Anda di halaman 1dari 55

MAKALAH ASUHAN KEPERAWATAN KRITIS PADA PNEUMONIA

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Keperawatan Kritis


Dosen Pembimbing : Hadi Kusuma Atmaja, SST., M.Kes

Disusun Oleh

Haerunisah putri

KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIA


POLITEKNIK KESEHATAN KEMENKES MATARAM
JURUSAN KEPERAWATAN
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PROFESI NERS MATARAM
TAHUN AJARAN 2021

KATA PENGANTAR

Puji syukur dan terima kasih kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa, karena atas rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan Makalah

i
Keperawatan Kritis yang berjudul “Asuhan Keperawatan Kritis Pada
Pneumonia”.
Kelompok mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
semua pihak yang sudah terkait dalam penyusunan tugas makalah ini karena telah
memberikan kesempatan kepada penulis untuk penyusunan makalah ini.
Dengan segala kerendahan hati penulis menyadari sepenuhnya bahwa
dalam penyusunan makalah ini masih jauh dari kata sempurna baik dari segi
penampilan maupun dari segi kualitas penulisan. Oleh sebab itu, saya
mengharapkan kritik dan saran yang dapat membangun jika terdapat kesalahan,
kekurangan, dan kata – kata yang kurang berkenan dalam makalah ini, dan tentu
saja dengan kebaikan bersama dan untuk bersama.
Akhir kata saya mengucapkan terima kasih semoga makalah inih dapat
bermanfaat.

Mataram, agustus 2021

Haerunisah putri

DAFTAR ISI

COVER ................................................................................................................ i

KATA PENGANTAR............................................................................................. i

DAFTAR ISI ..........................................................................................................ii

BAB I PENDAHULUAN....................................................................................... 1

A. Latar Belakang .............................................................................................. 1


B. Rumusan Masalah ......................................................................................... 4
C. Tujuan ............................................................................................................ 4
BAB II PEMBAHASAN ........................................................................................ 5

ii
A. Konsep Teori ................................................................................................. 5
1. Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernapasan .............................................. 5
2. Pengertian Pneumonia ........................................................................... 10
3. Faktor Resiko ......................................................................................... 12
4. Etiologi Pneumonia ................................................................................ 12
5. Pathway .................................................................................................. 13
6. Klasifikasi Pneumonia ........................................................................... 16
7. Manifestasi Klinis .................................................................................. 23
8. Komplikasi ............................................................................................. 24
9. Pencegahan ............................................................................................ 25
10. Penatalaksanaan ................................................................................... 27
11. Pemeriksaan Penunjang ....................................................................... 31
B. Konsep Asuhan Keperawatan...................................................................... 33
1. Pengkajian.......................................................................................................... 33
2. Diagnosa Keperawatan ...................................................................................... 36
3. Intervensi Keperawatan ..................................................................................... 37
4. Implementasi Keperawatan ............................................................................... 43
5. Evaluasi Keperawatan ....................................................................................... 44
BAB III PENUTUP.............................................................................................. 45

A. Kesimpulan.................................................................................................. 45
B. Saran ............................................................................................................ 47
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 47

iii
BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pneumonia merupakan infeksi akut di perenkim paru-paru dan sering
mengganggu pertukaran gas. Komplikasi meliputi hipoksemia, gagal
respiratorik, efusipleura, empiema, abses paru, dan bakteremia, disertai
penyebaran infeksi ke bagian tubuh lain yang menyebabkan meningitis,
endokarditis,dan perikarditis. Umumnya, prognosisnya baik bagi orang yang
memiliki paru-paru normal dan ketahanan tubuh yang cukup baik sebelum
pneuminia menyerang. Akan tetapi, pneumonia merupakan penyebab tertinggi
ketujuh dari kematian di Amerika Serikat, dan pada tahun 2003 muncul tipe
pneumonia baru dan mematikan yang disebut sindrom respiratorik akut parah
(Paramita, 2011).
Infeksi saluran pernafasan merupakan masalah kesehatan masyarakat yang
serius di berbagai negara di dunia. Salah satu infeksi umum yang menyerang
saluran pernafasan bagian bawah adalah pneumonia. Pneumonia adalah suatu
proses inflamasi yang melibatkan alveoli dan bronkiolus, disebabkan oleh
bakteri, virus atau parasit (Sudoyo, dkk , 2010).
Pneumonia sering ditemukan pada anak-anak, orang dewasa, dan pada
kelompok usia lanjut. Penyakit ini dapat menyebabkan kematian jika tidak
segera diobati (Dipiro, dkk, 2015). Pada orang dewasa, pneumonia bisa
menjadi infeksi serius yang dapat berkembang menjadi sepsis dan berpotensi
mengancam jiwa. Pneumonia masih merupakan problem kesehatan masyarakat
karena tingginya angka kematian disebabkan penyakit tersebut diberbagai
negara termasuk di Indonesia (Kaparang, 2014).
Berdasarkan Global Burden of Disease Study tahun 2010 melaporkan
bahwa sekitar 90% kasus pneumonia terjadi pada usia diatas 65 tahun dan
penyakit pneumonia menjadi urutan empat terbesar setelah penyakit iskemik
jantung, stroke dan penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) di negara eropa
(Lozano, 2012).

1
Di Amerika Serikat, pada tahun 2011 pneumonia termasuk ke dalam
delapan penyakit paling banyak menyebabkan kematian, yaitu sebanyak
257.000 terjadi pada orang dewasa dan 621.000 terjadi pada usia lanjut. Angka
kematian pneumonia untuk pasien rawat jalan masih rendah yaitu 1–5%
sedangkan angka kematian pasien pneumonia rawat inap yaitu 12% (American
Thoracic Society, & Infectious Diseases Society of America, 2005).
Di rumah sakit di Kanada insiden pneumonia sebanyak 1,29 per 1000
penduduk pada kelompok usia 18-39 tahun menjadi 1,91 per 1000 penduduk
pada usia 40-54 tahun dan meningkat menjadi 13,21 per 1000 penduduk pada
usia di atas 55 tahun. Sedangkan, di Indonesia kasus pneumonia mencapai
22.000 jiwa menduduki peringkat ke delapan sedunia (Dipiro, Talbert, Yee,
Matzke, & Wells, & Posey, 2015).
Indonesia merupakan negara dengan tingkat kejadian pneumonia tertinggi
ke-6 di seluruh dunia menurut laporan UNICEF dan WHO pada tahun 2006.
Berdasarkan Survey Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 1992, 1995
dan 2001 didapatkan pneumonia sebagai urutan terbesar penyebab kematian
pada balita. Hasil ini juga sesuai dengan survey mortalitas terhadap 10 propinsi
di Indonesia yang dilakukan oleh Subdit ISPA Departemen Kesehatan RI. Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) (2007), mencatat pneumonia merupakan salah
satu penyebab kematian terbanyak yaitu sejumlah 15,5% (IDAI, 2009).
Berdasarkan Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) tahun 2013,
prevalensi kejadian pneumonia di Indonesia mencapai 1,8% dan 4,5%, dan
kasus pneumonia terjadi di lima provinsi di Indonesia antara lain Nusa
Tenggara Timur (4,6% dan 10,3%, Papua (2,8 dan 8,2%), Sulawesi Tengah
(2,3% dan 5,7%), Sulawesi Barat (3,1% dan 6,1%), Sulawesi Selatan (2,4%
dan 4,8%) (Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian
Kesehatan Republik Indonesia, 2013). Sebelumnya telah dilakukan berbagai
penelitian mengenai pneumonia di beberapa rumah sakit di Indonesia seprti
Rumah Sakit Pondok Puri Indah mencapai 161 kasus pada tahun 2014
(Munarsih, Natadidjaja, & Syamsudin, 2018). Kejadian pneumonia di
Rumkital Dr. Mintohardjo pada tahun 2014 sebanyak 36 kasus dan sebanyak
57 kasus terjadi pada tahun 2015 (Purwanggana, Nissa, & Fauziyah, 2016).
Penyakit saluran napas menjadi penyebab angka kematian dan kecacatan
yang tinggi di seluruh dunia. Sekitar 80% dari seluruh kasus baru praktek

2
umum berhubungan dengan infeksi saluran napas yang terjadi di masyarakat
(pneumonia komunitas) atau di dalam rumah sakit (pneumonia nosokomial).
Pneumonia yang merupakan bentuk infeksi saluran napas bawah akut di
parenkim paru yang serius di jumpai sekitar 15-20%. Pneumonia nosokomial
di ICU lebih sering daripada Pneumonia nosokomial di ruangan umum yaitu
42%: 13%, dan sebagian besar yaitu sejumlah 47% terjadi pada pasien yang
menggunakan alat bantu mekanik. Kelompok pasien ini merupakan bagian
terbesar dari pasien yang meninggal di ICU akibat Pneumonia nosokomial
(Dahlan, 2001). Pneumonia dapat terjadi pada orang normal tanpa kelainan
imunitas yang jelas. Namun pada kebanyakan pasien dewasa yang menderita
pneumonia didapati adanya satu atau lebih penyakit dasar yang mengganggu
daya tahan tubuh. Pneumonia semakin sering dijumpai pada orang lanjut usia
(lansia) dan sering terjadi pada penyakit paru obstruksi kronik (Dahlan, 2007).
Pneumonia adalah penyakit infeksius yang sering menyebabkan kematian
di Amerika Serikat. Dengan pria menduduki peringkat ke-empat pria dan
wanita peringkat ke-lima sebagai akibathospitalisasi. Penyakit ini juga di obati
secara luas dibagian rawat jalan (Brunner & Suddar, 2002). Pneumonia yang
didapat di masyarakat (community-acquired) mengenai sekitar 12/1000 orang
dewasa pertahun. Satu dari 1000 perlu dirawat di rumah sakit, dan mortalitas
dalam pasien ini sekitar 10% ( Rubenstein, Wayne, Bradley, 2008). Pneumonia
sebenarnya bukan penyakit baru, American Lung Association misalnya,
menyebutkan data yang baru pneumonia menjadi penyebab kematian nomor
satu di Amerika. Penggunaan antibiotik membuat penyakit ini bisa di kontrol
beberapa tahun kemudian, namun pada tahun 2000 kombinasi pneumonia dan
influenza kembali merajalela dan menjadi penyebab kematian ke tujuh di
negara itu (Misnardiarly, 2008).
Berbagai penelitian dengan metode yang berbeda telah mengidentifikasi
faktor-faktor risiko terjadinya pneumonia. Faktor-faktor risiko tersebut di
antaranya penyakit paru yang diderita, penyakit jantung, penurunan berat
badan, status fungsional yang jelek, merokok, gangguan menelan, aspirasi,
malnutrisi, hipoproteinemia, hipoalbuminemia, terapi antibiotik sebelumnya,
kualitas hidup yang rendah, dan status bedridden. Riwayat dirawat karena
pneumonia dalam 2 tahun terakhir, diabetes melitus, immunosupresi, penyakit
ginjal, konsumsi alkohol berlebihan, penggunaan obat-obat antipsikotik,

3
kondisi sosio-ekonomi dan kontak dengan anak-anak juga meningkatkan risiko
terjadinya pneumonia pada usia lanjut (Simonetti, 2014 dalam Roza, 2019).
Maka disini kelompok akan memaparkan tentang asuhan keperawatan
kritis pada pasien dengan pneumonia.

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana anatomi dan fisiologi dari sistem pernapasan ?
2. Apa pengertian dari pneumonia?
3. Apa saja faktor resiko pneumonia?
4. Apa saja etiologi dari pneumonia?
5. Bagaimana patofisiologi dari pneumonia?
6. Bagaimana pathway dari pneumonia?
7. Apa saja klasifikasi dari pneumonia?
8. Apa saja manifestasi klinis dari pneumonia?
9. Apa saja komplikasi dari pneumonia?
10. Apa saja pencegahan dari pneumonia?
11. Apa saja penatalaksanaan dari pneumonia?
12. Apa saja pemeriksaan penunjang dari pneumonia?
13. Bagaimana konsep asuhan keperawatan kritis pada pneumonia?

C. Tujuan
1. Mahasiswa dapat memahami dan mengerti anatomi dan fisiologi dari
sistem pernapasan.
2. Mahasiswa dapat memahami dan mengerti pengertian dari pneumonia.
3. Mahasiswa dapat memahami dan mengerti faktor resiko pneumonia.
4. Mahasiswa dapat memahami dan mengerti etiologi dari pneumonia.
5. Mahasiswa dapat memahami dan mengerti patofisiologi dari pneumonia.
6. Mahasiswa dapat memahami dan mengerti pathway dari pneumonia.
7. Mahasiswa dapat memahami dan mengerti klasifikasi dari pneumonia.
8. Mahasiswa dapat memahami dan mengerti manifestasi klinis dari
pneumonia.
9. Mahasiswa dapat memahami dan mengerti komplikasi dari pneumonia.
10. Mahasiswa dapat memahami dan mengerti penatalaksanaan dari
pneumonia

4
11. Mahasiswa dapat memahami dan mengerti pemeriksaan penunjang dari
pneumonia.
12. Mahasiswa dapat memahami dan mengerti konsep asuhan keperawatan
kritis pada pneumonia.

