Anda di halaman 1dari 106

ASUHAN KEPERAWATAN PADA Tn. E DENGAN GANGGUAN SISTEM


RESPIRASI: RESPIRATORY FAILURE DI RUANG INTENSIVE CARE UNIT
KAMAR 1 RUMAH SAKIT SANTO BORROMEUS

LAPORAN KASUS

Oleh:

Agnes Monica 30120118002


Neneng Nuria 30120118036
Ruth Yohana 30120118039

PROGRAM STUDI SARJANA KEPERAWATAN


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SANTO BORROMEUS
2021/2021

a
KATA PENGANTAR

Kami mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas rahmat dan pertolongan-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan Laporan
Kasus PKK IV yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Tn. E Dengan
Gangguan Sistem Pernapasan: Respiratory Failure Di Ruang Intensive Care Unit
Kamar 1 Rumah Sakit Santo Borromeus”. Dalam penulisan laporan juga tidak
lupa mengucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing mata kuliah Albertus
Budi Arianto, S. Kep., Ners., M. Kep atas bimbingan yang telah diberikan.
Kami menyadari dalam laporan ini masih banyak kekurangan. Untuk itu,
kami mengharapkan adanya kritikan dan saran yang membangun guna
membangun kesempurnaan laporan ini. Selanjutnya kami berharap dapat
menambah wawasan pembaca dengan adanya materi ini, akhir kata penulis
mengucapkan terimakasih.

Bandung, November 2021

Penulis

i
DAFTAR ISI

Kata Pengantar.....................................................................................................i

Daftar isi..............................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang.........................................................................................1
B. Tujuan Penulisan.....................................................................................2
C. Metode Penulisan....................................................................................3
D. Sistematika Penulisan..............................................................................3

BAB II TINJAUAN TEORI

A. Pengertian...............................................................................................5
B. Anatomi dan Fisiologi............................................................................5
C. Etiologi.................................................................................................11
D. Faktor Resiko.......................................................................................12
E. Klasifikasi.............................................................................................12
F. Patofisiologi..........................................................................................13
G. Pathway................................................................................................15
H. Manifestasi klinis.................................................................................15
I. Komplikasi...........................................................................................16
J. Tes Diagnostik......................................................................................17
K. Penatalaksanaan Medis.........................................................................20
L. Konsep Asuhan Keperawatan..............................................................20

BAB III TINJAUAN KASUS

A. Pengkajian............................................................................................37
B. Diagnosa Keperawatan.........................................................................64
C. Perencanaan Keperawatan....................................................................64
D. Implementasi Keperawatan..................................................................77

ii
E. Evaluasi Keperawatan..........................................................................85
BAB IV PEMBAHASAN

Pembahasan................................................................................................91

BAB V PENUTUP

A. Simpulan...............................................................................................95
B. Saran.....................................................................................................96

BAB VI ANALISA TINDAKAN


Analisa Tindakan..........................................................................................97

DAFTAR PUSTAKA......................................................................................100

iii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Obstruksi jalan napas merupakan gangguan yang sering terjadi
pada pasien akibat terjadi penumpukan sekret yang berlebih sehingga
dapat menyumbat jalan napas dan dapat menyebabkan pasien berisiko
mengalami gagal napas. Gagal napas merupakan penyebab angka
kematian tertinggi di Instalasi perawatan intensif yang dapat timbul
mendadak pada pasien dengan tanpa kelainan pada paru-paru yang
mendasari sebelumnya (Wijaya, 2013).
Prevalensi gagal napas di dunia semakin meningkat setiap
tahunnya. Di Swedia, tingkat mortalitas Acute Respiratory Distress
Syndrome (ARDS) adalah 41% dan Acute Lung Injury (ALI) adalah
42,2%. Sedangkan di Jerman, insiden gagal napas, ALI, dan ARDS adalah
77,6-88,6% kasus per 100.000 ribu penduduk per tahun. Berdasarkan data
peringkat 10 penyakit tidak menular (PTM) yang terfatal menyebabkan
kematian berdasarkan Case Fatality Rate (CFR) di rumah sakit pada tahun
2010, angka kejadian gagal napas menempati peringkat kedua yaitu
sebesar 20,98% (dalam Kementerian Kesehatan RI, 2012).
Di Indonesia, insiden pasien dengan gagal napas yang dirawat di
ICU adalah rata-rata 41-42 pasien/bulan dan yang mengalami kejadian
gagal napas sekitar 13-14 pasien/bulan serta 10-11 pasien/bulan meninggal
akibat gagal napas (Berty, 2013). Gagal napas yang disebabkan oleh
karena adanya obstruksi pada saluran pernapasan bisa diatasi, dengan
salah satu tindakan yang biasa dilakukan dan dijumpai di pelayanan
intensif yaitu pelaksanaan pemberian tindakan suction (Widiyanto &
Hudijono, 2013).
Beberapa penyebab gagal napas dapat berupa PPOK dan asma.
Berdasarkan riset kesehatan dasar tahun 2013 prevalensi ppok dan asma di
provinsi sumatera utara masing-masing adalah 3,6% dan 2,4% (Riskesdas,
2013).

1
Penyebab lainnya adalah TB paru. Indonesia menempati urutan ke-
3 terbanyak penderita TB di dunia setelah India, dan Cina. Di Indonesia
setiap tahun terdapat ± 250.000 kasus baru dan sekitar 140.000 kematian
akibat TB. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Indonesia
tahun 2004 menunjukkan bahwa TB merupakan penyebab kematian
nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian
nomor 3 setelah penyakit jantung dan pernapasan akut pada seluruh
kalangan usia (Silitonga, 2011).
Selain itu, pneumotoraks dan efusi pleura merupakan salah satu
etiologi gagal napas. Angka kejadian primary spontaneous pneumothorax
(PSP) di Inggris adalah 24 per 100.000 penduduk untuk laki-laki dan 9,8
per 100.000 penduduk per tahun untuk perempuan (Aulia, 2015).
Prevalensi efusi pleura mencapai 320 per 100.000 penduduk di negara-
negara industri dan penyebaran etiologi berhubungan dengan prevalensi
penyakit yang mendasarinya (Surjanto, Sutanto and Aphridasari, 2014).
Menurut WHO (2008), efusi pleura merupakan suatu gejala penyakit yang
dapat mengancam jiwa penderitanya. Di negara-negara industri,
diperkirakan terdapat 320 kasus efusi pleura per 100.000 orang. Amerika
Serikat melaporkan 1,3 juta orang setiap tahunnya menderita efusi pleura
terutama disebabkan oleh gagal jantung kongestif dan pneumonia bakteri.
Menurut Depkes RI (2006), kasus efusi pleura mencapai 2,7 % dari
penyakit infeksi saluran napas lainnya (tiwi, 2015).

B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa memahami dan mampu melaksanakan asuhan
keperawatan kritis pada Tn. E dengan gangguan sistem respirasi:
Respiratory failure di ruang instalasi gawat darurat Rumah Sakit Santo
Borromeus dengan menggunakan pendekatan asuhan keperawatan
sesuai dengan kewenangan perawat.
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu memahami konsep kritis respiratoty failure.

2
b. Mahasiswa mampu melaksanakan pengkajian primer dan sekunder
pada Tn. E dengan gangguan sistem respirasi: Respiratory failure
di ruang intensive care unit rumah sakit santo borromeus.
c. Mahasiswa mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada Tn. E
dengan gangguan sistem respirasi: respiratoty failure di ruang
intensive care unit rumah sakit Santo Borromeus.
d. Mahasiswa mampu merumuskan diagnosa pada Tn. E dengan
gangguan sistem respirasi: Respiratory failure di ruang instalasi
gawat darurat rumah sakit Santo Borromeus.
e. Mahasiswa mampu melaksanakan tindakan asuhan keperawatan
pada Tn. E dengan gangguan sistem respirasi: respiratory failure di
ruang instalasi gawat darurat rumah sakit Santo Borromeus.
f. Mahasiswa mampu mengevaluasi hasil asuhan keperawatan yang
dilaksanakan pada Tn. E dengan gangguan sistem respirasi:
Respiratory failure di ruang instalasi gawat darurat rumah sakit
Santo Borromeus.

C. Metode Penulisan
1. Sumber data
Sumber data laporan kasus ini di dapatkan dari pengkajian langsung
dengan klien di rumah sakit. Pada laporan ini sumber data di dapatkan
melalui buku SDKI dan SLKI sebagai referensi dan juga sumber-
sumber lainnya seperti artikel dan jurnal.
2. Metode Pengumpulan Data
Untuk metode pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi
langsung pada klien yang mengalami penurunan kesadaran serta
melakukan dokumentasi.

D. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah melihat dan mengetahui pembahasan yang
ada pada makalah ini secara menyeluruh, maka perlu di kemukakan
sistematika yang merupakan kerangka dan pedoman penulisan makalah.

3
BAB I merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, tujuan
penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan makalah. BAB II
merupakan tinjauan teori yang berisi tentang laporan pendahuluan dari
kasus tentang diabetes melitus. BAB III merupakan tinjauan kasus yang
berisis tentang tinjauan asuhan keperawatan yang saya dapatkan melalui
pengkajian. BAB IV merupakan pembahasan yang berisi mengenai
kesamaan dan kesenjangan antara teori, BAB I dan BAB II tentang kasus
dan mengemukakan analisa tentang mengapa dapat terjadi perbedaan
tersebt yang berdasarkan teori. BAB V merupakan penutup yang berisi
kesimpulan dan hasil pembahasan dan analisis kegiatan praktik yang telah
dilakukan, yang diharapakan dapat memberikan manfaat.

4
5
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
Kegagalan pernapasan adalah suatu kondisi dimana oksigen tidak
cukup masuk dari paru-paru ke dalam darah. Organ tubuh, seperti jantung
dan otak, membutuhkan darah yang kaya oksigen untuk bekerja dengan
baik. Kegagalan pernapasan juga bisa terjadi jika paru-paru tidak dapat
membuang karbon dioksida dari darah. Terlalu banyak karbon dioksida
dalam darah dapat membahayakan organ tubuh (National Heart, lung,
2011).
Keadaan ini disebabkan oleh pertukaran gas antara paru dan darah
yang tidak adekuat sehingga tidak dapat mempertahankan pH, pO2, dan
pCO2, darah arteri dalam batas normal dan menyebabkan hipoksia tanpa
atau disertai hiperkapnia (Arifputera, 2014).
Gagal nafas adalah ketidakmampuan sistem pernapasan melakukan
satu atau dua fungsi pertukaran gas yaitu oksigenasi dan eliminsi
karbondioksida (Lamba et al, 2016)
Menurut kelompok, respiratory failure merupakan kondisi
kurangnya O2 yang masuk kedalam paru-paru saat proses ventilasi (O2
menurun) dan paru-paru tidak dapat mengeluarkan CO2 dalam tubuh saat
proses difusi (CO2 meningkat) sehingga terjadi abnormalitas gas darah
yang menyebabkan hipoksia tanpa atau disertai hiperkapnia.

B. Anatomi Fisiologi
Paru merupakan organ yang elastis dan terletak di dalam rongga
dada bagian atas, bagian samping dibatasi oleh otot dan rusuk dan bagian
bawah dibatasi oleh diafragma yang berotot kuat. Paru terdiri dari dua
bagian yang dipisahkan oleh mediastinum yang berisi jantung dan
pembuluh darah. Paru kanan mempunyai tiga lobus yang dipisahkan oleh
fissura obliqus dan horizontal, sedangkan paru kiri hanya mempunyai dua
lobus yang dipisahkan oleh fissura obliqus. Setiap lobus paru memiliki
bronkus lobusnya masing-masing. Paru kanan mempunyai sepuluh segmen

6
paru, sedangkan paru kiri mempunyai sembilan segmen (Syaifuddin,
2011).

Gambar 2.1 Anatomi Sistem Pernapasan


https://www.dictio.id/t/bagaimana-anatomi-sistem-respirasi-atau-sistem-
pernapasan-pada-manusia/13787

Paru diselubungi oleh lapisan yang mengandung kolagen dan


jaringan elastis, dikenal sebagai pleura visceralis. Sedangkan lapisan yang
menyelubungi rongga dada dikenal sebagai pleura parietalis. Di antara
kedua pleura terdapat cairan pleura yang berfungsi untuk memudahkan
kedua permukaan pleura bergerak selama bernafas dan untuk mencegah
pemisahan thoraks dan paru. Tekanan dalam rongga pleura lebih rendah
dari tekanan atmosfer, sehingga mencegah terjadinya kolaps paru. Selain
itu rongga pleura juga berfungsi menyelubungi struktur yang melewati
hilus keluar masuk dari paru. Paru dipersarafi oleh pleksus pulmonalis
yang terletak di pangkal tiap paru. Pleksus pulmonalis terdiri dari serabut
simpatis (dari truncus simpaticus) dan serabut parasimpatis (dari arteri
vagus). Serabut eferen dari pleksus ini mempersarafi otot-otot bronkus dan

7
serabut aferen diterima darimembran mukosa bronkioli dan alveoli (Sari &
Purwoko, 2015).

1. Rongga Pleura

Gambar 2.3 Rongga Pleura


http://repository.unimus.ac.id/3076/4/BAB%20II.pdf

Pleura merupakan membran serosa yang melingkupi parenkim


paru, mediastinum, diafragma serta tulang iga; terdiri dari pleura
viseral dan pleura parietal. Rongga pleura terisi sejumlah tertentu
cairan yang memisahkan kedua pleura tersebut sehingga
memungkinkan pergerakan kedua pleura tanpa hambatan selama
proses respirasi. Cairan pada rongga pleura juga berfungsi mengurangi
gesekan/friction antara pleura parietalis dan viseralis serta menjaga
paru - paru dari tekanan dinding dada. Cairan pleura berasal dari
pembuluh-pembuluh kapiler pleura, ruang interstitial paru, kelenjar
getah bening intratoraks, pembuluh darah intratoraks dan rongga
peritoneum.
Jumlah cairan pleura dipengaruhi oleh perbedaan tekanan antara
pembuluhpembuluh kapiler pleura dengan rongga pleura sesuai hukum
Starling serta kemampuan eliminasi cairan oleh sistem penyaliran
limfatik pleura parietal. Pada keadaan normal jumlah cairan pleura

8
sangat sedikit (0,1 - 0,2 mL/kgBB). Tekanan pleura merupakan cermin
tekanan di dalam rongga toraks. Perbedaan tekanan yang ditimbulkan
oleh pleura berperan penting dalam proses respirasi.

2. Alveoli

Gambar 2.3 Alveoli


https://www.pedilung.com/contact/

Zona respiratorik terdiri dari alveoli, dan struktur yang


berhubungan. Pertukaran gas antara udara dan darah terjadi dalam
alveoli. Ukuran alveolus 10 memiliki fungsi terkait gravitasi dan
volume paru. Diameter rata-rata pada suatu alveolus diperkirakan
sebesar 0.05-0.33 mm. Pada posisi tegak, alveoli terbesar adalah pada
apekspulmoner, dan yang terkecil cenderung berada pada bagian basal.
Dengan inspirasi, perbedaan ukuran alveolus menghilang.
Masing-masing alveolus berhubungan dekat dengan suatu jaringan
kapiler pulmoner. Dinding pada masing-masing alveolus tersusun
secara asimetrik (Gambar 5). Pada sisi yang tipis, di mana pertukaran
gas terjadi, epitel alveolus dan endotel kapiler hanya dipisahkan oleh
membran selular dan basalis masing-masing; pada sisi yang tebal, di
mana pertukaran cairan dan zat terlarut terjadi, ruang interstisial
pulmoner memisahkan epitel alveolus dari endotel kapiler. Ruang
interstisial pulmoner terutama terdiri atas elastin, kolagen, dan
kemungkinan serabut saraf. Pertukaran gas terutama terjadi pada sisi
tipis pada membran alveolokapiler, yang ketebalannya kurang dari 0.4

9
µm. Sisi yang tebal (1-2 µm) memberikan dukungan struktural
terhadap alveolus.
3. Sirkulasi Pulmoner
Paru mendapat darah dari dua sistem arteri yaitu arteri pulmonalis
dan arteri bronkialis. Sirkulasi pulmoner menerima output total melalui
arteri pulmonal yang berasal dari jantung kanan. Arteri pulmonal
bercabang ke kiri dan ke kanan untuk menyuplai kedua paru yang
membawa darah ter-deoksigenasi melewati kapiler pulmoner, dimana
O2 diambil dan CO2 dieliminasi. Darah teroksigenasi kemudian
kembali ke jantung kiri melalui empat vena pulmoner utama (dua dari
masing-masing paru). Resistensi vaskuler pulmoner yang lebih rendah
menyebabkan tekanan vaskuler pulmoner sebesar 1/6 kali dari sirkulasi
sistemik walaupun aliran yang melalu sirkulasi sistemik dan pulmoner
setara; sehingga, baik arteri maupun vena pulmonalis normalnya
memiliki dinding yang lebih tipis dibandingkan pembuluh sistemik
dengan otot polos yang lebih sedikit.
Kapiler pulmoner tergabung ke dalam dinding alveolus. Diameter
rata-rata kapiler ini (sekitar 10 µm) hanya cukup untuk memungkinkan
lewatnya satu sel darah merah. Karena masing-masing jaringan kapiler
menyuplai lebih dari satu alveolus, darah dapat melewati beberapa
alveoli sebelum mencapai vena pulmonalis. Karena tekanan yang
relatif rendah pada sirkulasi pulmoner, jumlah darah yang mengalir
melalui jaringan kapiler tersebut dipengaruhi oleh gravitasi dan ukuran
alveoli. Alveoli besar memiliki area cross-sectional kapiler yang lebih
kecil dan menyebabkan peningkatan resistansi terhadap aliran darah.
Pada posisi tegak, kapiler apikal cenderung memiliki penurunan aliran,
sedangkan kapiler basal memiliki aliran yang lebih tinggi.
Endotel kapiler pulmoner memiliki sambungan yang relatif besar
(selebar 5 nm), memungkinkan lewatnya molekul besar seperti
albumin. Sehingga, cairan interstisial pulmoner relatif lebih kaya
albumin. Makrofag dan netrofil yang bersirkulasi dapat melewati
endotel, dan juga sambungan epitel alveolus yang lebih kecil, dengan

