Disusun Oleh :
Sumardi
22.21.0024
TAHUN 2022
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat taufik dan
hidayah-Nya, laporan ini dapat di selesaikan. Laporan ini sendiri dibuat guna
memenuhi salah satu tugas kuliah dari dosen mata kuliah Keperawatan Paliatif
dengan judul “ Asuhan Keperawatan Paliatif pada Pasien Penyakit Paru
Obstruktif Kronis (PPOK)”. Dalam penulisan laporan ini penyusun berusaha
menyajikan bahasa yang sederhana dan mudah dimengerti oleh para pembaca.
Penyusun menyadari bahwa laporan ini jauh dari sempurna dan masih
banyak kekurangan. Oleh karenanya, penyusun menerima kritik dan saran yang
positif dan membangun dari rekan-rekan pembaca untuk penyempurnaan laporan
ini. Penyusun juga mengucapkan banyak terima kasih kepada rekan-rekan yang
telah membantu dalam penyelesaian makalah ini.
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN..........................................................................................................
A. Latar Belakang...............................................................................................................
B. Rumusan Masalah..........................................................................................................
C. Tujuan.............................................................................................................................
A. Definisi PPOK................................................................................................................
C. Etiologi...........................................................................................................................
D. Manisfestasi Klinis.........................................................................................................
E. Patofisiologi ...................................................................................................................
G. Komplikasi PPOK..........................................................................................................
H. Penatalaksanaan ............................................................................................................
A. Pengkajian....................................................................................................................
D. Perencanaan..................................................................................................................
BAB IV PENUTUP.................................................................................................................
A. Kesimpulan..................................................................................................................
ii
DAFTAR PUSTAKA ..............................................................................................................
BAB I
LAPORAN PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit paru obstruktif Kronis (PPOK) merupakan istilah lain
dari beberapa jenis penyakit paru-paru yang berlangsung lama atau
menahun, ditandai dengan meningkatnya resistensi terhadap aliran
udara (Maisaroh, 2018)
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) merupakan salah satu
kelompok penyakit tidak menular yang menjadi masalah di bidang
kesehatan baik di Indonesia maupun di dunia. PPOK adalah penyakit
inflamasi kronik pada saluran napas dan paru yang ditandai oleh
adanya hambatan aliran udara yang bersifat persisten dan progresif
sebagai respon terhadap partikel atau gas berbahaya. Karakteristik
hambatan aliran udara PPOK biasanya disebabkan oleh obstruksi
saluran nafas kecil (bronkiolitis) dan kerusakan saluran parenkim
(emfisema) yang bervariasi antara setiap individu (Perhimpunan
Dokter Paru Indonesia dalam Agustin, 2017). Pada umumnya penyakit
ini dapat dicegah dan diobati (Suyanto dalam Agustin, 2017).
PPOK dianggap sebagai penyakit yang berhubungan dengan
interaksi genetik dengan lingkungan. Adapun faktor penyebabnya
adalah: merokok, polusi udara, dan pemajanan di tempat kerja
(terhadap batu bara, kapas, padi-padian) merupakan faktor-faktor
resiko penting yang menunjang pada terjadinya penyakit ini. Prosesnya
dapat terjadi dalam rentang lebih dari 20 tahunan. (Smeltzer dan Bare
dalam Rahmadi, 2015. Penyakit ini juga mengancam jiwa seseorang
jika tidak segera ditangani (Smeltzer dan Bare dalam Rajmadi, 2015).
Angka kejadian PPOK di Indonesia cukup tinggi dengan
menggambil beberapa sempel di daerah DKI Jakarta 2,7%, Jawa Barat
4,0%, Jawa Tengah 3,4%, DI Yogyakarta 3,1%, Jawa Timur 3,6% dan
1
Bali 3,6%. Hasil wawancara pada peserta umur kurang lebih 30 tahun
berdasarkan gejala. Dalam kasus PPOK laki-laki cenderung lebih
tinggi di banding perempuan dan lebih tinggi pedesaan di banding
perkotaan (Kemenkes dalam Agustin, 2017). World Health
Organizatiton (WHO) memperkirakan pada tahun 2020 yang akan
datang angka kejadian PPOK akan mengalami peningkatan dan
menduduki dari peringkat 6 menjadi peringkat 3 sebagai penyebab
kematian tersering (Ikawati dalam Agustin, 2017).
Berdasarkan Latar belakang di atas terlihat bahwa angka
kejadian penderita PPOK semakin meningkat setiap tahun, maka kami
sebagai penyusun makalah tertarik untuk membuat “Asuhan
Keperawatan pada Pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis”
untuk menambah wawasan bagi mahasiswa Keperawatan maupun
untuk pembaca lain agar menambah ilmu pengetahuan.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)?
2. Bagaimana Asuhan Keperawatan Paliatif pada Pasien dengan
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)
C. Tujuan
1. Memahami tentang definisi, etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi,
pemeriksaan diagnosa dan penatalaksanaan pada pasien PPOK.
