Anda di halaman 1dari 27

Konsep Dasar Penyakit Dan NCP Pada PPOK

(Penyakit Pernafasan Obstruksi Kronis)

Makalah ini dibuat dan diajukan untuk memenuhi tugas


kelompok pada mata kuliah “Keperaratan Medikal Bedah
I”

Dosen Pengampu : Ns. Tuty Sulastri, S.Kep., M.Kep

Disusun Oleh :

Endah Dwi Septiani 8884210031


Khofifah Indah Wulandari 8884210032
Mithaul Farah 8884210033

PROGRAM STUDI S1 KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
BANTEN
2022
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb.

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya
sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul Konsep Dasar Penyakit
dan NCP pada PPOK (PENYAKIT PERNAFASAN OBSTRUKSI KRONIS) ini tepat
pada
waktunya. Adapun tujuan dari penulisan dari makalah ini adalah untuk memenuhi tugas Ibu
Ns. Tuti Sulastri M.Kep pada mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah I. Selain itu,
makalah ini juga bertujuan untuk menambah wawasan tentang komunikasi dalam keperawatan
bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Kami mengucapkan terima kasih kepada ibu Ns. Tuti Sulastri M.Kep yang telah
memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan dan wawasan sesuai dengan
bidang studi yang kami tekuni. Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak
yang telah membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah
ini.

Kami menyadari, makalah yang kami tulis ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kami nantikan demi kesempurnaan
makalah ini

Serang, 10 September 2022

Penyusun

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR..................................................................................................ii

DAFTAR ISI..................................................................................................................iii

PPOK (PENYAKIT PERNAFASAN OBSTRUKSI KRONIK)...............................1

1. Konsep Penyakit....................................................................................................1

A. Definisi..............................................................................................................1

B. Etiologi..............................................................................................................1

C. Patofisiologi & pathway....................................................................................3

D. Tanda & Gejala..................................................................................................4

E. Diagnostik / pemeriksaan penunjang.................................................................5

F. Penatalaksana.....................................................................................................6

2. Konsep Nurse Care Planning...............................................................................11

A. Pengkajian..........................................................................................................11

B. Analisa Data.......................................................................................................13

C. Diagnosa Keperawatan......................................................................................14

D. Intervensi...........................................................................................................15

E. Implementasi......................................................................................................18

F. Evaluasi..............................................................................................................18

DAFTAR PUSTAKA...................................................................................................20

iii
PPOK (PENYAKIT PERNAFASAN OBSTRUKSI KRONIK)

1. KONSEP PENYAKIT

A. Definisi
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan sekelompok penyakit paru-
paru yang ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai
gambaran patofisiologi utamanya dan berlangsung lama (Somantri, 2012). PPOK
juga merupakan penyakit paru kronik yang bersifat progressif nonreversibel atau
reversibel parsial ditandai oleh adanya hambatan aliran udara di saluran napas
(Tana, 2016). PPOK merupakan penyakit yang umum, dapat dicegah dan diobati
yang ditandai dengan gejala pernapasan persisten dan keterbatasan aliran udara yang
disebabkan oleh saluran napas atau kelainan alveolar yang biasanya disebabkan oleh
paparan signifikan terhadap partikel atau gas yang berbahaya (GOLD, 2017)
PPOK atau penyakit paru obstruktif kronik adalah penyakit yang ditandai
dengan keterbatasan aliran udara yang terus menerus yang biasanya progresif. yang
berhubungan dengan respon inflamasi kronis pada saluran napas dan juga paru ynag
disebabakna oleh partikel berbahaya ataupun gas berbahaya. Penyakit paru
obstruktif kronik (PPOK) merupakan salah satu dari kelompok penyakit tidak
menular yang telah menjadi masalah kesehatan masyarakat di Indonesia. Hal ini
disebabkan oleh meningkatnya usia harapan hidup dan semakin tingginya pajanan
faktor risiko, seperti faktor pejamu yang diduga berhubungan dengan kejadian
PPOK, semakin banyaknya jumlah perokok khususnya pada kelompok usia muda,
serta pencemaran udara di dalam ruangan maupun di luar ruangan dan di tempat
kerja.

