Anda di halaman 1dari 24

Mata Kuliah : Epidemiologi Penyakit Tidak Menular

Dosen Penanggung Jawab : Henni Kumaladewi Hengky, SKM, M.Kes

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK)

OLEH

KELOMPOK 3

NURAINUN ( KELAS A – 218240016)

DARMYATI (KELAS A – 216240089)

SABRIANI (KELAS C – 218240064)

ZALZIA (KELAS B – 218240046)

ULFAYANI (KELAS B – 218240050)

FAKULTAS ILMU KESEHATAN

UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH PAREPARE


TAHUN 2020
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat
dan hidayah-Nya lah kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul “Penyakit Paru
Obstruktif Kronis (PPOK)” sesuai dengan waktu yang telah ditentukan. Dan tak lupa pula
shalawat serta salam selalu tercurah untuk Baginnda Rasulullah Muhammad SAW yang telah
membawa risalah Islam dari sisi Allah sebagai petunjuk jalan hidup sekalian umat manusia.

Namun tidak lepas dari semua itu, kami menyadari sepenuhnya bahwa ada banyak
kekurangan dari makalah ini, baik dari segi penyusunan bahasa maupun segi lainnya. Tetapi
kami berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi para pembaca, terutama bagi kami
sendiri dalam menambah wawasan keilmuan mahasiswa-mahasiswa Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Muhammadiyah Parepare khususnya angkatan tahun 2018. Untuk itu, kami
mengharapkan adanya kritik, saran, dan usulan demi perbaikan di masa yang akan datang,
mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa sarana yang membangun.
DAFTAR PUSTAKA

KATA PENGANTAR..................................................................................................................................i
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................................................ii
BAB I.....................................................................................................................................................iii
PENDAHULUAN.....................................................................................................................................iii
A. Latar Belakang..........................................................................................................................iii
B. Tujuan Masalah..........................................................................................................................v
C. Manfaat......................................................................................................................................v
BAB II....................................................................................................................................................vi
TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................................................................vi
A. Definisi Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)....................................................................vi
B. Klasifikasi Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)...............................................................vii
C. Signifikasi Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)................................................................ix
D. Patofisiologi Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)..............................................................x
E. Kelompok Risti (Risiko Tinggi) Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)..............................xi
F. Distribusi Geografi Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK).................................................xii
G. Trend Waktu Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)..........................................................xiii
H. Faktor Risiko Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK).........................................................xiv
I. Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)...............................xvi
BAB III..................................................................................................................................................xix
PENUTUP.............................................................................................................................................xix
A. Kesimpulan.............................................................................................................................xix
B. Saran........................................................................................................................................xx
BAB IV.................................................................................................................................................xxii
DAFTAR PUSTAKA...............................................................................................................................xxii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan salah satu penyakit yang
memilki beban kesehatan tertinggi. World Health Organization (WHO) dalam Global
Status of Non-communicable Diseases tahun 2010 mengkategorikan PPOK ke dalam
empat besar penyakit tidak menular yang memiliki angka kematian yang tinggi setelah
penyakit kardiovaskular, keganasan dan diabetes (1).

PPOK (Penyakit Paru Obstruktif Kronik) disebabkan oleh adanya keterbatasan


aliran udara yang terus menerus yang diikuti respon inflamasi pada saluran napas dan
paru-paru akibat adanya partikel asing atau gas beracun . Respon inflamasi pada saluran
nafas yang dipicu oleh infeksi bakteri, virus atau polusi lingkungan akan menyebabkan
PPOK eksaserbasi akut yang ditandai dengan gejala dyspnea, batuk dan produksi
sputum. Patofisiologi dari respon inflamasi belum banyak diketahui tetapi biasanya
(3)
ditandai dengan meningkatnya neutrofil dan eosinofil pada dahak .

Penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) adalah salah satu dari masalah kesehatan
utama yang terjadi di dunia dan di Indonesia. Diperkirakan akan menjadi peringkat ke 3
pada tahun 2020 seiring dengan berkurangnya kematian oleh penyakit lain, dan penuaan
populasi dunia. Prevalensi PPOK di Asia diperkirakan sebesar 6,3% dengan prevalensi
(2)
tertinggi ada di Negara Vietnam dan Republik Rakyat Cina . Di Indonesia angka
kejadian dari beberapa sampel cukup tinggi yaitu di daerah DKI Jakarta 2,7%, Jawa
Barat 4,0%, Jawa Tengah 3,4%, DI Yogyakarta 3,1%, Jawa Timur 3,6% dan Bali 3,6%.
Angka dari penderita PPOK ini diperkirakan akan terus bertambah dikarenakan semakin
tingginya perokok di Indonesia dan udara yang tidak bersih akibat dari penggunaan
kendaraan bermotor serta asap yang ditimbulkan industri (3).

Biaya pengobatan PPOK mahal dan menjadi beban ekonomi dan sosial. Penyakit
ini berhubungan dengan beban ekonomi negara yang signifikan. Total biaya langsung di
Uni Eropa untuk mengobati penyakit pernafasan mencapai 6% dari total anggaran
belanja kesehatan, dimana PPOK menyerap 56% dari semua biaya pengobatan penyakit
pernafasan (2).

Biaya yang paling tinggi adalah diakibatkan kejadian eksaserbasi dari penyakit
ini. Kematian menjadi beban sosial yang paling buruk yang diakibatkan oleh PPOK,
namun diperlukan parameter yang bersifat konsisten untuk mengukur beban sosial.
Parameter yang dapat digunakan adalah Disability-Adjusted Life Year (DALY), yaitu
hasil dari penjumlahan antara Years of Life Lost (YLL) dan Years Lived with Disability
(YLD). Berdasarkan hasil perhitungan tersebut, diperkirakan pada tahun 2030, PPOK
akan menempati peringkat ketujuh, dimana sebelumnya pada tahun 1990 penyakit ini
menempati urutan keduabelas (1).

