merujuk kepada penyakit paru kronis yang
mengakibatkan gangguan pada sistem pernafasan.
Secara klinis, bronkitis kronik didefinisikan sebagai manifestasi
batuk kronik yang produktif selama 3 bulan sepanjang dua tahun berturut-
turut. Sementara emfisema didefinisikan sebagai pembesaranalveolus di
hujung terminal bronkiol yang permanen dan abnormal disertai dengan
destruksi pada dinding alveolus serta tanpa fibrosis yang jelas. The
Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD)
guidelines mendefinisikan PPOK sebagai penyakit yang ditandai dengan
gangguan pernafasan yang ireversibel, progresif, dan berkaitan dengan
respon inflamasi yang abnormal pada paru akibat inhalasi partikel-partikel
udara atau gas-gas yang berbahaya (Kamangar, 2010).

Sementara menurut Affyarsyah Abidin, Faisal Yunus dan Wiwien


Heru Wiyono (2009), PPOK adalah penyakit paru kronik yang tidak
sepenuhnya reversibel, progresif, dan berhubungan dengan respon
inflamasi yang abnormal terhadap partikel dan gas yang berbahaya. Kata
progresif disini berarti semakin memburuknya keadaan seiring
berjalannya waktu.
2. Etiologi PPOK
Berbeda dengan asma, penyakit PPOK menyebabkan obstruksi
saluran pernapasan yang bersifat ireversibel. Gejala yang ditimbulkan
pada PPOK biasanya terjadi bersama-sama dengan gejala primer dari
penyebab penyakit ini. Etiologi PPOK yang utama adalah emfisema,
bronkitis kronik, dan perokok berat. Yangkarakteristik dari bronkitis
kronik adalah adanya penyempitan dari dinding bronkus (diagnosis
fungsional), sedangkan dari emfisema adalah diagnosis histopatologinya,
sementara itu pada perokok berat adalah diagnosis kebiasaan merokoknya
(habit, ).
3. Faktor Resiko PPOK
a. Merokok
Pada tahun 1964, penasihat Committee Surgeon General of the
United States menyatakan bahwa merokok merupakan faktor risiko
utama mortalitas bronkitis kronik dan emfisema. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa dalam waktu satu detik setelah forced expiratory
maneuver (FEV 1), terjadi penurunan Universitas Sumatera
Utaramendadak dalam volume ekspirasi yang bergantung pada
intensitas merokok. Hubunganantara penurunan fungsi paru dengan
intensitas merokok ini berkaitan dengan peningkatan kadar prevalensi
PPOK seiring dengan pertambahan umur. Prevalensi merokok yang
tinggi di kalangan pria menjelaskan penyebab tingginya prevalensi
PPOK dikalangan pria. Sementara prevalensi PPOK dikalangan
wanita semakin meningkat akibat peningkatan jumlah wanita yang
merokok dari tahun ke tahun (Reily, Edwin, Shapiro, 2008). PPOK
berkembang pada hampir 15% perokok. Umur pertama kali merokok,
jumlah batang rokok yang dihisap dalam setahun, serta status terbaru
perokok memprediksikan mortalitas akibat PPOK. Individu yang
merokok mengalami penurunan pada FEV 1dimana kira-kira hampir
90% perokok berisiko menderita PPOK (Kamangar, 2010). Second-
hand smoker atau perokok pasif berisiko untuk terkena infeksi sistem
pernafasan, dan gejala-gejala asma. Hal ini mengakibatkan penurunan
fungsi paru (Kamangar, 2010). Pemaparan asap rokok pada anak
dengan ibu yang merokok menyebabkan penurunan pertumbuhan paru
anak. Ibu hamil yang terpapar dengan asap rokok juga dapat
menyebabkan penurunan fungsi dan perkembangan paru janin semasa
gestasi.
b. Hiperesponsif saluran pernafasan
Menurut Dutch hypothesis, asma, bronkitis kronik, dan emfisema
adalah variasi penyakit yang hampir sama yang diakibatkan oleh
faktor genetik dan lingkungan. Sementara British
hypothesismenyatakan bahwa asma dan PPOK merupakan dua
kondisi yang berbeda; asma diakibatkan reaksi alergi sedangkan
PPOK adalah proses inflamasi dan kerusakan yang terjadi akibat
merokok. Penelitian yang menilai hubungan tingkat respon saluran
pernafasan denga n penurunan fungsi paru membuktikan bahwa
peningkatan respon saluran pernafasan merupakan pengukur yang
signifikan bagi penurunan fungsi paru (Reily, Edwin, Shapiro,
2008).Universitas Sumatera Utara. Meskipun begitu, hubungan hal ini
dengan individu yang merokok masih belum jelas. Hiperesponsif salur
pernafasan ini bisa menjurus kepada remodelingsalur nafas yang
menyebabkan terjadinya lebih banyak obstruksi pada penderita PPOK
(Kamangar, 2010).
c. Infeksi saluran pernafasan
Infeksi saluran pernafasan adalah faktor risiko yang berpotensi
