NIM : 1420119076
PRODI : KEPERAWATAN
SEMESTER : V (LIMA)
KELAS : AMBON-SIANG
Pada kesempatan ini saya mengucapkan terimakasih kepada Dosen Pengampuh mata kuliah. Dosen
NS. RATNA SARI RUMAKEY, S.Kep.,M.Kep yang telah memberikan tugas.
Dalam Penulisan makalah ini saya menyadari bahwa masih banyak kekurangan baik pada teknis
penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang saya miliki. Untuk itu saran dan kritik
yang membangun dari Ibu Dosen sangat saya harapkan guna untuk penyempurnaan makalah ini.
Penulis
DAFTAR ISI
Cover ………………………………………………………………………………………………………..i
BAB I PENDAHULUAN
2.7.1 Tujuan
2.7.2 Sasaran
2.7.4 Kegiatan
2.7.5 Pencegahan
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Menurut WHO 2014. Tuberkulosis paru (TB Paru) merupakan penyakit menular yang disebabkan
oleh kuman tuberkulosis (Mycobacterium Tuberculosa). Penyakit ini masih menjadi masalah
kesehatan global (Husnaniyah,2017)
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang menyerang paru yang disebabkan oleh
kuman dari kelompok Mycobacterium yaitu Mycobacterium tuberculosis. TB paru merupakan
penyakit dengan tingkat morbilitas tinggi dan sangat mudah menyebar di udara melalui sputum
(air ludah) yang dibuang sembarang di jalan oleh penderita TB paru. Oleh sebab itu TB paru
harus ditangani dengan segera dan hati-hati apabila ditemukan kasus tersebut di suatu wilayah.
TB paru sampai saat ini masih menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat di dunia
walaupun upaya pengendalian dengan strategi Direct Observed Treatment, Shorcourse
chemotherapy (DOTS) telah diterapkan di banyak negara sejak tahun 1995 (1).
Secara global pada tahun 2012 berdasarkan data laporan WHO (2014), terdapat sebanyak
8,6 juta jiwa penderita TB paru di dunia dengan prevalensi 169/100.000 penduduk dunia. Jumlah
penderita TB terus meningkat pada tahun 2013 menjadi 9 juta jiwa dengan prevalensi
159/100.000 penduduk dunia. Kemudian data terakhir yang dilaporkan WHO pada tahun 2014
menyatakan bahwa jumlah penduduk dunia yang menderita TB paru bertambah menjadi 9,6 juta
jiwa dengan prevalensi mencapai 174/100.000 penduduk dunia. Pada saat ini angka keberhasilan
pengobatan TB paru secara global yaitu 86%(2).
Dalam laporannya, WHO (2015) menyatakan Indonesia sebagai negara dengan penderita TB
paru terbanyak kedua di dunia yaitu sebanyak 10% dari total global kasus TB di dunia.
Berdasarkan data profil kesehatan Indonesia yang dilaporkan oleh Kemenkes RI (2013)
menjelaskan bahwa jumlah penderita TB paru yang terdata pada tahun 2012 yaitu sebanyak
202.301 jiwa dengan prevalensi sebesar 138/100.000 penduduk Indonesia. Kemudian pada
tahun 2013 menurut laporan profil kesehatan Indonesia dari Kemenkes RI (2014), terjadi
penurunan jumlah penderita TB paru sehingga jumlah penderita menjadi 196.310 jiwa dengan
prevalensi sebesar 134,6/100.000 penduduk Indonesia. Pada tahun 2014 jumlah penderita TB
paru di Indonesia yang terdata adalah sebanyak 176.677 jiwa dengan prevalensi sebesar
113/100.000 penduduk Indonesia. Angka keberhasilan pengobatan TB paru di Indonesia
berdasarkan data profil kesehatan Indonesia adalah sebesar 81,3% dan angka ini belum
mencapai target yang telah ditetapkan oleh WHO yaitu sebesar 85% (3) .Prevalensi penduduk
Indonesia yang didiagnosis TB oleh tenaga kesehatan tahun 2015 untuk ke 3 provinsi tertinggi
yaitu Sumatra utara sebesar 87,9%, Gorontalo sebesar 87,8%, Sulawesi tenggara 86,8%,
sedangkan untuk prevalensi TB Paru di Maluku sebesar 56,8% (3,4).
Puskesmas Christina Martha Tiahahu terletak di Kelurahan Ahusen, Kecamatan Sirimau,
Kota Ambon. Puskesmas Christina Martha Tiahahu juga mempunyai satu puskesmas pembantu
(pustu) yang terletak di Kelurahan Batu Gajah yang jaraknya ± 4 Km dari jarak Puskesmas
Christina Martha Tiahahu. Luas wilayah kerja Puskesmas Christina Martha Tiahahu yaitu 131,12
Ha, yang meliputi Kelurahan Ahusen, Kelurahan Batu Gajah, Kelurahan Uritetu, Kelurahan
Hunipopu, Batu Meja RW 06, dan Batu Bulan. Data penderita TB paru di Puskesmas Chr. M.
