LAPORAN KASUS
Oleh:
a
KATA PENGANTAR
Kami mengucapkan puji dan syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena
atas rahmat dan pertolongan-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan Laporan
Kasus PKK IV yang berjudul “Asuhan Keperawatan Pada Tn. E Dengan
Gangguan Sistem Pernapasan: Respiratory Failure Di Ruang Intensive Care Unit
Kamar 1 Rumah Sakit Santo Borromeus”. Dalam penulisan laporan juga tidak
lupa mengucapkan terimakasih kepada dosen pembimbing mata kuliah Albertus
Budi Arianto, S. Kep., Ners., M. Kep atas bimbingan yang telah diberikan.
Kami menyadari dalam laporan ini masih banyak kekurangan. Untuk itu,
kami mengharapkan adanya kritikan dan saran yang membangun guna
membangun kesempurnaan laporan ini. Selanjutnya kami berharap dapat
menambah wawasan pembaca dengan adanya materi ini, akhir kata penulis
mengucapkan terimakasih.
Penulis
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.....................................................................................................i
Daftar isi..............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang.........................................................................................1
B. Tujuan Penulisan.....................................................................................2
C. Metode Penulisan....................................................................................3
D. Sistematika Penulisan..............................................................................3
A. Pengertian...............................................................................................5
B. Anatomi dan Fisiologi............................................................................5
C. Etiologi.................................................................................................11
D. Faktor Resiko.......................................................................................12
E. Klasifikasi.............................................................................................12
F. Patofisiologi..........................................................................................13
G. Pathway................................................................................................15
H. Manifestasi klinis.................................................................................15
I. Komplikasi...........................................................................................16
J. Tes Diagnostik......................................................................................17
K. Penatalaksanaan Medis.........................................................................20
L. Konsep Asuhan Keperawatan..............................................................20
A. Pengkajian............................................................................................37
B. Diagnosa Keperawatan.........................................................................64
C. Perencanaan Keperawatan....................................................................64
D. Implementasi Keperawatan..................................................................77
ii
E. Evaluasi Keperawatan..........................................................................85
BAB IV PEMBAHASAN
Pembahasan................................................................................................91
BAB V PENUTUP
A. Simpulan...............................................................................................95
B. Saran.....................................................................................................96
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................100
iii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Obstruksi jalan napas merupakan gangguan yang sering terjadi
pada pasien akibat terjadi penumpukan sekret yang berlebih sehingga
dapat menyumbat jalan napas dan dapat menyebabkan pasien berisiko
mengalami gagal napas. Gagal napas merupakan penyebab angka
kematian tertinggi di Instalasi perawatan intensif yang dapat timbul
mendadak pada pasien dengan tanpa kelainan pada paru-paru yang
mendasari sebelumnya (Wijaya, 2013).
Prevalensi gagal napas di dunia semakin meningkat setiap
tahunnya. Di Swedia, tingkat mortalitas Acute Respiratory Distress
Syndrome (ARDS) adalah 41% dan Acute Lung Injury (ALI) adalah
42,2%. Sedangkan di Jerman, insiden gagal napas, ALI, dan ARDS adalah
77,6-88,6% kasus per 100.000 ribu penduduk per tahun. Berdasarkan data
peringkat 10 penyakit tidak menular (PTM) yang terfatal menyebabkan
kematian berdasarkan Case Fatality Rate (CFR) di rumah sakit pada tahun
2010, angka kejadian gagal napas menempati peringkat kedua yaitu
sebesar 20,98% (dalam Kementerian Kesehatan RI, 2012).
Di Indonesia, insiden pasien dengan gagal napas yang dirawat di
ICU adalah rata-rata 41-42 pasien/bulan dan yang mengalami kejadian
gagal napas sekitar 13-14 pasien/bulan serta 10-11 pasien/bulan meninggal
akibat gagal napas (Berty, 2013). Gagal napas yang disebabkan oleh
karena adanya obstruksi pada saluran pernapasan bisa diatasi, dengan
salah satu tindakan yang biasa dilakukan dan dijumpai di pelayanan
intensif yaitu pelaksanaan pemberian tindakan suction (Widiyanto &
Hudijono, 2013).
Beberapa penyebab gagal napas dapat berupa PPOK dan asma.
Berdasarkan riset kesehatan dasar tahun 2013 prevalensi ppok dan asma di
provinsi sumatera utara masing-masing adalah 3,6% dan 2,4% (Riskesdas,
2013).
1
Penyebab lainnya adalah TB paru. Indonesia menempati urutan ke-
3 terbanyak penderita TB di dunia setelah India, dan Cina. Di Indonesia
setiap tahun terdapat ± 250.000 kasus baru dan sekitar 140.000 kematian
akibat TB. Hasil Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Indonesia
tahun 2004 menunjukkan bahwa TB merupakan penyebab kematian
nomor satu diantara penyakit menular dan merupakan penyebab kematian
nomor 3 setelah penyakit jantung dan pernapasan akut pada seluruh
kalangan usia (Silitonga, 2011).
Selain itu, pneumotoraks dan efusi pleura merupakan salah satu
etiologi gagal napas. Angka kejadian primary spontaneous pneumothorax
(PSP) di Inggris adalah 24 per 100.000 penduduk untuk laki-laki dan 9,8
per 100.000 penduduk per tahun untuk perempuan (Aulia, 2015).
Prevalensi efusi pleura mencapai 320 per 100.000 penduduk di negara-
negara industri dan penyebaran etiologi berhubungan dengan prevalensi
penyakit yang mendasarinya (Surjanto, Sutanto and Aphridasari, 2014).
Menurut WHO (2008), efusi pleura merupakan suatu gejala penyakit yang
dapat mengancam jiwa penderitanya. Di negara-negara industri,
diperkirakan terdapat 320 kasus efusi pleura per 100.000 orang. Amerika
Serikat melaporkan 1,3 juta orang setiap tahunnya menderita efusi pleura
terutama disebabkan oleh gagal jantung kongestif dan pneumonia bakteri.
Menurut Depkes RI (2006), kasus efusi pleura mencapai 2,7 % dari
penyakit infeksi saluran napas lainnya (tiwi, 2015).
B. Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa memahami dan mampu melaksanakan asuhan
keperawatan kritis pada Tn. E dengan gangguan sistem respirasi:
Respiratory failure di ruang instalasi gawat darurat Rumah Sakit Santo
Borromeus dengan menggunakan pendekatan asuhan keperawatan
sesuai dengan kewenangan perawat.
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu memahami konsep kritis respiratoty failure.
2
b. Mahasiswa mampu melaksanakan pengkajian primer dan sekunder
pada Tn. E dengan gangguan sistem respirasi: Respiratory failure
di ruang intensive care unit rumah sakit santo borromeus.
c. Mahasiswa mampu merumuskan diagnosa keperawatan pada Tn. E
dengan gangguan sistem respirasi: respiratoty failure di ruang
intensive care unit rumah sakit Santo Borromeus.
d. Mahasiswa mampu merumuskan diagnosa pada Tn. E dengan
gangguan sistem respirasi: Respiratory failure di ruang instalasi
gawat darurat rumah sakit Santo Borromeus.
e. Mahasiswa mampu melaksanakan tindakan asuhan keperawatan
pada Tn. E dengan gangguan sistem respirasi: respiratory failure di
ruang instalasi gawat darurat rumah sakit Santo Borromeus.
f. Mahasiswa mampu mengevaluasi hasil asuhan keperawatan yang
dilaksanakan pada Tn. E dengan gangguan sistem respirasi:
Respiratory failure di ruang instalasi gawat darurat rumah sakit
Santo Borromeus.
C. Metode Penulisan
1. Sumber data
Sumber data laporan kasus ini di dapatkan dari pengkajian langsung
dengan klien di rumah sakit. Pada laporan ini sumber data di dapatkan
melalui buku SDKI dan SLKI sebagai referensi dan juga sumber-
sumber lainnya seperti artikel dan jurnal.
2. Metode Pengumpulan Data
Untuk metode pengumpulan data dilakukan dengan cara observasi
langsung pada klien yang mengalami penurunan kesadaran serta
melakukan dokumentasi.
D. Sistematika Penulisan
Untuk mempermudah melihat dan mengetahui pembahasan yang
ada pada makalah ini secara menyeluruh, maka perlu di kemukakan
sistematika yang merupakan kerangka dan pedoman penulisan makalah.
3
BAB I merupakan pendahuluan yang terdiri dari latar belakang, tujuan
penulisan, metode penulisan dan sistematika penulisan makalah. BAB II
merupakan tinjauan teori yang berisi tentang laporan pendahuluan dari
kasus tentang diabetes melitus. BAB III merupakan tinjauan kasus yang
berisis tentang tinjauan asuhan keperawatan yang saya dapatkan melalui
pengkajian. BAB IV merupakan pembahasan yang berisi mengenai
kesamaan dan kesenjangan antara teori, BAB I dan BAB II tentang kasus
dan mengemukakan analisa tentang mengapa dapat terjadi perbedaan
tersebt yang berdasarkan teori. BAB V merupakan penutup yang berisi
kesimpulan dan hasil pembahasan dan analisis kegiatan praktik yang telah
dilakukan, yang diharapakan dapat memberikan manfaat.
4
5
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Pengertian
Kegagalan pernapasan adalah suatu kondisi dimana oksigen tidak
cukup masuk dari paru-paru ke dalam darah. Organ tubuh, seperti jantung
dan otak, membutuhkan darah yang kaya oksigen untuk bekerja dengan
baik. Kegagalan pernapasan juga bisa terjadi jika paru-paru tidak dapat
membuang karbon dioksida dari darah. Terlalu banyak karbon dioksida
dalam darah dapat membahayakan organ tubuh (National Heart, lung,
2011).
Keadaan ini disebabkan oleh pertukaran gas antara paru dan darah
yang tidak adekuat sehingga tidak dapat mempertahankan pH, pO2, dan
pCO2, darah arteri dalam batas normal dan menyebabkan hipoksia tanpa
atau disertai hiperkapnia (Arifputera, 2014).
Gagal nafas adalah ketidakmampuan sistem pernapasan melakukan
satu atau dua fungsi pertukaran gas yaitu oksigenasi dan eliminsi
karbondioksida (Lamba et al, 2016)
Menurut kelompok, respiratory failure merupakan kondisi
kurangnya O2 yang masuk kedalam paru-paru saat proses ventilasi (O2
menurun) dan paru-paru tidak dapat mengeluarkan CO2 dalam tubuh saat
proses difusi (CO2 meningkat) sehingga terjadi abnormalitas gas darah
yang menyebabkan hipoksia tanpa atau disertai hiperkapnia.
B. Anatomi Fisiologi
Paru merupakan organ yang elastis dan terletak di dalam rongga
dada bagian atas, bagian samping dibatasi oleh otot dan rusuk dan bagian
bawah dibatasi oleh diafragma yang berotot kuat. Paru terdiri dari dua
bagian yang dipisahkan oleh mediastinum yang berisi jantung dan
pembuluh darah. Paru kanan mempunyai tiga lobus yang dipisahkan oleh
fissura obliqus dan horizontal, sedangkan paru kiri hanya mempunyai dua
lobus yang dipisahkan oleh fissura obliqus. Setiap lobus paru memiliki
bronkus lobusnya masing-masing. Paru kanan mempunyai sepuluh segmen
6
paru, sedangkan paru kiri mempunyai sembilan segmen (Syaifuddin,
2011).
7
serabut aferen diterima darimembran mukosa bronkioli dan alveoli (Sari &
Purwoko, 2015).
1. Rongga Pleura
8
sangat sedikit (0,1 - 0,2 mL/kgBB). Tekanan pleura merupakan cermin
tekanan di dalam rongga toraks. Perbedaan tekanan yang ditimbulkan
oleh pleura berperan penting dalam proses respirasi.
2. Alveoli
9
µm. Sisi yang tebal (1-2 µm) memberikan dukungan struktural
terhadap alveolus.
