Anda di halaman 1dari 18

KONSEP GAGAL NAFAS

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Kritis

Dosen Pembimbing : Bangun Wijonarko, SST, Ners, M.Kes

Disusun Oleh :

Kelompok 5

1. Fauziah Safitri (P27901120015)


2. Fitri Andini (P27901120016)
3. Herni Mulyani (P27901120017)

POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES BANTEN


JURUSAN KEPERAWATAN TANGERANG
TAHUN AKADEMIK 2022-2023
KATA PENGANTAR

Dengan menyebut nama Allah SWT yang Maha Pengasih lagi Maha Panyayang, kami
panjatkan puja dan puji syukur atas kehadirat-Nya, yang telah melimpahkan rahmat, hidayah,
dan inayah-Nya kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini yang
berjudul “Konsep Gagal Nafas”.
Tidak lupa penulis ucapkan terima kasih kepada Bapak Bangun Wijonarko
SST,Ners,M.Kes selaku dosen pengampu mata kuliah Kritis.
Namun tidak lepas dari semua itu, penulis menyadari sepenuhnya bahwa ada kekurangan
baik dari segi penyusunan, bahasa, maupun segi lainnya. Oleh karena itu kritik dan saran
senantiasa penulis terima agar terwujudnya makalah yang lebih baik. Penulis berharap semoga
dari makalah ini dapat diambil hikmah dan manfaatnya bagi para pembaca.

Tangerang, 1 Februari 2023

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ................................................................................................. i

DAFTAR ISI................................................................................................................ ii

BAB I PENDAHULUAN ........................................................................................... 1

A. Latar Belakang ................................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ............................................................................................ 2

C. Tujuan Pembahasan ......................................................................................... 2

BAB II TINJAUAN TEORI ........................................................................................ 3

A. Konsep Gagal Nafas ........................................................................................ 3

1. Definisi Gagal Nafas ................................................................................. 3


2. Etiologi...................................................................................................... 3
3. Klasifikasi Gagal Nafas ............................................................................ 4
4. Manifestasi Klinis ..................................................................................... 5
5. Patofisiologi .............................................................................................. 5
6. Pemeriksaan Penunjang ............................................................................ 6
7. Penatalaksanaan Gagal Nafas ................................................................... 8
8. Pencegahan Gagal Nafas .......................................................................... 9

BAB III PENUTUP ..................................................................................................... 14

A. Kesimpulan ...................................................................................................... 14

B. Saran ................................................................................................................. 14

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................. 15

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Kesehatan merupakan hal yang sangat penting agar manusia dapat bertahan hidup
dan melakukan aktifitas. Pentingnya kesehatan ini mendorong pemerintah untuk
mendirikan layanan kesehatan, agar masyarakat dapat mengakses kebutuhan kesehatan
(Depkes, 2009). Salah satu jenis pelayanan publik yang merupakan ujung tombak dalam
pembangunan kesehatan adalah pelayan intensif (Depkes, 2009).
Pelayanan Intensif adalah pelayanan yang secara spesifik dimaksudkan untuk
melakukan tatalaksana pengobatan atau perawatan kepada pasien yang mengalami sakit
kritis maupun kegagalan fungsi sistem organ vital. Pasien dengan gagal fungsi organ-organ
vital biasanya memerlukan penatalaksanaan secara khusus oleh tenaga medis profesional di
bidangnya, serta memerlukan penatalaksanaan di suatu tempat khusus yang disebut dengan
(ICU) atau dikenal dengan Intensive Care Unit (Depkes, 2009).
Intensive Care Unit (ICU) merupakan ruang rawat rumah sakit dengan staf dan
perlengkapan khusus ditujukan untuk mengelola pasien dengan penyakit, trauma atau
komplikasi yang mengancam jiwa (Depkes, 2009). Ada beberapa keadaan dimana pasien
memerlukan pelayanan di ruang Intensive Care Unit (ICU) segera salah satunya adalah
pasien dengan gangguan sistem penapasan. Gangguan sistem penapasan adalah salah satu
gangguan yang terjadi pada saluran pernapasan yang mempengaruhi kerja dari sistem itu
sendiri (Tamsuri, 2008)
Gagal napas adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan ketidak mampuan paru
untuk mensuplai oksigen secukupnya ke seluruh tubuh atau mengeluarkan karbondioksida
dari aliran tubuh (Widiyanto & Hudijono, 2013). Gagal napas merupakan penyebab angka
kematian tertinggi di Instalasi perawatan intensif yang dapat timbul mendadak pada pasien
dengan tanpa kelainan pada paruparu yang mendasari sebelumnya (Wijaya, 2013).
Prevalensi gagal napas di dunia semakin meningkat setiap tahunnya. Di Swedia,
tingkat mortalitas Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS) adalah 41% dan Acute
Lung Injury (ALI) adalah 42,2%. Sedangkan di Jerman, insiden gagal napas, ALI, dan
ARDS adalah 77,6-88,6% kasus per 100.000 ribu penduduk per tahun. Berdasarkan data
peringkat 10 penyakit tidak menular (PTM) yang terfatal menyebabkan kematian