untuk perkembangan dan progresi PPOK pada orang dewasa.
Dipercaya bahwa infeksi salur nafas pada masa anak-anak juga
berpotensi sebagai faktor predisposisi perkembangan PPOK.
Meskipun infeksi saluran nafas adalah penyebab penting terjadinya
eksaserbasi PPOK, hubungan infeksi saluran nafas dewasa dan anak-
anak dengan perkembangan PPOK masih belum bisa dibuktikan
(Reily, Edwin, Shapiro, 2008).
d. Pemaparan akibat pekerjaan
Peningkatan gejala gangguan saluran pernafasan dan obstruksi
saluran nafas juga bisa diakibatkan pemaparan terhadap abu dan debu
selama bekerja. Pekerjaan seperti melombong arang batu dan
perusahaan penghasilan tekstil daripada kapas berisiko untuk
mengalami obstruksi saluran nafas. Pada pekerja yang terpapar
dengan kadmium pula, FEV 1, FEV 1/FVC, dan DLCO menurun
secara signifikan (FVC, force vital capacity; DLCO, carbon monoxide
diffusing capacity of lung). Hal ini terjadi seiring dengan peningkatan
kasus obstruksi saluran nafas dan emfisema. Walaupun beberapa
pekerjaan yang terpapar dengan debu dan gas yang berbahaya berisiko
untuk mendapat PPOK, efek yang muncul adalah kurang jika
dibandingkan dengan efek akibat merokok(Reily, Edwin, Shapiro,
2008).
e. Polusi udara
Beberapa peneliti melaporkan peningkatan gejala gangguan saluran
pernafasan pada individu yang tinggal di kota daripada desa yang
berhubungan dengan polusi udara yang lebih tinggi di kota. Meskipun
demikian, hubungan polusi udara dengan terjadinya PPOK masih
tidak bisa dibuktikan. Pemaparan terus-menerus dengan asap hasil
pembakaran biomassdikatakan menjadi faktor risiko yang signifikan
terjadinya PPOK pada kaum wanita di beberapa negara. Meskipun
begitu, polusi udara adalah faktor risiko yang kurang penting
berbanding merokok (Reily, Edwin, Shapiro, 2008).
f. Faktor genetik
Defisiensi 1-antitrips in adalah satu-satunya faktor genetik yang
berisiko untuk terjadinya PPOK. Insidensi kasus PPOK yang
disebabkan defisiensi 1-antitripsin di Amerika Serikat adalah kurang
daripada satu peratus. 1-antitrips in merupakan inhibitor protease
yang diproduksi di hatidan bekerja menginhibisi neutrophil elastasedi
paru. Defisiensi 1-antitripsin yang berat menyebabkan emfisema
pada umur rata-rata 53 tahun bagi bukan perokok dan 40 tahun bagi
perokok (Kamangar, 2010).
4. Tanda Dan Gejala
Tanda-tanda umum PPOK, yaitu :
a. Batuk produktif
Batuk produktif ini disebabkan oleh inflamasi dan produksi mucus
yang berlebihan disaluran nafas.
b. Dispnea
Terjadi secara bertahap dan biasanya disadari saat beraktivitas fisik.
Berhubungan dengan menurunnya fungsi paru-paru dan tidak selalu
berhubungan dengan rendahnya kadar oksigen di udara.
c. Batuk kronik
Batuk kronis umumnya diawali dengan batuk yang hanya terjadi pada
pagi hari saja kemudian berkembang menjadi batuk yang terjadi
sepanjanghari. Batuk biasanya dengan pengeluaran sputum dalam
jumlah kecil(<60ml/hari) dan sputum biasanya jernih atau keputihan.
Produksi sputum berkurang ketika pasien berhenti merokok.
d. Mengi
Terjadi karena obstruksi saluran nafas.
e. Berkurangnya berat badan
Pasien dengan PPOM yang parah membutuhkan kalori yang lebih
besar hanya untuk bernapas saja. Selain itu pasien juga mengalami
kesulitan bernafas pada saat makan sehingga nafsu makan
berkurangdan pasien tidak mendapat asupan kalori yang cukup untuk
mengganti kalori yang terpakai. Hal tersebut mengakibatkan
berkurangnya berat badan pasien.
f. Edema pada tubuh bagian bawah
Pada kasus PPOK yang parah, tekanan arteri pulmonary
meningkatdan ventrikel kanan tidak berkontraksi dengan baik. Ketika
jantung tidak mampu memompa cukup darah ke ginjal dan hati akan
timbul edema padakaki, kaki bagian bawah, dan telapak kaki. Kondisi
ini juga dapatmenyebabkan edema pada hati atau terjadinya
penimbunan cairanpada abdomen (acites).
5. Macam- macam PPOK
Tingkat Keparahan PPOK Berdasarkan Nilai FEV 1 dan Gejala Menurut
GOLD 2010 Tingkat Nila FEV1 dan Gejala
a. Ringan
FEV 1/FVC < 70% FEV 1 80% dan umumnya, tapi tidak selalu,ada
gejala batuk kronis dan produksi sputum. Pada tahap ini, pasien
biasanya bahkan belum merasa bahwa paru-parunya bermasalah.
b. Sedang
FEV 1 /FVC < 70%; 50%< FEV 1< 80%, gejala biasanya mulai
progresif/memburuk, dengan nafas pendek-pendek.