BAB II PEMBAHASAN

A. Konsep Teori
1. Anatomi dan Fisiologi Sistem Pernapasan
Sistem respirasi adalah sistem yang memiliki fungsi utama untuk
melakukan respirasi dimana respirasi merupakan proses mengumpulkan
oksigen dan mengeluarkan karbondioksida. Fungsi utama sistem respirasi
adalah untuk memastikan bahwa tubuh mengekstrak oksigen dalam jumlah
yang cukup untuk metabolisme sel dan melepaskan karbondioksida (Peate
and Nair, 2011).

5
Gambar 2.1 Organ respirasi tampak depan
(Tortora dan Derrickson, 2014)
Sistem respirasi terbagi menjadi sistem pernafasan atas dan sistem
pernafasan bawah. Sistem pernafasan atas terdiri dari hidung, faring dan
laring. Sedangkan sistem pernafasan bawah terdiri dari trakea, bronkus dan
paru-paru (Peate and Nair, 2011). a. Hidung
Masuknya udara bermula dari hidung. Hidung merupakan organ
pertama dalam sistem respirasi yang terdiri dari bagian eksternal
(terlihat) dan bagian internal. Di hidung bagian eksternal terdapat
rangka penunjang berupa tulang dan hyaline kartilago yang terbungkus
oleh otot dan kulit. Struktur interior dari bagian eksternal hidung
memiliki tiga fungsi : (1) menghangatkan, melembabkan, dan
menyaring udara yang masuk; (2) mendeteksi stimulasi olfaktori (indra
pembau); dan (3) modifikasi getaran suara yang melalui bilik resonansi
yang besar dan bergema. Rongga hidung sebagai bagian internal
digambarkan sebagai ruang yang besar pada anterior tengkorak
(inferior pada tulang hidung; superior pada rongga mulut); rongga
hidung dibatasi dengan otot dan membrane mukosa (Tortorra and
Derrickson, 2014)
b. Faring
Faring, atau tenggorokan, adalah saluran berbentuk corong dengan
panjang 13 cm. Dinding faring disusun oleh otot rangka dan dibatasi
oleh membrane mukosa. Otot rangka yang terelaksasi membuat faring

6
dalam posisi tetap sedangkan apabila otot rangka kontraksi maka
sedang terjadi proses menelan. Fungsi faring adalah sebagai saluran
untuk udara dan makanan, menyediakan ruang resonansi untuk suara
saat berbicara, dan tempat bagi tonsil (berperan pada reaksi imun
terhadap benda asing) (Tortorra and Derrickson, 2014)
c. Laring
Laring tersusun atas 9 bagian jaringan kartilago, 3 bagian tunggal
dan 3 bagian berpasangan. 3 bagian yang berpasangan adalah kartilago
arytenoid, cuneiform, dan corniculate. Arytenoid adalah bagian yang
paling signifikan dimana jaringan ini mempengaruhi pergerakan
membrane mukosa (lipatan vokal sebenarnya) untuk menghasilkan
suara. 3 bagian lain yang merupakan bagian tunggal adalah tiroid,
epiglotis, dan cricoid. Tiroid dan cricoid keduanya berfungsi
melindungi pita suara. Epiglotis melindungi saluran udara dan
mengalihkan makanan dan minuman agar melewati esofagus (Peate
and Nair, 2011).

d. Trakea
Trakea atau batang tenggorokan merupakan saluran tubuler yang
dilewati udara dari laring menuju paru-paru. Trakea juga dilapisi oleh
epitel kolumnar bersilia sehingga dapat menjebak zat selain udara yang
masuk lalu akan didorong keatas melewati esofagus untuk ditelan atau
dikeluarkan lewat dahak. Trakea dan bronkus juga memiliki reseptor
iritan yang menstimulasi batuk, memaksa partikel besar yang masuk
kembali keatas (Peate and Nair, 2011).
e. Bronkus

7
Gambar 2.2 Struktur bronkus (Martini et al., 2012)

Setelah laring, trakea terbagi menjadi dua cabang utama, bronkus


kanan dan kiri, yang mana cabang-cabang ini memasuki paru kanan dan
kiri pula. Didalam masing-masing paru, bronkus terus bercabang dan
semakin sempit, pendek, dan semakin banyak jumlah cabangnya,
seperti percabangan pada pohon. Cabang terkecil dikenal dengan
sebutan bronchiole (Sherwood, 2010). Pada pasien PPOK sekresi
mukus berlebih ke dalam cabang bronkus sehinga menyebabkan
bronkitis kronis.
f. Paru - Paru
Paru-paru dibagi menjadi bagian-bagian yang disebut lobus.
Terdapat tiga lobus di paru sebelah kanana dan dua lobus di paru
sebelah kiri. Diantara kedua paru terdapat ruang yang bernama cardiac
notch yang merupakan tempat bagi jantung. Masing-masing paru
dibungkus oleh dua membran pelindung tipis yang disebut parietal dan
visceral pleura. Parietal pleura membatasi dinding toraks sedangkan
visceral pleura membatasi paru itu sendiri. Diantara kedua pleura
terdapat lapisan tipis cairan pelumas. Cairan ini mengurangi gesekan
antar kedua pleura sehingga kedua lapisan dapat bersinggungan satu
sama lain saat bernafas. Cairan ini juga membantu pleura visceral dan
parietal melekat satu sama lain, seperti halnya dua kaca yang melekat
saat basah (Peate and Nair, 2011).

8
Gambar 2.3 Alveoli (Sherwood, 2010)

Cabang-cabang bronkus terus terbagi hingga bagian terkecil yaitu


bronchiole. Bronchiole pada akhirnya akan mengarah pada bronchiole
terminal. Di bagian akhir bronchiole terminal terdapat sekumpulan
alveolus, kantung udara kecil tempat dimana terjadi pertukaran gas
(Sherwood, 2010). Dinding alveoli terdiri dari dua tipe sel epitel
alveolar. Sel tipe I merupakan sel epitel skuamosa biasa yang
membentuk sebagian besar dari lapisan dinding alveolar. Sel alveolar
tipe II jumlahnya lebih sedikit dan ditemukan berada diantara sel
alveolar tipe I. sel alveolar tipe I adalah tempat utama pertukaran gas.
Sel alveolar tipe II mengelilingi sel epitel dengan permukaan bebas
yang mengandung mikrofili yang mensekresi cairan alveolar. Cairan
alveolar ini mengandung surfaktan sehingga dapat menjaga permukaan
antar sel tetap lembab dan menurunkan tekanan pada cairan alveolar.
Surfaktan merupakan campuran kompleks fosfolipid dan lipoprotein.
Pertukaran oksigen dan karbondioksida antara ruang udara dan darah
terjadi secara difusi melewati dinding alveolar dan kapiler, dimana
keduanya membentuk membran respiratori (Tortora dan Derrickson,
2014).
Respirasi mencakup dua proses yang berbeda namun tetap
berhubungan yaitu respirasi seluler dan respirasi eksternal. Respirasi
seluler mengacu pada proses metabolism intraseluler yang terjadi di
mitokondria. Respirasi eksternal adalah serangkaian proses yang terjadi

9
saat pertukaran oksigen dan karbondioksida antara lingkungan
eksternal dan sel-sel tubuh (Sherwood, 2014).
Terdapat empat proses utama dalam proses respirasi ini yaitu:

1) Ventilasi pulmonar – bagaimana udara masuk dan keluar dari paru


2) Respirasi eksternal – bagaimana oksigen berdifusi dari paru ke
sirkulasi darah dan karbondioksida berdifusi dari darah ke paru
3) Transport gas – bagaimana oksigen dan karbondioksida dibawa dari
paru ke jaringan tubuh atau sebaliknya
4) Respirasi internal – bagaimana oksigen dikirim ke sel tubuh dan
karbondioksida diambil dari sel tubuh (Peate and Nair, 2011).
2. Pengertian Pneumonia

Pneumonia adalah suatu proses peradangan dimana terdapat


konsolidasi yang disebabkan pengisisan rongga alveoli oleh eksudat.
Pertukaran gas tidak dapat berlangsung pada daerah yang mengalami
konsolidasi, begitupun dengan aliran darah disekitar alveoli menjadi
terhambat dan tidak berfungsi makasimal. Hipoksemia dapat terjadi,
bergantung pada banyaknya jaringan paru-paru yang sakit (Somantri,
2009). Kasus ini dihadapi oleh perawat keperawatan kritis ketika infeksi
tersebut memperberat kondisi penyakit yang serius atau menyebabkan
gawat napas (Morton dkk, 2014).
Pneumonia adalah inflamasi parenkim paru yang disebabkan oleh
berbagai mikroorganisme termasuk bacteria, micobacteria, jamur, dan
virus, pneumonia di klasifikasikan sebagai pneumonia didapat di

10
komunitas, pneumonia didapat di rumah sakit, pneumonia pada penjamu
yang mengalami luluh imun, dan pneumonia aspirasi (Smeltzer & Bare,
2013). Pneumonia merupakan suatu proses peradangan atau infeksi,
dimana terdapat konsolidasi yang disebabkan pengisian rongga alveoli
oleh eksudat (Somantri, 2012).
Pneumonia adalah peradangan paru biasanya disebabkan oleh
infeksi bakteri (stafilokokus, pneumokokus, atau streptokokus) (Speer,
2007). Pneumonia adalah radang parenkim paru yang banyak disebabkan
oleh virus baik infeksi primer atau komplikasi dari suatu penyakit virus
(Nur Salam, 2005).
Berdasarkan pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pneumonia
adalah suatu infeksi saluran pernapasan akut bagian bawah yang mengenai
parenkim paru yang disebabkan oleh mikroorganisme (bakteri, virus,
jamur, parasit) maupun benda asing.
Angka kejadian pneumonia paling tinggi adalah usia kurang dari 5
tahun (balita). Hal ini sesuai dengan hasil Riset Kesehatan Dasar Tahun
2013 yang menunjukkan bahwa pneumonia tertinggi terjadi pada
kelompok umur 1-4 tahun (Kemenkes, 2013). Anak dengan kelompok usia
kurang dari 5 tahun rentan mengalami pneumonia berat dengan gejala
batuk dan sukar bernapas. Sistem kekebalan tubuh anak pada usia tersebut
juga sangat rentan sehingga mudah terinfeksi oleh penyakit yang
ditularkan melalui udara (Misnadiarly, 2008).
Pada pasien dewasa, kejadian pneumonia paling tinggi pada
kelompok usia 56 – 65 tahun. Hal ini disebabkan karena pada usia lanjut
terjadi perubahan anatomi fisiologi akibat proses penuaan memberi
konsekuensi penting terhadap cadangan fungsional paru, kemampuan
untuk mengatasi penurunan komplians paru dan peningkatan resistensi
saluran napas terhadap infeksi dan penurunan daya tahan tubuh. Pasien
geriatri lebih mudah terinfeksi pneumonia karena adanya gangguan reflek
muntah, melemahnya imunitas, gangguan respon pengaturan suhu dan
berbagai derajat kelainan kardiopulmoner (Rizqi dan Helmia, 2014).
Pada dasarnya, pada pasien anak jenis kelamin bukan faktor risiko
terjadinya pneumonia, akan tetapi lebih banyak dipengruhi oleh sistem
kekebalan tubuh anak. Sistem kekebalan tubuh dapat dipengaruhi karena

11
beberapa faktor, yaitu pemberian ASI eksklusif, status gizi, status
imunisasi, polusi dari lingkungan, dan tempat tinggal yang terlalu padat
(Anwar dan Dharmayanti, 2014).
.
Paparan asap rokok yang dialami terus menerus pada orang dewasa
yang sehat dapat menambah resiko terkena penyakit paru-paru serta
menjadi penyebab penyakit bronkitis, dan pneumonia (Elfidasari et al.,
2013).
3. Faktor Resiko
Faktor resiko terjadinya pneumonia pada usia 65 tahun dan dibawah usia 5
tahun. Penderita pneumonia getriati (>65 tahun) terdapat penyakit penyerta
seperti DM, Penyakit Paru Obstruktif Kronis (PPOK), kardiovaskuler, gagal
ginjal, penyakit hati kronik dan gangguan neurologis, alcohol, malnutrisi,
kebiasaan merokok, immunospresi dan infeksi yang dapat disebabkan oleh
bakterigram negative. Pneumoniakomunitas yang disertai penyakit penyerta
dapat meningkatkan angka kematian (PDPI, 2014).

