Anda di halaman 1dari 23

ASUHAN KEPERAWATAN EMFISEMA

Mata Kuliah Keperawatan Medikal Bedah I

(Dosen Pengampu: Dian Novita K. S.Kep., Ns. M. Kep)

Disusun Oleh :
Riska Nur Rahmawati (NIM: 20201316)

KEPERAWATAN

AKPER KARYA BAKTI HUSADA

2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan YME atas limpahan rahmat dan karunia-Nya
kepada saya, sehingga saya dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “ASUHAN
KEPERAWATAN EMFISEMA” ini dengan lancar. Penulisan makalah ini bertujuan untuk
memenuhi salah satu tugas mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah I Semester III, program
diploma III jurusan perawat yang diberikan oleh dosen mata kuliah Keperawatan Medikal Bedah
Dian Novita K. S.Kep., Ns. M. Kep.

Makalah ini ditulis dari literature dari beberapa sumber yang berkaitan dengan asuhan
keperawatan emfisema, tak lupa saya ucapkan terima kasih kepada :

1. Diri saya sendiri, karena saya telah mampu menyelesaikan makalah asuhan keperawatan
ini walaupun belum sempurna.

2. Dian Novita K. S. Kep., Ns. M. Kep selaku dosen mata kuliah Keperawatan Medikal
Bedah atas segala bimbingan dan saran yang telah diberikan selama penyusunan makalah ini.

3. Orang tua dan keluarga yang telah mendoakan dan mendukung saya, sehingga makalah
ini dapat terselesaikan.

Dalam penyusunan makalah ini saya menemui beberapa kesulitan dan hambatan, namun
berkat bimbingan, bantuan dan dorongan dari berbagai pihak, saya dapat menyelesaikan makalah
ini.

Saya harap, dengan membaca makalah ini dapat memberi manfaat bagi kita semua, dalam hal ini
dapat menambah wawasan kita mengenai perencanaan strategic dan rencana oprasional dalam
keperawatan, khususnya bagi saya. Memang makalah ini masih jauh dari sempurna, maka
penulis harapkan kritik dan saran dari pembaca demi perbaikan menuju arah yang lebih baik.

Yogyakarta 25 September 2021

Riska N
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................................................... i

KATA PENGANTAR ..................................................................................................................ii

DAFTAR ISI
.................................................................................................................................iii

BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................. 1

A. Latar Belakang ............................................................................................................... 1


B. Tujuan ............................................................................................................................ 2

BAB II TINJAUAN TEORI ....................................................................................................... 3

A. Pengertian ...................................................................................................................... 3
B. Klasifikasi ...................................................................................................................... 4
C. Tanda Dan Gejala .......................................................................................................... 5
D. Patofisiologi ................................................................................................................... 6
E. Pathways ........................................................................................................................ 7
F. Pemeriksaan Penunjang ................................................................................................. 8
G. Penatalaksanan Medis ................................................................................................... 9
H. Komplikasi .................................................................................................................. 10
I. Prognosis ..................................................................................................................... 11

BAB III TINJAUAN KASUS .................................................................................................... 13

A. Pengkajian ................................................................................................................... 14
B. Diagnosa Keperawatan ................................................................................................ 15
C. Intervensi Keperawatan ............................................................................................... 16
D. Implementasi ............................................................................................................... 17
E. Evaluasi ....................................................................................................................... 18

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................................... 19

A. Kesimpulan ................................................................................................................. 20
B. Saran ............................................................................................................................21
DAFTAR PUSTAKA

BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Penyakit Paru Emfisema atau sering disebut Obstruktif Kronik (PPOK) ditujukan
untuk mengelompokkan penyakit-penyakit yang mempunyai gejala berupa terhambatnya
arus udara pernapasan (Djojodibroto, 2009). Keterbatasan aliran udara ini biasanya
bersifat progresif dan terkait dengan respon inflamasi dari paru akibat dari gas atau
partikel berbahaya (GOLD, 2007). Berbagai akibat yang ditimbulkan karena adanya
respon inflamasi tersebut yaitu gejala utama sesak napas, batuk, dan produksi sputum
yang meningkat (PDPI, 2011).