B. Etiologi
Ada beberapa faktor resiko utama berkembangnya penyakit ini, yang dibedakan
menjadi faktor paparan lingkungan dan faktor host. Beberapa faktor paparan
lingkungan antara lain adalah :
1. Merokok Merokok merupakan penyebab utama terjadinya PPOK, dengan risiko 30
kali lebih besar pada perokok dibanding dengan bukan perokok, dan merupakan
penyebab dari 85-90% kasus PPOK. Kurang lebih 15-20% perokok akan mengalami
PPOK. Kematian akibat PPOK terkait dengan banyaknya rokok yang dihisap, umur
1
mulai merokok, dan status merokok yang terakhir saat PPOK berkembang. Namun
demikian, tidak semua penderita PPOK adalah perokok. Kurang lebih 10 % orang
yang tidak merokok juga mungkin menderita PPOK. Perokok pasif (tidak merokok
tetapi sering terkena asap rokok) juga berisiko menderita PPOK.
2. Pekerjaan Para pekerja tambang emas atau batu bara, industri gelas dan keramik
yang terpapar debu silika, atau pekerja yang terpapar debu katun dan debu gandum,
toluene diisosianat, dan asbes, mempunyai risiko yang lebih besar daripada yang
bekerja di tempat selain yang disebutkan di atas.
3. Polusi udara Pasien yang mempunyai disfungsi paru akan semakin memburuk
gejalanya dengan adanya polusi udara. Polusi ini bisa berasal dari luar rumah seperti
asap pabrik, asap kendaraan bermotor, dll, maupun polusoi dari dalam rumah
misalnya asap dapur.
4. Infeksi Kolonisasi bakteri pada saluran pernafasan secara kronis merupakan suatu
pemicu inflamasi neurotofilik pada saluran nafas, terlepas dari paparan rokok.
Adanya kolonisasi bakteri menyebabkan peningkatan kejadian inflamasi yang dapat
diukur dari peningkatan jumlah sputum, peningkatan frekuensi eksaserbasi, dan
percepatan penurunan fungsi paru, yang semua ini meningkatkan risiko kejadian
PPOK.
Sedangkan faktor risiko yang berasal dari host/pasiennya antara lain :
a) Usia Semakin bertambah usia, semakian besar risiko menderita PPOK. Pada
pasien yang didiagnosa PPOK sebelum usia 40 tahun, kemungkinan besar dia
menderita gangguan genetik berupa defisiensi α1-antitripsin.
b) Jenis kelamin Laki-laki lebih berisiko terkena PPOK daripada wanita, mungkin
ini terkait dengan kebiasaan merokok pada pria. Namun ada kecendrungan 7
peningkatan prevalensi PPOK pada wanita karena meningkatnya jumlah wanita
yang merokok.
c) Adanya gangguan fungsi paru yang sudah terjadi Adanya gangguan fungsi paru-
paru merupakan faktor risiko terjadinya PPOK,misalnya defisiensi
Immunoglobulin A (IgA/ hypogammaglubulin) atau infeksi pada masa kanak-
kanak seperti TBC dan bronkiektasis. Orang yang pertumbuhan parunya tidak
normal karena lahir dengan berat badan rendah, ia memiliki risiko lebih besar
untuk mengalami PPOK.
d) Predisposisi genetik, yaitu defisiensi a1-antitripsin (AAT) Defisiensi AAT ini
terutama dikaitkan dengan emfisema, yang disebabkan oleh hilangnya elastisitas
jaringan di dalam paru-paru secara progresif karena adanya ketidakseimbangan

2
antara enzim proteolitik dan faktor protektif

3
C. Patofisiologi / Pathway

 Patofisiologi PPOK

Onset (awal terjadinya penyakit) biasanya pada usia pertengahan dan tidak
hilang dengan pengobatan. Didefinisikan sebagai PPOK jika pernah mengalami
sesak napas yang bertambah ketika beraktifitas dan atau bertambah dengan
meningkatnya usia disertai batuk berdahak atau pernah mengalami sesak napas
disertai batuk berdahak (Kementerian Kesehatan RI, 2013).

Asap rokok atau polutan dapat memicu inflamasi yang dapat merusak paruparu.
Secara nomal silia dan mucus di bronkus melindungi dari inhalasi iritan. Namun,
iritasi yang terjadi secara terus-menerus yang berasal dari asap rokok atau polutan
dapat memicu inflamasi yang dapat merusak paru-paru yang menyebabkan respon
yang berlebihan pada mekanisme pertahanan mukosiliar yaitu penjagaan terhadap
paru-paru yang dilakukan oleh mucus dan silia.

Asap rokok akan menghambat pembersihan mukosiliar, factor yang


menyebabkan gagalnya pembersihan mukosiliar adalah adanya proliferasi atau
pertumbuhan pesat sel goblet. Peningkatan jumlah sel dan bertambahnya ukuran sel
kelenjar penghasil mucus menyebabkan hipersekresi mucus di saluran napas.
Bersama dengan adanya produksi mucus, terjadi sumbatan bronkiolus dan alveoli.
Iritasi dari asap rokok juga menyebabkan inflamasi pada bronkiolus dan alveoli.
Fungsi dari silia menurun dan lebih banyak secret yang dihasilkan, dengan
banyaknya mucus yang kental dan lengket serta menurunnya pembersihan
mukosiliar menyebabkan masalah pada jalan napas (Ikawati, 2016).
Pada emfisema, beberapa factor penyebab obstruksi jalan napas yaitu:
inflamasi dan pembengkakan bronki, produksi lendir yang berlebihan, kehilangan
rekoil elastic jalan napas, dan kolaps bronkiolus serta redistribusi udara ke alveoli
yang berfungsi. Karena dinding alveoli mengalami kerusakan menyebabkan area
permukaan alveolar yang kontak langsung dengan paru berkurang sehingga akan
mengakibatkan kerusakan difusi oksigen. Kerusakan difusi oksigen ini akan
mengakibatkan terjadinya hipoksemia (Smeltzer & Bare, 2002).