Tiahahu Kecamatan Sirimau Kota Ambon jumlah penderita TB paru pada tahun 2014 berjumlah
65 orang, dan terjadi penurunan pada tahun 2015 berjumlah 44 orang, sedangkan pada tahun
2016 terjadi peningkatan yaitu sebanyak 67 orang (5).
Berdasarkan teori konsep penyebab penyakit, TB paru termasuk salah satu penyakit dengan
konsep web of causation yaitu dengan banyak penyebab. Jenis penyebab utama (necessary
factor) yaitu agen yang harus ada agar terjadi suatu penyakit yaitu Mycobacterium tuberculosis.
Jenis penyebab kedua atau sufficient factor yaitu faktor pendukung agent yang menyebabkan
terjadinya penyakit seperti kelembaban lingkungan rumah. Sedangkan kelembaban dipengaruhi
oleh ventilasi, jendela, pencahayaan dan suhu yang merupakan faktor yang berkontribusi pada
tingkat kelembaban (Contributory factor) (6).
Berdasarkan penelitian Kurniasari, (2013) menyatakan bahwa ada hubungan antara kondisi
sosial ekonomi (p = 0,001; OR = 74,7; CI = 13,9 - 400), pencahayaan ruangan (p = 0,025; OR =
3,7; CI = 1,3 - 10,3), dan luas ventilasi (p = 0,005; OR = 5,2; CI = 1,7 - 15,9) dengan kejadian TB
paru, serta tidak ada hubungan antara kelembaban ruangan, suhu ruangan, kepadatan hunian,
riwayat kontak penderita, pengetahuan, sikap, dan kebiasaan merokok dengan kejadian TB Paru.
Berdasarkan penelitian Penelitian Suherman, (2014) menyatakan bahwa ada hubungan
antara pencahayaan, kelembaban, dan kepadatan hunian dan tidak ada hubungan antara jenis
lantai dengan kejadian TB paru di Wilayah Kerja Puskesmas Banyu Urip Kabupaten Purworejo
(7,8).
Berdasarkan pemaparan latar belakang maka penulis tertarik untuk meneliti tentang
“Hubungan Kondisi Rumah dengan Penularan TB Paru Di Puskesmas Ch. M. Tiahahu
Kecamatan Sirumau Kota Ambon Tahun 2017”.
2.1 Pengertian
Tuberkulosis adalah penyakit yang diakibatkan oleh Mycobacterium tuberculosis yang hampir
seluruh organ tubuh dapat diserang olehnya, tetapi paling sering terjadi pada paru-paru
(Somantri I, 2012). Penularan penyakit TB Paru melalui percikan ludah penderita ke orang
dengan daya imun rendah yang menginfeksi salura nafas (droplet) dan membentuk kolonisasi
dibronkioluss atau alveolus, selain itu juga bisa masuk pada saluran pencernaan contohnya susu
yang diminum belum pasteurisasi, terkadang terjadi pada kulit yang terluka (Corwin, 2009).
TB paru di Indonesia memperingkati nomor ke-6 MGDs (Millenium Development Goals) setelah
penyakit HIV/AIDS serta malaria, hal ini bisa menjadi prioritas utama dalam memberantas
kemiskinan serta memperlancar pembangunan manusia (Faisalado & Triwibowo, 2013).
2.2 Epidemiologi
Epidemiologi TB adalah serangkaian informasi yang menjelaskan beberapa hal yang berkaitan
dengan orang, tempat, waktu dan lingkungan. Penyakit TB disebabkan oleh kuman TB
(Mycobacterium tuberculosis) yang hampir sebagian besar menyerang paru, namun dapat
ditemukan juga di organ tubuh selain paru.
Penyakit TB harus diwaspadai, tidak hanya pada orang dewasa tetapi juga anak-anak,
terutama pada balita yang masih memiliki sistem imun rendah. TB anak merupakan faktor penting
di negara-negara berkembang karena jumlah anak berusia kurang dari 15 tahun adalah 40 − 50%
dari jumlah seluruh populasi (Seddon dan Shingadia, 2014).
Sekitar 500.000 anak menderita TB setiap tahun, sementara 200 anak di dunia meninggal setiap
hari akibat TB, 70.000 anak meninggal setiap tahun akibat TB. Beban kasus TB anak di dunia
tidak diketahui secara pasti karena kurangnya alat diagnostik “child-friendly” dan tidak
adekuatnya sistem pencatatan dan pelaporan kasus TB anak (Kemenkes RI, 2013). Anak yang
pernah terinfeksi TB mempunyai risiko menderita penyakit ini sepanjang hidupnya sebesar 10%.
TB Paru anak dapat ditularkan melalui droplet orang dewasa maupun anak dengan BTA (+).
Anak yang tertular kuman TB dapat mengembangkan infeksi yang tergantung dari tingkat
penularan,
lamanya paparan, dan imunitas anak. Berbeda dengan TB pada orang dewasa, anak yang
terkena TB tidak selalu menularkan kuman kepada orang lain kecuali anak tersebut BTA (+).
Diperkirakan banyak anak menderita TB tidak mendapatkan penatalaksanaan yang tepat dan
benar sesuai dengan ketentuan strategi DOTS. Kondisi seperti ini dapat meningkatkan dampak
negatif pada data kesakitan dan kematian TB anak.