3. Sirkulasi Pulmoner
Paru mendapat darah dari dua sistem arteri yaitu arteri pulmonalis
dan arteri bronkialis. Sirkulasi pulmoner menerima output total melalui
arteri pulmonal yang berasal dari jantung kanan. Arteri pulmonal
bercabang ke kiri dan ke kanan untuk menyuplai kedua paru yang
membawa darah ter-deoksigenasi melewati kapiler pulmoner, dimana
O2 diambil dan CO2 dieliminasi. Darah teroksigenasi kemudian
kembali ke jantung kiri melalui empat vena pulmoner utama (dua dari
masing-masing paru). Resistensi vaskuler pulmoner yang lebih rendah
menyebabkan tekanan vaskuler pulmoner sebesar 1/6 kali dari sirkulasi
sistemik walaupun aliran yang melalu sirkulasi sistemik dan pulmoner
setara; sehingga, baik arteri maupun vena pulmonalis normalnya
memiliki dinding yang lebih tipis dibandingkan pembuluh sistemik
dengan otot polos yang lebih sedikit.
Kapiler pulmoner tergabung ke dalam dinding alveolus. Diameter
rata-rata kapiler ini (sekitar 10 µm) hanya cukup untuk memungkinkan
lewatnya satu sel darah merah. Karena masing-masing jaringan kapiler
menyuplai lebih dari satu alveolus, darah dapat melewati beberapa
alveoli sebelum mencapai vena pulmonalis. Karena tekanan yang
relatif rendah pada sirkulasi pulmoner, jumlah darah yang mengalir
melalui jaringan kapiler tersebut dipengaruhi oleh gravitasi dan ukuran
alveoli. Alveoli besar memiliki area cross-sectional kapiler yang lebih
kecil dan menyebabkan peningkatan resistansi terhadap aliran darah.
Pada posisi tegak, kapiler apikal cenderung memiliki penurunan aliran,
sedangkan kapiler basal memiliki aliran yang lebih tinggi.
Endotel kapiler pulmoner memiliki sambungan yang relatif besar
(selebar 5 nm), memungkinkan lewatnya molekul besar seperti
albumin. Sehingga, cairan interstisial pulmoner relatif lebih kaya
albumin. Makrofag dan netrofil yang bersirkulasi dapat melewati
endotel, dan juga sambungan epitel alveolus yang lebih kecil, dengan
10
relatif lebih mudah. Makrofag pulmoner seringkali ditemukan pada
ruang interstisial dan di dalam alveoli, makrofag ini bekerja untuk
mencegah infeksi bakteri dan untuk menghancurkan partikel asing.
4. Sistem pengontrol pernapasan
a. Respiratory control centers
Terletak berpencar di berberapa level, yaitu di batang otak
(pons dan medulla oblongata) serta korteks. Sentrum pernapasan di
korteks berperan untuk pernapasan yang disadari (voluntary) pusat
pernapasan yang disadari ini penting untuk mengatur pernapasan
selagi bicara, menyanyi dan mengedan. Sentrum pernapasan di
batang otak merupakan kelompok neuron luas terletak bilateral di
medulla di substansia retikuler medulla oblongata dan pons yang
berperan dalam pernapasan spontan (involuntary). Daerah ini
dibagi menjadi tiga kelompok neuron utama yaitu kelompok
pernapasan dorsal yang menyebabkan inspirasi, kelompok
pernasapan ventral yang menyebabkan ekspirasi dan pusat
pneumotaksik yang mengatur kecepatan dan kedalaman napas.
b. Respiratory effectors
Transmisi impuls dari pusat napas ke otot pernapasan
berjalan melalui Nervus frenikus yang menuju diafragma, yang
berasal dari radix saraf C3-C5. Blokade atau paralisis nervus
frenikus unilateral hanya sedikit mengurangi fungsi pulmoner
(sekitar 25%) pada orang normal. Walaupun paralisis pada nervus
frenikus bilateral menyebabkan gangguan yang lebih berat,
aktivitas otot penyokong pernapasan mempertahankan ventilasi
yang adekuat pada sebagian pasien.
c. Respiratory sensors
Sensor pernapasan terdiri dari kemoreseptor sentral,
kemoreseptor perifer, reseptor sensoris di dinding dada, serta
reseptor sensoris didalam paru. Kemoreseptor sentral terletak pada
area kemosensitif yang terletak sepersekian millimeter dibawah
permukaan ventral medulla oblongata. Area ini merespon dengan
11
cepat setiap peningkatan konsentrasi CO2 ataupun peningkatan
konsentrasi ion H+ dengan menambah ventilasi. Sensor pernapasan
juga peka terhadap penurunan tekanan darah seperti yang
didapatkan pada shock yang mengakibatkan terjadinya
hiperventilasi. Kemoreseptor sentral hanya berperan linier terhadap
PaO2, sedangkan kemoreseptor perifer hanya menyebabkan
kenaikan ventilasi bila terjadi hipoksemia yang signifikan (PaO2
<60 mmHg).
C. Etiologi
Etiologi gagal nafas sangat beragam tergantung jenisnya. Gagal nafas
dapat disebabkan oleh kelainan paru, jantung, dinding dada, otot
pernapasan atau medulla oblongata.
1. Penyakit Paru Obstruksi Kronik (PPOK) dan asma
Kerusakan jaringan paru pada PPOK seperti penyempitan saluran
napas, fibrosis, destruksi parenkim membuat area permukaan alveolar
yang kontak langsung dengan kapiler paru secara kontinu menurun,
membuat terganggunya difusi O2 dan eliminasi CO2 (Sundari, 2013).
2. Pneumonia
Mikroorganisme pada pneumonia mengeluarkan toksin dan memicu
reaksi inflamasi dan mensekresikan mucus. Mucus membuat area
permukaan alveolar yang kontak langsung dengan kapiler paru secara
kontinu menurun, membuat terganggunya difusi O2 dan eliminasi CO2
(Sundari, 2013).
3. TB Pulmonal
Pelepasan besar mycobacteria ke sirkulasi pulmonal menyebabkan
terjadi peradangan, endarteritis obliteratif dan kerusakan membran
alveolokapiler, sehingga menyebabkan pertukaran gas terganggu
(Raina et al.,2013)
4. Tumor paru
Tumor paru dapat menyebabkan obstruksi jalan napas membuat
ventilasi dan perfusi tidak adekuat
12
5. Pneumotoraks
Pneumotoraks adalah keadaan darurat medis dan terjadi ketika tekanan
intrapleural melebihi tekanan atmosfi. Pada respirasi normal, ruang
pleura memiliki tekanan negatif. Saat dinding dada mengembang ke
luar, ketegangan permukaan antara pleura parietal dan viseral
menyebabkan paru-paru mengembang keluar. Penumpukan tekanan di
dalam ruang pleura pada akhirnya menyebabkan hipoksemia dan gagal
napas akibat kompresi paru-paru (BMJ Best Practice, 2017).
6. Efusi Pleura
Efusi pleura dapat menyebabkan dispnea yang dikarenakan penurunan
compliance dinding dada.sehingga pertukaran udara tidak adekuat
(Steven A. Sahn, 2012)
D. Faktor Resiko
1. Trauma langsung pada paru
a. Penumonia virus, bakteri, fungal
b. Contusio paru
c. Aspirasi cairan lambung
d. Inhalasi asap berlebih
e. Inhalasi toksin
f. Menghisap O2 konsentrasi tinggi dalam waktu lama
2. Trauma tidak langsung
a. Sepsis
b. Shock
E. Klasifikasi
1. Gagal nafas tipe 1
Gagal napas tipe I adalah kegagalan paru untuk mengoksigenasi darah,
ditandai dengan PaO2 menurun dan PaCO2 normal atau menurun.
Gagal napas tipe I ini terjadi pada kelainan pulmoner dan tidak
disebabkan oleh kelainan ekstrapulmoner. Mekanisme:
13
a. Gangguan ventilasi/perfusi (V/Q mismatch), terjadi bila darah
mengalir ke bagian paru yang ventilasinya buruk atau rendah.
Keadaan ini paling sering. Contohnya adalah posisi (terlentang di
tempat tidur), ARDS, atelektasis, pneumonia, emboli paru,
dysplasia bronkupulmonal
b. Gangguan difusi yang disebabkan oleh penebalan membrane
alveolar atau pembentukan cairan interstitial pada sambungan
alveolar-kapiler. Contohnya adalah edema paru, ARDS,
pneumonia interstitial
c. Pirau intrapulmonal yang terjadi bila aliran darah melalui area
paru-paru yang tidak pernah mengalami ventilasi. Contohnya
adalah malformasi arterio-vena paru, malformasi adenomatoid
kongenital (Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M. Ked (Paru), 2017).
2. Gagal nafas tipe 2
Gagal napas tipe II adalah kegagalan tubuh untuk mengeluarkan CO2,
pada umumnya disebabkan olehkegagalan ventilasi yang ditandai
dengan retensi CO2 (peningkatan PaCO2 atau hiperkapnia) disertai
dengan penurunan PH yang abnormal dan penurunan PaO2 atau
hipoksemia. (Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M. Ked (Paru), 2017)
Kegagalan ventilasi biasanya disebabkan oleh hipoventilasi karena
kelainan ekstrapulmonal. Hiperkapnia yang terjadi karena kelainan
ekstrapulmonal dapat disebabkan karena: 1) penekanan dorongan
pernapasan sentral atau 2) gangguan pada respon ventilasi. (Syarani,
Dr. dr. Fajrinur, M. Ked (Paru), 2017)
F. Patofisiologi
Indikator gagal nafas adalah frekuensi pernapasan dan kapasitas
vital, frekuensi pernapasan normal ialah 16-20x/menit. Bila lebih dari
20x/menit tindakan yang dilakukan memberi bantuan ventilator karena
“kerja pernapasan” menjadi tinggi sehingga timbul kelelahan. Kapasitas
vital adalah ukuran ventilasi (normal 10-20ml/kg).
14
Gagal nafas ada dua macam yaitu gagal nafas akut dan gagal nafas
kronik dimana masing-masing mempunyai pengertian yang berbeda.
Gagal nafas akut adalah gagal nafas yang timbul Pada pasien yang parunya
normal secara struktural maupun fungsional sebelum awitan penyakit
timbul. Sedangkan gagal nafas kronik adalah terjadi pada pasien dengan
penyakit paru kronik seperti bronkitis kronik, emfisema, dan penyakit paru
hitam. Pasien mengalami toleransi terhadap hipoksia dan hiperkapnia yang
memburuk secara bertahap. Setelah gagal nafas akut biasanya paru-paru
kembali seperti semula. Pada gagal nafas kronik struktur paru mengalami
kerusakan yang ireversibel.
Penyebab gagal nafas yang utama adalah ventilasi yang Tidak
adekuat dimana terjadi obstruksi jalan nafas atas. Pusat pernafasan yang
mengendalikan pernafasan terletak di bawah batang otak (Pons dan
medulla). Pada kasus pasien dengan anastesi, cedera kepala, stroke, tumor
otak, ensefalitis, meningitis, hipoksia dan hiperkapnia mempunyai
kemampuan menekan pusat pernapasan. Sehingga pernapasan menjadi
lambat dan dangkal. Pada periode postoperatif dengan anestesi bisa terjadi
pernapasan tidak adekuat karena terdapat agen menekan pernapasan
dengan efek yang di keluarkan atau dengan meningkatkan efek dari
analgetik opioid. Pneumonia atau penyakit paru dapat mengarah ke gagal
napas.
Mekanisme gagal nafas menggambarkan ketidakmampuan tubuh
untuk melakukan oksigenasi dan atau ventilasi dengan adekuat yang di
tandai oleh ketidakmampuan sistem respirasi untuk memasok oksigen
yang cukup atau membuang karbon dioksida. Pada gagal nafas terjadi
peningkatan tekanan parsial karbon dioksida arteri (PaCO2) lebih besar
dari 50mHg, tekanan parsial oksigen arteri (PaCO2) kurang dari 60
mmHg, atau kedua-duanya. Hiperkarbia dan hipoksia mempunyai
konsekuensi yang berbeda. Peningkatan PCO2 tidak mempengaruhi
metabolisme normal kecuali bila sudah mencapai kadar ekstrim (>90
mmHg). Di atas itu, hiperkapnia dapat menyebabkan depresi susunan saraf
pusat dan henti napas.
