D3 KEPERAWATAN TK. 2A
POLTEKKES KEMENKES RIAU
T.A. 2020/2021
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmatNYA
sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai. Tidak lupa kami juga
mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi
dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.
Dan harapan kami semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan
pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk
maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman kami, Kami yakin
masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu kami sangat
mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi
kesempurnaan makalah ini.
Pekanbaru, 6 September 2021
Penyusun
i
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR................................................................................i
DAFTAR ISI...............................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN...........................................................................1
A. Latar Belakang.................................................................................1
B. Tujuan..............................................................................................2
C. Manfaat............................................................................................2
DAFTAR PUSTAKA
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Secara definisi Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) adalah penyakit
pernafasan yang bersifat kronis progresif. PPOK merupakan permasalahan global
yang terjadi di masyarakat hingga sekarang yang disebabkan oleh karena angka
kejadian serta angka kematian yang terus meningkat dari tahun ke tahun di
seluruh dunia. PPOK saat ini berada di urutan ke empat penyebab kematian
terbanyak di dunia setelah penyakit jantung, kanker, serta penyakit
serebrovaskular, dan memiliki potensi untuk naik ke urutan ke tiga terbanyak pada
tahun 2020 pada pria maupun wanita. Pada tahun 2012 angka kematian yang
disebabkan PPOK mencapai 3 juta jiwa atau secara proporsi sekitar 6% dari angka
seluruh kematian dunia.
Sekitar 14 juta orang Amerika terserang PPOK dan Asma menjadi penyebab
kematian keempat di Amerika Serikat. Lebih dari 90.000 kematian dilaporkan
setiap tahunnya. Rata-rata kematian akibat PPOK meningkat cepat, terutama pada
penderita laki-laki lanjut usia. Angka penderita PPOK di Indonesia sangat tinggi.
Banyak penderita PPOK datang ke dokter saat penyakit itu sudah lanjut. Padahal,
sampai saat ini belum ditemukan cara yang efisien dan efektif untuk mendeteksi
PPOK. Menurut Dr Suradi, penyakit PPOK di Indonesia menempati urutan ke-5
sebagai penyakit yang menyebabkan kematian.
Secara global, angka kejadian PPOK akan terus meningkat setiap tahunnya
dikarenakan tingginya peningkatan faktor risiko PPOK, diantaranya disebabkan
meningkatnya jumlah perokok, perkembangan daerah industri dan polusi udara
baik dari pabrik maupun kendaraan bermotor, terutama di kota-kota besar dan
lokasi industri serta pertambangan. Selain itu, peningkatan usia harapan hidup
menyebabkan peningkatan jumlah penduduk usia tua yang ikut berperan terhadap
peningkatan insiden PPOK. Kejadian PPOK sendiri lebih sering terjadi pada
penduduk usia menengah hingga lanjut, lebih sering pada laki-laki dari pada
perempuan, serta kondisi sosial ekonomi yang rendah dan pemukiman yang padat.
PPOK yang merupakan penyakit kronis gangguan aliran udara merupakan
penyakit yang tidak sepenuhnya dapat disembuhkan.
1
Gangguan aliran udara ini umumnya bersifat progresif dan persisten serta
berkaitan dengan respon radang yang tidak normal dari paru akibat gas atau
partikel yang bersifat merusak. Namun serangan akut PPOK dapat dicegah
dengan menghindari faktor-faktor pemicu serangan akut tersebut. Berdasarkan
latar belakang yang ada, diharapkan tulisan ini dapat digunakan untuk
mempelajari hal-hal yang berhubungan dengan PPOK pada pasien, baik dalam
faktor pengendalian serangan akut PPOK, hingga penanganan PPOK berulang.
Diharapkan pengetahuan tentang penyakit PPOK dapat membantu menekan angka
kematian dan kekambuhan penderita PPOK pada masyarakat luas.
B. Tujuan
1. Mengetahui dan mempelajari secara optimal Penyakit Paru Obstruksif
Kronik (PPOK).