2. Memahami asuhan keperawatan pada pasien dengan PPOK.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi PPOK
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) atau Chronic Obstructive
Pulmunary Disease (COPD) adalah penyakit yang dicirikan oleh
keterbatasan aliran udara yang tidak dapat pulih sepenuhnya. Keterbatasan
aliran udara biasanya bersifat progresif dan dikaitkan dengan respons
inflamasi paru yang abnormal terhadap partikel atau gas berbahaya, yang
menyebabkan penyempitan jalan napas, hipersekresi mukus, dan
perubahan pada sistem pembuluh darah paru (Brunner & Suddarth, 2013)
Penyakit Paru Obstuktif Kronis (Chronic obstructive pulmonary
disease – COPD) merupakan istilah yang sering digunakan untuk
sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama dan ditandai oleh
peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai gambaran
patofisiologi utamanya.
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan penyakit
paru-paru yang ditandai dengan penyumbatan pada aliran udara dari paru-
paru. Penyakit ini merupakan penyakit yang mengancam kehidupan dan
mengganggu pernafasan normal (WHO dalam Maisaroh, 2018).
B. Klasifikasi PPOK
PPOK diklasifikasikan berdasarkan derajat, menurut Global Initiative for
Chronic Obstructuve Lung Disease (GOLD) dalam Rahmadi tahun 2015,
yaitu:
1. Derajat 0 (beresiko)
Gejala klinis : memiliki satu atau lebih gejala batuk kronis, produksi sputum,
dan dispnea, terdapat paparan faktor resiko, sprirometri : normal.
2. Derajat I (PPOK ringan)
Gejala Klinis : batuk kronik dan produksi sputum ada tetapi tidak sering. Pada
derajat ini pasien sering tidak menyadari bahwa menderita PPOK.
3
3. Derajat II (PPOK sedang)
Gejala Klinis : sesak mulai dirasakan saat aktivitas dan kadang ditemukan
gejala batuk dan produksi sputum. Pada derajat ini biasanya pasien mulai
memeriksakan kesehatannya.
4. Derajat III (PPOK Berat)
Gejala Klinis : sesak lebih berat, penurunan aktivitas, rasa lelah dan serangan
eksasernasi semakin sering dan berdampak pada kualitas hidup pasien
5. Derajat IV (PPOK sangat berat)
Gejala Klinis : Gejala di atas ditambah tanda-tanda gagal napas atau gagal
jantung kanan dan ketergantungan oksigen. Pada derajat ini kualitas hidup
pasien memburuk dan jika eksaserbasi dapat mengancam jiwa biasanya
disertai gagal napas kronik.
C. Etiologi
Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit Paru Obstruksi Kronik
(PPOK) menurut Mansjoer (2008) dan Ovedoff (2006) dalam Rahmadi
(2015) adalah :
1. Kebiasaan merokok, polusi udara, paparan debu, asap dan gas-gas
kimiawi.
2. Faktor Usia dan jenis kelamin sehingga mengakibatkan berkurangnya
fungsi paru-paru bahkan pada saat gejala penyakit tidak dirasakan.
3. Infeksi sistem pernafasan akut, seperti peunomia, bronkitis, dan asma
orang dengan kondisi ini berisiko mendapat PPOK.
4. Kurangnya alfa anti tripsin. Ini merupakan kekurangan suatu enzim yang
normalnya melindungi paru-paru dari kerusakan peradangan orang yang
kekurangan enzim ini dapat terkena empisema pada usia yang relatif
muda, walau pun tidak merokok.
D. Manisfestasi Klinis
Manifestasi klinis pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi
Kronis menurut Reeves (2001) dalam Rahmadi (2015) adalah :
Perkembangan gejala-gejala yang merupakan ciri dari PPOK
adalah malfungsi kronis pada sistem pernafasan yang manifestasi awalnya
ditandai dengan batuk-batuk dan produksi dahak khususnya yang makin
4
menjadi di saat pagi hari. Nafas pendek sedang yang berkembang menjadi
nafas pendek akut. Batuk dan produksi dahak (pada batuk yang dialami
perokok) memburuk menjadi batuk persisten yang disertai dengan
produksi dahak yang semakin banyak.
Biasanya pasien akan sering mengalami infeksi pernafasan dan
kehilangan berat badan yang cukup drastis, sehingga pada akhirnya pasien
tersebut tidak akan mampu secara maksimal melaksanakan tugas-tugas
rumah tangga atau yang menyangkut tanggung jawab pekerjaannya. Pasien
mudah sekali merasa lelah dan secara fisik banyak yang tidak mampu
melakukan kegiatan sehari-hari.
Selain itu pada pasien PPOK banyak yang mengalami penurunan
berat badan yang cukup drastis, sebagai akibat dari hilangnya nafsu makan
karena produksi dahak yang makin melimpah, penurunan daya kekuatan
tubuh, kehilangan selera makan (isolasi sosial) penurunan kemampuan
pencernaan sekunder karena tidak cukupnya oksigenasi sel dalam sistem
(GI) gastrointestinal. Pasien dengan PPOK lebih membutuhkan banyak
kalori karena lebih banyak mengeluarkan tenaga dalam melakukan
pernafasan.
