Dosen Pembimbing :
DI SUSUN OLEH :
Meidyta Dwiputri
Melani Shaputri
Rofiah
Yesica Indriani
Novika Ana L.H
Neneng S. Rahayu
Salina
Dessy Susanti
Raffy Edward
Riapuni Suyanti
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha kuasa karena telah memberikan kesempatan pada
kelompok untuk menyelesaikan makalah ini. Atas rahmat dan hidayah-Nya lah penulis dapat
menyelesaikan makalah yang berjudul kasus praktik klinik dengan kasus PPOK keperawatan dasar
profesi tepat waktu.
Makalah ini disusun guna memenuhi tugas keperawatan dasar Selain itu, kelompok juga berharap
agar makalah ini dapat menambah wawasan bagi pembaca tentang asuhan keperawatan PPOK
Kelompok mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya. tugas yang telah diberikan ini dapat
menambah pengetahuan dan wawasan. kelompok juga mengucapkan terima kasih pada semua pihak
yang telah membantu proses penyusunan makalah ini. Kelompok menyadari makalah ini masih jauh
dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun akan kelompok terima demi
kesempurnaan makalah ini.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)?
2. Bagaimana Asuhan Keperawatan pada Pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis
(PPOK)?
C. Tujuan
1. Memahami tentang definisi, etiologi, manifestasi klinis, patofisiologi, pemeriksaan diagnosa
dan penatalaksanaan pada pasien PPOK.
2. Memahami asuhan keperawatan pada pasien dengan PPOK.
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Definisi
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) atau Chronic Obstructive Pulmunary Disease
(COPD) adalah penyakit yang dicirikan oleh keterbatasan aliran udara yang tidak dapat pulih
sepenuhnya. Keterbatasan aliran udara biasanya bersifat progresif dan dikaitkan dengan respons
inflamasi paru yang abnormal terhadap partikel atau gas berbahaya, yang menyebabkan
penyempitan jalan napas, hipersekresi mukus, dan perubahan pada sistem pembuluh darah paru
(Brunner & Suddarth, 2013)
Penyakit Paru Obstuktif Kronis (Chronic obstructive pulmonary disease – COPD)
merupakan istilah yang sering digunakan untuk sekelompok penyakit paru-paru yang
berlangsung lama dan ditandai oleh peningkatan resistensi terhadap aliran udara sebagai
gambaran patofisiologi utamanya. Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan
penyakit paru-paru yang ditandai dengan penyumbatan pada aliran udara dari paru-paru.
Penyakit ini merupakan penyakit yang mengancam kehidupan dan mengganggu pernafasan
normal (WHO dalam Maisaroh, 2018).
B. Klasifikasi PPOK
PPOK diklasifikasikan berdasarkan derajat, menurut Global Initiative for Chronic
Obstructuve Lung Disease (GOLD) dalam Rahmadi tahun 2015, yaitu:
1. Derajat 0 (beresiko)
Gejala klinis : memiliki satu atau lebih gejala batuk kronis, produksi sputum, dan dispnea,
terdapat paparan faktor resiko, sprirometri : normal.
2. Derajat I (PPOK ringan)
Gejala Klinis : batuk kronik dan produksi sputum ada tetapi tidak sering. Pada derajat ini
pasien sering tidak menyadari bahwa menderita PPOK.
3. Derajat II (PPOK sedang)
Gejala Klinis : sesak mulai dirasakan saat aktivitas dan kadang ditemukan gejala batuk dan
produksi sputum. Pada derajat ini biasanya pasien mulai memeriksakan kesehatannya. 4.
Derajat III (PPOK Berat)
Gejala Klinis : sesak lebih berat, penurunan aktivitas, rasa lelah dan serangan eksasernasi
semakin sering dan berdampak pada kualitas hidup pasien
C. Etiologi
Faktor-faktor yang menyebabkan penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) menurut
Mansjoer (2008) dan Ovedoff (2006) dalam Rahmadi (2015) adalah :
1. Kebiasaan merokok, polusi udara, paparan debu, asap dan gas-gas kimiawi. 2. Faktor Usia
dan jenis kelamin sehingga mengakibatkan berkurangnya fungsi paru-paru bahkan pada saat
gejala penyakit tidak dirasakan.
3. Infeksi sistem pernafasan akut, seperti peunomia, bronkitis, dan asma orang dengan kondisi
ini berisiko mendapat PPOK.
4. Kurangnya alfa anti tripsin. Ini merupakan kekurangan suatu enzim yang normalnya
melindungi paru-paru dari kerusakan peradangan orang yang kekurangan enzim ini dapat
terkena empisema pada usia yang relatif muda, walau pun tidak merokok.
D. Manisfestasi Klinis
Manifestasi klinis pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Reeves
(2001) dalam Rahmadi (2015) adalah :
Perkembangan gejala-gejala yang merupakan ciri dari PPOK adalah malfungsi kronis pada
sistem pernafasan yang manifestasi awalnya ditandai dengan batuk-batuk dan produksi dahak
khususnya yang makin menjadi di saat pagi hari. Nafas pendek sedang yang berkembang
menjadi nafas pendek akut. Batuk dan produksi dahak (pada batuk yang dialami perokok)
memburuk menjadi batuk persisten yang disertai dengan produksi dahak yang semakin banyak.
Biasanya pasien akan sering mengalami infeksi pernafasan dan kehilangan berat badan yang
cukup drastis, sehingga pada akhirnya pasien tersebut tidak akan mampu secara maksimal
melaksanakan tugas-tugas rumah tangga atau yang menyangkut tanggung jawab pekerjaannya.
Pasien mudah sekali merasa lelah dan secara fisik banyak yang tidak mampu melakukan
kegiatan sehari-hari.
Selain itu pada pasien PPOK banyak yang mengalami penurunan berat badan yang cukup
drastis, sebagai akibat dari hilangnya nafsu makan karena produksi dahak yang makin
melimpah, penurunan daya kekuatan tubuh, kehilangan selera makan (isolasi sosial) penurunan
kemampuan pencernaan sekunder karena tidak cukupnya oksigenasi sel dalam sistem (GI)
gastrointestinal. Pasien dengan PPOK lebih membutuhkan banyak kalori karena lebih banyak
mengeluarkan tenaga dalam melakukan pernafasan.
E. Patofisiologi
Faktor risiko utama dari PPOK adalah merokok. Komponen-komponen asap rokok
merangsang perubahan pada sel-sel penghasil mukus bronkus. Selain itu, silia yang melapisi
bronkus mengalami kelumpuhan atau disfungsional serta metaplasia. Perubahan pada sel-sel
penghasil mukus dan silia ini mengganggu sistem eskalator mukosiliaris dan menyebabkan
penumpukan mukus kental dalam jumlah besar dan sulit dikeluarkan dari saluran napas. Mukus
berfungsi sebagai tempat persemaian mikroorganisme penyebab infeksi dan menjadi sangat
purulen. Proses ventilasi terutama ekspirasi terhambat. Timbul hiperkapnia akibat dari ekspirasi
yang memanjang dan sulit dilakukan akibat mukus yang kental dan adanya peradangan.
(Jackson dalam Rahmadi, 2015).
Komponen-komponen asap rokok juga merangsang terjadinya peradangan kronik pada paru.
Mediator-mediator peradangan secara progresif merusak strukturstruktur penunjang di paru.
Akibat hilangnya elastisitas saluran udara dan kolapsnya alveolus, maka ventilasi berkurang.
Saluran udara kolaps terutama pada ekspirasi karena ekspirasi normal terjadi akibat
pengempisan (recoil) paru secara pasif setelah inspirasi. Dengan demikian apabila tidak terjadi
recoil pasif, maka udara akan terperangkap di dalam paru dan saluran udara kolaps. (Grece &
Borley dalam Rahmadi, 2015).
F. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan diagnostik untuk pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK)
menurut Somantri (2009) antara lain :
a. Chest X-Ray : dapat menunjukan hiperinflation paru, flattened diafragma, peningkatan
ruang udara restrotenal, penurunan tanda vaskuler/bullae (emfisema), peningkatan suara
bronkovaskular (bronkitis), normal ditemukan saat periode remisi (asma).
b. Pemeriksaan Fungsi Paru : dilakukan untuk menentukan penyebab dispnea, menentukan
abnormalitas fungsi tersebut apakah akibat obstruksi atau restriksi, memperkirakan tingkat
disfungsi, dan mengevaluasi efek dari terapi, misalnya bronkodilator.
c. Total Lung Capacity (TLC) : meningkat pada bronkitis berat dan biasanya pada asma,
namun menurun pada emfisema.
d. Kapasitas Inspirasi : menurun pada emfisema.
e. FEV1/FVC : rasio tekanan volume ekspirasi (FEV) terhadap tekanan kapasitas vital (FVC)
menurun pada bronkitis dan asma.
f. Arterial Blood Gasses (ABGs) : menunjukan proses penyakit kronis, sering kali PaO2
menurun dan PaCO2 normal atau meningkat (bronkitis kronis dan emfisema), tetapi sering
kali menurun pada asma, pH normal atau asidosis, alkalosis repiratori ringan sekunder
terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau asma).
g. Bronkogram : dapat menunjukan dilatasi dari bronki saat inspirasi, kolaps bronkial pada
tekanan ekspirasi (emfisema), pembesaran kelenjar mukus (bronkitis).
h. Darah Lengkap : terjadi peningkatan hemoglobin (emfisema berat) dan eosinofil (asma). i.
Kimia Darah : alpha 1-antitripsin kemungkinan kurang pada emfisema primer. j. Sputum
Kultur : untuk menentukan adanya infeksi dan mengidentifikasi patogen,
sedangkan pemeriksaan sitologi digunakan untuk menentukan penyakit keganasan atau
alergi.
k. Elektrokardiogram (EKG) : deviasi aksis kanan, gelombang P tinggi (asma berat), atrial
distritmia (bronkitis), gelombang P pada leads II, III, dan AVF panjang, tinggi (pada
bronkitis dan emfisema), dan aksis QRS vertikal (emfisema).
l. Exercise EKG, Stress test : membantu dalam mengkaji tingkat disfungsi pernapasan,
mengevaluasi keefektifan obat bronkodilator, dan merencanakan/evaluasi program.
G. Komplikasi PPOK
Menurut Irman Sumantri (2009), Komplikasi PPOK yaitu :
a. Hipoksemia
Hipoksemia didefinisikan sebagai penurunan nilai PaO2 < 55 mmHg, dengan nilai saturasi
oksigen < 85%. Pada awalnya klien akan mengalami perubahan mood, penurunan
konsentrasi, dan menjadi pelupa. Pada tahap lanjut akan timbul sianosis.
b. Asidosis Respiratori
Timbul akibat dari peningkatan nilai PaCO2 (hiperkapnea). Tanda yang muncul antara lain
nyeri kepala, fatigue, letargi, dizzines, dan takipnea.
c. Infeksi Respiratori
Infeksi pernapasan akut disebabkan karena peningkatan produksi mukus dan rangsangan
otot polos bronkial serta edem mukus. Terbatasnya aliran udara akan menyebabkan
peningkatan kerja napas dan timbulnya dispnea.
d. Gagal Jantung
Terutama kor pulmonl (gagal jantung kanan akibat penyakit paru), harus diobservasi
terutama pada klien dengan dispnea berat. Komplikasi ini sering kali berhubungan dengan
bronkitis kronis, tetapi klien dengan emfisema berat juga dapat mengalami masalah ini. e.
Kardiak Disritma
Timbul karena hipoksemia, penyakit jantung lain, efek obat atau asidosis respiratori.
f. Status Asmatikus
Merupakan komplikasi mayor yang berhubungan dengan asma brokial. Penyakit ini sangat
berat, potensial mengancam kehidupan, dan sering kali tidak berespons terhadap terapi
yang biasa diberikan. Penggunaan otot bantu pernapasan dan distensi vena leher sering kali
terlihat pada klien dengan asma.
H. Pentalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut Mansjoer
dalam Rahmadi (2015) adalah :
1. Pencegahan yaitu mencegah kebiasaan merokok, infeksi, polusi udara.
2. Terapi eksasebrasi akut dilakukan dengan :
a. Antibiotik, karena eksasebrasi akut biasanya disertai infeksi. Infeksi ini umumnya
disebabkan oleh H. Influenzae dan S. Pneumonia, maka digunakan ampisillin 4 x
0,25- 0,5 g/hari atau eritromisin 4 x 0,5 g/hari.
b. Augmentin (amoksisilin dan asam kluvanat) dapat diberikan jika kuman penyebab
infeksinya adalah H. Influenzae dan B. Catarhalis yang memproduksi beta laktamase. c.
Pemberian antibiotik seperti kotrimoksasol, amoksisilin, atau doksisilin pada pasien yang
mengalami eksasebrasi akut terbukti mempercepat penyembuhan dam membantu
mempercepat kenaikan peak flow rate. Namun hanya dalam 7-10 hari selama periode
eksasebrasi. Bila terdapat infeksi sekunder atau tanda-tanda pneumonia, maka dianjurkan
antibiotic yang lebih kuat.
d. Terapi oksigen diberikan jika terdapat kegagalan pernafasan karena hiperkapnia dan
berkurangnya sensitivitas terhadap CO2.
e. Fisioterapi membantu pasien untuk mengeluarkan sputum dengan baik.
f. Bronkodilator untuk mengatasi, termasuk didalamnya golongan adrenergik. Pada pasien
dapat diberikan salbutamol 5 mg dan atau ipratorium bromide 250 mikrogram diberikan tiap 6
jam dengan nebulizer atau aminofilin 0,25-0,5 g iv secara perlahan. 3. Terapi jangka panjang
dilakukan dengan :
a. Antibiotik untuk kemoterapi preventif jangka panjang, ampisillin 4 x 0,25-0,5/hari
dapat menurunkan kejadian eksasebrasi akut.
b. Bronkodilator, tergantung tingkat reversibilitas obstruksi saluran nafas tiap pasien maka
sebelum pemberian obat ini dibutuhkan pemeriksaan obyektif dari fungsi faal paru.
c. Fisioterapi.
d. Latihan fisik untuk meningkatkan toleransi aktivitas fisik.
e. Mukolitik dan ekspektoran.
f. Terapi jangka penjang bagi pasien yang mengalami gagal nafas tipe II dengan
PaO2<7,3kPa (55 mmHg).
g. Rehabilitasi, pasien cenderung menemui kesulitan bekerja, merasa sendiri dan
terisolasi, untuk itu perlu kegiatan sosialisasi agar terhindar dari depresi. Rehabilitasi
pada pasien dengan penyakit paru obstruksi kronis adalah fisioterapi, rehabilitasi
psikis dan rehabilitasi pekerjaan.
Asih dalam Rahmadi (2015) menambahkan penatalaksanaan medis pada pasien dengan
Penyakit Paru Obstruksi Kronis adalah :
a. Penatalaksanaan medis untuk asma adalah penyingkiran agen penyebab dan edukasi atau
penyuluhan kesehatan. Sasaran dari penatalaksanaan medis asma adalah untuk
meningkatkan fungsi normal individu, mencegah gejala kekambuhan, mencegah serangan
hebat, dan mencegah efek samping obat. Tujuan utama dari berbagai medikasi yang
diberikan untuk klien asma adalah untuk membuat klien mencapai relaksasi bronkial
dengan cepat, progresif dan berkelanjutan. Karena diperkirakan bahwa inflamasi adalah
merupakan proses fundamental dalam asma, maka inhalasi steroid bersamaan preparat
inhalasi beta dua adrenergik lebih sering diresepkan. Penggunaan inhalasi steroid
memastikan bahwa obat mencapai lebih dalam ke dalam paru dan tidak menyebabkan
efek samping yang berkaitan dengan steroid oral. Direkomendasikan bahwa inhalasi beta
dua adrenergik diberikan terlebih dahulu untuk membuka jalan nafas, kemudian inhalasi
steroid akan menjadi lebih berguna.
b. Penatalaksanaan medis untuk bronkhitis kronis didasarkan pada pemeriksaan fisik,
radiogram dada, uji fungsi pulmonari, dan analisis gas darah. Pemeriksaan ini
mencerminkan sifat progresif dari penyakit. Pengobatan terbaik untuk bronkitis kronis
adalah pencegahan, karena perubahan patologis yang terjadi pada penyakit ini bersifat
tidak dapat pulih (irreversible). Ketika individu mencari bantuan medis untuk mengatasi
gejala, kerusakan jalan nafas sudah terjadi sedemikian besar.