15
Untuk pasien dengan kadar PaCO2 rendah, konsekuensi yang lebih
berbahaya adalah gagal nafas baik akut maupun kronik. Hipoksemia akut,
terutama bila di sertai curah jantung rendah, sering berhubungan dengan
hipoksia jaringan dan resiko henti jantung. Hipoventilasi di tandai oleh
laju pernapasan rendah dan napas dangkal. Bila PaCO2 normal atau
40mmHg, penurunan ventilasi sampai 50% akan meningkatkan PaCO2
sampai 80 mmHg. Dengan hipoventilasi, PaCO2 akan turun kira-kira
dengan jumlah yang sama dengan peningkatan PaCO2. Kadang, pasien
yang menunjukkan pertanda retensi CO2 dapat mempunyai saturasi
oksigen mendekati normal.
Disfungsi paru menyebabkan gagal nafas bila pasien yang
mempunyai penyakit paru tidak dapat menunjang pertukaran gas normal
melalui peningkatan ventilasi. Retensi CO2 terjadi pada penyakit paru
hanya bila pasien sudah tidak bisa lagi mempertahankan laju pernapasan
yang di perlukan, biasanya karena kelelahan otot.
G. Pathway
Terlampir di excel
H. Manifestasi Klinis
1. Gagal nafas hipoksemia
Nilai PaCO2 pada gagal napas tipe ini menunjukkan nilai normal atau
rendah. Gejala yang timbul merupakan campuran hipoksemia arteri
dan hipoksia jaringan:
a. Dispneu (takipneu, hipeventilasi)
b. Perubahan status mental, cemas, bingung, kejang, asidosis laktat
c. Sinosis di distal dan sentral (mukosa, bibir)
d. Peningkatan simpatis, takikardia, diaforesis, hipertensi
e. Hipotensi, bradikardia, iskemi miokard, infark, anemia, hingga
gagal jantung dapat terjadi pada hipoksia berat. (Arifputera, 2014).
2. Gagal nafas hiperkapnia
16
Kadar PCO2 yang cukup tinggi dalam alveolus menyebabkan pO2
alveolus dari arteri turun. Hal tersebut dapat disebabkan oleh gangguan
di dinding dada, otot pernapasan, atau batang otak. Contoh pada PPOK
berat, asma berat, fibrosis paru stadium akhir, ARDS berat, atau
sindroma guillain barre. Gejala hiperkapnia antara lain penurunan
kesadaran, gelisah, dispneu (takipneu, bradipneu), tremor, bicara
kacau, sakit kepala, dan papil edema (Arifputera, 2014).
I. Komplikasi
1. Komplikasi GI
Komplikasi GI utama yang terkait dengan gagal napas akut adalah
perdarahan, distensi lambung, ileus, diare, dan pneumoperitoneum.
Infeksi nosokomial, seperti pneumonia, infeksi saluran kemih, dan
sepsis terkait kateter, sering terjadi komplikasi gagal napas akut. Ini
biasanya terjadi dengan penggunaan alat mekanis. Komplikasi gizi
meliputi malnutrisi dan pengaruhnya terhadap kinerja pernapasan dan
komplikasi yang berkaitan dengan pemberian nutrisi enteral atau
parenteral (Kaynar, 2016).
2. Paru-paru
Komplikasi pada paru-paru itu seperti pneumonia, emboli paru,
barotrauma paru-paru, fibrosis paru. Komplikasi yang berhubungan
dengan mesin dan alat mekanik ventilator pada pasien gagal napas juga
banyak menimbulkan komplikasi yaitu infeksi, desaturasi arteri,
hipotensi, barotrauma, komplikasi yang ditimbulkan oleh dipasangnya
intubasi trakhea adalah hipoksemia cedera otak, henti jantung, kejang,
hipoventilasi, pneumotoraks, atelektasis. Gagal napas akut juga
mempunyai komplikasi di bidang gastrointestinal yaitu stress ulserasi,
ileus dan diare (Putri, 2013).
3. Kardiovaskular
Krdiovaskular memiliki komplikasi hipotensi, aritmia, penurunan
curah jantung, infark miokard, dan hipertensi pulmonal. Komplikasi
pada ginjal dapat menyebabkan acute kidney injury dan retensi cairan.
17
Resiko terkena infeksi pada pasien gagal napas juga cukup tinggi yaitu
infeksi nosokomial, bakteremia, sepsis dan sinusitis paranasal (Putri,
2013).
J. Tes Diagnostik
1. Laboratorium
a. Analisa Gas Darah
Jika gejala klinis gagal napas sudah terjadi maka analisa gas darah
harus dilakukan untuk memastikan diagnosis, membedakan gagal
napas akut dan kronik. Analisa gas darah dilakukan untuk patokan
terapi oksigen dan penilian obyektif dalam berat-ringan gagal
napas. Indikator klinis yang paling sensitif untuk peningkatan
kesulitan respirasi ialah peningkatan laju pernapasan. Sedangkan
kapasitas vital paru baik digunakan menilai gangguan respirasi
akibat neuromuscular, misalnya pada sindroma guillain-barre,
dimana kapasitas vital berkurang sejalan dengan peningkatan
kelemahan. Interpretasi hasil analisa gas darah meliputi 2 bagian,
yaitu gangguan keseimbangan asam-basa dan perubahan
oksigenasi jaringan (Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M. Ked (Paru),
2017).
b. Pulse oximetry
Alat ini mengukur perubahan cahaya yang yang ditranmisikan
melalui aliran darah arteri yang berdenyut. Informasi yang di
dapatkan berupa saturasi oksigen yang kontinyu dan non-invasif
yang dapat diletakkan baik di lobus bawah telinga atua jari tangan
maupun kaki. Hasil pada keadaan perfusi perifer yang kecil, tidak
akurat. Hubungan antara saturasi oksigen dantekanan oksigen
dapat dilihat pada kurva disosiasi oksihemoglobin. Nilai kritisnya
adalah 90%, dibawah level itu maka penurunan tekanan oksigen
akan lebih menurunkan saturasi oksigen (Syarani, Dr. dr. Fajrinur,
M. Ked (Paru), 2017).
c. Capnography
18
Alat yang dapat digunakan untuk menganalisa konsentrasi kadar
karbondioksida darah secara kontinu. Penggunaannya antara lain
untuk kofirmasi intubasi trakeal, mendeteksi malfungsi apparatus
serta gangguan fungsi paru (Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M.
Ked(Paru), 2017).
i) Pemeriksaan apus darah untuk mendekteksi anemia yang
menunjukakkan terjadinya hipoksia jaringan. Adanya
polisitemia menunjukkan gagal napas kronik (Syarani, Dr.
dr. Fajrinur, M. Ked (Paru), 2017).
ii) Pemeriksaan kimia untuk menilai fungsi hati dan ginjal,
karena hasil pemeriksaan yang abnormal dapat menjadi
petunjuk sebab-sebab terjadinya gagal napas. Abnormalitas
elektrolit seperti kalium, magnesium dan fosfat dapat
memperberat gejala gagal napas (Syarani, Dr. dr. Fajrinur,
M. Ked (Paru), 2017).
iii) Pemeriksaan kadar kreatinin serum dan troponin 1 dapat
membedakan infark miokard dengan gagal napas, kadar
kreatinin serum yang meningkat dengan kadar troponin 1
yang yang normal menunjukkan terjadinya miositosis yang
dapat menyebabkan gagal napas (Syarani, Dr. dr. Fajrinur,
M. Ked(Paru), 2017).
iv) Pada pasien dengan gagal napas hiperkapni kronik, kadar
TSH serum perlu diperiksa untuk membedakan dengan
hipotiroid, yang dapat menyebabkan gagal napas reversibel
(Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M. Ked(Paru), 2017).
v) Pemeriksaan laboratorium untuk menilai status nutrisi
adalah pengukuran kadar albumin serum, prealbumim,
transferin, total iron-binding protein, keseimbangan
nitrogen, indeks kreatinindan jumlah limfosit total (Syarani,
Dr. dr. Fajrinur, M. Ked(Paru), 2017).
2. Pemeriksaan Radiologi
a. Radiografi dada
19
Penting dilakukan untuk membedakan penyebab terjadinya gagal
napas tetapi kadang sulit untuk membedakan edema pulmoner
kardiogenik dan nonkardiogenik. (Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M. Ked
(Paru), 2017)
b. Ekokardiografi
i) Tidak dilakukan secara rutin pada pasien gagal napas,
hanya dilakukan pada pasien dengan dugaan gagal napas
akut karena penyakit jantung. (Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M.
Ked (Paru), 2017)
ii) Adanya dilatasi ventrikel kiri, pergerakan dinding dada
yang abnormal atau regurgitasi mitral berat menunjukkan
edema pulmoner kardiogenik (Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M.
Ked (Paru), 2017).
iii) Ukuran jantung yang normal, fungsi sistolik dan diastolik
yang normal pada pasien dengan edema pulmoner
menunjukkan sindromdistress pernapasan akut (Syarani,
Dr. dr. Fajrinur, M. Ked (Paru), 2017).
iv) Ekokardiografi menilai fungsi ventrikel kanan dan tekanan
arteri pulmoner dengan tepat untuk pasien dengan gagal
napas hiperkapnik kronik (Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M. Ked
(Paru), 2017).
c. Pulmonary Function Test (PFTs)
i) Nilai forced expiratory volume in one second (FEV1) dan
forced vital capacity (FVC) yang normal menunjukkan
adanya gangguan di pusat control pernapasan (Syarani, Dr.
dr. Fajrinur, M. Ked(Paru), 2017).
ii) Penurunan rasio FEV1 dan FVC menunjukkan obstruksi
jalan napas, penurunan nilai FEV1 dan FVC serta rasio
keduanya yang tetap menunjukkan penyakit paru restriktif
(Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M. Ked(Paru), 2017).
iii) Gagal napas karena obstruksi jalan napas tidak terjadi jika
nilai FEV1 lebih dari 1 L dan gagal napas karena penyakit
20
paru restriktif tidak terjadi bila nilai FVC lebih dari 1 L
(Syarani, Dr. dr. Fajrinur, M. Ked(Paru), 2017).
K. Penatalaksanaan Medik
Pengobatan ARDS yang pertama-tama adalah pencegahan, karena ARDS
bukan penyakit primer, tetapi timbul setelah penyakit lain yang parah.
Apabila ARDS tetap timbul, maka pengobatannya adalah:
1. Diuretic untuk mengurangi beban cairan dan obat-obatan perangsang
jantung untuk meningkatkan kontraktilitas jantung dan volume
sekuncup agar penimbunan cairan di paru berkurang. Penatalaksanaan
cairan dan obat-obatan di gunakan untuk mengurangi kemungkinan
gagal jantung kanan.
2. Terapi oksigen dan ventilasi mekanis sering diberikan
3. Kadang-kadang digunakan obat-obatan anti-inflamasi untuk
mengurangi efek merusak dari proses peradangan, walaupun
efektivitasnya masih dipertanyakan.
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada pasien ARDS:
a. Terapi oksigen
b. Ventilator mekanik dengan tekanan jalan nafas positif kontinu (CPAP)
atau positive end expiratory Pressure (PEEP)
c. Inhalasi nebulizer
d. Fisioterapi dada
e. Pemantauan hemodinamik/jantung
f. Pengobatan bronkodilator streroid
g. Dukungan nutrisi sesuai kebutuhan
21
Pernapasan cepat dan dangkal, peningkatan kerja naas,
pernggunaan otot bantu pernapasan, seperti retraksi intercostal atau
substernal, nasal flaring, meskipun kadar oksigen tinggi. Suara
nafas: biasanya normal, mungkin juga terjadi crakles, ronchi dan
suara nafas bronchial. Perkusi dada: dull diatas area konsodilasi,
penurunan dan tidak seimbangnya ekspansi dada. Peningkatan
fremitus.
c. Circulation
Tekanan darah bisa normal atau meningkat (hipoksemia), hipotensi
terjadi pada stadium lanjut (shock). HR: takikardi, bunyi jantung:
normal pada fase awal, S2 (komponen pulmonic) dapat terjadi.