4
 Pathway PPOK

D. Tanda dan Gejala


1. Denyut jantung abnormal
2. Sesak napas
3. Nafas tidak teratur dalam aktivitas sehari-hari.
4. Kulit, bibir atau kuku menjadi biru.(sianosis)
5. Batuk menahun, atau disebut juga 'batuk perokok' (smoker cough)
6. Batuk berdahak (batuk produktif)

PPOK terdiri dari 2 jenis penyakit yaitu Bronkitis Kronik dan Emfisema.
Kedua penyakit ini dapat terjadi bersamaan atau hanya salah satu saja. Gejala
dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan hingga
berat. Pada pemeriksaan fisis tidak ditemukan kelainan sampai kelainan jelas dan
tanda inflasi paru.
Faktor Resiko PPOK :
1. Riwayat merokok atau bekas perokok dengan atau tanpa gejala pernapasan
2. Riwayat terpajan zat iritan yang bermakna di tempat kerja
3. Riwayat penyakit emfisema pada keluarga
4. Pada Bayi berat badan lahir rendah (BBLR), infeksi saluran napas berulang,
lingkunganasap rokok dan polusi udara
5. Batuk berulang dengan atau tanpa dahak
6. Sesak dengan atau tanpa bunyi mengi (wheezing)

5
Pada tahap-tahap, PPOK jarang menunjukkan gejala dan tanda khusus.
Gejala penyakit ini baru muncul ketika sudah terjadi kerusakan yang signifikan
pada paru-paru, umumnya dalam waktu bertahun-tahun.
Terdapat sejumlah gejala PPOK yang bisa terjadi dan sebaiknya diwaspadai
seperti: batuk berdarah yang tidak kunjung sembuh dengan warna lender dahak
agak berwarna kuning atau hijau, pernafasan sering tersengal-sengal, terlebih lagi
saat melakukan aktivitas fisik, mengi atau sesak napas dan berbunyi, lemas,
penurunan berat badan, nyeri dada, kaki, pergelangan kaki, atau tungkai menjadi
bengkak, dan bibir atau kuku jari berwarna biru (Susanti, 2019)

E. DIAGNOSTIK / PEMERIKSAAN PENUNJANG


Pemeriksaan penunjang yang diperlukan adalah sebagai berikut:
1. Pemeriksaan radiologi
a. Pada bronchitis kronik secara radiologis ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan:
1) Tubular shadows atau farm lines terlihat bayangan garis-garis yang
parallel, keluar dari hilus menuju apeks paru. Bayangan tersebut adalah
bayangan bronkus yang menebal.
2) Corak paru yang bertambah.
b. Pada emfisema paru terdapat 2 bentuk kelainan foto dada yaitu:
1) Gambaran defisiensi arteri, terjadi overinflasi, pulmonary oligoemia dan
bula. Keadaan ini lebih sering terdapat pada emfisema panlobular dan
pink puffer.
2) Corakan paru yang bertambah.
3) emeriksaan Faal Paru
Pada bronchitis kronik terdapat VEP1 dan KV yang menurun, VR yang
bertambah dan KTP yang normal Pada emfisema kapasitas difusi menurun
karena permukaan alveoli untuk difusi berkurang.
2. Analisis gas darah Pada bronchitis PaCO2 naik, saturasi hemoglobin menurun,
timbul sianosis, terjadi vasokonstriksi vaskuler paru dan penambahan
eritropoesis. Hipoksia yang kronik merangsang pembentukan eritropoetin
sehingga menimbulkan polisitemia. Pada kondisi umur 55-60 tahun polisitemia
menyebabkan jantung kanan harus bekerja lebih berat dan merupakan salah satu
penyebab payah jantung kanan.Pemeriksaan EKG Kelainan yang paling dini

6
adalah rotasi clock wise jantung. Bila sudah terdapat kor pulmonal terdapat
deviasi aksis kekanan dan P pulmonal pada hantaran II, III, dan aVF. Voltase
QRS rendah Di V1 rasio R/S lebih dari 1 dan V6 rasio R/S kurang dari 1. Sering
terdapat RBBB inkomplet.
4. Kultur sputum, untuk mengetahui petogen penyebab infeksi.
5 Laboratorium darah lengkap

F.PENATALAKSANAAN
Penatalaksanaan PPOK bertujuan untuk menghilangkan atau mengurangi
obstruksi yang terjadi seminimal mungkin agar secepatnya oksigenasi dapat kembali
normal. Keadaan ini diusahakan dan dipertahankan untuk menghindari perburukan
penyakit. Secara garis besar penatalaksanaan PPOK dibagi menjadi 4 kelompok,
sebagai berikut:
1. Penatalaksanaan umum Penatalaksanaan umum meliputi pendidikan pada pasien
dan keluarga, menghentikan merokok dan zat-zat inhalasi yang bersifat iritasi,
menciptakan lingkungan yang sehat, mencukupi kebutuhan cairan, mengkonsumsi
diet yang cukup dan memberikan imunoterapi bagi pasien yang punya riwayat
alergi.
2. Pemberian obat-obatan
a. Bronkodilator Bronkodilator merupakan obat utama untuk mengurangi/mengatasi
obstruksi saluran nafas yang terdapat pada penyakit paru obstruktif. Obatobat
golongan bronkodilator adalah obat-obat utama untuk manajemen PPOK.
Bronkodilator golongan inhalasi lebih disukai terutama jenis long acting karena
lebih efektif dan nyaman, pilihan obat diantarnya adalah golongan β2 Agonis,
Antikolinergik, Teofilin atau kombinasi. (GOLD, 2006; Sharma, 2010)
Bronkodilator tergolongkan menjadi beta-agonist (salbutamol 2.5-5 mg;
salmeterolatau formoterol diberikan 2x/hari), anti kolinergik (ipatropium bromide
20 mg atau 40 mg; tiotrotium bromide 18 mg 1x/hari pagi hari) dan theophyllines
10-20mg/l atau 100-600 per oral). Pemberian bronkodilator dapat membantu
pasien mengurangi sesak serta meningkatkan toleransi latihan/aktifitas dengan
mengurangi air-trapping dan meningkatkan efisiensi otot pernafasan. Kombinasi
dari obat-obat tersebut efektif mengontrol gejala yang muncul pada pasien. Reaksi
merugikan yang dilaporkan meliputi sakit kepala, insomnia, tremor, hipertensi,
aritmia, hiperglikemia, mual dan muntah (Deglin & Vallerand, 2005).