4. Etiologi Pneumonia
Pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme seperti
bakteri, virus, jamur, dan protozoa. Pneumoni komunitas yang diderita
oleh masyarakat luar negeri banyak disebabkan gram positif, sedangkan
pneumonia rumah sakit banyak disebabkan gram negatif. Dari laporan
beberapa kota di Indonesia ditemukan dari pemeriksaan dahak penderita
komunitas adalah bakteri gram negative (PDPI, 2003).
Penyebab paling sering pneumonia yang didapat dari masyarakat dan
nosokomial yang didapat di masyarakat (Wilson, 2012):
a. Streeptococcus pneumonia, Mycoplasmapneumonia, Hemophilus
influenza, Legionella pneumophila, chlamydia pneumonia, anaerob
oral, adenovirus, influenza tipe A dan B.
b. Yang didapat di rumah sakit: basil usus gram negatif (E. coli,
Klebsiella pneumonia), Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus
aureus, anaeroboral.
Penyebab infeksi terjadi melalu droplet dan sering disebabkan oleh
streptoccus pnuemonia, melalui slang infuse oleh staphylococcus aureus
sedangkan pada pemakaian ventilator oleh P. aeruginosa dan

12
enterobacter. Dan pada masa kini terjadi perubahan keadaan pasien seperti
kekebalan tubuh dan penyakit kronis, populasi lingkungan, penggunaan
antibiotic yang tidak tepat. Setelah masuk ke paru-paru organisme
bermultiplikasi dan, jika telah berhasil mengalahkan mekanisme
pertahanan paru, terjadi pneumonia.
Selain diatas penyebab terjadinya pneumonia sesuai
penggolongannya yaitu (Djojodibroto, 2014) :
a. Bacteria: Diplococcus pnuemonia, pneumococcus, streptokoccus
hemolyticus, streptokoccus aureus, hemophilus influinzae,
mycobacterium tuberkulosis, bacillus friedlander.
b. Virus: Respiratory syncytial viru, adeno virus, virus sitomegalitik, virus
influenza.
c. Mycoplasma pneumonia.
d. Jamur: Histoplasma capsulatum, crytococcus neuroformans,
blastomyces dermatitides, coccidodiesnimmitis, aspergilus species,
candida albicans.
e. Aspirasi : Makanan , kerosesene ( bensin, minyak tanah ), cairan
amnion, benda asing.
f. Pneumonia hipostatik berkaitan dengan imobilisasi yang lama.
g. Sindrom loeffler yaitu infeksi cacing yang akan berpengaruh pada
darah, serta menimbulkan respons alergi pada kulit. Hal ini dapat terjadi
karena menumpuknya infiltrat dan eosinofil pada paru-paru karena
adanya infeksi cacing dalam jumlah banyak. Pengidap kondisi ini akan
mengalami batuk dan sesak napas, seperti gejala pada pengidap
penyakit asma.
h. Non mikroorganisme:
1) Bahan kimia
2) Paparan fisik seperti suhu dan radias
3) Merokok
4) Debu, bau-bauan, dan polusi lingkungan

5. Patofisiologi
Pneumonia merupakan respons inflamasi terhadap benda asing
yang tanpa sengaja teraspirasi atau multiplikasi mikroorganisme tidak
terkontrol yang menginvasi saluran pernapasan bawah. Respons tersebut

13
menyebabkan akumulasi neutrofil dan sel efektor di bronkus perifer dan
ruang alveolar. Sistem pertahanan tubuh yang mencakup pertahanan
anatomis, mekanis, humoral, dan seluler dirancang untuk menyingkirkan
organisme yang memasuki saluran pernapasan. Sebagian besar penyakit
sistemik meningkatkan risiko pneumonia pada pasien dengan cara
mengubah mekanisme pertahanan pernapasan. Pneumonia terjadi jika
mekanisme pertahanan paru yang normal terganggu atau bekerja terlalu
berat, sehingga mikroorganisme berkembang dengan cepat (Morton dkk,
2014).
Saat terjadi inhalasi bakteri mikroorganisme penyebab pneumonia
diaspirasi melalui orofaring. Tubuh pertama kali akan melakukan
mekanisme pertahanan primer dengan meningkatkan respons radang
(Somantri, 2009). Patogen dapat memasuki saluran pernapasan bawah
melalui empat cara; aspirasi, inhalasi, penyebaran hematogen dari lokasi
yang jauh, dan translokasi. Rute utama bakteri memasuki paru adalah
melalui aspirasi mikroorganisme dari orofaring. Aspirasi sering kali terjadi
(>45% waktu) pada individu yang sehat ketika mereka tidur. Risiko
aspirasi yang signifikan dari segi klinis meningkat pada pasien yang
mengalami penurunan tingkat kesadaran atau disfagia dan pada mereka
yang terpasang slang endotrakea atau slang enteral. Penyebaran hematogen
merupakan mekanisme yang efektif, sirkulasi pulmonal menjadi jalan
masuk yang efektif bagi mikroba. Kapiler paru membentuk jaringan padat
di dinding alveoli yang ideal untuk pertukaran gas. Mikroba hematogen
dari lokasi infeksi yang jauh dapat bermigrasi melalui jaringan tersebut
dan menyebabkan pneumonia (Morton dkk, 2014).
Paru merupakan strukturkompleks yang terdiri darikumpulan –
kumpulan unit yang dibentuk melalui percabangan progresif pada jalan
napas. Mikroorganisme dari lingkungan didalam udara yang dihirup,
sterilitas saluran napas bagian bawah adalah hasil mekanisme penyaringan
dan pembersihan yang efektif (Irman Somantri, 2012). Pernapasan
merupakan dasar dari penyakit paru, baik perubahan yang didapat pada
histopatologi akibat pada faal paru. Saluran pernapasan secara fungsional
dibagi menjadi satu bagian yang memiliki fungsi sebagai konduksi
(pengantas gas), dan satu bagian yang memiliki fungsisebagai respirasi

14
(pertukaran gas), udara seakan bolak balik diantara atmosfer dan jalan
napas (Tambrani Prof., 2017).
Laring menghubungkan faring dengan trakea yang terdiri dari
kartilago denagn kartilago epiglottis terletak di atasnya. Epiglotis
berfungsi menghasilkan reflek batuk dan melindungi saluran napas bawah
terhadap aspirasi benda selain udara (Jonh Daly, 2010). Pneumonia dapat
disebabkan oleh pneumokokus, sedangkan pada usia tua disebabkan oleh
basilus aerob gram negatif, seperti misalnya S.aureus. (Tambrani Prof.,
2017). Akibat dari virus tersebut maka timbulnya hepatisasi merah
dikarenakan pembesaran eritrosit dan beberapa leukosit dan kapiler paru –
paru. Selanjutnyaaliran darah menurun, leukosit memenuhi alveoli dan
sewaktu resolusi berlansung makrofag masuk kedalam alveoli dan
menelan leukosit dan kuman (Irman Somantri, 2012).
Setelah agen infeksius mencapai jaringan paru, kemudian infeksi
akan menyebar ke jaringan paru lainnya. Inflamasi mulai
berespon,mediator dilepaskan dan dapat menyebabkan terjadinya dilatasi
kapiler, yang mengakibatkan gangguan difusi dan akumulasi berbagai sel
darah, eksudat, dan cairan serosa(Jonh Daly, 2010). Sekret yang berlebih
dan kental akan mengakibatkan bersihan jalan naps tidak efektif(Wahit
Lilis & Joko, 2015). Gejala yang sering muncul meliputi dyspnea,
ortopnea, dan demam (Jonh Daly, 2010).
Penularan yang biasanya terjadi melalui droplet sering disebabkan
streptococcus pneumonia, perubahan kekebalan tubuh pasien seperti
gangguan kekebalan dan penyakit kronik, polusi lingkungan, dan
gangguan antibiotik yang tidak tepat yang menimbulkan perubahan
karakteristik kuman (Sudoyo, 2006).
6. Pathway

15
(Sumber pathway : Nurarif A.H, 2015)

7. Klasifikasi Pneumonia
a. Klasifikasi pneumonia berdasarkan letak terjadinya:
1) Community-Acquired Pneumonia
Pneumonia komunitas merupakan salah satu penyakit
infeksius ini sering di sebabkan oleh bakteri yaitu Streptococcus
pneumonia (Penicillin sensitive and resistant strains ),

16
Haemophilus influenza (ampicillin sensitive and resistant strains)
and Moraxella catarrhalis (all strains penicillin resistant). Ketiga
bakteri tersebut dijumpai hampir 85% kasus CAP. CAP biasanya
menular karena masuk melalui inhalasi atau aspirasi organisme
patogen ke segmen paru atau lobus paru-paru. Pada pemeriksaan
fisik sputum yang purulen merupakan karakteristik penyebab dari
tipikal bakteri, jarang terjadi mengenai lobus atau segmen paru.
Tetapi apabila terjadi konsolidasi akan terjadi peningkatan taktil
fremitus, nafas bronkial. Komplikasi berupa efusi pleura yang
dapat terjadi akibat infeksi H. Influenza , emphyema terjadi akibat
infeksi Klebsiella , Streptococcus grup A, S. Pneumonia . Angka
kesakitan dan kematian infeksi CAP tertinggi pada lanjut usia dan
pasien dengan imunokompromis. Resiko kematian akan meningkat
pada CAP apabila ditemukan faktor komorbid berupa peningkatan
respiratory rate, hipotensi, demam, multilobar involvement,
anemia dan hipoksia.
2) Hospital-Acquired Pneumonia (HAP)
Berdasarkan America Thoracic Society (ATS) , pneumonia
nosokomial ( lebih dikenal sebagai Hospitalacquired pneumonia
atau Health care-associated pneumonia ) didefinisikan sebagai
pneumonia yang muncul setelah lebih dari 48 jam di rawat di
rumah sakit tanpa pemberian intubasi endotrakeal. Terjadinya
pneumonia nosokomial akibat tidak seimbangnya pertahanan inang
dan kemampuan kolonisasi bakteri sehingga menginvasi traktus
respiratorius bagian bawah. Bakteria yang berperan dalam
pneumonia nosokomial adalah P. Aeruginosa , Klebsiella sp, S.
Aureus, S.pneumonia. Penyakit ini secara signifikan akan
mempengaruhi biaya rawat di rumah sakit dan lama rawat di rumah
sakit. ATS membagi pneumonia nosokomial menjadi early onset
(biasanya muncul selama 4 hari perawatan di rumah sakit) dan late
onset (biasanya muncul setelah lebih dari 5 hari perawatan di
rumah sakit). Pada early onset pneumonia nosokomial memili
prognosis baik dibandingkan late onset pneumonia nosokomial; hal
ini dipengaruhi pada multidrug-resistant organism sehingga

17
mempengaruhi peningkatan mortalitas. Pada banyak kasus,
diagnosis pneumonia nosokomial dapat diketahui secara klinis,
serta dibantu dengan kultur bakteri; termasuk kultur semikuantitatif
dari sample bronchoalveolar lavange (BAL).

3) Health Care-Associated Pneumonia (HCAP)


Health Care-associated pneumonia (HCAP) adalah Pneumonia
yang terjadi pada anggota masyarakat (yang tidak dirawat di rumah
sakit), yang secara ekstensif kontak dengan perawatan kesehatan,
sehingga merubah resiko merekaterhadapmikroba yang virulent
dan resisten dengan obat. Anggota masyarakat yang kontak secara
ekstensip dengan sistem perawatan kesehatan (health Care) akan
membawa flora yang jauh lebih mirip dengan pasien di Rumah
Sakit daripada anggota masyarakat yang sehat, sehingga
pneumonia pada penderita ini dikenal sebagai Health Care-
associated pneumonia (HCAP) (Maxine, 2012).
Faktor-faktor resiko bagi Health Care-associated pneumonia
(HCAP):
a) Mendapat terapi antibiotik didalam 90 hari sebelumnya
b) Pernah masuk Rumah Sakit secara akut paling tidak 2 hari
dalam 90 hari sebelumnya
c) Mengalami perawatan dirumah atau fasilitas perawatan yang
diperpanjang
d) Terapi infus dirumah, termasuk khemoterapi, dalam 30 hari
yang lewat
e) Dialisis yang panjang dalam 30 hari yang lewat
f) Perawatan luka dirumah
g) Anggota famili dengan infeksi melibatkan mikroba resisten
obat
h) Penyakit immunosupresive atau terapi Imunosupresi

18
4) Ventilator-Acquired Pneumonia (VAP)
Pneumonia terkait ventilator adalah pneumonia yang berkembang
48 – 72 jam setelah ventilasi mekanis diberikan melalui tabung
endotrakeal atau trakeostomi (Amanullah, 2015).
Patofisiologi dari Ventilator Associated Pneumonia (VAP) adalah
melibatkan dua proses utama, yaitu melalui kolonisasi pada saluran
pernapasan dan kolonisasi pada lambung.
Kolonisasi pada saluran pernapasan dimulai dari mikroorganisme
patogen dalam sekret akan membentuk biofilm dalam saluran
pernapasan. Mulai dari awal 12 jam setelah intubasi, biofilm
mengandung sejumlah bakteri yang dapat disebarluaskan ke dalam
paru-paru melalui ventilator. Pada keadaan ini, biofilm dapat
terlepas oleh cairan ke dalam selang endotrakeal, suction, batuk,
atau reposisi dari selang endotrakeal (Niederman dkk, 2005).
Selang endotrakeal menyebabkan gangguan abnormal antara
saluran pernapasan bagian atas dan trakea, melewati struktur dalam
saluran napas bagian atas dan memberikan bakteri jalan langsung
ke saluran napas bagian bawah karena saluran napas bagian atas
kehilangan fungsi karena terpasang selang endotrakeal,
kemampuan tubuh untuk menyaring dan melembabkan udara
mengalami penurunan. Selain itu, refleks batuk sering mengalami
penurunan bahkan hilang akibat pemasangan selang endotrakeal
dan kebersihan mukosa bisa terganggu karena cedera mukosa
selama intubasi (Hudak, 2016).
Sedangkan kolonisasi pada lambung dapat menjadi reservoir
untuk bakteri. Organ ini normalnya steril karena adanya aktivitas
bakterisidal asam hidroklorida. Akan tetapi, saat pH lambung
meningkat melebihi normal (pH >4), mikroorganisme dapat
berkembang biak. Kolonisasi lambung meningkatkan kolonisasi
retrograd di orofaring dan meningkatkan risiko pneumonia (Hudak,
2016).
Sebagian besar kasus Ventilator Associated Pneumonia (VAP)
disebabkan oleh patogen yang normalnya terdapat di orofaring
dan saluran cerna, atau yang didapat dari petugas medis yang