Disritmia terjadi terapi ECG sering menunjukan normal. Kulit dan
membrane mukosa: pucat, dingin. Cyanosis bisa terjadi (stadium
lanjut).
Pengkajian sekunder
a. Blood
Kulit terlihat sianosis, hipotensi. Pemeriksaan hasil lab AGD:
hipoksemia (PO2 menurun), hiperkapnia (CO2 meningkat) pada
tahap awal karna hiperventilasi, hiperkapnia (PCO2 meningkat
menunjukan gagal ventilasi, alkalosis resiratoty (PH > 7,45) pada
tahap dini, asidosis respiratory/ metabolic terjadi pada tahap lanjut.
b. Brain
Terjadi penurunan kesadaran mental
c. Bowel
Hilang atau melemahnya bising usus, perubahan atau penurunan
berat badan
d. Bone
Terdapat sianosis pada kulit dan kuku
2. Diagnosa Keperawatan
a. Penurunan curah jantung b.d perubahan irama jantung
22
b. Gangguan pertukaran gas b.d ketidakseimbangan ventilasi-perfusi
c. Perfusi perifer tidak efektif b.d penurunan aliran darah arteri/vena
d. Bersihan jalan nafas tidak efektif b.d hipersekesi jalann nafas
e. Pola nafas tidak efektif b.d hambatan upaya nafas
f. Risiko perfusi serebral tidak efektif d.d
g. Risiko perfusi miocard tidak efektif b.d hipoksemia
h. Risiko jatuh b.d usia >65 tahun, riwayat jatuh, penurunan tingkat
kesadaran.
3. Intervensi keperawatan
NO DK Tujuan dan Intervensi
kriteria hasil:
1 Penurunan curah Setelah dilakukan PERAWATAN
JANTUNG
jantung b.d tindakan
Observasi:
perubahan irama keperawatan 3 x
- Identifikasi tanda/gejala
jantung 24 jam, primer penurunan curah
diharapkan curah jantung (dyspnea,
jantung kelelahan, edema,
23
- Berikan saturasi oksigen
untuk mempertahankan
saturasi oksigen >94%
Kolaborasi:
- Kolaborasi pemberian
antiaritmia
MANAJEMEN
ARITMIA
Observasi:
- Identifikasi jenis aritmia
- Monitor keluhan nyeri
dada
- Monitor saturasi oksigen
Terapeutik:
- Berikan lingkungan yang
tenang
- Pasang jalan nafas buatan
- Pasang akses intravena
- Pasang monitor jantung
Kolaborasi:
Kolaborasi pemberian
anti aritmia
24
3. Gelisah ataksik)
menurun - Monitor adanya
4. PO2 membaik produksi sputum
5. Pola nafas - Monitor adanya
membaik sumbatan jalann
nafas
- Auskultasi bunyi
nafas
- Monitor saturasi
oksigen
Terapeutik:
- Dokumentasi hasil
pemantauan
Edukasi:
- Jelaskan tujuan
prosedur
pemantauan
TERAPI OKSIGEN
Observasi:
- Monitor kecepatan
aliran oksigen
- Monitor aliran
oksigen seara
periodic dan
pastikan fraksi yang
diberikan cukup
- Terapeutik:
- Bersihkan secret
pada mulut hidung
dan trakea
25
- Pertahankan
kepatenan jalan
nafas
Edukasi:
- Ajarkan pasien dan
keluarga
menggunakan
oksigen dirumah
Kolaborasi:
- Kolaborasi
penentuan dosis
oksigen
PEMBERIAN OBAT
INHALASI
Observasi:
- Identifikasi
kemungkinan alergi,
interaksi dan
kontraindikasi
- Periksa tanggal
kadaluarsa obat
- Monitor efek
samping, toksisitas,
interaksi obat
Terapeutik:
- Lakukan prinsip 6
benar
- Posisikan
Edukasi:
- Anjurkan nafas
lambat dan dalam
26
selama penggunaan
nebulizer
- Anjurkan ekspirasi
lambat melalui
hidung/ dengan bibir
mengkerut
27
MANAJEMEN
ASAM-BASA
Observasi:
- Identifikasi
penyebab
ketidakseimbangan
asam-basa
- Monitor frekuensi
dan kedalaman nafas
- Monitor status
neurologis
- Monitor irama dan
frekuensi jantung
Terapeutik
- Ambil specimen
darah untuk
pemeriksaan AGD
Kolaborasi:
- Kolaborasi
pemberian ventilasi
mekanik
28
meningkat kepatenan jalan
2. Produksi nafas
sputum - Posisikan semi
menurun fowler/fowler
3. Dispnea - Lakukan
menurun penghisapan lendir <
4. Gelisah 15 detik
menurun - Lakukan
5. Frekuensi nafas hiperoksigenasi
membaik sebelum
6. Pola nafas penghisapan
membaik - Ajarkan teknik batuk
efektif
PENGHISAPAN
JALAN NAPAS
Observasi:
- Identifikasi
kebutuhan dilakukan
penghisapan
- Auskultasi suara
nafas sebelum dan
sesudah di lakukan
tindakan
- Monitor satatus
oksigenasi (saturasi)
neurologis (mental)
dan status
hemodinamik (MAP
dan irama jantung)
- Monitor dan catat
warna, jumlah dan
29
konsistensi secret.
Terapeutik:
- Gunakan teknik
aseptic
- Gunakan teknik
penghisapan tertutup
- Berikan oksigen
dnegan konsentrasi
tinggi
- Penghisapan ETT
dengan tekanan
rendah (80-120
mmHg)
Edukasi:
- Anjurkan melakukan
teknik nafas dalam
PENYAPIHAN
VENTILASI
MEKANIK
Observasi:
- Periksa kemampuan
untuk di sapih
(hemodinamik stabil,
kondisi optimal,
bebas infeksi)
- Monitor tanda-tanda
kelelahan otot
pernapasan
(kenaikan PCO2
mendadak, nafas
cepat dan dangkal)
30
Terapeutik:
- Posisikan pasien
semi fowler (30-45
derajat)
- Lakukan
penghisapan jalan
nafas
- Lakukan uji coba
penyapihan (30-120
menit dengan nafas
spontan yang dibantu
ventilator)
Edukasi:
- Ajarkan cara
pengontrolan nafas
saat penyapihan
Kolaborasi:
- Kolaborasi
pemberian obat yang
meningkatan
kepatenan jalan
nafas
31
meningkat dan kedalaman
2. Dispnea nafas, penggunaan
menurun otot bantu nafas,
3. Bunyi nafas bunyi nafas
tambahan tambahan)
menurun - Pertahankan
4. gelisah kepatenan jalan
menurun nafas
5. Pola nafas - Berikan posisi semi
membaik fowler/fowler
6. PO2 membaik - Edukasi:
7. PCO2 - Ajarkan melalukan
membaik teknik relaksasi
napas dalam
6. Risiko perfusi Setelah dilakukan PEMANTAUAN
serebral tidak tindakan TTV
efektif b.d keperawatan 4 x Observasi:
24 jam, - Monitor tekanan
diharapkan darah
perfusi serebral - Monitor nadi
membaik. KH: (frekuensi, kekuatan,
1. Tingkat irama)
kesadaran - Monitor pernapasan
meningkat - Monitor TD
2. Gelisah Terapeutik:
menurun - Dokumentasi
3. Tekanan darah
membaik PERAWATAN
JANTUNG
Observasi:
- Identifikasi tanda/gejala
primer penurunan curah
jantung (dyspnea,
32
kelelahan, edema,
ortopnea, paroxysmal
nocturnal dyspnea,
peningkatan CVP)
- Monitor tekanan darah
- Monitor saturasi oksigen
- Monitor keluhan nyeri
dada
- Monitor EKG 12 sadapan
- Monitor nilai
laboratorium jantung
Terapeutik:
- Posisikan pasien semi
fowler
- Berikan diet tinggi
jantung
- Berikan saturasi oksigen
untuk mempertahankan
saturasi oksigen >94%
Kolaborasi:
- Kolaborasi pemberian
antiaritmia
PERAWATAN
SIRKULASI
- Periksa sirkulasi
perifer (mis. nadi
perifer, edema,
pengisian kapiler,
warna, suhu)
- Identifikasi faktor
resiko gangguan
sirkulasi (mis.
diabetes, perokok,
hipertensi dan kadar
33
kolestrol tinggi)
Terapeutik:
- Hindari pemasangan
infus atau
pengambilan darah
di area keterbatasan
perfusi
- Hindari pengukuran
tekanan darah pada
ekstremitas dengan
keterbatasan perfusi
MANAJEMEN
CAIRAN
Observasi:
- Monitor status
hidrasi
- Monitor status
34
hemodinamik
(MAP)
Terapeutik:
- Catat Intake-output
- Berikan asupan
cairan sesuai
kebutuhan
Kolaborasi:
Kolaborasi pemberian
diuretic
8 Risko jatuh b.d Setelah dilakukan PENCEGAHAN
usia >65 tahun, tindakan JATUH
riwayat jatuh, keperawatan 4 x Observasi:
penurunan tingkat 24 jam, - Identifikasi faktor
kesadaran. diharapkan risiko resiko jatuh
jatuh menurun. - Identifikasi faktor
KH: lingkungan yang
1. Tingkat meningkatkan resiko
kesadaran jatuh
meningkat - Hitung resiko jatuh
2. Kemampuan - Terapeutik:
mengikuti - Pastikan roda tempat
perintah tidur terkunci
meningkat - Pasang handrall
3. Gelisah tenpat tidur
menurun - Tempatkan pasien
4. Fokus berisiko tinggi jatuh
perhatian dengan denga
membaik pemantauan perawat
5. Pola tidur dari nurse station
membaik
MANAJEMEN
35
SEDASI
Observasi:
- Periksa alergi
terhadap sedasi
- Monitor tingkat
kesadaran
- Monitor tanda vital
pasien
- Monitor saturasi
oksigen
Terapeutik:
- Berikan informed
consent
- Berikan obat sesuai
protocol dan
prosedur
Edukasi:
- Berikan tujuan dan
prosedur sedasi
Kolaborasi:
- Kolaborasi jenis dan
metode sedasi
4. Implementasi Keperawatan
Implementasi adalah fase ketika perawat mengimplementasikan
intervensi keperawatan. Implementasi merupakan langkah keempat dari
proses keperawatan yang telah direncanakan oleh perawat untuk
dikerjakan dalam rangka membantu klien untuk mencegah, mengurangi,
dan menghilangkan dampak atau respons yang ditimbulkan oleh masalah
keperawatan dan kesehatan.
36
5. Evaluasi Keperawatan
Evaluasi adalah penilaian hasil dan proses. Penilaian hasil
menentukan seberapa jauh keberhasilan yang dicapai sebagai keluaran dari
tindakan. Penilaian proses menentukan apakah ada kekeliruan dari setiap
tahapan proses mulai dari pengkajian, diagnosa, perencanaan, tindakan dan
evaluasi. Evaluasi merupakan tahap akhir yang bertujuan untuk menilai
apakah tindakan keperawatan yang telah dilakukan tercapai atau tidak
untuk mengatasi suatu masalah, berdasarkan SOAP.
37
BAB III
TINJAUAN KASUS
SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN SANTO BORROMEUS FORM ICU REV I
Nama : Tn. ET
PENGKAJIAN KEPERAWATAN PADA
Tgl.Lahir : 05-05-1952 L/P
DEWASA No RM : 00-58-56-24
DI RUANG INTENSIF Ruangan : ICU RS Borromeus
DATA AWAL
IDENTITAS PASIEN
Pendidikan : ( ) Belum Sekolah, ( ) PAUD, ( ) TK, ( ) SD, ( ) SMP, ( ) SMA, () Perguruan Tingii
RIWAYAT KESEHATAN
Diagnosa medis saat ini: Ensefalopati metabolik, Respiratory failure, Suspek pneumonia, PPOK exaserbasi akut, CHF,
Hipertensi
Pasien sesak nafas berkepanjangan akibat respiratory failure, sesak berkurang setelah diberikan alat bantu ventilator,
sesak dirasakan sejak ssbelum masuk rumah sakit.
