TUBERCULOSIS PARU
DISUSUN OLEH :
Nama : dr. David Saragih
Pembimbing : dr. R. Vivera Situmorang, Sp.P
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas berkah dan
petunjuk-Nya sehingga laporan kasus program internship dokter ini dapat diselesaikan dengan
semaksimal mungkin. Penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar- besarnya kepada dr.
R. Vivera Situmorang, Sp.P atas bimbingannya dalam penyusunan laporan ini.
Laporan kasus ini disusun sebagai upaya integrasi pengetahuan biomedik yang didapat
dibangku perkuliahan dengan kenyataan kasus yang terjadi pada pasien di Rumah Sakit.
Diharapkan dengan penulisan laporan kasus ini, dapat dihasilkan suatu pemahaman yang utuh,
integratif, dan aplikatif mengenai seluk beluk penyakit yang dibahas dalam laporan kasus ini.
Laporan kasus ini mengangkat topik “ Tuberculosis Paru”. Diharapkan dengan membahas
kasus ini, diperoleh pula pemahaman yang lebih kompleks mengenai penyakit tersebut.
Penulis menyadari bahwa penulisan laporan kasus ini masih jauh dari sempurna, baik dari
segi isi maupun sistematika penulisan. Oleh karena itu, dengan segala kerendahan hati, penulis
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi perbaikan laporan kasus ini
kedepannya nanti.
Penulis
DAFTAR ISI
2
HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………….......i
BAB I PENDAHULUAN…………………………………………………………………….1
2.4 Etiologi………….……………………………………..………………………......6
2.6 Patogenesis…………….………………………………….……………………….7
2.7 Klasifikasi…….…………………………………………...............………………9
3
2.16 Komplikasi TB………………………………………………………………....24
BAB IV PEMBAHASAN......................................................................................................37
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………...……………………..38
BAB 1
4
PENDAHULUAN
Tuberkulosis paling sering menginfeksi sistem respirasi, baik berdiri sendiri ataupun
bersamaan dengan TB pada organ lain, dimana TB paru memiliki persentase lebih dari 85% dari
keseluruhan kasus TB di Hongkong (Wong, 2008). Pada penyakit tuberkulosis dapat
diklasifikasikan, yaitu tuberkulosis paru dan tuberkulosis ekstra paru. Tuberkulosis paru
merupakan bentuk yang paling sering dijumpai yaitu sekitar 80 % dari semua penderita.
Tuberkulosis yang menyerang jaringan paru-paru ini merupakan satu-satunya bentuk dari TB yang
mudah menular. Tuberkulosis ekstra paru merupakan bentuk penyakit TB yang menyerang organ
tubuh lain, selain paru-paru seperti pleura, kelenjar limpe, persendian tulang belakang, saluran
kencing,susunan syaraf pusat dan perut. Pada dasarnya penyakit TB ini tidak pandang bulu karena
kuman ini dapat menyerang semua organ-organ dari tubuh (Hiswani, 2002).
Pada tahun 1997, kasus baru secara total diperkirakan 7,96 juta (rentang 6,3-11,1 juta)
dengan 3,52 juta (44%) merupakan kasus menular (rentang 2,8-4,9 juta) dengan kuman positif
(smear positive) dan sekitar 16,2 juta (12,1-22,5 juta) kasus tercatat sebagai pasien TB.
5
Diperkirakan kematian berkisar 1,87 juta (1,4- 2,8 juta) setiap tahun dan angka kematian global
sekitar 23% dan lebih dari 50% di Afrika karena angka kasus Human Immunodeficiency Virus
(HIV). Angka prevalensi secara global adalah 32% (1,86 juta orang). Sekitar 80% dari seluruh
kasus TB terdapat di 22 negara dan lebih dari separuhnya berasal dari Asia Tenggara. Diperkirakan
1 kematian setiap 15 detik (lebih dari 2 juta per tahun). Tanpa pengobatan 60% kasus TB akan
meninggal (Kusuma, 2007). Pada tahun 2005, 8,8 juta orang terinfeksi TB aktif dan 1,6 juta orang
meninggal. Kasus tersebut banyak terjadi di Asia Tenggara dan Afrika (Jeoung dan Lee, 2008).
Pada tahun 2011, kasus TB baru paling banyak terjadi di Asia sekitar 60% dari kasus baru
yang terjadi di seluruh dunia. Akan tetapi, Afrika Sub Sahara memiliki jumlah terbanyak kasus
baru per populasi dengan lebih dari 260 kasus per 100.000 populasi pada tahun 2011 (WHO, 2013).
Jumlah kasus TB terbanyak adalah Asia Tenggara (35%), Afrika (30%), dan Pasifik Barat (20%).
Berdasarkan data WHO pada tahun 2011, lima negara dengan insiden kasus TB terbanyak yaitu,
India (2,0-2,5 juta), China (0,9-1,0 juta), Afrika Selatan (0,4-0,6 juta), Indonesia (0,4-0,5 juta), dan
Pakistan (0,3-0,5 juta). India dan Cina masing-masing menyumbangkan 26% dan 12% dari seluruh
jumlah kasus di dunia (WHO, 2012).