2.3 Etiologi Dan Penularan
2.3.1 Etiologi
Bakteri Mycobacterium tuberculosis memiliki bentuk batang, yang memiliki panjang 1-4 mm
dengan tebal 0,3-0,6 mm. Bakteri ini tahan terhadap asam serta kimia karena sebagian besar
kuman terdiri dari lemak/lipid. Sifat dari kuman ini sangat menyukai daerah yang mengandung
banyak banyak oksigen seperti apek pada paru. Daerah tersebut menjadi predileksi terhadap
penyakit Tuberkulosis (Firdaus, 2012).
2.3.2 Penularan
1) Secara langsung
a) Berbicara berhadapan
c) Berciuman
a) Makanan/minuman
b) Tidur
c) Mandi
d) Saputangan, dll.
Tanda dan gejala yang sering terjadi pada Tuberkulosis adalah batuk yang tidak spesifik tetapi
progresif. Penyakit Tuberkulosis paru biasanya tidak tampak adanya tanda dan gejala yang khas.
Biasanya keluhan yang muncul adalah :
a. Demam terjadi lebih dari satu bulan, biasanya pada pagi hari.
b. Batuk, terjadi karena adanya iritasi pada bronkus; batuk ini membuang /mengeluarkan
produksi
radang, dimulai dari batuk kering sampai batuk purulent(menghasilkan sputum)
c. Sesak nafas, terjadi bila sudah lanjut dimana infiltrasi radang sampai setengah paru
d. Nyeri dada. Nyeri dada ini jarang ditemukan, nyeri timbul bila infiltrasi radang sampai ke
Pleura sehingga menimbulkan pleuritis.
e. Malaise ditemukan berupa anoreksia, berat badan menurun, sakit kepala, nyeri otot dan
keringat di waktu di malam hari
2.5 Laboratorium
Pemeriksaan ini penting dilakukan pada penderita dewasa dan anak besar untuk menemukan
kuman penyakit TBC. Dahak yang terbaik untuk diperiksa adalah pagi hari, karena paling
banyak mengandung kuman dibandingkan pada saat lain. Untuk memperbesar kemungkinan
ditemukan kuman, pemeriksaan sebaiknya dilakukan 3 kali berturut-turut. Dahak yang
dikeluarkan harus berasal dari seluruh nafas bagian bawah, bukan dahak tenggorokkan atau
air ludah. Dahak tersebut harus dikeluarkan dengan cara dibatukkan yang kuat. Dahak
tersebut ditampung di tempat bersih (tempatnya dapat minta di laboratorium), di tutup rapat
dan cepat di bawa ke Laboratorium untuk diperiksa.
Di laboratorium dahak diwarnai dengan pewarnaan khusus, sehingga kuman akan tampak
jelas bila dilihat dibawah mikroskop. Dengan pembesaran 1000 kali kuman tampak berupa
batang lurus ramping, kadang sedikit bengkok berukuran panjang 0,8 – 5 mikron dan tebal 0,2
– 0,5 mikron. Ditemukannya kuman dalam dahak, sangat memastikan adanya penyakit TBC.
Namun tidak ditemukannya kuman, belum memastikan tidak adanya TBC, untuk itu perlu
pemeriksaan lain.
Pemeriksaan rontgen paru sangat membantu untuk mengetahui adanya TBC paru, serta
mengetahui hasil pengobatan. Pada gambaran rontgen paru penderita TBC dapat ditemukan
infiltrat yang berupa awan atau bercak-bercak putih pada paru, pembesaran kelenjar getah
bening pada hilus (saluran nafas), adanya cairan kantong paru (pleural efusion), adanya
kaverne (rongga kecil akibat kerusakan akibat jaringan paru). Pemeriksaan rontgen juga
dengan cara melihat gambarannya dan membandingkan dengan gambaran sebelumnya. Oleh
karena itu pada pemeriksaan ulang, foto rontgen sebelumnya harus dibawa.
Pada penderita TBC yang telah sembuh , gambaran rontgen dapat kembali normal, namun
sebagian penderita sering masih meninggalkan bekas berupa garis-garis putih (fibrotik) dan
perkapuran (kalsifikasi). Pada TBC yang masih awal atau sudah dalam proses penyembuhan,
hasil rontgen kadang sulit memberikan gambaran yang jelas, sehingga sering hanya
disimpulkan sebagai suspect (dugaan), dimana untuk memastikan perlu pemeriksaan lain dan
evaluasi lanjut. Beberapa penyakit infeksi seperti pneumonia, kadang menunjukkan gambaran
rontgen yang sulit dibedakan dengan TBC terutama pada anak, oleh karena itu pada keadaan
tersebut diperlukan juga pemeriksaan lain.