Gejala PPOK antara lain batuk, produksi sputum, sesak nafas, dan keterbatasan
aktivitas. Adanya disfungsi otot skeletal dapat menyebabkan penurunan kualitas hidup
penderita karena akan membatasi kapasitas latihan dari pasien PPOK. Penurunan
aktivitas pada kehidupan sehari hari akibat sesak nafas yang dialami pasien PPOK akan
mengakibatkan makin memperburuk kondisi tubuhnya (4).

Secara global, angka kejadian PPOK akan terus meningkat setiap tahunnya
dikarenakan tingginya peningkatan faktor risiko PPOK, diantaranya disebabkan
meningkatnya jumlah perokok, perkembangan daerah industri dan polusi udara baik dari
pabrik maupun kendaraan bermotor, terutama di kota-kota besar dan lokasi industri serta
pertambangan. Selain itu, peningkatan usia harapan hidup menyebabkan peningkatan
jumlah penduduk usia tua yang ikut berperan terhadap peningkatan insiden PPOK.
Kejadian PPOK sendiri lebih sering terjadi pada penduduk usia menengah hingga lanjut,
lebih sering pada laki-laki dari pada perempuan, serta kondisi sosial ekonomi yang
rendah dan pemukiman yang padat (5).

Tatalaksana PPOK masih belum memuaskan. Sampai sekarang belum ada metode
yang dapat menyembuhkan PPOK. Banyak pasien PPOK yang harus berjuang
menghadapi PPOK selama bertahun tahun dan kebanyakan mereka meninggal dunia
lebih cepat karena penyakit ini atau karena komplikasinya. Pada pasien perokok, berhenti
dan menjauhi rokok sangat penting. Pengobatan yang sesuai dapat mengurangi gejala
PPOK, mengurangi frekuensi dan beratnya eksaserbasi, dan meningkatkan status
kesehatan dan toleransi olahraga, namun, sampai saat ini belum ada pengobatan yang
dapat mencegah penurunan fungsi paru pada pasien PPOK (2).
B. Tujuan Masalah
Adapun tujuan masalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui pengertian Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK).


2. Untuk mengetahui klasifikasi Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK).
3. Untuk mengetahui signifikasi Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) .
4. Untuk mengetahui patofisiologi Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK).
5. Untuk mengetahui kelompok risiko tinggi Penyakit Paru Obstruktif Kronis
(PPOK).
6. Untuk mengetahui distribusi geografi Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK).
7. Untuk mengetahui trend Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK).
8. Untuk mengetahui faktor Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK).
9. Untuk mengetahui pencegahan dan pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronis
(PPOK).

C. Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa :
1. Dapat menambah pengetahuan masyarakat tentang Penyakit Paru Obstruktif
Kronis (PPOK) serta dapat meningkatkan kesadaran dan partisipasi masyarakat
dalam upaya deteksi dini Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK).
2. Dapat menambah wawasan bagi penulis tentang Penyakit Paru Obstruktif Kronis
(PPOK).
3. Hasil tulisan ini diharapkan dapat digunakan sebagai data pendukung atau bahan
perencanaan dalam pencegahan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK).
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)


Secara definisi penyakit paru obstruktif kronis (PPOK) dapat disebut sebagai
penyakit kronis progresif pada paru yang ditandai oleh adanya hambatan atau sumbatan
aliran udara yang bersifat irreversible atau reversible sebagian dan menimbulkan
konsekuensi ekstrapulmoner bermakna yang berkontribusi terhadap tingkat keparahan
(5)
pasien . Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) sebagai penyakit yang ditandai
dengan hambatan aliran udara di saluran nafas yang tidak sepenuhnya reversibel.
Hambatan aliran udara ini bersifat progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi
paru terhadap partikel atau gas yang beracun atau berbahaya (4).

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) didefinisikan sebagai penyakit atau


gangguan paru yang memberikan kelainan ventilasi berupa ostruksi saluran pernapasan
yang bersifat progresif dan tidak sepenuhnya reversible. Obstruksi ini berkaitan dengan
respon inflamasi abnormal paru terhadap partikel asing atau gas yang berbahaya (7).

The Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary Disease (GOLD) tahun
2014 mendefinisikan Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) sebagai penyakit respirasi
kronis yang dapat dicegah dan dapat diobati, ditandai adanya hambatan aliran udara yang
persisten dan biasanya bersifat progresif serta berhubungan dengan peningkatan respons
(1)
inflamasi kronis saluran napas yang disebabkan oleh gas atau partikel iritan tertentu .
PPOK adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran
napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial. PPOK terdiri dari
bronkitis kronik dan emfisema atau gabungan keduanya. PPOK terdiri dari bronkitis
kronik dan emfisema atau gabungan keduanya (6).

Bronkitis kronik merupakan kelainan saluran napas yang ditandai oleh batuk
kronik berdahak minimal 3 bulan dalam setahun, sekurang-kurangnya dua tahun
berturut-turut dan tidak disebabkan oleh penyakit lainnya. Emfisema adalah suatu
kelainan anatomis paru yang ditandai dengan adanya pelebaran rongga udara
distalbronkiolus terminal, disertai kerusakan dinding alveoli (6).

Akan tetapi menurut PDPI 2010, bronkitis kronik dan emfisema tidak
dimasukkan definisi PPOK, karena bronkitis kronik merupakan diagnosis klinis,
sedangkan emfisema merupakan diagnosis patologi. PPOK adalah penyakit yang umum,
dapat dicegah, dan dapat ditangani, yang memiliki karakteristik gejala pernapasan yang
menetap dan keterbatasan aliran udara, dikarenakan abnormalitas saluran napas dan/atau
alveolus yang biasanya disebabkan oleh pajanan gas atau partikel berbahaya (7).