PPOK saat ini merupakan penyakit pernapasan yang merupakan penyebab utama
angka kesakitan dan kematian di dunia (Russell, 2002). Perkembangan gejala dari
penyakit ini progresif sehingga menimbulkan kerugian yang besar terhadap kualitas
hidup penderita dan menjadi beban ekonomi bagi bangsa dan negara (IPCRG, 2006).
Data yang dikeluarkan oleh World Health Organization (WHO) mengemukakan bahwa
pada tahun 2010 PPOK telah menempati peringkat keempat sebagai penyakit penyebab
kematian, dan penyakit paru ini semakin menarik untuk dibicarakan oleh karena
prevalensi dan angka mortalitas yang terus meningkat (Sudoyo et al, 2007). PPOK
merupakan penyebab morbiditas dan kematian ke-4 terbesar didunia. WHO memprediksi
pada tahun 2020, PPOK akan meningkat dari peringkat 12 menjadi peringkat 5 penyakit
terbanyak dan dari peringkat 6 menjadi peringkat 3 penyebab kematian diseluruh dunia
(PDPI, 2011).

B. TUJUAN

Tujuan dari peniulisan makalah asuhan keperawatan emfisema ini yaitu:

1. Agar kita tahu apa itu definisi dari emfisema.


2. Mengetahui asuhan keperawatan pada penderita penyakit emfisema.
3. Mengetahui bagaimana klasifikasi pada penyakit emfisema atau PPOK.
4. Dll.

BAB II

TINJAUAN TEORI

A. PENGERTIAN

Emfisema adalah jenis penyakit paru obstruktif kronik yang melibatkan kerusakan
pada kantung udara (alveoli) di paru-paru. Emfisema disebabkan karena hilangnya
elastisitas alveolus. Asap rokok dan kekurangan enzim alfa-1-antitripsin adalah penyebab
kehilangan elastisitas ini.1 Pada penderita emfisema, volume paru-paru lebih besar
dibandingkan dengan orang yang sehat karena karbondioksida yang seharusnya
dikeluarkan dari paru-paru terperangkap didalamnya.2,5 Akibatnya, tubuh tidak
mendapatkan oksigen yang diperlukan. Emfisema membuat penderita sulit bernafas.
Penderita mengalami batuk kronis dan sesak napas.

Emfisema merupakan kontributor terbesar dalam kejadian PPOK. Pada emfisema


terjadi distensi rongga udara di sebelah distal bronkiolus terminalis dengan disertai
destruksi septum alveolaris.2,5 Terdapat beberapa faktor risiko penyebab emfisema
diantaranya polusi udara dan faktor genetik. Polusi udara didapatkan dari merokok,
paparan debu, sulfur dioksida (SO2), nitrogen dioksida (NO2) dan gas beracun
lainnya.Sedangkan faktor genetik yang dapat menyebabkan emfisema adalah defisiensi
alfa-1 antitripsin.

Menurut Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD)


Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang umum, dapat dicegah dan
diobati ditandai oleh gejala sesak nafas terusmenerus dan keterbatasan aliran udara yang
disebabkan oleh saluran napas dan / atau kelainan alveolar biasanya disebabkan oleh
paparan yang signifikan terhadap partikel atau gas berbahaya. Keterbatasan aliran udara
kronis yang merupakan karakteristik PPOK disebabkan oleh campuran beberapa penyakit
misalnya bronkiolitis obstruktif dan destruksi parenkim (emfisema), relatif bervariasi dari
orang ke orang (GOLD, 2017).
World Health Organization mengartikan Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK)
adalah penyakit paru-paru yang ditandai dengan obstruksi kronis aliran udara paru yang
mengganggu pernapasan normal dan tidak sepenuhnya reversibel. Istilah 'bronkitis
kronis' dan 'emfisema' yang lebih akrab tidak lagi digunakan, tetapi sekarang dimasukkan
dalam diagnosis PPOK. PPOK bukan hanya "batuk perokok" tetapi penyakit paru yang
tidak didiagnosis dan mengancam jiwa (WHO, 2018).

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah istilah yang digunakan untuk
menggambarkan penyakit paru-paru progresif termasuk emfisema, bronkitis kronis, dan
asma refaktor (non-reversibel). Penyakit ini ditandai dengan meningkatnya sesak napas
dan adanya obstruksi pada jalan nafas yang menahun (Foundation, 2018).