1
berdasarkan Case Fatality Rate (CFR) di rumah sakit pada tahun 2010, angka kejadian
gagal napas menempati peringkat kedua yaitu sebesar 20,98% (dalam Kementerian
Kesehatan RI, 2012).
Gagal napas dapat memicu serangan jantung, gagal jantung, dan gangguan detak
jantung atau aritmia akibat kekurangan oksigen ke jantung, meskipun teknik diagnostik
dan terapi intervensi telah berkembang pesat, gagal napas masih menjadi penyebab
kematian dan kematian yang tinggi di unit perawatan intensif (Zuriati et al., 2017). Hal ini
diperlukan proses perawatan untuk mencegah komplikasi yang terjadi pada pasien gagal
napas terutama proses perawatan pasien dimana dibutuhkan asuhan keperawatan
professional dalam perawatan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut penulis dapat merumuskan masalah :
1. Apa yang dimaksud gagal nafas ?
2. Bagaiamana etiologi gagal nafas ?
3. Apa saja klasifikasi gagal nafas ?
4. Bagaimana Manifestasi Klinis gagal nafas ?
5. Bagaimana Patofisiologi gagal nafas ?
6. Bagaimana pemeriksaan penunjang gagal nafas ?
7. Bagaimana penatalaksanaan gagal nafas ?
8. Bagaiamana pencegahan gagal nafas ?

C. Tujuan
1. Untuk mengetahui pengertian gagal nafas
2. Untuk mengetahui etiologi gagal nafas
3. Untuk mengetahui klasifikasi gagal nafas
4. Untuk mengetahui manifestasi klinis gagal nafas
5. Untuk mengetahui patofisiologi gagal nafas
6. Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang gagal nafas
7. Untuk mengetahui penatalaksanaan gagal nafas
8. Untuk mengetahui pencegahan gagal nafas

2
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Definisi Gagal Nafas
Gagal Nafas merupakan kegagalan sistem respirasi dalam pertukaran gas O2 dan CO2
yang tidak adekuat terjadi secara mendadak dan mengancam jiwa, serta masih menjadi
masalah dalam penatalaksanaan medis. Walaupun ada kemajuan teknologi untuk diagnosis,
pemantauan, penatalaksanaan medis dan terapi intervensi berkembang pesat, tetapi gagal
nafas masih merupakan penyebab angka kesakitan dan kematian yang tinggi di instalasi
perawatan intensif. (Surjanto,E,Sutanto,S.Y,2009)
Menurut National Heart, lung (2011) kegagalan pernapasan adalah suatu kondisi
dimana oksigen tidak cukup masuk dari paru-paru ke dalam darah. Organ tubuh, seperti
jantung dan otak, membutuhkan darah yang kaya oksigen untuk bekerja dengan baik.
Kegagalan pernapasan juga bisa terjadi jika paru-paru tidak dapat membuang karbon
dioksida dari darah. Terlalu banyak karbon dioksida dalam darah dapat membahayakan
organ tubuh.
B. Etiologi
Etiologi gagal napas sangat beragam tergantung jenisnya. Gagal napas dapat disebabkan
oleh kelainan paru, jantung, dinding dada, otot pernapasan, atau medulla oblongata.
Berbagai penyebab gagal napas diantaranya :
1. Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) dan Asma Kerusakan jaringan paru pada
PPOK seperti penyempitan saluran napas, fibrosis, destruksi parenkim membuat
area permukaan alveolar yang kontak langsung dengan kapiler paru secara
kontinue menurun, membuat terganggunya difusi O2 dan eliminasi CO2 (Putri,
2013).
2. Pneumonia Mikroorganisme pada pneumonia mengeluarkan toksin dan memicu
reaksi inflamasi dan mensekresikan mucus. Mucus membuat area permukaan
alveolar yang kontak langsung dengan kapiler paru secara kontinue menurun,
membuat terganggunya difusi O2 dan eliminasi CO2 (Putri, 2013).