E. Patofisiologi
5
progresif merusak strukturstruktur penunjang di paru. Akibat hilangnya
elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang.
Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal
terjadi akibat pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi.
Dengan demikian apabila tidak terjadi recoil pasif, maka udara akan
terperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps. (Grece & Borley
dalam Rahmadi, 2015).
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnostik untuk pasien dengan Penyakit Paru
Obstruksi Kronis (PPOK) menurut Somantri (2009) antara lain :
a. Chest X-Ray : dapat menunjukan hiperinflation paru, flattened diafragma,
peningkatan ruang udara restrotenal, penurunan tanda vaskuler/bullae
(emfisema), peningkatan suara bronkovaskular (bronkitis), normal
ditemukan saat periode remisi (asma).
b. Pemeriksaan Fungsi Paru : dilakukan untuk menentukan penyebab
dispnea, menentukan abnormalitas fungsi tersebut apakah akibat obstruksi
atau restriksi, memperkirakan tingkat disfungsi, dan mengevaluasi efek
dari terapi, misalnya bronkodilator.
c. Total Lung Capacity (TLC) : meningkat pada bronkitis berat dan biasanya
pada asma, namun menurun pada emfisema.
d. Kapasitas Inspirasi : menurun pada emfisema.
e. FEV1/FVC : rasio tekanan volume ekspirasi (FEV) terhadap tekanan
kapasitas vital (FVC) menurun pada bronkitis dan asma.
f. Arterial Blood Gasses (ABGs) : menunjukan proses penyakit kronis,
sering kali PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau meningkat (bronkitis
kronis dan emfisema), tetapi sering kali menurun pada asma, pH normal
atau asidosis, alkalosis repiratori ringan sekunder terhadap hiperventilasi
(emfisema sedang atau asma).
g. Bronkogram : dapat menunjukan dilatasi dari bronki saat inspirasi, kolaps
bronkial pada tekanan ekspirasi (emfisema), pembesaran kelenjar mukus
(bronkitis).
6
h. Darah Lengkap : terjadi peningkatan hemoglobin (emfisema berat) dan
eosinofil (asma).
i. Kimia Darah : alpha 1-antitripsin kemungkinan kurang pada emfisema
primer.
j. Sputum Kultur : untuk menentukan adanya infeksi dan mengidentifikasi
patogen, sedangkan pemeriksaan sitologi digunakan untuk menentukan
penyakit keganasan atau alergi.
k. Elektrokardiogram (EKG) : deviasi aksis kanan, gelombang P tinggi (asma
berat), atrial distritmia (bronkitis), gelombang P pada leads II, III, dan
AVF panjang, tinggi (pada bronkitis dan emfisema), dan aksis QRS
vertikal (emfisema).
l. Exercise EKG, Stress test : membantu dalam mengkaji tingkat disfungsi
pernapasan, mengevaluasi keefektifan obat bronkodilator, dan
merencanakan/evaluasi program.
G. Komplikasi PPOK
Menurut Irman Sumantri (2009), Komplikasi PPOK yaitu :
a. Hipoksemia
Hipoksemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 < 55 mmHg, dengan
nilai saturasi oksigen < 85%. Pada awalnya klien akan mengalami
perubahan mood, penurunan konsentrasi, dan menjadi pelupa. Pada tahap
lanjut akan timbul sianosis.
b. Asidosis Respiratori
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnea). Tanda yang
muncul antara lain nyeri kepala, fatigue, letargi, dizzines, dan takipnea.
c. Infeksi Respiratori
Infeksi pernapasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus dan
rangsangan otot polos bronkial serta edem mukus. Terbatasnya aliran
udara akan menyebabkan peningkatan kerja napas dan timbulnya dispnea.
d. Gagal Jantung
Terutama kor pulmonl (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus
diobservasi terutama pada klien dengan dispnea berat. Komplikasi ini
7
sering kali berhubungan dengan bronkitis kronis, tetapi klien dengan
emfisema berat juga dapat mengalami masalah ini.
e. Kardiak Disritma
Timbul karena hipoksemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis
respiratori.
f. Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asma brokial.
Penyakit ini sangat berat, potensial mengancam kehidupan, dan sering kali
tidak berespons terhadap terapi yang biasa diberikan. Penggunaan otot
bantu pernapasan dan distensi vena leher sering kali terlihat pada klien
dengan asma.
H. Pentalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut
Mansjoer dalam Rahmadi (2015) adalah :
1. Pencegahan yaitu mencegah kebiasaan merokok, infeksi, polusi udara.
2. Terapi eksasebrasi akut dilakukan dengan :
a. Antibiotik, karena eksasebrasi akut biasanya disertai infeksi. Infeksi ini
umumnya disebabkan oleh H. Influenzae dan S. Pneumonia, maka
digunakan ampisillin 4 x 0,25-0,5 g/hari atau eritromisin 4 x 0,5 g/hari.
b. Augmentin (amoksisilin dan asam kluvanat) dapat diberikan jika kuman
penyebab infeksinya adalah H. Influenzae dan B. Catarhalis yang
memproduksi beta laktamase.
c. Pemberian antibiotik seperti kotrimoksasol, amoksisilin, atau doksisilin
pada pasien yang mengalami eksasebrasi akut terbukti mempercepat
penyembuhan dam membantu mempercepat kenaikan peak flow rate.
Namun hanya dalam 7-10 hari selama periode eksasebrasi. Bila terdapat
infeksi sekunder atau tanda-tanda pneumonia, maka dianjurkan antibiotic
yang lebih kuat.
d. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena
hiperkapnia dan berkurangnya sensitivitas terhadap CO2.
e. Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan baik.
8
f. Bronkodilator untuk mengatasi, termasuk didalamnya golongan
adrenergik. Pada pasien dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau
ipratorium bromide 250 mikrogram diberikan tiap 6 jam dengan nebulizer
atau aminofilin 0,25-0,5 g iv secara perlahan.
3. Terapi jangka panjang dilakukan dengan :
a. Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisillin 4 x 0,25-
0,5/hari dapat menurunkan kejadian eksasebrasi akut.
b. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran nafas tiap
pasien maka sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif
dari fungsi faal paru.
c. Fisioterapi.
d. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik.
e. Mukolitik dan ekspektoran.
f. Terapi jangka penjang bagi pasien yang mengalami gagal nafas tipe II
dengan PaO2<7,3kPa (55 mmHg).
g. Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri
dan terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar dari
depresi. Rehabilitasi pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis
adalah fisioterapi, rehabilitasi psikis dan rehabilitasi pekerjaan.
9
yang berkaitan dengan steroid oral. Direkomendasikan bahwa inhalasi beta
dua adrenergik diberikan terlebih dahulu untuk membuka jalan nafas,
kemudian inhalasi steroid akan menjadi lebih berguna.
b. Penatalaksanaan medis untuk bronkhitis kronis didasarkan pada
pemeriksaan fisik, radiogram dada, uji fungsi pulmonari, dan analisis gas
darah. Pemeriksaan ini mencerminkan sifat progresif dari penyakit.
Pengobatan terbaik untuk bronkitis kronis adalah pencegahan, karena
perubahan patologis yang terjadi pada penyakit ini bersifat tidak dapat
pulih (irreversible). Ketika individu mencari bantuan medis untuk
mengatasi gejala, kerusakan jalan nafas sudah terjadi sedemikian besar.
10
Keluhan utama yang timbul pada klien dengan sama bronkial adalah
dispnea (bias sampai berhari-hari atau berbulan-bulan),batuk,dan
mengi (pada beberapa kasus lebih banyak paroksismal).
b) Riwayat kesehatan dahulu
Terdapat data yang menyatakan adanya faktor predisposisi timbulnya
penyakit ini, di antaranya adalah riwyat alergi dan riwayat penyakit
saluran napas bagian bawah ( rhinitis, urtikaria, dan eksim).
c) Riwayat kesehatan keluarga
Klien dengan asma bronkial sering kali di dapatkan adanya riwayat
penyaakit keturunan, tetapi pada beberapa klien lainnya tidak di
temukan adanya penyakit yang sama pada anggota keluarganya.
3. Pengkajian diagnostic COPD
a) Chest X- Ray :dapat menunjukkan hyperinflation paru, flattened
diafragma, peningkatan ruangan udara retrosternal, penurunan
tanda vascular / bullae ( emfisema ), peningkatan suara
bronkovaskular ( bronchitis ), normal ditemukan saat periode
remisi ( asma ).
b) Pemeriksaan fungsi paru : dilakukan untuk menentukan
penyebab dispnea, menentukan abnormalitas fungsi tersebut
apakah akibat obstruksi atau restriksi, memperkirakan tingkat
disfungsi, dan mengevaluasi efek dari terapi, misalnya
bronkodilator.
c) Total lung capacity (TLC ) : meningkat pada bronkitis berat dan
biasanya pada asma, namun menurun pada emfisema.
d) Kapasitas inspirasi : menurun pada emfisema.
e) FEV1/FVC : rasio tekanan volume ekspirasi ( FEV ) terhadap
tekanan kapasitas vital ( FVC ) menurun pada bronkitis dan asma.
f) Arterial blood gasses (ABGs) : menunjukan prose penyakit
kronis, sering kali PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau
meningkatkan ( bronkitis kronis dan emfisema ), terapi sering
kali menurun pada asma, Ph normal atau asidosis, alkalosis
11
respiratori ringan sekunder terhadap hiperventilasi ( emfisema
sedang atau asma).
g) Bronkogram : dapat menunjukkan dilatasi dari bronki saat
inspirasi, kolabs bronkial pada tekanan ekspirasi( emfisema ),
pembesaran kelenjar mucus( brokitis).