c. Berat
FEV 1 /FVC < 70%; 30%< FEV 1< 50%. Terjadi eksaserbasi berulang
yang mulai mempengaruhi kualitas hidup pasien. Pada tahap ini
pasien mulai mencari pengobatan karena mulai dirasakan sesak nafas
atau serangan penyakit.
d. Sangat Berat
FEV 1 /FVC < 70%; FEV 1 < 30% atau < 50% plus kegagalan
respirasi kronis. Pasien bisa digolongkan masuk tahap IV jika
walaupun FEV 1 < 30%, tapi pasien mengalami kegagalan pernafasan
atau gagal jantung kanan atau cor pulmonale . Pada tahap ini, kualitas
hidup sangat terganggu dan serangan mungkin mengancam jiwa.
6. Patofisiologi
Saluran napas dan paru berfungsi untuk proses respirasi yaitu
pengambilan oksigen untuk keperluan metabolisme dan pengeluaran
karbondioksida dan air sebagai hasil metabolisme. Proses ini terdiri dari
tiga tahap, yaitu ventilasi, difusi dan perfusi. Ventilasi adalah proses
masuk dan keluarnya udara dari dalam paru. Difusi adalah peristiwa
pertukaran gas antara alveolus dan pembuluh darah, sedangkan perfusi
adalah distribusi darah yang sudah teroksigenasi. Gangguan ventilasi
terdiri dari gangguan restriksi yaitu gangguan pengembangan paru serta
gangguan obstruksi berupa perlambatan aliran udara di saluran
napas. Parameter yang sering dipakai untuk melihat gangguan restriksi
adalah kapasitas vital (KV), sedangkan untuk gangguan obstruksi
digunakan parameter volume ekspirasi paksa detik pertama (VEP1), dan
rasio volume ekspirasi paksa detik pertama terhadap kapasitas vital paksa
(VEP1/KVP) (Sherwood, 2001).
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-
komponen asap rokok merangsang perubahan pada sel-sel penghasil
mukus bronkus. Selain itu, silia yang melapisi bronkus mengalami
kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan-perubahan
pada sel-sel penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator
mukosiliaris dan menyebabkan penumpukan mukus kental dalam jumlah
besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas. Mukus berfungsi sebagai
tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat
purulen. Timbul peradangan yang menyebabkan edema jaringan. Proses
ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari
ekspirasi yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental
dan adanya peradangan (GOLD, 2010).
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya
peradangan kronik pada paru.Mediator-mediator peradangan secara
progresif merusak struktur-struktur penunjang di paru. Akibat hilangnya
elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi
berkurang. Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi
normal terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah
inspirasi. Dengan demikian, apabila tidak terjadi recoil pasif, maka
udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps (GOLD,
2010).
Berbeda dengan asma yang memiliki sel inflamasi predominan
berupa eosinofil, komposisi seluler pada inflamasi saluran napas pada
PPOK predominan dimediasi oleh neutrofil. Asap rokok menginduksi
makrofag untuk melepaskan Neutrophil Chemotactic Factors dan
elastase, yang tidak diimbangi dengan antiprotease, sehingga terjadi
kerusakan jaringan (Kamangar, 2010). Selama eksaserbasi akut, terjadi
perburukan pertukaran gas dengan adanya ketidakseimbangan ventilasi
perfusi. Kelainan ventilasi berhubungan dengan adanya inflamasi jalan
napas, edema, bronkokonstriksi, dan hipersekresi mukus.Kelainan perfusi
berhubungan dengan konstriksi hipoksik pada arteriol (Chojnowski, 2003)