B. KLASIFIKASI

Menurut LeMone (2012) klasifikasi PPOK berdasarkan keparahan dibagi menjadi lima
tahap yaitu :

1. Tahap 0 : Beresiko. Fungsi paru normal, tetapi batuk kronik dan produksi sputum
ada.
2. Tahap 1 : PPOK ringan. Keterbatasan aliran udara ringan, biasanya dengan batuk
kronik dan produksi sputum.
3. Tahap 2 : PPOK sedang. Perburukan keterbatasan aliran udara, biasanya dengan
kemajuan manifestasi termasuk dispnea saat eksersi.
4. Tahap 3 : PPOK berat. Perburukan keterbatasan aliran udara lebih lanjut,
peningkatan sesak napas, dan eksaserbasi berulang berdaampak pada kualitass
hidup.
5. Tahap 4 : PPOK sangatt berat. Keterbatasan aliiran udara berat dengan penurunan
kualitas hidup yang parah dan kemungkinan eksaserbasi mengancam jiwa.

C. TANDA DAN GEJALA

Berikut ini adalah beberapa gejala yang umum dialami penderita emfisema:

1. Sesak napas, terutama saat beraktivitas.


2. Batuk yang terus-menerus dan mengeluarkan dahak.
3. Mengi.
4. Sesak atau nyeri di dada.

Jika emfisema sudah semakin parah, gejala yang dapat ditimbulkan, yaitu:

1. Penurunan nafsu makan yang mengakibatkan berat badan berkurang.


2. Infeksi paru-paru yang berulang.
3. Mudah lelah.
4. Sakit kepala di pagi hari.
5. Jantung berdebar.
6. Bibir dan kuku menjadi biru.
7. Pembengkakan pada kaki.
8. Kesulitan dalam berhubungan seks.
9. Gangguan tidur.
10. Depresi.

D. PATHOFISIOLOGI

Emfisema ditandai dengan kerusakan dinding alveoli, yang menyebabkan


pembesaran ruang udara yang abnormal. Merokok adalah faktor utama penyebab terbesar
terjadinya penyakit emfisema. Makrofag dari aveoli (kantong udara) dan limfosit T
meningkat dan menghancurkan jaringan paru. Selain itu, anti-proteinase yang melindungi
jaringan paru menjadi inaktivasi yang menyebabkan penurunan perbaikan paru, hal ini
menyebabkan kerusakan pada dinding alveoli (LeMone, 2012). Terdapat empat
perubahan patologik yang dapat timbul pada emfisema yaitu:

1. Hilangnya elastisitas paru yang menyebabkan jalan napas kecil menjadi kolabs
atau menyempit, posisi istirahat normal selama ekspirasi.
2. Terbentuknya bullae, yaitu dinding aveolar juga beberapa merusak alveoli
yang menjadikannya membesar dan sulit kembali normal.
3. Hiperinflasi paru, yaitu besarnya alveoli yang hanya bisa dilihat pada
pemeriksaan sinar-X (Somantri, 2009).
Terdapat dua tipe dari emfisema yaitu Centri Lobuler Emphysema dan Panlobuler
Emphysema. Centri Lobuler Emphysema terjadi akibat dari kerusakan pada bronkiolus
respiratiorius, didinding akan berlubang semakin besar, emfisema jenis ini dikaitkan
dengan bronkitis kronis atau perokok. Panlobuler Emphysema disebabkan akibat dari
alveolus distal dari bronkiolus terminalis mengalami pembesaran serta kerusakan secara
merata tersebar diseluruh bagian paru-paru, yang merupakan emfisema primer dan
berkaitan dengan usia tua sebab elastisitas paru menurun (Bachrudin, 2016). Beberapa
penyebab terjadinya mal nutrisi seperti pengurangan elastisitas paru dan fungsi paru,
kehilangan pernapasan otot massa, kekuatan dan resistensi juga sebagai penyebab
terjadinya perubahan pada pasien PPOK. Mekanisme pada kekebalan paru dan kontrol
napas adalah hal paling penting penyebab terjadinya kasus malnutrisi pada sistem
pernapasan seperti pada pasien PPOK (Grigorakos L. , 2018) Pada PPOK tahap lanjut
aktivitas akan menjadi minimal, antara lain makan yang dapan menyebabkan kelelahan
dan dispnea. Pasien dapat tidak mampu mengonsumsi makanan penuh, pada saat yang
sama peningkatan kerja napas (8 hingga 10 kali dari normal) meningkatkan kebutuhan
metabolik dan lebih banyak kalori yang dibutuhkan. Pasien 16 akan tampak kahektik
(kurus dan sia-sia), status nutrisi yang buruk kemudian menurunkan fungsi imun dan
meningkatkan resiko infeksi yang menyulitkan (LeMone, 2012).
E. PATHWAYS
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan penunjang yang diperlukan pada pasien emfisema adalah
pemeriksaan laboratorium, radiologi, dan spirometri.

1. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium pada penderita emfisema paru tidak rutin dilakukan,


namun dapat diperiksa sesuai dengan pertimbangan dokter. Pemeriksaan analisa gas
darah, hematokrit, serum bikarbonat, dan serum antitripsin alfa-1 adalah pemeriksaan
laboratorium yang mungkin diperlukan. Pemeriksaan analisa gas darah umumnya hanya
dilakukan apabila saturasi pasien <92% dan tidak dilakukan apabila gejala klinis pasien
ringan-sedang. [1]

2. Radiologi

Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada pasien dengan emfisema paru
adalah rontgen dada atau CT scan dada. Hasil yang dapat ditemukan pada pemeriksaan
rontgen dada adalah hiperinflasi paru, yang ditandai dengan diafragma mendatar,
peningkatan radiolusensi, sela iga melebar, dan peningkatan diameter anteroposterior
rongga dada.

3. CT Scan

Pemeriksaan CT scan thoraks dapat mendeteksi emfisema secara dini dan menilai
jenis serta derajat emfisema atau bula yang tidak terdeteksi oleh rontgen dada.

4. Spirometri

Pemeriksaan lain yang dapat mendukung diagnosis emfisema paru adalah


spirometri. Pada pasien emfisema akan didapatkan ratio VEP1/KVP<75%.

G. PENATALAKSANAAN MEDIS
Tujuan pengobatan adalah untuk mengalirkan cairan dalam kavitas pleura dan
mencapai ekspansi paru yang sempurna.

Cairan dialirkan dan diberikan antibiotik yang sesuai berdasarkan organisme penyebab.

Untuk drainase cairan pleura tergantung pada tahap penyakit dan dilakukan dengan:

1. Aspirasi jarum (terosintesis) dengan kateter perkutan yang kecil, jika cairan tidak
terlalu banyak.
2. Drainase dada tertutup mengunakan selang inter kosta dengan diameter besar
yang disambungkan ke drainase water seal.
3. Darinase terbuka dengan cara reseksi iga untuk mengangkat pleura yang
mengalami penebalan, pus dan debris serta unuk mengangkat jaringan paru yang
sakit dibawahnya.

Penatalaksanaan emfisema dapat menggunakan terapi farmakologi, non


farmakologi, dan operatif jika diperlukan.

1. Terapi Farmakologi

Terapi farmakologi emfisema dapat menggunakan bronkodilator, kortikosteroid,


dan antibiotik.

 Bronkodilator

Bronkodilator berfungsi untuk melebarkan bronkus dan bronkiolus. Bronkodilator


jenis inhalasi lebih diutamakan. Berikut ini adalah macam-macam bronkodilator :

1. Golongan antikolinergik : Ipratropium bromide.


2. Golongan agonis beta-2 : Fenoterol, Salbutamol, Terbutalin, Prokaterol,
Formoterol.
3. Kombinasi antikolinergik dan agonis beta-2 : Salbutamol + Ipratropium
bromide.
4. Golongan xantin : Aminofilin, Teofilin, Efedrin HCl [3] 

 Kortikosteroid
Kortikosteroid berfungsi untuk menekan proses inflamasi yang terjadi di dalam
paru-paru dan digunakan apabila terjadi eksaserbasi akut. Kortikosteroid dapat diberikan
dalam bentuk oral, injeksi intravena, ataupun inhalasi. Contoh kortikosteroid yang dapat
digunakan peroral adalah golongan metilprednisolon atau prednison, sedangkan untuk
sediaan inhalasi dapat digunakan budesonide dan flutikason.