10
relatif lebih mudah. Makrofag pulmoner seringkali ditemukan pada
ruang interstisial dan di dalam alveoli, makrofag ini bekerja untuk
mencegah infeksi bakteri dan untuk menghancurkan partikel asing.
4. Sistem pengontrol pernapasan
a. Respiratory control centers
Terletak berpencar di berberapa level, yaitu di batang otak
(pons dan medulla oblongata) serta korteks. Sentrum pernapasan di
korteks berperan untuk pernapasan yang disadari (voluntary) pusat
pernapasan yang disadari ini penting untuk mengatur pernapasan
selagi bicara, menyanyi dan mengedan. Sentrum pernapasan di
batang otak merupakan kelompok neuron luas terletak bilateral di
medulla di substansia retikuler medulla oblongata dan pons yang
berperan dalam pernapasan spontan (involuntary). Daerah ini
dibagi menjadi tiga kelompok neuron utama yaitu kelompok
pernapasan dorsal yang menyebabkan inspirasi, kelompok
pernasapan ventral yang menyebabkan ekspirasi dan pusat
pneumotaksik yang mengatur kecepatan dan kedalaman napas.
b. Respiratory effectors
Transmisi impuls dari pusat napas ke otot pernapasan
berjalan melalui Nervus frenikus yang menuju diafragma, yang
berasal dari radix saraf C3-C5. Blokade atau paralisis nervus
frenikus unilateral hanya sedikit mengurangi fungsi pulmoner
(sekitar 25%) pada orang normal. Walaupun paralisis pada nervus
frenikus bilateral menyebabkan gangguan yang lebih berat,
aktivitas otot penyokong pernapasan mempertahankan ventilasi
yang adekuat pada sebagian pasien.
c. Respiratory sensors
Sensor pernapasan terdiri dari kemoreseptor sentral,
kemoreseptor perifer, reseptor sensoris di dinding dada, serta
reseptor sensoris didalam paru. Kemoreseptor sentral terletak pada
area kemosensitif yang terletak sepersekian millimeter dibawah
permukaan ventral medulla oblongata. Area ini merespon dengan

11
cepat setiap peningkatan konsentrasi CO2 ataupun peningkatan
konsentrasi ion H+ dengan menambah ventilasi. Sensor pernapasan
juga peka terhadap penurunan tekanan darah seperti yang
didapatkan pada shock yang mengakibatkan terjadinya
hiperventilasi. Kemoreseptor sentral hanya berperan linier terhadap
PaO2, sedangkan kemoreseptor perifer hanya menyebabkan
kenaikan ventilasi bila terjadi hipoksemia yang signifikan (PaO2
<60 mmHg).

C. Etiologi
Etiologi gagal nafas sangat beragam tergantung jenisnya. Gagal nafas
dapat disebabkan oleh kelainan paru, jantung, dinding dada, otot
pernapasan atau medulla oblongata.
1. Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) dan asma
Kerusakan jaringan paru pada PPOK seperti penyempitan saluran
napas, fibrosis, destruksi parenkim membuat area permukaan alveolar
yang kontak langsung dengan kapiler paru secara kontinu menurun,
membuat terganggunya difusi O2 dan eliminasi CO2 (Sundari, 2013).
2. Pneumonia
Mikroorganisme pada pneumonia mengeluarkan toksin dan memicu
reaksi inflamasi dan mensekresikan mucus. Mucus membuat area
permukaan alveolar yang kontak langsung dengan kapiler paru secara
kontinu menurun, membuat terganggunya difusi O2 dan eliminasi CO2
(Sundari, 2013).
3. TB Pulmonal
Pelepasan besar mycobacteria ke sirkulasi pulmonal menyebabkan
terjadi peradangan, endarteritis obliteratif dan kerusakan membran
alveolokapiler, sehingga menyebabkan pertukaran gas terganggu
(Raina et al.,2013)
4. Tumor paru
Tumor paru dapat menyebabkan obstruksi jalan napas membuat
ventilasi dan perfusi tidak adekuat

12
5. Pneumotoraks
Pneumotoraks adalah keadaan darurat medis dan terjadi ketika tekanan
intrapleural melebihi tekanan atmosfi. Pada respirasi normal, ruang
pleura memiliki tekanan negatif. Saat dinding dada mengembang ke
luar, ketegangan permukaan antara pleura parietal dan viseral
menyebabkan paru-paru mengembang keluar. Penumpukan tekanan di
dalam ruang pleura pada akhirnya menyebabkan hipoksemia dan gagal
napas akibat kompresi paru-paru (BMJ Best Practice, 2017).
6. Efusi Pleura
Efusi pleura dapat menyebabkan dispnea yang dikarenakan penurunan
compliance dinding dada.sehingga pertukaran udara tidak adekuat
(Steven A. Sahn, 2012)

D. Faktor Resiko
1. Trauma langsung pada paru
a. Penumonia virus, bakteri, fungal
b. Contusio paru
c. Aspirasi cairan lambung
d. Inhalasi asap berlebih
e. Inhalasi toksin
f. Menghisap O2 konsentrasi tinggi dalam waktu lama
2. Trauma tidak langsung
a. Sepsis
b. Shock

E. Klasifikasi
1. Gagal nafas tipe 1
Gagal napas tipe I adalah kegagalan paru untuk mengoksigenasi darah,
ditandai dengan PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau menurun.
Gagal napas tipe I ini terjadi pada kelainan pulmoner dan tidak
disebabkan oleh kelainan ekstrapulmoner. Mekanisme:

13
a. Gangguan ventilasi/perfusi (V/Q mismatch), terjadi bila darah
mengalir ke bagian paru yang ventilasinya buruk atau rendah.
Keadaan ini paling sering. Contohnya adalah posisi (terlentang di
tempat tidur), ARDS, atelektasis, pneumonia, emboli paru,
dysplasia bronkupulmonal
b. Gangguan difusi yang disebabkan oleh penebalan membrane
alveolar atau pembentukan cairan interstitial pada sambungan
alveolar-kapiler. Contohnya adalah edema paru, ARDS,
pneumonia interstitial
c. Pirau intrapulmonal yang terjadi bila aliran darah melalui area
paru-paru yang tidak pernah mengalami ventilasi. Contohnya
adalah malformasi arterio-vena paru, malformasi adenomatoid
kongenital (Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M. Ked (Paru), 2017).
2. Gagal nafas tipe 2
Gagal napas tipe II adalah kegagalan tubuh untuk mengeluarkan CO2,
pada umumnya disebabkan olehkegagalan ventilasi yang ditandai
dengan retensi CO2 (peningkatan PaCO2 atau hiperkapnia) disertai
dengan penurunan PH yang abnormal dan penurunan PaO2 atau
hipoksemia. (Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M. Ked (Paru), 2017)
Kegagalan ventilasi biasanya disebabkan oleh hipoventilasi karena
kelainan ekstrapulmonal. Hiperkapnia yang terjadi karena kelainan
ekstrapulmonal dapat disebabkan karena: 1) penekanan dorongan
pernapasan sentral atau 2) gangguan pada respon ventilasi. (Syarani,
Dr. dr. Fajrinur, M. Ked (Paru), 2017)

F. Patofisiologi
Indikator gagal nafas adalah frekuensi pernapasan dan kapasitas
vital, frekuensi pernapasan normal ialah 16-20x/menit. Bila lebih dari
20x/menit tindakan yang dilakukan memberi bantuan ventilator karena
“kerja pernapasan” menjadi tinggi sehingga timbul kelelahan. Kapasitas
vital adalah ukuran ventilasi (normal 10-20ml/kg).

14
Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas
kronik dimana masing-masing mempunyai pengertian yang berbeda.
Gagal nafas akut adalah gagal nafas yang timbul Pada pasien yang parunya
normal secara struktural maupun fungsional sebelum awitan penyakit
timbul. Sedangkan gagal nafas kronik adalah terjadi pada pasien dengan
penyakit paru kronik seperti bronkitis kronik, emfisema, dan penyakit paru
hitam. Pasien mengalami toleransi terhadap hipoksia dan hiperkapnia yang
memburuk secara bertahap. Setelah gagal nafas akut biasanya paru-paru
kembali seperti semula. Pada gagal nafas kronik struktur paru mengalami
kerusakan yang ireversibel.
Penyebab gagal nafas yang utama adalah ventilasi yang Tidak
adekuat dimana terjadi obstruksi jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang
mengendalikan pernafasan terletak di bawah batang otak (Pons dan
medulla). Pada kasus pasien dengan anastesi, cedera kepala, stroke, tumor
otak, ensefalitis, meningitis, hipoksia dan hiperkapnia mempunyai
kemampuan menekan pusat pernapasan. Sehingga pernapasan menjadi
lambat dan dangkal. Pada periode postoperatif dengan anestesi bisa terjadi
pernapasan tidak adekuat karena terdapat agen menekan pernapasan
dengan efek yang di keluarkan atau dengan meningkatkan efek dari
analgetik opioid. Pneumonia atau penyakit paru dapat mengarah ke gagal
napas.
Mekanisme gagal nafas menggambarkan ketidakmampuan tubuh
untuk melakukan oksigenasi dan atau ventilasi dengan adekuat yang di
tandai oleh ketidakmampuan sistem respirasi untuk memasok oksigen
yang cukup atau membuang karbon dioksida. Pada gagal nafas terjadi
peningkatan tekanan parsial karbon dioksida arteri (PaCO2) lebih besar
dari 50mHg, tekanan parsial oksigen arteri (PaCO2) kurang dari 60
mmHg, atau kedua-duanya. Hiperkarbia dan hipoksia mempunyai
konsekuensi yang berbeda. Peningkatan PCO2 tidak mempengaruhi
metabolisme normal kecuali bila sudah mencapai kadar ekstrim (>90
mmHg). Di atas itu, hiperkapnia dapat menyebabkan depresi susunan saraf
pusat dan henti napas.

15
Untuk pasien dengan kadar PaCO2 rendah, konsekuensi yang lebih
berbahaya adalah gagal nafas baik akut maupun kronik. Hipoksemia akut,
terutama bila di sertai curah jantung rendah, sering berhubungan dengan
hipoksia jaringan dan resiko henti jantung. Hipoventilasi di tandai oleh
laju pernapasan rendah dan napas dangkal. Bila PaCO2 normal atau
40mmHg, penurunan ventilasi sampai 50% akan meningkatkan PaCO2
sampai 80 mmHg. Dengan hipoventilasi, PaCO2 akan turun kira-kira
dengan jumlah yang sama dengan peningkatan PaCO2. Kadang, pasien
yang menunjukkan pertanda retensi CO2 dapat mempunyai saturasi
oksigen mendekati normal.
Disfungsi paru menyebabkan gagal nafas bila pasien yang
mempunyai penyakit paru tidak dapat menunjang pertukaran gas normal
melalui peningkatan ventilasi. Retensi CO2 terjadi pada penyakit paru
hanya bila pasien sudah tidak bisa lagi mempertahankan laju pernapasan
yang di perlukan, biasanya karena kelelahan otot.

G. Pathway
Terlampir di excel

H. Manifestasi Klinis
1. Gagal nafas hipoksemia
Nilai PaCO2 pada gagal napas tipe ini menunjukkan nilai normal atau
rendah. Gejala yang timbul merupakan campuran hipoksemia arteri
dan hipoksia jaringan:
a. Dispneu (takipneu, hipeventilasi)
b. Perubahan status mental, cemas, bingung, kejang, asidosis laktat
c. Sinosis di distal dan sentral (mukosa, bibir)
d. Peningkatan simpatis, takikardia, diaforesis, hipertensi
e. Hipotensi, bradikardia, iskemi miokard, infark, anemia, hingga
gagal jantung dapat terjadi pada hipoksia berat. (Arifputera, 2014).
2. Gagal nafas hiperkapnia

16
Kadar PCO2 yang cukup tinggi dalam alveolus menyebabkan pO2
alveolus dari arteri turun. Hal tersebut dapat disebabkan oleh gangguan
di dinding dada, otot pernapasan, atau batang otak. Contoh pada PPOK
berat, asma berat, fibrosis paru stadium akhir, ARDS berat, atau
sindroma guillain barre. Gejala hiperkapnia antara lain penurunan
kesadaran, gelisah, dispneu (takipneu, bradipneu), tremor, bicara
kacau, sakit kepala, dan papil edema (Arifputera, 2014).

I. Komplikasi
1. Komplikasi GI
Komplikasi GI utama yang terkait dengan gagal napas akut adalah
perdarahan, distensi lambung, ileus, diare, dan pneumoperitoneum.
Infeksi nosokomial, seperti pneumonia, infeksi saluran kemih, dan
sepsis terkait kateter, sering terjadi komplikasi gagal napas akut. Ini
biasanya terjadi dengan penggunaan alat mekanis. Komplikasi gizi
meliputi malnutrisi dan pengaruhnya terhadap kinerja pernapasan dan
komplikasi yang berkaitan dengan pemberian nutrisi enteral atau
parenteral (Kaynar, 2016).
2. Paru-paru
Komplikasi pada paru-paru itu seperti pneumonia, emboli paru,
barotrauma paru-paru, fibrosis paru. Komplikasi yang berhubungan
dengan mesin dan alat mekanik ventilator pada pasien gagal napas juga
banyak menimbulkan komplikasi yaitu infeksi, desaturasi arteri,
hipotensi, barotrauma, komplikasi yang ditimbulkan oleh dipasangnya
intubasi trakhea adalah hipoksemia cedera otak, henti jantung, kejang,
hipoventilasi, pneumotoraks, atelektasis. Gagal napas akut juga
mempunyai komplikasi di bidang gastrointestinal yaitu stress ulserasi,
ileus dan diare (Putri, 2013).
3. Kardiovaskular
Krdiovaskular memiliki komplikasi hipotensi, aritmia, penurunan
curah jantung, infark miokard, dan hipertensi pulmonal. Komplikasi
pada ginjal dapat menyebabkan acute kidney injury dan retensi cairan.

17
Resiko terkena infeksi pada pasien gagal napas juga cukup tinggi yaitu
infeksi nosokomial, bakteremia, sepsis dan sinusitis paranasal (Putri,
2013).

J. Tes Diagnostik
1. Laboratorium
a. Analisa Gas Darah
Jika gejala klinis gagal napas sudah terjadi maka analisa gas darah
harus dilakukan untuk memastikan diagnosis, membedakan gagal
napas akut dan kronik. Analisa gas darah dilakukan untuk patokan
terapi oksigen dan penilian obyektif dalam berat-ringan gagal
napas. Indikator klinis yang paling sensitif untuk peningkatan
kesulitan respirasi ialah peningkatan laju pernapasan. Sedangkan
kapasitas vital paru baik digunakan menilai gangguan respirasi
akibat neuromuscular, misalnya pada sindroma guillain-barre,
dimana kapasitas vital berkurang sejalan dengan peningkatan
kelemahan. Interpretasi hasil analisa gas darah meliputi 2 bagian,
yaitu gangguan keseimbangan asam-basa dan perubahan
oksigenasi jaringan (Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M. Ked (Paru),
2017).
b. Pulse oximetry
Alat ini mengukur perubahan cahaya yang yang ditranmisikan
melalui aliran darah arteri yang berdenyut. Informasi yang di
dapatkan berupa saturasi oksigen yang kontinyu dan non-invasif
yang dapat diletakkan baik di lobus bawah telinga atua jari tangan
maupun kaki. Hasil pada keadaan perfusi perifer yang kecil, tidak
akurat. Hubungan antara saturasi oksigen dantekanan oksigen
dapat dilihat pada kurva disosiasi oksihemoglobin. Nilai kritisnya
adalah 90%, dibawah level itu maka penurunan tekanan oksigen
akan lebih menurunkan saturasi oksigen (Syarani, Dr. dr. Fajrinur,
M. Ked (Paru), 2017).
c. Capnography

18
Alat yang dapat digunakan untuk menganalisa konsentrasi kadar
karbondioksida darah secara kontinu. Penggunaannya antara lain
untuk kofirmasi intubasi trakeal, mendeteksi malfungsi apparatus
serta gangguan fungsi paru (Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M.
Ked(Paru), 2017).
i) Pemeriksaan apus darah untuk mendekteksi anemia yang
menunjukakkan terjadinya hipoksia jaringan. Adanya
polisitemia menunjukkan gagal napas kronik (Syarani, Dr.
dr. Fajrinur, M. Ked (Paru), 2017).
ii) Pemeriksaan kimia untuk menilai fungsi hati dan ginjal,
karena hasil pemeriksaan yang abnormal dapat menjadi
petunjuk sebab-sebab terjadinya gagal napas. Abnormalitas
elektrolit seperti kalium, magnesium dan fosfat dapat
memperberat gejala gagal napas (Syarani, Dr. dr. Fajrinur,
M. Ked (Paru), 2017).
iii) Pemeriksaan kadar kreatinin serum dan troponin 1 dapat
membedakan infark miokard dengan gagal napas, kadar
kreatinin serum yang meningkat dengan kadar troponin 1
yang yang normal menunjukkan terjadinya miositosis yang
dapat menyebabkan gagal napas (Syarani, Dr. dr. Fajrinur,
M. Ked(Paru), 2017).
iv) Pada pasien dengan gagal napas hiperkapni kronik, kadar
TSH serum perlu diperiksa untuk membedakan dengan
hipotiroid, yang dapat menyebabkan gagal napas reversibel
(Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M. Ked(Paru), 2017).
v) Pemeriksaan laboratorium untuk menilai status nutrisi
adalah pengukuran kadar albumin serum, prealbumim,
transferin, total iron-binding protein, keseimbangan
nitrogen, indeks kreatinindan jumlah limfosit total (Syarani,
Dr. dr. Fajrinur, M. Ked(Paru), 2017).
2. Pemeriksaan Radiologi
a. Radiografi dada

19
Penting dilakukan untuk membedakan penyebab terjadinya gagal
napas tetapi kadang sulit untuk membedakan edema pulmoner
kardiogenik dan nonkardiogenik. (Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M. Ked
(Paru), 2017)
b. Ekokardiografi
i) Tidak dilakukan secara rutin pada pasien gagal napas,
hanya dilakukan pada pasien dengan dugaan gagal napas
akut karena penyakit jantung. (Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M.
Ked (Paru), 2017)
ii) Adanya dilatasi ventrikel kiri, pergerakan dinding dada
yang abnormal atau regurgitasi mitral berat menunjukkan
edema pulmoner kardiogenik (Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M.
Ked (Paru), 2017).
iii) Ukuran jantung yang normal, fungsi sistolik dan diastolik
yang normal pada pasien dengan edema pulmoner
menunjukkan sindromdistress pernapasan akut (Syarani,
Dr. dr. Fajrinur, M. Ked (Paru), 2017).
iv) Ekokardiografi menilai fungsi ventrikel kanan dan tekanan
arteri pulmoner dengan tepat untuk pasien dengan gagal
napas hiperkapnik kronik (Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M. Ked
(Paru), 2017).
c. Pulmonary Function Test (PFTs)
i) Nilai forced expiratory volume in one second (FEV1) dan
forced vital capacity (FVC) yang normal menunjukkan
adanya gangguan di pusat control pernapasan (Syarani, Dr.
dr. Fajrinur, M. Ked(Paru), 2017).
ii) Penurunan rasio FEV1 dan FVC menunjukkan obstruksi
jalan napas, penurunan nilai FEV1 dan FVC serta rasio
keduanya yang tetap menunjukkan penyakit paru restriktif
(Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M. Ked(Paru), 2017).
iii) Gagal napas karena obstruksi jalan napas tidak terjadi jika
nilai FEV1 lebih dari 1 L dan gagal napas karena penyakit

20
paru restriktif tidak terjadi bila nilai FVC lebih dari 1 L
(Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M. Ked(Paru), 2017).