Di Sumatera Utara, terdapat penemuan kasus baru BTA (+) yaitu 14.158 kasus per tahun
(Depkes, 2009). Di tahun 2011, case detection rate TB paru adalah 69,4 % dengan success rate
81,4% (Kemenkes RI, 2012).
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. ANATOMI
6
Paru-paru terletak pada rongga dada. Masing-masing paru berbentuk kerucut. Paru
kanan dibagi oleh dua buah fisura kedalam tiga lobus atas, tengah dan bawah. Paru kiri dibagi
oleh sebuah tisuda ke dalam dua lobus atas dan bawah.
Permukaan datar paru menghadap ke tengah rongga dada atau kavum mediastinum. Pada
bagian tengah terdapat tampuk paru-paru atau hillus paru-paru dibungkus oleh selaput yang
tipis disebut Pleura.
Pleura merupakan membran tipis, transparan yang menutupi paru dalam dua lapisan :
Lapisan viseral, yang dekat dengan permukaan paru dan lapisan parietal menutupi permukaan
dalam dari dinding dada. Paru-paru yaitu: paru-pau kanan, terdiri dara 3 lobus (belah paru), lobus
pulmo dekstra superior, lobus nedia, dan lobus inferior, tiap lobus tersusun olh lobulus. Paru-paru
kiri, terdiri dari pulmo sinester, lobus superior, dan lobus inferior, tiap-tiap lobus terdiri dari
belahan-belahan yang lebih kecil bernama segment. Paru-paru kiri mempunyai 10 segment yaitu:
lima buah segment pada lobus superior, dua buah segment pada lobus medialis tiga buah segmen
pada lobus inferior. Kapasitas paru-paru merupakan kesanggupan paru-paru dalam menampung
udara didalamnya. Kapasitas paru-paru dapat dibedakan sebagai berikut :
1.Kapasitas total yaitu jumlah udara yang dapat megisi paru-paru pada inspirasi sedalam dalamnya.
2. Kapasitas vital yaitu jumlah udara yang dapat dikeluarkan setelah ekspirasi maksimal.
2.2 FISIOLOGI
Pernapasan pulmoner Merupakan pertukaran oksigen dan karbondioksida yang trjadi pada
pau-paru. Empat proses yang berhubugan dengan pernapasan polmuner yaitu:
7
1) Ventilasi pulmoner, gerakan pernapasan yang menukar udara dalam alveoli dengan
udara luar.
2) Arus darah melalui paru-paru, darah mengandung oksigen masuk keseluruh tubuh
karbondiaksoda dari seluruh tubuh masuk ke paru-paru.
3) Distribusi arus udara dan arus darah sedemikian rupa degan jumlah yang tepat yang bias
dicapai untuk semua bagian.
4) Difusi gas yang menembus mambran alveoli dan kapiler karbondioksida. Proses
pertukaran oksigen dan karbondioksida, konsentrasi dalam darah nenpengaruhi dan
merangsang pusat pernapasan terdapat dalam otak untuk memperbesar kecepatan dalam
pernapasan sehingga terjadi pengambilan O2 dan pengeluaran CO2 lebih banyak.
c. Pengendalian pernafasan
Mekanisme pernafasan diatur dan dikendalikan oleh dua faktor utama kimiawi dan
pengendalian saraf. Adanya faktor tertentu merangsang pusat pernafasan yang terletak
di dalam medula oblongata kalau dirangsang mengeluarkan impuls yang disalurkan melalui
saraf spinal.
Otot pernafasan (otot diafragma atau interkostalis) pengendalian oleh saraf
pusat otomatik dalam medula oblongata mengeluarkan impuls eferen keotot pernafasan
melalui radik saraf servikalis diantarkan ke diafragma oleh saraf prenikus. Impuls ini
menimbulkan kontraksi ritmik pada otot diafragma dan inter costalis yang kecepatanya kira-
8
kira 15 kali setiap menit.
Pengendalian secara kimia, pengendalian dan pengaturan secara kimia
meliputi frekuensi kecepatan dan dalamnya gerakan pernafasan, pusat pernafasan
dalam sumsum sangat peka, sehingga kadar alkali harus tetap dipertahankan,
karbondioksida adalah produksi asam dari metabolisme dan bahan kimia yang asam
merangsang pusat pernafasan untuk mengirim keluar impuls saraf yang bekerja atas otot
pernafasan.
d. Kecepatan pernafasan
Pada wanita lebih tinggi dari pada pria, pernafasan secara normal maka
ekspirasi akan menyusul inspirasi dan kemudian istirahat, pada bayi adakalanya
terbalik, inspirasi istirahat ekspirasi disebut juga pernafasan terbalik .