3) Test Mantoux
Test Mantoux atau tuberkulin merupakan pemeriksaan penting untuk membantu menentukan
adanya penyakit TBC, terutama pada anak. Tes ini dilakukan dengann cara menyuntikkan
sedikit protein yang berasal dari kuman TBC ke dalam kulit, sehingga timbul benjolan kecil,
bekas suntikan ini kemudian dilihat lagi setelah 2 - 3 hari (48 – 72 jam), bila benjolan tersebut
hilang atau hanya menyisakan benjolan sangat kecil (dibawah 5 mm), maka hasil test Mantoux
dinyatakan negatif. Bila benjolan membesar dan merah namun diameter hanya 6 - 9 mm,
dinyatakan positif lemah, bila 10 – 15 mm dinyatakan positif, bila > dari 15 mm dinyatakan
positif kuat. penilaian hasil test Mantoux positif dan negatif, untuk menentukan ada atau
tidaknya TBC harus sangat hati-hati, harus melihat berapa kuat positifnya serta
mempertimbangkan gejala dan hasil pemeriksaan lain. Hasil test Mantoux yang positiif selain
pada TBC, kadang juga bisa timbul pada alergi, setelah vaksinasi BCG, namun biasanya
positifnya tidak kuat. Sebaliknya penderita bisa memberikan hasil test Mantoux negatif pada
keadaan gizi buruk, TBC berat atau TBC yang masih baru.
Pemeriksaan LED sering dilakukan untuk membantu menetapkan adanya TBC dan
mengevaluasi hasil pengobatan atau proses penyembuhan selama dan setelah pengobatan.
Pemeriksaan LED dilakukan dengan mengukur kecepatan mengendap sel darah dalam pipet
khusus (pipet westergreen), pada orang normal nilai LED dibawah 20 mm/ jam. Pada
penderita TBC nilai LED biasanya meningkat, pada proses penyembuhan nilai LED akan
turun. Penilaian hasil LED harus hati-hati, karena hasil LED juga dapat meningkat pada
penyakit infeksi bukan TBC
Pemeriksaan ini memeriksa adanya DNA kuman TBC dalam dahak, dapat mengetahui adanya
kuman TBC dalam jumlah yang sangat sedikit. Sangat berguna untuk membantu menetukan
diagnosa TBC yang masih meragukan. Namun untuk evaluasi kesembuhan harus hati-hati,
karena kuman TBC yang sudah matipun dapat memberikan hasil PCR-TB positif.
6) IgG – Anti TB
Pemeriksaan ini dilakukan dengan memeriksa adanya antibodi TBC yang timbul pada
penderita TBC. Pemeriksaan ini hanya bermanfaat untuk menentukan adanya TBC tapi
kurang bermanfaat untuk mengevaluasi proses penyembuhan, hasil pemeriksaan ini sering
tetap positif walaupun penderita sudah sembuh. Ketepatan hasil pemeriksaan ini hanya sekitar
60 – 70 %, sehingga harus hati – hati dalam menilai hasil, perlu konfirmasi dengan gejala
klinis dan hasil pemeriksaan lain.
2.6 Pengobatan
Pengobatan pada penderita TB Paru tidak hanya untuk mengobati juga dapat untuk memutuskan
mata rantai penularan, pencegahan terjadinya kematian, kekambuhan atau resistensi terhadap
obat anti tuberculosis. Sebelum melakukakan pengobatan TB dilihat prinsip-prinsip yang harus
dilakukan, yaitu:
1. Obat TB yang diberikan ada beberapa jenis OAT, dengan jumlah yang cukup dan sesuai
pengobatan dalam dosis yang tepat. Penggunaan OAT dengan Kombinasi Dosis Tetap
(OAT- KDT) lebih menguntungkan.
2. Pengawas Menelan Obat (PMO) sangat diperlukan dalam pengawasan (DOT= Directly
Observed
Treatment) untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat.
3. Pengobatan TB yang diberikan ada 2 tahap, yaitu tahap awal (intensif) dan tahap lanjutan.
Panduan pengobatan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan TB di
Indonesia, ada beberapa kategori:
1) Kategori 1
Obat anti tuberculosis yang diberikan pada pasien baru TB Extra Paru, TB Paru dengan
BTA positif dan BTA negatif pada foto thorak positif.
Berat Badan Tahap Intensif tiap hari Tahap Lanjutan 3 kali seminggu
selama 56 hari RHZE selama16 minggu
Intensif 2 bulan 1 1 3 3 56
Lanjutan 4 bulan 2 1 - - 48
2) Kategori 2
Panduan OAT pada penderita TB Paru dengan BTA positif yang sudah diobati sebelumnya
seperti pasien kambuh, gagal pengobatan, dan pasien dengan pengobatan setelah putus
berobat (default)
Berat badan Tahap Intensif tiap hari RHZE Tahap Lanjutan 3 kali
(150/75/400/275) + S seminggu RH(150/150) + E (400)
2.7.1 Tujuan
Melindungi kesehatan masyarakat dari penularan TB agar tidak terjadi kesakitan, kematian dan
kecacatan
2.7.2 Sasaran
1. Pasien, individu sehat (masyarakat) dan keluarga sebagai komponen dari masyarakat.
2. Tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, petugas kesehatan, pejabat pemerintahan,
organisasi kemasyarakatan dan media massa. Diharapkan dapat berperan dalam
penanggulangan TB sebagai berikut:
a. Sebagai panutan untuk tidak menciptakan stigma dan diskriminasi terkait TB.
b. Membantu menyebarluaskan informasi tentang TB dan PHBS.
c. Mendorong pasien TB untuk menjalankan pengobatan secaratuntas.
d. Mendorong masyarakat agar segera memeriksakan diri ke layanan TB yang berkualitas.