K. Penatalaksanaan Medik
Pengobatan ARDS yang pertama-tama adalah pencegahan, karena ARDS
bukan penyakit primer, tetapi timbul setelah penyakit lain yang parah.
Apabila ARDS tetap timbul, maka pengobatannya adalah:
1. Diuretic untuk mengurangi beban cairan dan obat-obatan perangsang
jantung untuk meningkatkan kontraktilitas jantung dan volume
sekuncup agar penimbunan cairan di paru berkurang. Penatalaksanaan
cairan dan obat-obatan di gunakan untuk mengurangi kemungkinan
gagal jantung kanan.
2. Terapi oksigen dan ventilasi mekanis sering diberikan
3. Kadang-kadang digunakan obat-obatan anti-inflamasi untuk
mengurangi efek merusak dari proses peradangan, walaupun
efektivitasnya masih dipertanyakan.
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada pasien ARDS:
a. Terapi oksigen
b. Ventilator mekanik dengan tekanan jalan nafas positif kontinu (CPAP)
atau positive end expiratory Pressure (PEEP)
c. Inhalasi nebulizer
d. Fisioterapi dada
e. Pemantauan hemodinamik/jantung
f. Pengobatan bronkodilator streroid
g. Dukungan nutrisi sesuai kebutuhan

L. Konsep Asuhan Keperawatan


1. Pengkajian primer
a. Airway
Terlihat pasien kesulitan bernafas, mungkin terjadi crakles, ronchi
dan suara nafas bronchial
b. Breathing

21
Pernapasan cepat dan dangkal, peningkatan kerja naas,
pernggunaan otot bantu pernapasan, seperti retraksi intercostal atau
substernal, nasal flaring, meskipun kadar oksigen tinggi. Suara
nafas: biasanya normal, mungkin juga terjadi crakles, ronchi dan
suara nafas bronchial. Perkusi dada: dull diatas area konsodilasi,
penurunan dan tidak seimbangnya ekspansi dada. Peningkatan
fremitus.
c. Circulation
Tekanan darah bisa normal atau meningkat (hipoksemia), hipotensi
terjadi pada stadium lanjut (shock). HR: takikardi, bunyi jantung:
normal pada fase awal, S2 (komponen pulmonic) dapat terjadi.
Disritmia terjadi terapi ECG sering menunjukan normal. Kulit dan
membrane mukosa: pucat, dingin. Cyanosis bisa terjadi (stadium
lanjut).

Pengkajian sekunder
a. Blood
Kulit terlihat sianosis, hipotensi. Pemeriksaan hasil lab AGD:
hipoksemia (PO2 menurun), hiperkapnia (CO2 meningkat) pada
tahap awal karna hiperventilasi, hiperkapnia (PCO2 meningkat
menunjukan gagal ventilasi, alkalosis resiratoty (PH > 7,45) pada
tahap dini, asidosis respiratory/ metabolic terjadi pada tahap lanjut.
b. Brain
Terjadi penurunan kesadaran mental
c. Bowel
Hilang atau melemahnya bising usus, perubahan atau penurunan
berat badan
d. Bone
Terdapat sianosis pada kulit dan kuku

2. Diagnosa Keperawatan
a. Penurunan curah jantung b.d perubahan irama jantung

22
b. Gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
c. Perfusi perifer tidak efektif b.d penurunan aliran darah arteri/vena
d. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d hipersekesi jalann nafas
e. Pola nafas tidak efektif b.d hambatan upaya nafas
f. Risiko perfusi serebral tidak efektif d.d
g. Risiko perfusi miocard tidak efektif b.d hipoksemia
h. Risiko jatuh b.d usia >65 tahun, riwayat jatuh, penurunan tingkat
kesadaran.

3. Intervensi keperawatan
NO DK Tujuan dan Intervensi
kriteria hasil:
1 Penurunan curah Setelah dilakukan PERAWATAN
JANTUNG
jantung b.d tindakan
Observasi:
perubahan irama keperawatan 3 x
- Identifikasi tanda/gejala
jantung 24 jam, primer penurunan curah
diharapkan curah jantung (dyspnea,
jantung kelelahan, edema,

meningkat. KH: ortopnea, paroxysmal


nocturnal dyspnea,
1. kekuatan nadi
peningkatan CVP)
perifer - Monitor tekanan darah
meningkat - Monitor saturasi oksigen
2. Gambaran - Monitor keluhan nyeri

EKG aritmia dada


- Monitor EKG 12 sadapan
menurun
- Monitor nilai
3. Lelah laboratorium jantung
menurun
4. Dispnea
menurun Terapeutik:
- Posisikan pasien semi
5. Tekanan darah
fowler
membaik
- Berikan diet tinggi
jantung

23
- Berikan saturasi oksigen
untuk mempertahankan
saturasi oksigen >94%
Kolaborasi:
- Kolaborasi pemberian
antiaritmia

MANAJEMEN
ARITMIA
Observasi:
- Identifikasi jenis aritmia
- Monitor keluhan nyeri
dada
- Monitor saturasi oksigen
Terapeutik:
- Berikan lingkungan yang
tenang
- Pasang jalan nafas buatan
- Pasang akses intravena
- Pasang monitor jantung
Kolaborasi:
Kolaborasi pemberian
anti aritmia

2 Gangguan Setelah dilakukan PEMANTAUAN


pertukaran gas b.d tindakan RESPIRASI
ketidakseimbangan keperawatan 3 x Observasi:
ventilasi-perfusi 24 jam, - Monitor frekuensi,
diharapkan irama, kedalaman,
pertukaran gas dan upaya nafas
meningkat. KH: - Monitor pola nafas
1. Dispnea (bradipnea,
menurun takipnea,
2. Bunyi nafas hiperventilasi,
tambahan hussmaul, sheyne-
menurun strokes, biot,

24
3. Gelisah ataksik)
menurun - Monitor adanya
4. PO2 membaik produksi sputum
5. Pola nafas - Monitor adanya
membaik sumbatan jalann
nafas
- Auskultasi bunyi
nafas
- Monitor saturasi
oksigen
Terapeutik:
- Dokumentasi hasil
pemantauan
Edukasi:
- Jelaskan tujuan
prosedur
pemantauan

TERAPI OKSIGEN
Observasi:
- Monitor kecepatan
aliran oksigen
- Monitor aliran
oksigen seara
periodic dan
pastikan fraksi yang
diberikan cukup
- Terapeutik:
- Bersihkan secret
pada mulut hidung
dan trakea

25
- Pertahankan
kepatenan jalan
nafas
Edukasi:
- Ajarkan pasien dan
keluarga
menggunakan
oksigen dirumah
Kolaborasi:
- Kolaborasi
penentuan dosis
oksigen

PEMBERIAN OBAT
INHALASI
Observasi:
- Identifikasi
kemungkinan alergi,
interaksi dan
kontraindikasi
- Periksa tanggal
kadaluarsa obat
- Monitor efek
samping, toksisitas,
interaksi obat
Terapeutik:
- Lakukan prinsip 6
benar
- Posisikan
Edukasi:
- Anjurkan nafas
lambat dan dalam

26
selama penggunaan
nebulizer
- Anjurkan ekspirasi
lambat melalui
hidung/ dengan bibir
mengkerut

3 Perfusi perifer Setelah dilakukan PERAWATAN


tidak efektif b.d tindakan SIRKULASI
penurunan aliran keperawatan 4 x Observasi:
arteri dan/ atau 24 jam, - Periksa sirkulasi
vena diharapkan perifer (mis. nadi
perfusi perifer perifer, edema,
meningkat. KH: pengisian kapiler,
1. Denyut nadi warna, suhu)
perifer
meningkat - Identifikasi faktor
2. Pengisian resiko gangguan
kapiler sirkulasi (mis.
meningkat diabetes, perokok,
3. Akral hipertensi dan kadar
meningkat kolestrol tinggi)
Terapeutik:
- Hindari pemasangan
infus atau
pengambilan darah
di area keterbatasan
perfusi
- Hindari pengukuran
tekanan darah pada
ekstremitas dengan
keterbatasan perfusi

27
MANAJEMEN
ASAM-BASA
Observasi:
- Identifikasi
penyebab
ketidakseimbangan
asam-basa
- Monitor frekuensi
dan kedalaman nafas
- Monitor status
neurologis
- Monitor irama dan
frekuensi jantung
Terapeutik
- Ambil specimen
darah untuk
pemeriksaan AGD
Kolaborasi:
- Kolaborasi
pemberian ventilasi
mekanik

4 Bersihan jalan Setelah dilakukan MANAJEMEN


nafas tidak efektif tindakan JALAN NAPAS
b.d hipersekesi keperawatan 3 x Observasi:
jalann nafas 24 jam, - Monitor pola napas
diharapkan - Monitor bunyi nafas
bersihan jalan tambahan (ronkhi)
nafas meningkat. - Monitor sputum
KH: Terapeutik:
1. Batuk efektif - Pertahankan

28
meningkat kepatenan jalan
2. Produksi nafas
sputum - Posisikan semi
menurun fowler/fowler
3. Dispnea - Lakukan
menurun penghisapan lendir <
4. Gelisah 15 detik
menurun - Lakukan
5. Frekuensi nafas hiperoksigenasi
membaik sebelum
6. Pola nafas penghisapan
membaik - Ajarkan teknik batuk
efektif

PENGHISAPAN
JALAN NAPAS
Observasi:
- Identifikasi
kebutuhan dilakukan
penghisapan
- Auskultasi suara
nafas sebelum dan
sesudah di lakukan
tindakan
- Monitor satatus
oksigenasi (saturasi)
neurologis (mental)
dan status
hemodinamik (MAP
dan irama jantung)
- Monitor dan catat
warna, jumlah dan

29
konsistensi secret.
Terapeutik:
- Gunakan teknik
aseptic
- Gunakan teknik
penghisapan tertutup
- Berikan oksigen
dnegan konsentrasi
tinggi
- Penghisapan ETT
dengan tekanan
rendah (80-120
mmHg)
Edukasi:
- Anjurkan melakukan
teknik nafas dalam

PENYAPIHAN
VENTILASI
MEKANIK
Observasi:
- Periksa kemampuan
untuk di sapih
(hemodinamik stabil,
kondisi optimal,
bebas infeksi)
- Monitor tanda-tanda
kelelahan otot
pernapasan
(kenaikan PCO2
mendadak, nafas
cepat dan dangkal)

30
Terapeutik:
- Posisikan pasien
semi fowler (30-45
derajat)
- Lakukan
penghisapan jalan
nafas
- Lakukan uji coba
penyapihan (30-120
menit dengan nafas
spontan yang dibantu
ventilator)
Edukasi:
- Ajarkan cara
pengontrolan nafas
saat penyapihan
Kolaborasi:
- Kolaborasi
pemberian obat yang
meningkatan
kepatenan jalan
nafas

5 Pola nafas tidak Setelah dilakukan DUKUNGAN


efektif b.d tindakan VENTILASI
hambatan upaya keperawatan 4 x Observasi:
nafas 24 jam, - Identifikasi adanya
diharapkan pola kelelahan otot bantu
nafas membaik. napas
KH: - Monitor status
1. Tingkat respirasi dan
kesadaran oksigenasi (frekuensi

31
meningkat dan kedalaman
2. Dispnea nafas, penggunaan
menurun otot bantu nafas,
3. Bunyi nafas bunyi nafas
tambahan tambahan)
menurun - Pertahankan
4. gelisah kepatenan jalan
menurun nafas
5. Pola nafas - Berikan posisi semi
membaik fowler/fowler
6. PO2 membaik - Edukasi:
7. PCO2 - Ajarkan melalukan
membaik teknik relaksasi
napas dalam
6. Risiko perfusi Setelah dilakukan PEMANTAUAN
serebral tidak tindakan TTV
efektif b.d keperawatan 4 x Observasi:
24 jam, - Monitor tekanan
diharapkan darah
perfusi serebral - Monitor nadi
membaik. KH: (frekuensi, kekuatan,
1. Tingkat irama)
kesadaran - Monitor pernapasan
meningkat - Monitor TD
2. Gelisah Terapeutik:
menurun - Dokumentasi
3. Tekanan darah
membaik PERAWATAN
JANTUNG
Observasi:
- Identifikasi tanda/gejala
primer penurunan curah
jantung (dyspnea,

32
kelelahan, edema,
ortopnea, paroxysmal
nocturnal dyspnea,
peningkatan CVP)
- Monitor tekanan darah
- Monitor saturasi oksigen
- Monitor keluhan nyeri
dada
- Monitor EKG 12 sadapan
- Monitor nilai
laboratorium jantung
Terapeutik:
- Posisikan pasien semi
fowler
- Berikan diet tinggi
jantung
- Berikan saturasi oksigen
untuk mempertahankan
saturasi oksigen >94%
Kolaborasi:
- Kolaborasi pemberian
antiaritmia

PERAWATAN
SIRKULASI
- Periksa sirkulasi
perifer (mis. nadi
perifer, edema,
pengisian kapiler,
warna, suhu)

- Identifikasi faktor
resiko gangguan
sirkulasi (mis.
diabetes, perokok,
hipertensi dan kadar

33
kolestrol tinggi)
Terapeutik:
- Hindari pemasangan
infus atau
pengambilan darah
di area keterbatasan
perfusi
- Hindari pengukuran
tekanan darah pada
ekstremitas dengan
keterbatasan perfusi

7 Risiko perfusi Setelah dilakukan MANAJEMEN


miocard tidak tindakan ARITMIA
efektif b.d keperawatan 4 x Observasi:
hipoksemia 24 jam, - Identifikasi jenis aritmia
- Monitor keluhan nyeri
diharapkan
dada
perfusi miocard - Monitor saturasi oksigen
tidak efektif. KH: Terapeutik:
1. Gambaran - Berikan lingkungan yang

EKG aritmia tenang


- Pasang jalan nafas buatan
menurun
- Pasang akses intravena
2. Denyut nadi - Pasang monitor jantung
radial membaik Kolaborasi:
3. Takikardi Kolaborasi pemberian

membaik anti aritmia

MANAJEMEN
CAIRAN
Observasi:
- Monitor status
hidrasi
- Monitor status

34
hemodinamik
(MAP)
Terapeutik:
- Catat Intake-output
- Berikan asupan
cairan sesuai
kebutuhan
Kolaborasi:
Kolaborasi pemberian
diuretic
8 Risko jatuh b.d Setelah dilakukan PENCEGAHAN
usia >65 tahun, tindakan JATUH
riwayat jatuh, keperawatan 4 x Observasi:
penurunan tingkat 24 jam, - Identifikasi faktor
kesadaran. diharapkan risiko resiko jatuh
jatuh menurun. - Identifikasi faktor
KH: lingkungan yang
1. Tingkat meningkatkan resiko
kesadaran jatuh
meningkat - Hitung resiko jatuh
2. Kemampuan - Terapeutik:
mengikuti - Pastikan roda tempat
perintah tidur terkunci
meningkat - Pasang handrall
3. Gelisah tenpat tidur
menurun - Tempatkan pasien
4. Fokus berisiko tinggi jatuh
perhatian dengan denga
membaik pemantauan perawat
5. Pola tidur dari nurse station
membaik
MANAJEMEN

35
SEDASI
Observasi:
- Periksa alergi
terhadap sedasi
- Monitor tingkat
kesadaran
- Monitor tanda vital
pasien
- Monitor saturasi
oksigen
Terapeutik:
- Berikan informed
consent
- Berikan obat sesuai
protocol dan
prosedur
Edukasi:
- Berikan tujuan dan
prosedur sedasi
Kolaborasi:
- Kolaborasi jenis dan
metode sedasi

4. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah fase ketika perawat mengimplementasikan
intervensi keperawatan. Implementasi merupakan langkah keempat dari
proses keperawatan yang telah direncanakan oleh perawat untuk
dikerjakan dalam rangka membantu klien untuk mencegah, mengurangi,
dan menghilangkan dampak atau respons yang ditimbulkan oleh masalah
keperawatan dan kesehatan.