Kecepatan setiap menit
Bayi baru lahir : 30 - 40 x/menit
12 bulan : 30 x/menit
2 - 5 tahun : 24 x/ menit
Orang dewasa : 10- 20 x/menit
2.3. DEFINISI
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis.1
9
2.4. ETIOLOGI
Penyebab tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman berbentuk
batang dengan ukuran panjang 1-4/um dan tebal 0,3-0,6/um. Mycobacterium tuberculosis
termasuk famili Mycobacteriaceae yang mempunyai berbagai genus, diantaranya adalah
Mycobacterium, dan salah satu speciesnya adalah Mycobacterium tuberculosis. Kuman ini
mempunyai dinding sel lipoid sehingga tahan asam, oleh karena itu kuman ini disebut pula
sebagai Basil Tahan Asam (BTA). Karena pada umumnya Mycobacterium tahan asam, secara
teoritis BTA belum tentu identik dengan basil TB. Namun, karena dalam keadaan normal
penyakit paru yang disebabkan oleh Mycobacterium lain jarang sekali dalam praktik, sehingga
BTA dianggap identik dengan basil TB.1,2
Basil TB sangat rentan terhadap sinar matahari, sehingga dalam beberapa menit saja
akan mati. Basil TB juga sangat rentan terhadap panas, sehingga dalam waktu 2 menit saja
basil TB yang berada dalam lingkungan basah sudah akan mati bila terkena air bersuhu 100°C.
Selain itu, kuman ini akan terbunuh dalam beberapa menit bila terkena alcohol 70%, atau lisol
5%.2
10
dari luar, dan dapat juga mengurangi bahaya penularan bagi penghuni-penghuni lain yang
serumah. Dengan demikian, bahaya penularan terbesar terdapat di perumahan-perumahan
yang berpenghuni padat dengan ventilasi yang jelek serta cahaya matahari yang kurang.
Lingkungan hidup yang sangat padat dan pemukiman di wilayah perkotaan kemungkinan besar
telah mempermudah proses penularan dan berperan sekali atas peningkatan jumlah kasus TB.
1,3
2.6. PATOGENESIS
a. TUBERKULOSIS PRIMER
Kuman tuberkulosis yang masuk melalui saluran napas akan bersarang di jaringan paru,
dimana ia akan membentuk suatu sarang pneumonik, yang disebut sarang primer atau afek
primer. Sarang primer ini mugkin timbul di bagian mana saja dalam paru, berbeda dengan
sarang reaktivasi. Dari sarang primer akan kelihatan peradangan saluran getah bening menuju
hilus (limfangitis lokal). Peradangan tersebut diikuti oleh pembesaran kelenjar getah bening di
hilus (limfadenitis regional). Afek primer bersama-sama dengan limfangitis regional dikenal
sebagai kompleks primer. Kompleks primer ini akan mengalami salah satu nasib sebagai
berikut:1,3
1. Sembuh dengan tidak meninggalkan cacat sama sekali (restitution ad integrum)
2. Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas (antara lain sarang Ghon, garis fibrotik,
sarang perkapuran di hilus)
3. Menyebar dengan cara :
a. Perkontinuitatum, menyebar kesekitarnya Salah satu contoh adalah epituberkulosis,
yaitu suatu kejadian dimana terdapat penekanan bronkus, biasanya bronkus lobus
medius oleh kelenjar hilus yang membesar sehingga menimbulkan obstruksi pada
saluran napas bersangkutan, dengan akibat atelektasis. Kuman tuberkulosis akan
menjalar sepanjang bronkus yang tersumbat ini ke lobus yang atelektasis dan
menimbulkan peradangan pada lobus yang atelektasis tersebut, yang dikenal sebagai
epituberkulosis.
b. Penyebaran secara bronkogen, baik di paru bersangkutan maupun ke paru
sebelahnya. Penyebaran ini juga terjadi ke dalam usus
11
c. Penyebaran secara hematogen dan limfogen. Kejadian penyebaran ini sangat
bersangkutan dengan daya tahan.
b . TUBERKULOSIS POST-PRIMER
Dari tuberkulosis primer ini akan muncul bertahun-tahun kemudian tuberkulosis post-
primer, biasanya pada usia 15-40 tahun. Tuberkulosis post primer mempunyai nama yang
bermacam macam yaitu tuberkulosis bentuk dewasa, localized tuberculosis, tuberkulosis
menahun, dan sebagainya. Bentuk tuberkulosis inilah yang terutama menjadi problem
kesehatan rakyat, karena dapat menjadi sumber penularan. Tuberkulosis post-primer dimulai
dengan sarang dini, yang umumnya terletak di segmen apikal dari lobus superior maupun lobus
inferior. Sarang dini ini awalnya berbentuk suatu sarang pneumonik kecil. Nasib sarang
pneumonik ini akan mengikuti salah satu jalan sebagai berikut :1
12
2.7. KLASIFIKASI TUBERKULOSIS
1. Berdasarkan lokasi
b. TB ekstraparu adalah kasus TB yang melibatkan organ di luar parenkim paru seperti
pleura, kelenjar getah bening, abdomen, saluran genitourinaria, kulit, sendi dan tulang,
selaput otak.
• Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif, gambaran klinik dan
kelainan radiologik menunjukkan tuberkulosis aktif serta tidak respons dengan
pemberian antibiotik spektrum luas.
• Hasil pemeriksaan dahak 3 kali menunjukkan BTA negatif dan biakan
M.tuberculosis positif
• Jika belum ada hasil pemeriksaan dahak, tulis BTA belum diperiksa
a. Kasus baru
Adalah penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).
13
b. Kasus kambuh (relaps)
Adalah penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat pengobatan
tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap, kemudian kembali
lagi berobat dengan hasil pemeriksaan dahak BTA positif atau biakan positif.
d. Kasus gagal
• Adalah penderita BTA positif yang masih tetap positif atau kembali menjadi positif
pada akhir bulan ke-5 (satu bulan sebelum akhir pengobatan)
• Adalah penderita dengan hasil BTA negatif gambaran radiologik positif menjadi
BTA positif pada akhir bulan ke-2 pengobatan dan atau gambaran radiologik ulang
hasilnya perburukan
e. Kasus bekas TB
• Hasil pemeriksaan dahak mikroskopik (biakan jika ada fasilitas) negatif dan
gambaran radiologik paru menunjukkan lesi TB inaktif, terlebih gambaran radiologic
serial menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat pengobatan OAT yang
adekuat akan lebih mendukung
• Pada kasus dengan gambaran radiologik meragukan lesi TB aktif, namun setelah
mendapat pengobatan OAT selama 2 bulan ternyata tidak ada perubahan gambaran
radiologik.
Gejala klinis tuberkulosis dapat dibagi menjadi 2 golongan, yaitu gejala lokal dan gejala
sistemik, bila organ yang terkena adalah paru maka gejala lokal ialah gejala respiratori (gejala
lokal sesuai organ yang terlibat)3,4,5
14
1. Gejala respiratorik
- batuk > 2 minggu
- batuk darah
- sesak napas
- nyeri dada
Gejala respiratori ini sangat bervariasi, dari mulai tidak ada gejala sampai gejala yang
cukup berat tergantung dari luas lesi. Kadang pasien terdiagnosis pada saat medical
check up. Bila bronkus belum terlibat dalam proses penyakit, maka pasien mungkin
tidak ada gejala batuk. Batuk yang pertama terjadi karena iritasi bronkus, dan
selanjutnya batuk diperlukan untuk membuang dahak ke luar.
2. Gejala sistemik
- Demam.
- gejala sistemik lain adalah malaise, keringat malam, anoreksia dan berat badan
menurun.
Tempat kelainan lesi TB paru yang paling dicurigai adalah bagian apeks (puncak) paru.
Pada auskultasi, hanya akan ditemukan ronki basah halus sebagai satu-satunya kelainan
15
pemeriksaan jasmani. Bila dicurigai adanya infiltrat yang agak luas, maka didapatkan perkusi
yang redup, fremitus yang menguat dan auskultasi suara nafas bronkial.
Bila sudah terjadi kavitas, akan ditemukan gejala-gejala kavitas, berupa suara timpani
pada perkusi yang disertai suara napas amforis. Sebaliknya bila terjadi atelektasis, misalnya
pada “destroyed lung”, suara nafas setempat akan melemah sampai hilang sama sekali.
Pada umumnya, selalu akan didapatkan ronki basah mengingat bahwa selalu pula
terbentuk sekret dan jaringan nekrotik. Makin banyak sekret dan makin besar bronkus tempat
sekret itu berada, makin kasarlah ronki yang didengar. Melihat ini semua, makin nyatalah
bahwa kelainan-kelainan yang ditemukan pada TB sangat variabel, baik jenis, intensitas,
jumlah maupun tempat ditemukannya (pleiomorfi)1,2
Pemeriksaan standar ialah foto toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi: foto lateral,
top-lordotik, oblik, CT-Scan. Pada pemeriksaan foto toraks, tuberkulosis dapat memberi
gambaran bermacam-macam bentuk (multiform)1,5
a. Bayangan berawan / nodular di segmen apikal dan posterior lobus atas paru dan segmen
superior lobus bawah.
b. Kaviti, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak berawan atau nodular.
c. Bayangan bercak milier
d. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
16
a. Gambaran radiologik yang menunjukkan kerusakan jaringan paru yang berat, biasanya
secara klinis disebut luluh paru . Gambaran radiologik luluh paru terdiri dari atelektasis,
multikaviti dan fibrosis parenkim paru. Sulit untuk menilai aktiviti lesi atau penyakit hanya
berdasarkan gambaran radiologik tersebut.
b. Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologik untuk memastikan aktiviti proses penyakit Luas
lesi yang tampak pada foto toraks untuk kepentingan pengobatan dapat dinyatakan sbb
(terutama pada kasus BTA dahak negatif) :
a Lesi minimal , bila proses mengenai sebagian dari satu atau dua paru dengan luas tidak
lebih dari volume paru yang terletak di atas chondrostemal junction dari iga kedua depan
dan prosesus spinosus dari vertebra torakalis 4 atau korpus vertebra torakalis 5 (sela iga 2)
dan tidak dijumpai kaviti.
b Lesi luas Bila proses lebih luas dari lesi minimal.
i. Darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator yang spesifik untuk
tuberkulosis. Laju endap darah ( LED) jam pertama dan kedua sangat dibutuhkan. Data
ini sangat penting sebagai indikator tingkat kestabilan keadaan nilai keseimbangan
biologik penderita, sehingga dapat digunakan untuk salah satu respon terhadap
pengobatan penderita serta kemungkinan sebagai predeteksi tingkat penyembuhan
penderita. Demikian pula kadar limfosit bisa menggambarkan biologik/ daya tahan tubuh
penderida , yaitu dalam keadaan supresi / tidak. LED sering meningkat pada proses aktif,
tetapi laju endap darah yang normal tidak menyingkirkan tuberkulosis. Limfositpun
kurang spesifik. Selain itu juga dapat ditemukan Anemia ringan dengan gambaran
normokrom dan normositer.2
17
tuberkulosis yang tinggi, pemeriksaan uji tuberkulin sebagai alat bantu diagnostik kurang
berarti, apalagi pada orang dewasa. Uji ini akan mempunyai makna bila didapatkan
konversi dari uji yang dilakukan satu bulan sebelumnya atau apabila kepositifan dari uji
yang didapat besar sekali atau bula.1,5,6
18
o Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut ++ (2+)
o Ditemukan >10 BTA dalam 1 lapang pandang, disebut +++ (3+)
19
yang berbentuk sisir plastik. Sisir plastik ini kemudian dicelupkan ke dalam serum
pasien, dan bila di dalam serum tersebut terdapat antibodi spesifik anti LAM dalam
jumlah yang memadai sesuai dengan aktiviti penyakit, maka akan timbul perubahan
warna pada sisir dan dapat dideteksi dengan mudah.
d. Uji peroksidase anti peroksidase (PAP)
Uji ini merupakan salah satu jenis uji yang mendeteksi reaksi serologi yang
terjadi. Dalam menginterpretasi hasil pemeriksaan serologi yang diperoleh, para
klinisi harus hati hati karena banyak variabel yang mempengaruhi kadar antibodi
yang terdeteksi.
ALUR
20
2.12. TATALAKSANA TB
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase intensif (2-3 bulan) dan fase
lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat yang digunakan terdiri dari paduan obat utama dan
tambahan.6,7
OBAT ANTI TUBERKULOSIS (OAT)
Obat yang dipakai:6
1. Jenis obat utama (lini 1) yang digunakan adalah:
Rifampisin
INH
Pirazinamid
Streptomisin
Etambutol
2. Kombinasi dosis tetap (Fixed dose combination)
Kombinasi dosis tetap ini terdiri dari :
Empat obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid
75 mg, pirazinamid 400 mg dan etambutol 275 mg dan
21
Tiga obat antituberkulosis dalam satu tablet, yaitu rifampisin 150 mg, isoniazid
75 mg dan pirazinamid. 400 mg
3. Jenis obat tambahan lainnya (lini 2):
Kanamisin
Kuinolon
Obat lain masih dalam penelitian ; makrolid, amoksilin + asam klavulanat
Derivat rifampisin dan INH
22
a. TB paru BTA negatif dengan gambaran radiologik lesi minimal
b. TB di luar paru kasus ringan
23
2.13. EFEK SAMPING OAT
Sebagian besar penderita TB dapat menyelesaikan pengobatan tanpa efek samping. Namun
sebagian kecil dapat mengalami efek samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan
terjadinya efek samping sangat penting dilakukan selama pengobatan. Efek samping yang terjadi
dapat ringan atau berat, bila efek samping ringan dan dapat diatasi dengan obat simtomatik maka
pemberian OAT dapat dilanjutkan.6,7
24
2.14. PENGOBATAN SUPORTIF / SIMPTOMATIK
a. Makan makanan yang bergizi, bila dianggap perlu dapat diberikan vitamin
tambahan (pada prinsipnya tidak ada larangan makanan untuk penderita
tuberkulosis, kecuali untuk penyakit komorbidnya).
b. Bila demam dapat diberikan obat penurun panas/demam
c. Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak napas atau
keluhan lain.