19
berasal dari lingkungan atau dari pasien-pasien lain. VAP
disebabkan oleh karena adanya bakteri yang membentuk koloni
pada paru (Sudoyo, 2009). Salah satunya adalah penelitian yang
dilakukan oleh Tohirin (2016), di ICU RSUP NCM tahun
20052006 yang menunjukan penyebab terbanyak VAP adalah
Acinetobacter anitratus yang disusul oleh Klebsiella pneumonia,
Pseudomonas aeroginosa, Staphylococcus aureus, Enterobacter
aerogenes, Staphylococcus epidermidis, Proteus mirabilis, dan
beberapa mikroorganisme lain.
Penelitian yang dilakukan oleh Yunita (2015), menyatakan bahwa
Acinetobacter baumannii menjadi salah satu organisme dominan
penyebab VAP. Sekitar 48% penyebab VAP adalah Acinetobacter
baumannii.
Menurut Andini (2012), menyebutkan bahwa faktor risiko
Ventilator Associated Pneumonia (VAP) dibagi menjadi tiga
kategori, yaitu :
a) Faktor yang berhubungan dengan host
Faktor yang berhubungan dengan host adalah perawatan
mulut yang buruk, posisi badan pasien, tingkat kesadaran,
jumlah intubasi, dan pengobatan, termasuk obat sedatif dan
antibiotika. Pada suatu studi, kontaminasi bakteri pada sekret
endotrakea lebih tinggi pada pasien dengan posisi supinasi dari
pada pasien dengan posisi semi recumbent. Berdasarkan
proses patofisiologi, pengobatan dan penurunan tingkat
kesadaran menghasilkan hilangnya refleks batuk dan refleks
muntah yang berkontribusi untuk risiko aspirasi sehingga
meningkatkan risiko terkena Ventilator Associated Pneumonia
(VAP).
b) Faktor yang berhubungan dengan alat
Faktor yang berhubungan dengan alat antara lain pipa
endotrakea, sirkuit ventilator , dan pipa nasogastrik atau
orogastrik. Genangan sekret di atas balon dari pipa
endotrakea dan tekanan balon yang rendah dapat memicu
mikroaspirasi dan atau kebocoran bakteri di sekitar balon

20
sampai ke trakea. Pipa nasogastrik dan orogastrik
mengganggu spinkter gastroesofagus yang menyebabkan
refluks dan peningkatan risiko terjadinya Ventilator
Associated Pneumonia (VAP).
c) Faktor yang berhubungan dengan staf kesehatan Pasien
yang menggunakan ventilator seringkali memerlukan
suctioning mengakibatkan kadang teenaga kesehatan tidak
melakukan pencucian tangan yang benar. Intervensi ini
meningkatkan kontaminasi silang antar pasien apabila tenaga
kesehatan tidak melakukan teknik pencucian sarung tangan
dengan benar. Kesalahan pencucian tangan dan penggantian
sarung tangan pada penanganan pasien yang terkontaminasi
berhubungan dengan peningkatan insidens Ventilator
Associated Pneumonia (VAP). Sementara faktor risiko VAP
yang termasuk kategori petugas yang terlibat dalam
perawatan pasien diantaranya kurangnya kepatuhan tenaga
kesehatan dalam melaksanakan prosedur cuci tangan
sebelum dan sesudah melakukan tindakan, prosedur
pemasangan pipa nasogastrik, perawatan mulut (oral
hygiene), prosedur penghisapan lender (suction), dan posisi
(Ernawati, 2006 dalam Cindy, 2009).
Menurut Linda (2004), menyebutkan bahwa diagnosis
Ventilator Associated Pneumonia (VAP) dapat ditegakkan
berdasarkan tiga komponen tanda infeksi sistemik, yaitu :
a) Demam lebih dari 38,0°C
b) Takikardi dan leukositosis disertai gambaran infiltrat baru
ataupun perburukan di foto thorak.
c) Adanya sekret trakea.
Semua pasien hendaknya di anamnesa dan dilakukan
pemeriksaan fisik secara menyeluruh untuk menentukan
berat ringannya Ventilator Associated Pneumonia (VAP),
menyingkirkan kemungkinan adanya infeksi lain, dan untuk
menemukan adanya kondisi spesifik lainnya yang dapat
memengaruhi diagnosis (Linda, 2004).

21
Diagnosis Ventilator Associated Pneumonia (VAP)
memiliki dua tujuan, yaitu :
a) Memastikan bahwa pasien tersebut mengalami pneumonia
nosokomial
b) Menentukan patogen penyebab pneumonia tersebut.
Diagnosis akurat untuk VAP masih tergolong sulit,
spesifitas diagnosis dapat ditingkatkan dengan
mengkombinasikan variabel-variabel (suhu, leukosit,
volume sekret trakea, purulensi sekret trakea, foto
thorax, oksigenasi PaO2/FiO2) (Andini, 2012).
b. Klasifikasi pneumonia berdasarkan anatomi
1) Pneumonia lobaris: sering pada pneumonia bacterial, jarang pada
bayi dan orang tua, poneumonia yang terjadi pada satu lobus atau
segmen kemungkinan sekunder disebabkan oleh obstruksi
bronkus, misalnya: pada aspirasi benda asing atau proses
keganasan.
2) Pneumonia lobularis (Bronkopneumonia): ditandai dengan
bercakbercak infiltrate pada lapang paru, dapat disebabkan oleh
bakteria maupun virus, sering terjadi pada bayi dan orang tua,
jarang dihubungkan dengan obstruksi bronkus
3) Pneumonia intertisial (Bronkiolitis): proses inflamasi yang terjadi
di dalam dinding alveolar (intertisium) dan jaringan pribronkial
serta interlobular
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2015).
c. Klasifikasi pneumonia berdasarkan klinis dan epidemiologi
1) Pneumonia Komunitas (PK) adalah pneumonia infeksius pada
seseorang yang tidak menjalani rawat inap di rumah sakit.
2) Pneumonia Nosokomial (PN) adalah pneumonia yang diperoleh
selama perawatan di rumah sakit atau sesudahnya karena penyakit
lain atau prosedur.
3) Pneumonia aspirasi disebabkan oleh aspirasi oral atau bahan dari
lambung, baik ketika makan atau setelah muntah. Hasil inflamasi
pada paru bukan merupakan infeksi tetapi dapat menjadi infeksi

22
karena bahan teraspirasi mungkin mengandung bakteri aerobic
atau penyebab lain dari pneumonia.
4) Pneumonia pada penderita immunocompromised adalah
pneumonia yang terjadi pada penderita yang mempunyai daya
tahan tubuh lemah.

8. Manifestasi Klinis
Gejala khas dari pneumonia adalah demam, menggigil, berkeringat, batuk
(baik non produktif atau produktif atau menghasilkan sputum berlendir,
purulen, atau bercak darah), sakit dada karena pleuritis dan sesak. Gejala
umum lainnya adalah pasien lebih suka berbaring pada yang sakit dengan
lutut tertekuk karena nyeri dada. Pemeriksaan fisik didapatkan retraksi atau
penarikan dinding dada bagian bawah saatpernafas, takipneu, kenaikan
atau penurunan taktil fremitus, perkusi redup sampai pekak
menggambarkan konsolidasi atau terdapat cairan pleura, ronki, suara
pernafasan bronkial, pleural friction rub (Dahlan, 2009).
Manifestasi klinis menurut Smeltzer & Bare, (2013) adalah :
a. Menggigil mendadak dan dengan cepat berlanjut menjadi demam
(38,5°C sampai 40,5°C).
b. Nyeri dada pleuritik yang semakin berat ketika bernafas dan batuk.
c. Pasien yang sakit parah mengalami takipnea berat (25 sampai 45 kali
pernafasan/menit) dan dispnea , ortopnea ketika tidak disangga.
d. Nadi cepat dan memantul, dapat meningkat sepuluh kali/ menit per
satu derajat peningkatan suhu tubuh (Celsius)
e. Bradikardia relatif untuk tingginya demam menunjukkan infeki virus,
inveksi mikoplsama, atau infeksi organisme legionella
f. Tanda lain : infeksi alura nafas atas, sakit kepala, demam derajat
rendah, nyeri pleuritik, mialgia, ruam, faringitis; setelah beberapa hari,
spurum mukoid atau mukopurulen dikeluarkan
g. Pneumonia berat: pipi memerah, bibir dan bantalan kuku
menunjukkan sianosis sentral
h. Sputum purulen, berwarna seperti karat, bercamur darah, kental, atau
hijau, bergantung pada agens penyebab
i. Nafsu makan buruk, pasien mengalami diaforesis dan mudah lelah.

23
j. Tanda dan gejala penumonia dapat juga bergantung pada kondisi
utama pasien ( misalnya, tanda berbeda dijumpai pada pasien dengan
kondisi seperti kanker, dan pada mereka yang menjalani terapi
imunosupresan, yang menurunkan resistansi terhadap infeksi).
9. Komplikasi
Komplikasi yang timbul dari pneumonia menurut Ngastiyah ,
(2005) yaitu:
a. Empiema adalah akumulasi pus diantara paru dan membran yang
menyelimutinya (ruang pleura) yang dapat terjadi bilamana suatu paru
terinfeksi.
b. Otitis media akut adalah infeksi pada telinga bagian tengah, Otitis
media akut sering dijumpai pada anak-anak. Biasanya anak
mengeluhkan nyeri disertai penurunan pendegaran.

c. Emfisema adalah penyakit progresif jangka panjang pada paru-paru


yang umumnya menyebabkan napas menjadi pendek Secara bertahap,
kerusakan jaringan paru pada emfisema akan membuatnya kehilangan
elastisitas. Kantung-kantung udara (alveoli) pada paru-paru penderita
juga rusak.
d. Meningitis adalah penyakit yang disebabkan oleh peradangan pada
selaput pelindung yang menutupi saraf otak dan tulang belakang yang
dikenal sebagai meninges. Peradangan biasanya disebabkan oleh
infeksi dari cairan yang mengelilingi otak dan sumsum tulang
belakang.
e. Efusi pleura adalah kondisi yang ditandai oleh penumpukan cairan di
antara dua lapisan pleura, Pleura merupakan membran yang
memisahkan paru-paru dengan dinding dada bagian dalam, Cairan
yang diproduksi pleura ini sebenarnya berfungsi sebagai pelumas yang
membantu kelancaran pergerakan paru-paru ketika bernapas.
f. Abses paru dalah infeksi paru-paru. Penyakit ini menyebabkan
pembengkakan yang mengandung nanah, nekrotik pada jaringan paru-
paru, dan pembentukan rongga yang berisi butiran nekrotik atau
sebagai akibat infeksi mikroba. Pembentukan banyak abses dapat
menyebabkan pneumonia atau nekrosis paru-paru.

24
g. Gagal napas adalah ketidakmampuan tubuh dalam mempertahankan
tekanan parsial normal O2 dan atau CO2 didalam darah. Gagal nafas
adalah suatu kegawatan yang disebabkan oleh gangguan pertukaran
oksigen dan karbondioksida, sehingga sistem pernafasan tidak
mampu memenuhi metabolisme tubuh.
h. Sepsis adalah suatu keadaan di mana tubuh bereaksi hebat terhadap
bakteria atau mikroorganisme lain.Sepsis merupakan suatu keadaan
yang mesti ditangani dengan baik yang berhubungan dengan adanya
infeksi oleh bakteri. Bila tidak segera diatasi,Sepsis dapat
menyebabkan kematian penderita.
Pneumonia umumnya bisa diterapi dengan baik tanpa menimbulkan
komplikasi. Akan tetapi, beberapa pasien, khususnya kelompok pasien
risiko tinggi, mungkin mengalami beberapa komplikasi seperti
bakteremia (sepsis), abses paru, efusi pleura, dan kesulitan bernapas
(Djojodibroto, 2013).
Bakteremia dapat terjadi pada pasien jika bakteri yang menginfeksi paru
masuk ke dalam aliran darah dan menyebarkan infeksi ke organ lain, yang
berpotensi menyebabkan kegagalan organ. Pada 10% pneumonia
pneumokokkus dengan bakteremia dijumpai terdapat komplikasi
ektrapulmoner berupa meningitis, arthritis, endokarditis,perikarditis,
peritonitis, dan empiema (Dahlan, 2009). Pneumonia juga dapat
menyebabkan akumulasi cairan pada rongga pleura atau biasa disebut
dengan efusi pleura. Efusi pleura pada pneumonia umumnya bersifat
eksudatif. Pada klinis sekitar 5% kasus efusi pleura yangdisebabkan oleh
P. pneumonia dengan jumlah cairan yang sedikit dan sifatnya sesaat (efusi
parapneumonik). Efusi pleura eksudatif yang mengandung
mikroorganisme dalam jumlah banyak beserta dengan nanah disebut
empiema. Jika sudah terjadi empiema maka cairan perlu di
drainagemenggunakan chest tubeatau dengan pembedahan (Djojodibroto,
2013).
10. Pencegahan
Di luar negeri di anjurkan pemberian vaksin influenza dan pneumokokus
pada orang dengan resiko tinggi. Vaksinasi sampai saat ini masih perlu
dilakukan penelitian tentang efektivitinya. Pemberian vaksin tersebut