2. Mengidentifikasi faktor penyebab dan faktor pendukung dalam
penatalaksanaan Penyakit Paru Obstruksif Kronik (PPOK).
3. Memperoleh pengetahuan akan pentingnya menjaga kesehatan sejak dini.
C. Manfaat
1. Masyarakat
Membudayakan dan memberikan promosi kesehatan kepada masyarakat
luas tentang Penyakit Paru Obstruktif Kronik.
2. Pengembangan ilmu keperawatan
Menambah keluasan ilmu bidang keperawatan dalam menangani pasien
dengan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK).
2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKAN
A. Konsep Medik
1. Definisi
Penyakit paru obstuktif kronik ( PPOK ) merupakan suatu istilah yang sering
digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang berlangsung lama yang
ditandai oleh adanya respon inflamasi paru terhadap partikel atau gas yang
berbahaya. Penyakit Paru Obstruktif Kronis ( PPOK ) adalah sekelompok
penyakit paru menahun yang berlangsung lama dan disertai dengan peningkatan
resistensi terhadap aliran udara. Sumbatan udara ini berkaitan dengan respon
inflamasi abnormal paru terhadap partikel atau gas yang berbahaya. Karakteristik
hambatan aliran udara ( PPOK ) biasanya disebabkan oleh obstruksi saluran nafas
kecil (bronkiolitis) dan kerusakan saluran parenkim (emfisema) yang bervariasi
antara setiap individu.
3
terakhir pemanasan karena udara yang masuk dalam tubuh bersentuhan dengan
pembuluh darah yang berada di submukosa.
b. Faring
Faring merupakan pipa berotot, berjalan dari dasar tengkorak sampai
ketinggian kartilago Krikoid. Hubungan faring dengan hidung melalui celah
sempit yang disebut Choana, dengan mulut melalui Isthmus Fausium. Ke bawah
depan faring berhubungan dengan laring dan belakang dengan esofagus.
Faring terdiri dari tiga bagian Nasofaring yaitu bagian faring yang letaknya
sejajar hidung, Nasofaring menerima udara yang masuk dari hidung. Terdapat
saluran eusthacius yang menyamakan tekanan udara di telinga tengah. Tonsil
faring (adenoid) terletak di belakang nasofaring. Orofaring bagian faring terletak
di sejajar mulut, Orofaring menerima udara dari nasofaring dan makanan dari
rongga mulut. Palatine dan lingual tonsil terletak di sini. Laringofaring merupakan
bagian faring dan terletak sejajar laring, menyalurkan makanan ke kerongkongan
dan udara ke laring.
c. Laring
Laring menerima udara dari laringofaring. Laring terdiri dari sembilan
keping tulang rawan yang bergabung dengan membran dan ligamen. Epiglotis
merupakan bagian pertama dari tulang rawan laring. Saat menelan makanan,
epiglottis tersebut menutupi pangkal tenggorokkan untuk mencegah masuknya
makanan dan saat bernapas katup tersebut akan membuka Tulang rawan tiroid
melindungi bagian depan laring. Tulang rawan yang menonjol membentuk jakun.
Lipatan membran mukosa (Supraglottis) menghubungkan sepasang tulang
arytenoid yang berada di belakang dengan tulung rawan tiroid yang berada di
depan. Lipatan vestibular atas (pita suara palsu) mengandung serat otot yang
memungkinkan untuk bernafas dalam waktu tertentu saat ada tekanan pada otot
rongga dada (misalnya: tegangsaat buang air besar atau mengangkat beban berat).