25
2. Penderita rawat inap
Evaluasi penderita meliputi evaluasi klinik, bakteriologik, radiologik, dan efek samping
obat, serta evaluasi keteraturan berobat.5,6
a. Evaluasi klinik
26
c. Evaluasi radiologik (0 - 2 – 6/9)
i. Sebelum pengobatan
ii. Setelah 2 bulan pengobatan
iii. Pada akhir pengobatan
i. Bila mungkin sebaiknya dari awal diperiksa fungsi hati, fungsi ginjal dan darah
lengkap.
ii. Fungsi hati; SGOT,SGPT, bilirubin, fungsi ginjal : ureum, kreatinin, dan gula darah ,
asam urat untuk data dasar penyakit penyerta atau efek samping pengobatan.
iii. Asam urat diperiksa bila menggunakan pirazinamid.
iv. Pemeriksaan visus dan uji buta warna bila menggunakan etambutol.
v. Penderita yang mendapat streptomisin harus diperiksa uji keseimbangan dan
audiometri.
vi. Pada anak dan dewasa muda umumnya tidak diperlukan pemeriksaan awal tersebut.
Yang paling penting adalah evaluasi klinik kemungkinan terjadi efek samping obat.
Bila pada evaluasi klinik dicurigai terdapat efek samping, maka dilakukan pemeriksaan
laboratorium untuk memastikannya dan penanganan efek samping obat sesuai pedoman
Yang tidak kalah pentingnya selain dari paduan obat yang digunakan adalah keteraturan
berobat. Diminum / tidaknya obat tersebut. Dalam hal ini maka sangat penting penyuluhan atau
pendidikan mengenai penyakit dan keteraturan berobat yang diberikan kepada penderita,
keluarga dan lingkungan. Ketidakteraturan berobat akan menyebabkan timbulnya masalah
resistensi.
2.16. KOMPLIKASI TB
27
a. TB Laring
Karena setiap kali dahak yang mengandung basil TB dikeluarkan melalui larings, tidaklah
mengherankan bila ada basil yang tersangkut di larings dan menimbulkan proses TB di tempat
tersebut, sehingga terjadilah TB larings.1,2
b. Pleuritis eksudatif
Bila terdapat proses TB di bagian paru dekat sekali dengan pleura, pleuara akan ikut
meradang dan menghasilkan cairan eksudat. Dengan lain kata, terjadilah pleuritis eksudatif. Tidak
jarang proses TB nya masih begitu kecil, sehingga pada foto paru belum tampak kelainan.
Bilamana cairan eksudat masih sedikir, cukup diberikan terapi spesifik saja, tetapi bila cairan
semakin banyak, perlu dilakukan pungsi dan cairan eksudat dikeluarkan sebanyak mungkin, untuk
menghindari terjadinya Schwarte di kemudian hari.
c. Pneumothoraks
Bisa saja terjadi proses nekrotis berlangsung dekat sekali dengan pleura, sehingga pleura
ikut mengalami nekrosis dan bocor, sehingga terjadilah pneumothoraks. Sebab lain
pneumothoraks adalah pecahnya dinding kavitas yang kebetulan berdekatan dengan pleura,
sehingga pleura pun ikut robek.2
d. Hemoptisis
Hemoptisis adalah ekspektorasi darah yang berasal dari saluran nafas bagian bawah
(dibawah pita suara). Karena pada dasarnya proses TB adalah proses nekrosis, kalau diantara
jaringan yang mengalami nekrosis terdapat pembuluh darah, besar kemungkinan penderita akan
mengalami batuk darah, yang dapat bervariasi mulai dari jarang sekali sampai sering/setiap hari.
Variasi lainnya adalah jumlah darah yang dibatukkan keluar mulai dari sangat sedikit (berupa garis
pada sputum) sampai banyak sekali (profus), tergantung pada pembuluh darah yang terkena.
Batuk darah baru akan membahayakan jiwa penderita bila profus, karena dapat
menyebabkan kematian oleh syok dan anemia akut. Di samping itu, darah yang akan dibatukkan
keluar akan menyangkut di trakea/larings dan akan menyebabkan asfiksia akut yang dapat
berakibat fatal.1,3
28
Untuk batuk darah yang minimal sampai agak banyak, dapat diberikan koagulan dan/atau
obat-obatan trombolitik (asam traneksamat) saja. Bila perdarahan agak hebat, perlu
dipertimbangkan pemberian transfusi darah segar. Kalau hal ini sering berulang, perlu juga
dipertimbangkan lobektomi ataupun embolisasi arteri, yang menjadi permasalahan.3
Dalam stadium akut sampai beberapa hari sesudahnya, sebaiknya diberikan pula antitusif
untuk mencegah batuk, sebaiknya diberikan pula antitusif untuk mencegah batuk, setidak-tidaknya
mengurangi frekuensi batuk untuk memberi kesempatan beristirahat secukupnya bagi lesi, sampai
thrombus yang terbentuk cukup kuat.
Hemoptisis dikatakan massif apabila batuk darah mencapai > 600 ml darah dalam 24
sampai 48 jam.3
Prinsip: mempertahankan jalan nafas, proteksi paru yang sehat, menghentikan perdarahan
b. Oksigen
- Batuk darah > 600 cc/24 jam, dan pada observasi tidak berhenti
- Batuk darah > 100-250 cc/24 jam, Hb < 10g/dl. Dan pada observasi tidak
berhenti.
