OLEH
KELOMPOK 3
Alhamdulillah, puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat
dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Penyakit Paru
Obstruktif Kronis (PPOK)” sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Dan tak lupa pula
shalawat serta salam selalu tercurah untuk Baginnda Rasulullah Muhammad SAW yang telah
membawa risalah Islam dari sisi Allah sebagai petunjuk jalan hidup sekalian umat manusia.
Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa ada banyak
kekurangan dari makalah ini, baik dari segi penyusunan bahasa maupun segi lainnya. Tetapi
kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, terutama bagi kami
sendiri dalam menambah wawasan keilmuan mahasiswa-mahasiswa Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Parepare khususnya angkatan tahun 2018. Untuk itu, kami
mengharapkan adanya kritik, saran, dan usulan demi perbaikan di masa yang akan datang,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa sarana yang membangun.
DAFTAR PUSTAKA
KATA PENGANTAR..................................................................................................................................i
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................................ii
BAB I.....................................................................................................................................................iii
PENDAHULUAN.....................................................................................................................................iii
A. Latar Belakang..........................................................................................................................iii
B. Tujuan Masalah..........................................................................................................................v
C. Manfaat......................................................................................................................................v
BAB II....................................................................................................................................................vi
TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................................................................vi
A. Definisi Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)....................................................................vi
B. Klasifikasi Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)...............................................................vii
C. Signifikasi Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)................................................................ix
D. Patofisiologi Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)..............................................................x
E. Kelompok Risti (Risiko Tinggi) Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)..............................xi
F. Distribusi Geografi Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK).................................................xii
G. Trend Waktu Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)..........................................................xiii
H. Faktor Risiko Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK).........................................................xiv
I. Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)...............................xvi
BAB III..................................................................................................................................................xix
PENUTUP.............................................................................................................................................xix
A. Kesimpulan.............................................................................................................................xix
B. Saran........................................................................................................................................xx
BAB IV.................................................................................................................................................xxii
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................................xxii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan salah satu penyakit yang
memilki beban kesehatan tertinggi. World Health Organization (WHO) dalam Global
Status of Non-communicable Diseases tahun 2010 mengkategorikan PPOK ke dalam
empat besar penyakit tidak menular yang memiliki angka kematian yang tinggi setelah
penyakit kardiovaskular, keganasan dan diabetes (1).
Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah salah satu dari masalah kesehatan
utama yang terjadi di dunia dan di Indonesia. Diperkirakan akan menjadi peringkat ke 3
pada tahun 2020 seiring dengan berkurangnya kematian oleh penyakit lain, dan penuaan
populasi dunia. Prevalensi PPOK di Asia diperkirakan sebesar 6,3% dengan prevalensi
(2)
tertinggi ada di Negara Vietnam dan Republik Rakyat Cina . Di Indonesia angka
kejadian dari beberapa sampel cukup tinggi yaitu di daerah DKI Jakarta 2,7%, Jawa
Barat 4,0%, Jawa Tengah 3,4%, DI Yogyakarta 3,1%, Jawa Timur 3,6% dan Bali 3,6%.
Angka dari penderita PPOK ini diperkirakan akan terus bertambah dikarenakan semakin
tingginya perokok di Indonesia dan udara yang tidak bersih akibat dari penggunaan
kendaraan bermotor serta asap yang ditimbulkan industri (3).
Biaya pengobatan PPOK mahal dan menjadi beban ekonomi dan sosial. Penyakit
ini berhubungan dengan beban ekonomi negara yang signifikan. Total biaya langsung di
Uni Eropa untuk mengobati penyakit pernafasan mencapai 6% dari total anggaran
belanja kesehatan, dimana PPOK menyerap 56% dari semua biaya pengobatan penyakit
pernafasan (2).
Biaya yang paling tinggi adalah diakibatkan kejadian eksaserbasi dari penyakit
ini. Kematian menjadi beban sosial yang paling buruk yang diakibatkan oleh PPOK,
namun diperlukan parameter yang bersifat konsisten untuk mengukur beban sosial.