36
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah penilaian hasil dan proses. Penilaian hasil
menentukan seberapa jauh keberhasilan yang dicapai sebagai keluaran dari
tindakan. Penilaian proses menentukan apakah ada kekeliruan dari setiap
tahapan proses mulai dari pengkajian, diagnosa, perencanaan, tindakan dan
evaluasi. Evaluasi merupakan tahap akhir yang bertujuan untuk menilai
apakah tindakan keperawatan yang telah dilakukan tercapai atau tidak
untuk mengatasi suatu masalah, berdasarkan SOAP.

37
BAB III
TINJAUAN KASUS
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SANTO BORROMEUS FORM ICU REV I
Nama : Tn. ET
PENGKAJIAN KEPERAWATAN PADA
Tgl.Lahir : 05-05-1952 L/P
DEWASA No RM : 00-58-56-24
DI RUANG INTENSIF Ruangan : ICU RS Borromeus

DATA AWAL

Tanggal Masuk : 28 November 2021 Jam Masuk : 22.26

Tanggal Pengkajian : 6 Desember 2021 Jam Pengkajian : 13.00

Sumber Data ( ) Pasien, ( ) Keluarga ()Lainnya Rekam Medis

IDENTITAS PASIEN

Agama : ( ) Hindu, () Islam, ( ) Protestan, ( ) Katolik, ( ) Budha, ( ) Kong Hu Cu ( )


Lainnya

Pendidikan : ( ) Belum Sekolah, ( ) PAUD, ( ) TK, ( ) SD, ( ) SMP, ( ) SMA, () Perguruan Tingii

Kewarganegaraan : () WNI, ( ) WNA :

RIWAYAT KESEHATAN

Alasan Masuk Rumah Sakit:

Pasien terjatuh saat ke ciamis naik motor pada 28 november 2021

Diagnosa medis saat ini: Ensefalopati metabolik, Respiratory failure, Suspek pneumonia, PPOK exaserbasi akut, CHF,
Hipertensi

Keluhan Utama: Sesak nafas

Riwayat Keluhan/Penyakit Saat ini:

Pasien sesak nafas berkepanjangan akibat respiratory failure, sesak berkurang setelah diberikan alat bantu ventilator,
sesak dirasakan sejak ssbelum masuk rumah sakit.

Alasan Masuk Ruang Intensive

Pasien mengalami sesak napas pada tanggal 29 november, pasien mengalami penurunan kesadaran dan memerlukan alat
bantu ventilator untuk bernapas akibat terganggunya proses ventilasi dan difusi.

Riwayat penyakit terdahulu:

38
Riwayat MRS sebelumnya ? ( )Tidak, () Ya. Lamanya :…........hr, alasan : kecelakaan lalu lintas
Riwayat dioperasi ? ()Tidak, ( ) Ya. Jenisnya
:..........................................................................................................................................................
Riwayat Kelainan Bawaan : () tidak ( ) ada :...........................................
Riwayat Alergi : () tidak ( ) ya jenis alergi :...........................................

( )Obat, jelaskan :.....................................................

( )Makanan, jelaskan :.....................................................

( )lain- lain, jelaskan :.....................................................

PROSEDUR INVANSIF

( )Infus intra vena, di pasang di: Vena metacarpal

( ) Central line (CVP), di pasang di: Tidak terpasang

() Dower chateter, di pasang di: uretra

()Selang NGT, di pasang di: hidung kiri

() Tracheostomy, di pasang di: Tidak terpasang

() ETT/ventilator di pasang di: Trakea melalui mulut

( ) Lain-lain : Tidak ada

KONTROL RESIKO INFEKSI

Status : () tidak diketahui, ( ) Suspect, ( ) diketahui : ( )MRSA, ( )TB, ( )Infeksi


Opportunistik/tropik,

Additional precaution yang dilakukan: () Droplet, ( )Airborn, ( ) Contact, ( ) Skin, ( ) Contact Multi-Resistent Organisme

Pneumonia : () tidak diketahui ( ) diketahui: ( ) CAP, ( ) HAP, ( ) VAP

DATA BIOLOGIS

Kesadaran : ( ) Compos mentis, ( ) Apatis, () Somnolen, ( ) Soporocoma, ( ) Coma

Antopometri : BB = 70 Kg, TB = tidak terkaji, Lingkar kepala = tidak terkaji , Lingkar lengan atas = Tidak terkaji,
Lingkar perut = Tidak terkaji

Tanda-tanda vital :

Suhu : 37.10C , Pernafasan: 29 x/menit, Nadi : 83 x/menit, Tekanan Darah :134/101 mmHg MAP : 112 mmHg

Keadaan umum pasien tampak sakit berat, kesadaran somnolen, GCS 9, terpasang infus ditangan kanan, terpasang ETT
pada mulut, terpasang monitor dan ventilator dengan Mode:. Spontan, P control: 15n cmH20, PEEP: 5 cmH20, Oksigen:
50%, Pressure Support 10 cmH20, terpasang NGT di hidung kiri, terpasang kateter urin, dan terpasang restrain di
ekstermitas atas dan bawah.

39
PENGKAJIAN PRIMER

AIRWAYS

 Assesment :
 Bebas  Tersumbat

Trachea di tengah:  Ya  Tidak

Lain-lain:

Ada sumbatan sputum pada jalan nafas

 Masalah Keperawatan:
Bersihan jalan nafas tidak efektif

 Resusitasi :
Dilakukan suction (Pukul 14.00)

 Re-evaluasi :
Sputum putih, kental, dan banyak.

SpO2 97% (Pukul 14. 10)

BREATHING

 Assesment :
Dada simetris : Ya  Tidak Sesak nafas : Ya  Tidak

Respirasi : 29 x/mnt Krepitasi :  Ya  Tidak

Suara nafas :

Kanan :  Ada :  Jelas  Menurun  Ronchi Kiri :  Ada :  Jelas  Menurun Ronchi
 Wheezing,  Tidak Ada  Wheezing,  Tidak Ada

Saturasi O2 : 96 %

Pada:  Suhu ruangan  Nasal canule (.......l/m)  NRFM (.......l/m)  NFM (.......l/m)

 Simple Mask (.......l/m)  Jackson Rise  Lain-lain


ETT

Lain-lain

Respirasi pada saat pasien gelisah interval 30 x/menit

 Masalah Keperawatan:
Pola nafas tidak efektif

 Resusitasi :
Posisi semi fowler dan menangkan klien agar tidak gelisah (Pukul 13.30)

 Re-evaluasi :
RR 24 x/menit, saturasi oksigen 97% (pukul 13.50)

40
CIRCULATION

 Assesment :

Tensi : 134/101 mmHg Nadi : 83 x/mnt


MAP : 112 mmHg  Kuat  Lemah  Regular  Irregular

Gambaran kulit :  Normal  Kering


 Lembab/basah

 Masalah Keperawatan:
Perfusi perifer tidak efektif

 Resusitasi :
Memposisikan klien semi fowler dan melakukan pemantauan cairan (14.00)

 Re-evaluasi :
TD 125/90 mmHg, MAP 101 mmHg.

DISABILITY

 Assesment :
 Alert  Pain response

 Verbal response  Unresponsive

REAKSI PUPIL

Kanan Ukuran (mm) Kiri Ukuran (mm)

Cepat  3  3

Konstriksi  

Lambat  .........  .........

Dilatasi  .........  .........

Tak bereaksi  .........  .........

Masalah Keperawatan:

Risiko perfusi serebral tidak efektif d.d enselopati

 Resusitasi :
Pemberian obat brainact 250 mg, pemberian obat sedasi dan posisi semi fowler (pukul 12.25)
 Re-evaluasi :
Klien tampak tenang, gelisah menurun (13.00)

41
EXPOSURE

 Assesment :

Deformitas : ( ) Ya () Tidak ( ) Lokasi: ........................

Contusio : ( ) Ya () Tidak ( ) Lokasi: ........................

Abrasi : ( ) Ya () Tidak ( ) Lokasi: ........................

Laserasi : ( ) Ya () Tidak ( ) Lokasi: ........................

Edema : ( ) Ya () Tidak ( ) Lokasi: ........................

 Masalah Keperawatan: Tidak ada masalah keperawatan


 Resusitasi : Tidak ada resusitasi
 Re-evaluasi : Tidak ada re-evaluasi

PENGKAJIAN SEKUNDER

Sistem Respirasi

Anamnesa : Tidak terkaji karena penurunan kesadaran

Jalan Nafas : ( ) Paten () Tidak Paten

Obstruksi : ( ) Lidah () Cairan ( ) Benda Asing ( ) Tidak Ada

Suara Nafas : ( ) Snoring ( ) Gurgling ( ) Stridor ( ) Tidak ada

Nafas : () Spontan ( ) Tidak Spontan

Pola Nafas : () Teratur ()Tidak Teratur

Jenis : () Dispnoe ( ) Kusmaul ( ) Cyene Stoke ( ) Lain:..............................

Suara Nafas : ( ) Vesikuler ( ) Stidor ( ) Wheezing () Ronchi

Sesak Nafas : () Ada () Tidak Ada

Cuping hidung : ( ) Ada () Tidak Ada

Retraksi otot bantu nafas : ( ) Ada () Tidak Ada

Batuk : ( ) Ya () Tidak ada

Sputum : () Ya , Warna: putih Konsistensi: kental Volume: 15 cc Bau: ( ) Ya () Tidak

42
Alat bantu nafas: () ETT ( ) Trakeostomi

() Ventilator : Mode:. Spontan, P control: 15n cmH20, PEEP: 5 cmH20, Oksigen: 50%, Pressure Support 10 cmH20

Oksigenasi : _____ lt/mnt ( )Nasal kanul ( )Simpel mask ( )Non RBT mask ( )RBT Mask ( )Head box ()Tidak
ada

Keluhan lain : tidak ada

Masalah Keperawatan : Gangguan pertukaran gas

Sistem Kardiologi

Anamnesa : Tidak dapat di kaji karena penurunan kesadaran

Pucat : ( ) Ya () Tidak

Sianosis : ( ) Ya () Tidak

CRT : () < 2 detik ( ) > 2 detik

Akral : () Hangat () Dingin

Pendarahan : ( ) Ya, Lokasi:................................. Jumlah:..........................cc () Tidak

Turgor : () Elastis ( ) Lambat

Diaphoresis : ( ) Ya () Tidak

Riwayat Kehilangan cairan berlebihan: ( ) Diare ( ) Muntah ( ) Luka bakar

Suara jantung: () Normal ( ) Tidak normal

COR:

Inspeksi:
Ictus cordis tidak terlihat, clubbing of the finger tidak ada, cyanosis tidak ada, epistaksis tidak ada
Palpasi:
Ictus cordis tidak terkaji, capillary refill time <2 detik. Thrill tidak ada, edema tidak ada
Perkusi:
Terdengar: sonor
Batas-batas jantung:
Atas: ICS 2 Dextra Kiri: ICS 2 Sinistra
Bawah: ICS 4 Dextra Kanan: ICS 4 Midklavikula
Auskultasi:
Bunyi jantung I terdengar Lup di apeks HR 83 x/menit
Bunyi jantung II terdengar Dup di apeks
Bunyi jantung tambahan: murmur tidak ada, irama gallop tidak ada

Keluhan lain: Tekanan darah 134/101 mmHg

43
Masalah Keperawatan: Penurunan curah jantung

Sistem Neurologi

Anamnesa : Tidak terkaji karena penurunan kesadaran

Kesadaran : ( ) Composmentis ( ) Delirium () Somnolen ( ) Apatis ( ) Koma

GCS : (3) Eye (2) Verbal (4) Motorik

Pupil : () Isokor ( ) Unisokor ( ) Pinpoint ( ) Medriasis

RefleksCahaya : () Ada ( ) Tidak Ada

Refleks fisiologis : (+) Patela (+/-) () Lain-lain : Tidak ada

Refleks patologis : (-) Babinzky (+/-) (-) Kernig (+/-) ( ) Lain-lain.............

Bicara : ( ) Lancar ( ) Cepat ( ) Lambat Ansietas  : ( ) Ada () Tidak ada

Keluhan lain: Tidak terkaji

Masalah Keperawatan: Risiko perfusi serebral tidak efektif

Sistem Urinary

Anamnesa : Tidak dapat dikaji

Nyeri pinggang : ( ) Ada () Tidak dapat dikaji

Nyeri BAK : ( ) Ada ()Tidak ada

Inspeksi:
Distensi regio hipogastrika tidak ada
BAK : () Lancar ( ) Inkontinensia ( ) Anuri ( ) oliguri

Frekuensi BAK : Warna: kuning Darah : ( ) Ada () Tidak ada

Kateter : () Ada ( ) Tidak ada, Urine output: 120 cc

Total Balance : Intake - Output= (infus masuk 450cc + nutrisi 200cc + minum 30 cc) – (Urine 120 cc) = 680 cc-120 cc
(Tidak balance)

Palpasi:
Nyeri tekan regio hipogastrika tidak terkaji karena pasien disedasi
Perkusi:
Regio hipogastrika terdengar normal

44
Nyeri ketuk daerah costovertebral angle kanan tidak ada, dan kiri tidak ada

Keluhan lain: Tidak terkaji

Masalah Keperawatan : Hipervolemia

Sistem Pencernaan

Anamnesa : Tidak dapat dikaji

Nafsu makan : () Baik ( ) Menurun ( ) Lain-lain: .............

Keluhan : ( ) Mual ( ) Muntah ( ) Sulit menelan

Makan : Frekuensi sering dengan Jumlah : 200 cc

Minum : Frekuensi sering, Jumlah : 50 cc Perut kembung : ( ) Ya () Tidak

BAB : () Teratur ( ) Tidak

Frekuensi BAB : 1x1 Konsistensi: lembek Warna: kuning kecokelatan darah ( ) lendir ( )

Mulut: bibir kering, stomatitis tidak ada, lidah merah, gingivitis tidak ada, gusi berdarah tidak ada, tonsil tidak terkaji
Gigi: caries tidak ada, gigi tanggal tidak ada
Terpasang/tidak terpasang NGT hari ke-10
Abdomen: bentuk abdomen datar, bayangan/gambaran bendungan pembuluh darah vena tidak ada, spider naevi tidak
ada,
distensi abdomen tidak ada.
Anus : hemorrhoid tidak ada, fissura tidak ada, fistula tidak ada, tanda – tanda keganasan tidak ada.
Auskultasi:
Bising usus 6 x/menit, lemah/kuat
Palpasi:
Hepar tidak teraba, nyeri tekan tidak terkaji Limpa tidak teraba, nyeri tekan tidak terkaji
Nyeri tekan di regio/kuadran tidak ada Nyeri lepas di regio/kuadran tidak ada
Perkusi:
Terdengar timpani

Keluhan lain : Tidak lengkap

Masalah Keperawatan : tidak ada masalah keperawatan

Sistem Endokrin

Anamnesa : tidak dapat dikaji

Inspeksi:
Bentuk tubuh: normal
Pembesaran kelenjar tiroid tidak ada

45
Pembesaran pada ujung-ujung ekstremitas atas atau bawah tidak ada, Lesi tidak ada
Palpasi:
Kelenjar tiroid tidak teraba

Keluhan lain : Tidak ada

Masalah Keperawatan : tidak ada masalah keperawatan

Sistem Imun dan Hematologi

Anamnesa : Tidak dapat dikaji

Inspeksi: pembesaran kelenjar getah bening/limfe tidak ada


Lesi: tidak ada Rumple leed test: tidak ada
Palpasi: pembesaran kelenjar getah bening/limfe tidak teraba
Keluhan lain : Tidak ada

Masalah Keperawatan : tidak ada masalah keperawatan

Sistem Persepsi Sensori

Anamnesa : Tidak dapat dikaji

Inspeksi:
Penglihatan: conjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik, palpebra ada, pupil isokor, reaksi cahaya cepat, diameter 3
mm,
Pendengaran: pinna simetris , canalis auditorius eksterna normal, Refleks cahaya politzer ada, membran timpani normal,
battle sign tidak ditemukan, pengeluaran cairan dari telinga tidak ada, lesi tidak ada
Palpasi:
Penglihatan: TIO tidak tinggi Pendengaran: pinna berfungsi
Keluhan lain: Tidak ada

Masalah Keperawatan : Tidak ada maslah keperawatan

Sistem Reproduksi

Anamnesa : Tidak dapat dikaji

Inspeksi:
Mammae simetris
Genetalia eksterna: normal, lesi tidak ditemukan, pengeluaran cairan/discharge (warna, bau, banyak/jumlah) tidak ada
Edema pada genetalia eksterna tidak ada
Hipospaida tidak ada edema scrotum tidak ada, massa tidak ada, lesi tidak ada.
Palpasi:

46
Mammae: massa/benjolan tidak ada, lesi tidak ada
Gynaecomastia tidak ada
Keluhan lain : Tidak ada keluhan

Masalah Keperawatan : tidak ada masalah keperawatan

Sistem integumen

Anamnesa : Tidak terkaji

Inspeksi:
Rambut: warna hitam, distribusi merata, tidak rontok
Kuku: normal, tidak ada clubbing finger
Kulit: normal, warna sawo matang
Lesi (lokasi, ukuran, tanda-tanda peradangan) tidak ada
Ptekie tidak ada, ekimosis tidak ada
Palpasi:
Tekstur kulit kasar, Kelembaban normal,
Turgor kulit elastis, Nyeri tekan tidak terkaji karena pasien di sedasi

Keluhan lain : tidak ada keluhan

Masalah Keperawatan: tidak ada maslah keperawatan

Sistem Muskuloskeletal

Anamnesa : Tidak dapat dikaji

Deformitas : ( ) Ya () Tidak ( ) Lokasi: ..............