B. Klasifikasi Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)


Klasifikasi PPOK berdasarkan hasil pengukuran FEV1 dan FVC dengan
spirometri setelah pemberian bronkodilator dibagi menjadi GOLD 1, 2, 3, dan 4.
Pengukuran spirometri harus memenuhi kapasitas udara yang dikeluarkan secara paksa
dari titik inspirasi maksimal (Forced Vital Capacity (FVC)), kapasitas udara yang
dikeluarkan pada detik pertama (Forced Expiratory Volume in one second (FEV1)), dan
rasio kedua pengukuran tersebut (FEV1/FVC). (8).

Berdasarkan kesepakatan para pakar (PDPI/ Perkumpulan Dokter Paru Indonesia)


tahun 2005 maka PPOK diklasifikasikan berdasarkan derajat berikut (7).

Derajat Gejala Klinis Spirometri Keterangan

GOLD 1 (ringan)  Dengan atau tanpa VEP1 ≥80% Pasien belum


batuk prediksi ( normal menyadari
 Dengan atau tanpa spirometri ) atau terdapatnya kelainan
produksi sputum VEP1/KVP<70% fungsi paru.
 Sesak napas, derajat Sesak kadang-
sesak 0 sampai kadang tapi
derajat sesak 1 tidak selalu, batuk
kronik
dan berdahak
GOLD 2 (sedang)  Dengan atau tanpa VEP1/KVP <70% Pada kondisi ini
batuk atau 50%< VEP1 pasien datang
 Dengan atau tanpa <80% prediksi. berobat karena
produksi sputum eksaserbasi atau
 Sesak napas, derajat keluhan pernapasan
sesak 2 (sesak kronik. Perburukan
timbul pada saat dari penyempitan
aktivitas) jalan napas, ada
sesak napas terutama
pada saat exercise
GOLD 3 (berat)  Sesak napas, derajat FEV1/FVC <70% Perburukan
sesak 3 30%≤ FEV1 <50 % penyempitan jalan
 Eksaserbasi lebih prediksi napas yang semakin
sering terjadi berat, sesak napas
bertambah,
kemampuan exercise
berkurang
berdampak pada
kualitas hidup
GOLD 4 (sangat  Sesak napas derajat FEV1/FVC <70% Sering disertai
berat) sesak 4 dengan gagal FEV1 < 30% komplikasi. Pada
napas kronik Prediksi atau FEV1< kondisi ini kualitas
 Eksaserbasi lebih 50% Prediksi hidup rendah dan
sering terjadi dengan gagal napas sering disertai
 Disertai komplikasi kronik eksaserbasi berat/
kor pulmonale atau mengancam Jiwa.
gagal jantung kanan
Sumber: kemenkes RI, 2011

Skala Sesak menurut Modified Medical Research Council (MMRC Dyspnea


(5)
Scale) .

Grade Keluhan sesak berdasarkan aktivitas


0 Sesak napas baru timbul jika melakukan kegiatan berat
1 Sesak napas timbul bila berjalan cepat pada lantai yang datar atau jika
berjalan di tempat yang sedikit landai
2 Jika berjalan bersama teman seusia dijalan yang datar, selalu lebih lambat;
atau jika berjalan sendirian dijalan yang datar sering beristirahat untuk
mengambil napas
3 Perlu istirahat untuk menarik napas setiap berjalan 100 meter atau setelah
berjalan beberapa menit
4 Timbul sesak napas ketika mandi atau berpakaian.

C. Signifikasi Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)


Secara global diperkirakan sekitar 65 juta orang menderita PPOK dan 3 juta
meninggal karena PPOK pada tahun 2006, dengan mewakili 5% dari seluruh kematian.
Total kematian akibat PPOK diproyeksikan akan meningkat lebih dari 30% pada 10
tahun mendatang. Peningkatan secara drastis pada dua dekade mendatang diperkirakan di
negaranegara Asia dan Afrika karena peningkatan pemakaian tembakau. Di Amerika
Serikat data tahun 2007 menunjukkan bahwa prevalensi PPOK sebesar 10,1% (SE 4,8)
pada lakilaki sebesar 11,8% (SE 7,9) dan untuk perempuan 8,5% (SE 5,8). Jumlah
penderita PPOK di Cina tahun 2006 mencapai 38,1 juta penderita, Jepang sebanyak 5
juta penderita dan Vietnam sebesar 2 juta penderita. Di Indonesia diperkirakan terdapat
sekitar 4,8 juta penderita PPOK. Angka ini bisa meningkat dengan semakin banyaknya
jumlah perokok karena 90% penderita PPOK adalah perokok atau bekas perokok (9).

Menurut Riset Kesehatan Dasar, pada tahun 2013 angka kematian akibat PPOK
menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab kematian di Indonesia dan prevalensi PPOK
rata-rata sebesar 3,7% kasus. Tingginya angka kejadian tersebeut diprediksi akan
menunduki peringkat ke-3 penyebab kematian di Indonesia pada tahun 2020 (10).

Data Surveilans Terpadu Penyakit Berbasis Puskesmas (STP) di Kota Kendari


tahun 2016 memberikan gambaran adanya kasus dari tahun ke tahun. Tahun 2014 jumlah
kunjungan penyakit PPOK sebanyak 124 kasus, tahun 2015 sebanyak 190 kasus dan
(9)
tahun 2016 menjadi 135 kasus .

Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) pada tahun 2012 menyatakan bahwa
PPOK merupakan penyakit yang menempati urutan ke empat penyebab kematian di
Indonesia. PPOK menjadi urutan pertama pada kelompok penyakit paru di Indonesia
dengan angka kesakitan (35%). Prevalensi PPOK tertinggi terdapat di Nusa Tenggara
Timur (10,0%), dan Sulawesi Selatan pada urutan ke tiga (6,7%). Data dari Profil Dinas
Kesehatan Provinsi Sulawesi Selatan menyatakan PPOK merupakan penyebab kematian
tertinggi penyakit tidak menular berbasis rumah sakit di Sulawesi Selatan yang
berjumlah 43 kasus (11).