Parameter yang dapat digunakan adalah Disability-Adjusted Life Year (DALY), yaitu
hasil dari penjumlahan antara Years of Life Lost (YLL) dan Years Lived with Disability
(YLD). Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, diperkirakan pada tahun 2030, PPOK
akan menempati peringkat ketujuh, dimana sebelumnya pada tahun 1990 penyakit ini
menempati urutan keduabelas (1).
Gejala PPOK antara lain batuk, produksi sputum, sesak nafas, dan keterbatasan
aktivitas. Adanya disfungsi otot skeletal dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup
penderita karena akan membatasi kapasitas latihan dari pasien PPOK. Penurunan
aktivitas pada kehidupan sehari hari akibat sesak nafas yang dialami pasien PPOK akan
mengakibatkan makin memperburuk kondisi tubuhnya (4).
Secara global, angka kejadian PPOK akan terus meningkat setiap tahunnya
dikarenakan tingginya peningkatan faktor risiko PPOK, diantaranya disebabkan
meningkatnya jumlah perokok, perkembangan daerah industri dan polusi udara baik dari
pabrik maupun kendaraan bermotor, terutama di kota-kota besar dan lokasi industri serta
pertambangan. Selain itu, peningkatan usia harapan hidup menyebabkan peningkatan
jumlah penduduk usia tua yang ikut berperan terhadap peningkatan insiden PPOK.
Kejadian PPOK sendiri lebih sering terjadi pada penduduk usia menengah hingga lanjut,
lebih sering pada laki-laki dari pada perempuan, serta kondisi sosial ekonomi yang
rendah dan pemukiman yang padat (5).
Tatalaksana PPOK masih belum memuaskan. Sampai sekarang belum ada metode
yang dapat menyembuhkan PPOK. Banyak pasien PPOK yang harus berjuang
menghadapi PPOK selama bertahun tahun dan kebanyakan mereka meninggal dunia
lebih cepat karena penyakit ini atau karena komplikasinya. Pada pasien perokok, berhenti
dan menjauhi rokok sangat penting. Pengobatan yang sesuai dapat mengurangi gejala
PPOK, mengurangi frekuensi dan beratnya eksaserbasi, dan meningkatkan status
kesehatan dan toleransi olahraga, namun, sampai saat ini belum ada pengobatan yang
dapat mencegah penurunan fungsi paru pada pasien PPOK (2).
B. Tujuan Masalah
Adapun tujuan masalah sebagai berikut :
C. Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa :
1. Dapat menambah pengetahuan masyarakat tentang Penyakit Paru Obstruktif
Kronis (PPOK) serta dapat meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat
dalam upaya deteksi dini Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK).
2. Dapat menambah wawasan bagi penulis tentang Penyakit Paru Obstruktif Kronis
(PPOK).
3. Hasil tulisan ini diharapkan dapat digunakan sebagai data pendukung atau bahan
perencanaan dalam pencegahan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
The Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary Disease (GOLD) tahun
2014 mendefinisikan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) sebagai penyakit respirasi
kronis yang dapat dicegah dan dapat diobati, ditandai adanya hambatan aliran udara yang
persisten dan biasanya bersifat progresif serta berhubungan dengan peningkatan respons
(1)
inflamasi kronis saluran napas yang disebabkan oleh gas atau partikel iritan tertentu .
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran
napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari
bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya. PPOK terdiri dari bronkitis
kronik dan emfisema atau gabungan keduanya (6).
Bronkitis kronik merupakan kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk
kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun
berturut-turut dan tidak disebabkan oleh penyakit lainnya. Emfisema adalah suatu
kelainan anatomis paru yang ditandai dengan adanya pelebaran rongga udara
distalbronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli (6).
Akan tetapi menurut PDPI 2010, bronkitis kronik dan emfisema tidak
dimasukkan definisi PPOK, karena bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis,
sedangkan emfisema merupakan diagnosis patologi. PPOK adalah penyakit yang umum,
dapat dicegah, dan dapat ditangani, yang memiliki karakteristik gejala pernapasan yang
menetap dan keterbatasan aliran udara, dikarenakan abnormalitas saluran napas dan/atau
alveolus yang biasanya disebabkan oleh pajanan gas atau partikel berbahaya (7).