Lipatan vestibular bawah (kord vokalis superior) mengandung ligamen yang
elastis. Kord vokalis superior bergetar bila otot rangka menggerakkan mereka ke
jalur keluarnya udara. Hal tersebut mengakibatkan kita dapat berbicara dan
4
menghasilkan berbagai suara. Kartilago krikoid, kartilago cuneiform, dan
kartilago corniculate merupakan akhir dari laring.
d. Trakea
Trakea merupakan saluran fleksibel yang panjangnya 10 sampai 12 cm (4
inci) dan berdiameter 2,5 cm (1 inci). Dindingnya terdiri dari empat lapisan yang
terdiri dari :
a. Mukosa Mukosa merupakan lapisan terdalam trakea. Mukosa
mengandung sel goblet yang dapat memproduksi lender dan epitel
pseudostratified bersilia. Silia menyapu kotoran menjauhi paru-paru dan
menuju ke arah faring.
b. Submukosa Submukosa merupakan lapisan jaringan ikat areolar yang
mengelilingi mukosa.
c. Tulang Rawan Hialin 16-20 cincin tulang rawan hialin berbentuk C
membungkus sekitar submukosa tersebut. Cincin kartilago memberikan
bentuk kaku pada trekea, mencegahnya agar tidak kolaps dan membuka
jalan udara.
d. Adventitia Adventitia merupakan lapisan terluar dari trakea. Lapisan ini
tersusun atas jaringan ikat areolar (longgar). Pada ketinggian vertebra
thorakalis ke-5, faring bercabang menjadi 2 bronchus. Tempat
percabangan trachea disebut Karina.
e. Bronkus
Bronkus merupakan cabang trachea dan terdiri dari dua buah yaitu
bronchus kanan dan bronchus kiri, masing-masing akan menuju ke paru-paru
kanan dan paru-paru kiri. Bronchus kanan lebih besar, pendek dan tegak
dibandingkan dengan bronchus kiri, terdiri dari 3 cabang dan tersusun atas 6-8
cincin rawan. Sedangkan bronchus kiri lebih panjang dan langsing, terdiri dari 2
cabang dan tersusun atas 9-12 cincin rawan.
Di dalam paru-paru, masing-masing bronkus utama bercabang dengan
diameter yang lebih kecil, membentuk bronkus sekunder (lobar), bronkus tersier
(segmental), bronkiolus terminal (0.5 mm diameter) dan bronchioles pernapasan
5
mikroskopis. Dinding utama bronkus dibangun seperti trakea, tetapi cabang dari
pohon semakin kecil, cincin tulang rawan dan mukosa yang digantikan oleh otot
polos.
f. Alveolus
Saluran alveolus adalah cabang akhir dari pohon bronkial. Setiap saluran
alveolar diperbesar, seperti gelembung sepanjang panjangnya. Masing-masing
pembesaan disebut alveolus, dan sekelompok alveolar yang bersebelahan disebut
kantung alveolar. Beberapa alveoli yang berdekatan dihubungkan oleh alveolar
pori-pori.
g. Paru – Paru
Jaringan paru-paru elastis, berpori dan seperti spons, seperti kerucut,
berbentuk badan yang menempati thorax. Mediastinum, rongga yang berisi
jantung, memisahkan kedua paru-paru. Paru-paru kiri terdiri dari 3 lobus, dan paru
– paru kanan terdiri dari 2 lobus. Setiap lobus paru-paru dibagi lagi ke segmen
bronkopulmonalis (masing-masing dengan bronkus tersier), yang dibagi lagi
menjadi lobulus (masing-masing dengan bronchiale terminal). Pembuluh darah,
pembuluh limfatik, dan saraf menembus masing-masing lobus. Setiap paru-paru
memiliki fitur sebagai berikut:
a. Puncak dan dasar mengidentifikasi bagian atas dan bawah dari paru-paru.
b. Permukaan masing-masing paru-paru berbatasan tulang rusuk (depan dan
belakang).
c. Di permukaan (mediastinal) medial, di mana masing-masing paru-paru
menghadapi selain paru-paru, saluran pernapasan, pembuluh darah, dan
pembuluh limfatik memasuki paru di hilus.
Pleura adalah membran ganda yang terdiri dari pleura bagian dalam disebut
pleura viseral, yang mengelilingi setiap paru-paru, dan pleura parietal luar,
melapisi rongga dada. Ruang sempit antara dua membran,rongga pleura, diisi
dengan cairan pleura, pelumas disekresikan oleh pleura.