3
3. TB Pulmonal Pelepasan besar micobacteria ke sirkulasi pulmonal menyebabkan
terjadi peradangan, endarteritis obliteratif dan kerusakan membrane
alveolokapiler, sehingga menyebabkan pertukaran gas terganggu (Raina, 2013).
4. Tumor paru Tumor paru dapat menyebabkan obstruksi jalan napas membuat
ventilasi dan perfusi tidak adekuat (Care, 2009).
5. Pneumotoraks Pneumotoraks adalah adanya udara di dalam ruang pleura yang
menghalangi ekspansi paru sepenuhnya. Ekspansi paru terjadi jika lapisan pleura
dari dinding dada dan lapisan visera dari paru-paru dapat memelihara tekanan
negative pada rongga pleura. Ketika kontinuitas sistem ini hilang, paru akan
kolaps, menyebabkan pneumothoraks (Hawks, 2014).
6. Efusi Pleura Efusi pleura adalah penumpukan cairan pada rongga pleura. Cairan
pleura normalnya merembes secara terus-menerus ke dalam rongga dada dari
kapiler-kapiler yang membatasi pleura parietalis dan diserap ulang oleh kapiler
dan sistem limfatik pleura viseralis. Kondisi apapun yang mengganggu sekresi
atau drainase dari cairan ini akan menyebabkan efusi pleura (Hawks, 2014)

C. Klasifikasi Gagal Nafas


1. Gagal Napas Tipe I Gagal napas tipe I adalah kegagalan paru untuk
mengoksigenasi darah, ditandai dengan PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau
menurun. Gagal napas tipe I ini terjadi pada kelainan pulmoner dan tidak
disebabkan oleh kelainan ekstrapulmoner.
2. Gagal Napas Tipe II Gagal napas tipe II adalah kegagalan tubuh untuk
mengeluarkan CO2, pada umumnya disebabkan oleh kegagalan ventilasi yang
ditandai dengan retensi CO2 (peningkatan PaCO2 atau hiperkapnia) disertai
dengan penurunan PH yang abnormal dan penurunan PaO2 atau hipoksemia.
(Syarani, Fajrinur, 2017). Kegagalan ventilasi biasanya disebabkan oleh
hipoventilasi karena kelainan ekstrapulmonal. Hiperkapnia yang terjadi karena
kelainan ekstrapulmonal dapat disebabkan karena:
1) penekanan dorongan pernapasan sentral atau
2) gangguan pada respon ventilasi (Syarani, Fajrinur, 2017).

4
D. Manifestasi Klinis
Menurut Arifputera (2014) tanda dan gejala gagal napas, diantaranya:
1. Gagal Napas Hipoksemia Nilai PaCO2 pada gagal napas tipe ini menunjukkan
nilai normal atau rendah. Gejala yang timbul merupakan campuran hipoksemia
arteri dan hipoksia jaringan, antara lain:
1) Dispneu (takipneu, hipeventilasi)
2) Perubahan status mental, cemas, bingung, kejang, asidosis laktat
3) Sainosis di distal dan sentral (mukosa, bibir)
4) Peningkatan simpatis, takikardia, diaforesis, hipertensi
5) Hipotensi, bradikardia, iskemi miokard, infark, anemia, hingga gagal
jantung dapat terjadi pada hipoksia berat
2. Gagal Napas Hiperkapnia Kadar PCO2 yang cukup tinggi dalam alveolus
menyebabkan pO2 alveolus dari arteri turun. Hal tersebut dapat disebabkan oleh
gangguan di dinding dada, otot pernapasan, atau batang otak. Contoh pada PPOK
berat, asma berat, fibrosis paru stadium akhir, ARDS berat, atau sindroma guillain
barre. Gejala hiperkapnia antara lain penurunan kesadaran, gelisah, dispneu
(takipneu, bradipneu), tremor, bicara kacau, sakit kepala, dan papil edema.