25
diutamakan untuk golongan risiko tinggi misalnya usia lanjut, penyakit
kronik, diabetes, penyakit jantung koroner, PPOK, HIV, dll. Vaksinasi
ulang direkomendasikan setelah > 2 tahun. Efek samping vaksinasi yang
terjadi antara lain reaksi lokal dan reaksi yang jarang terjadi yaitu
hipersensitivitas tipe 3. Di samping itu vaksin juga perlu di berikan untuk
penghuni rumah jompo atau rumah penampungan penyakit kronik, dan
usia diatas 65 tahun. Selain vaksin, pola hidup sehat juga termasuk
tidakmerokok juga sangat direkomendasikan (Center of Disease Control
and Prevention, 2015).
Andini (2012), menyebutkan bahwa pencegahan terhadap Ventilator
Associated Pneumonia (VAP) dibagi menjadi dua kategori, yaitu :
1) Intervensi dengan tujuan mencegah kolonisasi :
a) Membatasi profilaksisi stres ulser pada penderita risiko tinggi.
b) Menggunakan sukralfat sebagai profilaksis stres ulser.
c) Dekontaminasi dan menjaga kebersihan mulut (oral hygiene).
d) Menggunakan antibiotik untuk dekontaminasi saluran cerna secara
selektif.
e) Menggunakan antibiotik yang sesuai pada penderita risiko tinggi.
f) Selalu mencuci tangan sebelum dan sesudah kontak dengan
penderita.
g) Mengisolasi penderita risiko tinggi dengan kasus Multi Drug
Resistance (MDR).
2) Intervensi dengan tujuan utama mencegah aspirasi :
a) Menghentikan penggunaan pipa nasogastrik atau pipa endotrakeal
segera mungkin.
b) Posisi penderita semi recumbent atau setengah duduk.
c) Menghindari distensi lambung berlebihan.
d) Intubasi oral atau non-nasal.
e) Pengaliran sirkuit ventilator.
f) Menghindari reintubasi dan pemindahan penderita jika tidak
diperlukan.
g) Ventilasi masker non invasif untuk mencegah intubasi trakea.
h) Menghindari penggunaan sedasi jika tidak diperlukan.

26
Pencegahan VAP secara non farmakologi saja kurang efektif
dalam mengurangi angka risiko terjadinya VAP. Oleh karena itu perlu
dikombinasikan dengan pencegahan VAP secara farmakologi, sehingga
lebih efektif dan mampu untuk menurunkan angka kejadian VAP ( Hudak,
2016).

11. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien Pneumonia meliputi : a.
Penatalaksanaan Medis
Menurut Riyadi, (2009), pengobatan diberikan berdasarkan etiologi
dan uji resistensi, akan tetapi, karena hal itu perlu waktu, dan pasien
perlu therapi secepatnya maka biasanya diberikan :
1) Penisilin 50.000 u/kg BB/hari ditambah dengan kloramfenikol
50 –70 mg/kg BB/hari atau diberikan antibiotik yang
mempunyai spektrum luas seperti ampisilin. Pengobatan ini
diteruskan sampai bebas demam 4 – 5 hari. Pemberian obat
kombinasi bertujuan untuk menghilangkan penyebab infeksi
yang kemungkinan lebih dari 1 jenis juga untuk menghindari
resistensi antibiotic.
2) Koreksi gangguan asam bas dengan pemberian oksigen dan
cairan intravena, biasanya diperlukan campuran glukosa 5% dan
NaCl 0,9% dalam perbandingan 3:1 ditambah larutan KCl 10
mEq/500ml/botol infus.
3) Karena sebagian besar pasien jatuh ke dalam asrdosis metabolik
akibat kurang makan dan hipoksia, maka dapat diberikan
koreksi sesuai dengan hasil analisis gas darah arteri.
4) Pemberian makanan enteral bertahap melalui selang NGT pada
penderita yang sudah mengalami perbaikan sesak nafasnya.
5) Jika sekresi lendir berlebihan dapat diberikan inhalasi dengan
salin normal dan beta agonis untuk memperbaiki transport
mukosilier seperti pemberian terapi nebulizer dengan flexoid
dengan ventolin. Selain bertujuan mempermudah mengeluarkan
dahak juga dapat meningkatkan lebar lumen bronkus.
Pada tatalaksana pedoman pengobatan pneumonia
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003; American

27
Thoracic Society, 2005) bahwa antibiotik merupakan
pengobatan utama untuk mengobati penyakit pneumonia yang
disebabkan oleh bakteri dan mikroorganisme lainnya.
Bronkodilator digunakan sebagai obat pendukung untuk
mengobati gejala sesak nafas pada pasien yang menderita
pneumonia. tersebut mengalami keluhan dengan asam lambung.
Pneumonia nosokomial (hospital-acquired pneumonia = HAP)
adalah pneumonia yang timbul setelah dua hari rawatan di
rumah sakit atau selama 10-14 hari setelah pasien pulang rawat
(Cunha, 2018). Pilihan antibiotika untuk pneumonia yang
didapat di rumah sakit bergantung kepada waktu timbulnya
pneumonia nosokomial. Pasien dengan pneumonia yang timbul
sebelum 5 hari dan tanpa faktor risiko dapat diberikan
Seftriakson atau Sefotaksim atau Seftarolin atau Fluorokuinolon
(Castillo, 2017 dalam Roza, 2019).
Pada pasien dengan pneumonia berat, Linezolid atau
Vankomisin dipilih apabila terdapat faktor risiko terhadap
infeksi Staphylococcus aureus. Apabila pasien berisiko
terhadap bakteri Pseudomonas aeruginosa maka ß Laktam
Antipseudomonas menjadi pilihan. Selain itu dipertimbangkan
juga pola resistensi setempat. Pasien dengan kondisi tertentu
memiliki risiko terinfeksi dengan mikroorganisme yang
spesifik. Risiko mengalami patogen multidrug-resistant antara
lain terdapat pada pasien dengan riwayat penggunaan
antibiotika, perawatan >5 hari dalam 90 terakhir, dialisis kronik,
dan berbagai kondisi lainnya. Pasien yang dirawat di ICU,
mendapat terapi steroid jangka lama dan pneumonia nosokomial
late onset berisiko untuk terinfeksi kuman Pseudomonas
(Castillo, 2017 dalam Roza, 2019).
Terapi antibiotika diberikan segera setelah diagnosis
ditegakkan. Lama pemberian antibiotika sekitar 7-10 hari, dan
diberikan selama 14 hari jika ada kecurigaan terhadap infeksi
Pseudomonas (Castillo, 2014).

28
Adapun kriteria untuk merubah terapi injeksi menjadi
antibiotika oral antara lain pasien bisa menerima asupan oral,
frekuensi jantung kurang dari 100 kali per menit, tekanana darah
di atas 90 mmHg, frekuensi napas <25 kali per menit,
kembalinya fungsi kognitif sebelum sakit, dan suhu tubuh
<38,3˚C. Antibiotika oral dapat diberikan apabila saturasi
oksigen > 90% atau tekanan oksigen arteri > 60 mmHg pada
ruangan biasa atau dengan oksigen dosis rendah via nasal kanul,
atau telah bisa kembali ke kadar oksigen dasar bagi pasien
dengan terapi oksigen jangka panjang (Kaysin, 2016 dalam
Roza, 2019).
Beberapa pedoman dalam pengobatan pneumonia nosokomial
(Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2003):
1) Semua terapi awal antibiotik adalah empirik dengan
pilihan antibiotik yang harus mampu mencakup
sekurangkurangnya 90% dari patogen yang mungkin
sebagai penyebab perhitungkan pola resistensi setempat.
2) Terapi awal antibiotik secara empiris pada kasus yang berat
dibutuhkan dosis dan cara pemberian yang adekuat untuk
menjamin efektivitas yang maksimal. Pemberian terapi
emperis harus intravena dengan sulih terapi pada pasien
yang terseleksi, dengan respons klinis dan fungsi saluran
cerna yang baik.
3) Pemberian antibiotik secara de-eskalasi harus
dipertimbangkan setelah ada hasil kultur yang berasal dari
saluran napas bawah dan ada perbaikan respons klinis.
4) Kombinasi antibiotik diberikan pada pasien dengan
kemungkinan terinfeksi kuman Multi Drug Resistance
(MDR).
5) Jangan mengganti antibiotik sebelum 72 jam, kecuali jika
keadaan klinis memburuk.
6) Data mikroba dan sensitivitif dapat digunakan untuk
mengubah pilihan empirik apabila respons klinis awal
tidak memuaskan. Modifikasi pemberian antibiotik

29
berdasarkan data mikrobial dan uji kepekaan tidak akan
mengubah mortalitas apabila terapi empirik telah
memberikan hasil yang memuaskan. Terapi efektif yang
dilakukan secara cepat /awal dapat menurunkan angka
mortalitas.
Penatalaksanaan optimal pada pasien yang dicurigai Ventilator
Associated Pneumonia (VAP) membutuhkan tindakan yang cepat
dan tepat dengan pemberian antimikroba/antibiotik dan perawatan
menyeluruh. Sebagian besar penelitian menunjukkan penundaan
pemberian terapi yang efektif menyebabkan peningkatan angka
kematian. Sedangkan pasien yang terkena VAP setelah penggunaan
ventilator mekanik jangka panjang dan telah pernah menggunakan
antibiotik sebelumnya memerlukan antibiotik kombinasi agar dapat
mengatasi patogen yang potensial. Kurang lebih 50% antibiotik
yang diberikan di Intensive Care Unit (ICU) adalah ditujukan untuk
infeksi saluran pernapasan (Hudak, 2016). Menurut Luna (2007),
menyebutkan bahwa pemberian antibiotik yang adekuat sejak awal
dapat meningkatkan angka ketahanan hidup.
b. Penatalaksanaan Keperawatan
Penatalaksanaan keperawatan dalam hal ini dilakukan adalah :
1) Menjaga kelancaran pernapasan
Klien pneumonia berada dalam keadaan dispnea dan sianosis
karena adanya radang paru dan banyaknya lendir di dalam
bronkus atau paru. Agar klien dapat bernapas secara lancar,
lendir tersebut harus dikeluarkan dan untuk memenuhi
kebutuhan O2 perlu dibantu dengan memberikan O2 2 l/menit
secara rumat.
Pada anak dapat dilakukan :
a) Berikan sikap berbaring setengah duduk
b) Longgarkan pakaian yang menyekat seperti ikat
pinggang, kaos yang sempit.
c) Ajarkan bila batuk, lendirnya dikeluarkan dan katakan
kalau lendir tersebut tidak dikeluarkan sesak nafasnya
tidak akan segera hilang,

30
d) Beritahukan pada anak agar ia tidak selalu berbaring ke
arah dada yang sakit, boleh duduk/miring ke bagian yang
lain.
Pada bayi dapat dilakukan :
a) Baringkan dengan letak kepala ekstensi dengan
memberikan ganjal dibawah bahunya.
b) Bukalah pakaian yang ketat seperti gurita.
c) Isaplah lendir dan berikan O2 rumat sampai 2 l/menit.
Pengisapan lendir harus sering yaitu pada saat terlihat lendir
di dalam mulut, pada waktu akan memberikan minum,
mengubah sikap baring/tindakan lain.
d) Perhatikan dengan cermat pemberian infus, perhatikan
apakah infus lancar.
2) Kebutuhan Istirahat
Klien Pneumonia adalah klien payah, suhu tubuhnya tinggi,
sering hiperpireksia maka klien perlu cukup istirahat, semua
kebutuhan klien harus ditolong di tempat tidur. Usahakan
pemberian obat secara tepat, usahakan keadaan tenang dan
nyaman agar pasien dapat istirahat sebaik-baiknya.
3) Kebutuhan Nutrisi dan Cairan
Pasien pneumonia hampir selalu mengalami masukan makanan
yang kurang. Suhu tubuh yang tinggi selama beberapa hari dan
masukan cairan yang kurang dapat menyebabkan dehidrasi.
Untuk mencegah dehidrasi dan kekurangan kalori dipasang
infus dengan cairan glukosa 5% dan NACL 0,9% dalm
perbandingan 3:1 ditambahkan KCL 10 mEq/500 ml/botol
infus.