D. Patofisiologi Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)


Hambatan aliran udara yang progresif memburuk merupakan perubahan fisiologi
utama pada PPOK yang disebabkan perubahan saluran nafas secara anatomi di bagian
proksimal, perifer, parenkim dan vaskularisasi paru dikarenakan adanya suatu proses
peradangan atau inflamasi yang kronik dan perubahan struktural pada paru. Dalam
keadaan normal, radikal bebas dan antioksidan berada dalam keadaan dan jumlah yang
seimbang, sehingga bila terjadi perubahan pada kondisi dan jumlah ini maka akan
menyebabkan kerusakan di paru. Radikal bebas mempunyai peranan besar menimbulkan
kerusakan sel dan menjadi dasar dari berbagai macam penyakit paru. Pajanan terhadap
faktor pencetus PPOK yaitu partikel noxius yang terhirup bersama dengan udara akan
memasuki saluran pernapasan dan mengendap hingga terakumulasi. Partikel tersebut
mengendap pada lapisan mukus yang melapisi mukosa bronkus sehingga menghambat
aktivitas silia. Akibatnya pergerakan cairan yang melapisi mukosa berkurang dan
menimbulkan iritasi pada sel mukosa sehingga merangsang kelenjar mukosa, kelenjar
mukosa akan melebar dan terjadi hiperplasia sel goblet sampai produksi mukus berlebih.
Produksi mukus yang berlebihan menimbulkan infeksi serta menghambat proses
penyembuhan, keadaan ini merupakan suatu siklus yang menyebabkan terjadinya
hipersekresi mukus. Manifestasi klinis yang terjadi adalah batuk kronis yang produktif (7).

Dampak lain yang ditimbulkan partikel tersebut dapat berupa rusaknya dinding
alveolus. Kerusakan yang terjadi berupa perforasi alveolus yang kemudian
mengakibatkan bersatunya alveoulus satu dan yang lain membentuk abnormal large-
airspace. Selain itu terjadinya modifikasi fungsi anti-protease pada saluran pernafasan
yang berfungsi untuk menghambat neutrofil, menyebabkan timbulnya kerusakan jaringan
interstitial alveolus. Seiring terus berlangsungnya iritasi di saluran pernafasan maka akan
terjadi erosi epitel serta pembentukan jaringan parut. Akan timbul juga metaplasia
skuamosa dan penebalan lapisan skuamosa yang menimbulkan stenosis dan obstruksi
ireversibel dari saluran nafas. Walaupun tidak menonjol seperti pada asma, pada PPOK
juga dapat terjadi hipertrofi otot polos dan hiperaktivitas bronkus yang menyebabkan
gangguan sirkulasi udara.
Pada bronkitis kronik terdapat pembesaran kelenjar mukosa bronkus, metaplasia
sel goblet, inflamasi, hipertrofi otot polos pernapasan serta distorsi akibat fibrosis. Pada
emfisema ditandai oleh pelebaran rongga udara distal bronkiolus terminal, disertai
kerusakan dinding alveoli yang menyebabkan berkurangnya daya regang elastis paru.
Terdapat dua jenis emfisema yang relevan terhadap PPOK, yaitu emfisema pan-asinar
dan emfisema sentri-asinar. Pada jenis pan-asinar kerusakan asinar bersifat difus dan
dihubungkan dengan proses penuaan serta pengurangan luas permukaan alveolus. Pada
jenis sentri-asinar kelainan terjadi pada bronkiolus dan daerah perifer asinar, yang erat
hubungannya dengan asap rokok.

Patofisiologi pada pasien PPOK menurut The Global Initiative for Chronic
Obstructive Pulmonary Disease 2017 sebagai berikut (8):

a) Keterbatasan aliran udara dan air trapping

b) Ketidak normalan pertukaran udara

c) Hipersekresi mukus

d) Hipertensi pulmuoal, tekanan darah tinggi yang ditemukan pada pembuluh darah
arteri paru dan di jantung sebelah kanan

e) Eksaserbasi, Orang dengan PPOK yang mengalami eksaserbasi adalah orang


yang sangat rentan dengan penyakit lainnya yang membuat keadaannya semakin
memburuk dan dapat mengancam jiwa

f) Gangguan sistemik

E. Kelompok Risti (Risiko Tinggi) Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)


Penyebab utama PPOK adalah rokok, asap polusi dari pembakaran, dan partikel
gas berbahaya. Obstruksi saluran napas pada PPOK bersifat irreversible dan terjadi
karena perubahan struktural pada saluran napas kecil yaitu inflamasi, fibrosis, metaplasi
sel goblet dan hipertropi otot polos penyebab utama obstruksi jalan napas. Kebiasaan
merokok merupakan satu-satunya penyebab kausal yang terpenting dari faktor penyebab
lainnya (12).

Berdasarkan data Sirkesnas tahun 2016, persentase orang yang merokok di


Indonesia menurut jenis kelamin paling tinggi pada laki-laki, yaitu 59% dan pada
perempuan yaitu, 1,6%. Berdasarkan kelompok umur, persentase merokok di Indonesia
paling tinggi pada usia 40-49 tahun yaitu 39,5 %, sedangkan persentase merokok paling
(13)
rendah pada usia di bawah 20 tahun yaitu 11,1% .

Jenis kelamin laki-laki yang berusia 40-49 tahun lebih berisiko tinggi terkena
penyakit PPOK, dikarenakan presentase merokoknya paling tinggi. Namun tidak
menutup kemungkinan perokok pasif juga berisiko tinggi terkena penyakit PPOK karena
menghirup gas beracun dari si perokok aktif. Prevalensi PPOK terus meningkat dengan
bertambahnya prevalensi perokok dan populasi usia lanjut, serta peningkatan polusi
udara. Sedangkan berdasarkan hasil SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) tahun
2001, 54,5% penduduk laki-laki dan 1,2% penduduk perempuan adalah perokok, dan
sebagian besar anggota rumah tangga adalah perokok pasif. Sedangkan jumlah perokok
(14)
yang berisiko PPOK atau kanker paru adalah sebesar 20-25% .

