Disusun Oleh :
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Konsep Dasar Penyakit dan
NCP pada PPOK (PENYAKIT PERNAFASAN OBSTRUKSI KRONIS) ini tepat pada
waktunya. Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Ibu
Ns. Tuti Sulastri M.Kep pada mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah I. Selain itu, makalah
ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang komunikasi dalam keperawatan bagi para
pembaca dan juga bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada ibu Ns. Tuti Sulastri M.Kep yang telah
memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan
bidang studi yang kami tekuni. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang
telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan makalah
ini
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
A. Definisi ..............................................................................................................1
B. Etiologi ..............................................................................................................1
F. Penatalaksana.....................................................................................................6
A. Pengkajian .........................................................................................................11
D. Intervensi ...........................................................................................................15
E. Implementasi .....................................................................................................18
F. Evaluasi .............................................................................................................18
iii
PPOK (PENYAKIT PERNAFASAN OBSTRUKSI KRONIK)
1. KONSEP PENYAKIT
A. Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan sekelompok penyakit paru-
paru yang ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai
gambaran patofisiologi utamanya dan berlangsung lama (Somantri, 2012). PPOK
juga merupakan penyakit paru kronik yang bersifat progressif nonreversibel atau
reversibel parsial ditandai oleh adanya hambatan aliran udara di saluran napas (Tana,
2016). PPOK merupakan penyakit yang umum, dapat dicegah dan diobati yang
ditandai dengan gejala pernapasan persisten dan keterbatasan aliran udara yang
disebabkan oleh saluran napas atau kelainan alveolar yang biasanya disebabkan oleh
paparan signifikan terhadap partikel atau gas yang berbahaya (GOLD, 2017)
PPOK atau penyakit paru obstruktif kronik adalah penyakit yang ditandai dengan
keterbatasan aliran udara yang terus menerus yang biasanya progresif. yang
berhubungan dengan respon inflamasi kronis pada saluran napas dan juga paru ynag
disebabakna oleh partikel berbahaya ataupun gas berbahaya. Penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK) merupakan salah satu dari kelompok penyakit tidak menular yang
telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Hal ini disebabkan oleh
meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor risiko,
seperti faktor pejamu yang diduga berhubungan dengan kejadian PPOK, semakin
banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda, serta pencemaran
udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan dan di tempat kerja.
B. Etiologi
Ada beberapa faktor resiko utama berkembangnya penyakit ini, yang dibedakan
menjadi faktor paparan lingkungan dan faktor host. Beberapa faktor paparan lingkungan
antara lain adalah :
1. Merokok Merokok merupakan penyebab utama terjadinya PPOK, dengan risiko 30
kali lebih besar pada perokok dibanding dengan bukan perokok, dan merupakan
penyebab dari 85-90% kasus PPOK. Kurang lebih 15-20% perokok akan mengalami
PPOK. Kematian akibat PPOK terkait dengan banyaknya rokok yang dihisap, umur
1
mulai merokok, dan status merokok yang terakhir saat PPOK berkembang. Namun
demikian, tidak semua penderita PPOK adalah perokok. Kurang lebih 10 % orang
yang tidak merokok juga mungkin menderita PPOK. Perokok pasif (tidak merokok
tetapi sering terkena asap rokok) juga berisiko menderita PPOK.
2. Pekerjaan Para pekerja tambang emas atau batu bara, industri gelas dan keramik yang
terpapar debu silika, atau pekerja yang terpapar debu katun dan debu gandum, toluene
diisosianat, dan asbes, mempunyai risiko yang lebih besar daripada yang bekerja di
tempat selain yang disebutkan di atas.
3. Polusi udara Pasien yang mempunyai disfungsi paru akan semakin memburuk
gejalanya dengan adanya polusi udara. Polusi ini bisa berasal dari luar rumah seperti
asap pabrik, asap kendaraan bermotor, dll, maupun polusoi dari dalam rumah
misalnya asap dapur.
4. Infeksi Kolonisasi bakteri pada saluran pernafasan secara kronis merupakan suatu
pemicu inflamasi neurotofilik pada saluran nafas, terlepas dari paparan rokok. Adanya
kolonisasi bakteri menyebabkan peningkatan kejadian inflamasi yang dapat diukur
dari peningkatan jumlah sputum, peningkatan frekuensi eksaserbasi, dan percepatan
penurunan fungsi paru, yang semua ini meningkatkan risiko kejadian PPOK.