- Batuk darah 100-250 cc/24 jam, Hb >10 gr/dl, pada observasi 48 jam tidak
berhenti.
BAB III
LAPORAN KASUS
29
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. S
Umur : 17 tahun
Jenis Kelamin : Laki-laki
Agama : Kristen
Alamat : Kolang
Pekerjaan : Pelajar
Status Pernikahan : Belum Menikah
Tanggal masuk RS : kamis, 29 Juli 2017
Ruangan : Melur
No RM : 16.81.32
Tanggal keluar RS : Kamis, 03 Agustus 2017
II. ANAMNESIS
Dilakukan pada tanggal 29 Juli 2017, secara autoanamnesis kepada pasien dan alloanamnesis
dengan ibu pasien.
30
Riwayat Penyakit Keluarga :-
BB (kg)
TB (m)2
43
1.532
43 = 18.4
2.34
31
1.1.2. Status Generalisata
Kepala : Normosefal
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), Skelera ikterik (-/-)
Leher : Pembesaran KGB tidak ada.
Thoraks (paru-paru) :
‒ Depan
Inspeksi Statis: Simetris kanan dan kiri.
Dinamis: Pergerakan kanan dan kiri sama.
‒ Belakang
Inspeksi Statis: Simetris kanan dan kiri.
Dinamis: Pergerakan kanan dan kiri sama.
Jantung:
32
Inspeksi Ictus cordis terlihat pada ruang intercosta V linea
midclavicula sinistra.
Abdomen:
Inspeksi Bentuk cekung.
Ekstremitas:
‒ Superior : Akral hangat, capilari reffil time kembali capat, edema tidak ada, jari kuku
tidak tampak menguning.
‒ Inferior: Akral hangat, capilari reffil time kembali cepat, edama tidak ada, jari kuku
tidak tampak menguning.
33
1.2.Pemeriksaan Penunjang
1.2.1. Hasil Pemeriksaan darah
Darah lengkap (Tgl 29 Juli 2017)
‒ Hb : 10.6 gr% Nilai normal: 13 – 18
‒ Lekosit : 8.0 x 103/mm3 Nilai normal: 5 – 11
‒ Hematokrit : 32.4 % Nilai normal: 37 – 47
‒ LED : 18 mm/jam Nilai normal: L:<15. P: <20
‒ Trombosit : 310 x 103/mm3 Nilai normal: 150 – 450
34
1.2.2. Hasil Foto RÖ Thoraks
Interpretasi:
‒ Perselubungan pada inferior lobus superior paru kanan ec Tb
‒ CTR < 50%
1.3.Diagnosis Kerja: TB Paru + Haemaptoe
1.4.Diagnosis Banding
Bronkitis Kronik
Bronkiektasis
PPOK
1.5.Penatalaksanaan
‒ Oksigen 4 L/i
‒ IVFD RL : Na CL 0,9% 16 gtt/i
‒ Inj. Cefotaxime 1 amp/12 jam/IV
‒ Inj. Asam Traneksamat 1 amp/8 jam/ IV
‒ Vit K 3x1
‒ Vit C 3x1
‒ SF 3x1
‒ Omeprazole 3x1
‒ Paracetamol 3x1 (k/p)
1.7.Follow Up
Hari/Tanggal Perkembangan
30/7/2017 S: - Batuk berdarah (+)
- Batuk berdahak (+)
- Sariawan (+)
35
O: - Vital Sign
- TD: 110/80 mmHG
- Pulse: 78 x/mnt
- RR: 20 x/mnt
- T: 36,5 oC
P:
- Oksigen 4L/i
- IVFD RL : Na CL 16 gtt/i.
- Inj. Cefotaxime 1 amp/12 jam/IV
- Inj. Asam Traneksamat 1 amp/8 jam/ IV
- Vit C 3x1
- Vit K 3x1
- SF 3x1
- Omeprazole 3x1
- Paracetamol 3x1 (k/p)
- Candestatin drop 4x 1cc
31/07/2017 S: - Batuk darah (+)
- Batuk berdahak (+)
O: - Vital Sign
- TD: 110/70 mmHG
- Pulse: 80 x/mnt
- RR: 22x/mnt
- T: 36,7 oC
36
- Hasil Pemeriksaan paru:
- Suara nafas bronkial.