E. Patofisiologi
Mekanisme gagal napas menggambarkan ketidak mampuan tubuh untuk melakukan
oksigenasi dan/atau ventilasi dengan adekuat yang ditandai oleh ketidakmampuan sistem
respirasi untuk memasok oksigen yang cukup atau membuang karbon dioksida. Pada
gagal napas terjadi peningkatan tekanan parsial karbon dioksida arteri (PaCO2) lebih
besar dari 50 mmHg, tekanan parsial oksigen arteri (PaO2) kurang dari 60 mmHg, atau
kedua-duanya.
Hiperkarbia dan hipoksia mempunyai konsekuensi yang berbeda. Peningkatan
PaCO2 tidak mempengaruhi metabolisme normal kecuali bila sudah mencapai kadar
ekstrim (>90 mm Hg). Diatas kadar tersebut, hiperkapnia dapat menyebabkan depresi
susunan saraf pusat dan henti napas. Untuk pasien dengan kadar PaCO2 rendah,
konsekuensi yang lebih berbahaya adalah gagal napas baik akut maupun kronis.
Hipoksemia akut, terutama bila disertai curah jantung yang rendah, sering berhubungan

5
dengan hipoksia jaringan dan risiko henti jantung. Hipoventilasi ditandai oleh laju
pernapasan yang rendah dan napas yang dangkal. Bila PaCO2 normal atau 40 mmHg,
penurunan ventilasi sampai 50% akan meningkatkan PaCO2 sampai 80 mmHg. Dengan
hipoventilasi, PaO2 akan turun kira-kira dengan jumlah yang sama dengan peningkatan
PaCO2. 3,5 Kadang, pasien yang menunjukkan petanda retensi CO2 dapat mempunyai
saturasi oksigen mendekati normal.
Disfungsi paru menyebabkan gagal napas bila pasien yang mempunyai penyakit paru
tidak dapat menunjang pertukaran gas normal melalui peningkatan ventilasi. Anak yang
mengalami gangguan padanan ventilasi atau pirau biasanya dapat mempertahankan
PaCO2 normal pada saat penyakit paru memburuk hanya melalui penambahan laju
pernapasan saja. Retensi CO2 terjadi pada penyakit paru hanya bila pasien sudah tidak
bisa lagi mempertahankan laju pernapasan yang diperlukan, biasanya karena kelelahan
otot.

F. Pemeriksaan Penunjang
Menurut (Syarani, 2017), ada beberapa pemeriksaan penunjang yang dilakukan pada
pasien dengan gagal nafas, antara lain:
1. Laboratorium:
1) Analisa Gas Darah Jika gejala klinis gagal napas sudah terjadi maka analisa gas
darah harus dilakukan untuk memastikan diagnosis dan membedakan gagal
nafas akut dan kronik. Analisa gas darah dilakukan untuk patokan terapi
oksigen dan penilian obyektif dalam berat-ringan gagal nafas. Indikator klinis
yang paling sensitif untuk peningkatan kesulitan respirasi ialah peningkatan
laju pernapasan. Sedangkan kapasitas vital paru baik digunakan menilai
gangguan respirasi akibat neuromuscular, misalnya pada sindroma guillain-
barre, dimana kapasitas vital berkurang sejalan dengan peningkatan kelemahan.
Interpretasi hasil analisa gas darah meliputi 2 bagian, yaitu gangguan
keseimbangan asam-basa dan perubahan oksigenasi jaringan.
2) Pulse Oximetry Alat ini mengukur perubahan cahaya yang ditranmisikan
melalui aliran darah arteri yang berdenyut. Informasi yang di dapatkan berupa
saturasi oksigen yang kontinyu dan non-invasif yang dapat diletakkan baik di