Pasien mengalami sesak napas pada tanggal 29 november, pasien mengalami penurunan kesadaran dan memerlukan alat
bantu ventilator untuk bernapas akibat terganggunya proses ventilasi dan difusi.
38
Riwayat MRS sebelumnya ? ( )Tidak, () Ya. Lamanya :…........hr, alasan : kecelakaan lalu lintas
Riwayat dioperasi ? ()Tidak, ( ) Ya. Jenisnya
:..........................................................................................................................................................
Riwayat Kelainan Bawaan : () tidak ( ) ada :...........................................
Riwayat Alergi : () tidak ( ) ya jenis alergi :...........................................
PROSEDUR INVANSIF
Additional precaution yang dilakukan: () Droplet, ( )Airborn, ( ) Contact, ( ) Skin, ( ) Contact Multi-Resistent Organisme
DATA BIOLOGIS
Antopometri : BB = 70 Kg, TB = tidak terkaji, Lingkar kepala = tidak terkaji , Lingkar lengan atas = Tidak terkaji,
Lingkar perut = Tidak terkaji
Tanda-tanda vital :
Suhu : 37.10C , Pernafasan: 29 x/menit, Nadi : 83 x/menit, Tekanan Darah :134/101 mmHg MAP : 112 mmHg
Keadaan umum pasien tampak sakit berat, kesadaran somnolen, GCS 9, terpasang infus ditangan kanan, terpasang ETT
pada mulut, terpasang monitor dan ventilator dengan Mode:. Spontan, P control: 15n cmH20, PEEP: 5 cmH20, Oksigen:
50%, Pressure Support 10 cmH20, terpasang NGT di hidung kiri, terpasang kateter urin, dan terpasang restrain di
ekstermitas atas dan bawah.
39
PENGKAJIAN PRIMER
AIRWAYS
Assesment :
Bebas Tersumbat
Lain-lain:
Masalah Keperawatan:
Bersihan jalan nafas tidak efektif
Resusitasi :
Dilakukan suction (Pukul 14.00)
Re-evaluasi :
Sputum putih, kental, dan banyak.
BREATHING
Assesment :
Dada simetris : Ya Tidak Sesak nafas : Ya Tidak
Suara nafas :
Kanan : Ada : Jelas Menurun Ronchi Kiri : Ada : Jelas Menurun Ronchi
Wheezing, Tidak Ada Wheezing, Tidak Ada
Saturasi O2 : 96 %
Pada: Suhu ruangan Nasal canule (.......l/m) NRFM (.......l/m) NFM (.......l/m)
Lain-lain
Masalah Keperawatan:
Pola nafas tidak efektif
Resusitasi :
Posisi semi fowler dan menangkan klien agar tidak gelisah (Pukul 13.30)
Re-evaluasi :
RR 24 x/menit, saturasi oksigen 97% (pukul 13.50)
40
CIRCULATION
Assesment :
Masalah Keperawatan:
Perfusi perifer tidak efektif
Resusitasi :
Memposisikan klien semi fowler dan melakukan pemantauan cairan (14.00)
Re-evaluasi :
TD 125/90 mmHg, MAP 101 mmHg.
DISABILITY
Assesment :
Alert Pain response
REAKSI PUPIL
Cepat 3 3
Konstriksi
Masalah Keperawatan:
Resusitasi :
Pemberian obat brainact 250 mg, pemberian obat sedasi dan posisi semi fowler (pukul 12.25)
Re-evaluasi :
Klien tampak tenang, gelisah menurun (13.00)
41
EXPOSURE
Assesment :
PENGKAJIAN SEKUNDER
Sistem Respirasi
Sputum : () Ya , Warna: putih Konsistensi: kental Volume: 15 cc Bau: ( ) Ya () Tidak
42
Alat bantu nafas: () ETT ( ) Trakeostomi
() Ventilator : Mode:. Spontan, P control: 15n cmH20, PEEP: 5 cmH20, Oksigen: 50%, Pressure Support 10 cmH20
Oksigenasi : _____ lt/mnt ( )Nasal kanul ( )Simpel mask ( )Non RBT mask ( )RBT Mask ( )Head box ()Tidak
ada
Sistem Kardiologi
COR:
Inspeksi:
Ictus cordis tidak terlihat, clubbing of the finger tidak ada, cyanosis tidak ada, epistaksis tidak ada
Palpasi:
Ictus cordis tidak terkaji, capillary refill time <2 detik. Thrill tidak ada, edema tidak ada
Perkusi:
Terdengar: sonor
Batas-batas jantung:
Atas: ICS 2 Dextra Kiri: ICS 2 Sinistra
Bawah: ICS 4 Dextra Kanan: ICS 4 Midklavikula
Auskultasi:
Bunyi jantung I terdengar Lup di apeks HR 83 x/menit
Bunyi jantung II terdengar Dup di apeks
Bunyi jantung tambahan: murmur tidak ada, irama gallop tidak ada
43
Masalah Keperawatan: Penurunan curah jantung
Sistem Neurologi
Sistem Urinary
Inspeksi:
Distensi regio hipogastrika tidak ada
BAK : () Lancar ( ) Inkontinensia ( ) Anuri ( ) oliguri
Total Balance : Intake - Output= (infus masuk 450cc + nutrisi 200cc + minum 30 cc) – (Urine 120 cc) = 680 cc-120 cc
(Tidak balance)
Palpasi:
Nyeri tekan regio hipogastrika tidak terkaji karena pasien disedasi
Perkusi:
Regio hipogastrika terdengar normal
44
Nyeri ketuk daerah costovertebral angle kanan tidak ada, dan kiri tidak ada
Sistem Pencernaan
Frekuensi BAB : 1x1 Konsistensi: lembek Warna: kuning kecokelatan darah ( ) lendir ( )
Mulut: bibir kering, stomatitis tidak ada, lidah merah, gingivitis tidak ada, gusi berdarah tidak ada, tonsil tidak terkaji
Gigi: caries tidak ada, gigi tanggal tidak ada
Terpasang/tidak terpasang NGT hari ke-10
Abdomen: bentuk abdomen datar, bayangan/gambaran bendungan pembuluh darah vena tidak ada, spider naevi tidak
ada,
distensi abdomen tidak ada.
Anus : hemorrhoid tidak ada, fissura tidak ada, fistula tidak ada, tanda – tanda keganasan tidak ada.
Auskultasi:
Bising usus 6 x/menit, lemah/kuat
Palpasi:
Hepar tidak teraba, nyeri tekan tidak terkaji Limpa tidak teraba, nyeri tekan tidak terkaji
Nyeri tekan di regio/kuadran tidak ada Nyeri lepas di regio/kuadran tidak ada
Perkusi:
Terdengar timpani
Sistem Endokrin
Inspeksi:
Bentuk tubuh: normal
Pembesaran kelenjar tiroid tidak ada
45
Pembesaran pada ujung-ujung ekstremitas atas atau bawah tidak ada, Lesi tidak ada
Palpasi:
Kelenjar tiroid tidak teraba
Inspeksi:
Penglihatan: conjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik, palpebra ada, pupil isokor, reaksi cahaya cepat, diameter 3
mm,
Pendengaran: pinna simetris , canalis auditorius eksterna normal, Refleks cahaya politzer ada, membran timpani normal,
battle sign tidak ditemukan, pengeluaran cairan dari telinga tidak ada, lesi tidak ada
Palpasi:
Penglihatan: TIO tidak tinggi Pendengaran: pinna berfungsi
Keluhan lain: Tidak ada
Sistem Reproduksi
Inspeksi:
Mammae simetris
Genetalia eksterna: normal, lesi tidak ditemukan, pengeluaran cairan/discharge (warna, bau, banyak/jumlah) tidak ada
Edema pada genetalia eksterna tidak ada
Hipospaida tidak ada edema scrotum tidak ada, massa tidak ada, lesi tidak ada.
Palpasi:
46
Mammae: massa/benjolan tidak ada, lesi tidak ada
Gynaecomastia tidak ada
Keluhan lain : Tidak ada keluhan
Sistem integumen
Inspeksi:
Rambut: warna hitam, distribusi merata, tidak rontok
Kuku: normal, tidak ada clubbing finger
Kulit: normal, warna sawo matang
Lesi (lokasi, ukuran, tanda-tanda peradangan) tidak ada
Ptekie tidak ada, ekimosis tidak ada
Palpasi:
Tekstur kulit kasar, Kelembaban normal,
Turgor kulit elastis, Nyeri tekan tidak terkaji karena pasien di sedasi
Sistem Muskuloskeletal
47
Drop Foot : ( ) ada ()tidak ada
DATA PSIKOLOGIS
Mengalami kekerasaan Fisik : () Tidak Ada ( ) Ada Mencederai diri/orang lain ( ) Pernah ( ) Tidak Pernah
Pekerjaan Orang Tua : ( ) Pegawai Swasta ( ) PNS ( ) TNI/POLRI () Wiraswasta ( ) Petani ( ) Tidak bekerja
Pembiayaan Kesehatan : () Biaya sendiri ( ) Asuransi ( ) Perusahaan ( ) Lain-lain, jelaskan :_______________________
Kegiatan beribadah : ( ) Selalu ( ) Kadang ( ) Tidak pernah Perlu Rohanian : ( ) Tidak ( ) Ya,
jelaskan____________________________
48
CPOT SCALE
Gerakan tubuh Tidak ada gerakan 0 Tidak bergerak (tidak kesakitan) atau posisi normal
abnormal (tidak ada gerakan lokalisasi nyeri)
Alarm aktif tapi mati 1 Batuk, alarm berbunyi tetapi berhenti secara spontan
sendiri
Berbicara jika pasien Berbicara dalam nada 0 Bicara dengan nada pelan
diekstubasi normal atau tidak ada suara
Ketegangan otot Tidak ada ketegangan otot 0 Tidak ada ketegangan otot
49
Faktor pemicu/yang memperberat: Tidak dapat dikaji
MANAJEMEN SEDASI
Skor -3 Ada Gerakan (Tidak ada kontak mata) terhadap suara Penggunaan Sedasi :
Skor -2 Bangun singkat (<10 detik) dengan kontak mata terhadap rangsangan () Ya / ( ) Tidak
suara
Skor -1 Pasien belum sadar penuh, tetapi masih dapat bangun (>10 detik), dengan
kontak mata/mata terbuka bila ada rangsangan suara Target Skor RASS: 0 sampai – 3
Skor 1 Cemas atau khawatir tetapi gerakan tidak agresif Skor RASS Pasien:
0
Skor 2 Pasien sering melakukan gerakan yang tidak terarah atau pasien dan
ventilator tidak sinkron
Skor 3 Pasien menarik selang endotrakheal atau mencoba mencabut kateter dan
perilaku agresif terhadap perawat
1 2 3 4 Skor
Kelembaban Lembab terus menerus Sangat lembab Kadang-kadang Tidak ada lembab 4
lembab
Mobilisasi Tidak Dapat bergerak Pergerakan sangat Keterbatasan ringan Tidak ada 3
terbatas keterbatasan
Total Skor 19
< 10= risiko sangat tinggi, 10 – 12= risiko tinggi, 13 – 14= risiko sedang, 15-18= berisiko, > 19= risiko rendah/ tidak berisiko
50
Masalah Keperawatan : Tidak ada masalah keperawatan
3 Tidak dapat makan secara oral, disfagia, muntah berat atau Semua pasien anak
diare > 2x sehari dikatakan berisiko
malnutrisi, oleh
3 Factor stress 0 Tidak ada sebab itu semua
pasien anak dirawat
1 Pembedahan ringan atau infeksi oleh Tim Terapi Gizi
RS untuk dilakukan
2 Penyakit kron, bedah mayor, inflammatory bowel disease pengkajian dan
atau penyakit gastrointestinal monitoring lebih
lanjut (PNC/
3 Patah tulang, luka bakar, sepsis berat, penyakit malignancy Pediatric Nutrition
Care)
4 Persentil berat 0 BB/TB sesuai standar
badan
1 90-99% BB/TB
2 80-89% BB/TB
TERAPI OBAT
51
perbaikan gejala dapat terlihat pada 15-20 menit.