Jika individu berhenti merokok, progresif penyakit dapat ditahan. Jika merokok dihentikan
sebelum terjadi gejala, resiko bronkhitis kronis dapat menurun dan pada akhirnya mencapai
tingkat seperti bukan perokok. Bronkodilator, ekspektoran, dan terapi fisik dada diterapkan
sesuai yang dibutuhkan. Penyuluhan kesehatan untuk individu termasuk konseling nutrisi,
hygiene respiratory, pengenalan tanda-tanda dini infeksi, dan teknik yang meredakan dispnea,
seperti bernafas dengan bibir dimonyongkan, beberapa individu mendapat terapi antibiotik
profilaktik, terutama selama musim dingin. Pemberian steroid sering diberikan pada proses
penyakit tahap lanjut (Rahmadi, 2015)
BAB III
KONSEP ASUHAN KEPERAWATAN PALIATIF PADA PASIEN DENGAN PENYAKIT
PARU OBSTRUKTIF KRONIS (PPOK)
A. Asuhan Keperawatan Paliatif Care pada Pasien PPOK
1. Pengkajian
a Biodata
Penyakit PPOK (Asma bronkial) terjadi dapat menyerang seagala usia tetapi lebih sering
di jumpai pada usia dini. Separuh kasus timbul sebelum usia 10 tahun dan sepertiga kasus
lainnya terjadi sebelum usia 40 tahun. Predisposisi laki-laki dan perempuan di usia dini
sebesar 2:1 yang kemudian sama pada usia 30 tahun.
b Riwayat kesehatan
1) Keluhan utama
Keluhan utama yang timbul pada klien dengan sama bronkial adalah dispnea (bias
sampai berhari-hari atau berbulan-bulan),batuk,dan mengi (pada beberapa kasus
lebih banyak paroksismal).
2) Riwayat kesehatan dahulu
Terdapat data yang menyatakan adanya faktor predisposisi timbulnya penyakit ini, di
antaranya adalah riwyat alergi dan riwayat penyakit saluran napas bagian bawah (
rhinitis, urtikaria, dan eksim).
3) Riwayat kesehatan keluarga
Klien dengan asma bronkial sering kali di dapatkan adanya riwayat penyaakit
keturunan, tetapi pada beberapa klien lainnya tidak di temukan adanya penyakit yang
sama pada anggota keluarganya.
c Pengkajian diagnostic COPD
1) Chest X- Ray : dapat menunjukkan hyperinflation paru, flattened diafragma,
peningkatan ruangan udara retrosternal, penurunan tanda vascular / bullae ( emfisema
), peningkatan suara bronkovaskular ( bronchitis ), normal ditemukan saat periode
remisi ( asma ).
2) Pemeriksaan fungsi paru : dilakukan untuk menentukan penyebab dispnea,
menentukan abnormalitas fungsi tersebut apakah akibat obstruksi atau restriksi,
memperkirakan tingkat disfungsi, dan mengevaluasi efek dari terapi, misalnya
bronkodilator.
3) Total lung capacity (TLC) : meningkat pada bronkitis berat dan biasanya pada asma,
namun menurun pada emfisema.
4) Kapasitas inspirasi : menurun pada emfisema.
5) FEV1/FVC : rasio tekanan volume ekspirasi (FEV) terhadap tekanan kapasitas vital
(FVC) menurun pada bronkitis dan asma.
6) Arterial blood gasses (ABGs) : menunjukan prose penyakit kronis, sering kali PaO2
menurun dan PaCO2 normal atau meningkatkan (bronkitis kronis dan emfisema), terapi
sering kali menurun pada asma, Ph normal atau asidosis, alkalosis respiratori ringan
sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau asma).
7) Bronkogram : dapat menunjukkan dilatasi dari bronki saat inspirasi, kolabs bronkial
pada tekanan ekspirasi (emfisema), pembesaran kelenjar mucus( brokitis). 8) Darah
lengkap : terjadi peningkatan hemoglobin (emfisema berat) dan eosinophil (asma).
9) Kimia darah : alpha 1-antitripsin kemungkinan kurang pada emfisema perimer. 10)
Skutum kultur : untuk menentukan adanya infeksi dan mengidentifikasi pathogen,
sedangkan pemeriksaan sitologi digunakan untuk menentukan penyakit keganasan/ elergi.
11) Electrokardiogram (ECG) : diviasi aksis kanan, glombang P tinggi (asma berat),
atrial disritmia (bronkitis), gelombang P pada leadsII, III, dan AVF panjang, tinggi(
pada bronkitis dan efisema) , dan aksis QRS vertical (emfisema).
12) Exercise ECG , stress test :membantu dalam mengkaji tingkat disfungsi pernafasan,
mengevaluasi keektifan obat bronkodilator, dan merencanakan/ evaluasi program. d
Pemeriksaan fisik
❖ Objektif
a) Batuk produktif/nonproduktif
b) Respirasi terdengar kasar dan suara mengi (wheezing) pada kedua fase respirasi
semakin menonjol.
c) Dapat disertai batuk dengan sputum kental yang sulit di keluarka.
d) Bernapas dengan menggunakan otot-otot napas tambahan.
e) Sianosis, takikardi, gelisah, dan pulsus paradoksus.
f) Fase ekspirasi memanjang diseratai wheezing( di apeks dan hilus )
g) Penurunan berat badan secara bermakna.
❖ Subjektif
Klien merasa sukar bernapas,sesak dan anoreksia
❖ Psikososial
a) Cemas, takut, dan mudah tersinggung.
b) Kurangnya pengetahuan klien terhadap situasi penyakitnnya
c) Data tambahan (medical terapi)
❖ Bronkodilator
Tidak digunakan bronkodilator oral, tetapi dipakai secara inhalasi atau
parenteral. Jika sebelumnya telah digunakan obat golongan simpatomimetik,
maka sebaiknya diberikan Aminophilin seacara parenteral, sebab mekanisme
yang berlainan, demikian pula sebaliknya, bila sebelmnya telah digunakan
obat golongan Teofilin oral, maka sebaiknya diberikan obat golongan
simpatomimetik secara aerosol atau parenteral.
Obat obatan bronkodilator golongan simpatomimetik bentuk selektif terhadap
adrenoreseptor (orsiprendlin, salbutamol, terbutalin, ispenturin, fenoterol)
mempunyai sifat lebih efektif dan masa kerja lebih lama serta efek samping
kecil dibandingkan dengan bentuk non selektif (adrenalin,Efedrin,
Isoprendlin)
∙ Obat-obat bronkodilator serta aerosol bekerja lebih cepat dan efek samping
sistemiknya lebih kecil. Baik digunakan untuk sesak napas berat pada
anak-anak dan dewasa. Mula-mula deberikan dua sedotan dari Metered
Aerosol Defire (AfulpenMetered Aerosol ). Jika menunjukkan perbaikan
dapat diulang setiap empat jam, jika tidak ada perbaikan dalam 10-15
menit setelah pengobatan, maka berikan Aminophilin intravena
∙ Obat-obat bronkodilator simpatomimetik memberi efek samping takikardi,
penggunaan parenteral pada orang tua harus hati-hati, berbahaya pada
penyakit hipertensi, kardiovaskuler, dan serebrovaskuler. Pada dewasa
dicoba dengan 0,3 ml larutan epinefrin 1 : 1000 secara subkutan. Pada
anak-anak 0,01 mg /KgBB subkutan (1 mg per mil) dapat diulang setiap
30 menit untuk 2-3 kali sesuai kebutuhan .