6
lobus bawah telinga atau jari tangan maupun kaki. Hubungan antara saturasi
oksigen dan tekanan oksigen dapat dilihat pada kurva disosiasi
oksihemoglobin. Nilai kritisnya adalah 90%, dibawah level itu maka penurunan
tekanan oksigen akan lebih menurunkan saturasi oksigen.
3) Capnography Alat yang dapat digunakan untuk menganalisa konsentrasi kadar
karbondioksida darah secara kontinu. Penggunaannya antara lain untuk
kofirmasi intubasi trakeal, mendeteksi malfungsi apparatus serta gangguan
fungsi paru.
4) Pemeriksaan apus darah untuk mendekteksi anemia yang menunjukakkan
terjadinya hipoksia jaringan. Adanya polisitemia menunjukkan gagal napas
kronik
5) Pemeriksaan kimia untuk menilai fungsi hati dan ginjal, karena hasil
pemeriksaan yang abnormal dapat menjadi petunjuk sebab-sebab terjadinya
gagal napas. Abnormalitas elektrolit seperti kalium, magnesium dan fosfat
dapat memperberat gejala gagal napas.
6) Pemeriksaan kadar kreatinin serum dan troponin 1 dapat membedakan infark
miokard dengan gagal nafas, kadar kreatinin serum yang meningkat dengan
kadar troponin 1 yang normal menunjukkan terjadinya miositosis yang dapat
menyebabkan gagal nafas.
7) Pada pasien dengan gagal nafas hiperkapni kronik, kadar TSH serum perlu
diperiksa untuk membedakan dengan hipotiroid, yang dapat menyebabkan
gagal nafas reversibel.
8) Pemeriksaan laboratorium untuk menilai status nutrisi adalah pengukuran
kadar albumin serum, prealbumim, transferin, total ironbinding protein,
keseimbangan nitrogen, indeks kreatinin dan jumlah limfosit total.
2. Pemeriksaan Radiologi
1) Radiografi Dada merupakan salah satu hal penting dilakukan untuk
membedakan penyebab terjadinya gagal napas tetapi kadang sulit untuk
membedakan edema pulmoner kardiogenik dan nonkardiogenik.
2) Ekokardiografi

7
a) Tidak dilakukan secara rutin pada pasien gagal napas, hanya dilakukan
pada pasien dengan dugaan gagal napas akut karena penyakit jantung.
b) Adanya dilatasi ventrikel kiri, pergerakan dinding dada yang abnormal
atau regurgitasi mitral berat menunjukkan edema pulmoner kardiogenik
c) Ukuran jantung yang normal, fungsi sistolik dan diastolik yang normal
pada pasien dengan edema pulmoner menunjukkan sindromdistress
pernapasan akut.
d) Ekokardiografi menilai fungsi ventrikel kanan dan tekanan arteri
pulmoner dengan tepat untuk pasien dengan gagal napas hiperkapnik
kronik.
e) ulmonary Function Tests (PFTs) dilakukan pada gagal napas kronik:
 Nilai forced expiratory volume in one second (FEV1) dan forced
vital capacity (FVC) yang normal menunjukkan adanya gangguan
di pusat kontrol pernapasan.
 Penurunan rasio FEV1 dan FVC menunjukkan obstruksi jalan
napas, penurunan nilai FEV1 dan FVC serta rasio keduanya yang
tetap menunjukkan penyakit paru restriktif.
 Gagal nafas karena obstruksi jalan napas tidak terjadi jika nilai
FEV1 lebih dari 1 L dan gagal napas karena penyakit paru restriktif
tidak terjadi bila nilai FVC lebih dari 1 L.