3. Pembuat kebijakan publik yang menerbitkan peraturan perundang-undangan dibidang
kesehatan dan bidang lain yang terkait serta mereka yang dapat memfasilitasi atau menyediakan
sumber daya. Peran yang diharapkan adalah:
a. Memberlakukan kebijakan/peraturan perundang-undangan untuk mendukung
penanggulangan TB.
b. Membantu menyediakan sumber daya (dana, sarana dan lain- lain) untuk meningkatkan
capaian program TB.
1. Strategi
1) SDM
2) Logistik
3) Regulasi dan pembiayaan
4) Sistem Informasi, termasuk mandatory notification
5) Penelitian dan pengembangan inovasi program
2.7.4 Kegiatan
Promosi kesehatan untuk Penanggulangan TB dilakukan disemua tingkatan administrasi baik pusat,
provinsi, kabupaten/kota sampai dengan fasilitas pelayanan kesehatan.
Promosi TB selain dapat dilakukan oleh petugas khusus juga dapat dilakukan oleh kader
organisasi kemasyarakatan yang menjadi mitra penanggulangan TB.
2. Media Komunikasi
Media komunikasi atau alat peraga yang digunakan untuk promosi penanggulangan TB
dapat berupa benda asli seperti obat TB, pot sediaan dahak, masker, bisa juga merupakan
tiruan dengan ukuran dan bentuk hampir menyerupai yang asli (dummy). Selain itu
dapat juga dalam bentuk gambar/media seperti poster, leaflet, lembar balik bergambar
karikatur, lukisan, animasi dan foto, slide, film dan lain-lain.
3. Sumber Daya
Sumber daya terdiri dari petugas sebagai sumber daya manusia (SDM), yang bertanggung
jawab untuk promosi, petugas di puskesmas dan sumber daya lain berupa sarana
dan prasarana serta dana.
2.7.5 Pencegahan
Pencegahan TB Paru terdiri dari pencegahan primer, sekunder, dan tersier tuberkulosis.
1. Pencegahan primer
a) Pemeriksaan pada penderita yang meliputi pemeriksaan dan pengobatan dini, tersedianya
saran yang diberikan oleh dokter suspect, kontak dan perawatan.
b) Penyuluhan terhadap masyarakat mengenai penyakit TB yang meliputi bahaya serta akibat
yang ditimbulkan, penyuluhan tersebut dilakukan oleh petugas kesehatan.
c) Pencegahan pada penderita dapat dilakukan dengan menutup mulut sewaktu batuk dan
membuang dahak tidak disembarangan tempat.
d) Pecegahan infeksi dengan cuci tangan dan praktek menjaga kebersihan rumah harus
dipertahankan sebagai kegiatan rutin. Dekontaminasi udara bisa dilakukan dengan ventilasi
yang bagus dan ditambahkan sinar UV.
e) Imunisasi
Perlu dilakukannya imunisasi untuk melakukan pencegahan terhadap orang terdekat pasien
seperti perawat, dokter, keluarga dan petugas kesehatan dengan menggunakan vaksin BCG
untuk mengantisipasi penularan.
f) Kepadatan penduduk dapat meningkatkan resiko terjadinya infeksi, dalam hal ini harus bisa
mengurangi dan menghilangkan kondisi social.
g) Menghilangkan bakteri tuberculosis bovinum pada ternak hewan sapi dengan disembelih,
serta susu yang belum dikonsumsi harus dipasteurasi.
h) Melakukan upaya pencegahan terjadinya silikosis pada pekerja pabrik dan tambang (Najmah,
2016).
2. Pencegahan Sekunder
a) Pengobatan Preventif, diartikan sebagai tindakan keperawatan terhadap penyakit inaktif
dengan pemberian pengobatan INH sebagai pencegahan.
b) Pengobatan mondok yang berada di rumah sakit hanya bagi penderita khusus TB kategori
berat yang membutuhkan program pengobatan dengan alasan social ekonomi dan medis
untuk tidak disarankan pengobatan rawat jalan. Pemeriksaan bakteriologis dahak pada
orang dengan gejala TB paru.
c) Pemeriksaan screening dengan tuberculin test pada orang- orang yang memiliki resiko
tinggi, seperti para imigrant, orang yang sering kontak dengan penderita, petugas di rumah
sakit, petugas/guru di sekolah, petugas foto rontgen.
d) Diakukan pemeriksaan foto rontgen pada orang-orang yang positif dari hasil pemeriksaan
tuberculin test.
e) Pengobatan khusus
Penderita dengan TBC aktif perlu pengobatan yang tepat. Obat-obat kombinasi yang telah
ditetapkan oleh dokter diminum dengan tekun dan teratur bisa sampai selama 6 atau 12
bulan. Perlu di waspadai adanya kebal terhadap obat, dengan pemeriksaan penyelidikan
oleh dokter (Najmah, 2016).
3. Pencegahan tersier
a) Adanya pencegahan bahaya penyakit tuberculosis yang disebabkan polusi udara yang
sudah tercemar pada pekerja pertambangan, pekerja semen dan lain-lain.
b) Rehabilitasi (Najmah, 2016).