Contusio : ( ) Ya () Tidak ( ) Lokasi: ..............

Abrasi : ( ) Ya () Tidak ( ) Lokasi: ..............

Laserasi : ( ) Ya () Tidak ( ) Lokasi: ..............

Edema : ( ) Ya () Tidak ( ) Lokasi:...............

Dekubitus : ( ) Ya () Tidak ( ) Lokasi: ...............

Luka Bakar : ( ) Ya () Tidak ( ) Lokasi: ..............

Grade: ............... persentase: ...............

Tanda Kompartmen/DVT: () tidak ada () diketahui:


() bengkak ( ) nadi bagian distal tidak teraba

47
Drop Foot : ( ) ada ()tidak ada

Keluhan lain : Tidak ada

Masalah Keperawatan: Tidak ada maslah keperawatan

DATA PSIKOLOGIS

Anamnesa : Tidak dapat dikaji

Masalah Perkawinan : () Tidak ada ( ) Ada: Cerai/istri/suami baru/simpanan/ lain-lain..........

Mengalami kekerasaan Fisik : () Tidak Ada ( ) Ada Mencederai diri/orang lain ( ) Pernah ( ) Tidak Pernah

Trauma dalam kehidupan : () Tidak Ada ( ) Ada, Jelaskan............................................................................

Gangguan tidur : () Tidak Ada ( ) Ada

Konsultasi dengan psikologis/psikiater : () Tidak Ada ( ) Ada

Assesment :Tidak terkaji karena kesadaran pasien somnolen

Keluhan lain : Tidak ada

Masalah Keperawatan : tidak ada masalah keperawatan

DATA SOSIAL, EKONOMI DAN SPIRITUAL

Status Pernikahan  Single  Menikah Bercerai

Anak  Tidak Ada  Ada, Jumlah…

Pekerjaan  PNS  Swasta TNI/Polri  Wiraswasta  Tidak Bekerja

Pembiayaan Kesehatan  Mandiri  Asuransi  Perusahaan ……………………….

Tinggal bersama  Suami/Istri  Anak  Orang Tua  Sendiri ………………..

Anak Kandung : () Ya ( ) Tidak

Tinggal bersama : ( ) Orangtua ( ) Kakek/Nenek () Lain-lain, jelaskan : keluarga

Pekerjaan Orang Tua : ( ) Pegawai Swasta ( ) PNS ( ) TNI/POLRI () Wiraswasta ( ) Petani ( ) Tidak bekerja

Pembiayaan Kesehatan : () Biaya sendiri ( ) Asuransi ( ) Perusahaan ( ) Lain-lain, jelaskan :_______________________

Kegiatan beribadah : ( ) Selalu ( ) Kadang ( ) Tidak pernah Perlu Rohanian : ( ) Tidak ( ) Ya,
jelaskan____________________________

Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan

PENGKAJIAN SKALA NYERI

48
CPOT SCALE

Indikator Kondisi Skor Keterangan

Ekspresi wajah Rilek 0 Tidak ada ketegangan otot

Kaku 1 Mengerutkan kening, mengangkat alis, orbit menegang


(misalnya membuka mata atau menangis selama
prosefur nosiseptif)

Meringis 2 Semua gerakan wajah sebelumnya ditambah kelopak


mata tertutup rapat (Pasien dapat mengalami mulut
terbuka, mengigit selang ETT)

Gerakan tubuh Tidak ada gerakan 0 Tidak bergerak (tidak kesakitan) atau posisi normal
abnormal (tidak ada gerakan lokalisasi nyeri)

Lokalisasi nyeri 1 Gerakan hati-hati, menyentuh lokasi nyeri, mencari


perhatian melalui gerakan

Gelisah 2 Mencabut ETT, mencoba untuk duduk, tidak mengikuti


perintah, mencoba keluar dari tempat tidur

Aktivasi alarm ventilator Pasien kooperatif terhadap 0 Alarm tidak berbunyi


mekanik (Pasien diintubasi) kerja ventilator mekanik

Alarm aktif tapi mati 1 Batuk, alarm berbunyi tetapi berhenti secara spontan
sendiri

Alarm selalu aktif 2 Alarm sering berbunyi

Berbicara jika pasien Berbicara dalam nada 0 Bicara dengan nada pelan
diekstubasi normal atau tidak ada suara

Mendesah, mengeran 1 Mendesah, mengerang

Menangis 2 Menangis, berteriak

Ketegangan otot Tidak ada ketegangan otot 0 Tidak ada ketegangan otot

Tegang, kaku 1 Gerakan otot pasif

Sangat tegang atau kaku 2 Gerakan sangat kuat

Skor 0 : tidak nyeri

Skor 1-2 : nyeri ringan


Total 6
Skor 3-4 : nyeri sedang Skor 5-6 : nyeri berat

Skor 7-8 : nyeri sangat berat

Lokasi Nyeri : Tidak dapat di kaji

Frekuensi Nyeri: ( ) Jarang ( ) Hilang timbul ( ) Terus-menerus

Lama Nyeri : Tidak dapat dikaji

Menjalar : ( ) Tidak ( ) Ya, ke

Kualitas Nyeri : ( ) Tumpul ( ) Tajam ( ) Panas/Terbakar

( ) Lain-lain : Tidak dapat dikaji

49
Faktor pemicu/yang memperberat: Tidak dapat dikaji

Faktor yang mengurangi/menghilangkan nyeri: Tdak dapat di kaji

Keluhan lain : Tidak ada

Masalah Keperawatan : Nyeri akut

MANAJEMEN SEDASI

Richmond Agitation Sedation Scale

Skor -3 Ada Gerakan (Tidak ada kontak mata) terhadap suara Penggunaan Sedasi :

Skor -2 Bangun singkat (<10 detik) dengan kontak mata terhadap rangsangan () Ya / ( ) Tidak
suara

Skor -1 Pasien belum sadar penuh, tetapi masih dapat bangun (>10 detik), dengan
kontak mata/mata terbuka bila ada rangsangan suara Target Skor RASS: 0 sampai – 3

Skor 0 Tenang dan waspada (tidak agitasi)

Skor 1 Cemas atau khawatir tetapi gerakan tidak agresif Skor RASS Pasien:

0
Skor 2 Pasien sering melakukan gerakan yang tidak terarah atau pasien dan
ventilator tidak sinkron

Skor 3 Pasien menarik selang endotrakheal atau mencoba mencabut kateter dan
perilaku agresif terhadap perawat

Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan

PENGKAJIAN PREASSURE ULCER (BRADEN SCALE)

1 2 3 4 Skor

Persepsi Keterbatasan Penuh Sangat terbatas Keterbatasan ringan Tidak ada 4


Sensori keterbatasan

Kelembaban Lembab terus menerus Sangat lembab Kadang-kadang Tidak ada lembab 4
lembab

Aktivitas Ditempat tidur Diatas kursi Kadang-kadang Sering berjalan 1


berjalan

Mobilisasi Tidak Dapat bergerak Pergerakan sangat Keterbatasan ringan Tidak ada 3
terbatas keterbatasan

Status Nutrisi Sangat Buruk Tidak adekuat Adekuat Baik sekali 4

Friksi/ Bermasalah Potensi bermasalah Tidaka ada masalah 3


Gesekan

Total Skor 19

Kesimpulan Tingkat risiko,

< 10= risiko sangat tinggi, 10 – 12= risiko tinggi, 13 – 14= risiko sedang, 15-18= berisiko, > 19= risiko rendah/ tidak berisiko

50
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan

SKRINING NUTRISI (NUTRITION RISK SCORE)

No Variabel Skor Pengertian Keterangan skor :

1 Nafsu makan 0 Nafsu makan baik 0-3: Tidak berisiko


malnutrisi
2 Intake berkurang, sisa makanan lebih dari ½ porsi
4-5: Berisiko sedang
3 Tidak ada nafsu makan lebih dari 24 jam
> 6: Menunjukkan
2 Kemampuan 0 Tidak ada kesulitan makan, tidak diare/ muntah risiko
untuk makan
1 Ada masalah makan, sering muntah, diare ringan tinggi

2 Butuh bantuan untuk makan, muntah sedang atau diare > 2x


sehari Catatan :

3 Tidak dapat makan secara oral, disfagia, muntah berat atau Semua pasien anak
diare > 2x sehari dikatakan berisiko
malnutrisi, oleh
3 Factor stress 0 Tidak ada sebab itu semua
pasien anak dirawat
1 Pembedahan ringan atau infeksi oleh Tim Terapi Gizi
RS untuk dilakukan
2 Penyakit kron, bedah mayor, inflammatory bowel disease pengkajian dan
atau penyakit gastrointestinal monitoring lebih
lanjut (PNC/
3 Patah tulang, luka bakar, sepsis berat, penyakit malignancy Pediatric Nutrition
Care)
4 Persentil berat 0 BB/TB sesuai standar
badan
1 90-99% BB/TB

2 80-89% BB/TB

3 < 79% BB/TB

TERAPI OBAT

Nama obat : Lasix


Golongan : Loop diuretik
Dosis untuk pasien : 1 x 1 ampul
Indikasi untuk pasien : Edema akibat gangguan jantung, hati,dan ginjal, serta hipertensi.
Kontra indikasi obat : Hipersensitif terhadap Furosemide dan Sulfonamide. Anuria atau gagal ginjal. Memiliki
penyakit Addison. Mengalami Hipovolema atau dehidrasi. Keadaan prekomatosa yang
berhubungan dengan sirosis hati.
Efek samping obat : Pemakaian obat umumnya memiliki efek samping tertentu dan sesuai dengan masing-masing
individu. Jika terjadi efek samping yang berlebih dan berbahaya, harap konsultasikan kepada
tenaga medis. Efek samping yang mungkin terjadi dalam penggunaan obat adalah: Haus,
hiperurisemia, hipokalemia, hiponatremia, sakit kepala, mengantuk, kram otot, hipotensi,
mulut kering, haus, lemah, lesu, gelisah, oliguria, gangguan gangguan saluran cerna,
hipovolemia, dehidrasi, hiperurisemia, pustulosis eksantematosa umum akut, ruam obat
dengan eosinofilia dan sistemik gejala, sindrom Stevens-Johnson, nekrolisis epidermal toksik;
peningkatan kadar enzim hati, kolesterol dan trigliserida serum. Berpotensi fatal: aritmia
jatung yang serius.
Farmakokinetik :
Absorbsi: Bioavailabilitas furosemide pada saluran cerna 50%, dengan rentang 10-100%.
Onset diuresis terjadi sekitar 5 menit apabila diberikan secara intravena, 30 menit apabila
diberikan secara intramuskular, dan 30-60 menit apabila diberikan per oral. Pada edema paru,

51
perbaikan gejala dapat terlihat pada 15-20 menit.
Efek puncak furosemide yang diberikan per oral terjadi setelah 1-2 jam. Durasi kerja
furosemide adalah 2 jam apabila diberikan intravena, dan 6-8 jam pada pemberian per oral.

Distribusi: Furosemide berikatan dengan protein 99% (albumin). Kemudian menuju tubulus
proksimal dan disekresikan melalui organic transporter lalu bekerja pada kotransporter
Na+/K+/Cl- .
Pada pasien neonatus, distribusi 1,5-6 kali lebih besar dibandingkan pasien dewasa.

Metabolisme: Metabolisme di hepar minimal, kurang lebih 10%. Metabolit berupa glucuronide
(2-amino-4-chloro-5-sulfamoylanthranilic acid)

Eliminasi: Furosemide diekskresikan di urin dalam 24 jam, 50% dalam bentuk furosemide dan
sisanya diubah menjadi glucoronide. Sebagian kecil juga diekskresikan di feses.
Waktu paruh furosemide bervariasi, pada pasien tanpa gangguan ginjal, jantung, atau hati
sekitar 1,5-2 jam. Pada penderita gangguan ginjal 2,8 jam, penyakit hati 2,5 jam, dan pasien
gagal jantung 2,7 jam. Pada neonatus, waktu paruh 6-20 kali lebih lama dibandingkan pasien
dewasa.

Nama obat : Pelastin


Golongan : Anti infeksi
Dosis untuk pasien : 4 x 1 gr
Indikasi untuk pasien : Pelastin digunakan untuk mengobati berbagai infeksi, seperti: infeksi tulang dan sendi,
infeksi intra-abdomen (bagian perut), polimikroba (mikroorganisme melekat satu sama lain
atau pada dinding saluran akar yang membentuk interaksi), infeksi saluran pernapasan
bawah, infeksi kulit, infeksi saluran kemih, septikemia bakteri (keracunan darah akibat
bakteri dalam jumlah besar masuk ke dalam aliran darah).
Kontra indikasi obat : Hindari penggunaan Pelastin pada pasien yang memiliki riwayat hipersensitif terhadap
cilastatin dan imipenem.
Efek samping obat : Beberapa gejala yang tidak nyaman mungkin dirasakan oleh pengguna Pelastin injeksi, antara
lain: nyeri lokal di area injeksi, tromboflebitis (peradangan pada pembuluh darah vena),
Eritema (kemerahan pada kulit), gangguan saluran pencernaan juga ruam dan gatal.

Nama obat : Brainact


Golongan : Suplemen
Dosis untuk pasien : 2 x 250 mg
Indikasi untuk pasien : Mempercepat rehabilitasi ekstremitas atas/tangan pada pasien Hemiplegia paska Apoplexi,
Paralisis ringan pada ekstremitas bawah/kaki yang terjadi dalam waktu 1 tahun dan
mendapatkan terapi oral standard, mengatasi penurunan fungsi kognitif pada usia lanjut_________
Kontra indikasi obat : Hipersensitivitas
Efek samping obat : Sakit perut, mual, kemerahan pada kulit, pusing

Nama obat : Medixon


Golongan : Anti inflamasi
Dosis untuk pasien : 2 x 62,5 mg
Indikasi untuk pasien : Obat ini diindikasikan untuk keadaan alergi dan mengurangi peradangan atau supresi
inflamasi.
Kontra indikasi obat : Infeksi jamur sistemik kecuali terapi antiinfeksi spesifik digunakan;
Admin IM pada purpura trombositopenik idiopatik. Admin intratekal. Pemberian vaksin hidup
atau hidup yang dilemahkan secara bersamaan (pada pasien yang menerima dosis
imunosupresif).
Efek samping obat : Efek samping yang mungkin terjadi dalam penggunaan obat adalah: Penekanan adrenal,
reaksi anafilaktoid, imunosupresi, miopati akut, sarkoma Kaposi, gangguan kejiwaan

52
(misalnya depresi, euforia, insomnia, perubahan suasana hati, perubahan kepribadian),
peningkatan kerentanan dan keparahan infeksi, gangguan penyembuhan, HTN, Na dan retensi
cairan, kolaps CV (dosis tinggi), tukak lambung, katarak subkapsular, atrofi kulit, jerawat,
kelemahan otot, retardasi pertumbuhan, penurunan K darah; depresi kulit dermal/subdermal
pada tempat inj. Topikal: Gatal, eritema terbakar, vesikulasi; jarang, folikulitis, hipertrikosis,
dermatitis perioral, perubahan warna kulit, reaksi alergi pada kulit.
Farmakokinetik :
Absorpsi
diabsorpsi dengan cepat, dalam onset 1-2 jam sudah mencapai puncak, dan bertahan selama 30-36 jam.Pemberian secara
intramuskular mencapai puncak dalam 4-8 hari dan bertahan selama 1-4 minggu. Pemberian intraartikular mencapai
puncak dalam 1 minggu dan bertahan selama 1-5 minggu.
Distribusi
Volume distribusi medixon adalah 0,7-1,5 L/kg. Medixon dapat melewati sawar plasenta.
Metabolisme
Medixon dimetabolisme secara ekstensif di liver menjadi glukuronida inaktif dan metabolit sulfat.
Eliminasi
Metabolit inaktif dan sebagian kecil obat dalam bentuk tidak diubah diekskresikan melalui ginjal. Sebagian kecil
diekskresikan dalam feses. Waktu paruh medixon 3-3,5 jam.

Nama obat : Combivent


Golongan : Bronkodilator
Dosis untuk pasien : 2,5 ml
Indikasi untuk pasien : Untuk mengendalikan reversibel bronkospasma yang disebabkan oleh penyakit jantung
maupun asma akut Kontra indikasi obat : Hipersensitif terhadap salbutamol atau obat agonis
adrenoreseptor beta-2 lainnya.
Efek samping obat : Pemakaian obat umumnya memiliki efek samping tertentu dan sesuai dengan masing-masing
individu. Jika terjadi efek samping yang berlebih dan berbahaya, harap konsultasikan kepada
tenaga medis. Efek samping yang mungkin terjadi dalam penggunaan obat adalah: Sakit
kepala, iritasi tenggorokan, batuk, mulut kering, mual, muntah, diare.
Farmakokinetik :
Absorbsi
Sebagian besar dosis ipratropium bromide yang dihirup akan tertelan, dan sebanyak 30% dari dosis oral yang dikonsumsi
akan terserap. Obat ini dapat masuk ke dalam peredaran darah melalui jalur pembuluh darah dalam saluran napas di paru
atau melalui saluran gastrointestinal.
Onset kerja ipratropium bromide dicapai dalam 15 menit. Sebagaimana obat beta2-agonis, obat ini akan mencapai efek
klinis maksimum pada 1,5 hingga 2 jam setelah pemberian dan memberikan efek klinis selama 4 hingga 6 jam setelah
pemberian.
Efek bronkodilator maksimum dicapai pada dosis 20 ke 40 atau 80 mikrogram. Pemberian lebih dari dosis tersebut tidak
menunjukkan peningkatan respon klinis.
Distribusi
Ikatan ipratropium bromide dengan protein sebesar 0-9%. Volume distribusi obat ini sebesar 338 L. Ipratropium bromide
memiliki kemampuan yang kecil sekali dalam berikatan dengan albumin plasma atau α1-acid glycoprotein. Studi
autoradiografi pada tikus menunjukan ipratropium bromide tidak dapat menembus sawar darah otak (blood-brain
barrier).
Metabolisme
Ipratropium bromide akan dimetabolisme menjadi 8 metabolit di hati. Metabolit yang dihasilkan memiliki sedikit hingga
sama sekali tidak memberikan efek antikolinergik pada percobaan in vitro. Secara parsial obat ini akan dimetabolisme
menjadi produk-produk hidrolisis ester yang inaktif, asam tropik dan tropan.
Eliminasi
Waktu paruh ipratropium dicapai pada 3,2 hingga 3,8 jam setelah pemberian pada semua rute. Eliminasi ipratropium
bromide terutama melalui urine dan feses.