∙ Pemberian Aminophilin secara intravena denagn dosis awal 5-6 mg/KgBB
dewasa/ anak-anak, disuntikkan perlahan dalam 5-10 menit, untuk dosis
penunjang dapat diberikan sebanyak 0-9 mg/kgBB/jam secara intravena.
Efek sampingnya tekanan darah menurun bila tidak dilakukan secara
perlahan.
❖ Kortikosteroid
Jika pemberian obat-obat bronkodilator tidak menunjukkan perbaikan, maka
bisa dilanjutkan deagan pengobatan kortikosteroid, 200 mg hidrokortison
secara oral atau dengan dosis 3-4 mg/KgBB intravena sebagai dosis
permulaan dan dapat diulang 2-4 jam secara parental sampai serangan akut
terkontrol,dengan diikuti pemberian 30-60 mg prednison atau dengan dosis 1-
2 mg/KgBB/hari secara oral dalam dosis terbagi, kemudian dosis dikurangi
secara bertahap
❖ Pemberian oksigen
Oksigen dialirkan melalui kanul hidung dengan kecepatan 2-4 liter/menit
menggunakan air (humidifier) untuk memberiakan pelembapan. Obat
eksfektoran seperti gliserolguaiakolat juga dapat digunakan untuk
memperbaiki dehidrasi, oleh karena itu intake cairan per oral infus harus
cukup sesuai dengan prinsip.
❖ Beta Agonis
Beta agonis ( β–adrenergic agents) merupakan pengobatan awal yang
digunakan dalam penatalaksanaan penyakit asma, dikarenakan obat ini
berekrja dengan cara mendilatsikan otot polos ( vasedilator). Andrenerigic
agent juga meningkatkan pergerakan siliari , menurunkan mediator kimia
anafilaksis, dan dapat meningkatan efek bronkodilatasi dari kortikosteroid.
Andrenergic yang sering digunakan antara lain epinefrin, albuterol,
metaproterenol, isoproterenol, isoetarin, dan terbutalin. Biasanya diberikan
secara parenteral atau inhalasi. Jalan inhalasi merupakan salah satu pilihan
dikarenakan dapat mempengaruhi secara langsung dan mempunyai efek
samping yang lebih kecil.
2. Diagnosa Keperawatan
Diagnosa Keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut
Doenges (2012) adalah :
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasma, peningkatan produksi
sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental, penurunan energi atau kelemahan. b. Kerusakan
pertukaran gas berhubungan dengan ganguan oksigenasi (obstruksi jalan nafas oleh sekresi,
spasma bronkus, jebakan udara), kerusakan alveoli.
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea, kelemahan,
efek samping obat, produksi sputum, anoreksia, mual atau muntah.
d. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan utama
(penurunan kerja silia, menetapnya sekret), tidak adekuatnya imunitas (kerusakan jaringan,
peningkatan pemajanan pada lingkungan), proses penyakit kronis, malnutrisi.
3. Intervensi Keperawatan
Intervensi Keperawatan pada pasien dengan Penyakit Paru Obstruksi Kronis menurut
Doenges (2012) adalah :
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan bronkospasma, peningkatan
produksi sekret, sekresi tertahan, tebal, sekresi kental, penurunan energi atau kelemahan.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien akan
mempertahankan jalan nafas yang paten dengan bunyi nafas bersih atau jelas dengan
kriteria hasil pasien akan menunjukkan perilaku untuk memperbaiki bersihan jalan nafas
misalnya batuk efektif dan mengeluarkan sekret.
Intervensi :
Mandiri :
1) Auskultasi bunyi nafas. Catat adanya bunyi nafas misalnya mengi, krekels, ronkhi. R/
mengetahui ada tidaknya obstruksi jalan nafas dan menjadi manifestasi adanya bunyi
nafas adventisius.
2) Kaji atau pantau frekuensi pernafasan. Catat rasio inspirasi atau ekspirasi. R/ takipnea
biasanya ada pada beberapa derajat dan dapat ditemukan pada penerimaan atau selama
stress/adanya proses infeksi akut.
3) Catat adanya derajat dispnea, misalnya keluhan lapar udara, gelisah, ansietas, distress
pernafasan, penggunaan otot bantu.
R/ mengetahui disfungsi pernapasan.
4) Kaji pasien untuk posisi yang nyaman, misalnya peninggian kepala tempat tidur, duduk
pada sandaran tempat tidur.
R/ mempermudah fungsi pernapasan dengan menggunakan gravitasi.
5) Dorong atau bantu latihan nafas abdomen atau bibir.
R/ mengatasi dan mengontrol dispnea dan menurunkan jebakan udara.
6) Observasi karakteristik batuk, misalnya batuk menetap, batuk pendek, basah. Bantu
tindakan untuk memperbaiki keefektifan upaya batuk.
R/ batuk dapat menetap tetapi tidak efektif.
7) Tingkatkan masukan cairan sampai 3000 ml/hari sesuai toleransi jantung. Memberikan
air hangat. Anjurkan masukan cairan antara sebagai pengganti makanan. R/ hidrasi
membantu menurunkan kekentalan sekret, mempermudah pengeluaran. Kolaborasi :
1) Berikan obat sesuai indikasi.
a. Bronkodilator misalnya albuterol (ventolin).
b. Analgesik, penekan batuk atau antitusif misalnya dextrometorfan.
c. Berikan humidifikasi tambahan misalnya nebulizer ultranik, humidifier aerosol
ruangan.
d. Bantu pengobatan pernafasan misalnya fisioterapi dada.
R/ merilekskan otot halus dan menurunkan kongesti lokal, menurunkan spasme
jalan napas, mengi, dan produksi mukosa
b. Kerusakan pertukaran gas berhubungan dengan ganguan supply oksigen (obstruksi jalan
nafas oleh sekresi, spasma bronkus, jebakan udara), kerusakan alveoli. Setelah dilakukan
tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien menunjukkan perbaikan
ventilasi dan oksigenasi jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang normal dan bebas
gejala distress pernafasan dengan kriteria hasil pasien akan berpartisipasi dalam program
pengobatan dalam tingkat kemampuan atau situasi. Intervensi :
Mandiri :
1) Kaji frekuensi, kedalaman pernafasan. Catat penggunaan otot aksesori, nafas bibir,
ketidakmampuan berbicara atau berbincang.
R/ berguna dalam evaluasi derajat distres pernapasan dan kronisnya proses penyakit.
2) Tinggikan kepala tempat tidur, bantu pasien untuk memilih posisi yang mudah untuk
bernafas. Dorong nafas dalam perlahan atau nafas bibir sesuai kebutuhan atau toleransi
individu.
R/ posisi duduk tinggi dan latihan nafas untuk menurunkan kolaps jalan napas,
dispnea, dan kerja napas.
3) Kaji atau awasi secara rutin kulit dan warna membran mukos.
R/ Keabu-abuan dan sianosis sentral mengidentifikasikan beratnya hipoksemia.
4) Dorong mengeluarkan sputum, penghisapan bila di indikasikan.
R/ banyaknya sekret menjadi sumber utama gangguan pertukaran gas pada jalan nafas. 5)
Auskultasi bunyi nafas, catat area penurunan aliran udara dan atau bunyi tambahan. R/
bunyi nafas mungkin redup karena penurunan aliran udara atau area konsolidasi.
6) Palpasi fremitus.
R/ penurunan getaran vibrasi diduga ada pengumpulan cairan atau udara
terjebak. 7) Awasi tingkat kesadaran atau status mental. Selidiki adanya perubahan.
R/ gelisah dan ansietas adalah manifestasi umum pada hipoksia.
8) Evaluasi tingkat toleransi aktivitas. Berikan lingkungan tenang dan kalem. Batasi
aktivitas pasien atau dorong untuk tidur atau istirahat di kursi selama fase akut.