6
3. Etiologi PPOK
Mansjoer (2008) dan Ovedoff (2006), (dalamah Muh. Arif Hasanudin),
Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) adalah
sebagai berikut :
1. Kebiasaan merokok, polusi udara, paparan debu, asap dan gas-gas kimiawi.
2. Faktor Usia dan jenis kelamin sehingga mengakibatkan berkurangnya fungsi paru-
paru, bahkan pada saat gejala penyakit tidak dirasakan.
3. Infeksi sistem pernafasan akut, seperti peunomia, bronkitis, dan asma orang
dengan kondisi ini berisiko mendapat PPOK.
4. Kurangnya alfa anti tripsin. Ini merupakan kekurangan suatu enzim yang
normalnya melindungi paru-paru dari kerusakan peradangan orang yang
kekurangan enzim ini dapat terkena empisema pada usia yang relatif muda, walau
pun tidak merokok.
4. Patofisiologi
Bronkitis Kronik adalah gangguan sekresi mukus bronkial berlebihan.
Bronkitis muncul karena adanya paparan agen infeksi maupun non-infeksi, hal ini
memicu respons inflamasi sehingga paru akan mengalami kerusakan (Somantri,
2009). Emfisema ditandai dengan kerusakan dinding alveoli, yang menyebabkan
pembesaran ruang udara yang abnormal. Merokok adalah faktor utama penyebab
terbesar terjadinya penyakit emfisema. Makrofag dari aveoli (kantong udara) dan
limfosit T meningkat dan menghancurkan jaringan paru. Selain itu, anti-
proteinase yang melindungi jaringan paru menjadi inaktivasi yang menyebabkan
penurunan perbaikan paru, hal ini menyebabkan kerusakan pada dinding alveoli
(LeMone, 2012). Terdapat empat perubahan patologik yang dapat timbul pada
emfisema yaitu :
1. Hilangnya elastisitas paru yang menyebabkan jalan napas kecil menjadi
kolabs atau menyempit, posisi istirahat normal selama ekspirasi,
2. Terbentuknya bullae, yaitu dinding aveolar juga beberapa merusak
alveoli yang menjadikannya membesar dan sulit kembali normal.
3. Hiperinflasi paru, yaitu besarnya alveoli yang hanya bisa dilihat pada
pemeriksaan sinar-X (Somantri, 2009).
7
Terdapat dua tipe dari emfisema yaitu Centri Lobuler Emphysema dan
Panlobuler Emphysema. Centri Lobuler Emphysema terjadi akibat dari kerusakan
pada bronkiolus respiratiorius, didinding akan berlubang semakin besar, emfisema
jenis ini dikaitkan dengan bronkitis kronis atau perokok. Panlobuler Emphysema
disebabkan akibat dari alveolus distal dari bronkiolus terminalis mengalami
pembesaran serta kerusakan secara merata tersebar diseluruh bagian paru-paru,
yang merupakan emfisema primer dan berkaitan dengan usia tua sebab elastisitas
paru menurun(Bachrudin, 2016). Beberapa penyebab terjadinya mal nutrisi seperti
pengurangan elastisitas paru dan fungsi paru, kehilangan pernapasan otot massa,
kekuatan dan resistensi juga sebagai penyebab terjadinya perubahan pada pasien
PPOK. Mekanisme pada kekebalan paru dan kontrol napas adalah hal paling
penting penyebab terjadinya kasus malnutrisi pada sistem pernapasan seperti pada
pasien PPOK (Grigorakos L. , 2018). Pada PPOK tahap lanjut aktivitas akan
menjadi minimal, antara lain makan yang dapan menyebabkan kelelahan dan
dispnea. Pasien dapat tidak mampu mengonsumsi makanan penuh, pada saat yang
sama peningkatan kerja napas (8 hingga 10 kali dari normal) meningkatkan
kebutuhan metabolik dan lebih banyak kalori yang dibutuhkan. Pasien akan
tampak kahektik (kurus dan sia-sia), status nutrisi yang buruk kemudian
menurunkan fungsi imun dan meningkatkan resiko infeksi yang menyulitkan
(LeMone, 2012).