Sedangkan faktor risiko yang berasal dari host/pasiennya antara lain :
a) Usia Semakin bertambah usia, semakian besar risiko menderita PPOK. Pada
pasien yang didiagnosa PPOK sebelum usia 40 tahun, kemungkinan besar dia
menderita gangguan genetik berupa defisiensi α1-antitripsin.
b) Jenis kelamin Laki-laki lebih berisiko terkena PPOK daripada wanita, mungkin
ini terkait dengan kebiasaan merokok pada pria. Namun ada kecendrungan 7
peningkatan prevalensi PPOK pada wanita karena meningkatnya jumlah wanita
yang merokok.
c) Adanya gangguan fungsi paru yang sudah terjadi Adanya gangguan fungsi paru-
paru merupakan faktor risiko terjadinya PPOK,misalnya defisiensi
Immunoglobulin A (IgA/ hypogammaglubulin) atau infeksi pada masa kanak-
kanak seperti TBC dan bronkiektasis. Orang yang pertumbuhan parunya tidak
normal karena lahir dengan berat badan rendah, ia memiliki risiko lebih besar
untuk mengalami PPOK.
d) Predisposisi genetik, yaitu defisiensi a1-antitripsin (AAT) Defisiensi AAT ini
terutama dikaitkan dengan emfisema, yang disebabkan oleh hilangnya elastisitas
jaringan di dalam paru-paru secara progresif karena adanya ketidakseimbangan
antara enzim proteolitik dan faktor protektif
2
C. Patofisiologi / Pathway
Patofisiologi PPOK
Onset (awal terjadinya penyakit) biasanya pada usia pertengahan dan tidak hilang
dengan pengobatan. Didefinisikan sebagai PPOK jika pernah mengalami sesak napas
yang bertambah ketika beraktifitas dan atau bertambah dengan meningkatnya usia
disertai batuk berdahak atau pernah mengalami sesak napas disertai batuk berdahak
(Kementerian Kesehatan RI, 2013).
Asap rokok atau polutan dapat memicu inflamasi yang dapat merusak paruparu.
Secara nomal silia dan mucus di bronkus melindungi dari inhalasi iritan. Namun,
iritasi yang terjadi secara terus-menerus yang berasal dari asap rokok atau polutan
dapat memicu inflamasi yang dapat merusak paru-paru yang menyebabkan respon
yang berlebihan pada mekanisme pertahanan mukosiliar yaitu penjagaan terhadap
paru-paru yang dilakukan oleh mucus dan silia.
3
Pathway PPOK
PPOK terdiri dari 2 jenis penyakit yaitu Bronkitis Kronik dan Emfisema.
Kedua penyakit ini dapat terjadi bersamaan atau hanya salah satu saja. Gejala dan
tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan hingga berat.
Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan sampai kelainan jelas dan tanda
inflasi paru.
Faktor Resiko PPOK :
1. Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
2. Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
3. Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
4. Pada Bayi berat badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang,
lingkunganasap rokok dan polusi udara
5. Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
6. Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi (wheezing)
4
Pada tahap-tahap, PPOK jarang menunjukkan gejala dan tanda khusus. Gejala
penyakit ini baru muncul ketika sudah terjadi kerusakan yang signifikan pada
paru-paru, umumnya dalam waktu bertahun-tahun.
Terdapat sejumlah gejala PPOK yang bisa terjadi dan sebaiknya diwaspadai
seperti: batuk berdarah yang tidak kunjung sembuh dengan warna lender dahak
agak berwarna kuning atau hijau, pernafasan sering tersengal-sengal, terlebih lagi
saat melakukan aktivitas fisik, mengi atau sesak napas dan berbunyi, lemas,
penurunan berat badan, nyeri dada, kaki, pergelangan kaki, atau tungkai menjadi
bengkak, dan bibir atau kuku jari berwarna biru (Susanti, 2019)
F.PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan PPOK bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi obstruksi
yang terjadi seminimal mungkin agar secepatnya oksigenasi dapat kembali normal.
Keadaan ini diusahakan dan dipertahankan untuk menghindari perburukan penyakit.
Secara garis besar penatalaksanaan PPOK dibagi menjadi 4 kelompok, sebagai berikut:
1. Penatalaksanaan umum Penatalaksanaan umum meliputi pendidikan pada pasien
dan keluarga, menghentikan merokok dan zat-zat inhalasi yang bersifat iritasi,
menciptakan lingkungan yang sehat, mencukupi kebutuhan cairan, mengkonsumsi
diet yang cukup dan memberikan imunoterapi bagi pasien yang punya riwayat
alergi.