2.7.6 Indikator Monitoring Dan Evaluasi
Monitoring dan evaluasi program TB merupakan salah satu fungsi manajemen untuk menilai
keberhasilan pelaksanaan program TB. Monitoring dilakukan secara rutin dan berkala sebagai
deteksi awal masalah dalam pelaksanaan kegiatan program sehingga dapat segera dilakukan
tindakan perbaikan. Monitoring dapat dilakukan dengan membaca dan menilai laporan rutin maupun
laporan tidak rutin, serta kunjungan lapangan. Evaluasi dilakukan untuk menilai sejauh mana
pencapaian tujuan, indikator, dan target yang telah ditetapkan. Evaluasi dilakukan dalam
rentang waktu lebih lama, biasanya setiap 6 bulan s/d 1 tahun.
Pelaksanaan Monev merupakan tanggung jawab masing-masing tingkat pelaksana program, mulai
dari Fasilitas kesehatan, Kabupaten/Kota, Provinsi hingga Pusat. Seluruh kegiatan program harus
dimonitor dan dievaluasi dari aspek masukan (input), proses, maupun keluaran (output) dengan cara
menelaah laporan, pengamatan langsung dan wawancara ke petugas kesehatan maupun
masyarakat sasaran.
Untuk tingkat provinsi dan pusat, selain memantau indikator di atas, juga harus
memantau indikator yang dicapai oleh Kabupaten/Kota yaitu:
c. Indikator Operasional
Indikator ini merupakan indikator pendukung untuk tercapainya indikator dampak dan utama
dalam keberhasilan Program Penanggulangan TB baik di tingkat Kab/Kota, Provinsi, dan
Pusat, diantaranya adalah:
1) Persentase kasus pengobatan ulang TB yang diperiksa uji kepekaan obat dengan tes
cepat molukuler atau metode konvensional
2) Persentase kasus TB resistan obat yang memulai pengobatan lini kedua
3) Persentase Pasien TB-HIV yang mendapatkan ARV selama pengobatan TB
4) Persentase laboratorium mikroskopik yang mengikuti uji silang
5) Persentase laboratorium mikroskopis yang mengikuti uji silang dengan hasil baik
6) Cakupan penemuan kasus TB anak
7) Cakupan anak < 5 tahun yang mendapat pengobatan pencegahan INH
8) Jumlah kasus TB yang ditemukan di Populasi Khusus (Lapas/Rutan, Asrama,
Tempat Kerja, Institusi Pendidikan, Tempat Pengungsian)
9) Persentase kasus TB yang ditemukan dan dirujuk oleh masyarakat atau organisasi
kemasyarakatan
Untuk tingkat provinsi dan pusat, selain memantau indikator di atas, juga harus
memantau indikator yang dicapai oleh kabupaten/kota yaitu:
2. Diagnosa
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga dalam melakukan
perawatan kesehatan pada tuberkulosis paru
b. Risiko penularan pada anggota keluarga yang lain berhubungan dengan kurangnya pengetahuan
keluarga terhadap pencegahan penularan tuberkulosis paru.
c. Ketidakmampuan keluarga mengambil keputusan dalam merawat anggota keluarga yang sakit
berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang perawatan TBC.
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga dalam
melakukan perawatan kesehatan pada tuberkulosis paru
1) Sifat masalah : ancaman kesehatan
skorsing : 3/3 x 1 = 1
Pembenaran : Keluarga tidak tahu mengenai tentang perawatan Tuberkulosisparu
2) Kemungkinan masalah diubah : hanya sebagian
skorsing : 1/2 x 2 = 1
Pembenaran : pemahaman keluarga kurang tentang masalah tuberculosis paru
3) Potensi masalah untuk dicegah : cukup
skorsing : 2/3 x 1 = 2/3
Pembenaran : dengan pemberian informasi tentang perawatan tuberculosis pasru yang cukup
jelas, kemungkinan masalah yang akan muncul dapat dicegah.
4) Menonjolnya masalah ; masalah berat, harus segera ditangani
skorsing : 2/2 x 1 = 1
Pembenaran : masalah bersihan jalan nafas tidak efektif adalah masalah actual yang harus
ditangani agar tidak menimbulkan komplikasi
Jumlah skoring : 3 2/3
b. Risiko penularan pada anggota keluarga yang lain berhubungan dengan kurangnya pengetahuan
keluarga terhadap pencegahan penularan TBC.
1) Sifat masalah : ancaman kesehatan
skorsing : 2/3x1 = 2/3
Pembenaran : Keluarga tidak tahu penyakit mudah menular.
2) Kemungkinan masalah diubah : hanya sebagian
skorsing : 1/2x2 = 1
Pembenaran : Kondisi klien pada usia produktif mempengaruhi penyerapan informasi
3) Potensi masalah untuk dicegah : cukup
skorsing : 2/2x1 = 1
Pembenaran : keluarga kooperatif
4) Menonjolnya masalah : masalah berat, harus segera ditangani
skorsing : 2/2x1 = 1
Pembenaran : Bila tidak segera ditangani memungkinan penyembuhan lama dan terjadi
penularan kepada anggota keluarga
Skorsing : 3 2/3
c. Ketidakmampuan keluarga mengambil keputusan dalam merawat anggota keluarga yang sakit
berhuubungan dengan kurangnya pengetahuan tentang perawatan TBC.