Mungkinkan pasien melakukan aktivitas secara bertahap dan tingkatkan sesuai
toleransi individu.
R/ program latihan ditujukan untuk meningkatkan ketahanan dan kekuatan tanpa
menyebabkan dispnea berat, dan dapat meningkatkan rasa sehat.
9) Awasi tanda vital dan irama jantung.
R/ takikardia, disritmia dan perubahan TD dapat menunjukkan efek hipoksemia
sistemik pada fungsi jantung.
Kolaborasi :
1) Awasi dan gambarkan seri GDA dan nadi oksimetri.
R/ PaCO2 biasanya meningkat dan PaCO2 secara umum menurun, sehingga hipoksia
terjadi dengan derajat lebih kecil atau lebih besar.
2) Berikan oksigen tambahan yang sesuai dengan indikasi hasil GDA dan toleransi pasien.
R/ dapat memperbaiki/mencegah memperburuknya hipoksia
3) Berikan penekan SSP (antiansietas, sedative, atau narkotik) dengan hati-hati. R/
digunakan untuk mengontrol ansietas/gelisah yang meningkatkan konsumsi
oksigen/kebutuhan, eksaserbasi dispnea.
4) Bantu intubasi, berikan atau pertahankan ventilasi mekanik dan pindahkan ke ICU
sesuai instruksi untuk pasien.
R/ terjadinya kegagalan nafas yang akan datang memerlukan upaya tindakan
penyelamatan hidup.
c. Perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan dispnea, kelemahan,
efek samping obat, produksi sputum, anoreksia, mual atau muntah.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien
menunjukkan peningkatan berat badan menuju tujuan yang tepat dengan kriteria hasil
pasien akan menunjukkan perilaku atau perubahan pola hidup untuk meningkatkan dan
atau mempertahankan berat yang tepat.
Intervensi :
Mandiri :
1) Kaji kebiasaan diet, masukan makanan saat ini. Catat derajat kesulitan makanan. R/
pasien distres pernapasan akut sering anoreksia karena dispnea, produksi sputum, dan
obat.
2) Evaluasi berat badan dan ukuran tubuh.
R/ meskipun kegagalan pernapasan membuat status hipermetabolik dengan
peningkatan kebutuhan kalori.
3) Auskultasi bunyi usus.
R/ penurunan bising usus menunjukkan penurunan motilitas gaster dan konstipasi. 4)
Berikan perawatan oral sering, buang sekret, berikan wadah khusus untuk sekali pakai dan
tissu.
R/ mencegah utama terhadap tidak nafsu makan dan dapat membuat mual dan muntah
dengan peningkatan kesulitan nafas.
5) Dorong periode istirahat selama 1 jam sebelum dan sesudah makan. Berikan makan
porsi kecil tapi sering.
R/ membantu menurunkan kelemahan selamawaktu makan dan memberikan
kesempatan untuk meningkatkan masukan kalori total.
6) Hindari makanan penghasil gas dan minuman karbonat.
R/ dapat menghasilkan distensi abdomen yang mengganggu nafas abdomen dan
gerakan diafragma, dapat meningkatkan dispnea.
7) Hindari makanan yang sangat panas atau yang sangat dingin.
R/ suhu ekstrem dapat mencetuskan/meningkatkan spasme batuk.
8) Timbang berat badan sesuai indikasi.
R/ berguna untuk menentukan kebutuhan kalori, menyusun tujuan berat badan, dan
evaluasi keadekuatan rencana nutrisi.
Kolaborasi :
1) Konsul ahli gizi atau nutrisi pendukung tim untuk memberikan makanan yang mudah
dicerna, secara nutrisi seimbang, misalnya nutrisi tambahan oral atau selang, nutrisi
parenteral.
R/ memberikan nutrisi maksimal dengan upaya minimal pasien/ penggunaan energi. 2)
Kaji pemeriksaan laboratorium misalnya glukosa, elektrolit. Berikan vitamin atau mineral
atau elektrolit sesuai indikasi.
R/ mengevaluasi kekurangan dan mengawasi keefektifan terapi nutrisi.
3) Berikan oksigen tambahan selama makan sesuai indikasi.
R/ menurunkan dispnea dan meningkatkan energi untuk makan meningkatkan
masukan.
d. Resiko tinggi terhadap infeksi berhubungan dengan tidak adekuatnya pertahanan utama
(penurunan kerja silia, menetapnya sekret), tidak adekuatnya imunitas (kerusakan
jaringan, peningkatan pemajanan pada lingkungan), proses penyakit kronis, malnutrisi.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 3 x 24 jam diharapkan pasien menyatakan
pemahaman penyebab atau faktor resiko individu dengan kriteria hasil pasien akan
mengidentifikasi intervensi untuk mencegah atau menurunkan resiko infeksi dan pasien
akan menunjukkan teknik, perubahan pola hidup untuk meningkatkan lingkungan yang
aman.
Intervensi :
Mandiri :
1) Awasi suhu.
R/ demam dapat terjadi karena infeksi atau dehidrasi.
2) Kaji pentingnya latihan nafas, batuk efektif, perubahan posisi sering, dan masukan
cairan adekuat.
R/ aktivitas ini meningkatkan mobilisasi dan pengeluaran sekret untuk menurunkan
resiko terjadinya infeksi paru.
3) Observasi warna, karakter, bau sputum.
R/ sekret berbau, kuning tau kehijauan menunjukan adanya infeksi paru. 4) Tunjukkan
dan bantu pasien tentang pembuangan tisu dan sputum. Tekankan cuci tangan yang benar
(perawat dan pasien) dan penggunaan sarung tangan bila memegang atau membuang tisu,
wadah sputum.
R/ mencegah penyebaran patogen melalui cairan.
5) Awasi pengunjung, berikan masker sesuai indikasi.
R/ menurunkan potensial terpajan pada penyakit infeksius.
6) Dorong keseimbangan antara aktivitas dan istirahat.
R/ menurunkan kebutuhan keseimbangan oksigen dan memperbaiki pertahanan pasien
terhadap infeksi, meningkatkan penyembuhan.
7) Diskusikan kebutuhan masukan nutrisi adekuat.
R/ malnutrisi dapat mempengaruhi kesehatan umum dan menurunkan tahanan
terhadap infeksi.
Kolaborasi:
1) Dapatkan spesimen sputum dengan batuk atau penghisapan untuk pewarnaan kuman
gram, kultur atau sensitivitas.
R/ dilakukan untuk mengidentifikasi organisme penyebab dan kerentanan terhadap
berbagai antimikrobial.
2) Berikan antimikrobial sesuai indikasi.
R/ dapat diberikan untuk organisme khusus yang teridentifikasi dengan kultur dan
sensitifitas, atau diberikan secara profilaktif karena resiko tinggi.
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah pelaksanaan dari rencana intervensi untuk mencapai tujuan yang
spesifik. Tahap implementasi dimulai setelah rencana intervensi disusun dan ditujukan pada
nursing orders untuk membantu klien mencapai tujuan yang diharapakan. Oleh karena itu
rencana intervensi yang spesifik dilaksanakan untuk memodifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi masalah kesehatan klien (Nursalam, 2008). Intervensi pada klien PPOK dengan
masalah keperawatan bersihan jalan tidak efektif yaitu Implementasi yang dilakukan NIC:
Meningkatkan manajemen batuk: Mengajarkan klien untuk menarik nafas dalam, mengajarkan
klien untuk nafas dalam kemudian tahan selama 2 detik setelah itu batukkan 2-3 kali,
mengajarkan klien untuk batuk kemudian dilanjutkan untuk nafas dalam beberapa kali,
mendampingi klien menggunakan bantal atau selimut yang dilipat untuk menahan perut saat
batuk. Mengatur posisi: memposisikan klien semi fowler untuk mengurangi sesak nafas
(Herdman, 2015 dan Buthcer, 2016). Menurut peneliti implementasi yang dilakukan bisa saja
berbeda dengan intervensi yang dibuat, karena penulis harus menyesuaikan dengan kondisi
klien.