F. Distribusi Geografi Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)

Data Riskesdas 2013 berdasarkan karakteristik terlihat prevalensi PPOK semakin


meningkat seiring dengan bertambahnya usia. Prevalensi PPOK lebih tinggi pada laki-
laki (4,2%) dibanding perempuan (3,3%) dan mulai meningkat pada kelompok usia ≥ 25
tahun. Prevalensi PPOK lebih tinggi di perdesaan (4,5%) dibanding perkotaan (3,0%)
dan cenderung lebih tinggi pada masyarakat dengan pendidikan rendah (7,9%) (8).

Mereka yang hidup di kota besar memiliki tingkat PPOK lebih tinggi
dibandingkan dengan mereka yang hidup di pedesaan. Meskipun polusi udara di
perkotaan merupakan faktor yang berperan dalam eksaserbasi, perannya secara
menyeluruh sebagai penyebab PPOK masih belum jelas. Wilayah dengan kualitas udara
luar ruang yang rendah, termasuk dari gas buang, secara umum memiliki tingkat PPOK
yang lebih tinggi. Namun efek menyeluruh dalam kaitannya dengan merokok dianggap
kecil.

Sedangkan berdasarkan data sirkesnas tahun 2016 menurut klasifikasi


desa/kelurahan, persentase merokok hampir sama di daerah perkotaan dan perdesaan,
namun persentase merokok di perdesaan lebih tinggi yaitu 29,1% dan perkotaan 27,9%
(13)
.
G. Trend Waktu Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)
PPOK seringkali diderita pasien usia pertengahan dan berhubungan dengan
berbagai faktor risiko seperti merokok, polusi udara, usia, dan lain-lain. Data Badan
Kesehatan Dunia (WHO), menunjukkan tahun 1990 PPOK menempati urutan ke-6
sebagai penyebab utama kematian di dunia, pada tahun 2002 PPOK menempati urutan
(8)
ke-5 . RI tahun 2004 angka kejadian PPOK sebesar 13 dari 1000 orang penduduk,
dimana angka ini menempati urutan ke -5 terbesar sebagai penyebab kesakitan dari 10
penyebab kesakitan terbanyak (5). Dalam sebuah telaah sistematis dan meta analisis pada
28 negara antara tahun 1990 dan 2004 serta ditambah penelitian dari Jepang disebutkan
bahwa prevalensi PPOK lebih tinggi diderita pada perokok dan mantan perokok
dibanding bukan perokok, dengan usia >40 tahun lebih banyak dibanding <40 tahun,
dengan prevalensi pria lebih tinggi dibanding wanita (8).

Data Badan Kesehatan Dunia (WHO), menunjukkan bahwa 65 juta orang


beresiko menderita PPOK. Lebih dari 3 juta orang meninggal dunia karena PPOK pada
(16)
tahun 2005 (5% dari total kematian) . Menurut Riset Kesehatan Dasar 2007, PPOK
bersama asma bronkial menduduki peringkat ke enam sebagai penyakit penyebab
tersering kematian di Indonesia (5).

World Health Organization (WHO) dalam Global Status of Non-communicable


Diseases tahun 2010 mengkategorikan PPOK ke dalam empat besar penyakit tidak
menular yang memiliki angka kematian yang tinggi setelah penyakit kardiovaskular,
(1)
keganasan dan diabetes . Hasil laporan data Penyakit Tidak Menular oleh Sistem
Informasi Rumah Sakit (SIRS) tahun 2011, menunjukkan PPOK termasuk dalam 10
(4)
besar penyebab kematian PTM rawat inap di rumah sakit Indonesia sebesar 6,74 % .
Pada tahun 2012 angka kematian yang disebabkan PPOK mencapai 3 juta jiwa atau
(5)
secara proporsi sekitar 6% dari angka seluruh kematian dunia . Indonesia sebagai
negara dengan jumlah perokok tertinggi mempunyai prevalensi lebih besar. Data riset
kesehatan dasar tahun 2013 menunjukkan prevalensi PPOK mencapai 3,7% (17).

Menurut kemenkes sendiri pada tahun 2015 jumlsah pengidap PPOK mencapai
14,1 % popoulasi Indonesia dan menjadi penyebab kematian nomor tiga, membunuh
lebih dari 3 juta orang. Indonesia pun telah mengaturnya dalam keputusan menteri
kesehatan Republik Indonesia nomor 1022/MENKES/SK/XI/2008 tentang pedoman
(18)
pengendalian penyakit paru obstruktif kronis . Menurut GOLD pada tahun 2017
PPOK menduduki peringkat keempat penyebab kematian di dunia dan diperkirakan akan
menduduki peringkat ketiga penyebab kematian di dunia pada tahun 2020 (19).

H. Faktor Risiko Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)


PPOK mempunyai progresivitas yang lambat, diselingi dengan fase eksaserbasi
akut yang timbul secara periodik. Pada fase eksaserbasi akut terjadi perburukan yang
mendadak dari perjalanan penyakitnya yang disebabkan oleh suatu faktor pencetus dan
(5)
ditandai dengan suatu manifestasi klinis yang memberat . Adapun faktor risiko PPOK,
yaitu :