 Antibiotika

Antibiotik pada pasien dengan emfisema hanya diberikan apabila terdapat infeksi.
Antibiotik lini pertama adalah amoxicillin atau makrolida. Sedangkan antibiotik lini
kedua adalah amoxicilin klavulanat, sefalosporin, dan kuinolon.

 Suportif

Pemberian terapi farmakologis lainya yang dapat dipertimbangkan untuk pasien


emfisema adalah mukolitik, antitusif, dan antioksidan.

2. Terapi Non Farmakologis

Penatalaksanaan non farmakologis yang dapat diberikan adalah oksigenasi dan


terapi nutrisi. Pada pasien yang merokok, harus dilakukan terapi untuk berhenti merokok.

 Terapi Oksigen

Fungsi dari pemberian oksigen adalah untuk mengurangi sesak, mengurangi


hipertensi pulmonal, dan mengurangi vasokonstriksi. Oksigen umumnya diberikan pada
penderita emfisema dengan saturasi oksigen <90%. Selain digunakan dalam kondisi akut,
oksigen juga dapat dijadikan terapi jangka panjang dengan protokol pemberian selama 15
jam per hari pada pasien dengan kadar PaO2 <55 mmHg atau saturasi oksigen <88%.
Target pemberian oksigen adalah hingga saturasi >90%. Namun, harus berhati-hati agar
tidak menekan respon hipoksia karena dapat menyebabkan supresi respiratorik,
menyebabkan asidosis respiratorik, hingga respiratory arrest. Oksigen dapat diberikan
menggunakan nasal kanul, sungkup venturi, sungkup rebreathing, ataupun non
rebreathing.

 Nutrisi
Pasien dengan emfisema dapat juga mengalami malnutrisi karena peningkatan
kebutuhan energi (hipermetabolisme). Hal ini disebabkan oleh peningkatan kerja otot
pernapasan karena hipoksemia kronik dan hiperkapnia. Asupan yang disarankan untuk
pasien emfisema adalah yang mengandung komposisi nutrisi seimbang, dapat berupa
asupan tinggi lemak dan rendah karbohidrat.

 Rehabilitasi

Umumnya dilakukan dengan bantuan fisioterapis. Rehabilitasi dilakukan untuk


memperbaiki efisiensi dan kapasitas sistem transpor oksigen. Rehabilitasi yang dilakukan
dapat berupa latihan fisik dan latihan untuk meningkatkan kemampuan otot
pernapasan.Selain itu, pada pasien yang merokok, diperlukan edukasi dan program
khusus agar pasien dapat berhenti merokok.

 Pembedahan

Terapi melalui pembedahan pada penderita emfisema jarang menjadi pilihan


utama. Tujuan dari tindakan pembedahan adalah untuk mengurangi gejala dan
mengembalikan fungsi paru. Contoh terapi pembedahan yang dapat dilakukan adalah
bulektomi, bedah reduksi volume paru (BRVP), endobronchial valve placement
menggunakan bronkoskopi, dan transplantasi paru (dilakukan apabila VEP1 <20%).

H. KOMPLIKASI

Pada pengidap emfisema, jaringan paru-paru mengalami kerusakan dan kantung


udara secara bertahap dapat hancur. Akibatnya, pengidap emfisema akan mengalami
sesak napas. Jika gejala ini diabaikan, semakin lama, emfisema dapat memengaruhi
volume paru-paru. Paru-paru akan semakin mengecil dan menyebabkan berkurangnya
jumlah oksigen yang disuplai ke darah.

Penyakit ini juga memengaruhi aktivitas sehari-hari secara bertahap. Si pengidap akan
mengalami mengi (keluar suara saat bernapas), nyeri pada bagian dada, batuk, dan
mengalami penurunan berat badan.

Ada beberapa komplikasi akibat emfisema yang bisa terjadi.

 Pneumothorax

Pneumothorax adalah kondisi terjadinya penimbunan udara pada rongga pleura


(dinding tipis di antara paru-paru dan rongga dada). Paru-paru pengidap pneumothorax
bisa mengalami pengempisan atau penyusutan sampai kolaps.