G. Penatalaksanaan Gagal Nafas


Jika tekanan parsial oksigen kurang dari 70 mmHg, oksigen harus diberikan untuk
meningkatan saturasi mayor yaitu 90%. Jika tidak disertai penyakit paru obstruktif, fraksi
inspirasi O2 harus lebih besar dari 0,35. Pada pasien yang sakit parah, walaupun
pengobatan medis telah maksimal, NIV (Noninvasive ventilation) dapat digunakan untuk
memperbaiki oksigenasi, mengurangi laju pernapasan dan mengurangi dyspnoea. Selain
itu, NIV dapat digunakan sebagai alternatif intubasi trakea jika pasien menjadi
hiperkapnia (Forte et al., 2006). Sedangkan menurut (Gallo, 2013), penatalaksanaan pada
gagal nafas adalah : a. Memasang dan mempertahankan jalan nafas yang adekuat b.
Meningkatkan oksigenasi c. Koreksi gangguan asam basa d. Memperbaiki keseimbangan

8
cairan dan elektrolit e. Mengidentifikasi dan terapi kondisi mendasar yang dapat
dikoreksi dan penyebab presipitasi f. Pencegahan dan deteksi dini komplikasi potensial g.
Memberikan dukungan nutrisi h. Pengkajian periodik mengenai proses, kemajuan dan
respon terhadap terapi i. Determinasi kebutuhan akan ventilator mekanik Menurut
(Hawks, 2014), pada penggunanan ventilator mekanik, jenis ventilator yang digunakan
adalah bertekanan positif dan bukan tekanan negative, dengan tujuan untuk memaksa
udara masuk kedalam paru-paru. Tekanan positif diperlukan untuk pertukaran gas dan
untuk menjaga alveolus tetap terbuka.

H. Pencegahan Gagal Nafas


a) Pencegahan primer
Pencegahan primer merupakan upaya untuk mempertahankan orang yang sehat
agar tetap sehat atau mencegah orang yang sehat menjadi sakit. Tujuan dari pencegahan
primer adalah untuk mengurangi insidensi penyakit dengan cara mengendalikan
penyebab-penyebab penyakit dan faktor-faktor resikonya.
1. Kebiasaan merokok harus dihentikan.
2. Memakai alat pelindung seperti masker di tempat kerja (pabrik) yang terdapat asap
mesin atau debu.
3. Membuat corong asap di rumah maupun di tempat kerja (pabrik).
4. Pendidikan tentang bahaya-bahaya yang ditimbulkan
Pencegahan primer merupakan upaya yang dilakukan pada orang yang mempunyai
resiko agar tidak terjadi gagal napas. Orang yang beresiko tinggi untuk mengalami
gangguan paru-paru adalah hipoventilasi, adanya trauma pada lesi batang penyakit paru-
paru lainnya. Pencegahan primer yang dapat dilakukan adalah:
1. Mengatur pola konsumsi protein.
2. Sedikit mengkonsumsi garam. Pola konsumsi garam yang tinggi akan
meningkatkan ekskresi kalsium dalam air kemih yang dapat menumpuk dan
membentuk kristal.
3. Mengurangi makanan yang mengandung kolesterol tinggi.

b) Pencegahan sekunder

9
Pencegahan sekunder merupakan upaya yang dilakukan untuk mencegah orang
yang telah sakit agar sembuh, menghambat progresifitas penyakit dan menghindarkan
komplikasi. Pencegahan sekunder dapat dilakukan dengan cara mendeteksi penyakit
secara dini dan pengobatan secara cepat dan tepat. Tujuan pencegahan sekunder adalah
untuk mengobati penderita dan mengurangiakibat-akibat yang lebih serius dari penyakit
yaitu melalui diagnosis dini dan pemberian pengobatan.
1. Diagnosis Dini
Untuk menetapkan diagnosis dini pada pasien adalah dengan pemeriksaan faal
paru, radiologis, analisis gas darah, dan defisiensi AAT.
2. Pemeriksaan Faal Paru
Pemeriksaan faal paru adalah pemeriksaan untuk mengetahui apakah seseorang
mempunyai faal paru yang normal atau mengalami gangguan. Gangguan faal
paru pada PPOK adalah obstruksi (hambatan aliran udara ekspirasi). Faal paru
seseorang meningkat mulai sejak dilahirkan sampai mencapai nilai maksimal
pada umur antara 19-21 tahun, kemudian menurun secara bertahan. Penurunan
faal paru juga terjadi pada orang normal sebesar 30 ml pertahun untuk nilai
Volume Ekspirasi Paksa detik pertama (VEP1).
Pemeriksaan faal paru sangat berguna untuk menunjang diagnose penyakit,
melihat laju perjalanan penyakit, evaluasi pengobatan, dan menemukan prognosis
penyakit. Pemeriksaan dengan menggunakan alat spirometri sangat dianjurkan
karena sederhana dan akurat.
3. Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan foto dada sangat membantu dalam menegakkan atau menyokong
diagnosis dan menyingkirkan penyakit-penyakit lain. Pada emfisema gambaran
yang paling dominan adalah radiolusen paru yang bertambah , dan pembuluh
darah paru mengalami penipisan atau menghilang. Selain itu dapat juga
ditemukan pendataran diafragma dan pembesaran rongga retrosternal. Pada
bronchitis kronik tampak adanya penambahan bronkovaskular dan pelebaran dari
arteri pulmonalis, disamping itu ukuran jantung juga mengalami pembesaran.
4. Pemeriksaan Analisis Gas Darah