1. Kebiasaan Merokok
Kebiasaan merokok merupakan satu - satunya penyebab yang terpenting
dari PPOK daripada faktor penyebab lainnya. Prevalensi tertinggi terjadinya
gangguan respirasi dan penurunan faal paru adalah pada perokok. Usia mulai
merokok, jumlah bungkus pertahun, dan perokok aktif berhubungan dengan angka
kematian. Seseorang yang lebih sering menghisap rokok jenis non filter lebih
berisiko terkena PPOK 1-2 kali lipat dibandingkan seseorang yang menghisap
rokok jenis filter (4).
Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan (6) :
a. Riwayat merokok
 Perokok aktif
 Perokok pasif
 Bekas perokok
b. Derajat berat merokok dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah
rata-rata batang rokok dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun :
 Ringan : 0-200
 Sedang : 200-600
 Berat : >600
2. Faktor Usia
PPOK jarang mulai menyebabkan gejala yang dikenali secara klinis
sebelum mencapai usia 40 tahun. Kasus-kasus ini terkait dengan defisiensi bawaan
dari anti tripsinalfa-1. Ketidakmampuan ini dapat mengakibatkan seseorang
mengalami emfisema dan PPOK pada usia sekitar 20 tahun, yang berisiko menjadi
semakin berat jika mereka merokok (15).
3. Faktor Penjamu (Host)
Faktor pejamu (host) meliputi usia, genetik, hiper responsif jalan napas
(akibat pajanan asap rokok atau polusi) dan pertumbuhan paru (masa kehamilan,
berat lahir dan pajanan semasa anak-anak, penurunan fungsi paru akibat gangguan
pertumbuhan paru). Faktor genetik yang utama adalah defisiensi α1-antitripsin
(alfa 1-antiprotase).
α1-antitripsin adalah protein serum yang diproduksi oleh hepar dan pada
keadaan normal terdapat di paru untuk menghambat kerja enzim elastase neutrofi l
yang destruktif terhadap jaringan paru (4).
4. Riwayat Penyakit Pernapasan
Riwayat infeksi saluran pernapasan berat akan menyebabkan penurunan
fungsi paru dan meningkatkan gejala respirasi saat dewasa. Terdapat beberapa
kemungkinan yang dapat menjelaskan penyebab keadaan ini, karena seringnya
kejadian infeksi berat pada anak sebagai penyebab dasar timbulnya hiperesponsif
jalan napas yang merupakan faktor risiko pada PPOK. Dampak dari penyakit
pernapasan pada masa anak-anak pada perkembangan selanjutnya dari PPOK telah
sulit untuk dinilai karena kurangnya data longitudinal yang memadai (11).

Riwayat penyakit-penyakit paru yang secara klinis dapat menimbulkan


PPOK ialah asma bronkial, bronkhitis kronis, dan emfisema. Ketiga penyakit
tersebut masing- masing dapat berlanjut ke PPOK yang berat. Penderita bronkhitis
kronis dan emfisema biasanya seorang perokok berat, dan tidak merasakan gejala
apapun sampai di usia lanjut (11).

Banyak orang yang mengalami penyakit pernapasan yang bila mana bisa
memiliki dampak yang begitu signifikan terhadap kehidupan seharihari. Penyakit
pernapasan ada berbagai macam mulai dari akut sampai kronis. Terdapat jenis
penyakit pernapasan seperti penyakit asma, bronchitis, dan enfisema. Dimana
ketiga penyakit ini dapat disebabkan oleh infeksi virus, infeksi non bakteri, dan
asap rokok yang dapat berujung pada kejadian PPOK. Pengaruh berat badan lahir
rendah akan meningkatkan infeksi virus yang juga merupakan faktor risiko PPOK.
Baik infeksi virus dan bakteri memberikan peranan yang besar terhadap
patogenesis dan progresifitas PPOK. Kolonisasi bakteri misalnya rhinovirus pada
saluran napas berhubungan dengan peradangan saluran napas dan jelas sekali
berperan pada terjadinya eksaserbasi PPOK(11).
5. Jenis Kelamin
Faktor risiko jenis kelamin sebenarnya belum diketahui secara pasti
kaitannya dengan PPOK. Jenis kelamin pada PPOK ini dikaitkan dengan konsumsi
rokok, dimana lebih banyak ditemukan perokok pada laki-laki dibandingkan pada
wanita. Sebanyak 54,5 % penduduk laki-laki merupakan perokok dan hanya 1,2%
perempuan yang merokok (4).
6. Faktor Pekerjaan
Beberapa pekerjaan di mana pekerja terpapar dengan batu bara, silica dan
kapas seperti buruh tambang, pekerja tekstil dan pekerja semen, berhubungan
dengan meningkatkan risiko PPOK. Pajanan logam berat, dan asap las telah
(15)
dikenali menyebabkan emfisema sejak tahun 1950 .
7. Faktor Lingkungan
Terdapat bukti yang kuat bahwa PPOK diperburuk oleh polusi udara,
namun peran polusi dalam etiologi PPOK menunjukkan pengaruh yang lebih kecil
dibandingkan dengan merokok (15).
Polusi udara terdiri dari polusi di dalam ruangan (indoor) dan polusi di luar
ruangan (outdoor). Polusi udara dapat menimbulkan berbagai penyakit dan
gangguan fungsi tubuh, termasuk gangguan faal paru. Polusi udara juga dapat
meningkatkan kejadian asma bronkial dalam masyarakat (4).
8. Faktor Sosial Ekonomi
Sosial ekonomi dianggap sebagai faktor yang meningkatkan risiko PPOK.
Hal ini berkaitan dengan kemiskinan karena pemenuhan status gizi, kepadatan
pemukiman, paparan polusi, akses masyarakat terhadap pelayanan kesehatan, dan
infeksi (4).

I. Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK)


1. Pencegahan PPOK

a. Mencegah terjadinya PPOK dengan menghindari asap rokok, hindari polusi


udara, hindari infeksi saluran pernapasan berulang(5).
b. Mencegah perburukan PPOK dengan berhenti merokok, gunakan obat-obatan
adekuat, mencegah eksaserbasi berulang. Strategi yang dianjurkan oleh Public
Health Service Report USA adalah: ask, lakukan identifikasi perokok pada
setiap kunjungan; advice, terangkan tentang keburukan/dampak merokok
sehingga pasien didesak mau berhenti merokok; assess, yakinkan pasien untuk
berhenti merokok; assist, bantu pasien dalam berhenti merokok; dan arrange,
jadwalkan kontak usaha berikutnya yang lebih intesif, bila usaha pertama
masih belum memuaskan(5).