7
b. Antikolinergik Golongan antikolinergik seperti Ipatropium Bromide mempunyai

8
efek bronkodilator yang lebih baik bila dibandingkan dengan golongan
simpatomimetik. Penambahan antikolenergik pada pasien yang telah
mendapatkan golongan simpatomimetik akan mendapatkan efek bronkodilator
yang lebih besar (Sharma, 2010).

c. Metilxantin Golongan xantin yaitu teofilin bekerja dengan menghambat enzim


fosfodiesterase yang menginaktifkan siklik AMP. Pemberian kombinasi xantin
dan simpatomimetik memberikan efek sinergis sehinga efek optimal dapat dicapai
dengan dosis masing-masing lebih rendah dan efek samping juga berkurang.
Golongan ini tidak hanya bekerja sebagai bronkodilator tetapi mempunyai efek
yang kuat untuk meningkatkan kontraktilitas diafragma dan daya tahan terhadap
kelelahan otot pada pasien PPOK (Sharma, 2010).

d. Glukokortikosteroid Glukokortikosteroid bermanfaat dalam pengelolaan


eksaserbasi PPOK, dengan memperpendek waktu pemulihan, meningkatkan
fungsi paru dan mengurangi hipoksemia. Disamping itu glukokortikosteroid juga
dapat mengurangi risiko kekambuhan yang lebih awal, kegagalan pengobatan dan
memperpendek masa rawat inap di RS (GOLD, 2006).

e. Kortikosteroid Kortikosteroid inhalasi dipilih pada pasien PPOK dengan FEV1


pengobatan reguler dengan kortikosteroid inhalasi dapat mengurangi gejala,
meningkatkan fungsi paru dan kualtias hidup dan menurunkan frekuensi
eksaserbasi. Kortikosteroid inhalasi diasosiasikan dengan peningkatan
pneumonia. Penghentian tiba-tiba terapi dengan kortikosteroid inhalasi bisa
menyebabkan eksaserbasi di beberapa pasien. Terpai monoterm jangka panjang
dengan kortikosteroid inhalasi tidak direkomendasikan. Kortikosteroid inhalasi
dikombinasikan dengan beta 2 agonist kerja lama lebih efektif daripada salah satu
antara kortikosteroid dan bronkodilator dalam peningkatan fungsi paru dan
mengurangi eksaserbasi pada pasien dengan PPOK sedang sampai sangat berat.
Pengobatan jangka panjang dengan kortikosteroid oral tidak direkomendasikan.
Menurut Stein (2001), pemberian kortikosteroid oral tidak disarankan untuk
jangka waktu yang lama, mengingat hal tersebut bisa memberikan efek yang
buruk terhadap kejadian osteoporosis. Prednison oral, 40-60 mg dapat diberikan
sebagai dosis harian tunggal di pagi hari untuk kasus yang tidak begitu
berat.

9
Beklometason, 100 µg (2 isapan) 4 kali sehari, dapat diberikan sementara
prednisone dikurangi secara perlahan-lahan. Efek samping dari pemberian obat ini
diantaranya depresi, anoreksia, ulkus peptikum, supresi adrenal, penurunan berat
badan dan kerentanan terhadap infeksi (Deglin & Vallerand, 2005).