10
Pemeriksaan ini dilakukan pada pasien-pasien dengan nilai VEP1 < 40% prediksi,
pasien dengan gagal jantung kanan serta pasien yang secara klinis dicurigai adanya
gagl napas. Diaktakan adanya gagal napas apabila dari analisis gas darah didapat
nilai tekanan parsial O2 (PaO2) kurang dari 60 mmHg, dengan atau tanpa adanya
peningkatan tekanan parsial CO2 (PaCO2) lebiih dari 45 mmHg.
5. Pemeriksaan Defisiensi Alfa – 1 Antiripsin (AAT)
Pemeriksaan dilakukan dengan skrinning adanya defisiensi alfa – 1 antiripsin pada
pasien yang mengalami PPOK sebelum berusia 45 tahun atau pasien dengan
riwayat keluarga PPOK. Pemeriksaan kadar AAT di dalam darah dengan metode
Imuno-turbidimetri. Nilai normal AAT adalah 200-400 mg/100cc. Kadar dibawah
20% dari normal menunjukkan bahwa pasien homozigot defisiensi AAT.
Kadar diatas 20% tidak ada pengaruhnya terhadap perkembangan PPOK.
6. Pengobatan
Adapun pemberian pengobatan terhadap penderita PPOK meliputi: bronkodilator,
kortikosteroid, antibiotik, pemberian oksigen dan pembedahan.
a. Bronkodilator
Bronkodilator adalah obat utama dalam penatalaksanaan PPOK. Bronkodilator
utama pada PPOK adalah agonis beta-2, antikolinergik, teofilin atau kombinasi
obat tersebut.
b. Kortikosteroid
Penggunaan kortikosteroid inhalasi secara regular hanya boleh diberikan pada
pasien yang telah tercatat dari hasil spirometri berespon terhadap steroid, atau
pada pasien yang VEP1 < 50%. Dapat juga diberikan dalam bentuk oral dengan
dosis tunggal prednisone 40mg/hari paling sedikit selama 2 minggu, maka
pengobatan kortikosteroid sebaiknya dihentikan. Pada pasien yang menunjukkan
perbaikan, maka harus dimonitor efek samping dari kortikosterois pada
penggunaan jangka lama.
c. Antibiotik
Antibiotik merupakan salah satu obat yang sering digunakan dalam
penatalaksanaan PPOK. Pemberian antibiotik dengan spectrum yang luas pada

11
infeksi umum yang disebabkan oleh Streptococcus pneumonia, Haemophilus
influenza dan Mycoplasma.
d. Pemberian Oksigen
Pemberian oksigen jangka panjang terhadap PPOK pada anlisis gas darah
didapatkan. Pemberian oksigen jangka panjang (lebih dari 15 jam/hari) pada
pasien dengan gagal nafas kronis dapat meningkatkan survival, memperbaiki
kelainan hemodinamik, hemotologis, meningkatkan kapasitas exercise dan
memperbaiki status mental.
e. Pembedahan
Pembedahan biasanya dilakukan pada PPOK berat dan tindakan operasi diambil
apabila diyankini dapat memperbaiki fungsi paru atau gerakan mekanik paru.
Jenis operasi pada PPOK adalah bullectomy, Lung Voleme Reduction Surgery
(LVRS) dan transpalantasi paru.