Menurut Riset Kesehatan Dasar, pada tahun 2013 angka kematian akibat PPOK
menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab kematian di Indonesia dan prevalensi PPOK
rata-rata sebesar 3,7% kasus. Tingginya angka kejadian tersebeut diprediksi akan
menunduki peringkat ke-3 penyebab kematian di Indonesia pada tahun 2020 (10).
Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2012 menyatakan bahwa
PPOK merupakan penyakit yang menempati urutan ke empat penyebab kematian di
Indonesia. PPOK menjadi urutan pertama pada kelompok penyakit paru di Indonesia
dengan angka kesakitan (35%). Prevalensi PPOK tertinggi terdapat di Nusa Tenggara
Timur (10,0%), dan Sulawesi Selatan pada urutan ke tiga (6,7%). Data dari Profil Dinas
Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan menyatakan PPOK merupakan penyebab kematian
tertinggi penyakit tidak menular berbasis rumah sakit di Sulawesi Selatan yang
berjumlah 43 kasus (11).
Dampak lain yang ditimbulkan partikel tersebut dapat berupa rusaknya dinding
alveolus. Kerusakan yang terjadi berupa perforasi alveolus yang kemudian
mengakibatkan bersatunya alveoulus satu dan yang lain membentuk abnormal large-
airspace. Selain itu terjadinya modifikasi fungsi anti-protease pada saluran pernafasan
yang berfungsi untuk menghambat neutrofil, menyebabkan timbulnya kerusakan jaringan
interstitial alveolus. Seiring terus berlangsungnya iritasi di saluran pernafasan maka akan
terjadi erosi epitel serta pembentukan jaringan parut. Akan timbul juga metaplasia
skuamosa dan penebalan lapisan skuamosa yang menimbulkan stenosis dan obstruksi
ireversibel dari saluran nafas. Walaupun tidak menonjol seperti pada asma, pada PPOK
juga dapat terjadi hipertrofi otot polos dan hiperaktivitas bronkus yang menyebabkan
gangguan sirkulasi udara.
Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus, metaplasia
sel goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat fibrosis. Pada
emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai
kerusakan dinding alveoli yang menyebabkan berkurangnya daya regang elastis paru.
Terdapat dua jenis emfisema yang relevan terhadap PPOK, yaitu emfisema pan-asinar
dan emfisema sentri-asinar. Pada jenis pan-asinar kerusakan asinar bersifat difus dan
dihubungkan dengan proses penuaan serta pengurangan luas permukaan alveolus. Pada
jenis sentri-asinar kelainan terjadi pada bronkiolus dan daerah perifer asinar, yang erat
hubungannya dengan asap rokok.
Patofisiologi pada pasien PPOK menurut The Global Initiative for Chronic
Obstructive Pulmonary Disease 2017 sebagai berikut (8):
c) Hipersekresi mukus
d) Hipertensi pulmuoal, tekanan darah tinggi yang ditemukan pada pembuluh darah
arteri paru dan di jantung sebelah kanan
f) Gangguan sistemik
Jenis kelamin laki-laki yang berusia 40-49 tahun lebih berisiko tinggi terkena
penyakit PPOK, dikarenakan presentase merokoknya paling tinggi. Namun tidak
menutup kemungkinan perokok pasif juga berisiko tinggi terkena penyakit PPOK karena
menghirup gas beracun dari si perokok aktif. Prevalensi PPOK terus meningkat dengan
bertambahnya prevalensi perokok dan populasi usia lanjut, serta peningkatan polusi
udara. Sedangkan berdasarkan hasil SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) tahun
2001, 54,5% penduduk laki-laki dan 1,2% penduduk perempuan adalah perokok, dan
sebagian besar anggota rumah tangga adalah perokok pasif. Sedangkan jumlah perokok
(14)
yang berisiko PPOK atau kanker paru adalah sebesar 20-25% .