2. Pemberian obat-obatan
a. Bronkodilator Bronkodilator merupakan obat utama untuk mengurangi/mengatasi
obstruksi saluran nafas yang terdapat pada penyakit paru obstruktif. Obatobat
golongan bronkodilator adalah obat-obat utama untuk manajemen PPOK.
Bronkodilator golongan inhalasi lebih disukai terutama jenis long acting karena
lebih efektif dan nyaman, pilihan obat diantarnya adalah golongan β2 Agonis,
Antikolinergik, Teofilin atau kombinasi. (GOLD, 2006; Sharma, 2010)
Bronkodilator tergolongkan menjadi beta-agonist (salbutamol 2.5-5 mg;
salmeterolatau formoterol diberikan 2x/hari), anti kolinergik (ipatropium bromide
20 mg atau 40 mg; tiotrotium bromide 18 mg 1x/hari pagi hari) dan theophyllines
10-20mg/l atau 100-600 per oral). Pemberian bronkodilator dapat membantu
pasien mengurangi sesak serta meningkatkan toleransi latihan/aktifitas dengan
mengurangi air-trapping dan meningkatkan efisiensi otot pernafasan. Kombinasi
dari obat-obat tersebut efektif mengontrol gejala yang muncul pada pasien. Reaksi
merugikan yang dilaporkan meliputi sakit kepala, insomnia, tremor, hipertensi,
aritmia, hiperglikemia, mual dan muntah (Deglin & Vallerand, 2005).
7
Beklometason, 100 µg (2 isapan) 4 kali sehari, dapat diberikan sementara
prednisone dikurangi secara perlahan-lahan. Efek samping dari pemberian obat ini
diantaranya depresi, anoreksia, ulkus peptikum, supresi adrenal, penurunan berat
badan dan kerentanan terhadap infeksi (Deglin & Vallerand, 2005).
f. Obat-obat lainnya
1) Vaksin Pemberian vaksin influenza dapat mengurangi risiko penyakit yang parah
dan menurunkan angka kematian sekitar 50 %. Vaksin mengandung virus yang
telah dilemahkan lebih efektif diberikan kepada pasien PPOK lanjut, yang
diberikan setiap satu tahun sekali. Vaksin Pneumokokkal Polisakarida dianjurkan
untuk pasien PPOK usia 65 tahun keatas (GOLD, 2006).
2) Alpha-1 Antitripsin Alpha 1 Antitripsin direkomendasikan untuk pasien PPOK
dengan usia muda yang mengalami defisiensi enzim Alpha 1 Antitripsin sangat
berat. Namum terapi ini sangat mahal dan belum tersedia disetiap negara (GOLD,
2006).
3) Antibiotik Pada pasien PPOK infeksi kronis pada saluran nafas biasanya berasal
dari Streptococcus Pneumonia, Haemophilus Influensa dan Moraxella Catarrhlis.
Diperlukan pemeriksaan kultur untuk mendapatkan antibiotik yang sesuai. Tujuan
pemberian antibiotika adalah untuk mengurangi lama dan beratnya eksaserbasi
akut, yang ditandai oleh peningkatan produksi sputum, dipsnue, demam dan
leukositosis (GOLD, 2006; Sharma, 2010).
4) Mukolitik Mukolitik diberikan untuk mengurangi produksi dan kekentalan sputum.
Sputum kental pada pasien PPOK terdiri dari derivat glikoprotein dan derivate
lekosit DNA (GOLD, 2006). Sebagian besar pasien PPOK mengalami batuk kronis
dan memproduksi sputum. Pemberian codeine 15 mg (5 ml) 3-4 x/hari dapat
mengurangi gangguan tidur pada pasien akibat batuk. Mukolitik semacam
carbocysteine dengan dosis 750 mg 3x/hari dan mecysteine hydrochloride 200 mg
4x/hari adalah obat-obat yang dapat mengencerkan dan memudahkan pengeluaran
sputum. Efek samping meliputi mual, muntah, stomatitis, diare dan nyeri lambung
(Deglin & Vallerand, 2005).
5) Agen antioksidan Agen antioksi dan khususnya N-Acetilsistein telah dilaporkan
mengurangi frekuensi eksaserbasi pada pasien PPOK (GOLD, 2006).