5. Evaluasi Keperawatan
Tahap penilaian atau evaluasi adalah perbandingan yang sitematis dan tere ncana tentang
kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan dengancara bersambungan
dengan melibatkan klien, keluarga, dan tenaga kesehatnnya. (Wahyuni, 2016).
Evaluasi adalah penilaian terakhir didasarkan pada tujuan keperawatan yang ditetapkan.
Penetapan keberhasilan suatu asuhan keperawatan didasarkan pada kriteria hasil yang telah
ditetapkan, yaitu terjadinya adaptasi pada individu (Nursalam, 2008)
BAB IV
TINJAUAN KASUS
Tanggal Pengkajian : 9 september 2021 Nama Mahasiswa : Neneng Tanggal Masuk : 4 september
2021 NIM : PO71202210076 Waktu Masuk : 08.00 wib Sumber informasi : PS dan keluarga Nomor
Register : 10081519
Diagnosa Medis : PPOK
A. DATA BIOGRAFI
1. Nama pasien : Tn AM
2. Tempat/ tanggal lahir : 56 Tahun
3. Jenis kelamin : Laki laki
4. Status perkawinan : kawin
5. Suku bangsa : jawa/ indonesia
6. Agama : islam
7. Bahasa yang dipakai : indonesia
8. Pendidikan terakhir : SMA
9. Pekerjaan : PNS
10.Alamat rumah : Ampel Madrasah 18 Surabaya
2. ELIMINASI
Eliminas urine
▪ Frekuensi BAK/ 24 jam : 1200 cc/24 jam 5-6 kali
▪ Karakteristik urine :
◻ Warna : kuning muda
◻ Bau : khas amoniak
◻ Kejernihan : jernih
◻ Jumlah : 1200 cc/24 jam
▪ Keluhan BAK :
◻ Urine tertahan dan tidak bisa keluar
◻ BAK yang tidak terkontrol
◻ Nyeri dan kesukaran untuk BAK
◻ Sering BAK
◻ Lain-lain (sebutkan) tidak ada
▪ Penggunaan kateter :
◻ Ya
◻ Tidak √
◻ Keluhan (sebutkan)
▪ Lain-lain (penjelasan) : tidak ada
Eliminasi Bowel
▪ Frekuensi BAB/ 24 jam : 1x / 24 jam
▪ Karakteristik feses :
◻ Warna kuning
◻ Konsistensi lunak
◻ Bau khas
▪ Keluhan BAB : tidak ada
▪ Lain-lain (penjelasan) : tidak ada
▪ Masalah keperawatan yang muncul: tidak ada masalah
3. ISTIRAHAT DAN TIDUR
▪ Waktu tidur: tidur siang 1 jam, tidur malam 4 jam
▪ Aktifitas (kebiasaan) sebelum tidur :
◻ Mendengar musik
◻ Minum susu
◻ Memegang boneka
◻ Membaca buku
◻ Lain-lain (sebutkan) tidak ada
▪ Gangguan tidur atau faktor kontribusi :
◻ Sering terbangun, penyebab sesak nafas
◻ Sulit tidur, penyebab pasien mengalami sesak nafas dan harus
tidur dalam posisi duduk cukup tinggi, pasien tampak gelisah
saat tidur malam hari
◻ Mimpi yang mengancam, sebutkan tidak ada
◻ Penyakit, sebutkan PPOK
◻ Merasa tidak puas setelah bangun tidur, penyebab susah
▪ Pemeriksaan fisik
a. Penampilan wajah :
◻ Pucat
◻ Tampak mengantuk √
◻ Lain-lain, sebutkan ..................................................................
b. Mata :
◻ Ptosis ▪ Tingkat aktifitas sehari-hari
◻ Konjungtiva merah a. Aktifitas yang biasa dilakukan
c. Perilaku : sehari-ha ◻ Dibantu total √
Sayu ▪ Toleransi aktifitas
Tampak lengket a. Keluhan setelah melakukan aktifitas
Pusing ◻ Lelah √
Iritabel ◻ Sering menguap √
Kurang perhatian ◻ Postur tubuh tidak stabil ◻ Bingung
Menarik diri dan kurang koordinasi
▪ Lain-lain (penjelasan) : tidak ada Sesak napas √ Berdebar-debar
◻ Lain-lain, sebutkan
▪ Masalah keperawatan yang muncul:
.......................................................
Gangguan pola tidur
4. MOBILITAS FISIK
▪ Exercise/ Latihan
a. Jenis latihan yang biasa dilakukan : tidak ada
b. Kapan latihan dilakukan : tidak ada
c. Berapa kali latihan dilakukan : tidak ada
▪ Body Alignment
Normal ◻ Tidak normal
◻
▪ Body Mechanic
a. Kekuatan dan sikap tubuh waktu berjalan :
b. Ayunan tangan
Cepat ◻ Lambat √ ◻ Lain-lain ................................. c. Gaya berjalan
Tegap ◻ Goyah √ ◻ Lain-lain ................................. d. Kaki mengikuti fase ayunan
tangan :
Ya ◻ Tidak
e. Mulai berjalan dan berhenti dengan mudah :
Ya ◻ Tidak
▪ Mobilitas
a. Sendi
Bengkak ◻ Deformitas ◻ Kontraktur
b. Pergerakan terbatas
Ya ◻ Tidak
c. Bergerak memerlukan bantuan
Ya √ ◻ Tidak
d. ROM
◻ Aktif,
◻ Pasif,
e. Kekuatan Otot
◻ Minimal
◻ Maksimal
▪ Lain-lain (penjelasan)
Pasien mengatakan cepat lelah sehingga tidak mampu meakukan ktivitas sehari-hari secara
mandiri, Pasien hanya dapat berbaring dibed
5. OKSIGENASI
▪ Riwayat pekerjaan : Pasien bekerja sbagi PNS ......................................................................... ▪
Riwayat pribadi atau keluarga tentang penyakit paru sebelumnya
Pasien Sesak nafas kumat-kumatan sejak 5 tahun yang lalu. Klien pernah MRS dengan penyakit
yang sama selama 8 kali. Mempunyai riwayat Asthma Bronkiale sejak kecil. Orang tua dan anak
dari klien ada juga yang menderita penyakit seperti yang diderita klien saat ini
▪ Kebiasaan merokok : Klien merokok selama 30 tahun sebanyak 2 pak/hari, ▪
Riwayat alergi : Cuaca dingin
▪ Status pernapasan
a. Frekuensi napas : 32 x/menit
b. Kedalaman dan irama napas : Nafas pendek, gerakan diagfrahma minimal ......... c. Bunyi
napas : Ronki, wheezing
▪ Keluhan
a. Dispnea : √• Ada ................... • Tidak ................................... b. Aktifitas yang menimbulkan
dispnea : .............................................................................. c. Waktu timbulnya dispnea : •
Mendadak .......... • Bertahap ............................
d. Keadaan yg memperburuk dispnea :kerja, cuaca atau episode serangan asthma.............. e.
Batuk : √• Ada ................... • Tidak ................................... f. Penyebab batuk :
................................................................................... g. Sputum : √• Ada ................... • Tidak
................................... h. Karakteristik sputum : Warna putih kekuningan Jumlah.......................