Mereka yang hidup di kota besar memiliki tingkat PPOK lebih tinggi
dibandingkan dengan mereka yang hidup di pedesaan. Meskipun polusi udara di
perkotaan merupakan faktor yang berperan dalam eksaserbasi, perannya secara
menyeluruh sebagai penyebab PPOK masih belum jelas. Wilayah dengan kualitas udara
luar ruang yang rendah, termasuk dari gas buang, secara umum memiliki tingkat PPOK
yang lebih tinggi. Namun efek menyeluruh dalam kaitannya dengan merokok dianggap
kecil.
Menurut kemenkes sendiri pada tahun 2015 jumlsah pengidap PPOK mencapai
14,1 % popoulasi Indonesia dan menjadi penyebab kematian nomor tiga, membunuh
lebih dari 3 juta orang. Indonesia pun telah mengaturnya dalam keputusan menteri
kesehatan Republik Indonesia nomor 1022/MENKES/SK/XI/2008 tentang pedoman
(18)
pengendalian penyakit paru obstruktif kronis . Menurut GOLD pada tahun 2017
PPOK menduduki peringkat keempat penyebab kematian di dunia dan diperkirakan akan
menduduki peringkat ketiga penyebab kematian di dunia pada tahun 2020 (19).
1. Kebiasaan Merokok
Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab yang terpenting
dari PPOK daripada faktor penyebab lainnya. Prevalensi tertinggi terjadinya
gangguan respirasi dan penurunan faal paru adalah pada perokok. Usia mulai
merokok, jumlah bungkus pertahun, dan perokok aktif berhubungan dengan angka
kematian. Seseorang yang lebih sering menghisap rokok jenis non filter lebih
berisiko terkena PPOK 1-2 kali lipat dibandingkan seseorang yang menghisap
rokok jenis filter (4).
Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan (6) :
a. Riwayat merokok
Perokok aktif
Perokok pasif
Bekas perokok
b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah
rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun :
Ringan : 0-200
Sedang : 200-600
Berat : >600
2. Faktor Usia
PPOK jarang mulai menyebabkan gejala yang dikenali secara klinis
sebelum mencapai usia 40 tahun. Kasus-kasus ini terkait dengan defisiensi bawaan
dari anti tripsinalfa-1. Ketidakmampuan ini dapat mengakibatkan seseorang
mengalami emfisema dan PPOK pada usia sekitar 20 tahun, yang berisiko menjadi
semakin berat jika mereka merokok (15).
3. Faktor Penjamu (Host)
Faktor pejamu (host) meliputi usia, genetik, hiper responsif jalan napas
(akibat pajanan asap rokok atau polusi) dan pertumbuhan paru (masa kehamilan,
berat lahir dan pajanan semasa anak-anak, penurunan fungsi paru akibat gangguan
pertumbuhan paru). Faktor genetik yang utama adalah defisiensi α1-antitripsin
(alfa 1-antiprotase).
α1-antitripsin adalah protein serum yang diproduksi oleh hepar dan pada
keadaan normal terdapat di paru untuk menghambat kerja enzim elastase neutrofi l
yang destruktif terhadap jaringan paru (4).
4. Riwayat Penyakit Pernapasan
Riwayat infeksi saluran pernapasan berat akan menyebabkan penurunan
fungsi paru dan meningkatkan gejala respirasi saat dewasa. Terdapat beberapa
kemungkinan yang dapat menjelaskan penyebab keadaan ini, karena seringnya
kejadian infeksi berat pada anak sebagai penyebab dasar timbulnya hiperesponsif
jalan napas yang merupakan faktor risiko pada PPOK. Dampak dari penyakit
pernapasan pada masa anak-anak pada perkembangan selanjutnya dari PPOK telah
sulit untuk dinilai karena kurangnya data longitudinal yang memadai (11).
Banyak orang yang mengalami penyakit pernapasan yang bila mana bisa
memiliki dampak yang begitu signifikan terhadap kehidupan seharihari. Penyakit
pernapasan ada berbagai macam mulai dari akut sampai kronis. Terdapat jenis
penyakit pernapasan seperti penyakit asma, bronchitis, dan enfisema. Dimana
ketiga penyakit ini dapat disebabkan oleh infeksi virus, infeksi non bakteri, dan
asap rokok yang dapat berujung pada kejadian PPOK. Pengaruh berat badan lahir
rendah akan meningkatkan infeksi virus yang juga merupakan faktor risiko PPOK.