Pada bayi yang masih minum ASI, bila tidak terlalu sesak ia
boleh menetek selain memperoleh infuse. Beritahukan ibunya
agar pada waktu bayi menetek puting susunya harus
seringsering dikeluarkan untuk memberikan kesempatan bayi
bernafas.
12. Pemeriksaan Penunjang
a. Darah perifer lengkap

31
Pada pneumonia yang disebabkan oleh virus dan mikoplasma, jumlah
leukosit dalam batas normal atau sedikit meningkat, sedangkan
pneumonia karena bakteri, terjadi leukositosis ( 15.000 – 40.000/mm3
) dengan predominan leukosit PMN. Pada infeksi Chlamydia
pneumoniae kadang – kadang ditemukan adanya eosinofilia.
b. Uji serologis
Uji serologis bertujuan untuk mendeteksi antigen dan antibodi pada
infeksi bakteri tipik yang mempunyai sensitifitas dan spesifitas
rendah. Diagnosis infeksi Streptokokus grup A dapat diketahui
dengan titer antibodi yang meningkat seperti antistreptolisin O,
streptozim, atau antiDnase B. Peningkatan titer juga bisa menunjukan
adanya infeksi yang pernah terjadi. Untuk membedakannya
diperlukan serum fase akut dan serum fase konvalesen, namun secara
umum uji serologis tidak terlalu bermanfaat dalam mendiagnosis
infeksi bakteri tipik, tetapi bermanfaat untuk mendiagnosis bakteri
atipik seperti mikoplasmadan klamidia, serta beberapa virus ( RSV,
sitomegalo virus, campak, influenza A dan B, adenovirus ),
peningkatan antibodi IgM dan IgG dapat membantu diagnosis.
c. Pemeriksaan mikrobiologis
Pemeriksaan mikrobiologis pada pneumonia anak tidak perlu
dilakukan, kecuali pada pneumonia yang berat dan memerlukan rawat
inap di rumah sakit. Spesimen pemeriksaan ini bisa diambil dari usap
tenggorok, sekret nasofaring, bilasan bronkus, aspirasi paru, darah,
dan pungsi paru. Diagnosis definitif bila kuman ditemukan dari
aspirasi paru, cairan pleura, dan darah.
d. Pemeriksaan rontgen thorax
Pemeriksaan menggunakan foto thoraks (PA/lateral) merupakan
pemeriksaan penunjang utama (goldstandard) untuk menegakkan
diagnosis pneumonia. Gambaran radiologis dapat berupa infiltrat
sampai konsoludasi dengan air bronchogram, penyebaran
bronkogenik dan intertisial serta gambaran kavitas (Dahlan, 2009).

32
B. Konsep Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
Menurut Hidayat dkk (2012), pengkajian adalah langkah awal
dari tahapan proses keperawatan, kemudian dalam mengkaji harus
memperhatikan data dasar dari pasien, untuk informasi yang
diharapakan dari pasien. Pengkajian keperawatan pada seluruh tingkat
analisis (individu, keluarga, komunitas) terdiri atas data subjektif dari
seseorang atau kelompok, dan data objektif dari pemeriksaan diagnostik
dan sumber lain. Pengkajian individu terdiri atas riwayat kesehatan (data
subjektif) dan pemeriksaan fisik (data objektif) (Weber & Kelley 2009).
a. Biodata
Anamnesis yang diperoleh dari anamnesis umum merupakan
identitas diri pasien yaitu nama, umur, alamat, jenis kelamin, agama,
pekerjaan, dan hobi (Febrianto, 2013).
b. Riwayat Kesehatan
1) Keluhan Utama dan Riwayat Kesehatan Sekarang
Keluhan utama yang sering timbul pada klien pneumonia adalah
adanya awitan yang ditandai dengan keluhan menggigil, demam
≥40oC, nyeri pleuretik, batuk, sputum berwarna seperti karat,
takipnea terutama setelah adanya konsolidasi paru.
2) Riwayat Kesehatan Masa Lalu
Pneumonia sering kali timbul setelah infeksi saluran napas atas
(infeksi pada hidung dan tenggorokan). Risiko tinggi timbul pada
klien dengan riwayat alkoholik, posr-operasi, infeksi pernapasan
dan klien dengan imunosupresi (kelemahan dalam sistem imun).
Hampir 60% dari klien kritis di ICU dapat menderita pneumonia
dan 50% (separuhnya) akan meninggal dunia.
c. Pengkajian Fokus
Menurut Muttaqin (2014), pengkajian fokus pada pasien pneumonia
adalah sebagai berikut:
1) Breathing
Pemeriksaan fisik pada klien dengan pneumonia merupakan
pemeriksaan fokus, berurutan pemeriksaan ini terdiri atas
inspeksi, palpasi, perkusi dan auskultasi. a) Inspeksi

33
Bentuk dada dan pergerakan pernapasan: gerakan
pernapasan simetris, pada klien dengan pneumonia sering
ditemukan peningkatan frekuensi napas cepat dan dangkal,
serta adanya retraksi sternum dan intercostal sternum space
(ICS). Napas cuping hidung pada sesak berat dialami
terutama pada anak-anak.
Batuk dan sputum: saat dilakukan pengkajian batuk
pada klien demgan pneumonia biasanya didapatkan batuk
produktif disertai dengan adanya peningkatan produksi
sekret dan sekresi sputum yang purulen.
b) Palpasi
Gerakan dinding thoraks anterior/ ekskrusi
pernapasan: pada palpasi klien dengan pneumonia, gerakan
pada saat bernafas biasanya normal dan seimbang antara
bagian kanan dan kiri.
Getaran suara (fremitus fokal): taktil fremitus pada
klien dengan pneumonia biasanya normal.
c) Perkusi
Klien dengan pneumonia tanpa disertai komplikasi,
biasanya didapatkan bunyi resonan atau sonor pada seluruh
lapang paru. Bunyi redup perkusi pada klien dengan
pneumonia didapatkan apabila bronkopneumonoia menjadi
satu sarang (kunfluens).
d) Auskultasi
Pada klien dengan pneumonia, didapatkan bunyi napas
tambahan ronkhi basah pada sisi yang sakit. Penting bagi
perawat pemeriksa untuk mendokumentasikan hasil
auskultasi didaerah mana didapatkan adanya ronkhi.
2) Blood
Pada pasien dengan pneumonia pengkajian yang didapat
meliputi:
a) Inspeksi : didapatkan adanya kelemahan fisik secara umum
b) Palpasi : denyut nadi perifer melemah
c) Perkusi : batas jantung tidak mengalami pergeseran

34
d) Auskultasi : tekanan darah biasanya normal. Bunyi jantung
tambahan biasanya tidak didapatkan
3) Brain
Klien dengan pneumonia berat sering terjadi penurunan
kesadaran, didapatkan sianosis perifer apabila gangguan perfusi
jaringan berat. Pada pengkajian objektif, wajah klien tampak
meringis, menangis, merintih, meregang, dan menggeliat.
4) Bladder
Pengukuran volume output urine berhubungan dengan intake
cairan. Oleh karena itu, perawat perlu memonitor adanya oliguria
karena hal tersebut merupakan tanda awal dari syok.
5) Bowel
Klien biasanya mengalami mual, muntah, penurunan nafsu
makan, dan penurunan berat badan.
6) Bone
Kelemahan dan kelelahan fisik secara umum sering menyebabkan
ketergantungan klien terhadap bantuan orang lain dalam
melakukan aktivitas sehari-hari.
d. Pemeriksaan Fisik
Menurut Somantri (2009), presentasi bervariasi bergantung
pada etiologi, usia dan keadaan klinis
1) Awitan akut biasanya oleh kuman patogen seperti
S. Pneumoniae, Streptococcus spp, dan
Staphylococcus. Pneumonia virus ditandai dengan
mialgia, malaise, batuk kering yang nonproduktif.
2) Awitan yang tidak terlihat dan ringan pada orang
tua/orang dengan penurunan imunitas akibat
kuman yang kurang patogen/ oportunistik.
3) Tanda-tanda fisik pada pneumonia klasik yang
biasa dijumpai adalah demam, sesak napas, tanda-
tanda konsolidasi paru (perkusi paru yang dullnes,
ronchi nyaring, serta suara pernapasan bronkial).

35
4) Ronchi basah dan gesekan pleura dapat terdengar
diatas jaringan yang terserang karena eksudat dan
fibrin dalam alveolus.
Pengkajian kardiovaskular dan paru harus dilakukan secara
komperhensif, perawat harus mengkaji adanya tanda-tanda hipoksia
(kulit keabu-abuan atau sianosis) dan dispnea (napas cuping hidung).
Pasien memperlihatkan gejala awitan awal pada pernapasan (misal
batuk, produksi sputum dan dispnea) yang biasanya disertai dengan
demam dan menggigil, inspeksi dada meliputi pengkajian pola
pernapasan dan frekuensi pernapasan, observasi postur tubuh pasien
dan kerja pernapasan, serta inspeksi adanya retraksi interkosta.
Perkusi dada biasanya menghasilkan bunyi pekak pada pneumonia
lobus. Penurunan bunyi napas terdengar pada saat auskultasi.
Craclke awal yang halus (dulu disebut rales) atau bunyi napas
bronkus terdengar di area konsoldasi (Morton dkk, 2014).

2. Diagnosa Keperawatan

Diagnosis keperawatan adalah penilaian klinis tentang respons


manusia terhadap gangguan kesehatan atau proses kehidupan, atau
kerentangan respons dari seorang individu, keluarga, kelompok, atau
komunitas. Diagnosis keperawatan biasanya berisi dua bagian yaitu
deskription atau pengubah, fokus diagnosis, atau konsep kunci dari
diagnosis (Hermand dkk, 2015).
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi
saluran pernafasan akibat peningkatan mukus yang berlebih.
b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan pengembangan paru
yang menurun.
c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran
alveolar kapiler oleh adanya edema alveoli.
d. Intoleransi aktifitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara
suplai dan kebutuhan oksigen, kelemahan umum.
e. Hipertermia berhubungan dengan proses peradangan.
f. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan
kehilangan cairan berlebihan terhadap evaporasi yang berlebih.

36
g. Resiko tinggi nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan
dengan intake yang tidak adekuat sekunder terhadap anoreksia,
peningkatan kebutuhan metabolik sekunder terhadap demam dan
proses infeksi.
(Hidayat, 2006; Doenges, 2000 dan Speer, 2007)
3. Intervesi Keperawatan

Intervensi keperawatan merupakan tahap ketiga dalam proses


keperawatan dimana pada tahap ini perawat menentukan suatu rencana
yang akan diberikan pada pasien sesuai dengan masalah yang dialami
pasien setelah pengkajian dan perumusan diagnosa. Intervensi
keperawatan yang ditetapkan pada kasus pneumonia adalah :

a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi saluran


pernafasan akibat peningkatan mukus yang berlebih.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan bersihan jalan nafas


efektif.
Kriteria Hasil :
1) Tidak ada dispnea
2) Perkusi paru sonor
3) Tidak ada penggunaan otot bantu nafas
4) Tidak ada batuk produktif Intervensi :
1) Auskultas area paru, catat area penurunan / tidak ada aliran udara
dan bunyi nafas lain.
Rasional : Penurunan aliran udara terjadi pada area konsolidasi
dengan cairan. Bunyi nafas bronkhial (normal pada bronkhus)
dapat juga terjadi pada area konsolidasi.
Krekels terdengar pada inspirasi.
2) Kaji frekuensi / kedalaman pernafasan dan gerakan dada. Rasional
: Tachipnea, pernafasan dangkal dan gerakan dada tak simetris
sering terjadi karena ketidaknyamanan gerakan dinding dada/ atau
cairan paru.
3) Atur posisi setengah fowler pada anak besar dan ekstensikan kepala
pada bayi.
Rasional : Posisi duduk memungkinkan upaya nafas lebih dalam
dan lebih kuat.

37
4) Berikan obat sesuai indikasi : mukoitik, ekspektoran,
bronkodilator, analgetik
Rasional : Alat untuk menurunkan spasme bronkus dengan
mobilisasi sekret. Analgetik diberikan untuk memperbaiki
batuk dengan menurunkan ketidaknyamanan tetapi harus
digunakan hati-hati.
5) Berikan cairan tambahan IV atau oksigen
Rasional : Cairan diperlukan untuk menggantikan kehilangan
(termasuk tak tampak) dan memobilisasikan secret.

b. Pola nafas tidak efektif berhubungan dengan pengembangan paru yang


menurun.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan pola nafas kembali
efektif.

Kriteria hasil:
1) RR = 30 - 40 x/menit
2) Tidak ada dispnea 3) Pengembangan paru
maksimal Intervensi :
1) Aturlah posisi dengan memungkinkan ekspansi paru maksimum
dengan semi fowler atau kepala agak tinggi kurang lebih 30o.
Rasional : Posisi semi fowler akan meningkatkan ekspansi paru.
2) Kaji pernapasan, irama, kedalaman atau gunakan oksimetri nadi
untuk memantau saturasi oksigen.
Rasional : Tachipnea, pernafasan dangkal dan gerakan dada tak
simetris sering terjadi karena ketidaknyaman gerakan dinding
dada.
3) Berikan bantal atau sokongan agar jalan nafas memungkinkan tetap
terbuka
Rasional : Sokongan bantal akan membantu membuka jalan napas.
4) Ajarkan teknik relaksasi pada anak yang sudah memahami, sudah
bisa atau mengerti.
Rasional : Relaksasi akan membantu menurunkan kecemasan
sehingga kebutuhan O2 tidak meningkat.
5) Kolaborasi oksigen sesuai kebutuhan

38
Rasional : Pemberian O2 akan membantu memenuhi kebutuhan O2
tubuh.

c. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran


alveolar kapiler akibat edema alveoli.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan, pertukaran gas


maksimal.