7. Pathway
8. Pemeriksaan Diagnostik
a. Kapasitas inspirasi menurun
b. Volume residu : meningkat pada emphysema, bronkhitis dan asthma
c. FEV1 selalu menurun = derajat obstruksi progresif Penyakit Paru
Obstruktif Kronik
d. FVC awal normal menurun pada bronchitis dan astma.
e. TLC normal sampai meningkat sedang (predominan pada
emphysema).
f. Analisa Gas Darah
PaO2 menurun, PCO2 meningkat, sering menurun pada astma. PH
normal asidosis, alkalosis respiratorik ringan sekunder.
g. Transfer gas (kapasitas difusi).
1) Pada Penyakit Paru Obstruktif Kronik Transfer gas relatif baik.
2) Pada emphysema : area permukaan gas menurun.
3) Transfer gas (kapasitas difusi).menurun Darah :
4) Hb dan Hematokrit meningkat pada polisitemia sekunder.
5) Jumlah darah merah meningkat Eo dan total IgE serum
meningkat.
6) Analisa Gas Darah gagal nafas kronis.
7) Pulse oksimetri SaO2 oksigenasi menurun.
8) Elektrolit menurun oleh karena pemakaian deuritika pada
corpulmunale.
h. Sputum :
1) Pemeriksaan gram kuman/kultur adanya infeksi campuran.
2) Kuman patogen >> : Streptococcus pneumoniae, Hemophylus
influenzae., Moraxella catarrhalis.
i. Radiologi :
1. Thorax foto (AP dan lateral).
2. Hiperinflasi paru-paru, pembesaran jantung dan bendungan area
paru-paru.

A. Konsep Keperawatan
1. Pengkajian
a. Aktivitas dan Istirahat
Gejala :
1) Keletihan, kelelahan, malaise,
2) Ketidakmampuan untuk melakukan aktivitas sehari-hari
karena sulit bernafas
3) Ketidakmampian untuk tidur, perlu tidur dalam posisi duduk
tinggi
4) Dispnea pasa saat istirahat atau respon terhadap aktivitas atau
latihan
Tanda :
1) Keletihan
2) Gelisah, insomnia
3) Kelemahan umum/kehilangan massa otot
b. Sirkulasi
Gejala :Pembengkakan pada ekstremitas bawah
Tanda :
1) Peningkatan tekanan darah
2) Peningkatan frekuensi jantung
3) Distensi vena leher
4) Edema dependen, tidak berhubungan dengan penyakit jantung
5) Bunyi jantung redup (yang berhubungan dengan peningkatan
diameterAPdada)
6) Warna kulit/membrane mukosa : normal/abu-abu/sianosis;
kuku tabuh dansianosis perifer
7) Pucat dapat menunjukkan anemia.
c. Integritas Ego
Gejala :
1) Peningkatan factor resiko
2) Perubahan pola hidup

Tanda :

Ansietas, ketakutan, peka rangsang

d. Makanan/ cairan
Gejala :
1) Mual/muntah
2) Nafsu makan buruk/anoreksia (emfisema)
3) ketidakmampuan untuk makankarena distress pernafasan
4) penurunan berat badan menetap (emfisema), peningkatan berat
badan menunjukkan edema (bronchitis)

Tanda :

1) Turgor kulit buruk


2) Edema dependen
3) Berkeringat
e. Hygine
Gejala :
1) Penurunan kemampuan/peningkatan kebutuhan
bantuan melakukan aktivitas sehari-hari
Tanda :