Baik infeksi virus dan bakteri memberikan peranan yang besar terhadap
patogenesis dan progresifitas PPOK. Kolonisasi bakteri misalnya rhinovirus pada
saluran napas berhubungan dengan peradangan saluran napas dan jelas sekali
berperan pada terjadinya eksaserbasi PPOK(11).
5. Jenis Kelamin
Faktor risiko jenis kelamin sebenarnya belum diketahui secara pasti
kaitannya dengan PPOK. Jenis kelamin pada PPOK ini dikaitkan dengan konsumsi
rokok, dimana lebih banyak ditemukan perokok pada laki-laki dibandingkan pada
wanita. Sebanyak 54,5 % penduduk laki-laki merupakan perokok dan hanya 1,2%
perempuan yang merokok (4).
6. Faktor Pekerjaan
Beberapa pekerjaan di mana pekerja terpapar dengan batu bara, silica dan
kapas seperti buruh tambang, pekerja tekstil dan pekerja semen, berhubungan
dengan meningkatkan risiko PPOK. Pajanan logam berat, dan asap las telah
(15)
dikenali menyebabkan emfisema sejak tahun 1950 .
7. Faktor Lingkungan
Terdapat bukti yang kuat bahwa PPOK diperburuk oleh polusi udara,
namun peran polusi dalam etiologi PPOK menunjukkan pengaruh yang lebih kecil
dibandingkan dengan merokok (15).
Polusi udara terdiri dari polusi di dalam ruangan (indoor) dan polusi di luar
ruangan (outdoor). Polusi udara dapat menimbulkan berbagai penyakit dan
gangguan fungsi tubuh, termasuk gangguan faal paru. Polusi udara juga dapat
meningkatkan kejadian asma bronkial dalam masyarakat (4).
8. Faktor Sosial Ekonomi
Sosial ekonomi dianggap sebagai faktor yang meningkatkan risiko PPOK.
Hal ini berkaitan dengan kemiskinan karena pemenuhan status gizi, kepadatan
pemukiman, paparan polusi, akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan, dan
infeksi (4).
2. Pengendalian PPOK
b) Kemitraan
c) Perlindungan khusus
PENUTUP
A. Kesimpulan
2. Klasifikasi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) ada empat, yaitu ; 1. GOLD 1
ringan : Pasien belum menyadari terdapatnya kelainan fungsi paru, 2. GOLD 2
sedang : Pada kondisi ini pasien datang berobat karena eksaserbasi atau keluhan
pernapasan kronik, 3. GOLD 3 berat : Perburukan penyempitan jalan napas yang
semakin berat, sesak napas bertambah, kemampuan exercise berkurang berdampak
pada kualitas hidup, 4. GOLD 4 sangat berat : Sering disertai komplikasi. Pada
kondisi ini kualitas hidup rendah dan sering disertai eksaserbasi berat/ mengancam
Jiwa.
3. Signifikasi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) beragam misalnya, secara
global diperkirakan sekitar 65 juta orang menderita PPOK dan 3 juta meninggal
karena PPOK pada tahun 2006, dengan mewakili 5% dari seluruh kematian.
Kemudian menurut Riset Kesehatan Dasar, pada tahun 2013 angka kematian akibat
PPOK menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab kematian di Indonesia dan
prevalensi PPOK rata-rata sebesar 3,7% kasus.
4. Patofisiologi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) ada enam diantaranya,
keterbatasan aliran udara, ketidak normalan pertukaran udara, hipersekresi mukus,
hipertensi pulmuoal, eksaserbasi dan gangguan sistemik.
5. Kelompok risti (risiko tinggi) Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) ada dua.
Pertama seorang perokok, baik ituperokok aktif maupun perokok pasif. Kedua
riwayat penyakit, utamanya penyakit respirasi misalnya asma.
6. Distribusi geografis Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), masyarakat yang
tinggal di daerah perkotaan memiliki risiko lebih tinggi terkena PPOK dibandingkan
dengan masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan.