 Terbentuknya Balon Besar di Paru-Paru

Komplikasi kedua biasa juga disebut Giant Bullae, yang ditandai dengan
terbentuknya balon besar pada paru-paru. Emfisema dapat berkembang dan menyebabkan
munculnya ruang kosong pada paru-paru. Ukurannya bahkan bisa sebesar paru itu sendiri
dan memenuhi rongga dada. Kondisi ini dapat menimbulkan tekanan pada paru dan
pengidap akan mengalami gangguan pernapasan yang berakibat fatal.

 Gangguan Jantung Akibat Kerusakan Paru

Emfisema juga dapat menyebabkan gangguan jantung. Gangguan jantung ini


dipicu oleh peningkatan tekanan pada arteri yang menghubungkan paru-paru dengan
jantung. Ini membuat jantung jadi melemah dan mengembang. Komplikasi penyakit
emfisema paru ini bisa berakibat fatal. Jadi jangan disepelekan ya. Mengobati emfisema
sedini mungkin bisa memperbesar peluang kesembuhan.

I. PROGNOSIS
Saat ini terdapat alat untuk menentukan prognosis bagi penderita emfisema yang
bernama indeks BODE (body mass index, airflow obstruction, dyspnea, dan exercise).
Indeks BODE dinilai berdasarkan IMT, VEP1, dyspnea, dan kapasitas olahraga.

Variabel 0 1 2 3
VEP1 > 65% 50-64% 36-49% < 35%
Kapasitas olahraga (jarak yang
ditempuh dalam waktu 6 menit) > 350m 250-349 150-249 <149
dalam satuan meter
Medical research council
0-1 2 3 4
dyspnea scale
IMT >21 <21

Indeks BODE dapat memprediksi kesintasan 4 tahun atau 4-years survival rate.
Berikut ini adalah interpretasi dari hasil yang didapatkan.

 0-2 poin : 80%


 3-4 poin : 67%
 5-6 poin : 57%
 7-10 poin : 18%

BAB III

TINJAUAN KASUS
1. Identitas Klien
Nama : Tuan A
TTL : 17/11/1970
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 40 tahun,
5 hari Pekerjaan : Buruh bangunan
Nama Ayah/ Ibu : Tn. M (Alm) / Ny.M
Pekerjaan Istri : Ibu rumah tangga
Alamat : Jl. Kedinding 78, Surabaya
Agama : Islam
Suku bangsa : Jawa
Pendidikan terakhir : SD
Pendidikan terakhir Istri : SD

2. Diagnosa : Emfisema
Analisa Data :

No Data Etiologi Masalah


1. DS: 1. Infeksi / Gangguan
Klien mengeluh sesak napas Pneumonia pertukaran gas
DO: 2. Polusi
a) pO2 : 75 mmHg (↓) 3. Usia
b) pCO2 : 50 mmHg (↑) 4. Ekonomi Rendah
c) SO3 : 100% 5. Merokok

Defisiensi enzim
alfa-1-antitripsin,
enzim protease

No Data Etiologi Masalah


Inflamasi
Elastisitas paru
menurun.

Destruksi jaringan
paru.

Pelebaran ruang
udara di dalam paru
(bronkus terminal
menggembung)

CO2 meningkat /
udara terperangkap
dalam paru
-
2. DS : Klien mengeluh adanya rasa Pola napas tidak Bersihan jalan
penuh di tenggorokan efektif napas tidak efektif
DO : - Produksi sekret meningkat
karena klien tidak bisa batuk efektif.
- Ditemukan suara napas ronchi

3. Diagnosa Prioritas
1. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan kerusakan alveoli yangreversible
2. Pola pernapasan berhubungan dengan ventilasi alveoli.
3. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan adanya sekret.

4. Intervensi
1. Kerusakan pertukaran gas yang berhubungan dengan ketidaksamaan ventilasi-
perfusi. Tujuan: Perbaikan dalam pertukaran gas.
Rencana Tindakan:
 Berikan bronkodilator sesuai yang diresepkan.
 Berikan bronkodilator sesuai yang diresepkan.
 Evaluasi tindakan nebuliser, inhaler dosis terukur, atau IPPB.
 Instruksikan dan berikan dorongan pada pasien pada pernapasan diafragmatik
dan batuk efektif.
 Berikan oksigen dengan metode yang diharuskan.