Efek puncak furosemide yang diberikan per oral terjadi setelah 1-2 jam. Durasi kerja
furosemide adalah 2 jam apabila diberikan intravena, dan 6-8 jam pada pemberian per oral.
Distribusi: Furosemide berikatan dengan protein 99% (albumin). Kemudian menuju tubulus
proksimal dan disekresikan melalui organic transporter lalu bekerja pada kotransporter
Na+/K+/Cl- .
Pada pasien neonatus, distribusi 1,5-6 kali lebih besar dibandingkan pasien dewasa.
Metabolisme: Metabolisme di hepar minimal, kurang lebih 10%. Metabolit berupa glucuronide
(2-amino-4-chloro-5-sulfamoylanthranilic acid)
Eliminasi: Furosemide diekskresikan di urin dalam 24 jam, 50% dalam bentuk furosemide dan
sisanya diubah menjadi glucoronide. Sebagian kecil juga diekskresikan di feses.
Waktu paruh furosemide bervariasi, pada pasien tanpa gangguan ginjal, jantung, atau hati
sekitar 1,5-2 jam. Pada penderita gangguan ginjal 2,8 jam, penyakit hati 2,5 jam, dan pasien
gagal jantung 2,7 jam. Pada neonatus, waktu paruh 6-20 kali lebih lama dibandingkan pasien
dewasa.
52
(misalnya depresi, euforia, insomnia, perubahan suasana hati, perubahan kepribadian),
peningkatan kerentanan dan keparahan infeksi, gangguan penyembuhan, HTN, Na dan retensi
cairan, kolaps CV (dosis tinggi), tukak lambung, katarak subkapsular, atrofi kulit, jerawat,
kelemahan otot, retardasi pertumbuhan, penurunan K darah; depresi kulit dermal/subdermal
pada tempat inj. Topikal: Gatal, eritema terbakar, vesikulasi; jarang, folikulitis, hipertrikosis,
dermatitis perioral, perubahan warna kulit, reaksi alergi pada kulit.
Farmakokinetik :
Absorpsi
diabsorpsi dengan cepat, dalam onset 1-2 jam sudah mencapai puncak, dan bertahan selama 30-36 jam.Pemberian secara
intramuskular mencapai puncak dalam 4-8 hari dan bertahan selama 1-4 minggu. Pemberian intraartikular mencapai
puncak dalam 1 minggu dan bertahan selama 1-5 minggu.
Distribusi
Volume distribusi medixon adalah 0,7-1,5 L/kg. Medixon dapat melewati sawar plasenta.
Metabolisme
Medixon dimetabolisme secara ekstensif di liver menjadi glukuronida inaktif dan metabolit sulfat.
Eliminasi
Metabolit inaktif dan sebagian kecil obat dalam bentuk tidak diubah diekskresikan melalui ginjal. Sebagian kecil
diekskresikan dalam feses. Waktu paruh medixon 3-3,5 jam.
53
Dosis untuk pasien : 2,5 cc
Indikasi untuk pasien : induksi dan pemeliharaan anestesi umum; sedasi penderita yang diberi napas buatan
(ventilated) dan mendapat perawatan intensif, digunakan hingga 3 hari
Kontra indikasi obat : tidak boleh digunakan untuk sedasi pada ventilated children dan remaja berusia di bawah 17
tahun (berisiko menyebabkan efek serius meliputi asidosis metabolik, gagal jantung,
rhabdomiolisis, hiperlipidemia dan hepatomegali)
Efek samping obat : Apnea selama induksi
Farmakokinetik :Farmakokinetik propofol memiliki beberapa tahapan proses mekanisme dalam tubuh, mulai
dari masuk kedalam tubuh secara intravena, kemudian bekerja melalui sistem saraf pusat.
Parameter farmakokinetik dari propofol bervariasi dari tiap pasien, bergantung pada berat
badan, jenis kelamin, dan umur.
Absorbsi
Propofol diabsorpsi secara cepat selama 15-30 detik, diikuti dengan distribusi cepat dari plasma ke sistem saraf pusat.
Durasi propofol bekerja yaitu 5-10 menit.
Distribusi
Propofol bersifat lipofilik, sehingga terakumulasi di dalam jaringan dan terdistribusi kembali ke dalam plasma apabila obat
dihentikan. Propofol berikatan dengan protein albumin dan hemoglobin antara 97-99%.
Metabolisme
Propofol dimetabolisme melalui hepar, diubah kedalam bentuk sulfat larut air dan berkonjugasi dengan glukoronida
(50%), hasil hidroksilasi propofol yaitu hidroksi propofol memiliki efek hipnosis 1/3 dari propofol.
Eliminasi
Propofol diekskresikan dalam urine (88% sebagai metabolit, 40% berikatan dengan glukoronida, dan <2% dalam feses.
Half-life eliminasi dimulai setelah 40 menit, hingga 4-7 jam. Setelah 10 hari pemberian pada pasien ICU, eliminasi dapat
terjadi 1-3 hari
Absorbsi
Sediaan tablet: Cepat diabsorbsi setelah pemberian oral di usus halus. Oral bioavailabilitas adalah 40–45% pada dewasa
dan 36% pada anak-anak. Bioavailabilitas injeksi intramuskular melebihi 90%.
Pemberian secara rektal diabsorbsi secara cepat dan plasma konsentrasi dicapai dalam waktu 30 menit. Bioavailabilitas
midazolam rektal adalah 50 % (range 40–65%)
Pemberian intranasal, secara cepat di absorbsi. Mean peak plasma concentration dicapai dalam waktu 10,2–12,5 menit
dengan bioavailabilitas 55 dan 57%.
Distribusi
Volume distribusi midazolam adalah 0,6–1,9 L/kg. Midazolam berikatan dengan plasma protein hingga 97%, terutama
albumin.
Volume distribusi (Vd) ditentukan oleh enam dosis tunggal pemberian dosis dengan jarak 1–3.1 L/kg. Pada wanita, usia
tua, dan penderita obesitas berhubungan dengan peningkatan nilai volume distribusi midazolam itu sendiri. Pada manusia,
midazolam ditemukan dalam plasenta dan masuk ke dalam sirkulasi fetus, selain itu ditemukan juga pada ASI dan cairan
54
serebrospinal.
Metabolisme
Midazolam di metabolisme di liver melalui jalur hidroksilasi melalui CYP3A4 dan CYP3A5. Hasil dari metabolisme adalah
alfa-hydroxy midazolam (60%) dan 4-hydroxy midazolam (5%), dimana keduanya tersedia dalam bentuk aktif.
Eksresi
Midazolam memiliki paruh waktu eliminasi 1,5–3,5 jam. Midazolam di ekskresi melalui urin dalam produk glucuronide
conjugate. Jumlah hasil ekskresi tidak berubah dalam urin setelah pemberian IV dosis tunggal. Midazolam diekskresikan
melalui urin dalam bentuk konjugasi 1-hydroxymethyl midazolam.
Farmakokinetik : Konsentrasi puncak candesartan dalam plasma tercapai sekitar 3–4 jam setelah konsumsi
peroral dan waktu paruh plasma terhitung sekitar 9 jam pada individu yang sehat. Pada
individu dengan hipertensi, waktu paruh dilaporkan lebih lama.
Absorbsi
Candesartan cilexetil adalah prodrug dari candesartan. Setelah konsumsi, candesartan cilexetil diubah menjadi bentuk
aktif candesartan dengan bioavailabilitas absolut sekitar 15–40%. Konsentrasi serum puncak rata-rata tercapai 3–4 jam
setelah konsumsi tablet. Konsentrasi serum candesartan meningkat secara linear dengan peningkatan dosis dalam kisaran
dosis terapeutik.
Saat dikonsumsi dengan makanan, konsentrasi puncak meningkat sebesar 26% dan laju penyerapan juga meningkat. Akan
tetapi, perubahan ini tidak menyebabkan efek klinis yang signifikan.
Distribusi
Volume distribusi candesartan adalah 0,13 L/kg. Candesartan sangat terikat pada protein plasma (>99%) dan tidak
menembus sel darah merah. Pada percobaan di tikus, candesartan dilaporkan tidak dapat menembus sawar darah otak
dengan baik, tetapi dapat menembus sawar plasenta dan mencapai fetus.
Metabolisme
Sebagian besar obat diubah menjadi candesartan aktif melalui proses hidrolisis ester saat absorbsi di saluran cerna.
Sebagian kecil obat akan dimetabolisme di hepar (<20%) untuk membentuk metabolit inaktif melalui proses O-
deethylation.
Eliminasi
Sekitar 26% dosis oral akan dieliminasi tanpa perubahan di dalam urine. Candesartan terutama diekskresi melalui urine
(33%) dan melalui feses via sistem bilier (67%). Klirens plasma candesartan dipengaruhi oleh insufisiensi ginjal tetapi
tidak dipengaruhi oleh insufisiensi hati ringan sampai sedang.
55
Nama obat : Prospan
Golongan : Mukolitik
Dosis untuk pasien : 7,5 cc
Indikasi untuk pasien :Meredakan batuk dan mukolitik
Kontra indikasi obat :hipersensitivitas
Efek samping obat : efek laksatif
Farmakokinetik : Aspek farmakokinetik amlodipine mencakup aspek absorbsi, distribusi, metabolisme, dan
ekskresi obat.
Absorpsi
Amlodipine cepat diserap menyusul konsumsi oral dengan bioavailabilitas hingga mencapai 64%. Konsentrasi amlodipine
dalam plasma mencapai puncaknya 6-12 jam setelah dikonsumsi setelah melalui metabolisme di hati.
Kadar plasma semakin meningkat dengan penggunaan amlodipine jangka panjang sehubungan dengan masa paruh
eliminasi yang panjang (35-48 jam) dan efek saturasi metabolisme hepatik. Kadar plasma ini akan stabil setelah
pemberian amlodipine secara rutin selama 7-8 hari.
Distribusi
Mengingat volume distribusinya yang besar (21,4±4,4 L/kg), amlodipine terdistribusi masif ke kompartemen jaringan. 93-
98% amlodipine dalam plasma terikat dengan protein.
Metabolisme
Amlodipine dimetabolisme di hati menjadi bentuk metabolit inaktifnya. Metabolit amlodipine tidak memiliki aktivitas
antagonis kalsium dan hanya sedikit bentuk obat asli yang diekskresikan melalui urin.
Eskresi
Sebagian besar metabolit amlodipine (62% dosis yang dikonsumsi) diekskresikan melalui urin dan sisanya melalui feses.
Terkait besarnya proporsi metabolit yang diekskresikan melalui urin, pada pasien usia lanjut, bersihan amlodipine dapat
mengalami penurunan sehingga diperlukan penyesuaian dosis.
Farmakokinetik : Farmakokinetik levofloxacin diserap cepat setelah administrasi melalui rute oral dan
56
didistribusikan secara luas.
Absorbsi
Levofloxacin diserap secara cepat setelah administrasi oral. Peak plasma concentration biasanya 1 sampai 2 jam setelah
dosis per oral. Bioavailabilitas tablet 500 mg dan 750 mg mencapai hingga 99%, menggambarkan penyerapan dosis per
oral secara total.
Apabila diberikan melalui intravena, mean ± SD peak plasma concentration pada dosis 500 mg pemberian selama 60 menit
mencapai 6.2 ± 1.0 mg/mL, dan pada dosis 750 mg pemberian selama 90 menit mencapai 11.5 ± 4.0 mg/mL.
Dosis levofloxacin berbentuk linear dan bisa diprediksi setelah pemberian regimen per oral atau intravena. Kondisi stabil
levofloxacin dalam tubuh dicapai dalam waktu 2 jam pada regimen 500 mg maupun 750 mg pemberian tunggal. Rata-rata
peak plasma concentration pada pemakaian 1 kali sehari secara multipel adalah 5.7 ± 1.4 mg/mL dan 0.5 ± 0.2 mg/mL
pada sediaan 500 mg, serta 8.6 ± 1.9 mg/mL dan 1.1 ± 0.4 mg/mL pada sediaan 750 mg. Sedangkan rata-rata peak plasma
concentration pada pemberian intravena 500 mg adalah 6.4 ± 0.8 mg/mL dan 0.6 ± 0.2 mg/mL, dan pada pemberian 750
mg intravena adalah 12.1 ± 4.1 mg/mL dan 1.3 ± 0.71 mg/mL.