(ml)
i. Nyeri dada : • Ada..................... • Tidak √.................................. j. Karakteristik nyeri dada :
Tajam ◻ Menusuk ◻ Intermitten k. Aktifitas yg menimbulkan nyeri dada :
tidak ada
l. Waktu timbulnya nyeri dada : Mendadak .............. Bertahap ......................... m. Keadaan yg
memperburuk nyeri dada : ........................................................................... n. Sianosis : √ • Ya
.....................• Tidak ................................ ▪ Lain-lain (penjelasan)
Tidak ada
▪ Masalah keperawatan yang muncul:
Bersihan jalan nafas tidak efektif
7. PERSONAL HYGIENE
▪ Kulit kepala dan rambut
Ketombe (+), rambut bau
▪ Mata
Tidak ada masalah
▪ Hidung
Tidak ada masalah
▪ Telinga
Serumen (+)
▪ Kuku kaki dan tangan
Kotor(+)
▪ Genetalia
Tidak ada masalah
▪ Kulit seluruh badan
Kulit tampak kusam
▪ Tubuh secara keseluruhan
Kebersihan buruk dan bau badan
▪ Masalah keperawatan yang muncul:
Defisit perawatan diri
8. KENYAMANAN : NYERI
▪ Karakteristik nyeri
a. Lokasi nyeri : tidak ada
Superfisial d. Kualitas nyeri : ◻ Nyeri tidak terkontrol
Distal ◻ Viseral ◻ Proximal ◻ Lateral
b. Skala nyeri : tidak ada c. ◻ Medial
Intensitas nyeri :
Tidak nyeri ◻ Nyeri sedang
Nyeri hebat ◻ Nyeri ringan
13. SPIRITUAL
▪ Nilai dan keyakinan
a. Siapa atau apa sumber kekuatan
b. Keyakinan terhadap Tuhan dan agama pasien memiliki keyakinan
▪ Kegiatan ibadah
a. Kegiatan ibadah yang biasa dilakukan sendiri di rumah (sebutkan) .........................................
Sholat
b. Kegiatan ibadah berkelompok di masyarakat (sebutkan)
Tidak ada
c. Hambatan ibadah yang dirasakan saat ini
Adanya perubahan status kesehatan dan penurunan fungsi tubuh berupa PPOM tidak
menghambat klien dalam melaksanakan ibadah tetapi mempengaruhi pola ibadah klien ▪
Lain-lain (penjelasan)
Tidak ada
▪ Masalah keperawatan yang muncul:
14. MEKANISME KOPING
▪ Pengambilan keputusan
◻ Sendiri
◻ Dibantu oleh orang lain, sebutkan ..................................................................................... ▪
Yang dilakukan jika mempunyai masalah
◻ Diselesaikan sendiri, sebutkan ...........................................................................................
◻ Meminta bantuan orang lain, sebutkan ..............................................................................
◻ Menghindari masalah
◻ Melakukan olahraga
◻ Meminum alkohol
◻ Banyak merokok
◻ Bekerja berlebihan
◻ Lain-lain, sebutkan ............................................................................................................ ▪
Lain-lain (penjelasan)
Pasien mengatakan cemas dan takut terhadap perawatan dan penyakitnya
▪ Masalah keperawatan yang muncul: Pasien mengatakan merasa terasingkan karena bergantung
pada keluarga, pasien mudah tersingung dan marah
▪ Masalah keperawatan
Koping tidak efektif
16. LUKA
▪ Penyebab luka : tidak ada
▪ Penampilan luka : tidak ada
▪ Drainage : tidak ada
▪ Pembengkakan : tidak ada
▪ Bau : tidak ada
▪ Nyeri : tidak ada
▪ Teraba hangat : tidak ada
▪ Tindakan perawatan luka : tidak ada
▪ Tanda-tanda komplikasi :
◻ Infeksi
◻ Perdarahan
◻ Dehiscene
◻ Lain-lain ............................................................
▪ Lain-lain (penjelasan)
tidak ada
Masalah keperawatan yang muncul:
C. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Radiologi
Hasil foto Thorax PA tanggal 15 Mei 2002: Cor : bentuk Tear Drops Pulmo : Tampak
bronchopulmonary Pattern sedikit meningkat hiperacrated kedua paru. Kedua sinus Phrenicocostalis
tumpul (tampak tenting pada kedua hemidiafragma). Tampak perselubungan homogen pada
hemithorax kanan bawah lateral. Tampak callus formation pada costa 5, 6, 7, dan 8 kanan belakang.
Kesimpulan : Emphysematous Lung, Efusi Pleura bilateral yang telah mengalami organisasi bekas
fraktur Costa 5, 6, 7, dan 8 kanan belakang.
2. EKG
Hasil EKG tanggal 17 Mei 2002: Sinus takikardi disertai PAC dan PVC oleh karena pemberian
Aminophyllin (Efek Aritmogenik)
3. USG
Tidak ada
4. Laboratorium
▪ Darah
Darah lengkap tanggal : 4 sept 2021.
- Hb : 10,7 gr% mg/dl (L 13,5 – 18,0 – P 11,5 – 16,0 mg/dl) - Leukosit : 18.600 (4000 –
11.000). - Trombosit : 381 (150 – 350). - PCV : 0,33
Faal Hati tanggal :. - SGOT : 20 (L < 37 P < 31) U/L
Faal Ginjal tanggal : - Ureum/BUN : 12 mg/dl (10 – 45) - Serum Creatinin : 0,93 mg/dl (L :
0,9 – 1,5 P : 0,7 – 1,3)
Elektrolit tanggal :. - Natrium : 136 mmol/l (135 – 145 mmol/l) - Kalium : 2,2 mmol/l (3,5
– 5,5 mmol/l)
Gas Darah Analisa : - PH : (7,35 – 7,45) - PO2 : (80 – 100) mmHg - PCO2 : (35 – 45)
mmHg - HCO3 : (22 – 26) mmol/L - BE : (- 2,5 - + 2,5) mmol/L
▪ Urine
Tidak ada
▪ Feses
Tidak ada
5. Lain-lain, sebutkan.
Tidak ada
D. PROGRAM PENGOBATAN
∙ Oksigen 2 Lt/mt
∙ Inj Cepotaxime 3 X 1 gr.
∙ Tab Cefrofloxacin 2 X 500 mg
∙ Atroven Nebulizer 4 x / hr.
∙ Bricasma Nebulizer 4 x / hr.
∙ Syr Antacid 3 X 1 C1
∙ Tab Ranitidin 2 X 1
∙ Tab Codein 3 X 10 mg
∙ Infus RL drip KCl 25 mg/24 jam
NIM PO71202210076
ANALISA DATA
No Analisa data Etiologi Masalah Paraf /
keperawatan Waktu
1 DS : Hipersekr Bersihan Melani
- Pasien mengatakan sesak napas esi jalan jalan napas /09
disertai batuk, sesak ketika napas tidak Septemb
melakukan aktivitas ataupun efektif er 2021
berbaring
- Sesak napas memberat 5 hari
SMRS
DO :
- Pengkajian bunyi napas ronkhi,
wheezing dan redup
- Terdapat sputum putih
kekuningan
- Frekuensi napas : 32 x/menit
- Hasil laboratorium
Hb : 10.6 gr %
4 DS: Kurang Gangguan 09
- Pasien mengeluh susah tidur, control tidur pola tidur Septem
sesak saat berbaring, ber
- Keluarga pasien mengatakan 2021
pasien sering terbangun saat tidur DO:
- Pasien tampak gelisah saat tidur
dimalam hari
5 DS : Ketidaksei Intoleransi 09
- Pasien mengeluh cepat lelah mb angan aktivitas Septem
sehingga tidak mampu suplai dan ber
melakukan aktivitas sehari- hari kebutuhan 2021
secara mandiri oksigen
DO :
- Tampak aktivitas sehari-hari
pasien dibantu oleh keluarga
dan perawat
- Pasien hanya dapat berbaring
dibed
7 DS : Kurang Defisit 09
- Pasien dan keluarga mengatakan terpapar pengetahuan Septem
tidak mengetahui dampak informasi ber
Penyakit Paru Obstruktif 2021
Kronik
DO:
- Pasien dan keluarga tidak
mematuhi prosedur pengobatan
dan perawatan yang lama
karena kurang informasi
8 DS : Ketidakade Koping 09
- Pasien mengatakan cemas dan ku atan tidak Septem
takut terhadap perawatan dan strategi efektif ber
penyakitnya koping 2021
- Pasien mengatakan merasa
terasingkan karena bergantung
pada keluarga
DO :
DIAGNOSA KEPERAWATAN
NO TGL/JAM DIAGNOSA KEPERAWATAN PARAF
Hb : 10.6 gr %
4 September,2021 Intoleransiaktivitasb.d
Ketidakseimbangan suplai dan
kebutuhan oksigen di tandai dengan
DS :
- Pasien mengeluh cepat lelah
sehingga tidak mampu
melakukan aktivitas sehari-
hari secara mandiri.