2. Pengendalian PPOK

Mengacu pada pendekatan WHO dalam pengendalian penyakit tidak


menular, visi dan misi departemen kesehatan. Kebijakan dan starategi nasional
pencegahan dan penanggulangan penyakit tidak menular tahun 2003 dan peraturan
menteri kesehatan nomor 1575/Menkes/Per/XI/2005 tentang organisasi dan tata
kerja departemen kesehatan(20).

Dengan memperhatikan bahwa PPOK adalah penyakit kronik degeneratif


yang memiliki faktor risiko baik yang dapat dimodifikasi maupun yang tidak dapat
dimodifikasi dan faktor-faktor risiko tersebut merupakan faktor risiko bersama
penyakit tidak menular lainnya (osteoporosis, jantung, kanker, diabetes melitus, dll)
maka program pengendaliannya bersifat komperhensif, integratif, sepanjang hayat,
dan dilaksanakan ecara bertahap(20).

 Program pengendalian PPOK meliputi:

a) Penyuluhan (KIE) komunikasi, informasi, edukasi

b) Kemitraan

c) Perlindungan khusus

d) Penemuan dan tatalaksana khusus termasuk deteksi dini PPOK

e) Surveilans epidemiologi (kasus termasuk kematian dan faktor risiko)

f) Upaya peningkatan peran serta masyarakat dalam pencegahan PPOK


melalui kajian aspek sosial budaya dan perilaku masyarakat

g) Pemantauan dan penilaian


 Starategi pengendalian PPOK meliputi:

a) Menggerakkan dan memberdayakan masyarakat dalam pencegahan PPOK

b) Memfasilitasi dan mendorong tumbuhnya gerakan dalam pencegahan


PPOK di masyarakat

c) Memfasilitasi kebijakan publik dalam pengendalian PPOK

d) Meningkatkan kemampuan SDM dalam pengendalian PPOK

e) Meningkatkan sistem surveilans epidemiologi

f) Meningkatkan akses masyarakat terhadap pelayanan yang berkualitas

g) Melaksanakan sosialisasi dan advokasi pada pemerintah daerah, legislatif,


dan stakeholder dalam memberikan dukungan pendanaan dan operasional

 Kebijakan pengendalian PPOK meliputi:

a) Pengendalian PPOK didasari pada pendekatan pelayanan komprehensif,


terintegrasi, sepanjang hayat yang didukung partisipasi dan pemberdayaan
masyarakat dalam pencegahan PPOK serta sesuai dengan kondisi masing-
masing daerah

b) Pengendalian PPOK dilaksanakan melalui pengembangan kemitraan dan


jejaring kerja secara multidisiplin dari lintas sektor

c) Pengendalian PPOK dikelola secara profesional, berkualitas dan


terjangkau oleh masyarakat serta didukung oleh sumber daya yang
memadai.

d) Peningkatan peran pemerintah daerah dalam pengendalian PPOK

e) Pengembangan sentra rujukan, surveilans epidemiologi dan sentinel


penyakit tidak menular khususnya PPOK (20).
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) didefinisikan sebagai penyakit atau


gangguan paru yang memberikan kelainan ventilasi berupa ostruksi saluran
pernapasan yang bersifat progresif dan tidak sepenuhnya reversible.

2. Klasifikasi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) ada empat, yaitu ; 1. GOLD 1
ringan : Pasien belum menyadari terdapatnya kelainan fungsi paru, 2. GOLD 2
sedang : Pada kondisi ini pasien datang berobat karena eksaserbasi atau keluhan
pernapasan kronik, 3. GOLD 3 berat : Perburukan penyempitan jalan napas yang
semakin berat, sesak napas bertambah, kemampuan exercise berkurang berdampak
pada kualitas hidup, 4. GOLD 4 sangat berat : Sering disertai komplikasi. Pada
kondisi ini kualitas hidup rendah dan sering disertai eksaserbasi berat/ mengancam
Jiwa.
3. Signifikasi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) beragam misalnya, secara
global diperkirakan sekitar 65 juta orang menderita PPOK dan 3 juta meninggal
karena PPOK pada tahun 2006, dengan mewakili 5% dari seluruh kematian.
Kemudian menurut Riset Kesehatan Dasar, pada tahun 2013 angka kematian akibat
PPOK menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab kematian di Indonesia dan
prevalensi PPOK rata-rata sebesar 3,7% kasus.
4. Patofisiologi Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) ada enam diantaranya,
keterbatasan aliran udara, ketidak normalan pertukaran udara, hipersekresi mukus,
hipertensi pulmuoal, eksaserbasi dan gangguan sistemik.
5. Kelompok risti (risiko tinggi) Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) ada dua.
Pertama seorang perokok, baik ituperokok aktif maupun perokok pasif. Kedua
riwayat penyakit, utamanya penyakit respirasi misalnya asma.
6. Distribusi geografis Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK), masyarakat yang
tinggal di daerah perkotaan memiliki risiko lebih tinggi terkena PPOK dibandingkan
dengan masyarakat yang tinggal di daerah pedesaan.
7. Trend waktu Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) pada tahun 2015 menurut
Kemenkes, jumlah pengidap PPOK mencapai 14,1 % popoulasi Indonesia dan
menjadi penyebab kematian nomor tiga, yang membunuh lebih dari 3 juta orang.
Kemudian, menurut The Global Initiative for Chronic Obstructive Pulmonary
Disease (GOLD) pada tahun 2017 PPOK menduduki peringkat keempat penyebab
kematian di dunia dan diperkirakan akan menduduki peringkat ketiga penyebab
kematian di dunia pada tahun 2020.
8. Faktor risiko Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) yaitu, kebiasaan merokok,
faktor usia, faktor penjamu (Host), jenis kelamin, faktor pekerjaan, faktor
lingkungan, riwayat penyakit pernapasan dan faktor sosial ekonomi.
9. Pencegahan dan pengendalian Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK). Adapun
pencegahan PPOK yang dapat dilakukan antara lain ; hindari asap rokok, hindari
polusi udara, berhenti merokok, hindari paparan dari pekerjaan dan ketahui riwayat
penyakit keluarga. Pengendalian PPOK yaitu ; penyuluhan komunikasi, informasi,
edukasi (KIE), upaya peningkatan peran serta masyarakat dalam pencegahan PPOK,
memfasilitasi dan mendorong tumbuhnya gerakan dalam pencegahan PPOK di
masyarakat, meningkatkan sistem surveilans epidemiologi, peningkatan peran
pemerintah daerah dalam pengendalian PPOK dan meningkatkan akses masyarakat
terhadap pelayanan yang berkualitas.