8
5. Patoflowdiagram
9
6. Manifestasi Klinik
Manifestasi klinis pada PPOK menurut Mansjoer (2008) dan GOLD
(2010) yaitu : malfungsi kronis pada sistem pernafasan yang menifestasi awalnya
di tandai batuk-batuk dan produksi dahak khususnya yang muncul pada pagi hari.
Nafas pendek sedang yang berkembang menjadi nafas pendek, sesak nafas akut,
frekuensi nafas yang cepat, penggunaan oto bantu pernafasan dan ekspirasi lebih
lama daripada inspirasi.
Mengi/bengek pun bisa timbul sebagai salah satu gejala PPOK. Pada usia
sekitar 60 tahun sering timbul sesak nafas ketika bekerja dan bertambah parah
secara perlahan. Akhirnya sesak nafas akan dirasakan ketika melakukan kegiatan
rutin sehari-hari, seperti di kamar mandi, mencuci pakaian, berpakaian, dan
menyiapkan makanan. Sekitar 30% penderita mengalami penurunan berat badan
karena setelah selesai mereka sering mengalami sesak napas yang berat sehingga
penderita sering tidak mau makan. Gejala lain yang mungkin menyertai adalah
pembengkakan pada kaki akibat gagal jantung. Pada stadium akhir bisa terjadi
sesak nafas berat, yang bahkan timbul ketika penderita tengah beristirahat, yang
mengindikasikan adanya kegagalan pernapasan yang akut. (dr. Iskandar junaidi,
2010).
7. Komplikasi
1. Hipoksemia
Hipoksemia didefenisikan sebagai penurunan nilai PaO2 < 55 mmHg
dengan nilai saturasi oksigen < 85%. Pada awalnya klien akan mengalami
10
perubahan mood, penurunan konsentrasi, dan menjadi pelupa. Pada tahap
lanjut akan timbul sianosis
2. Asidosis Respiratori
Timbul akibat peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnea). Tanda yang
muncul antara lain nyeri kepala, fatgue, letargi, dizzines, dan takipnea.
3. Infeksi Respiratori
Infeksi pernafasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus
dan rangsangan otot polos bronkial serta edema mukosa. Terbatasnya
aliran akan menyebabkan peningkatan kerja otot nafas dan timbulnya
dispnea.
4. Gagal Jantung
Teutama kor pulmonal (gagal jantung kanan akibat paru), harus di
observasi terutama pada klien dispnea berat. Komplikasi ini seringkali
berhubungan dengan bronkitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat
juga dapat mengalami masalah ini.
5. Kardiak Disritmia
Timbul karena hipoksemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis
respiratori.
6. Status Asamatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asma bronkial.
penyakit ini sangat berat, potensi mengancam kehidupan, dan seringkali
tidak berespon terhadapterapi yang bisa diberikan. Penggunaan otot bantu
pernafasan dan distensi vena leher sering kali terlihat pada klien dengan
asma.
8. Pemeriksaan diagnostik
a. Chest X-Ray: dapat menunjukkan hiperinflation paru ,flattened
diafragma, peningkatan ruangan udara retrosternal, penurunan tanda
vaskuler/bullae (emfisema), peningkatan suara bronkovaskuler
(bronkitis), normal ditemukan saat periode remisi (asma).
b. Pemeriksaan Fungsi Paru: dilakukan untuk menentukan penyebab
dispnea, menentukan abnormalitas fungsi tersebut apakah akibat
11
obstruksi atau restriksi, memperkirakan tingkat disfungsi, dan
mengevaluasi efek terapi, misalnya bronkodilator.
c. Total Lung Capacity (TLC): meningkat pada bronkitis berat dan
biasanya pada asma, namun menurun pada emfisema.