6) Imunoregulator Pada sebuah studi penggunaan imuniregulator pada pasien PPOK
dapat menurunkan angka keparahan dan frekuensi eksaserbasi (GOLD, 2006).
7) Antitusif Meskipun batuk merupakan salah satu gejala PPOK yang merepotkan,
8
tetapi batuk mempunyai peran yang signifikan sebagai mekanisme protektif.
Dengan demikian penggunaan antitusif secara rutin tidak direkomendasikan pada
PPOK stabil (GOLD, 2006).
8) Vasodilator Berbagai upaya pada hipertensi pulmonal telah dilakukan
diantaraanya mengurangi beban ventrikel kanan, meningkatkan curah jantung, dan
meningkatkan perfusi oksigen jaringan. Hipoksemia pada PPOK terutama
disebabkan oleh ketidakseimbangan antara ventilasi dan perfusi bukan karena
peningkatan shunt intrapulmonari (seperti pada oedem paru nonkardiogenik)
dimana pemberian oksida nitrat dapat memperburuk keseimbangan ventilasi dan
perfusi. Sehingga oksida nitrat merupakan kontraindikasi pada PPOK stabil
(GOLD, 2006).
9) Narkotin (Morfin) Morfin secara oral ataupun parenteral efektif untuk
mengurangi dipsnue pada pasien PPOK pada tahap lanjut. Nikotin juga diberikan
sebagai obat antidepresan pada pasien dengan dengan sindrom paska merokok
(GOLD, 2006; Sharma, 2010).
G. Terapi oksigen
PPOK umumnya dikaitkan dengan hipoksemia progresif, pemberian terapi
oksigen bertujuan untuk mempertahankan hemodinamika paru. Sebuah penelitian
yang dilakukan oleh The British Medical Research Council (MRC) dan the
National Heart, Lung, and Blood Institute's Nocturnal Oxygen Therapy Trial
(NOTT) menunjukkan bahwa terapi oksigen jangka panjang dapat meningkatkan
kelangsungan hidup 2 kali lipat pada hipoksemia pasien PPOK. Hipoksemia
didefinisikan sebagai Pa O2 kurang dari 55 mmHg atau saturasi oksigen kurang
dari 90%. Gejala gangguan tidur, gelisah, sakit kepala mungkin merupakan
petunjuk perlunya oksigen tambahan. Terapi oksigen dengan konsentrasi rendah 1-
3 liter/menit secara terus menerus dapat memberikan perbaikan psikis, koordinasi
otot, toleransi beban kerja dan pola tidur. Terapi oksigen bertujuan memperbaiki
kandungan oksigen arteri dan memperbanyak aliran oksigen ke jantung, otak serta
organ vital lainnya, memperbaiki vasokonstriksi pulmonal dan menurunkan
tekanan vaskular pulmonal. (Shama, 2010).
10
2. KONSEP NURSE CARE PLANNING
A. PENGKJIAN
a. Identitas Klien
1) Usia : PPOK akan berkembang secara perlahan selama bertahun-tahun.Gejala
penyakit umumnya muncul pada pengidap yang berusia 35 hingga 40 tahun.
2) Jenis Kelamin :Sebelumnya jenis kelamin pasien PPOK lebih sering terjadi pada
laki-laki, tetapi karena peningkatan penggunaan tembakau dikalangan
perempuan di negara maju dan risiko yang lebih tinggi dari paparan polusi udara
didalam ruangan (misalnya bahan bakar yang digunankan untuk memasak dan
pemanas) pada negara-negara miskin, penyakit ini sekarang mempengaruhi laki-
laki dan perempuan hampir sama (ismail et al., 2017)
3) Tempat tinggal : Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tempat tinggal di
pedesaan meningkatkan peluang terjadinya PPOK, asosiasi ini dibuhungkan
dengan paparan terkait pertanian (Burkes et al., 2018). Terdapat penelitian juga
menyebutkan bahwa tempat tinggal di perkotaan juga termasuk faktor risiko
yang berhubungan dengan PPOK, berkaitan dengan paparan asap atau polutan di
luar ruangan di perkotaan terutama di Indonesia (Sana, Somda, Meda, &
Bouland, 2018).
b. Keluhan Utama
Keluhan yang sering dikeluhkan oleh orang dengan penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK) adalah Sesak napas yang bertambah berat bila aktivitas, kadang- kadang
disertai mengi, batuk kering atau dengan dahak yang produktif, rasa berat di dada (PDPI,
2011).