h) Darah lengkap : terjadi peningkatan hemoglobin ( emfisema
berat) dan eosinophil (asma).
i) Kimia darah : alpha 1-antitripsin kemungkinan kurang pada
emfisema perimer.
j) Skutum kultur : untuk menentukan adanya infeksi dan
mengidentifikasi pathogen, sedangkan pemeriksaan sitologi
digunakan untuk menentukan penyakit keganasan/ elergi.
k) Electrokardiogram (ECG) : diviasi aksis kanan, glombang P
tinggi ( asma berat), atrial disritmia ( bronkitis), gelombang P
pada leadsII, III, dan AVF panjang, tinggi( pada bronkitis dan
efisema) , dan aksis QRS vertical (emfisema).
l) Exercise ECG , stress test :membantu dalam mengkaji tingkat
disfungsi pernafasan, mengevaluasi keektifan obat bronkodilator,
dan merencanakan/ evaluasi program.
4. Pemeriksaan fisik
Objektif
a) Batuk produktif/nonproduktif
b) Respirasi terdengar kasar dan suara mengi (wheezing) pada
kedua fase respirasi semakin menonjol.
c) Dapat disertai batuk dengan sputum kental yang sulit di
keluarka.
d) Bernapas dengan menggunakan otot-otot napas tambahan.
e) Sianosis, takikardi, gelisah, dan pulsus paradoksus.
f) Fase ekspirasi memanjang diseratai wheezing( di apeks dan hilus
)
g) Penurunan berat badan secara bermakna.
Subjektif
12
Klien merasa sukar bernapas,sesak dan anoreksia
Psikososial
a) Cemas, takut, dan mudah tersinggung.
b) Kurangnya pengetahuan klien terhadap situasi penyakitnnya
c) Data tambahan (medical terapi)
Bronkodilator
Tidak digunakan bronkodilator oral, tetapi dipakai secara inhalasi
atau parenteral. Jika sebelumnya telah digunakan obat
golongan simpatomimetik, maka sebaiknya diberikan
Aminophilin seacara parenteral, sebab mekanisme yang
berlainan, demikian pula sebaliknya, bila sebelmnya telah
digunakan obat golongan Teofilin oral, maka sebaiknya
diberikan obat golongan simpatomimetik secara aerosol atau
parenteral.
Obat obatan bronkodilator golongan simpatomimetik
bentuk selektif terhadap adrenoreseptor ( orsiprendlin,
salbutamol, terbutalin, ispenturin, fenoterol) mempunyai sifat
lebih efektif dan masa kerja lebih lama serta efek samping
kecil dibandingkan dengan bentuk non selektif (adrenalin,
Efedrin, Isoprendlin)
Obat-obat bronkodilator serta aerosol bekerja lebih cepat dan efek
samping sistemiknya lebih kecil. Baik digunakan untuk sesak
napas berat pada anak-anak dan dewasa. Mula-mula
deberikan dua sedotan dari Metered Aerosol Defire
(AfulpenMetered Aerosol ). Jika menunjukkan perbaikan
dapat diulang setiap empat jam, jika tidak ada perbaikan
dalam 10-15 menit setelah pengobatan, maka berikan
Aminophilin intravena
Obat-obat bronkodilator simpatomimetik memberi efek samping
takikardi, penggunaan parenteral pada orang tua harus hati-
hati, berbahaya pada penyakit hipertensi, kardiovaskuler, dan
serebrovaskuler. Pada dewasa dicoba dengan 0,3 ml larutan
13
epinefrin 1 : 1000 secara subkutan. Pada anak-anak 0,01
mg /KgBB subkutan (1 mg per mil) dapat diulang setiap 30
menit untuk 2-3 kali sesuai kebutuhan .
Pemberian Aminophilin secara intravena denagn dosis awal 5-6
mg/KgBB dewasa/ anak-anak, disuntikkan perlahan dalam 5-
10 menit, untuk dosis penunjang dapat diberikan sebanyak 0-
9 mg/kgBB/jam secara intravena. Efek sampingnya tekanan
darah menurun bila tidak dilakukan secara perlahan.
Kortikosteroid
Jika pemberian obat-obat bronkodilator tidak
menunjukkan perbaikan, maka bisa dilanjutkan deagan
pengobatan kortikosteroid, 200 mg hidrokortison secara oral
atau dengan dosis 3-4 mg/KgBB intravena sebagai dosis
permulaan dan dapat diulang 2-4 jam secara parental sampai
serangan akut terkontrol,dengan diikuti pemberian 30-60 mg
prednison atau dengan dosis 1-2 mg/KgBB/hari secara oral
dalam dosis terbagi, kemudian dosis dikurangi secara
bertahap
Pemberian oksigen
Oksigen dialirkan melalui kanul hidung dengan
kecepatan 2-4 liter/menit , menggunakan air (humidifier)
untuk memberiakan pelembapan. Obat eksfektoran seperti
gliserolguaiakolat juga dapat digunakan untuk memperbaiki
dehidrasi, oleh karena itu intake cairan per oral infus harus
cukup sesuai dengan prinsip.