B. Saran
1. Bagi Petugas Kesehatan
Hendaknya dapat meningkatkan preventive care dalam pencegahan dan
penanggulangan PPOK. Dengan melakukan penyuluhan tentang Penyakit Paru
Obstruktif Kronik (PPOK) sebagai salah satu proses peningkatan pengetahuan,
kemauan dan kemampuan masyarakat sehingga masyarakat dapat memelihara,
meningkatkan dan melindungi kesehatannya terhadap Penyakit Paru Obstruktif
Kronik (PPOK).
2. Bagi Masyarakat
Untuk masyarakat khususnya perokok, baik perokok aktif maupun perokok
pasif, merupakan yang paling rentan terkena PPOK. Oleh karena itu, masyarakat
hendaknya memeriksakan diri ke pusat pelayanan kesehatan.
3. Bagi Pemerintah
Penyakit Paruh Obstruktif Kronik(PPOK), merupakan salah satu penyakit tidak
menular sebagai penyebab kematian terbesar, bukan hanya di Indonesia melainkan
di seluruh dunia. Maka dari itu hendaknya pemerintah dapat mengambil suatu
kebijakan dalam pengendalian PPOK di Indonesia.
BAB IV

DAFTAR PUSTAKA

1. Soeroto, A. Y. & Suryadinata, H. Penyakit Paru Obstruktif Kronik. Divisi Respirologi


dan Kritis Respirasi Departemen Ilmu Penyakit Dalam RS Dr Hasan Sadikin - FK
Unpad. (2014).

2. Retno. PENYAKIT PARUH OBSTRUKTIF KRONIK BAB I PENDAHULUAN


(UNIVERSITAS ANDALAS). vol. 2010 (2019).

3. Intani, S. PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK BAB I PENDAHULUAN


(UNVERSITAS MUHAMMADIYAH SURAKARTA). 1–9 (2018).

4. Safitri, Y. FAKTOR RISIKO YANG BERHUBUNGAN DENGAN DERAJAT


KEPARAHAN PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (UNIVERSITAS
NEGERI SEMARANG). (2016).

5. Lindayani, L. P. & Tedjamartono, T. D. PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIS


(PBL UNIVERSITAS UDAYANA). (2017).

6. Indonesia, P. D. P. PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK ( PPOK )


PEDOMAN DIAGNOSIS & PENATALAKSANAAN DI INDONESIA. 1973–2003
(2003).

7. Septidiani. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (Univesitas Muhammadiyah Semarang).


(2016).

8. Resti Yudhawati, & Y. D. P. Imunopatogenesis Penyakit Paru Obstruktif Kronik. 4,


19–25 (2018).

9. Ismail, L., Sahrudin, S. & Ibrahim, K. Analisis Faktor Risiko Kejadian Penyakit Paru
Obtruktif Kronik (Ppok) Di Wilayah Kerja Puskesmas Lepo- Lepo Kota Kendari
Tahun 2017. J. Ilm. Mhs. Kesehat. Masy. Unsyiah 2, 198210 (2017).

10. R, Z., Nessa, N. & Athifah, Y. Analisis Ketepatan Pemilihan Dan Penentuan Regimen
Obat Pada Pasien Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK). JSFK (Jurnal Sains Farm.
Klin. 6, 158–163 (2019).

11. Qamila, B., Ulfah Azhar, M., Risnah, R. & Irwan, M. Efektivitas Teknik Pursed
Lipsbreathing Pada Pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik (Ppok): Study Systematic
Review. J. Kesehat. 12, 137 (2019).

12. Napanggala, A. Penyakit Paru Obstruktif Kronis ( PPOK ) dengan Efusi Pleura dan
Hipertensi Tingkat I Chronic Pulmonary Obstructive Disorder ( COPD ) with Pleural
Effusion and Hypertension Grade I. 4, 1–6 (2015).

13. Kemenkes.RI. Profil Penyakit Tidak Menular. (2016).

14. Kristiningrum, E. Farmakoterapi Penyakit Paru Obstruksi Kronik ( PPOK ). Cermin


Dunia Kedokt. 46, 262–271 (2019).

15. Muhamad, S. N. GAMBARAN FUNGSI KOGNITIF PADA PENDERITA


PENYAKIT PATU OBSTRUKTIF KRONIS DI RSU KABUPATEN TANGERANG
TAHUN 2015 (UNIVERSITAS ISLAM NEGERI). (2016).

16. Permatasari, C. Y. STUDI PENGGUNAAN KORTIKOSTEROID PADA PASIEN


PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIS ( PPOK ) DI RSUD DR . SOETOMO
SURABAYA (UNIVERSITAS AIRLANGGA). (2016).

17. Rosha, P. T., Sari, F. & Dewi, T. Faktor-faktor yang memengaruhi kualitas hidup
pasien penyakit paru obstruktif kronis. Berita Kedokteran Masyarakat. 62–66 (2018).

18. Anggara, F. D. Deteksi Obstruktif Sebagai Upaya Penanggulangan Penyakit Paru


Kronis (Universitas Sebelas Maret).

19. Mojau, F. EVALUASI RASIONALITAS ANTIBIOTIKA PADA PASIEN


TERDIAGNOSA PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) DI RSUD
SLEMAN PERIODE 2017 (UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA).
(2018).

20. Salawati, L. HUBUNGAN MEROKOK DENGAN DERAJAT PENYAKIT PARU


OBSTRUKSI KRONIK. 165–169 (2016).

Anda mungkin juga menyukai