Anda di halaman 1dari 73

Diagnosis Holistik

PENGENDALIAN TUBERKULOSIS PARU


DENGAN KONSEP PELAYANAN KEDOKTERAN
KELUARGA

Kepaniteraan Klinik IKM-IKK


Periode 30 Januari 2023 – 26 Maret 2023

Oleh:
Fatasya Nurita Amanda, S. Ked. 04084822225197
Safira Putri Rizkiah, S.Ked. 04084822225068

Pembimbing:
Drs. Eddy Roflin, M.Si
dr. Marlia Refianti, M.Kes
dr. Diah Putri Wardani

BAGIAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT DAN ILMU


KEDOKTERAN KOMUNITAS
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2023
HALAMAN PENGESAHAN
Diagnosis Holistik

PENGENDALIAN TUBERKULOSIS PARU DENGAN


KONSEP PELAYANAN KEDOKTERAN KELUARGA

Disusun Oleh:

Fatasya Nurita Amanda, S. Ked. 04084822225197


Safira Putri Rizkiah, S.Ked. 04084822225068

Telah diterima sebagai salah satu tugas dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik
Senior di Bagian Ilmu Kesehatan Masyarakat dan Ilmu Kedokteran Komunitas
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Periode 30 Januari - 26 Maret 2023

Palembang, Maret 2023


Mengetahui,

Kepala Bagian IKM-IKK FK Unsri

dr. Hj. Emma Novita, M.Kes .............................................

Dosen Pembimbing Lapangan

Drs. Eddy Roflin, M.Si .............................................

Kepala Puskesmas Kampus

dr. Marlia Refianti, M.Kes .............................................

Dosen Pembimbing Puskesmas Kampus

dr. Diah Putri Wardani .............................................


KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT yang telah
melimpahkan berkat dan rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
laporan diagnosis holistik kami dengan judul “Pengendalian Tuberkulosis Paru
dengan Konsep Pelayanan Kedokteran Keluarga”. Laporan ini merupakan
salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik senior di bagian Ilmu
Kesehatan Masyarakat dan Ilmu Kedokteran Komunitas Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya.
Pada kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang
sebesar- besarnya kepada Pimpinan Puskesmas Kampus, dr. Marlia Refianti,
M.Kes pembimbing kami di Puskesmas Kampus dr. Diah Putri Wardani dan
Pembimbing lapangan kami Bapak Drs. Eddy Roflin, M. Si beserta staf-staf
Puskesmas Kampus, teman-teman, dan semua pihak yang telah membantu dalam
menyelesaikan laporan diagnosis holistik ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan laporan
diagnosis holistik ini masih banyak terdapat kesalahan dan kekurangan. Oleh
karena itu, saran dan kritik yang bersifat membangun sangat penulis harapkan.

Palembang, Maret 2023

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL................................................................................................i
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................................ii
KATA PENGANTAR............................................................................................iii
DAFTAR ISI............................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN........................................................................................1
BAB II TINJAUAN PUSTAKA..............................................................................4
BAB III TINJAUAN KASUS................................................................................29
BAB IV PEMBAHASAN......................................................................................42
BAB V PENUTUP.................................................................................................48
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................49
LAMPIRAN...........................................................................................................50

iv
BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Tuberkulosis (TB) merupakan infeksi yang diakibatkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Infeksi ini dapat menyerang berbagai organ di tubuh
seseorang, terutama parenkim paru-paru dan bersifat menular. TB paru dapat
menular melalui udara, waktu seseorang dengan TB aktif pada paru batuk, bersin
atau bicara. Nama tuberkulosis sendiri berasal dari kata “tuberkel” yang berarti
tonjolan kecil dan keras yang terbentuk waktu sistem kekebalan membangun
tembok mengelilingi bakteri dalam paru. 1,2
Berdasarkan Global TB Report 2018, diperkirakan di Indonesia pada tahun
2017 terdapat 842.000 kasus TB baru (319 per 100.000 penduduk) dan kematian
karena TB sebesar 116.400 (44 per 100.000 penduduk) termasuk pada TB-HIV
positif. Angka notifikasi kasus (case notification rate/CNR) dari semua kasus
dilaporkan sebanyak 171 per 100.000 penduduk. Secara nasional diperkirakan
insidens TB HIV sebesar 36.000 kasus (14 per 100.000 penduduk). Jumlah kasus
TB-RO diperkirakan sebanyak 12.000 kasus (diantara pasien TB paru yang
ternotifikasi) yang berasal dari 2.4% kasus baru dan 13% kasus pengobatan
ulang.3 Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru TBC tahun 2017 pada laki-
laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan pada perempuan. Bahkan berdasarkan
Survei Prevalensi Tuberkulosis prevalensi pada laki-laki 3 kali lebih tinggi
dibandingkan pada perempuan. Begitu juga yang terjadi di negara-negara lain. Hal
ini terjadi kemungkinan karena laki-laki lebih terpapar pada fakto risiko TBC
misalnya merokok dan kurangnya ketidakpatuhan minum obat. Survei ini
menemukan bahwa dari seluruh partisipan laki-laki yang merokok sebanyak
68,5% dan hanya 3,7% partisipan perempuan yang merokok.2
Berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis tahun 2013-2014, prevalensi
TBC dengan konfirmasi bakteriologis di Indonesia sebesar 759 per 100.000
penduduk berumur 15 tahun ke atas dan prevalensi TBC BTA positif sebesar 257