f. Obat-obat lainnya
1) Vaksin Pemberian vaksin influenza dapat mengurangi risiko penyakit yang parah
dan menurunkan angka kematian sekitar 50 %. Vaksin mengandung virus yang
telah dilemahkan lebih efektif diberikan kepada pasien PPOK lanjut, yang
diberikan setiap satu tahun sekali. Vaksin Pneumokokkal Polisakarida dianjurkan
untuk pasien PPOK usia 65 tahun keatas (GOLD, 2006).
2) Alpha-1 Antitripsin Alpha 1 Antitripsin direkomendasikan untuk pasien PPOK
dengan usia muda yang mengalami defisiensi enzim Alpha 1 Antitripsin sangat
berat. Namum terapi ini sangat mahal dan belum tersedia disetiap negara (GOLD,
2006).
3) Antibiotik Pada pasien PPOK infeksi kronis pada saluran nafas biasanya berasal
dari Streptococcus Pneumonia, Haemophilus Influensa dan Moraxella Catarrhlis.
Diperlukan pemeriksaan kultur untuk mendapatkan antibiotik yang sesuai. Tujuan
pemberian antibiotika adalah untuk mengurangi lama dan beratnya eksaserbasi
akut, yang ditandai oleh peningkatan produksi sputum, dipsnue, demam dan
leukositosis (GOLD, 2006; Sharma, 2010).
4) Mukolitik Mukolitik diberikan untuk mengurangi produksi dan kekentalan
sputum. Sputum kental pada pasien PPOK terdiri dari derivat glikoprotein dan
derivate lekosit DNA (GOLD, 2006). Sebagian besar pasien PPOK mengalami
batuk kronis dan memproduksi sputum. Pemberian codeine 15 mg (5 ml) 3-4
x/hari dapat mengurangi gangguan tidur pada pasien akibat batuk. Mukolitik
semacam carbocysteine dengan dosis 750 mg 3x/hari dan mecysteine
hydrochloride 200 mg 4x/hari adalah obat-obat yang dapat mengencerkan dan
memudahkan pengeluaran sputum. Efek samping meliputi mual, muntah,
stomatitis, diare dan nyeri lambung (Deglin & Vallerand, 2005).
5) Agen antioksidan Agen antioksi dan khususnya N-Acetilsistein telah dilaporkan
mengurangi frekuensi eksaserbasi pada pasien PPOK (GOLD, 2006).
6) Imunoregulator Pada sebuah studi penggunaan imuniregulator pada pasien PPOK
dapat menurunkan angka keparahan dan frekuensi eksaserbasi (GOLD, 2006).
7) Antitusif Meskipun batuk merupakan salah satu gejala PPOK yang merepotkan,

1
tetapi batuk mempunyai peran yang signifikan sebagai mekanisme protektif.
Dengan demikian penggunaan antitusif secara rutin tidak direkomendasikan pada
PPOK stabil (GOLD, 2006).
8) Vasodilator Berbagai upaya pada hipertensi pulmonal telah dilakukan
diantaraanya mengurangi beban ventrikel kanan, meningkatkan curah jantung,
dan meningkatkan perfusi oksigen jaringan. Hipoksemia pada PPOK terutama
disebabkan oleh ketidakseimbangan antara ventilasi dan perfusi bukan karena
peningkatan shunt intrapulmonari (seperti pada oedem paru nonkardiogenik)
dimana pemberian oksida nitrat dapat memperburuk keseimbangan ventilasi dan
perfusi. Sehingga oksida nitrat merupakan kontraindikasi pada PPOK stabil
(GOLD, 2006).
9) Narkotin (Morfin) Morfin secara oral ataupun parenteral efektif untuk
mengurangi dipsnue pada pasien PPOK pada tahap lanjut. Nikotin juga diberikan
sebagai obat antidepresan pada pasien dengan dengan sindrom paska merokok
(GOLD, 2006; Sharma, 2010).

G. Terapi oksigen
PPOK umumnya dikaitkan dengan hipoksemia progresif, pemberian terapi
oksigen bertujuan untuk mempertahankan hemodinamika paru. Sebuah penelitian
yang dilakukan oleh The British Medical Research Council (MRC) dan the
National Heart, Lung, and Blood Institute's Nocturnal Oxygen Therapy Trial
(NOTT) menunjukkan bahwa terapi oksigen jangka panjang dapat meningkatkan
kelangsungan hidup 2 kali lipat pada hipoksemia pasien PPOK. Hipoksemia
didefinisikan sebagai Pa O2 kurang dari 55 mmHg atau saturasi oksigen kurang
dari 90%. Gejala gangguan tidur, gelisah, sakit kepala mungkin merupakan
petunjuk perlunya oksigen tambahan. Terapi oksigen dengan konsentrasi rendah
1- 3 liter/menit secara terus menerus dapat memberikan perbaikan psikis,
koordinasi otot, toleransi beban kerja dan pola tidur. Terapi oksigen bertujuan
memperbaiki kandungan oksigen arteri dan memperbanyak aliran oksigen ke
jantung, otak serta organ vital lainnya, memperbaiki vasokonstriksi pulmonal dan
menurunkan tekanan vaskular pulmonal. (Shama, 2010).

H. Tindakan rehabilitasi yang meliputi:


1. Fisioterapi, terutama bertujuan untuk membantu pengeluaran secret bronkus.
2. Latihan pernapasan, untuk melatih penderita agar bisa melakukan pernapasan yang
1
paling efektif.
3. Latihan dengan beban oalh raga tertentu, dengan tujuan untuk memulihkan
kesegaran jasmani.
4. Vocational guidance, yaitu usaha yang dilakukan terhadap penderita
dapat kembalimengerjakan pekerjaan semula.
5. Pengelolaan psikosial, terutama ditujukan untuk penyesuaian diri
penderita denganpenyakit yang dideritanya.
I. Diet PPOK