Beta Agonis
Beta agonis ( β–adrenergic agents) merupakan pengobatan awal
yang digunakan dalam penatalaksanaan penyakit asma,
dikarenakan obat ini berekrja dengan cara mendilatsikan otot
polos ( vasedilator). Andrenerigic agent juga meningkatkan
pergerakan siliari , menurunkan mediator kimia anafilaksis,
dan dapat meningkatan efek bronkodilatasi dari
14
kortikosteroid. Andrenergic yang sering digunakan antara
lain epinefrin, albuterol, metaproterenol, isoproterenol,
isoetarin, dan terbutalin. Biasanya diberikan secara parenteral
atau inhalasi. Jalan inhalasi merupakan salah satu pilihan
dikarenakan dapat mempengaruhi secara langsung dan
mempunyai efek samping yang lebih kecil.
b. Intervensi keperawatan
kedalaman/jumla mukus
Pergerakan
h napas, menjadikan
sputum keluar
penggunaan otot timbulnya
dari jalan nafas
bantu pernafasan. kongesti
Bebas dari
Suara nafas berlebih pada
suara nafas
abnormal seperti saluran
tambahan.
wheezing, ronchi,
15
dan cracles. pernapasan .
Batuk
(presisten)dengan Posisi semi/
/tanpa produksi high fowler
sputum. memberikan
kesempatan
paru-paru
berkembang
secara maksimal
akibat diafragma
turun ke bawah.
Batuk efektif
mempermudah
ekspektorasi
mukus.
Klien dalam
kondisi sesak
cenderung untuk
bernapas
melalui mulut
yang pada
akhirnya jika
tidak
ditindaklanjuti
akan
mengakibatkan
stomatis.
2. Gangguan pertukaran Status respirasi a. Manajemen asam
gas yang berhubungan pertukaran gas basa tubuh Kelemahan,
dengan: dengan skala….(1- b. Manajemen jalan iritable, bingung
Kurangnya suplai 5) setelah diberikan napas dan somnolen
16
oksigen (obstruksi perawatan c. Latihan batuk dapat
jalan napas oleh selama… hari efektif merefleksikan
secret, dengan kriteria : d. Tingkatkan adanya
bronkospasme, air Status aktivitas hipoksemia/pen
trapping); mental e. Terapi oksigen urunan
Destruksi alveoli dalam batas f. Monitoring oksigenasi
Ditandai dengan normal respirasi serebral.
Dyspnea Bernapas g. Monitoring tanda
Untuk
mengikuti
kemajuan proses
penyakit dan
memfasilitasi
17
perubahan
dalam terapi
oksigen.
18
bernafsu untuk perawatan k. Bantuan tindakan
makan, tidak selama… untuk terutama dengan
tertarik makan Intake kalori peningkatan kadar protein
adekuat,denga BB darah.
n skala.. (1-5) l. Manajemen
Intake protein, berat badan Meningkatkan
…(1-5) klien.
Mampu
mengontrol
19
asupan makanan
secara adekuat
(1-5)
(menunjukkan)
20
baik. mengidetifikasi
Status respirasi: dan
pertukara gas da mendapatkan
vetilasi adekuat. sumber yang
diperlukan untuk
aktivitas yang
diinginkan
Bantu klien
untuk
mendapatkan
alat bantuan
aktivitas seperti
kursi roda, krek
Bantu untuk
mengidentifikasi
aktivitas yang
disukai
Bantu klien
membuat jadwal
latihan diwaktu
luang
Bantu
pasien/keluarga
untuk
mengidentifikasi
kekurangan
dalam
beraktivitas
Sediakan
penguatan
positif bagi yang
aktif beraktivitas
21
Bantu pasien
untuk
mengembangkan
motivasi diri dan
penguatan
Monitor respon
fisik,emosi,
sosial dan
spiritual.
5. Risiko tinggi Tidak muncul tanda Monitor vital Selama peride
penyebaran tanda infeksi sign, terutama ini, potensial
infeksi yang b.d sekunder. pada proses berkembang
penyakit kronis . Klien dapat terapi. menjadi
mendemonstrasikan Demonstrasikan komplikasi
kegiatan untuk teknik mencuci yang lebih
menghindarkan yang benar. fatal( hipotens
infeksi. Ubah posisi dan i / shock ).
berikan Sangat efektif
pulmonari toilet untuk
yang baik. mengurangi
Batasi penyebaran
pengunjung atas infeksi .
indikasi. Meningkatkan
Lakukan isolasi ekspektorasi,
sesuai dengan membersihkan
kebutuhan dari infeksi.
individual. Mengurangi
Anjurkan untuk paparan
istirahat secara dengan
adekuat organisme
sebanding patogen lain.
dengan aktifitas, Isolasi
22
tingkatkan mungkin
intake nutrisi dapat
secara adekuat. mencegah
penyebaran
atau
memproteksi
klien dari
proses infeksi
lainya.