d. Kapasitas Inspirasi: menurun pada emfisema
e. FEV1/FVC: rasio tekanan volume eksperasi (FEV) terhadap tekanan
kapasitas vital (FVC) menurun pada beonkitis dan asma
f. Arterial Blood Gasses (ABGs): menunjukkan proses penyakit kronis
sering kali PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau meningat
(bronkitis kronis dan emfisema) tetepi sering kali menurun pada asma,
pH normal atau asidosis, alkalosis respiratori ringan sekunder
terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau asma)
g. Bronkogram: dapat menunjukkan dilatasi dari bronki saat inspirasi,
kolaps bronkial pada tekanan ekspirasi (emfisema), pembesaran
kelenjar mukus (bronkitis)
h. Darah Lengkap: terjadi peningkatan hemoglobin (emfisema berat) dan
eosinofil (asma)
i. Kimia Darah: alpha 1-antitripsin kemungkinan kurang pada emfisema
primer
j. Sputum Kultur: untuk menentukan adanya infeksi dan
mengidentifikasi patogen, sedangkan pemeriksaan sitologi digunakan
untuk menemukan penyakit kaganasan atau alergi.
k. Electrokardiogram (ECG): deviasi aksis kanan, gelombang P tinggi
(asma berat), artial disritmia (bronkitis), gelombang P pada leads II,
III, dan AVF panjang, tinggi (pada bronkitis dan emfisema) dan aksis
QRS ventrikal (emfisema)
9. Penatalaksanaan Medis
Prinsip penatalaksanaan PPOK diantaranya adalah sebagai berikut :
12
Berhenti Merokok
Terapi farmakologis dapat mengurangi gejala, mengurangi frekuensi dan
beratnya eksaserbasi dan memperbaiki status kesehatan dan toleransi
aktivitas.
Regimen terapi farmakologis sesuai dengan pasien spesifik, tergantung
beratnya gejala, risiko eksaserbasi, availabilitas obat dan respon pasien.
Vaksinasi Influenza dan Pneumococcal
Semua pasien dengan napas pendek ketika berjalan harus diberikan
rehabilitasi yang akan memperbaiki gejala, kualitas hidup, kualitas fisik dan
emosional pasien dalam kehidupannya sehari-hari.
Terapi farmakologi
a. Bronkodilator
Bronkodilator adalah pengobatan yang berguna untuk meningkatkan
FEV1 atau mengubah variable spirometri dengan cara mempengaruhi tonus otot
polos pada jalan napas.
•β2Agonist (short-acting dan long-acting)
Prinsip kerja dari β2 agonis adalah relaksasi otot polos jalan napas dengan
menstimulasi reseptor β2 adrenergik dengan meningkatkan C-AMP dan
menghasilkan antagonisme fungsional terhadap bronkokontriksi. Efek
bronkodilator dari short acting β2 agonist biasanya dalam waktu 4-6 jam.
Penggunaan β2 agonis secara reguler akan memperbaiki FEV1 dan gejala
(Evidence B). Penggunaan dosis tinggi short acting β2 agonist pro renata pada
pasien yang telah diterapi dengan long acting broncodilator tidak didukung bukti
dan tidak direkomendasikan.
Long acting β2 agonist inhalasi memiliki waktu kerja 12 jam atau lebih.
Formoterol dan salmeterol memperbaiki FEV1 dan volume paru, sesak napas,
health related quality of life dan frekuensi eksaserbasi secara signifikan (Evidence
A), tapi tidak mempunyai efek dalam penurunan mortalitas dan fungsi paru.
Salmeterol mengurangi kemungkinan perawatan di rumah sakit (Evidence B).