1
2. KONSEP NURSE CARE PLANNING

A. PENGKJIAN

a. Identitas Klien
1) Usia : PPOK akan berkembang secara perlahan selama bertahun-tahun.Gejala
penyakit umumnya muncul pada pengidap yang berusia 35 hingga 40 tahun.
2) Jenis Kelamin :Sebelumnya jenis kelamin pasien PPOK lebih sering terjadi pada
laki-laki, tetapi karena peningkatan penggunaan tembakau dikalangan
perempuan di negara maju dan risiko yang lebih tinggi dari paparan polusi udara
didalam ruangan (misalnya bahan bakar yang digunankan untuk memasak dan
pemanas) pada negara-negara miskin, penyakit ini sekarang mempengaruhi laki-
laki dan perempuan hampir sama (ismail et al., 2017)
3) Tempat tinggal : Beberapa penelitian menunjukkan bahwa tempat tinggal di
pedesaan meningkatkan peluang terjadinya PPOK, asosiasi ini dibuhungkan
dengan paparan terkait pertanian (Burkes et al., 2018). Terdapat penelitian juga
menyebutkan bahwa tempat tinggal di perkotaan juga termasuk faktor risiko
yang berhubungan dengan PPOK, berkaitan dengan paparan asap atau polutan di
luar ruangan di perkotaan terutama di Indonesia (Sana, Somda, Meda, &
Bouland, 2018).
b. Keluhan Utama

Keluhan yang sering dikeluhkan oleh orang dengan penyakit paru obstruktif
kronik (PPOK) adalah Sesak napas yang bertambah berat bila aktivitas, kadang- kadang
disertai mengi, batuk kering atau dengan dahak yang produktif, rasa berat di dada (PDPI,
2011).

c. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien dengan PPOK biasanya akan mengalami batuk, sesak napas, nyeri
pleuritik, rasa berat pada dada, berat badan menurun. Perlu juga ditanyakan mulai
kapan keluhan itu muncul, apa tindakan yang telah dilakukan untuk menurunkan
atau menghilangkan keluhan tersebut

d. Riwayat Penyakit Dahulu


Perlu ditanyakan apakah sebelumnya pasien pernah masuk RS dengan keluhan
yang sama. Misalnya: Sering merokok, polusi udara dan paparan di tempat kerja.
e. Riwayat penyakit keluarga

1
Mengkaji riwayat keluarga apakah ada yang menderita riwayat penyakit yang
sama.
f. Riwayat psikososial
Meliputi perasaan pasien terhadap penyakitnya, bagaimana cara mengatasinya
serta bagaimana perilaku pasien terhadap tindakan yang dilakukan terhadap dirinya.
g. Pola aktivitas
1) Pola Nutrisi
Adanya keluhan kesulitan menelan, nafsu makan turun, mual muntah pada fase
akut.
2) Pola Eliminasi
Biasanya terjadi inkontinensia urin dan pada pola defekasi biasanya terjadi
konstipasi akibat penurunan peristaltik usus.
3) Istrahat Tidur
Biasanya klien mengalami kesukaran istrahat untuk istrahat karena kejang
otot/nyeri otot.
4) Personal Hygiene
Biasanya klien mengalami kesukaran terhadap perawatan diri sendiri seperti
mandi, gosok gigi, keramas dan memotng kuku karena kerusakan pada
neuromuskuler.
5) Pola Aktivitas
Adanya kesukaran untuk beraktivitas karena kelemahan, kehilanagan
sensori atau paralisis/hemiplegi dan mudah lelah

h. Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi
Peningkatan usaha dan frekuensi pernapasan, serta penggunaan otot bantu
nafas (sternokleidomastoid).
b. Palpasi
Pada palpasi, ekspansi meningkat dan taktil fremitus biasanya menurun
c. Perkusi
Pada perkusi, didapatkan suara normal sampai hipersonor, sedangkan
diafragma mendatar/menurun.
d. Auskultasi
Sering didapatkan adanya suara nafas ronkhi dan wheezing sesuai
tingkat keparahan obstruktif pada bronkhiolus.

1
B. ANALISA DATA
No Data Etiologi Problem
1. DS : Terpapar polusi udara yang terus Bersihan jalan nafas

 Klien mengatakan menerus tidak efektif

sesak nafas

 Klien mengatakan Hypertrofi dan hyperplansia


batuknya berdahak kelenjar mukus serta metaplasiel

 Klien mengatakan gobek

sering batuk

DO : Sekret terakumulasi pada jalan

 Suara paru wheezing nafas

sebelah kanan

 Batuknya berdahak Penurunan kemampuan untuk


mengeluarkan sekret
 Terdapat retraksi
dinding dada
Bersihan jalan nafas tidak efektif
 Nampak sesak nafas

 Frekuensi napas cepat

2. DS : Destruktif kapiler paru Pola nafas tidak

 Klien mengeluh berat efektif

saat nafas Penurunan perfusi O2


DO :

 Reaksi otot bantu Sianosis

 RR : 30x/menit
Penurunan perfsi jaringan perifer

Penurunan ventilasi

Peningkatan upaya
menangkap O2

Peningkatan RR

1
Reaksi otot bantu nafas

Pola nafas tidak efektif

3. DS : Bersihan jalan nafas tidak efektif Intoleransi aktivitas

 Klien mengatakan
tidak bisa beraktivitas Akumulasi sekret pada jalan
 Klien mengatakan nafas
sesaknya bertambah
saat beraktivitas
Gangguan pertukaran gas
DO :

 Nampak aktivitas Peningkatan penggunaan energi


klien dibantu untuk bernafas
 Klien nampak sesak
saat beraktivitas
Penurunan energi cadangan