Konsentrasi plasma setelah pemberian oral maupun intravena jika dibandingkan absorpsinya adalah sama. Maka rute per
oral dan per intravena dapat disesuaikan dengan keadaan pasien. Namun administrasi per oral levofloxacin yang dibarengi
dengan makanan memiliki peak plasma concentration lebih lama 1 jam, serta konsentrasinya berkurang sebanyak 14%.
Maka tablet levofloxacin lebih baik dikonsumsi 1 jam sebelum makan atau 2 jam setelah makan.
Distribusi
Rata-rata volume distribusi levofloxacin berkisar dari 74 sampai 112 L setelah administrasi tunggal dan multipel, sediaan
500 mg atau 750 mg. Hal ini menggambarkan bahwa distribusi levofloxacin ke jaringan tubuh bersifat luas.
Levofloxacin bisa mencapai jaringan kulit dan lepuh kulit dalam waktu 3 jam setelah administrasi. Penetrasi levofloxacin
ke jaringan paru-paru dapat dikatakan sangat bagus yaitu 2-5 kali lebih tinggi dibandingkan dengan jaringan lainnya,
dengan rata-rata 2.4 ± 11.3 mg/mL dalam 24 jam. Levofloxacin menempel pada serum protein 24%-38% terutama serum
albumin pada manusia.
Metabolisme
Levofloxacin secara konsisten dan stabil dimetabolisme sebagai D-ofloxacin. Levofloxacin dimetabolisme dan
diekskresikan di urin dalam keadaan yang sama. Pada administrasi oral, 87% ditemukan di urin dalam waktu 48 jam, dan
ditemukan di feses <4% dalam waktu 72 jam.
Ekskresi
Levofloxacin diekresikan di urine dalam keadaan yang tidak diubah. Rata-rata waktu paruh 6-8 jam setelah pemberian
levofloxacin 500 mg atau 750 mg secara oral atau intravena. Rata-rata kecepatan waktu pembersihan levofloxacin dalam
tubuh manusia adalah 144-226 mL/min, sedangkan pembersihan pada renal berkisar antara 96-142 mL/min. Tidak ada
kristal levofloxacin yang ditemukan di dalam sampe urin.
57
Farmakokinetik :
Absorpsi
Absorpsi omeprazole terjadi di usus halus, sekitar 3─6 jam. Onset kerja obat, yaitu efek antisekresi setelah satu jam
konsumsi per oral. Efek tersebut berlangsung selama 73 jam. Konsentrasi puncak dalam plasma darah adalah 0,5─3,5 jam.
Distribusi
Ikatan protein obat sebesar 90─95%. Volume distribusi: 0,39 L/kgBB. Bioavailabilitas obat per oral adalah 30─40%,
setelah pengulangan dosis menjadi 60%.
Waktu paruh omeprazole sekitar 0,5─1 jam. Namun, waktu paruh ini akan meningkat hingga 3 jam, apabila seseorang
mengidap gangguan fungsi hati. Waktu paruh juga akan menyimpang dari 1 jam hingga 5 jam karena formulasi obat,
dan/atau efek dari makanan. Karena waktu paruh yang pendek, dan tidak semua pompa enzim dapat diaktifkan, maka
perlu waktu sekitar 3 hari untuk mencapai kadar yang stabil dalam darah untuk menghambat sekresi asam lambung
Metabolisme
Metabolisme omeprazole terutama dilakukan oleh enzim hati CYP2C19. Metabolit yang dihasilkan oleh biotransformasi
obat di hepar adalah:
Hydroxyomeprazole
Asam karboksilat
Omeprazole sulfone
Efektivitas metabolisme obat bergantung pada fenotip tiap individu. Fenotip orang dengan metabolisme omeprazole
buruk bervariasi, tertinggi pada orang Asia, 13-23%.
Eliminasi
Clearance total dalam tubuh adalah 500─600 mL/menit. Omeprazole akan diekskresikan 77% melalui urin dan 16-19%
melalui feses
LAIN-LAIN
Diit : Cair
Mobilisasi: : bedrest
PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium:
58
Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal
Glukosa urin - <30
Bilirubin - <0.5
Keton - <10
pH 5,5 4.6-8.0
Nitrit - -
Blood 250 ery/uL <10
Leukosit esterase 26 Ieu/uL <25
Protein - <10
Albumin urin 30.0 mg/L <30
Kreatinin 100 mg/dL 39-259
Albumin Creatinin 300 mg/gcr <30
Sel epitel 6.1 /uL <58
leukosit 47.7 <5.3
eritrosit 1660.6 <9.1
Ureum darah 59 mg/dL 19-55
Kreatinin darah 0.8 mg/dL <1.2
Magnesium 3.10 mg/dL 1.8-2.4
EKG:
Sinus takikardi
59
Radiologi:
-Bronchopneumonia kanan sqa. Pneumonia sublobar kiri bawah, dibandingkan foto tanggal 29 bulan 11.
-Posisi dan kedudukan ETT baik, tip distal terpasang setinggi v thorakal 3, jarak kurang lebih 5,3 cm dari carina.
(Agnes, Nuria.Ruth)
60
PENGELOMPOKAN DATA DAN ANALISA DATA
1. Pengelompokan Data
2. Analisa Data
61
Kontraktilitas miokard
menurun
hipervolemia
4 DS: Edema pulmo Bersihan jalan nafas
Tidak dapat dikaji tidak efektif
Produksi mukus meningkat
DO:
-Batuk tidak efektif Hipersekresi mukus
-Sputum berlebih
-Suara nafas ronkhi
Bersihan jalan napas tidak
-Gelisah
efektif
-RR 29 x/mnt
5 DS: Edema pulmo Gangguan pertukaran
Tidak dapat dikaji gas
Sel surfaktan menurun
DO:
-Takikardia (hasil EKG) Penurunan complain paru
-Bunyi nafas tambahan
ronkhi
Actelectasis
-Gelisah
62
-RR 29 x/mnt
-Kesadaran menurun Kolaps paru
Gangguan difusi
Saraf vagus
Hiperventilasi
RR meningkat
CHF kanan
63
Kontraktilitas miokard
menurun
DS:
Aliran darah ke otak menurun
- Diagnosa medis enselopati
-Somnolen GCS 9
Vasokontriksi cerebral
Penurunan kesadaran
Resiko jatuh
DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Penurunan curah jantung b.d perubahan pre load
2. Perfusi perifer tidak efektif b.d penurunan aliran arteri dana tau vena
3. Hipervolemia b.d gangguan mekanisme regulasi
4. Bersihan jalan napas tidak efektif b.d hipersekresi jalan napas
5. Gangguan pertukaran gas b.d ketdakseimbangan ventilasi – perfusi
6. Pola nafas tidak efektif b.d hambatan upaya napas
7. Nyeri akut b.d agen pencendera fisiologis
8. Risiko perfusi miocard tidak efektif d.d hipoksia
9. Risiko perfusi serebral tidak efektif d.d enselopati
10. Risiko jatuh d.d usia >65 tahun dan riwayat jatuh
INTERVENSI KEPERAWATAN
64
No
SDKI SLKI SIKI Rasional
Dk
1 Penurunan curah Setelah PERAWATAN
jantung b.d dilakukan JANTUNG
preload tindakan
keperawatan 3 Observasi:
DS: x 24 jam - Identifikasi - Untuk mengetahui
Tidak dapat dikaji diharapkan tanda/gejala primer tanda penurunan
curah jantung penurunan curah curah jantung
meningkat. jantung (dyspnea,
KH: kelelahan, edema,
DO: 1. Takikardia ortopnea,
-Hasil EKG sinus menurun (5) paroxysmal
takikardi 2. Tekanan nocturnal dyspnea,
-tekanan darah darah peningkatan CVP) - untuk mengetahui
134/101 mmHg membaik (5) - Monitor tekanan adanya
-Oliguria 3. Oliguria darah vasokontriksi
menurun (5) pembuluh darah
- Untuk mengetahui
kadar 02 dalam
- Monitor saturasi tubuh
oksigen
- Untuk mengetahui
adanya hambatan
pada pembuluh
- Monitor keluhan darah pada
nyeri dada jantunng
- Untuk mengetahui
aktivitas jantung
66
Tgl Jam No. Dk Implementasi Nama & Ttd
68
membaik RR 29 x/mnt, terdapat
sputum pada airway
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan
69
II S: Tidak dapat dikaji Kelompok
O: Denyut nadi lemah, akral dingin
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan
70
mmHg, takikardia
A: Masalah belum teratasi
P: Intervensi dilanjutkan
71
P: Intervensi dilanjutkan
72
P: Intervensi dilanjutkan
73
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada kasus yang dikelola oleh kelompok kami, diketahui bahwa Tn. E
berusia 69 tahun, dengan diagnose medis respiratotry failure. Seperti yang kita
ketahui respiratory failure kondisi ketidakmampuan sistem pernapasan melakukan
satu atau dua fungsi pertukaran gas yaitu oksigenasi dan eliminsi karbondioksida,
sehingga terdapat gangguan pada proses ventilasi dan difusi. Gagal nafas akan
mempengaruhi banyak gangguan pada sistem tubuh. Maka dari itu pasien
mengalami penurunan kesadaran, memerlukan alat bantu ventilator untuk
bernapas dan monitor jantung akibat terganggunya proses ventilasi dan difusi
tersebut.
Sesuai data yang kami dapatkan terdapat dua diagnose medis utama yaitu,
enselopati akibat dari hipoksia dan respiratory failure akibat dari PPOK exaserbasi
akut, suspek pneumonia, CHF dan hipertensi. Terjadinya respiratory failure
sesuai dengan teori yang kami dapatkan yaitu karena adanya etiologi yang
berhubungan langsung dengan sistem pernapasan seperti penyakit paru obstruksi
kronik, asma, pneumonia dan lainnya.
Pada saat melakukan pengkajian data, didapatkan data bahwa Tn. E
mempunyai riwayat jatuh dan mengalami sesak nafas saat datang ke Unit Gawat
Darurat. Berdasarkan teori sesak nafas (dyspnea) merupakan salah satu
manifestasi dari respiratory failure, yang mengakibatkan rendahnya kadar oksigen
dalam tubuh dan tingginya kadar karbondioksida. Sehingga terjadi gangguan
asam-basa dalam tubuh.
Pada saat melakukan pengkajian awal, keadaan umum pasien tampak sakit
berat, kesadaran somnolen, GCS 9, terpasang infus ditangan kanan, terpasang
ETT pada mulut, terpasang monitor dan ventilator dengan Mode: Spontan, P
control: 15n cmH20, PEEP: 5 cmH20, Oksigen: 50%, Pressure Support 10
cmH20, terpasang NGT di hidung kiri, terpasang kateter urin, dan terpasang
restrain di ekstermitas atas dan bawah.
Data pengkajian primer, didapatkan adanya masalah keperawatan airway,
breathing, circulation, disability. Airway, terdapat adanya produksi sputum
74
berlebih pada jalan napas sehingga diambil masalah keperawatan bersihan jalan
nafas tidak efektif. Breathing, dengan RR 29 x/mnt dan terdapat suara nafas
tambahan ronchi diparu kanan, maka di ambil masalah keperawatan pola nafas
tidak efektif. Circulation, tekanan darah interval 134/ 101 mmHg, MAP 111
mmHg, HR interval 92 x/mnt, nadi lemah, maka terdapat masalah keperawatan
risiko perfusi jaringan tidak efektif. Disability, verbal response dengan GCS 9,
dengan data tambahan diagnose medis enselopati, maka diambil masalah
keperawatan risiko perfusi serebral tidak efektif.
Pada pengkajian sekunder didapatkan beberapa diagnosa keperawatan
pada Tn. E yang sesuai dengan teori. Penurunan curah jantung berhubungan
dengan perubahan preload, ditandai dengan adanya hipertensi, hasil EKG sinus
takikardi, dengan tekanan darah interval 134/ 101 mmHg yang menyebabkan
kurangnya cardiac output. Di dukung dengan diagnose medis CHF pada Tn. E.