Indacaterol merupakan Long acting β2 agonist baru dengan waktu kerja 24 jam
dan bekerja secara signifikan memperbaiki FEV1, sesak dan kualitas hidup pasien
(Evidence A). Efek samping adanya stimulasi reseptor β2 adrenergik dapat
13
menimbulkan sinus takikardia saat istirahat dan mempunyai potensi untuk
mencetuskan aritmia. Tremor somatic merupakan masalah pada pasien lansia
yang diobati obat golongan ini.
b. Antikolinergik
Obat yang termasuk pada golongan ini adalah ipratropium, oxitropium dan
tiopropium bromide. Efek utamanya adalah memblokade efek asetilkolin pada
reseptor muskarinik. Efek bronkodilator dari short acing anticholinergic inhalasi
lebih lama dibanding short acting β2 agonist. Tiopropium memiliki waktu kerja
lebih dari 24 jam. Aksi kerjanya dapat mengurangi eksaserbasi dan hospitalisasi,
memperbaiki gejala dan status kesehatan (Evidence A), serta memperbaiki
efektivitas rehabilitasi pulmonal (Evidence B). Efek samping yang bisa timbul
akibat penggunaan antikolinergik adalah mulut kering. Meskipun bisa
menimbulkan gejala pada prostat tapi tidak ada data yang dapat membuktikan
hubungan kausatif antara gejala prostat dan penggunaan obat tersebut.
c. Methylxanthine
Contoh obat yang tergolong methylxanthine adalah teofilin. Obat ini
dilaporkan berperan dalam perubahan otot-otot inspirasi. Namun obat ini tidak
direkomendasikan jika obat lain tersedia
d. Kortikosteroid
Kortikosteroid inhalasi yang diberikan secara regular dapat memperbaiki
gejala, fungsi paru, kualitas hidup serta mengurangi frekuensi eksaserbasi pada
pasien dengan FEV1<60% prediksi.
e. Phosphodiesterase-4 inhibitor
Mekanisme dariobatini adalah untuk mengurangi inflamasi dengan
menghambat pemecahan intraselular C-AMP. Tetapi, penggunaan obat ini
memiliki efek samping seperti mual, menurunnya nafsu makan, sakit perut, diare,
gangguan tidur dan sakit kepala.
14
Alpha-1 Augmentation therapy: Terapi ini ditujukan bagi pasien usia
muda dengan defisiensi alpha-1 antitripsin herediter berat. Terapi ini
sangat mahal, dan tidak tersedia di hampir semua negara dan tidak
direkomendasikan untuk pasien PPOK yang tidak ada hubungannya
dengan defisiensi alpha-1 antitripsin.
Antibiotik: Penggunaannya untuk mengobati infeksi bakterial yang
mencetuskan eksaserbasi
Mukolitik (mukokinetik, mukoregulator) dan antioksidan: Ambroksol,
erdostein, carbocysteine, ionated glycerol dan N-acetylcystein dapat
mengurangi gejala eksaserbasi.
Immunoregulators (immunostimulators, im- munomodulator)
Antitusif: Golongan obat ini tidak direkomen- dasikan.
Vasodilator
Narkotik (morfin)
2.Konseling nutrisi
3.Edukasi
Terapi Lain
4.Terapi Oksigen
1.Ventilatory Support
2.Surgical Treatment ( Lung Volume Reduction Surgery (LVRS),
Bronchoscopic Lung Volume Reduction (BLVR), Lung Transplantation,
Bullectomy
15
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Idntitas klien Meliputi : nama, jenis kelamin, umur, alamat, agama, suku,
bangsa, pendidikan, pekerjaan, tanggal masuk rumah sakit, diagnosa medis,
nomor registrasi.
b. Keluhan utama Biasanya pasien PPOK mengeluh sesak nafas dan batuk yang
disertai sputum.
d. Riwayat kesehatan dahulu Biasanya ada riwayat paparan gas berbahaya seperti
merokok, polusi udara, gas hasil pembakaran dan mempunyai riwayat penyakit
seperti asma (Ikawati 2016).
3) Pola eliminasi Pada pola eliminasi biasanya tidak ada keluhan atau
gangguan
4) Pola istirahat dan tidur Pola tidur dan istirahat biasanya terganggu karena
karena sesak.