Pasien dengan PPOK biasanya akan mengalami batuk, sesak napas, nyeri
pleuritik, rasa berat pada dada, berat badan menurun. Perlu juga ditanyakan mulai
kapan keluhan itu muncul, apa tindakan yang telah dilakukan untuk menurunkan
atau menghilangkan keluhan tersebut
h. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi
Peningkatan usaha dan frekuensi pernapasan, serta penggunaan otot bantu
nafas (sternokleidomastoid).
b. Palpasi
Pada palpasi, ekspansi meningkat dan taktil fremitus biasanya menurun
c. Perkusi
Pada perkusi, didapatkan suara normal sampai hipersonor, sedangkan
diafragma mendatar/menurun.
d. Auskultasi
Sering didapatkan adanya suara nafas ronkhi dan wheezing sesuai
tingkat keparahan obstruktif pada bronkhiolus.
12
B. ANALISA DATA
No Data Etiologi Problem
1. DS : Terpapar polusi udara yang terus Bersihan jalan nafas
sesak nafas
Penurunan ventilasi
Peningkatan RR
13
Reaksi otot bantu nafas
Klien mengatakan
tidak bisa beraktivitas Akumulasi sekret pada jalan
Klien mengatakan nafas
sesaknya bertambah
saat beraktivitas Gangguan pertukaran gas
DO :
Kelemahan
Intoleransi aktivitas
C. DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Bersihan jalan napas tidak efetif berhubungan dengan spasme jalan nafas,
hipersekresi dijalan nafas, sekresi yang tertahan dibuktikan dengan batuk tidak
efektif, sputum berlebih, mengi, wheezing dan/atau ronkhi. (D.0001)
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas, penurunan
energi, posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru dibuktikan dengan dipnea,
penggunaan otot bantu pernafasan, pola nafas abnormal (D.0005)
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen dibuktikan dengan dispnea saat beraktivitas (D.0056)
14
D. INTERVENSI
No Diagnosa Outcame Intervensi keperawatan
Keperawatan (SLKI) (SIKI)
(SDKI)
1. Bersihan jalan napas Bersihan jalan nafas Latihan batuk Efektif (I.01006)
tidak efetif (L.01001) Defenisi:
berhubungan dengan Kemampuan Melatih pasien yang tidak memiliki
spasme jalan nafas, membersihkan sekret kemampuan batuk secara efektif
hipersekresi dijalan atau obstruksi jalan untuk membersihkan laring- trakea
nafas, sekresi yang napas untuk dan bronkiolus dari sekret atau
tertahan dibuktikan mempertahankan jalan benda asing dijalan napas
dengan batuk tidak napas tetap paten Setelah
efektif, sputum dilakukan intervensi Tindakan
berlebih, mengi, keprawatan selama 3 X Observasi:
wheezing dan/atau 24 jam maka Bersihan 2. Identifikasi kemampuan batuk
ronkhi. (D.0001) Jalan Napas Meningkat 3. Monitor adanya retensi sputum
4. Monitor tanda dan gejala
Kriteria Hasil: infeksi saluran nafas
1. Batuk efektif 5. Monitor input dan output (mis,
meningkat jumlah, karakteristik)
2. Produksi sputum Terapeutik :
menurun 1. Atur posisi semi-fowler
3. Mengi Wheezing 2. Pasang perlak dab bengkok di
menurin pangkuan psien
4. Dispnea menurun 3. Buang sekret di tempat sputum
5. Gelisah menurun Edukasi :
6. Frekunsi nafas 1. Jelaskan dan tujuan batuk
membaik efektif
7. Pola nafas membaik 2. Anjurkan menarik nafas dalam
dari hidung selama 4 detik,
ditahan selama 2 detik,
kemudian elurgan dari mulut
dengan bibir mencucu
(dibulatkan selama 8 detik)
15
3. Anjurkan mengulangi tarik
napas dalam hingga 3 kali
4. Anjurkan batuk dengan kuat
langsung setelah tarik napas
dalam yang ke -3
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberiak mukolitik
atau ekspektoran, jika perlu.