1) Sifat masalah : ancaman kesehatan
skorsing : 2/3x1 = 2/3
Pembenaran : TBC adalah penyakit menularan, sehingga memungkinkan penularan pada
anggota lain dalam rumah
2) Kemungkinan masalah diubah : hanya sebagian
skorsing : 1/2x2 = 1
Pembenaran : Klien tidak tahu kalau penyakitnya butuh pengobatan rutin
3) Potensi masalah untuk dicegah : cukup
skorsing : 3/3x1 = 1
Pembenaran : Kooperatif dalam penyuluhan dan pembinaan
4) Menonjolnya masalah : masalah tidak dirasakan
skorsing : 0/2x1 = 0
Pembenaran : Bila tidak segera ditangani memungkinkan penyembuhan lama dan terjadi
penularan pada anggota keluarga
Skorsing : 2 2/3
Berdasarkan rumusan prioritas diatas, maka dapat diketahui prioritas permasalahan pada penderita
TBC adalah sebagai berikut :
1) Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga dalam
melakukan perawatan kesehatan pada tuberkulosis paru
2) Risiko penularan pada anggota keluarga yang lain berhubungan dengan kurangnya pengetahuan
keluarga terhadap pencegahan penularan TBC.
3) Ketidakmampuan keluarga mengambil keputusan dalam merawat anggota keluarga yang sakit
berhubungan dengan kurang pengetahuan tentang perawatan TBC.
a) Dx 1 Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga dalam
melakukan perawatan kesehatan pada tuberkulosis paru
Tujuan : Setelah dilakukan penyuluhan 3 x 24 jam, bersihan jalan nafas menjadi efektif.
Dengan kriteria hasil :
Rencana tindakan :
2) Jelaskan pada keluarga tentang pengertian, tanda/gejala, tindakan yang dilakukan bila salah
satu anggota keluarga menderita Tb paru
3) Bimbing keluarga untuk mengulang kembali apa yang dijelaskan oleh perawat
b) Dx 2 Risiko penularan pada anggota keluarga yang lain berhubungan dengan kurangnya
pengetahuan keluarga terhadap pencegahan penularan TBC.
Tujuan: Setelah dilakukan penyuluhan 3 x 24 jam, keluarga mampu mengenal dan mencegah
penularan penyakit TBC pada anggota keluarganya.
Dengan kriteria hasil :
1) Klien dan keluarga dapat menjelaskan akibat TBC pada pasien sendiri dan keluarganya.
2) Klien dan keluarga dapat menyebutkan sumber yang dapat menularkan TBC.
3) Klien dan keluarga dapat menyebutkan upaya untuk mencegah terjadinya penularan.
Rencana tindakan :
3) diskusikan dengan keluarga tentang akibat penyakit TBC terhadap diri dan keluarganya
6) berikan pujian terhadap kemampuan ide/sikap yang positif yang diungkapkan keluarga.
Rencana keperawatan :
1) kaji pengetahuan keluarga tentang penyakit TBC, penyebab, gejala, dan cara penanganannya
2) berikan penyuluhan pada keluarga mengenal cara mengidentifikasi serangan/serangan
kambuhan
3) anjurkan berobat kembali kepuskesmas/ rumah sakit saat penyakit kambuh
4) Jelaskan bahwa pengobatan TBC merupakan program pemerintah dan gratis melalui pusksmas
tetapi bila ada dari astek tidak apa-apa
5) Berikan kesempatan keluarga menentukan sikap dan rencana selanjutnya dalam pengobatan
6) Berikan pujian terhadap kemampuan ide/sikap yang positif yang diungkapkan keluarga.
5. Tahap Pelaksanaan Keperawatan
Keluarga mengadakan perbaikan ke arah perilaku hidup sehat. Adanya kesulitan, kebingungan, serta
ketidakmampuan yang dihadapi keluarga harus menjadikan perhatian. Oleh karena itu, diharapkan
perawat dapat memberikan kekuatan dan membantu mengembangkan potensi potensi yang ada,
sehingga keluarga mempunyai kepercayaan diri dan mandiri dalam menyelesaikan masalah. Guna
membangkitkan minat keluarga dalam berperilaku hidup sehat, maka perawat harus memahami teknik-
teknik motivasi. Tindakan keperawatan keluarga mencakup hal-hal dibawah ini :
Faktor penyulit dari keluarga yang dapat menghambat minat keluarga untuk bekerja sama melakukan
tindakan kesehatan antara lain:
a. Keluarga kurang memperoleh informasi yang jelas atau mendapatkan informasi, tetapi keliru.
b. Keluarga mendapatkan informasi tidak lengkap, sehingga mereka melihat masalah hanya sebagian.
c. Keliru, tidak dapat mengaitkan antara informasi yang diterima dengan situasi yang dihadapi.
e. Anggota keluarga tidak mau melawan tekanan dari keluarga atau sosial
g. Keluarga gagal mengaitkan tindakan dengan sasaran atau tujuan upaya keperawatan.