16
mengangkat lengan keatas setinggi toraks dapat menyebabkan keletihan atau
distress pernafasan (Suzanne, 2001).
6) Pola persepsi dan konsep diri Biasa nya pasien merasa cemas dan
ketakutan dengan kondisinya.
7) Pola sensori kognitif Biasa nya tidak ditemukan gangguan pada sensori
kognitif
10) Pola reproduksi seksual Biasanya pola reproduksi dan seksual pada
pasien yang sudah menikah akan mengalami perubahan
g. Pemeriksaan fisik
f) Paru
17
(1) Inspeksi biasanya terlihat klien mempunya bentuk dada barrel
chest penggunaan otot bantu pernafasan
g) jantung
h) abdomen
h. Pemeriksaan diagnostik
18
d) FVC (forced vital capacity) awalnya normal kemudian menurun
dengan nilai normal 4 L
3) Pemeriksaan Laboratorium
e) Elektrolit menurun
2. Diagnose keperawatan
Diagnosa Keperawatan Diagnosa yang biasa ditemukan pada pasien
dengan PPOK menurut NANDA (2015) adalah sebagai berikut :
19
a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas berhubungan dengan mukus berlebihan,
batuk yang tidak efektif
3. Intervensi
Rencana keperawatan terdiri dari beberapa komponen sebagai berikut:
c. Intervensi
4. Implementasi keperawatan
Pada pasien intervensi yang telah direncanakan berjumlah 9, dan dilakukan
implementasi melalui perantara dari pembimbing klinik. Menurut pembimbing
klinik pasien sangat kooperatif sehingga memudahkan peneliti dalam
melaksanakan implementasi keperawatan. Implementasi adalah pengelolahan dan
perwujudan dari rencana keperawatan yang telah disusun pada tahap perencanaan
Setiadi (2012).
20
Implementasi keperawatan merupakan pelaksanaan rencana tindakan yang
ditentukan dengan maksud agar kebutuhan pasien terpenuhi secara maksimal yang
mencakup sapek peningkatan, pencegahan, pemeliharaan serta pemulihan
kesehatan dengan mengikut sertakan pasien dan keluarganya (Maghfuri, 2015).
serta selama tahap implementasi perawat, terus melakukan pengumpulan data
danmemilih asuhan keperawatan yang paling sesuai dengan kebutuhan pasien.
Semua implementasi didokumentasikan kedalam format yang telah ditetapkan
institusi. Menurut Debora (2017), implementasi merupakan tahap perencanaan
yang dibuat dan diaplikasikan pada pasien. Tindakan yang dilakukan mungkin
sama, mungkin juga berbeda, dengan urutan yang telah dibuat pada perencanaan.
Aplikasi yang digunakan pada pasien akan berbeda disesuaikan dengan kondisi
pasien saat itu dan kebutuhan yang paling dirasakan oleh pasien
5. Evaluasi Keperawatan
Pada pasien yang dirawat, setelah 3 hari dilakukan asuhan keperawatan,
masalah intoleransi aktivitas pada pasien teratasidengan pasien dapat melakukan
aktivitas mandiri Tindakan keperawatan yang telah dilakukan oleh peneliti, seperti
memberikan memonitor lokasi dan ketidanyamanan selama melakukan aktivitas,
menyediakan lingkungan nyaman dan rendah stimulus, menganjurkan melakukan
aktivitas secara bertahap. Tindakan tersebut pasien mengatakan bahwa pasien
dapat beraktivitas secara mandiri. Menurut Maghfuri (2015) evaluasi
Keperawatan di lakukan secara periodic, sistematis dan terencana, evaluasi
keperawatan memuat kriteria keberhasilan proses dan keberhasilan tindakan
keperawatan. Keberhasilan tindakan dapat dilihatdengan membandingkan antara
tingkat kemandirian pasien dalam kehidupan sehari-hari dan tingkat kemajuan
kesehatan pasien dengan tujuan yang telah dirumuskan sebelumnya
21
DAFTAR PUSTAKA
22