7. Trend waktu Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) pada tahun 2015 menurut
Kemenkes, jumlah pengidap PPOK mencapai 14,1 % popoulasi Indonesia dan
menjadi penyebab kematian nomor tiga, yang membunuh lebih dari 3 juta orang.
Kemudian, menurut The Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary
Disease (GOLD) pada tahun 2017 PPOK menduduki peringkat keempat penyebab
kematian di dunia dan diperkirakan akan menduduki peringkat ketiga penyebab
kematian di dunia pada tahun 2020.
8. Faktor risiko Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) yaitu, kebiasaan merokok,
faktor usia, faktor penjamu (Host), jenis kelamin, faktor pekerjaan, faktor
lingkungan, riwayat penyakit pernapasan dan faktor sosial ekonomi.
9. Pencegahan dan pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Adapun
pencegahan PPOK yang dapat dilakukan antara lain ; hindari asap rokok, hindari
polusi udara, berhenti merokok, hindari paparan dari pekerjaan dan ketahui riwayat
penyakit keluarga. Pengendalian PPOK yaitu ; penyuluhan komunikasi, informasi,
edukasi (KIE), upaya peningkatan peran serta masyarakat dalam pencegahan PPOK,
memfasilitasi dan mendorong tumbuhnya gerakan dalam pencegahan PPOK di
masyarakat, meningkatkan sistem surveilans epidemiologi, peningkatan peran
pemerintah daerah dalam pengendalian PPOK dan meningkatkan akses masyarakat
terhadap pelayanan yang berkualitas.
B. Saran
1. Bagi Petugas Kesehatan
Hendaknya dapat meningkatkan preventive care dalam pencegahan dan
penanggulangan PPOK. Dengan melakukan penyuluhan tentang Penyakit Paru
Obstruktif Kronik (PPOK) sebagai salah satu proses peningkatan pengetahuan,
kemauan dan kemampuan masyarakat sehingga masyarakat dapat memelihara,
meningkatkan dan melindungi kesehatannya terhadap Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK).
2. Bagi Masyarakat
Untuk masyarakat khususnya perokok, baik perokok aktif maupun perokok
pasif, merupakan yang paling rentan terkena PPOK. Oleh karena itu, masyarakat
hendaknya memeriksakan diri ke pusat pelayanan kesehatan.
3. Bagi Pemerintah
Penyakit Paruh Obstruktif Kronik(PPOK), merupakan salah satu penyakit tidak
menular sebagai penyebab kematian terbesar, bukan hanya di Indonesia melainkan
di seluruh dunia. Maka dari itu hendaknya pemerintah dapat mengambil suatu
kebijakan dalam pengendalian PPOK di Indonesia.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
9. Ismail, L., Sahrudin, S. & Ibrahim, K. Analisis Faktor Risiko Kejadian Penyakit Paru
Obtruktif Kronik (Ppok) Di Wilayah Kerja Puskesmas Lepo- Lepo Kota Kendari
Tahun 2017. J. Ilm. Mhs. Kesehat. Masy. Unsyiah 2, 198210 (2017).
10. R, Z., Nessa, N. & Athifah, Y. Analisis Ketepatan Pemilihan Dan Penentuan Regimen
Obat Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK). JSFK (Jurnal Sains Farm.
Klin. 6, 158–163 (2019).
11. Qamila, B., Ulfah Azhar, M., Risnah, R. & Irwan, M. Efektivitas Teknik Pursed
Lipsbreathing Pada Pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik (Ppok): Study Systematic
Review. J. Kesehat. 12, 137 (2019).
12. Napanggala, A. Penyakit Paru Obstruktif Kronis ( PPOK ) dengan Efusi Pleura dan
Hipertensi Tingkat I Chronic Pulmonary Obstructive Disorder ( COPD ) with Pleural
Effusion and Hypertension Grade I. 4, 1–6 (2015).
17. Rosha, P. T., Sari, F. & Dewi, T. Faktor-faktor yang memengaruhi kualitas hidup
pasien penyakit paru obstruktif kronis. Berita Kedokteran Masyarakat. 62–66 (2018).