Keadaan ini juga dapat menyebabkan resiko perfusi miocard tidak efektif yang
disebabkan oleh kurangnya aliran darah yang mencaai miocard, sementara
miocard memerlukan sulpai O2 yang cukup untuk melakukan kontraktilitas.
Hipervolemi disebabkan karena lebih banyak intake dari pada output
(oliguria) pemberian diuretic diperlukan untuk mengeluarkan cairan berlebih
dalam tubuh pasien aga hasil balance cairan tidak positive, dan mencegah
terjadinya edema. Penggunaan diuretic juga untuk mengurangi beban cairan dan
obat-obatan perangsang jantung untuk meningkatkan kontraktilitas jantung dan
volume sekuncup agar penimbunan cairan di paru berkurang. Gangguan
pertukaran gas terjadi akibat tergangguan proses ventilasi dan difusi yang
menyebabkan jumlah kadar oksigen dalam tubuh bekurang dan meningkatkan
kadar CO2 dalam tubuh, sehingga tubuh dalam suasana asam (asidosis), akibatnya
dapat terjadi gangguan asam-basa dalam tubuh.
Enselopati yang di alami Tn. E disebabkan karena terjadinya hipoksia,
yang mempengaruhi tingkat kesadaran, sehingga kesadaran menurun dengan GCS
9 (somnolen), maka dapat diambil diagnosa keperawatan risiko perfusi serebral
tidak efektif.
Tn. E mengalami penurunan kesadaran dan dalam pengaruh obat, klien
tampak gelisah meskipun sudah di pasang restrain pada kedua ekstermitas (atas
75
dan bawah) maka dari itu pasien diberikan sedasi dalam kasus ini klien di beri
propopol agar tetap tenang dan toleransi terhadap pemasangan ventilator. Ketika
diberikan sedasi klien tampak tenang, namun beberapa saat setelah itu, mulai
gelisah kembali.
Saat melakukan pengkajian skala nyeri dengan CPOT scale didapatkan
skala nyeri 6, termasuk dalam kategori nyeri berat. Di tandai dengan mengerutkan
kening, mengangkat alis, pergerakan tidak kondusif, berusaha mencoba untuk
duduk, tidak mengikuti perintah dan mencoba keluar dari tempat tidur, meskipun
sudah dipasang restrain dan gerakan sangat kuat. Maka dari itu di angkat diagnosa
keperawatan nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis.
Hasil radiologi menunjukan bronchopneumonia kanan sqa. Pneumonia
sublobar kiri bawah yang ditandai dengan adanya leukositosis. Hasil EKG
menunjukan sinus takikardi. Hasil diskusi dari kelompok juga menyatakan bahwa
kondisi diatas tesebut di perberat dari fakor usia Tn. E, yang diketahui 69 tahun,
dimana kondisi tersebut termasuk dalam range usia lansia, yang mengalami
penurunan imunitas dan fungsi fisiologis tubuh.
Jadi kesenjangan yang terjadi antara BAB II dan BAB III terletak pada
diagnose nyeri akut, karna pada kasus ini, usia klien 69 tahun (lansia), dilakukan
pemasangan ventilator (terdapat rasa yang tidak nyaman) dan terdapat infeksi
pada paru, dan terdapat komplikasi yang menyertai yang tentunya akan
mempengaruhi sistem fisiologis tubuh Tn.E.
Sesuai data di atas maka kelompok mengambil 10 diagnosa keperawatan
berdasarkan dengan diagnosa medis dari Tn.E, yaitu penurunan curah jantung
berhubungan dengan perubahan preload, perfusi prefer tidak efektif berhubungan
dengan penurunan aliran arteri dan atau vena, hypervolemia berhubungan dengan
gangguan mekanisme regulasi, bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan
dengan hipersekresi jalan nafas, gangguan pertukaran gas berhubungand dengan
ketidakseimbangan ventilasi-pefusi, pola nafas tidak efektif behubungan dengan
hambatan upaya nafas, nyeri akut berhubungan dengan agen pencedera fisiologis,
risiko perfusi miocard tidak efektif ditandai dengan hipertensi dan hipoksia, risiko
perfusi serebral tidak efektif berhubungan dengan enselopati dan risiko jatuh
ditandai dengan usia > 65 tahun dan riwayat jatuh.
76
Dalam melakukan implementasi yang penting dapat dilakukan pada pasien
yang mengalami sumbatan jalan nafas salah satunya adanya suction. Suction di
lakukan dengan prinsip 3A (atraumatic, asianotik, aseptic) dan sebelum tindakan
dilakukan hiperoksigenasi, untuk mencegah penurunan saturasi oksigen yang
bermakna dan saat melakukan tindakan suction tidak lebih dari 15 detik.
Pemberian nebulisasi juga diperlukan untuk mempermudah pelaksanaan suction,
sehingga sputum berkonsistensi lebih cair dan mudah untuk di lakukan
penghisapan (lebih optimal). Bila keadaan pola nafas dan frekuensi membaik,
dapat juga dilakukan penyapihan ventilator namun tetap melakukan observasi.
Salah satu intervensi yang kami lakukan juga yaitu menenangkan pasien dan
pastikan klien dalam keadaan tidak gelisah, karena akan mempengaruhi frekuensi
nafas (meningkat) dan pemantauan hemodinamik merupakan intervensi yang
penting dalam kasus ini.
Evaluasi dapat kami buat setelah melakukan asuhan keperawatan selama 3
x 24 jam. Masalah keperawatan yang teratasi sebagian yaitu perfusi perifer tidak
efektif, hypervolemia, bersihan jalan nafas tidak efektif, pola nafas tidak efektif
dan nyeri akut yang di kaji menggunakan CPOT.
77
78
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Kegagalan pernapasan adalah suatu kondisi dimana oksigen tidak
cukup masuk dari paru-paru ke dalam darah. Organ tubuh, seperti jantung
dan otak, membutuhkan darah yang kaya oksigen untuk bekerja dengan
baik. Kegagalan pernapasan juga bisa terjadi jika paru-paru tidak dapat
membuang karbon dioksida dari darah. Terlalu banyak karbon dioksida
dalam darah dapat membahayakan organ tubuh.
Gagal nafas dapat disebabkan oleh kelainan paru, jantung, dinding
dada, otot pernapasan atau medulla oblongata. Komplikasi serius dapat
terjadi pada GI tract, paru-paru dan kardiovaskuler. Pemeriksaan
penunjang yang dapat dilakukan yaitu dengan pemeriksaan laboratorium
dan pemeriksaan radiologi.
Beberapa penatalaksaan yang dapat dilakukan pada respiratoty
failure yaitu dengan melakukan terapi oksigen, penggunaan ventilator
mekanik dengan tekanan jalan nafas positif kontinu (CPAP) atau positive
end expiratory Pressure (PEEP), inhalasi nebulizer, fisioterapi dada,
pemantauan hemodinamik/jantung, pengobatan bronkodilator streroid dan
dukungan nutrisi sesuai kebutuhan.
Pada kasus yang dikelola oleh kelompok kami, diketahui bahwa
Tn. E berusia 69 tahun, dengan diagnose medis respiratotry failure. Seperti
yang kita ketahui respiratory failure kondisi ketidakmampuan sistem
pernapasan melakukan satu atau dua fungsi pertukaran gas yaitu
oksigenasi dan eliminsi karbondioksida, sehingga terdapat gangguan pada
proses ventilasi dan difusi. Gagal nafas akan mempengaruhi banyak
gangguan pada sistem tubuh. Maka dari itu pasien mengalami penurunan
kesadaran, memerlukan alat bantu ventilator untuk bernapas dan monitor
jantung akibat terganggunya proses ventilasi dan difusi tersebut. Saat
dilakukan pengkajian primer terdapat masalah airway, breathing,
circulation dan disability.
79
Dalam melakukan implementasi yang penting dapat dilakukan
pada pasien yang mengalami sumbatan jalan nafas salah satunya adanya
suction. Suction di lakukan dengan prinsip 3A (atraumatic, asianotik,
aseptic) dan sebelum tindakan dilakukan hiperoksigenasi, untuk mencegah
penurunan saturasi oksigen yang bermakna dan saat melakukan tindakan
suction tidak lebih dari 15 detik. Pemberian nebulisasi juga diperlukan
untuk mempermudah pelaksanaan suction, sehingga sputum berkonsistensi
lebih cair dan mudah untuk di lakukan penghisapan (lebih optimal). Bila
keadaan pola nafas dan frekuensi membaik, dapat juga dilakukan
penyapihan ventilator namun tetap melakukan observasi. Salah satu
intervensi yang kami lakukan juga yaitu menenangkan pasien dan pastikan
klien dalam keadaan tidak gelisah, karena akan mempengaruhi frekuensi
nafas (meningkat) dan pemantauan hemodinamik merupakan intervensi
yang penting dalam kasus ini.
B. Saran
Diharapkan kepada seluruh pihak-pihak medis terkait dapat
memperhatikan kondisi atau gejala-gejala penyakit respiratory failure,
serta dapat segera melakukan pembangunan yang tepat dalam memberikan
terapi dan pengobatan yang sesuai bagi pasien yang terserang penyakit
tersebut. Kepada pihak rumah sakit diharapkan untuk lebih meningkatkan
mutu dan kualitas dari pelayanan kesehatan yang telah ada untuk
memudahkan dalam penanganan kasus tersebut.
80
BAB VI
LAPORAN ANALISA TINDAKAN
81
- Batuk tidak efektif
- Suara nafas ronkhi
82
- Matikan slang penghisap
- Observasi hemodinamik pasien.
- Bila melakukan suction lagi, beri waktu jeda 10 detik.
- Posisikan selang kembali
- Lakukan dokumentasi (Konsistensi sputum, warna dan jumlah)
(Nama: KELOMPOK)
83
DAFTAR PUSTAKA
Dewi, Dewa Ayu Mas Shintya. 2017. Diagnosis dan Penatalaksanaan Gagal
Nafas Akut. Udayana
Kitu, Novia Bertha, dkk. 2019. Pengaruh Tindakan Penghisapan Lendir
Endotrakeal Tube (ETT) Terhadap Kadar Saturasi Oksigen Pada Pasien
Yang Di Rawat Di Ruang ICU. Jurnal Ners Widya Husaha. Vol 6(2).
Semarang
Kurmiadi, Ricky. 2017. Gambaran Pasien Gagal Nafas Dengan Kelainan Paru
Pada Rawat Inap Di Rumah Sakit Umum. Sumatra Utara.
Medicine, I. J. Of C. C. And E. (2016). Acute Respiratory Distress Syndrome.
Indonesian journal of Critical and Emergency Medicine, 3(2),3-6
Morton, Patricia Gonce, & Fontaine, D. K. (2018). Critical Care Nursing A
Holistic Approach (11 th Ed). Wolters Kluwer.
Morton, Patricia G., Fontaine, D., Hudak, C. M., & Gallo, B. M. (2017).
Keperawatan Kritis Pendekatan Asuhan Holistik (8th Ed.). Jakarta: EGC
Tim Pokja SDKI DPP PPNI. (2016). Standar Diagnosis Keperawatan Indonesia
(SDKI). Edisi 1. Jakarta. Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Intervensi Keperawatan Indonesia
(SIKI). Edisi 1. Jakarta. Persatuan Perawat Indonesia
Tim Pokja SIKI DPP PPNI. (2018). Standar Luaran Keperawatan Indonesia
(SLKI). Edisi 1. Jakarta. Persatuan Perawat Indonesia
https://www.dictio.id/t/bagaimana-anatomi-sistem-respirasi-atau-sistem-
pernapasan-pada-manusia/13787 (Di akses pada 13 Desember 2021, pukul
13.00)
http://repository.unimus.ac.id/3076/4/BAB%20II.pdf (Diakses pada 13 Desember
2021, pukul 13.00)
https://www.pedilung.com/contact/ (Diakses pada 13 Desember 2021, Pukul
13.00)
84
LAMPIRAN LAPORAN PENDAHULUAN
85
86
87
88
89
90
91
92
93
94
95
96
97
98
99
100
101
102