c) Pencegahan tersier
Pencegahan tersier yang dilakukan pada penderita RF adalah untuk mencegah
kecacatan/kematian, mencegah proses penyakit lanjut dan rehabilitasi. Rehabilitasi yang
dapat dilakukan dapat berupa rehabilitasi fisik, social dan psikologi. Pencegahan tersier
terus diupayakan selama penderita RF belum meninggal dunia. Tujuan pencegaha
tersier adalah untuk mengurangi keridakmampuan dan mengadakan rehabilitasi.
Pencegahan tersier meliputi:
1. Rehabilitasi Psikis
Rehabilitasi psikis bertujuan memberikan motivasi pada penderita untuk dapat
menerima kenyataan bahwa penyakitnya tidak dapat disembuhkan bahkan akan
mengalami kecemasan, takut dan depresi terutama saat eksaserbasi. Rehabilitasi
psikis juga bertujuan mengurangi bahkan menghilangkan perasaan tersebut.
2. Rehabilitasi Pekerjaan
Rehabilitasi pekerjaan dilakukan untuk menyelaraskan pekerjaan yang dapat
dilakukan penderita sesuai dengan gejala dan fungsi paru penderita. Diusahakan
menghindari pekerjaan yang memiliki resiko terjadi perburukan penyakit.
3. Rehabilitasi Fisik

12
Penderita PPOK akan mengalami penurunan kemampuan aktivitas fisik serta
diikuti oleh gangguan pergerakan yang mengakibatkan kondisi inaktif dan berakhir
dengan keadaan yang tidak terkondisi. Tujuan rehabilitasi fisik yang utama adalah
memutuskan rantai tersebut sehingga penderita tetap aktif.

13
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan

Gagal nafas terjadi bila pertukaran oksigen dan karbondioksida dalam paru-paru tidak
dapat memelihara laju konsumsi oksigen dan pembentukan karbondioksida dalam sel-sel
tubuh.gagal nafas penyebab terpenting adalah ventilasi yang tidak adekuat dimana terjadi
obstruksi jalan nafas atas.

Gagal nafas adalah kegagalan system pernafasan untuk mempertahankan pertukaran


oksigen dan karbondioksida dalam jumlah yang dapat mengakibatkan gangguan pada
kehidupan. Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas kronik
dimana masing-masing mempunyai pengertian yang berbeda.

Indicator gagal nafas telah frekuensi pernafasan dan kapasitas vital, frekuesni
pernapasan normal ialah 16-20 x/mny. Bila lebih dari 20x/mnt tidakan yang dilakukan
memberi ventilator karena “kerja pernapasan” menjadi tinggi sehingga timbul kelelahan.
Kapasitas vitaladalah ukuran ventilasi (normal 10-20 ml/kg)

B. Saran
Setelah penulisan makalah ini, kami mengharapkan mahasiswa keperawatan pada
khususnya mengetahui konsep gagal nafas.

14
DAFTAR PUSTAKA

Paramitha, Risma,. 2020. “ ASUHAN KEPERAWATAN GAGAL NAFAS PEMENUHAN


KEBUTUHAN OKSIGENASI”
https://eprints.ukh.ac.id/id/eprint/1384/1/P17A%20NASKAH%20PUBLIKASI_RIS
MA%20PARAMITHA_P17040.pdf diakes pada tanggal 1 Februari 2023

Bakhtiar,. “Aspek Klinis dan Tatalaksana Gagal Nafas Akut”


https://jurnal.unsyiah.ac.id/JKS/article/download/3286/3092 diakses pada tanggal 1
Februari 2023

(Susanto, 2022) “ HUBUNGAN FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI RESPON


PERAWAT TERHADAP PERUBAHAN SATURASI OKSIGEN PASIEN DI ICU RSUD TARAKAN
JAKARTA” https://repository.binawan.ac.id/2148/1/KEPERAWATAN-2022-
AGUS%20SUSANTO.pdf diakses pada tanggal 1 Februari 2023

St,Neri,. 2021,. “Primer Tersier Sekunder”


https://www.scribd.com/document/491698600/primer-sekunder-tersier diakses pada
tanggal 1 Februari 2023

15

Anda mungkin juga menyukai