Kelemahan

Intoleransi aktivitas

C. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1. Bersihan jalan napas tidak efetif berhubungan dengan spasme jalan nafas,
hipersekresi dijalan nafas, sekresi yang tertahan dibuktikan dengan batuk tidak
efektif, sputum berlebih, mengi, wheezing dan/atau ronkhi. (D.0001)
2. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan hambatan upaya nafas, penurunan
energi, posisi tubuh yang menghambat ekspansi paru dibuktikan dengan dipnea,
penggunaan otot bantu pernafasan, pola nafas abnormal (D.0005)
3. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara suplai dan
kebutuhan oksigen dibuktikan dengan dispnea saat beraktivitas (D.0056)

1
D. INTERVENSI
No Diagnosa Outcame Intervensi keperawatan
Keperawatan (SLKI) (SIKI)
(SDKI)
1. Bersihan jalan napas Bersihan jalan nafas Latihan batuk Efektif (I.01006)
tidak efetif (L.01001) Defenisi:
berhubungan dengan Kemampuan Melatih pasien yang tidak memiliki
spasme jalan nafas, membersihkan sekret kemampuan batuk secara efektif
hipersekresi dijalan atau obstruksi jalan untuk membersihkan laring- trakea
nafas, sekresi yang napas untuk dan bronkiolus dari sekret atau
tertahan dibuktikan mempertahankan jalan benda asing dijalan napas
dengan batuk tidak napas tetap paten
efektif, sputum Setelah dilakukan Tindakan
berlebih, mengi, intervensi keprawatan Observasi:
wheezing dan/atau selama 3 X 24 jam maka 2. Identifikasi kemampuan batuk
ronkhi. (D.0001) Bersihan Jalan Napas 3. Monitor adanya retensi sputum
Meningkat 4. Monitor tanda dan gejala
infeksi saluran nafas
Kriteria Hasil: 5. Monitor input dan output (mis,
1. Batuk efektif jumlah, karakteristik)
meningkat Terapeutik :
2. Produksi sputum 1. Atur posisi semi-fowler
menurun 2. Pasang perlak dab bengkok
3. Mengi Wheezing di pangkuan psien
menurin 3. Buang sekret di tempat sputum
4. Dispnea menurun Edukasi :
5. Gelisah menurun 1. Jelaskan dan tujuan
6. Frekunsi nafas batuk efektif
membaik 2. Anjurkan menarik nafas
7. Pola nafas membaik dalam dari hidung selama 4
detik, ditahan selama 2 detik,
kemudian elurgan dari mulut
dengan bibir mencucu
(dibulatkan selama 8 detik)

1
3. Anjurkan mengulangi tarik
napas dalam hingga 3 kali
4. Anjurkan batuk dengan kuat
langsung setelah tarik napas
dalam yang ke -3
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberiak mukolitik
atau ekspektoran, jika perlu.
2. Pola nafas tidak Pola Nafas (L.01004) Menejemen Jalan Nafas (I.01011)
efektif berhubungan Inspirasi dan/atau Definisi:
dengan hambatan ekspirasi yang mengidentfikasi dan
upaya nafas, memberikan ventilasi mengelola kepatenan jalan
penurunan energi, adekuat Setelah nafas
posisi tubuh yang dilakukan intervensi
menghambat ekspansi keprawatan selama 3 X Tindakan
paru dibuktikan 24 jam maka pola Observasi :
dengan dipnea, napas membaik. 1. Monitor pola nafas
penggunaan otot (frekuensi, kedalaman, usaha
bantu pernafasan, kriteria hasil: napas)
pola nafas abnormal 1. Jalan nafas paten 2. Monitor bunyi nafas
(D.0005) 2. Sekret berkurang tambahan (mis, gurgling,
3. Frekuensi nafas mengi, wheezing, ronkhi
dalam batas kering)
normall 3. Monitor sputum (jumlah,
4. Kilen mampu warna, aroma)
melakuan Batuk Teraupeutik :
efektif dengan 1. Pertahankan kapatenan jalan
benar napas dengan head-tilt dan chin-
lift (jaw-thrust jika curiga
trauma Servikal)
2. Posisikan semi-fowler
atau fowler
3. Berikan minum hangat
4. Lakukan fisioterapi dada, jika
perlu

1
5. Lakukan hiperoksigenasi
sebelum pengisapan endotrakea

1
6. Keluarkan sumbatan benda
padat dengan
forsepMcGill
7. Lakukan penghisapan
lendir kurang dari 15 detik
8. Berikan oksigen , jika perlu
Edukasi :
1. Anjurkan asupan cairan 2000
ml/hari,jika tidak
kontraindikasi
2. Ajarkan teknik batuk efektif
Kolaborasi :
1. Kolaborasi pemberian
bronkodilator,
ekspetoran,mukolitik, jika perlu
3. Intoleransi aktivitas Toleransi Aktivitas Manajemen energi (I.05178)
berhubungan dengan (L.05047) Defenisi:
ketidakseimbangan Respon fisiologi Mengidentifikasi dan mengelola
antara suplai dan terhadap aktivitas yang penggunaan energi untuk
kebutuhan oksigen membutuhkan tenaga mengatasi atau mencegah kelelahan
dibuktikan dengan Setalah dilakukan dan mengoptimalkan proses
dispnea saat intervensi keperawatan pemulihan
beraktivitas (D.0056) selama 3 X 24 jam
maka toleransi aktivitas Tindakan
meningkat Observasi:
1. Identifikasi gangguan
Kriteria hasil: fungsi tubuh yang
1. saturasi oksigen mengakibatkan kelelahan
meningkat 2. Monitor kelelahan fisik
2. kemudahan dalam dan emosional
aktivitas sehari-hari 3. Monitor pola dan jam tidur
meningkta 4. Monitor lokasi dan ketidak
3. keluhan lelah nyamanan selama
menurun melakukan aktivitas
4. dispnea saat aktivitas Terapeutik :
menurun 1. Sediakan lingkungan nyaman
2
dan rendah stimulus (mis:

2
5. tekanan darah cahaya, suara, kunjungan)
membaik 2. Lakukan latihan rentang
6. frekuensi napas gerak pasif dan/atau aktif
membaik 3. Berikan aktivitas distraksi yang
menenangkan
4. Fasilitasi duduk di sisi tempat
tidur, jika tidak dapat berpisah
atau berjalan
Edukasi :
1. Anjurkan tirah baring
2. Anjurkan melakukan
aktivitas secara bertahap
3. Anjurkan menghubungi
perawat jika tanda dan gejala
kelelahan tidak berkurang
4. Ajarkan strategi koping
untuk mengurangi kelelahan
Kolaborasi :
1. Kolaborasi dengan ahli gizi
tentang cara meningkatkan
asupan makanan.

G.IMPLEMENTASI

Implementasi keperawatan adalah tahap ketiga perawat mengaplikasikan rencana asuhan


keperawatan dalam bentuk interpensi keperawatan guna membantu pasien mencapai tujuan
yang telah ditetapkan (Asmadi,2008)

H.EVALUASI

Evaluasi keperawatan adalah penilaian terakhir keperawatan yang didasarkan pada


tujuan keperawatan yang ditetapkan.penetapan keberhasilan suatu asuhan keperawatan
didasarkan pada suatu perubahan prilaku dan kriteria hasil yang telah ditetapkan,yaitu terjadinya
adaptasi pada individu (Nursalam,2008).Evaluasi keperawatan dilakukan dalam bentuk
pendekatan SOAP.Evaluasi keperawatan terdiri dari beberapa komponen yaitu:

2
a) Tanggal dan waktu dilakukan Evaluasi keperawatan

b) Diagnosa keperawatan

c) Evaluasi keperawatan

2
DAFTAR PUSTAKA

Dianasari, N. (2014). PEMBERIAN TINDAKAN BATUK EFEKTIF TERHADAP


PENGELUARAN DAHAK PADA ASUHAN KEPERAWATAN Tn. W DENGAN
PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK (PPOK) DI IGD RSUD DR. SOEDIRAN
MANGUN SUMARSO WONOGIRI.
Gadis Puji Rahayu, L., Nur Mukarromah, S. K. M., & Fatin Lailatul, B. (2016). ASUHAN
KEPERAWATAN PADA KLIEN PPOK DENGANMASALAH KETIDAKEFEKTIFAN
BERSIHAN JALAN NAFAS DI RUMAHSAKIT ISLAM DARUS SYIFA’BENOWO
SURABAYA (Doctoral dissertation, Universitas Muhammadiyah Surabaya).
.
Imamah, I. N., Sofro, M. A. U., & Johan, A. (2017). Rehabilitasi Paru terhadap Perubahan
Sesak Nafas dan Fatigue pada Pasien Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK). Adi
Husada Nursing Journal, 3(1), 1–5.
https://adihusada.ac.id/jurnal/index.php/AHNJ/article/view/71 di akses pada tanggal 31
Agustus 2022
Jiron, A. T. (2020). Asuhan Keperawatan Klien Penyakit Paru Obstruktif Kronik (Ppok)
Dengan Ketidakefektifan Pola Nafas (Doctoral dissertation, STIKes Insan Cendekia
Medika Jombang).
MU’JIZATULLAILI, A. N. A. (2019). ASUHAN KEPERAWATAN KETIDAKEFEKTIFAN
BERSIHAN JALAN NAFAS PADA PASIEN PPOK (Doctoral dissertation, Universitas
Airlangga).
MUHROZI, I. (2020). STUDI LITERATUR: ASUHAN KEPERAWATAN PADA PASIEN
PENYAKIT PARU OBSTRUKSI KRONIK (PPOK) DENGAN MASALAH
KEPERAWATAN INTOLERANSI AKTIVITAS (Doctoral dissertation, Universitas
Muhammadiyah Ponorogo).
NAFAS, KRONIK PPOK DENGAN KETIDAKEFEKTIFAN POLA; JIRON, AGUSTINA
TUK. KARYA TULIS ILMIAH ASUHAN KEPERAWATAN KLIEN PENYAKIT
PARU OBSTRUKTIF.
Rahmadi, Y., & Sudaryanto, A. (2015). Asuhan Keperawatan Pada Tn. W Dengan Gangguan
Sistim Pernafasan: Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) Di Ruang Anggrek
Bougenvile RSUD Pandan Arang Boyolali (Doctoral dissertation, Uversitas
Muhammadiyah Surakarta).
Rini, Setyo Ika. 2011. Hubungan antara efikasi diri dengan kualitas hidup penyakit paru
obstruktif kronis dalam konteks asuhan keperawatan di RS Paru Batu dan RSU Dr.
Saiful Anwar Jawa Timur. Depok: FIK Universitas Indonesia

Anda mungkin juga menyukai