Memvasilitasi
proses
pengembuhan
dan
meningkatkan
pertahanan
tubuh alami.
23
BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN
A. PENGKAJIAN
1. Identitas Pasien
1) Nama Pasien : Tn T
2) Tempat Tgl Lahir : Yogja 10-mei-1950
3) Jenis Kelamin : Laki
4) Agama : Islam
1. Data Objektif
a. Kesadaran kompos mentis, GCS: E4-M5V6
b. Pasien terlihat sering menundukan kepala, kontak mata kurang dan
meminta agar penyakitnya jangan disampaikan kepada keluarga dengan
alasan tidak mau merepotkan keluarga.
c. Hasil pengkajian
Kesadaran : Compos Mentis, TB = 167 cm, BB = 75 Kg, TD = 130/100
mmHg, Nadi = 88 x/mnt, Suhu = 36 °C, RR = 25 x/mnt, Dada Inspeksi
Bentuk dada normal : diameter anterior posterior-transversal=1:2
Auskultas Terdengan bunyi ronchi + Perkusi : di temukan sonor tympani
di sisi kiri Palpasi: tidak ada nyeri tekan. Jantung Inspeksi :bentuk dada
normal semetris Auskultasi :Bj 1 (S1): Penutup katup mitral dan triku Bj
II(S2); Penutup katup aorta dan pulmonal=DUB S1-SII 1 detik SI lebih
kera dari SII Perkusi : di temukan sonor tympani di sisi kiri Palpasi: letak
ictus cordis nomal.tidak ada pembengkakan.
2. Data Subjektif
24
pasien mengeluh berdebar-debar,bila kecapekan melakukan kegiatan berat.
Selama Sakit Keadaan aktivitas sehari – hari ktivitas di bantu keluarga.
Napas terasa sesak. Pasien sudah menikah dan bekerja sebagai tukang
tambal ban. Selain itu pasien mengatakan khawatir dengan penyakitnya.
B. ANALISA DATA
DO :
-TD : 130/100
-SUHU ; 36
-NADI : 88X/MNT
-RR : 25X/MNT
-Terpasang infus asering 12 Tpm
2 DS : Penumpukan gas
Tn T mengeluhkan perutnya sakit di lambung Gangguan rasa
dan terasa kembung. nyaman “nyeri”
P : di perut
Q : terasa di remas
R : Nyeri terlokalisir
S ; Skala 2
T : hilang timbul
DO :
25
-Perut tampak kembung
-klien tampak gelisah
3 DS : Kurangnya
Tn T tidak mengerti tentang informasi tentang Kurang
penyakit yang di alaminya sekarang penyakitnya pengetahuan
ini. tentang
penyakitnya
DO :
-Klien sering bertanya tentang
penyakitnya
- Klien tampak kebingunan
4
Hambatan
Hambatan interaksi sosial b.d
DO : -
interaksi sosial gangguan konsep
DS :
Pasien berharap kondisinya saat ini diri d.d pasien
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d produksi sputum yang masi produktif
2. Gangguan rasa nyaman “nyeri” b.d penumpukan gas di lambung
26
D. PERENCANAAN
DIAGNOSA PERENCANAAN RASIONAL
KEPERAWATAN
INTERVENSI TUJUAN
Bersihan jalan Setelah di lakukan 1. Kaji ulang 1. Mengetahui
napas tidak efektif tindakan keperawatan fungsi keadaan umum dan
b.d produksi 2x24 jam di harapkan pernapasan,ir mengetahui adanya
sputum yang masih bersihan jalan napsa ama, abnormal pada
produktif sebagian teratasi dengan kecepatan, pernapasan
kriteria hasil : bunyi napas. 2. Mengoptimalkan
-klien mengatakan 2. Catat keseimbangan
sudah sudah dapat kemampuan cairan untuk
mengeluarkan dahak. - mengeluarka membantu
klien mengatakan batuk n secret dan mengencerkan
berkurang batuk efektif. dahak.
-batuk efektif dan 3. Beri posisi semi 3. Fisiteraphi dada
mengeluarkan secret fowler dapat
TD : 140/100 4. Lakukan teraphi memaksimalkan
NADI : 70x/mnt dada menjatuhkan secret
SUHU : 37,5 5. Ajarkan batuk yang ada di jalan
RR : 18-22 x/mnt efektif 6.berikan napas.
obat pengencer
dahak
27
DIAGNOSA PERENCANAAN RASIONAL
INTERVENSI TUJUAN
Gangguan rasa Setelah di lakukan 1. Lakukan 1. Respon klien
nyaman “nyeri” tindakan pendekatan pada dan keluarga
b.d keperawatan 2x24 klien dan keluarga lebih terbuka
penumpukan jam gangguan rasa jelaskan tentang dan menerima
gas di lambung nyaman “nyeri’ penyebab sakit yang baik penjelasan
berkurang dengan di alami. dari perawat.
kriteria hasil : 2. Ajarkan pada 2. Mengurangi
Klien mengatakan keluarga klien rasa nyeri yang
nyeri berkurang. agar ,memberi di rasakan klien.