DO :
- Tampak aktivitas sehari-hari
pasien dibantu oleh keluarga
dan perawat.
- Pasien hanya dapat berbaring
dibed
INTERVENSI
Standar Standar Luaran Standar Intervensi
Diagnosa Keperawatan Keperawatan Indonesia
Keperawatan Indonesia (SLKI) (SIKI)
Indonesia
(SDKI)
Bersihanjalan SLKI SIKI Label
napas tidak Status pernapasan: Manajemen Jalan Napas
efektif kepatenan jalan napas. a. Monitor pola napas (frekuensi,
Definisi:Ketidak a. Frekuensi kedalaman, usaha napas)
ma mpuan pernafasan (5) tidak b. Monitor bunyi napas tambahan (mis.
membersihkan ada deviasi gurgling, mengi, wheezing, ronkhi
sekresi atau dari kisaran normal. kering)
obstruksi dari b. Irama pernafasan c. Monitor sputum (jumlah, warna,
saluran napas (5) tidak ada deviasi aroma)
untuk dari d. Pertahankan kepatenan jalan napas
mempertahankan kisaran normal. dengan head tilt dan chin lift (jaw
bersihan jalan c. Kedalaman thrust) jika curiga trauma servikal
nafas. inspirasi(5) tidak ada e. Posisikan semi fowler atau
Batasan deviasi dari kisaran fowler f. Berikan minum hangat
Karakteristik: normal. g. Lakukan fisioterapi dada
1. Batuk yang d. Kemampuan untuk h. Lakukan penghisapan lender kurang
tidak efektif mengeluarkan secret dari 15 detik
2. Dispnea (5) tidak ada deviasi i. Lakukan hiperoksigenasi sebelum
3. Gelisah dari kisaran normal. penghisapan endotrakeal
4. Kesulitan e. Suara nafas j. Keluarkan sumbatan benda padat
verbalisasi tambahan (5) tidak dengan forsep Mcgill
5. Mata terbuka ada. k. Berikan oksigen
lebar f. Pernafasan cuping l. Anjurkan asupan cairan 2000 ml/hari
6. Ortopnea hidung (5) tidak ada. jika tidak kontraindikasi
7. Penurunan g. Penggunaan otot m. Ajarkan teknik batuk efektif
bunyi nafas bantu nafas (5) tidak n. Kolaborasi pemberian bronkodilator,
8. Perubahan ada. ekspektoran, mukolitik
frekuensi nafas h. Batuk (5) tidak ada. 1. Latihan Batuk Efektif
9. Perubahan a. Identifikasi kemampuan batuk
pola nafas b. Monitor adanya retensi sputum
10. Sianosis c. Monitor tanda dan gejala infeksi
11. Sputum saluran napas
dalam jumlah d. Monitor input dan output cairan (mis.
yang jumlah dan karakteristik)
berlebih e. Atur posisi semi fowler atau fowler f.
12. Suara napas Pasang perlak dan bengkok di pangkuan
tambahan pasien
13. Tidak ada g. Buang secret pada tempat sputum h.
batuk Jelaskan tujuan dan prosedur batuk
efektif
i. Anjurkan tarik nafas dalam melalui
hidung selama 4 detik ditahan selama
2 detik kemudian keluarkan dari
mulut dengan bibir mencucu
(dibulatkan)
selama 8 detik
j. Anjurkan mengulangi tarik napas
dalam hingga 3 kali
k. Anjurkan batuk dengan kuat langsung
setelah tarik napas dalam yang ke-3 l.
Kolaborasi pemberian mukolitik atau
ekspektoran, jika perlu
Terapi Oksigen
a. Monitor kecepatan aliran oksigen b.
Monitor posisi alat terapi oksigen c.
Monitor aliran oksigen secara periodic
dan pastikan fraksi yang diberikan
cukup
d. Monitor efektifitas terapi oksigen (mis
oksimetri, analisa gas darah)
e. Monitor kemampuan melepaskan
oksigen saat makan
f. Monitor tanda-tanda hipoventilasi g.
Monitor tanda dan gejala toksikasi
oksigen dan atelektasis
h. Monitor tingkat kecemasan akibat
terapi oksigen
i. Monitor integritas mukosa hidung
akibat pemasangan oksigen
j. Bersihkan secret pada mulut, hidung
dan trakea, jika perlu
k. Pertahankan kepatenan jalan napas l.
Siapkan danatur peralatan pemberian
oksigen
m. Berikan oksigen tambahan, jika perlu
n. Tetap berikan oksigen saat pasien
ditransportasi
o. Gunakan perangkat oksigen yang
sesuai dengan tingkat mobilitas pasien p.
Ajarkan pasien dan keluarga cara
menggunakan oksigen di rumah
q. Kolaborasi penentuan dosis oksigen
Kolaborasi penggunaan oksigen saat
aktivitas dan atau tidur
PerfusiPerifer Tujuan: Setelah dilakukan Perawatan Sirkulasi
Tidak Efektif tindakan keperawatan 3x24 Observasi:
jam diharapkan perfusi ▪ Periksa sirkulasi perifer
perifer meningkat ▪ Identifikasi faktor risiko gangguan
Kriteria Hasil: sirkulasi
Warna kulit pucat ▪ Monitor panas, kemerahan, nyeri,
berkurang Edema perifer atau bengkak pada ekstremitas
berkurangg Kelemahan Terapeutik
otot berkurang Akral ▪ Hindari pemasangan infus atau
teraba hangat pengambilan darah di area
Turgor kulit membaik keterbatasan perfusi
IMPLEMENTASI
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK) merupakan kumpulan penyakit paru yang sudah
lama dan bertahun tahun, ditandai dengan adanya penyumbatan pada aliran udara dari paru
paru. Dengan penyebab utama dari lingkungan polusi udara, merokok, paparan debu, dan gas
gas kimiawi. Faktor Usia dan jenis kelamin sehingga mengakibatkan berkurangnya fungsi paru
paru bahkan pada saat gejala penyakit tidak dirasakan. Infeksi sistem pernafasan akut, seperti
peunomia, bronkitis, dan asma orang dengan kondisi ini berisiko mendapat PPOK.
Jika individu berhenti merokok, progresif penyakit dapat ditahan. Jika merokok dihentikan
sebelum terjadi gejala, resiko bronkhitis kronis dapat menurun dan pada akhirnya mencapai
tingkat seperti bukan perokok.
B. Saran
Sebagai perawat diharapkan mampu membuat asuhan keperawatan dengan baik terhadap
penderita penyakit saluran pernapasan terutama PPOK. Oleh karena itu, perawat juga harus
mampu berperan sebagai pendidik dalam hal ini melakukan penyuluhan ataupun memberikan
edukasi kepada pasien maupun keluarga pasien terutama mengenai tanda-tanda, penanganan
dan penceganhanya.
DAFTAR PUSTAKA
Smeltzer, Susan C. 2011. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Somantri, Irman. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan.
Jakarta : Penerbit Salemba Medika.
Somantri, Irman. 2009. Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Gangguan Sistem Pernapasan .
Vol:2. Jakarta : Penerbit Salemba Medika.
http://repo.stikesicme-jbg.ac.id/910/13/151210013_Iis%20Maisaroh_KTI%20benarkunci.pdf
http://elib.stikesmuhgombong.ac.id/539/1/NISA%20AGUSTIN%20NIM.%20A01401932.pdf
http://eprints.ums.ac.id/25892/14/NASKAH_PUBLIKASI.pdf
https://www.google.com/url?
q=https://www.academia.edu/37689132/asuhan_keperawatan_pada_pasien_dengan_PPOK&s
a=U&ved=2ahUKEwjf0_7S2ZvlAhWFdn0KHYzXA3MQFjAAegQIAhAB&usg=AOvVaw3
TTVNbVYVQVmbPnhQAJqM7