6. Tahap Evaluasi
Sesuai dengan rencana tindakan yang telah diberikan, tahap penilaian dilakukan untuk melihat
keberhasilannya. Bila tidak/belum berhasil, maka perlu disusun rencana baru yang sesuai. Semua
tindakan keperawatan mungkin tidak dilakukan dalam satu kali kunjungan ke keluarga. Oleh karena itu,
kunjungan dapat dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan waktu dan kesediaan keluarga.
Langkah-langkah dalam mengevaluasi pelayanan keperawatan yang diberikan, baik kepada individu
maupun keluarga adalah sebagai berikut :
a. Tentukan garis besar masalah kesehatan yang dihadapi dan bagaimana keluarga mengatasi
masalah tersebut
b. Tentukan bagaiman rumusan tujuan perawatan yang akan dicapai.
c. Tentukan kriteria dan standar untuk evaluasi. Kriteria dapat berhubungan dengan sumbersumber
proses atau hasil. Bergantung kepada evaluasi yang diperlukan
d. Tentukan metode atau teknik evaluasi yang sesuai serta sumber-sumber data yang diinginkan
e. Bandingkan keadaan yang nyata dengan kriteria dan standar untuk evaluasi
f. Identifikasi penyebab atau alasan penampilan yang tidak optimal atau pelaksanaan yang kurang
memuaskan.
g. Perbaiki tujuan berikutnya. Bila tujuan tidak tercapai, perlu ditentukan alas an kemungkinan tujuan
tidak realistis, tindakan tidak tepat atau kemungkinan ada factor lingkungan yang tidak dapat
diatasi.
1. Macam-macam evaluasi
Evaluasi proses keperawatan ada dua yaitu evaluasi kualitatif dan evaluasi kuantitatif.
a) Evaluasi kuantitatif
Evaluasi kuantitatif dilaksanakan dalam kuantitas, jumlah pelayanan atau kegiatan yang telah
dikerjakan. Evaluasi kuantitatif sering digunakan dalam kesehatan karena lebih mudah
dikerjakan bila dibandingkan dengan evaluasi kualitatif
b) Evaluasi kualitatif
Evaluasi kualitatif merupakan evaluasi mutu yang dapat difokuskan pada salah satu dari tiga
dimensi yang saling terkait
c) Struktur atau sumber evaluasi struktur atau sumber terkait dengan tenaga manusia atau
bahan-bahan yang diperlukan dalam pelaksanaan kegiatan. Upaya keperawatan yang terkait
antara lain:
d) Proses
Evaluasi proses berkaitan dengan kegiatan-kegiatan yang dilakukan untuk mencapai tujuan.
e) Hasil
Evaluasi ini difokuskan kepada bertambahnya kesanggupan keluarga dalam melaksanakan
tugas tugas kesehatan.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang menyerang paru yang disebabkan oleh
kuman dari kelompok Mycobacterium yaitu Mycobacterium tuberculosis. TB paru merupakan
penyakit dengan tingkat morbilitas tinggi dan sangat mudah menyebar di udara melalui sputum (air
ludah) yang dibuang sembarang di jalan oleh penderita TB paru. Oleh sebab itu TB paru harus
ditangani dengan segera dan hati-hati apabila ditemukan kasus tersebut di suatu wilayah. TB paru
sampai saat ini masih menjadi salah satu masalah kesehatan masyarakat di dunia walaupun
upaya pengendalian dengan strategi Direct Observed Treatment, Shorcourse chemotherapy
(DOTS) telah diterapkan di banyak negara sejak tahun 1995.
3.2 Saran
1. Pasien
Bagi pasien dapat memberikan informasi yang bermakna mengenai hal – hal yang diperlukan
seorang penderita TB paru dalam melakukan pencegahan penularan penyakit TB paru.
2. Keluarga
Bagi keluarga penelitian ini dapat sebagai tambahan pengetahuan dalam merawat anggota
keluarga yang menderita sakit TB paru dan melaksanakan pencegahan terjadinya penularan
terhadap anggota keluarga yang lain.
3. Masyarakat
Bagi masyarakat diharapkan lebih dapat meningkatkan pengetahuan dalam pencegahan
penularan penyakit TB Paru.
4. Pelayanan Kesehatan
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi serta dapat digunakan sebagai pedoman
kepada BKPM Semarang agar terus memberikan promosi kesehatan dan meningkatkan
program kerja yang berkaitan dengan TB Paru yang dapat digunakan untuk lebih
meningkatkan pengetahuan dan kesadaran masyarakat dalam mengamalkan perilaku
pencegahan penularan penyakit TB Paru.
5. Institusi Pendidikan
Hasil penelitian ini diharapkan dapat dijadikan sebagai referensi dalam perkembangan ilmu
keperawatan
DAFTAR PUSTAKA
http://eprints.umpo.ac.id/5380/3/BAB%202.pdf
http://eprints.poltekkesjogja.ac.id/1362/4/BAB%20II.pdf.
http://hukor.kemkes.go.id/uploads/produk_hukum/PMK_No._67_ttg_Penanggulangan_Tuberkolosis_.pdf.
Google membuat versi HTML dokumen