Nama obat : Propopol


Golongan : Anestesi

53
Dosis untuk pasien : 2,5 cc
Indikasi untuk pasien : induksi dan pemeliharaan anestesi umum; sedasi penderita yang diberi napas buatan
(ventilated) dan mendapat perawatan intensif, digunakan hingga 3 hari
Kontra indikasi obat : tidak boleh digunakan untuk sedasi pada ventilated children dan remaja berusia di bawah 17
tahun (berisiko menyebabkan efek serius meliputi asidosis metabolik, gagal jantung,
rhabdomiolisis, hiperlipidemia dan hepatomegali)
Efek samping obat : Apnea selama induksi
Farmakokinetik :Farmakokinetik propofol memiliki beberapa tahapan proses mekanisme dalam tubuh, mulai
dari masuk kedalam tubuh secara intravena, kemudian bekerja melalui sistem saraf pusat.
Parameter farmakokinetik dari propofol bervariasi dari tiap pasien, bergantung pada berat
badan, jenis kelamin, dan umur.
Absorbsi
Propofol diabsorpsi secara cepat selama 15-30 detik, diikuti dengan distribusi cepat dari plasma ke sistem saraf pusat.
Durasi propofol bekerja yaitu 5-10 menit.
Distribusi
Propofol bersifat lipofilik, sehingga terakumulasi di dalam jaringan dan terdistribusi kembali ke dalam plasma apabila obat
dihentikan. Propofol berikatan dengan protein albumin dan hemoglobin antara 97-99%.
Metabolisme
Propofol dimetabolisme melalui hepar, diubah kedalam bentuk sulfat larut air dan berkonjugasi dengan glukoronida
(50%), hasil hidroksilasi propofol yaitu hidroksi propofol memiliki efek hipnosis 1/3 dari propofol.
Eliminasi
Propofol diekskresikan dalam urine (88% sebagai metabolit, 40% berikatan dengan glukoronida, dan <2% dalam feses.
Half-life eliminasi dimulai setelah 40 menit, hingga 4-7 jam. Setelah 10 hari pemberian pada pasien ICU, eliminasi dapat
terjadi 1-3 hari

Nama obat : Midazolam


Golongan : Psikotoprika
Dosis untuk pasien : 2,5 mg
Indikasi untuk pasien : Premedikasi, induksi anestesi dan penunjang anestesi umum; sedasi untuk tindakan
diagnostik & anestesi lokal.
Kontra indikasi obat : Hindari penggunaan pada pasien dengan kondisi: napas berat atau depresi pernapasan akut,
glaukoma sudut sempit akut, miastenia gravis, sindrom apnea tidur; gangguan hati berat.
Penggunaan bersamaan dengan inhibitor CYP3A4 poten.
Efek samping obat : Efek samping penggunaan Midazolam yang mungkin terjadi adalah Depresi SSP, Hipotensi,
Reaksi paradoks (misalnya perilaku hiperaktif atau agresif), Penurunan volume tidal, Batuk,
Kantuk, Sakit kepala, Mual, muntah; rasa sakit dan reaksi lokal di tempat injeksi, cegukan._______
Farmakokinetik :

Absorbsi

Sediaan tablet: Cepat diabsorbsi setelah pemberian oral di usus halus. Oral bioavailabilitas adalah 40–45% pada dewasa
dan 36% pada anak-anak. Bioavailabilitas injeksi intramuskular melebihi 90%.

Pemberian secara rektal diabsorbsi secara cepat dan plasma konsentrasi dicapai dalam waktu 30 menit. Bioavailabilitas
midazolam rektal adalah 50 % (range 40–65%)

Pemberian intranasal, secara cepat di absorbsi. Mean peak plasma concentration dicapai dalam waktu 10,2–12,5 menit
dengan bioavailabilitas 55 dan 57%.

Distribusi

Volume distribusi midazolam adalah 0,6–1,9 L/kg. Midazolam berikatan dengan plasma protein hingga 97%, terutama
albumin.

Volume distribusi (Vd) ditentukan oleh enam dosis tunggal pemberian dosis dengan jarak 1–3.1 L/kg. Pada wanita, usia
tua, dan penderita obesitas berhubungan dengan peningkatan nilai volume distribusi midazolam itu sendiri. Pada manusia,
midazolam ditemukan dalam plasenta dan masuk ke dalam sirkulasi fetus, selain itu ditemukan juga pada ASI dan cairan

54
serebrospinal.

Metabolisme

Midazolam di metabolisme di liver melalui jalur hidroksilasi melalui CYP3A4 dan CYP3A5. Hasil dari metabolisme adalah
alfa-hydroxy midazolam (60%) dan 4-hydroxy midazolam (5%), dimana keduanya tersedia dalam bentuk aktif.

Eksresi

Midazolam memiliki paruh waktu eliminasi 1,5–3,5 jam. Midazolam di ekskresi melalui urin dalam produk glucuronide
conjugate. Jumlah hasil ekskresi tidak berubah dalam urin setelah pemberian IV dosis tunggal. Midazolam diekskresikan
melalui urin dalam bentuk konjugasi 1-hydroxymethyl midazolam.

Nama obat : Cendesartan


Golongan : angiotensin receptor blockers (ARB)
Dosis untuk pasien : 1x1
Indikasi untuk pasien : menangani hipertensi pada orang dewasa dan anak berusia ≥1 tahun, serta untuk menangani
gagal jantung pada orang dewasa. Dosis candesartan yang digunakan akan bervariasi
tergantung indikasi pengobatan, usia pasien, dan respons tekanan darah terhadap terapi.________
Kontra indikasi obat : riwayat hipersensitivitas terhadap candesartan, pasien hamil/menyusui, anak berusia kurang
dari 1 tahun, dan pasien diabetes mellitus yang juga menerima aliskiren.
Efek samping obat : sakit kepala, mual, muntah, kelelahan, nyeri otot

Farmakokinetik : Konsentrasi puncak candesartan dalam plasma tercapai sekitar 3–4 jam setelah konsumsi
peroral dan waktu paruh plasma terhitung sekitar 9 jam pada individu yang sehat. Pada
individu dengan hipertensi, waktu paruh dilaporkan lebih lama.

Absorbsi

Candesartan cilexetil adalah prodrug dari candesartan. Setelah konsumsi, candesartan cilexetil diubah menjadi bentuk
aktif candesartan dengan bioavailabilitas absolut sekitar 15–40%. Konsentrasi serum puncak rata-rata tercapai 3–4 jam
setelah konsumsi tablet. Konsentrasi serum candesartan meningkat secara linear dengan peningkatan dosis dalam kisaran
dosis terapeutik.

Saat dikonsumsi dengan makanan, konsentrasi puncak meningkat sebesar 26% dan laju penyerapan juga meningkat. Akan
tetapi, perubahan ini tidak menyebabkan efek klinis yang signifikan.

Distribusi

Volume distribusi candesartan adalah 0,13 L/kg. Candesartan sangat terikat pada protein plasma (>99%) dan tidak
menembus sel darah merah. Pada percobaan di tikus, candesartan dilaporkan tidak dapat menembus sawar darah otak
dengan baik, tetapi dapat menembus sawar plasenta dan mencapai fetus.

Metabolisme

Sebagian besar obat diubah menjadi candesartan aktif melalui proses hidrolisis ester saat absorbsi di saluran cerna.
Sebagian kecil obat akan dimetabolisme di hepar (<20%) untuk membentuk metabolit inaktif melalui proses O-
deethylation.

Eliminasi

Sekitar 26% dosis oral akan dieliminasi tanpa perubahan di dalam urine. Candesartan terutama diekskresi melalui urine
(33%) dan melalui feses via sistem bilier (67%). Klirens plasma candesartan dipengaruhi oleh insufisiensi ginjal tetapi
tidak dipengaruhi oleh insufisiensi hati ringan sampai sedang.

55
Nama obat : Prospan
Golongan : Mukolitik
Dosis untuk pasien : 7,5 cc
Indikasi untuk pasien :Meredakan batuk dan mukolitik
Kontra indikasi obat :hipersensitivitas
Efek samping obat : efek laksatif

Nama obat : Amlodiphine


Golongan : calcium-channel blockers (CCBs) atau antagonis kalsium.
Dosis untuk pasien : 1 x 1, 5 mg
Indikasi untuk pasien : Hipertensi dan profilaksis angina
Kontra indikasi obat : syok kardiogenik, angina tidak stabil, stenosis aorta yang signifikan, menyusui
Efek samping obat : nyeri abdomen, mual, palpitasi, wajah memerah, edema, gangguan tidur, sakit kepala, pusing,
letih

Farmakokinetik : Aspek farmakokinetik amlodipine mencakup aspek absorbsi, distribusi, metabolisme, dan
ekskresi obat.

Absorpsi

Amlodipine cepat diserap menyusul konsumsi oral dengan bioavailabilitas hingga mencapai 64%. Konsentrasi amlodipine
dalam plasma mencapai puncaknya 6-12 jam setelah dikonsumsi setelah melalui metabolisme di hati.

Kadar plasma semakin meningkat dengan penggunaan amlodipine jangka panjang sehubungan dengan masa paruh
eliminasi yang panjang (35-48 jam) dan efek saturasi metabolisme hepatik. Kadar plasma ini akan stabil setelah
pemberian amlodipine secara rutin selama 7-8 hari.

Distribusi

Mengingat volume distribusinya yang besar (21,4±4,4 L/kg), amlodipine terdistribusi masif ke kompartemen jaringan. 93-
98% amlodipine dalam plasma terikat dengan protein.

Metabolisme

Amlodipine dimetabolisme di hati menjadi bentuk metabolit inaktifnya. Metabolit amlodipine tidak memiliki aktivitas
antagonis kalsium dan hanya sedikit bentuk obat asli yang diekskresikan melalui urin.

Eskresi

Sebagian besar metabolit amlodipine (62% dosis yang dikonsumsi) diekskresikan melalui urin dan sisanya melalui feses.
Terkait besarnya proporsi metabolit yang diekskresikan melalui urin, pada pasien usia lanjut, bersihan amlodipine dapat
mengalami penurunan sehingga diperlukan penyesuaian dosis.

Nama obat : Cravit


Golongan : antibiotik golongan fluorokuinolon
Dosis untuk pasien : 750 mg
Indikasi untuk pasien : untuk mengobati infeksi bakteri, seperti infeksi saluran kemih, pneumonia, sinusitis, infeksi
kulit, jaringan lunak, dan infeksi prostat.
Kontra indikasi obat : Hipersensitif terhadap levofloxacin dan obat antibiotik jenis quinolone lain, penderita
epilepsi, riwayat gangguan jaringan ikat pada otot (tendon), ibu hamil,menyusui, anak-anak
dan remaja.
Efek samping obat : Gangguan sistem pencernaan seperti mual, muntah, dan diare, perut kembung, gangguan
tidur dan Insomnia, Sakit perut, kelelahan, sakit kepala, keputihan, Konstipasi, Edema, ruam

Farmakokinetik : Farmakokinetik levofloxacin diserap cepat setelah administrasi melalui rute oral dan

56
didistribusikan secara luas.

Absorbsi

Levofloxacin diserap secara cepat setelah administrasi oral. Peak plasma concentration biasanya 1 sampai 2 jam setelah
dosis per oral. Bioavailabilitas tablet 500 mg dan 750 mg mencapai hingga 99%, menggambarkan penyerapan dosis per
oral secara total.

Apabila diberikan melalui intravena, mean ± SD peak plasma concentration pada dosis 500 mg pemberian selama 60 menit
mencapai 6.2 ± 1.0 mg/mL, dan pada dosis 750 mg pemberian selama 90 menit mencapai 11.5 ± 4.0 mg/mL.

Dosis levofloxacin berbentuk linear dan bisa diprediksi setelah pemberian regimen per oral atau intravena. Kondisi stabil
levofloxacin dalam tubuh dicapai dalam waktu 2 jam pada regimen 500 mg maupun 750 mg pemberian tunggal. Rata-rata
peak plasma concentration pada pemakaian 1 kali sehari secara multipel adalah 5.7 ± 1.4 mg/mL dan 0.5 ± 0.2 mg/mL
pada sediaan 500 mg, serta 8.6 ± 1.9 mg/mL dan 1.1 ± 0.4 mg/mL pada sediaan 750 mg. Sedangkan rata-rata peak plasma
concentration pada pemberian intravena 500 mg adalah 6.4 ± 0.8 mg/mL dan 0.6 ± 0.2 mg/mL, dan pada pemberian 750
mg intravena adalah 12.1 ± 4.1 mg/mL dan 1.3 ± 0.71 mg/mL.

Konsentrasi plasma setelah pemberian oral maupun intravena jika dibandingkan absorpsinya adalah sama. Maka rute per
oral dan per intravena dapat disesuaikan dengan keadaan pasien. Namun administrasi per oral levofloxacin yang dibarengi
dengan makanan memiliki peak plasma concentration lebih lama 1 jam, serta konsentrasinya berkurang sebanyak 14%.
Maka tablet levofloxacin lebih baik dikonsumsi 1 jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan.

Distribusi

Rata-rata volume distribusi levofloxacin berkisar dari 74 sampai 112 L setelah administrasi tunggal dan multipel, sediaan
500 mg atau 750 mg. Hal ini menggambarkan bahwa distribusi levofloxacin ke jaringan tubuh bersifat luas.

Levofloxacin bisa mencapai jaringan kulit dan lepuh kulit dalam waktu 3 jam setelah administrasi. Penetrasi levofloxacin
ke jaringan paru-paru dapat dikatakan sangat bagus yaitu 2-5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan jaringan lainnya,
dengan rata-rata 2.4 ± 11.3 mg/mL dalam 24 jam. Levofloxacin menempel pada serum protein 24%-38% terutama serum
albumin pada manusia.

Metabolisme

Levofloxacin secara konsisten dan stabil dimetabolisme sebagai D-ofloxacin. Levofloxacin dimetabolisme dan
diekskresikan di urin dalam keadaan yang sama. Pada administrasi oral, 87% ditemukan di urin dalam waktu 48 jam, dan
ditemukan di feses <4% dalam waktu 72 jam.

Ekskresi

Levofloxacin diekresikan di urine dalam keadaan yang tidak diubah. Rata-rata waktu paruh 6-8 jam setelah pemberian
levofloxacin 500 mg atau 750 mg secara oral atau intravena. Rata-rata kecepatan waktu pembersihan levofloxacin dalam
tubuh manusia adalah 144-226 mL/min, sedangkan pembersihan pada renal berkisar antara 96-142 mL/min. Tidak ada
kristal levofloxacin yang ditemukan di dalam sampe urin.

Nama obat : Omeprazole


Golongan : pompa proton atau proton pump inhibitors (PPIs)
Dosis untuk pasien : 40 mg
Indikasi untuk pasien : untuk mengatasi gangguan lambung, seperti penyakit asam lambung dan tukak lambung.________
Kontra indikasi obat : Kontraindikasi omeprazole jika terjadi reaksi alergi terhadap obat. Peringatan untuk tidak
menggunakan omeprazole dalam jangka panjang dan observasi terhadap efek samping obat,
khususnya pada pengguna obat yang memiliki penyakit jantung, hepar, osteoporosis,
osteopenia, atau hipomagnesemia
Efek samping obat : kebanyakan orang yang mengonsumsi omeprazole tidak mengalami efek samping apa pun.
Bila efek samping terjadi, biasanya hanya bersifat ringan dan akan hilang saat kamu
menghentikan konsumsi obat tersebut

57
Farmakokinetik :

Absorpsi

Absorpsi omeprazole terjadi di usus halus, sekitar 3─6 jam. Onset kerja obat, yaitu efek antisekresi setelah satu jam
konsumsi per oral. Efek tersebut berlangsung selama 73 jam. Konsentrasi puncak dalam plasma darah adalah 0,5─3,5 jam.

Distribusi

Ikatan protein obat sebesar 90─95%. Volume distribusi: 0,39 L/kgBB. Bioavailabilitas obat per oral adalah 30─40%,
setelah pengulangan dosis menjadi 60%.

Waktu paruh omeprazole sekitar 0,5─1 jam. Namun, waktu paruh ini akan meningkat hingga 3 jam, apabila seseorang
mengidap gangguan fungsi hati. Waktu paruh juga akan menyimpang dari 1 jam hingga 5 jam karena formulasi obat,
dan/atau efek dari makanan. Karena waktu paruh yang pendek, dan tidak semua pompa enzim dapat diaktifkan, maka
perlu waktu sekitar 3 hari untuk mencapai kadar yang stabil dalam darah untuk menghambat sekresi asam lambung

Metabolisme

Metabolisme omeprazole terutama dilakukan oleh enzim hati CYP2C19. Metabolit yang dihasilkan oleh biotransformasi
obat di hepar adalah:

Hydroxyomeprazole

Asam karboksilat

Omeprazole sulfone

Omeprazole sulfide, adalah bentuk metabolit yang tidak aktif

Efektivitas metabolisme obat bergantung pada fenotip tiap individu. Fenotip orang dengan metabolisme omeprazole
buruk bervariasi, tertinggi pada orang Asia, 13-23%.