- Ronki (+) di lapang paru kanan, wheezing (-)
A: TB Paru + Haemaptoe
P:
- Oksigen 4L/i
- IVFD RL : Na CL 16 gtt/i
- Inj. Cefotaxime 1 amp/12 jam/IV
- Inj. Asam Traneksamat 1 amp/ 8 jam/IV
- Vit K 3x1
- Vit C 3x1
- Omeprazole 2x1
- SF 3x1
- Paracetamol 3x1 (k/p)
- Diet MB TKTP
- Putih telur 3 butir/hari
- Susu 2 gelas /hari
01/08/2017 S: - Batuk darah (+)
- Batuk berdahak (+)
O: - Vital Sign
- TD: 110/80 mmHG
- Pulse: 78 x/mnt
- RR: 22 x/mnt
- T: 36,9 oC
37
P:
- IVFD RL : Na CL 16 gtt/i →Pasang Three
way
- Inj. Cefotaxime 1 amp/12 jam/IV
- Inj. Asam Traneksamat 1 amp/ 8 jam/IV
- Vit K 3x1
- Vit C 3x1
- Omeprazole 2x1
- SF 3x1
- Paracetamol 3x1 (k/p)
- Diet MB TKTP
- Putih telur 3 butir/hari
- Susu 2 gelas /hari
O: - Vital Sign
- TD: 110/80 mmHG
- Pulse: 78 x/mnt
- RR: 22 x/mnt
- T: 36,9 oC
P:
38
- Pasang Three way
- Inj. Cefotaxime 1 amp/12 jam/IV
- Vit K 3x1
- Vit C 3x1
- Omeprazole 2x1
- SF 3x1
- Asam Traneksamat 3x500mg
- Paracetamol 3x1 (k/p)
- Rifampisin 1x450 mg
- Inh 1x 400mg
- Pirazinamid 1x1000mg
- Etambutol 1x1000mg
- Curcuma 3x1
- Diet MB TKTP
- Putih telur 3 butir/hari
- Susu 2 gelas /hari
39
P:
- Pasang Three way
- Inj. Cefotaxime 1 amp/12 jam/IV→Aff
- Vit K 3x1
- Vit C 3x1
- Omeprazole 2x1
- SF 3x1
- Asam Traneksamat 3x500mg
- Paracetamol 3x1 (k/p)
- Rifampisin 1x450 mg
- Inh 1x 400mg
- Pirazinamid 1x1000mg
- Etambutol 1x1000mg
- Curcuma 3x1
- Cefadroxil 2x500mg
- Diet MB TKTP
- Putih telur 3 butir/hari
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada laporan kasus ini, diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis, gejala klinis
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan foto thoraks.
Tuberkulosis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi Mycobacterium tuberculosis. Gejala
klinis tuberkulosis yaitu batuk diatas 2 minggu, batuk darah, sesak napas dan keringan malam dan
penurunan berat badan.TB paru dapat menyerang segala usia dari bayi hingga dewasa. Dari
anamnesis ditemukan penderita berusia 17 tahun datang kepoli klinik dengan keluhan batuk darah
yang dialami 1 hari ini dan batuk berdahak sudah 1 bulan.
Dari anamnesis diatas dilakukan pemeriksaan fisik, pemeriksaan sputum dan pemeriksaan
foto thoraks. Maka dapat disimpulkan bahwa diagnosa pasien adalah TB Paru. Dan diindikasikan
untuk dirawat inap sampai keadaan umum pasien mengalami perbaikan selanjutnya pasien akan
40
diberikan terapi OAT kategori 1 yang akan diberikan pengobatan selama 6 bulan dan akan
dilakukan pemeriksaan foto thoraks pada bulan ke 2 dan akhir pengobatan TB Paru.
Selama mendapatkan terapi OAT juga diberikan berupa makanan yang bergizi, bila
dianggap perlu dapat diberikan vitamin tambahan (pada prinsipnya tidak ada larangan makanan
untuk penderita tuberkulosis, kecuali untuk penyakit komorbidnya), Bila demam dapat diberikan
obat penurun panas/demam, Bila perlu dapat diberikan obat untuk mengatasi gejala batuk, sesak
napas atau keluhan lain.
DAFTAR PUSTAKA
1. Zulkifli A, Asril B. Tuberkulosis paru. Dalam: Ilmu penyakit dalam. Jilid III. Edisi V.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2009.
2. Herchline TE, Bronze MS. Tuberculosis [Updated on December 14 2014, Available at
http://www.emedicine.medscape.com Accessed on August 25, 2015]
3. Danusantoso H. Buku saku ilmu penyakit paru. 2nd Ed. Jakarta: EGC 2012, p 70-80.
4. Pedoman nasional penanggulangan tuberculosis. Edisi 9. Jakarta: Departemen
Kesehatan Republik Indonesia; 2005.
5. Rani AA. Tuberkulosis paru. Jakarta: Panduan Pelayanan Medik PB Papdi, 2009.
6. Aditama TY, dkk. Pedoman diagnosis dan penatalaksanaan tuberkulosis di Indonesia.
Jakarta: Indah Offset Citra Grafika; 2006.
41
7. Bayupurnama P. Hepatotoksisitas imbas obat. Dalam: Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam Universitas Indonesia. Jilid I. Jakarta: Balai Penerbit FK-UI; 2006.
8. Mitchell RN, Kumar V, Abbas AK, Fausto N. Buku saku dasar patologis penyakit. Jakarta:
EGC 2008, p 429-34.
42