1) Kebersihan buruk, bau badan


f. Pernafasan
Gejala :
1) Nafas pendek (timbul tersembunyi dengan dispnea sebagai
gejala menonjol pada emfisema) khususnya pada kerja; cuaca
atau episode berulangnyasulit nafas (asma); rasa dada
tertekan,m ketidakmampuan untuk bernafas(asma)
2) Batuk menetap dengan produksi sputum setiap hari (terutama
pada saat bangun) selama minimum 3 bulan berturut-turut tiap
tahun sedikitnya 2tahun. Produksi sputum (hijau, puith, atau
kuning) dapat banyak sekali(bronchitis kronis)
3) Episode batuk hilang timbul, biasanya tidak produksi pada
tahap dinimeskipun dapat menjadi produktif (emfisema)
4) Riwayat pneumonia berulang, terpajan pada polusi kimia/iritan
pernafasandalam jangka panjang (mis. Rokok sigaret) atau
debu/asap (mis.asbes, debu batubara, rami katun, serbuk gergaji
5) Penggunaan oksigen pada malam hari secara terus-menerus.

Tanda :

1) Pernafasan : biasanya cepat,dapat lambat; fase ekspresi


memanjangdengan mendengkur, nafas bibir (emfisema)
2) Penggunaaan otot bantu pernafasan, mis. Meninggikan bahu,
melebarkan hidung.
3) Dada: gerakan diafragma minimal.
4) Bunyi nafas : mungkin redup dengan ekspirasi mengi
(emfisema);menyebar, lembut atau krekels lembab kasar
(bronchitis); ronki, mengisepanjang area paru pada ekspirasi
dan kemungkinan selama inspirasi berlanjut sampai penurunan
atau tidak adanya bunyi nafas (asma)
5) Perkusi : Hiperesonan pada area paru (mis. Jebakan udara
denganemfisema); bunyi pekak pada area paru
(mis. Konsolidasi, cairan, mukosa)
6) Kesulitan bicara kalimat atau lebih dari 4 atau 5 kata sekaligus.
7) Warna : pucat dengan sianosis bibir dan dasar kuku; abbu-
abukeseluruhan; warna merah (bronchitis kronis, biru
mengembung). Pasiendengan emfisema sedang sering disebut
pink puffer karena warna kulitnormal meskipun pertukaran
gas tak normal dan frekuensi pernafasancepat.
8) Tabuh pada jari-jari (emfisema)
g. Keamanan
Gejala :
1) Riwayat reaksi alergi atau sensitive terhadap zat/faktor
lingkungan
2) Adanya/berulang infeksi
3) Kemerahan/berkeringat (asma)
h. Seksualitas
Gejala :
penurunan libido
i. Interaksi Sosial
Gejala :
1) Hubungan ketergantungan Kurang sistem penndukung
2) Kegagalan dukungan dari/terhadap pasangan/orang dekat
3) Penyakit lama atau ketidakmampuan membaik

Tanda :

1) Ketidakmampuan untuk membuat//mempertahankan suara


karena distress pernafasan
2) Keterbatasan mobilitas fisik
3) Kelalaian hubungan dengan anggota kelurga lain

2. Diagnosis Keperawatan
a. Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas yang berhubungan dengan
sekret yang berlebih
b. Ketidakefektifan pola pernafasan yang berhubungan dengan
hiperventilasi
c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen ditandai dengan
kelelahan/kelemahan
d. Ketidakseimbanagn nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan penurunan nafsu makan

3. Intervensi Keperawatan
a. Ketidakefektifan Bersihan Jalan Nafas yang berhubungan dengan
sekret yang berlebih
Tujuan:
Jalan nafas klien efektif setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 3x 24 jam
Kriteria Hasil:
- Bersihan jalan nafas paten.
- Mengeluarkan kaji sekret secara efektif.
- Fungsi paru normal.
- Mempunyai irama dan frekuensi dalam rentang normal.

Intervensi:

1) Kaji fungsi pernafasan bunyi nafas, kecepatan irama,


kedalaman)
Rasional : untuk mengetahui suara nafas apakah ada kelainan
atau tidak
2) Ajarkan tehnik batuk efektif
Rasional : untuk membantu mengeluarkan dahak dari jalan
nafas
3) Posisikan pasien semi fowler
Rasional : agar klien bisa bernafas dengan baik. Karena posisi
ini membantu paru mengembang dengan optimal.
4) Bersihkan sekret dari mulut trachea
Rasional : agar jalan nafas bersih dari secret
5) Berikan terapi oksigen sesuai indikasi yang dianjurkan oleh
dokter
Rasional : untuk membantu agar oksigen yang masuk ke paru
bisa memaksimalkan dan mengurai rasa sesak.Kolaborasi
dengan tim medis.
b. Ketidakefektifan pola pernafasan yang berhubungan dengan
hiperventilasi
Tujuan:
Pola napas klien efektif setelah dilakukan tindakan keperawatan
3x24 jam
Kriteria hasil:
- RR dalam batas normal (16-24 x/ menit)
- Tidak ada retraksi dada
- Tidak ada cuping hidung