Rasional:

 Bronkodilator mendilatasi jalan napas dan membantu melawan edema


mukosa bronchial dan spasme muscular.
 Mengkombinasikan medikasi dengan aerosolized bronkodsilator nebulisasi
biasanya digunakan untuk mengendalikan bronkokonstriksi.
 Teknik ini memperbaiki ventilasi dengan membuka jalan napas dan
membersihkan jalan napas dari sputum. Pertukaran gas diperbaiki.
 Oksigen akan memperbaiki hipoksemia.

Evaluasi:

 Mengungkapkan pentingnya bronkodilator.


 Melaporkan penurunan dispnea
 Menunjukkan perbaikan dalam laju aliran ekspirasi.
 Menunjukkan gas-gas darah arteri yang normal

2. Pola pernapasan tidak efektif yang berhubungan dengan napas pendek, lendir,
bronkokonstriksi, dan iritan jalan napas.
Tujuan : perbaikan dalam pola pernapasan.
Rencana Tindakan :

 Ajarkan pasien pernapasan diafragmatik dan pernapasan bibir dirapatkan.


 Berikan dorongan untuk menyelingi aktivitas dengan periode istirahat.
 Berikan dorongan penggunaan pelatihan otot-otot pernapasan jika
diharuskan.
Rasional:
 Membantu pasien memperpanjang waktu ekspirasi. Dengan teknik ini pasien
akan bernapas lebih efisien dan efektif.
 Memberikan jeda aktivias akan memungkinkan pasien untuk melakukan
aktivitas tanpa distres berlebihan.
 Menguatkan dan mengkoordinasiakn otot-otot pernapasan.
Evaluasi:
 Melatih pernapasan bibir dirapatkan dan diafragmatik serta menggunakannya
ketika sesak napas dan saat melakukan aktivitas.
 Memperlihatkan tanda-tanda penurunan upaya bernapas dan membuat jarak
dalam aktivitas
 Menggunakan pelatihan otot-otot inspirasi, seperti yang diharuskan.
5. Implementasi
Lakukan tindakan sesuai dengan intervensi yang akan diberikan.
6. Evaluasi
Diagnosa 1 :
 Pasien bisa bernapas normal tanpa menggunakan otot tambahan pernapasan.
 Pasien tidak mengatakan nyeri saat bernapas.

Diagnosa 2:

 Pasien memperlihatkan frekuensi pernapasan yang efektif dan mengalami


perbaikan pertukaran gas pada paru.
 Pasien menyatakan faktor penyebab, jika mengetahui.

BAB IV

PENUTUP

Kesimpulan
Kesimpulan yang dapat kami ambil dari penjelasan isi makalah diatas adalah sebagai
berikut :
 Emphysema (emfisema) adalah penyakit paru kronis yang dicirikan oleh
kerusakan pada jaringan paru, sehingga paru kehilangan keelastisannya.
Gejala utamanya adalah penyempitan (obstruksi) saluran napas, karena
kantung udara di paru menggelembung secara berlebihan dan mengalami
kerusakan yang luas.
 Terdapat 3 (tiga) jenis emfisema utama, yang diklasifikasikan berdasarkan
perubahan yang terjadi dalam paru-paru : PLE (Panlobular
Emphysema/panacinar), CLE (Sentrilobular Emphysema/sentroacinar),
Emfisema Paraseptal.
 Asuhan keperawatan pada penderita emfisema secara garis besar adalah
membantu menjaga keseimbangan antara kebutuhan dan suplai oksigen klien.

Saran

Sebagai perawat diharapkan mampu untuk melakukan asuhan keperawatan


terhadap penderita emfisema. Perawat juga harus mampu berperan sebagai pendidik.
Dalam hal ini melakukan penyuluhan mengenai pentingnya hal-hal yang dapat
memperberat penyakit, hal-hal yang harus dihindarkan dan bagaimana cara pengobatan
dengan baik.

DAFTAR PUSTAKA

Baughman,D.C& Hackley,J.C.2000. Keperawatan Medikal Bedah. Jakarta : EGC Buku Ajar


Ilmu Penyakit Dalam.
Jilid II Balai Penerbit FKUI, Jakarta 2001 Mills,John& Luce,John M.1993.

Anda mungkin juga menyukai