Eliminasi

Clearance total dalam tubuh adalah 500─600 mL/menit. Omeprazole akan diekskresikan 77% melalui urin dan 16-19%
melalui feses

Nama obat : Tomit


Golongan : Antiemetik
Dosis untuk pasien : 10 mg
Indikasi untuk pasien : Reflux Esofagitis, pencegahan Mual dan Muntah paska operasi dan Kemoterapi emetogenik._____
Kontra indikasi obat : Feokromositoma, perdarahan gastrointestinal (saluran cerna), obstruksi dan perforasi.
Sindroma parkinson tipe ekstrapiramidal, epilepsi.
Efek samping obat : Reaksi ekstrapiramidal, pusing, lesu, mengantuk, sakit kepala, depresi, cepat lelah, gangguan
gastrointestinal (saluran cerna),hipertensi

LAIN-LAIN

Diit : Cair

Acara Infus : Asering 500 cc

Mobilisasi: : bedrest
PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium:

Tanggal: 06-12-21 Jam: 07.00

58
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal
Glukosa urin - <30
Bilirubin - <0.5
Keton - <10
pH 5,5 4.6-8.0
Nitrit - -
Blood 250 ery/uL <10
Leukosit esterase 26 Ieu/uL <25
Protein - <10
Albumin urin 30.0 mg/L <30
Kreatinin 100 mg/dL 39-259
Albumin Creatinin 300 mg/gcr <30
Sel epitel 6.1 /uL <58
leukosit 47.7 <5.3
eritrosit 1660.6 <9.1
Ureum darah 59 mg/dL 19-55
Kreatinin darah 0.8 mg/dL <1.2
Magnesium 3.10 mg/dL 1.8-2.4

EKG:

Sinus takikardi

59
Radiologi:

Hasil foto torax

-Bronchopneumonia kanan sqa. Pneumonia sublobar kiri bawah, dibandingkan foto tanggal 29 bulan 11.

-Elongasio dan klasifikasi aorta, sqa

-Spondyosis thrakalis. sqa

-Posisi dan kedudukan ETT baik, tip distal terpasang setinggi v thorakal 3, jarak kurang lebih 5,3 cm dari carina.

Nama dan Tanda Tangan Perawat Pengkaji

(Agnes, Nuria.Ruth)

60
PENGELOMPOKAN DATA DAN ANALISA DATA

1. Pengelompokan Data

Data Subjektif Data Objektif


Tidak terkaji karena pasien penurunan - Pemantauan hemodinamik: HR 83 x/menit,
kesadaran TD 134/101 mmHg interval, RR 29 x/menit,
suhu 36,1 ⁰C, SPO2 96%
-MAP 112 mmHg
- Kesadaran somnolen, GCS 9
- Penumpukan secret di jalan nafas
- batuk tidak efektif
- Riwayat jatuh
- Skala nyeri 6 (nyeri berat) CPOT
- GDPP pagi 104 mg/dl
- Gambaran EKG sinus takikardi
- Suara nafas tambahan ronkhi
- Hasil laboratorium (Leukosit esterase 26
Ieu/uL, Albumin creatinin 300 mg/gcr,
Leukosit 47,7, ureum darah 59 mg/dl,
magnesium 3.10 mg/dl)
- Terpasang ETT (Mode: Spontan, P control:
15n cmH20, PEEP: 5 cmH20, Oksigen: 50%,
Pressure Support 10 cmH20)
- Terpasang NGT hari ke-10
- Terpasang kateter urine
- Klien dalam pengaruh obat
- Klien gelisah
- Denyut nadi radialis lemah
- Akral dingin
-Hasil radiologi
-Balance cairan positive
-Oliguria
-Nadi lemah

2. Analisa Data

N Data Etiologi Masalah


O
1 DS: Volume darah menurun pada Penurunan curah
Tidak dapat dikaji ventrikel kanan jantung

Pompa jantung menurun

DO: Disfungsi otot jantung


-Hasil EKG sinus takikardi
-tekanan darah 134/101 Cardiomegali
mmHg
-Oliguria CHF kanan

Cardiac output menurun

61
Kontraktilitas miokard
menurun

Suplai darah menurun

Penurunan curah jantung


2 DS: Kontaktilitas jantung menurun Perfusi perifer tidak
Tidak dapat dikaji efektif
Suplai darah ke jaringan
menurun
DO:
-Nadi lemah Suplai O2 ke jaringan menurun
-Akral teraba dingin

Perfusi perifer tidak efektif

3 DS: CO menurun Hipovolemia


Tidak dapat dikaji
Perfusi ke ginjal menurun

Pelepasan enzim renin


DO: menurun
-Oliguria
-Intake lebih banyak dari Katalis produksi angiotensin
output (balance cairan vasopressor kuat
positive)
Vasokontriksi lanjut sekresi
aldosteron

Retensi cairan dan garam di


ginjal

Urin output menurun

hipervolemia
4 DS: Edema pulmo Bersihan jalan nafas
Tidak dapat dikaji tidak efektif
Produksi mukus meningkat
DO:
-Batuk tidak efektif Hipersekresi mukus
-Sputum berlebih
-Suara nafas ronkhi
Bersihan jalan napas tidak
-Gelisah
efektif
-RR 29 x/mnt
5 DS: Edema pulmo Gangguan pertukaran
Tidak dapat dikaji gas
Sel surfaktan menurun
DO:
-Takikardia (hasil EKG) Penurunan complain paru
-Bunyi nafas tambahan
ronkhi
Actelectasis
-Gelisah

62
-RR 29 x/mnt
-Kesadaran menurun Kolaps paru

Ventilasi dan perfusi tidak


seimbang

Gangguan difusi

Gangguan pertukaran gas


6 DS: Anaerob Pola nafas tidak efektif
Tidak dapat dikaji
Gangguan asam basa
DO:
-RR 29x/mnt Asidosis
-Penumpukan sputum
-Tekanan ekspirasi menurun
PCO2 meningkat
-Tekanan inspirasi menurun

Membuang CO2 di paru

Merangsang medulla oblongata

Saraf vagus

Hiperventilasi

RR meningkat

Pola napas tidak efektif


7 DS: Anaerob Nyeri akut
Tidak dapat dikaji
Asam laktat meningkat
DO:
-klien tampak meringis Merangsang saraf nosiseptor
(mengangkat dahi)
-Gelisah
nyeri
-Sulit tidur
-TD 134/101 mmHg
-RR 29x/mnt

8 DO: Volume darah menurun pada Risiko perfusi miocard


Tidak dapat dikaji ventrikel kanan tidak efektif

DS: Pompa jantung menurun


-riwayat hipertensi
-Hipoksia Disfungsi otot jantung
-MAP 112 mmHg
Cardiomegali

CHF kanan

Cardiac output menurun

63
Kontraktilitas miokard
menurun

Suplai darah menurun

Penurunan curah jantung

Resiko perfusi miokard tidak


efektif
9 DO: Edema serebral Risiko perfusi serebral
Tidak dapat di kaji tidak efektif
Peningkatan TIK

DS:
Aliran darah ke otak menurun
- Diagnosa medis enselopati
-Somnolen GCS 9
Vasokontriksi cerebral

Perfusi cerebral menurun

Penurunan kesadaran

Resiko perfusi serebral tidak


efektif
10 DO: Gangguan neurotransmiter Risiko jatuh
Tidak dapat dikaji
Defisiensi asam gama
aminobutitrat
DS:
-somnolen GCS 9
Kelainan polarisasi
-Gelisah
- Klien dalam pengaruh obat
Gerakan tidak terkoordinisasi

Resiko jatuh

DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Penurunan curah jantung b.d perubahan pre load
2. Perfusi perifer tidak efektif b.d penurunan aliran arteri dana tau vena
3. Hipervolemia b.d gangguan mekanisme regulasi
4. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d hipersekresi jalan napas
5. Gangguan pertukaran gas b.d ketdakseimbangan ventilasi – perfusi
6. Pola nafas tidak efektif b.d hambatan upaya napas
7. Nyeri akut b.d agen pencendera fisiologis
8. Risiko perfusi miocard tidak efektif d.d hipoksia
9. Risiko perfusi serebral tidak efektif d.d enselopati
10. Risiko jatuh d.d usia >65 tahun dan riwayat jatuh

INTERVENSI KEPERAWATAN

64
No
SDKI SLKI SIKI Rasional
Dk
1 Penurunan curah Setelah PERAWATAN
jantung b.d dilakukan JANTUNG
preload tindakan
keperawatan 3 Observasi:
DS: x 24 jam - Identifikasi - Untuk mengetahui
Tidak dapat dikaji diharapkan tanda/gejala primer tanda penurunan
curah jantung penurunan curah curah jantung
meningkat. jantung (dyspnea,
KH: kelelahan, edema,
DO: 1. Takikardia ortopnea,
-Hasil EKG sinus menurun (5) paroxysmal
takikardi 2. Tekanan nocturnal dyspnea,
-tekanan darah darah peningkatan CVP) - untuk mengetahui
134/101 mmHg membaik (5) - Monitor tekanan adanya
-Oliguria 3. Oliguria darah vasokontriksi
menurun (5) pembuluh darah
- Untuk mengetahui
kadar 02 dalam
- Monitor saturasi tubuh
oksigen
- Untuk mengetahui
adanya hambatan
pada pembuluh
- Monitor keluhan darah pada
nyeri dada jantunng
- Untuk mengetahui
aktivitas jantung

- Monitor EKG 12 - Untuk


sadapan meningkatkan
sirkulasi
- Untuk menjaga
Terapeutik: kesehatan jantung
- Posisikan pasien - Agar suplai
semi fowler oksigen tercukupi

- Berikan diet tinggi


jantung - untuk menangani
- Berikan saturasi kondisi aritmia
oksigen untuk
mempertahankan
saturasi oksigen
>94%
Kolaborasi:
- Kolaborasi - Mengetahui jenis
pemberian aritmia
antiaritmia

MANAJEMEN - Untuk mengetahui


ARITMIA adanya gangguan
Observasi: pada pembuluh
- Identifikasi jenis darah jantung
aritmia - Untuk mengetahui
kadar O2 dalam
tubuh
- Monitor keluhan - Untuk menjaga
nyeri dada 65
klien agar tenang
- Untuk memenuhi
sulai O2
- Untuk mengetahui
- Monitor saturasi
IMPLEMENTASI KEPERAWATAN

66
Tgl Jam No. Dk Implementasi Nama & Ttd

06/12/21 11.15 I, II, III, Mengobservasi keadaan umum Nuria


IV, V, klien
VI, VII, R: Tidak dapat terkaji
VIII, IX, H: Keadaan umum tampak sakit
X berat, kesadaran somnolen, GCS
9, terpasang infus di tangan
kanan, terpasang ETT pada
mulut, terpasang monitor,
terpasang ventilator dengan
mode: spontan, P control: 15n
cmH20, PEEP: 5 cmH20, oksigen:
50%, pressure support 10
cmH20, terpasang NGT di idung
kiri, terpasang kateter urin dan
terpasang restrain di
ekstremitas atas dan bawah.

11.30 I, II, IV, Mengobservasi hemodinamik Ruth


V, VI, R: tidak dapat terkaji
VII, VIII H: TD interval 134/101 mmHg,
suhu 37,4 ᵒC, RR interval 29
x/menit, HR interval 92 x/mnt,
SPO2 95%, MAP 112 mmHg.

III, VIII Mengukur intake output Ruth


R: tidak dapat dikaji
H: sisa infus 200 cc, urine 50 cc

12.00 I, II, III, Melakukan pengkajian primer Agnes


IV, V, dan sekunder
VI, VII, R: Tidak terkaji
VIII, IX, H: Airway (Terdapat sumbatan
X sputum), Breathing (RR 29
x/mnt, suara nafas ronkhi,
saturasi 96%), Circulation (TD
134/101 mmHg, nadi lemah,
Disability (verbal response),
Exposure (tidak ada masalah)
67
12.15 I, II, III, Memberi makan dan minum via Nuria
IV, V, NGT
VI, VII, R: Tidak dapat dikaji
EVALUASI KEPERAWATAN

Tgl No. Dk SOAP Nama & Ttd


06/12/21 I S: Tidak dapat dikaji kelompok
O: Hasi EKG sinus takikardi, TD interval
130/ 90 mmHg, urine sedikit 120 cc/4
jam
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan

II S: Tidak dapat dikaji Kelompok


O: Denyut nadi lemah, akral dingin
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan

III S: Tidak dapat dikaji Kelompok


O: Intake lebih besar dari output
Intake 680 cc, output 120 cc (balance
cairan positive)
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan

IV S: Tidak dapat terkaji Kelompok


O: Batuk tidak efektif, sputum berlebih,
suara nafas ronkhi, Gelisah, RR 29
x/mnt
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan

V S: Tidak dapat terkaji Kelompok


O: Bunyi nafas tambahan ronkhi,
gelisah, pola nafas belum membaik RR
36 x/mnt, kesadaran somnolen.
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi di lanjutkan

VI S: Tidak dapat di kaji Kelompok


O: frekuensi nafas dan pola nafas belum

68
membaik RR 29 x/mnt, terdapat
sputum pada airway
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan

VII S: Tidak dapat di kaji Kelompok


O: Klien tampak mengangkat dahi,
meringis, gelisah, TD interval 130/90
mmHg
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan

VIII S: Tidak dapat dikaji Kelompok


O: MAP 131 mmHg, TD interval 130/90
mmHg, takikardia
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan

IX S: Tidak dapat dikaji Kelompok


O: kesadaran somnolen, GCS 9, klien
tampak gelisah
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan

X S: Tidak dapat terkaji Kelompok


O: Kesadaran somolen, klien tampak
gelisah.
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan

07/12/21 I S: Tidak dapat dikaji Kelompok


O: Hasil EKG takikardi, TD interval
140/100 mmHg, urine 1500 cc/4 jam
setelah diberikan diuretik
A: Masalah teratasi sebagian
P: Intervensi dilanjutkan

69
II S: Tidak dapat dikaji Kelompok
O: Denyut nadi lemah, akral dingin
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan

III S: Tidak dapat dikaji Kelompok


O: Intake 700 cc, output 1500 cc
(balance cairan negative)
A: Masalah teratasi sebagian
P: Intervensi dilanjutkan

IV S: Tidak dapat terkaji Kelompok


O: Batuk tidak efektif, sputum berlebih,
suara nafas ronkhi, klien tampak
gelisah, RR 27 x/mnt
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan

V S: Tidak dapat terkaji Kelompok


O: Bunyi nafas tambahan ronkhi,
gelisah, pola nafas belum membaik RR
27 x/mnt, kesadaran somnolen.
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi di lanjutkan

VI S: Tidak dapat di kaji Kelompok


O: frekuensi nafas dan pola nafas belum
membaik RR 27 x/mnt, terdapat
sputum pada airway
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan

VII S: Tidak dapat di kaji Kelompok


O: Klien tampak mengangkat dahi,
meringis, klien tampak gelisah, TD
interval 140/100 mmHg
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan

VIII S: Tidak dapat dikaji Kelompok


O: MAP 114 mmHg, TD interval 140/100

70
mmHg, takikardia
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan

IX S: Tidak dapat dikaji Kelompok


O: kesadaran somnolen, GCS 9, klien
tampak gelisah
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan

X S: Tidak dapat terkaji Kelompok


O: Kesadaran somolen, klien tampak
tenang saat diberikan sedasi, namun
beberapa saat kemudian muali gelisah
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan

08/12/21 I S: Tidak dapat dikaji Kelompok


O: Hasil EKG takikardi, TD interval
112/80 mmHg, urine 1300 cc/4 jam
setelah diberikan diuretik
A: Masalah teratasi sebagian
P: Intervensi dilanjutkan

II S: Tidak dapat dikaji


O: Denyut nadi lemah, akral hangat
A: Masalah teratasi sebagian
P: Intervensi dilanjutkan

III S: Tidak dapat dikaji Kelompok


O: Intake 700 cc, output 1500 cc
(balance cairan negative)
A: Masalah teratasi sebagian
P: Intervensi dilanjutkan

IV S: Tidak dapat terkaji Kelompok


O: dilakukan penyapihan ventilator, RR
25 x/mnt, klien tampak gelisah SPO2
96%
A: Masalah teratasi sebagian

71
P: Intervensi dilanjutkan

V S: Tidak dapat terkaji Kelompok


O: Bunyi nafas tambahan ronkhi,
gelisah, pola nafas belum membaik RR
25 x/mnt, kesadaran somnolen.
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi di lanjutkan

VI S: Tidak dapat di kaji Kelompok


O: frekuensi nafas dan pola nafas belum
membaik RR 25 x/mnt, produksi
sputum berkurang
A: Masalah teratasi sebagian
P: Intervensi dilanjutkan

VII S: Tidak dapat di kaji Kelompok


O: meringis berkurang, klien tampak
gelisah, TD interval 112/80 mmHg
A: Masalah teratasi sebagian
P: Intervensi dilanjutkan

VIII S: Tidak dapat dikaji Kelompok


O: MAP 90 mmHg, TD interval 112/80
mmHg,
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan

IX S: Tidak dapat dikaji Kelompok


O: kesadaran somnolen, GCS 9, klien
tampak gelisah
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan

X S: Tidak dapat terkaji Kelompok


O: Kesadaran somolen, klien tampak
tenang saat diberikan sedasi, namun
beberapa saat kemudian muali gelisah
A: Masalah belum teratasi