2. Pola nafas tidak Pola Nafas (L.01004) Menejemen Jalan Nafas (I.01011)
efektif berhubungan Inspirasi dan/atau Definisi:
dengan hambatan ekspirasi yang mengidentfikasi dan mengelola
upaya nafas, memberikan ventilasi kepatenan jalan nafas
penurunan energi, adekuat Setelah
posisi tubuh yang dilakukan intervensi Tindakan
menghambat ekspansi keprawatan selama 3 X Observasi :
paru dibuktikan 24 jam maka pola napas 1. Monitor pola nafas (frekuensi,
dengan dipnea, membaik. kedalaman, usaha napas)
penggunaan otot 2. Monitor bunyi nafas tambahan
bantu pernafasan, kriteria hasil: (mis, gurgling, mengi,
pola nafas abnormal 1. Jalan nafas paten wheezing, ronkhi kering)
(D.0005) 2. Sekret berkurang 3. Monitor sputum (jumlah, warna,
3. Frekuensi nafas aroma)
dalam batas normall Teraupeutik :
4. Kilen mampu 1. Pertahankan kapatenan jalan
melakuan Batuk napas dengan head-tilt dan chin-
efektif dengan benar lift (jaw-thrust jika curiga
trauma Servikal)
2. Posisikan semi-fowler atau
fowler
3. Berikan minum hangat
4. Lakukan fisioterapi dada, jika
perlu
5. Lakukan hiperoksigenasi
sebelum pengisapan endotrakea
16
6. Keluarkan sumbatan benda
padat dengan forsepMcGill
7. Lakukan penghisapan lendir
kurang dari 15 detik
8. Berikan oksigen , jika perlu
Edukasi :
1. Anjurkan asupan cairan 2000
ml/hari,jika tidak kontraindikasi
2. Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian
bronkodilator,
ekspetoran,mukolitik, jika perlu
3. Intoleransi aktivitas Toleransi Aktivitas Manajemen energi (I.05178)
berhubungan dengan (L.05047) Defenisi:
ketidakseimbangan Respon fisiologi Mengidentifikasi dan mengelola
antara suplai dan terhadap aktivitas yang penggunaan energi untuk mengatasi
kebutuhan oksigen membutuhkan tenaga atau mencegah kelelahan dan
dibuktikan dengan Setalah dilakukan mengoptimalkan proses pemulihan
dispnea saat intervensi keperawatan
beraktivitas (D.0056) selama 3 X 24 jam maka Tindakan
toleransi aktivitas Observasi:
meningkat 1. Identifikasi gangguan fungsi
tubuh yang mengakibatkan
Kriteria hasil: kelelahan
1. saturasi oksigen 2. Monitor kelelahan fisik dan
meningkat emosional
2. kemudahan dalam 3. Monitor pola dan jam tidur
aktivitas sehari-hari 4. Monitor lokasi dan ketidak
meningkta nyamanan selama melakukan
3. keluhan lelah aktivitas
menurun Terapeutik :
4. dispnea saat aktivitas 1. Sediakan lingkungan nyaman
menurun dan rendah stimulus (mis:
17
5. tekanan darah cahaya, suara, kunjungan)
membaik 2. Lakukan latihan rentang gerak
6. frekuensi napas pasif dan/atau aktif
membaik 3. Berikan aktivitas distraksi yang
menenangkan
4. Fasilitasi duduk di sisi tempat
tidur, jika tidak dapat berpisah
atau berjalan
Edukasi :
1. Anjurkan tirah baring
2. Anjurkan melakukan aktivitas
secara bertahap
3. Anjurkan menghubungi perawat
jika tanda dan gejala kelelahan
tidak berkurang
4. Ajarkan strategi koping untuk
mengurangi kelelahan
Kolaborasi :
1. Kolaborasi dengan ahli gizi
tentang cara meningkatkan
asupan makanan.
G.IMPLEMENTASI
H.EVALUASI
Evaluasi keperawatan adalah penilaian terakhir keperawatan yang didasarkan pada tujuan
keperawatan yang ditetapkan.penetapan keberhasilan suatu asuhan keperawatan didasarkan pada
suatu perubahan prilaku dan kriteria hasil yang telah ditetapkan,yaitu terjadinya adaptasi pada
individu (Nursalam,2008).Evaluasi keperawatan dilakukan dalam bentuk pendekatan
SOAP.Evaluasi keperawatan terdiri dari beberapa komponen yaitu:
18
a) Tanggal dan waktu dilakukan Evaluasi keperawatan
b) Diagnosa keperawatan
c) Evaluasi keperawatan
19
DAFTAR PUSTAKA
20