Intervensi

1) Posisikan klien semi fowler untuk memaksimalkan ventilasi


Rasional: Bebasan jalan nafas dengan posisi semi fowler
2) Auskultasi suara nafas, catat area penurunan dan ketidak
adanya ventilasi dan bunyi nafas
Rasional: Meningkatkan ventilasi dan asupan oksigen
3) Monitoring kecepatan, irama, SPO2 kedalaman dan upaya nafas
tiap jam.
Rasional: pemantauan yang lebih intensif, memudahkan untuk
melakukan tindakan yang akan dilakukan
4) Berikan pendidikan kesehatan kepada keluarga tentang
masalah kesehatan klien
Rasional: pendidikan kesehatan kepada keluarga dapat
memberikan rasa tenang kepada orang tua.
5) Lakukan kolaborasi dengan tim dalam aspirasi caian pleura
(Puctie pleura / WSD) dan pemberian Oksigen
Rasional: Puctie Pleura / WSD mengurangi cairan dalam
rongga pleura sehingga tekanan dalan rongga pleura berkurang
sehingga eskpasi paru dapat maksimal, membantu pemenuhan
O2
c. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan
antara suplai dan kebutuhan oksigen ditandai dengan
kelelahan/kelemahan
Tujuan:
Intoleransi aktifitas dapat teratasi setelah dilakukan tindakan
keperawatan 3x24 jam
Kriteria hasil:
Peningkatan aktivitas
TTV dalam batas norma
- TD: systole = 100-120 mmHg, diastole = 60-90 mmHg
- RR: 16-24 x/menit,
- N: 60-100 x/menit,
- S: 36,5-37,5 oC

Intervensi:

1) Anjurkan klien untuk melakukan aktivitas yang ringan


Rasional: Aktivitas yang ringan dapat membantu mengurangi
energy yang keluar
2) Ajurkan klien untuk istirahat yang cukup
Rasional: Istirahat yang cukup dapat mebantu meminimalkan
pengeluaran energy
3) Libatkan keluarga untuk proses perawatan dan aktivitas klien
Rasional: Keluarga memiliki peranan penting dalam aktifitas
sehari-hari klien selama perawatan
4) Kaji tingkat intoleransi klien
Rasional: Untuk mengetahui tingkat aktivitas klien
5) Monitoring Tanda-tanda vital
Rasional: untuk mengetahui perubahan yang terjadi pada klien
yaitu respon automatic meliputi perubahan tekanan darah, nadi,
pernafasan dan suhu berhubungan dengan keluhan kelemahan
tubuh karena berpengaruh pada aktifitas tubuh
6) Jelaskan pada keluarga dan klien tentang pentingnya bedrest
ditempat tidur.
Rasional: Untuk mencegah terjadinya keadaan yang lebih parah
7) Kolaborasi dengan ahli gizi
Rasional: untuk merencanakan makanan untuk meningkatkan
asupan makanan yang tinggi energy
d. Ketidakseimbanagn nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh yang
berhubungan dengan penurunan nafsu makan
Tujuan :
Nutrisi Klien terpenuhi setelah dilakukan tindakan keperawatan
selama 3x 24 jam
KH :
- BB dalam batas normal
- Pemeriksaan laboratorium (Hb, albumin) dalam batas
normal
- Menghabiskan makanan yang disediakan RS

Intervensi :

1) Kaji makanan kesukaan pasien


Rasional : agar makan yang disajikan pas dengan kesukaan
pasien.
2) Timbang BB pasien setiap hari
Rasional : untuk mengetahui apakah BB setabil atau turun.
3) Selidiki anoreksia, mual mutah, catat adanya obat sebagai efek
Rasional : untuk mengetahui penyebab dari anoreksia dan
mual - mutah
4) Anjurkan pasien untuk makan porsi sedikit tapi sering
Rasional :agar nutrisi tercukupi.

Anda mungkin juga menyukai