72
P: Intervensi dilanjutkan

73
BAB IV
PEMBAHASAN

Pada kasus yang dikelola oleh kelompok kami, diketahui bahwa Tn. E
berusia 69 tahun, dengan diagnose medis respiratotry failure. Seperti yang kita
ketahui respiratory failure kondisi ketidakmampuan sistem pernapasan melakukan
satu atau dua fungsi pertukaran gas yaitu oksigenasi dan eliminsi karbondioksida,
sehingga terdapat gangguan pada proses ventilasi dan difusi. Gagal nafas akan
mempengaruhi banyak gangguan pada sistem tubuh. Maka dari itu pasien
mengalami penurunan kesadaran, memerlukan alat bantu ventilator untuk
bernapas dan monitor jantung akibat terganggunya proses ventilasi dan difusi
tersebut.
Sesuai data yang kami dapatkan terdapat dua diagnose medis utama yaitu,
enselopati akibat dari hipoksia dan respiratory failure akibat dari PPOK exaserbasi
akut, suspek pneumonia, CHF dan hipertensi. Terjadinya respiratory failure
sesuai dengan teori yang kami dapatkan yaitu karena adanya etiologi yang
berhubungan langsung dengan sistem pernapasan seperti penyakit paru obstruksi
kronik, asma, pneumonia dan lainnya.
Pada saat melakukan pengkajian data, didapatkan data bahwa Tn. E
mempunyai riwayat jatuh dan mengalami sesak nafas saat datang ke Unit Gawat
Darurat. Berdasarkan teori sesak nafas (dyspnea) merupakan salah satu
manifestasi dari respiratory failure, yang mengakibatkan rendahnya kadar oksigen
dalam tubuh dan tingginya kadar karbondioksida. Sehingga terjadi gangguan
asam-basa dalam tubuh.
Pada saat melakukan pengkajian awal, keadaan umum pasien tampak sakit
berat, kesadaran somnolen, GCS 9, terpasang infus ditangan kanan, terpasang
ETT pada mulut, terpasang monitor dan ventilator dengan Mode: Spontan, P
control: 15n cmH20, PEEP: 5 cmH20, Oksigen: 50%, Pressure Support 10
cmH20, terpasang NGT di hidung kiri, terpasang kateter urin, dan terpasang
restrain di ekstermitas atas dan bawah.
Data pengkajian primer, didapatkan adanya masalah keperawatan airway,
breathing, circulation, disability. Airway, terdapat adanya produksi sputum

74
berlebih pada jalan napas sehingga diambil masalah keperawatan bersihan jalan
nafas tidak efektif. Breathing, dengan RR 29 x/mnt dan terdapat suara nafas
tambahan ronchi diparu kanan, maka di ambil masalah keperawatan pola nafas
tidak efektif. Circulation, tekanan darah interval 134/ 101 mmHg, MAP 111
mmHg, HR interval 92 x/mnt, nadi lemah, maka terdapat masalah keperawatan
risiko perfusi jaringan tidak efektif. Disability, verbal response dengan GCS 9,
dengan data tambahan diagnose medis enselopati, maka diambil masalah
keperawatan risiko perfusi serebral tidak efektif.
Pada pengkajian sekunder didapatkan beberapa diagnosa keperawatan
pada Tn. E yang sesuai dengan teori. Penurunan curah jantung berhubungan
dengan perubahan preload, ditandai dengan adanya hipertensi, hasil EKG sinus
takikardi, dengan tekanan darah interval 134/ 101 mmHg yang menyebabkan
kurangnya cardiac output. Di dukung dengan diagnose medis CHF pada Tn. E.
Keadaan ini juga dapat menyebabkan resiko perfusi miocard tidak efektif yang
disebabkan oleh kurangnya aliran darah yang mencaai miocard, sementara
miocard memerlukan sulpai O2 yang cukup untuk melakukan kontraktilitas.
Hipervolemi disebabkan karena lebih banyak intake dari pada output
(oliguria) pemberian diuretic diperlukan untuk mengeluarkan cairan berlebih
dalam tubuh pasien aga hasil balance cairan tidak positive, dan mencegah
terjadinya edema. Penggunaan diuretic juga untuk mengurangi beban cairan dan
obat-obatan perangsang jantung untuk meningkatkan kontraktilitas jantung dan
volume sekuncup agar penimbunan cairan di paru berkurang. Gangguan
pertukaran gas terjadi akibat tergangguan proses ventilasi dan difusi yang
menyebabkan jumlah kadar oksigen dalam tubuh bekurang dan meningkatkan
kadar CO2 dalam tubuh, sehingga tubuh dalam suasana asam (asidosis), akibatnya
dapat terjadi gangguan asam-basa dalam tubuh.
Enselopati yang di alami Tn. E disebabkan karena terjadinya hipoksia,
yang mempengaruhi tingkat kesadaran, sehingga kesadaran menurun dengan GCS
9 (somnolen), maka dapat diambil diagnosa keperawatan risiko perfusi serebral
tidak efektif.
Tn. E mengalami penurunan kesadaran dan dalam pengaruh obat, klien
tampak gelisah meskipun sudah di pasang restrain pada kedua ekstermitas (atas

75
dan bawah) maka dari itu pasien diberikan sedasi dalam kasus ini klien di beri
propopol agar tetap tenang dan toleransi terhadap pemasangan ventilator. Ketika
diberikan sedasi klien tampak tenang, namun beberapa saat setelah itu, mulai
gelisah kembali.
Saat melakukan pengkajian skala nyeri dengan CPOT scale didapatkan
skala nyeri 6, termasuk dalam kategori nyeri berat. Di tandai dengan mengerutkan
kening, mengangkat alis, pergerakan tidak kondusif, berusaha mencoba untuk
duduk, tidak mengikuti perintah dan mencoba keluar dari tempat tidur, meskipun
sudah dipasang restrain dan gerakan sangat kuat. Maka dari itu di angkat diagnosa
keperawatan nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis.
Hasil radiologi menunjukan bronchopneumonia kanan sqa. Pneumonia
sublobar kiri bawah yang ditandai dengan adanya leukositosis. Hasil EKG
menunjukan sinus takikardi. Hasil diskusi dari kelompok juga menyatakan bahwa
kondisi diatas tesebut di perberat dari fakor usia Tn. E, yang diketahui 69 tahun,
dimana kondisi tersebut termasuk dalam range usia lansia, yang mengalami
penurunan imunitas dan fungsi fisiologis tubuh.
Jadi kesenjangan yang terjadi antara BAB II dan BAB III terletak pada
diagnose nyeri akut, karna pada kasus ini, usia klien 69 tahun (lansia), dilakukan
pemasangan ventilator (terdapat rasa yang tidak nyaman) dan terdapat infeksi
pada paru, dan terdapat komplikasi yang menyertai yang tentunya akan
mempengaruhi sistem fisiologis tubuh Tn.E.
Sesuai data di atas maka kelompok mengambil 10 diagnosa keperawatan
berdasarkan dengan diagnosa medis dari Tn.E, yaitu penurunan curah jantung
berhubungan dengan perubahan preload, perfusi prefer tidak efektif berhubungan
dengan penurunan aliran arteri dan atau vena, hypervolemia berhubungan dengan
gangguan mekanisme regulasi, bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan
dengan hipersekresi jalan nafas, gangguan pertukaran gas berhubungand dengan
ketidakseimbangan ventilasi-pefusi, pola nafas tidak efektif behubungan dengan
hambatan upaya nafas, nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis,
risiko perfusi miocard tidak efektif ditandai dengan hipertensi dan hipoksia, risiko
perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan enselopati dan risiko jatuh
ditandai dengan usia > 65 tahun dan riwayat jatuh.

76
Dalam melakukan implementasi yang penting dapat dilakukan pada pasien
yang mengalami sumbatan jalan nafas salah satunya adanya suction. Suction di
lakukan dengan prinsip 3A (atraumatic, asianotik, aseptic) dan sebelum tindakan
dilakukan hiperoksigenasi, untuk mencegah penurunan saturasi oksigen yang
bermakna dan saat melakukan tindakan suction tidak lebih dari 15 detik.
Pemberian nebulisasi juga diperlukan untuk mempermudah pelaksanaan suction,
sehingga sputum berkonsistensi lebih cair dan mudah untuk di lakukan
penghisapan (lebih optimal). Bila keadaan pola nafas dan frekuensi membaik,
dapat juga dilakukan penyapihan ventilator namun tetap melakukan observasi.
Salah satu intervensi yang kami lakukan juga yaitu menenangkan pasien dan
pastikan klien dalam keadaan tidak gelisah, karena akan mempengaruhi frekuensi
nafas (meningkat) dan pemantauan hemodinamik merupakan intervensi yang
penting dalam kasus ini.
Evaluasi dapat kami buat setelah melakukan asuhan keperawatan selama 3
x 24 jam. Masalah keperawatan yang teratasi sebagian yaitu perfusi perifer tidak
efektif, hypervolemia, bersihan jalan nafas tidak efektif, pola nafas tidak efektif
dan nyeri akut yang di kaji menggunakan CPOT.

77
78
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kegagalan pernapasan adalah suatu kondisi dimana oksigen tidak
cukup masuk dari paru-paru ke dalam darah. Organ tubuh, seperti jantung
dan otak, membutuhkan darah yang kaya oksigen untuk bekerja dengan
baik. Kegagalan pernapasan juga bisa terjadi jika paru-paru tidak dapat
membuang karbon dioksida dari darah. Terlalu banyak karbon dioksida
dalam darah dapat membahayakan organ tubuh.
Gagal nafas dapat disebabkan oleh kelainan paru, jantung, dinding
dada, otot pernapasan atau medulla oblongata. Komplikasi serius dapat
terjadi pada GI tract, paru-paru dan kardiovaskuler. Pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan yaitu dengan pemeriksaan laboratorium
dan pemeriksaan radiologi.
Beberapa penatalaksaan yang dapat dilakukan pada respiratoty
failure yaitu dengan melakukan terapi oksigen, penggunaan ventilator
mekanik dengan tekanan jalan nafas positif kontinu (CPAP) atau positive
end expiratory Pressure (PEEP), inhalasi nebulizer, fisioterapi dada,
pemantauan hemodinamik/jantung, pengobatan bronkodilator streroid dan
dukungan nutrisi sesuai kebutuhan.
Pada kasus yang dikelola oleh kelompok kami, diketahui bahwa
Tn. E berusia 69 tahun, dengan diagnose medis respiratotry failure. Seperti
yang kita ketahui respiratory failure kondisi ketidakmampuan sistem
pernapasan melakukan satu atau dua fungsi pertukaran gas yaitu
oksigenasi dan eliminsi karbondioksida, sehingga terdapat gangguan pada
proses ventilasi dan difusi. Gagal nafas akan mempengaruhi banyak
gangguan pada sistem tubuh. Maka dari itu pasien mengalami penurunan
kesadaran, memerlukan alat bantu ventilator untuk bernapas dan monitor
jantung akibat terganggunya proses ventilasi dan difusi tersebut. Saat
dilakukan pengkajian primer terdapat masalah airway, breathing,
circulation dan disability.

79
Dalam melakukan implementasi yang penting dapat dilakukan
pada pasien yang mengalami sumbatan jalan nafas salah satunya adanya
suction. Suction di lakukan dengan prinsip 3A (atraumatic, asianotik,
aseptic) dan sebelum tindakan dilakukan hiperoksigenasi, untuk mencegah
penurunan saturasi oksigen yang bermakna dan saat melakukan tindakan
suction tidak lebih dari 15 detik. Pemberian nebulisasi juga diperlukan
untuk mempermudah pelaksanaan suction, sehingga sputum berkonsistensi
lebih cair dan mudah untuk di lakukan penghisapan (lebih optimal). Bila
keadaan pola nafas dan frekuensi membaik, dapat juga dilakukan
penyapihan ventilator namun tetap melakukan observasi. Salah satu
intervensi yang kami lakukan juga yaitu menenangkan pasien dan pastikan
klien dalam keadaan tidak gelisah, karena akan mempengaruhi frekuensi
nafas (meningkat) dan pemantauan hemodinamik merupakan intervensi
yang penting dalam kasus ini.

B. Saran
Diharapkan kepada seluruh pihak-pihak medis terkait dapat
memperhatikan kondisi atau gejala-gejala penyakit respiratory failure,
serta dapat segera melakukan pembangunan yang tepat dalam memberikan
terapi dan pengobatan yang sesuai bagi pasien yang terserang penyakit
tersebut. Kepada pihak rumah sakit diharapkan untuk lebih meningkatkan
mutu dan kualitas dari pelayanan kesehatan yang telah ada untuk
memudahkan dalam penanganan kasus tersebut.

80
BAB VI
LAPORAN ANALISA TINDAKAN

Nama Tindakan Keperawatan:


Melakukan tindakan penghisapan (close suction)

Rasional dilakukan tindakan keperawatan:


Untuk menjaga jalan nafas tetap bersih (airway maintenance), apabila pasien tidak
mampu batuk efektif dan mengurangi retensi sputum. Saat melakukan tindakan
suction akan terjadi perubahan saturasi oksigen ketika sebelum dan sesudah
melakukan tindakan (penurunan) karena pada proses penghisapan, bukan hanya
lendir saja yang terhisap namun suplai oksigen yang berada di saluran pernapasan
juga akan ikut terhisap. Maka dari iru sebelum melakukan tindakan suction harus
melakukan tindakan hiperoksigenasi. Namun penurunan tetap dalam batas normal
dan tidak sampai mengakibatkan hipoksia pada responden.

Dampak bila tindakan keperawatan tersebut tidak dilakukan:


Apabila tindakan suction tidak dilakukan pada pasien dengan gangguan bersihan
jalan nafas maka pasien tersebut akan mengalami kekurangan suplai O2
(hipoksemia), dan apabila suplai O2 tidak terpenuhi dalam waktu 4 menit maka
dapat menyebabkan kerusakan otak yang permanen.

Tindakan keperawatan yang dilakukan merupakan bagian dari diagnosa


keperawatan:
Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d hipersekesi jalann nafas.

Data yang mendukung diagnosa keperawatan di atas, meliputi:


Data subjektif:
- Klien tidak dapat terkaji karena pengalami penurunan kesadaran
Data objektif:
- SPO2 94%
- Produksi sputum berlebih

81
- Batuk tidak efektif
- Suara nafas ronkhi

Deskripsikan implementasi tindakan keperawatan di atas, meliputi:


tanggal, ruangan, nama inisial klien, usia, diagnosa medis, persiapan (alat, klien,
lingkungan), pelaksanaan (langkah-langkah tindakan yang dilakukan), dan
evaluasi (respon dan atau /hasil) tindakan keperawatan yang diberikan.
Tanggal : 6 Desember 2021
Ruangan : ICU RS Santo Borromeus
nama inisial : Tn. E
Diagnosa medis: Respiratory Failure
Persiapan Alat:
- Handscoen
- Mesin penghisap dan slang penghisap
- aquades
Pelaksanaan:
- Pasien diberi penjelasan tentang prosedur yang akan di lakukan
- Cuci tangan
- Pasang handscoen
- Jaga privasi klien
- Posisikan klien semi fowler
- Perhatikan prinsip suction 3 A (Aseptik, atraumatic dan asianotik)
- Hidupkan mesin penghisap dengan tekanan 200 mmHg untuk dewasa
- Sebelum dilakukan tindakan beri hiperoksigenasi/ menjadi 100%
- Menyambung selang suction dengan kateter steril, kemudian perlahan
dimasukan kedalam selang pernapasan melalui ETT
- Menarik kateter penghisap kira-kira 2 cm pada saat ada rangsangan batuk
untuk mencegah trauma pada carina.
- Kemudian suction kateter di tarik secara perlahan (tidak lebih dari 15 detik)
- Bilas closed suction dnegan menggunakan sisa cairan NaCL 0,9% yang ada
pada spuit, cabut selang penguhubung suction dan bilas selang penghubung
(spuling)

82
- Matikan slang penghisap
- Observasi hemodinamik pasien.
- Bila melakukan suction lagi, beri waktu jeda 10 detik.
- Posisikan selang kembali
- Lakukan dokumentasi (Konsistensi sputum, warna dan jumlah)

Evaluasi: Sputum berkurang pada airway

(Nama: KELOMPOK)

83
DAFTAR PUSTAKA

Dewi, Dewa Ayu Mas Shintya. 2017. Diagnosis dan Penatalaksanaan Gagal
Nafas Akut. Udayana
Kitu, Novia Bertha, dkk. 2019. Pengaruh Tindakan Penghisapan Lendir
Endotrakeal Tube (ETT) Terhadap Kadar Saturasi Oksigen Pada Pasien
Yang Di Rawat Di Ruang ICU. Jurnal Ners Widya Husaha. Vol 6(2).
Semarang
Kurmiadi, Ricky. 2017. Gambaran Pasien Gagal Nafas Dengan Kelainan Paru
Pada Rawat Inap Di Rumah Sakit Umum. Sumatra Utara.
Medicine, I. J. Of C. C. And E. (2016). Acute Respiratory Distress Syndrome.
Indonesian journal of Critical and Emergency Medicine, 3(2),3-6
Morton, Patricia Gonce, & Fontaine, D. K. (2018). Critical Care Nursing A
Holistic Approach (11 th Ed). Wolters Kluwer.
Morton, Patricia G., Fontaine, D., Hudak, C. M., & Gallo, B. M. (2017).
Keperawatan Kritis Pendekatan Asuhan Holistik (8th Ed.). Jakarta: EGC
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI). Edisi 1. Jakarta. Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SIKI). Edisi 1. Jakarta. Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia
(SLKI). Edisi 1. Jakarta. Persatuan Perawat Indonesia
https://www.dictio.id/t/bagaimana-anatomi-sistem-respirasi-atau-sistem-
pernapasan-pada-manusia/13787 (Di akses pada 13 Desember 2021, pukul
13.00)
http://repository.unimus.ac.id/3076/4/BAB%20II.pdf (Diakses pada 13 Desember
2021, pukul 13.00)
https://www.pedilung.com/contact/ (Diakses pada 13 Desember 2021, Pukul
13.00)

84
LAMPIRAN LAPORAN PENDAHULUAN

85
86
87
88
89
90
91
92
93
94
95
96
97
98
99
100
101
102

Anda mungkin juga menyukai