Kriteria Hasil :
1) Klien tidak dispnea

2) Klien tidakk ada kebiruan

3) N = 90 - 100 x/menit

4) PO2 normal pada GDA

5) PCO2 normal

6) Warna kulit normal 7) Pasien tidak gelisah Intervensi:

1) Kaji frekuensi, kedalaman, dan kemudahan bernafas

Rasional : Manifestasi distres pernafasan tergantung pada


indikasi derajat keterlibatan paru dan status kesehatan umum. 2) Atur
posisi yang dapat meningkatkan kenyamanan anak

Rasional : Memberikan posisi yang nyaman seperti posisi semi


fowler, membuat anak bernafas dengan mudah.

3) Observasi warna kulit, membran mukosa dan kuku, catat adanya


fianosis perifer (kuku) atau sianosis sentral.

Rasional : Sianosis kuku menunjukkan vasokonstriksi atau respon


tubuh terhadap demam/ menggigil. Namun sianosis daun telinga,
membran mukosa dan kulit sekitar mulut menunjukkan
hipoksemia sistemik.

4) Pertahankan istirahat tidur dorong menggunakan teknik relaksasi


dan aktivitas senggang.

Rasional : Mencegah terlalu lelah dan menurunkan kebutuhan/


konsumsi oksigen untuk memudahkan perbaikan infeksi.

5) Kolaborasi pemberian therapi O2 dengan benar

39
Rasional : Tujuan therapi oksigen adalah mempertahankan P aO2
diatas 60 mmHg.

6) Awasi GDA
Rasional : Mengevaluasi proses penyakit dan memudahkan terapi
paru.

d. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan ketidakseimbangan antara


suplai dan kebutuhan O2, kelemahan umum.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan klien toleran


terhadap aktivitas Kriteria Hasil :

1) Klien tidak tampak kelemahan

2) Dyspnea berkurang

3) Tidak ada dyspnea saat aktivitas

4) Tidak ada sianosis setelah aktivitas

5) Dapat beraktivitas optimal Intervensi :

1) Evaluasi respon pasien terhadap aktivitas, catat lapoan dispnea.


Peningkatan kelemahan / kelelahan dan perubahan tanda vital
selama dan setelah aktivitas

Rasional : Menetapkan kemampuan/ kebutuhan pasien dan


memudahkan pilihan intervensi.

2) Bantu pasien dalam melakukan aktivitas yang sesuai dan berikan


aktivitas yang menyenangkan sesuai dengan
kemampuan dan minat pasien.

Rasional : Menurunkan kebutuhan O2

3) Berikan lingkungan yang tenang dan batasi pengunjung selama


fase akut sesuai indikasi

Rasional : Menurunkan stres dan rangsangan berlebihan,


meningkatkan istirahat.

4) Jelaskan pentingnya istirahat dalam rencana pengobatan dan


perlunya keseimbangan aktivitas dan istirahat.

40
Rasional : Tirah baring dipertahankan selama fase akut untuk
menurunkan kebutuhan metabolik, menghemat energi untuk
penyembuhan.

5) Bantu aktivitas perawatan diri yang diperlukan.

Rasional : Meminimalkan kelelahan dan membantu keseimbangan


suplai dan kebutuhan oksigen.

e. Hipertemi berhubungan dengan proses peradangan

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan panas berkurang


Kriteria Hasil :

1) Suhu tubuh dalam batas normal (>37,8 oC)

2) Akral dingin Intervensi :

1) Pertahankan lingkungan yang dingin

Rasional : lingkungan dingin akan menurunkan suhu tubuh melalui


kehilangn panas pancaran

2) Berikan kompres hangat basah

Rasional : kompres hangat basah akan mendinginkan permukaan


tubuh secara konduksi.

3) Pantau suhu tubuh anak setiap 2-4 jam, waspadai bila ada kenaikan
suhutubuh secara tiba-tiba

Rasional : peningkatan suhu tiba-tiba dapat mengakibatkan kejang

4) Kolaborasi pemberian antipiretik

Rasional : pemberian antipiretik dapat mengurangi demam secara


efektif.

f. Resiko tinggi kekurangan volume cairan berhubungan dengan


kehilangan cairan berlebihan terhadap evaporasi yang berlebih.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak terjadi


kekurangan volume cairan.

Kriteria Hasil :

1) Membran mukosa lembab

2) Turgor kulit baik

41
3) Pengisian kapiler cepat

4) Tanda vital stabil 5) Balance cairan stabil Intervensi :

1) Kaji perubahan tanda vital

Rasional : Peningkatan suhu / memanjangnya demam,


meningkatkan laju metabolik dan kehilangan cairan melalui
evaporasi. TD ortostatik berubah dan peningkatan tachicardia
menunjukkan kekurangan cairan sistemik.

2) Kaji turgor kulit, kelembaban membran mukosa (bibir, lidah)

Rasional: Indikator langsung keadekuatan volume cairan,


meskipun membran mukosa mulut mungkin kering karena nafas
mulut dan oksigen tambahan.

3) Pantau masukan dan haluaran, cacat warna, karakter urine. Hitung


keseimbangan cairan. Waspadai kehilangan yang tak tampak. Ukur
BB sesuai indikasi.

Rasional : Memberikan informasi tentang keadekuatan volume


cairan dan kebutuhan penggantian.

4) Kolaborasi pemberian obat sesuai indikasi (antiseptik, antiemetic)

Rasional : Berguna menurunkan kehilangan cairan.

5) Kolaborasi pemberian cairan IV sesuai keperluan

Rasional : Pada adanya penurunan masukan / banyak kehilangan,


penggunaan parenteral dapat memperbaiki / mencegah
kekurangan.

g. Resiko tinggi nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan


intake yang tidak adekuat. Sekunder terhadap anoreksia, peningkatan
kebutuhan metabolik sekunder terhadap demam dan proses infeksi.

Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan tidak terjadi nutrisi


kurang dari kebutuhan.

Kriteria Hasil :

1) Tidak ada mual ataupun muntah

2) BB stabil

42
3) Nafsu makan meningkat

4) IMT Stabil Intervensi :

1) Identifikasi faktor yang menimbulkan mual/muntah, misalnya


sputum banyak, pengobatan aerosol, dispnea berat, nyeri.

Rasional : Pilihan intervensi tergantung pada penyebab masalah.

2) Berikan wadah tertutup untuk sputum dan buang sesering mungkin.

Rasional : Menghilangkan tanda bahaya, rasa bau dari lingkungan


pasien dan dapat menurunkan mual.

3) Jadwalkan pengobatan pernapasan sedikitnya 1 jam sebelum


makan

Rasional : Menurunkan efek mual yang berhubungan dengan


pengobatan ini.

4) Berikan makan posri kecil dan sering termasuk makanan kering


dan atau makanan yang menarik.

Rasional : Tindakan ini meningkatkan masukan meskipun nafsu


makan mungkin lambat untuk kembali.
5) Evaluasi status nutrisi umum, ukur BB

Raasional : Adanya kondisi kronis atau keterbatasan keuangan


dapat menimbulkan malnutrisi, rendahnya tahanan terhadap
infeksi dan / lambatnya respons therapi.
( Speer, 2007; Hidayat, 2006 dan Doenges 2000)

4. Implementasi
Implementasi atau pelaksanaan adalah inisiatif dari rencana
tindakan untuk mencapai tujuan yang spesifik. Tahap implementasi di
mulai setelah rencana tindakan di susun dan di tujukan pada rencana
strategi untuk membantu mencapai tujuan yang di harapkan. Oleh sebab
itu, rencana tindakan yang spesifik di laksanakan untuk memodifikasi
faktor-faktor yang mempengaruhi masalah kesehatan. Tujuan dari
implementasi adalah membantu dalam mencapai tujuan yang telah di
tetapkan, yang mencakup peningkatan kesehatan, pencegahan penyakit,

43
pemulihan kesehatan dan memfasilitasi koping (Efendi & Makhfudli,
2009).

5. Evaluasi
Evaluasi adalah tindakan intelektual untuk melengkapi proses
keperawatan yang menandakan seberapa jauh diagnosis keperawatan,
rencana tindakan dan implementasinya sudah berhasil di capai. Tujuan
evaluasi adalah melihat kemampuan klien dalam mencapai tujuan. Hal ini
bisa di laksanakan dengan mengadakan hubungan dengan klien
berdasarkan respon klien terhadap tindakan keperawatan yang di berikan,
sehingga perawat dapat mengambil keputusan. Proses evaluasi terdiri atas
dua tahap yaitu mengukur pencapaian tujuan klien yang baik kognitif,
afektif, psikomotor dan perubahan fungsi tubuh serta gejalanya serta
membandingkan data yang terkumpul dengan tujuan dan pencapaian
tujuan (Efendi & Makhfudli, 2009).
Dari masalah yang muncul, evaluasi yang diharapkan oleh penulis
yaitu:
1. Kebersihan jalan nafas kembali efektif
2. Pola nafas kembali efektif
3. pertukaran gas maksimal.
4. Pasien dapat melakukan aktivitas secara mandiri
5. panas berkurang
6. tidak terjadi kekurangan volume cairan
7. kebutuhan nutrisi terpenuhi

44
BAB III PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Berdasarkan anatomi sistem pernapasan terdiri atas hidung, faring, laring,
trakea, bronkus, dan paru – paru.
2. Pneumonia adalah suatu proses peradangan dimana terdapat konsolidasi
yang disebabkan pengisisan rongga alveoli oleh eksudat. Pertukaran gas
tidak dapat berlangsung pada daerah yang mengalami konsolidasi,
begitupun dengan aliran darah disekitar alveoli menjadi terhambat dan
tidak berfungsi makasimal. Hipoksemia dapat terjadi, bergantung pada
banyaknya jaringan paru-paru yang sakit (Somantri, 2009).
3. Etiologi pneumonia dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme
seperti bakteri, virus, jamur, protozoa, aspirasi, pneumonia hipostatis.
4. Pneumonia merupakan respons inflamasi terhadap benda asing yang tanpa
sengaja teraspirasi atau multiplikasi mikroorganisme tidak terkontrol yang
menginvasi saluran pernapasan bawah. Respons tersebut menyebabkan
akumulasi neutrofil dan sel efektor di bronkus perifer dan ruang alveolar.
Sistem pertahanan tubuh yang mencakup pertahanan anatomis, mekanis,
humoral, dan seluler dirancang untuk menyingkirkan organisme yang
memasuki saluran pernapasan. Sebagian besar penyakit sistemik
meningkatkan risiko pneumonia pada pasien dengan cara mengubah
mekanisme pertahanan pernapasan. Pneumonia terjadi jika mekanisme
pertahanan paru yang normal terganggu atau bekerja terlalu berat,
sehingga mikroorganisme berkembang dengan cepat (Morton dkk, 2014).
5. Klasifikasi pneumonia berdasarkan letak terjadinya yaitu,
CommunityAcquired Pneumonia (CAP), Hospital-Acquired Pneumonia
(HAP), Ventilator-Acquired Pneumonia (VAP), dan Pneumonia COVID –
19. Berdasarkan letak anatomisnya dibagi menjadi pneumonia lobaris,
pneumonia lobularid, pneumonia interstitial. Berdasarkan klinis dan
epidemologi yaitu, pneumonia komunitas, pneumonia nosokomial,
pneumonia aspirasi, pneumonia pada penderita immunicompromised.

45
6. Hospital-acquired pneumonia (HAP) terjadi lebih dari 48 jam sesudah
penderitamasuk rumah sakit atau fasilitas perawatan kesehatan lainnya,
dan mengeluarkan infeksi yang sudah ada pada saat masuk rumah sakit.
Health care-associated pneumonia (HCAP) terjadi pada anggota
masyarakat yang lebih lama kontak dengan perawatan kesehatan, yang
telah merubah mereka beresiko untuk mikroba yang virulent dan resisten
obat. Awalnya harus diterapi dengan antimikroba yang tepat dan spektrum
luas pada dosis yang adekuat bagi semua pasien dengan suspek HCAP.
Diagnosis ditegakkan paling tidak didapati dua dari gejala ini yaitu
demam, leukositosis, dan sputum yang virulent. Selain itu adanya
kekeruhan jaringan parenkim paru yang baru atau progresif pada rontgen
paru. Pneumonia umumnya dijumpai pada pasien yang membutuhkan
perawatan yang intensif atau pengguna ventilasi mekanik Kultur saluran
nafas bagian bawah harus diambil pada semua pasien sebelum terapi
dengan antimikroba, tetapi pengambilan dimulai jangan terlambat pada
terapi empiris pada penderita yang sakit kritis
7. Gejala khas dari pneumonia adalah demam, menggigil, berkeringat, batuk
(baik non produktif atau produktif atau menghasilkan sputum berlendir,
purulen, atau bercak darah), sakit dada karena pleuritis dan sesak. Gejala
umum lainnya adalah pasien lebih suka berbaring pada yang sakit dengan
lutut tertekuk karena nyeri dada. Pemeriksaan fisik didapatkan retraksi
atau penarikan dinding dada bagian bawah saatpernafas, takipneu,
kenaikan atau penurunan taktil fremitus, perkusi redup sampai pekak
menggambarkan konsolidasi atau terdapat cairan pleura, ronki, suara
pernafasan bronkial, pleural friction rub (Dahlan, 2009).
8. Pneumonia umumnya bisa diterapi dengan baik tanpa menimbulkan
komplikasi. Akan tetapi, beberapa pasien, khususnya kelompok pasien
risiko tinggi, mungkin mengalami beberapa komplikasi seperti bakteremia
(sepsis), abses paru, efusi pleura, dan kesulitan bernapas (Djojodibroto,
2013).
9. Di luar negeri di anjurkan pemberian vaksin influenza dan pneumokokus
pada orang dengan resiko tinggi. Vaksinasi sampai saat ini masih perlu
dilakukan penelitian tentang efektivitasnya.