-Skala nyeri 2 kompres hangat pada 3. Mengetahui
- klien tidak meringgis daerah perut yang perkembangan
TD 140/100 sakit. setiap harinya.
NADI 70x/MNT 3. Berikan posisi
SUHU: 36,5-37,5 senyaman mungkin.
28
PERENCANAAN RASIONAL
DIAGNOSA INTERVENSI TUJUAN
Kurang pengetahuan Setelah dilakukan 1. kaji 1 Pasien mampu
adalah tindakan tingkat mengetahui
ketiadaan atau keperawatan 2x24 pengetahuan akan
defisiensi jam pengetahuan pasien dan penyakitnya
informasi klien dan keluarga keluarga 2 Pasien mampu
kognitif yang bertambah.Penulis 2. jelask akan
tidaka dekuat memprioritaskan an patofisiologi memahami
terhadap diagnosa ini pada dari penyakit penyakitnya
pengetahuan urutan ketiga karena dan bagaimana
3 Pasien
pada saat klien hal ini
mampu
bertanya perawat berhubungan
menggambark
menjelaskan terkait dengan anatomi
an bagaimana
penyakitnya, Respon dan fisiologi
penyakit nya.
klien merasa puasa dengan cara
4 Pasien mampu
atas apa yang yang tepat
mengetahui
diinformasikan 3. gamba
proses
terhadap perawat. rkan tanda dan
penyakit nya
gejalan yang
biasa muncul
pada penyakit
dengan cara yang
tepat
gambarkan proses
penyakit dengan cara
yang tepat, sediakan
bagi keluarga
informasi tentang
kemanjuan pasien
dengan cara yang
29
tepat.
30
E. PELAKSANAAN DAN EVALUASI
masih RR 20x/mnt
produktif
Terpasang infus asering 16 Tpm.
A : Masalah teratasi sebagian
P : Lanjutkan Intervensi
31
Gangguan 1.mengajarkan keluarga S : Tn T Mengatakan nyeri di
rasa nyaman klien ,memberi kompres hangat di daerah perut sudah berkurang ,dan
nyeri daerah perut yang sakit. tidak merasa kembung lagi.
berhubungan
2. mengajarkan tehnik napas O :Exspresi wajah rileks,tidak
dengan
dalam ,untuk mengurangi nyeri meringis
penumpukan
perut
gas di A :Masalah teratasi sebagian
lambung.
P : Lanjutkan Intervensi
32
Hambatan 1.Membantu pasien untuk S: pasien mengatakan secara
interaksi mengidentifikasi masalahnya lisan bahwa rasa khawatirnya
Sosial b.d melalui keterampilan sosial. berkurang
gangguan 2. Menggunakan pendekatan O: pasien terlihat kembali ceria
konsep diri yang tenang dan seperti sedia kala.
meyakinkan. A: a. Tingkat kecemasan
3. Memberikan informasi berkurang.
factual terkait diagnose, b. Persepsi diri yang negative
perawatan dan prognosis. berkurang.
4. Menempatkan diri di sisi c. Adanya dukungan sosial dari
pasien untuk mengurangi orang sekitar.
ketakutan dan kekhawatiran P: intervensi dilanjutkan
pasien.
33
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan kumpulan penyakit
paru yang sudah lama dan bertahun tahun, ditandai dengan adanya penyumbatan
pada aliran udara dari paru-paru. Dengan penyebab utama dari lingkungan polusi
udara, merokok, paparan debu, dan gas-gas kimiawi. Faktor Usia dan jenis
kelamin sehingga mengakibatkan berkurangnya fungsi paru-paru bahkan pada
saat gejala penyakit tidak dirasakan. Infeksi sistem pernafasan akut, seperti
peunomia, bronkitis, dan asma orang dengan kondisi ini berisiko mendapat
PPOK.
Jika individu berhenti merokok, progresif penyakit dapat ditahan. Jika
merokok dihentikan sebelum terjadi gejala, resiko bronkhitis kronis dapat
menurun dan pada akhirnya mencapai tingkat seperti bukan perokok.
34
35
DAFTAR PUSTAKA
http://repo.stikesicme-jbg.ac.id/910/13/151210013_Iis%20Maisaroh_KTI
%20benarkunci.pdf (diakses pada tanggal 11 Oktober 2019, pukul 10.00 WIB)
http://elib.stikesmuhgombong.ac.id/539/1/NISA%20AGUSTIN%20NIM.
%20A01401932.pdf (diakses pada tanggal 11 Oktober 2019, pukul 14.00 WIB)
https://www.google.com/url?q=https://www.academia.edu/37689132/
asuhan_keperawatan_pada_pasien_dengan_PPOK&sa=U&ved=2ahUKEwjf0_7S
2ZvlAhWFdn0KHYzXA3MQFjAAegQIAhAB&usg=AOvVaw3TTVNbVYVQV
mbPnhQAJqM7 (diakses pada tanggal 13 Oktober 2019, pukul 12.00 WIB)
iv