46
10. Pada tatalaksana pedoman pengobatan pneumonia (Perhimpunan Dokter
Paru Indonesia, 2003; American Thoracic Society, 2005) bahwa antibiotik
merupakan pengobatan utama untuk mengobati penyakit pneumonia yang
disebabkan oleh bakteri dan mikroorganisme lainnya. Bronkodilator
digunakan sebagai obat pendukung untuk mengobati gejala sesak nafas
pada pasien yang menderita pneumonia. tersebut mengalami keluhan
dengan asam lambung. Untuk penatalaksanaan keperawatan menjaga
kelancaran pernapasan, diperhatikan kebutuhan istirahatnya dan untuk
mencegah dehidrasi dan kekurangan kalori dipasang infus dengan cairan
glukosa 5% dan NACL 0,9% dalm perbandingan 3:1 ditambahkan KCL
10 mEq/500 ml/botol infus.
11. Salah satu diagnosa keperawatan pada pneumonia adalah bersihan jalan
nafas tidak efektif berhubungan dengan obstruksi saluran pernafasan
akibat peningkatan mukus yang berlebihan.

B. Saran
Disarankan setelah membaca makalah ini dan memahaminya, mahasiswa
keperawatan bisa aplikasikan asuhan keperawatan kritis dalam kasus
pneumonia yang sering terjadi di dunia agar menjadi perawat yang
professional.

DAFTAR PUSTAKA

Amanullah, Shakeel. 2015. Ventilator-Associated Pneumonia Overview of


Nosocomial Pneumonias. Jurnal Medscape.
https://emedicine.medscape.com/article/304836-overview. Diakses tanggal
8 September 2020, pukul 22.08 WITA.

47
American Thoracic Society. 2001. Guidline for The Management of Adults with
Communty-Aquired Pneumonia, Diagnosis, Assesment of Severity,
Antimicrobial, Theraphy and Prevention, Am J Respir Crit Care Med,
America. PubMed: 11401897.
https://www.atsjournals.org/doi/full/10.1164/ajrccm.163.7.at1010. Diakses
tanggal 8 September 2020, pada pukul 23.34 WITA

Anwar, A., & Dharmayanti, I. 2014. Pneumonia pada Anak Balita di Indonesia.
Jurnal Kesehatan Masyarakat Nasional Vol. 8 No. 8.
https://media.neliti.com/media/publications/39862-ID-pneumonia-padaanak-
balita-di-indonesia.pdf Diakses tanggal 8 September 2020. Pukul
21.48 WITA.
Linda., B. 2004. Pedoman Obat Pediatrik dan Impikasi Keperawatan edisi 2.
Jakarta: EGC.

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Keperawatan Medikal. EGC, Jakarta.
Castillo JG, Sanchez FJ, Llinares P, Menendez R, Mujal A, Navas E, et al. 2014.
Guidelines for the management of community-acquired pneumonia in the
elderly patient. Rev Esp Quimioter.
CDC. 2015. Center for Disease Control and Prevention. [Online] Available at:
https://www.cdc.gov/healthyweight/assessing/BMI/childrens_BMI/about_
childrens_BMI.html Diakses tanggal 8 September 2020, pukul 22.33 WITA
Center of Disease Control and Prevention. 2015. Pneumonia: Pneumococcal
Disease.http://www.cdc.gov/pneumococcal/clinicians/clinicalfeatures.html
. Diakses tanggal 8 September 2020, pada pukul 23.31 WITA
Cunha, CB. 2018. Antibiotic Essentials. Edisi 15. New Delhi : Jaypee Brothers
Medical Publishers
Dahlan Z. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Edisi V. Jakarta: Pusat Penerbitan
Departemen Ilmu Penyakit Dalam Universitas Indonesia.
Dahlan, M. Sopiyudin. 2009. Besar Sampel dan Cara Pengambilan Sampel dalam
Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. Jakarta : Salemba Medika
Dahlan, Z., 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi IV. Jakarta : Pusat
Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
Dahlan, Z., Soemantri S.E.,. 2001. Ilmu Penyakit dalam Jilid II Edisi III. Jakarta:
Universitas Indonesia
Dipiro, J.T., Schwinghammer, T.L., Wells, B.G. 2015. Pharmacotherapy

48
Handbook. Edisi 9. United States: McGraw-Hill Education

Djojodibroto D. 2014. Penyakit parenkim paru. In Perdan TI, Sujanto D (Eds).


Respirologi. Jakarta: EGC
Djojodibroto, R.D., 2013. Respirologi (Respiratory Medicine). Jakarta: EGC
Doenges, Marilynn E.dkk. 2000. Rencana Asuhan Keperawatan & Pedoman
Untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi III.Alih
Bahasa: I Made Kriasa.EGC : Jakarta
Effendi, Ferry dan Makhfudli. 2009. Keperawatan Kesehatan Komunitas: Teori
dan Praktik Dalam Keperawatan. Jakarta: Salemba Medika.
Elfidasari, D, et.al. 2013. Deteksi Bakteri Klebsiella pneumonia Pada Beberapa
Jenis Rokok Konsumsi Masyarakat. Jurnal Al-Azhar Indonesia Seri Sains
Dan Teknologi. Vol. 2, No. 1, Maret 2013
https://www.researchgate.net/publication/296058824_Deteksi_Bakteri_Kle
bsiella_pneumonia_pada_Beberapa_jenis_Rokok_Konsumsi_Masyarakat.
Diakses tanggal 8 September 2020, pukul 21.50 WITA.
Herdman, T . H., & Kamitsuru, S. 2015. Diagnosis Keperawatan Definisi &
Klasifikasi 2015-2017 Edisi 10. Jakarta: EGC
Hidayat.2012.Riset Keperawatan dan Teknik Penulisan Ilmiah. Jakarta : Salemba
Medika
Huang C, Wang Y, Li X, Ren L, Zhao J, Zang Li, Fan G, etc. 2020. Clinical
features of patients infected with 2019 novel coronavirus in Wuhan, China:
The Lancet
Hudak M Carolyn. 2016. Buku Keperawatan Kritis Pendekatan Asuhan Holistic
Volume 1. EGC: Jakarta.

Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI). 2009. Pedoman Pelayanan Medis Ikatan
Dokter Anak Indonesia. Jakarta : IDAI

John Dally., dan Elliott, D. 2010. Patofisiologi Aplikasi Pada Praktik Keperawatan.
Jakarta : EGC
Kaparang, P.C., Heedy, T.dan Paulina V.Y.Y. 2014. Evaluasi Kerasioanal
Antibiotika Pada Pengobatan Pneumonia Anak Di Instalasi Rawat Inap
RSUP Prof. Dr. R. D. Kondou Monado Periode Januari –Desember 2013,
Jurnal Ilmiah Farmasi Pharmacon. Volume 3 No. 3 :247-253.
https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/pharmacon/article/view/5440.

49
Diakses tanggal 8 September 2020, pada pukul 23.27 WITA.

Kementerian Kesehatan RI. 2013. Profil Kesehatan Indonesia 2012. Jakarta:


Kemenkes RI.
Lozano, R., Naghavi, M., Foreman, K., Lim, S., Shibuya, K., Aboyans, V., &
AlMazroa, M. A. 2012. Global and regional mortality from 235 causes of
death for 20 age groups in 1990 and 2010: a systematic analysis for the
Global Burden of Disease Study 2010.The lancet,380(9859), 2095-2128.
https://www.thelancet.com/article/S0140-6736(12)61728-0/fulltext.
Diakses tanggal 8 September 2020 pada tanggal 23.25 WITA.
Martini RD. 2012. CURB‐65 sebagai faktor prediktor kematian pada pasien usia
lanjut dengan pneumonia komunitas (tesis). Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia.
Misnadiarly. 2008. Penyakit Infeksi Saluran Napas Pneumoni pada Anak Orang
Dewasa, Usia Lanjut Edisi 1. Jakarta:Pustaka Obor Populer
Morton, Patricia Gonce, Dkk. 2014. Keperawatan Kritis:Pendekatan Asuhan
Holistik. Edisi 8 volume 2. Jakarta: EGC
Muttaqin, A & Sari, K. 2014 . Asuhan Keperawatan Gangguan Sistem Pernapasan.
Jakarta: salemba Medika
Nair, M., & Peate, I., 2011. Dasar-Dasar Patofisiologi Terapan. Jakarta : Bumi
Medika
Ngastiyah. 2005. Asuhan Keperawatan Penyakit Dalam. Edisi I. Jakarta: EGC.
Niederman MS. 2005. American thoracic society documents: Guidelines for the
management of adults with hospital-acquired, ventilator-associated, and
healthcare-associated pneumonia. Am J Respir Crit Care Med; 171:388416.
https://www.thoracic.org/statements/resources/tb-opi/hap-vapguidelines-
2016.pdf. Diakses tanggal 8 September 2020, pukul 23.22 WITA.
Nurarif .A.H. dan Kusuma. H. 2015. Aplikasi Asuhan Keperawatan Berdasarkan
Diagnosa Medis & NANDA NIC-NOC. Jogjakarta: MediAction
Nursalam. 2005. Asuhan keperawatan bayi dan anak (untuk perawat dan bidan).
Jakarta : Salemba Medika
Paramita. 2011. Nursing, Memahami Berbagai Macam Penyakit. Jakarta: PT
Indeks.
PDPI. 2003. Pedoman Diagnosis dan Penatalaksanaan Pneumonia Komunitas di
Indonesia. Jakarta: Perhimpunan Dokter Paru Indonesia

50
PDPI. 2003. Pneumonia komuniti-pedoman diagnosis dan penatalaksaan di
Indonesia. Jakarta:Perhimpunan Dokter Paru Indonesia.
PDPI. 2015. Diagnosis dan penatalaksaan Asma. Jakarta: Universitas Indonesia
PDPI. 2020. Pneumonia COVID-19 Diagnosis dan Penatalaksanaan. Jakarta :
Perhimpuanan Dokter Paru Indonesia:
Purwanggana, A., Nissa, A., & Fauziyah, S. 2016. Evaluasi penggunaan antibiotik
pada pasien pneumonia komunitas rawat inap di RUMKITAL
Dr.Mintohardjo Jakarta Tahun 2015. TF 1148
http://perpusffup.or.id/index.php?p=show_detail&id=8859. Diakses
tanggal 8 September 2020, pukul 23.19 WITA.
Riyadi,S. 2009. Asuhan keperawatan pada anak. Yogjakarta: Graha Ilmu
Rizqi M.H. dan Helmia,H. 2014. Tinjauan Imunologi Pneumonia pada Pasien
Geriatri. vol. 41 no. 1, th. 2014. https://adoc.pub/queue/tinjauan-
imunologipneumonia-pada-pasien-geriatri.html. Diakses tanggal 8
September 2020, pada pukul 23.16 WITA.
Roza. 2019. Terapi Antibiotik Pada Pneumonia Usia Lanjut. Jurnal Kesehatan
Andalas. http://jurnal.fk.unand.ac.id. Diakses tanggal 8 september 2020
pukul 20.44 WITA.
Sherwood, L. 2010. Human Physiology From Cells to Systems.7thEd. Canada:
Yolanda Cossio
Smeltzer, S.C. & Bare, B.G. 2013. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah Brunner
& Suddarth. edisi 8. Jakarta : EGC
Somantri, Irman. 2012. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan
Sistem Pernafasan. Jakarta : Salemba Medika
Somantri, Irman. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem
Pernapasan. Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika.
Somantri, Irman. 2012. Asuhan Keperawatan Pada Klien Dengan Gangguan Sistem
Pernafasan. Edisi 2. Jakarta: Salemba Medika
Speer, Morgan, Kathleen. 2007. Rencana Asuhan Keperawatan Pediatrik. Jakarta:
EGC
Sudoyo, Aru W, dkk. 2007. Buku Ajar Ilmu penyakit Dalam. Edisi 4, Jilid 1.
Jakarta : Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI
Sudoyo, dkk. 2010. Buku Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta : FK-UI

Tabrani, R., 2010. Ilmu Penyakit Paru. Jakarta : Trans Info Media

51
Tortora, G. and Derrickson, B. 2014. Principles of anatomy andphysiology14th ed.
New Jersey: John Wiley andSons.
Wang Z, Qiang W, Ke H. 2020. A Handbook of 2019-nCoV Pneumonia Control
and Prevention. Hubei Science and Technologi Press. China
Wilson L M, 2012. Tumor Ganas Paru. Dalam (Sylvia A P, Lorraine M W)
Patofisiologi Volume 2. Edisi 6. Jakarta: EGC
Wilson LM. Penyakit pernapasan restriktif Patofisiologi: konsep klinis
prosesproses penyakit. Edisi 6 Vol.2. Jakarta:EGC.

52

Anda mungkin juga menyukai