1
per 100.000 penduduk berumur 15 tahun ke atas. Berdasarkan survey Riskesdas
2013, semakin bertambah usia, prevalensinya semakin tinggi. Kemungkinan
terjadi re-aktivasi TBC dan durasi paparan TBC lebih lama dibandingkan
kelompok umur di bawahnya.2
Diagnosis TB dapat ditegakkan berdasarkan temuan klinis dan juga
pemeriksaan spesimen yang lebih lanjut. Gejala klinis TB antara lain malaise,
anoreksia, penurunan berat badan, demam, dan keringat malam yang
berlebihan. Batuk kronis adalah gejala pulmonal yang paling sering
ditemukan, dimulai dari batuk kering, kemudian menjadi purulen hingga
mukopurulen dan akhirnya menjadi batuk darah. Dalam kepentingan diagnosis
TB, pemeriksaan sputum pada suspek penderita TB mutlak dilakukan.
Pemeriksaan sputum dilakukan sebanyak 2 kali yang terdiri dari dahak SPS
yakni sewaktu–pagi.1
Pengobatan TB meliputi dua tahap yakni fase intensif dan lanjutan
dengan menggunakan obat anti tuberkulosis (OAT). OAT yang digunakan
hingga saat ini antara lain isoniazid (H), rifampicin (R), pirazinamid (Z),
streptomisin (S), dan etambutol (E). Paduan OAT yang digunakan saat ini
disebut sebagai Fixed Dose Combination (FDC) atau dalam bahasa Indonesia
disebut sebagai kombinasi dosis tetap (KDT). OAT KDT terdiri dari 2 atau 4
jenis obat dalam satu tablet.1
Berdasarkan data-data tersebut, TB paru menjadi masalah kesehatan
mutlak untuk dipelajari oleh para dokter umum karena penatalaksanaannya wajib
dituntaskan di fasilitas kesehatan tingkat primer (FKTP). Keberhasilan Program
Penanganan TB Paru dapat dinilai dari keberhasilan pengobatan. Wilayah kerja
Puskesmas Tujuh Ulu merupakan wilayah dengan status sosial ekonomi dan
pendidikan menengah ke bawah, sehingga resiko terjadinya TB masih cukup
tinggi. Oleh karena itu penting bagi puskesmas untuk melaksanakan pencegahan
penularan TB paru di masyarakat dan pemantauan kepatuhan makan OAT pada
pasien yang telah terdiagnosis TB paru.

2
1.2. Tujuan
Makalah ini memiliki tujuan umum dan khusus, yaitu
1.2.1. Tujuan Umum
Mewujudkan penatalaksanaan komprehensif pasien TB paru dengan
pendekatan konsep pelayanan kedokteran keluarga.
1.2.2. Tujuan Khusus
a. Menentukan diagnosis holistik pada pasien TB paru.
b. Menentukan penatalaksanaan pasien TB paru secara komprehensif.
c. Membuat rancangan program untuk pencegahan TB paru di masyarakat.
1.3. Manfaat
Makalah ini memiliki manfaat praktis dan teoritis, yakni
1.3.1. Manfaat Praktis
a. Dapat diterapkan di Puskesmas untuk menatalaksana pasien TB paru.
b. Dapat diterapkan di Puskesmas untuk menatalaksana pasien penyakit
menular lainnya.
1.3.2. Manfaat Teoritis
a. Dapat dijadikan bahan referensi lebih lanjut untuk membuat karya tulis
mengenai TB paru.
b. Dapat dijadikan bahan referensi untuk pembuatan diagnosis holistik
penyakit lainnya.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Tuberkulosis Paru


2.1.1. Definisi
Penyakit tuberkulosis adalah penyakit menular yang disebabkan oleh
Mycobacterium tuberculosis. Tuberkulosis paru merupakan penyakit radang pada
parenkim paru yang diakibatkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Sebagian besar
Mycobacterium tuberculosis menyerang paru, tetapi dapat juga menyerang organ
tubuh lainnya. Penyakit ini merupakan infeksi bakteri kronik yang ditandai oleh
pembentukan granuloma pada jaringan yang terinfeksi dan reaksi hipersensitivitas
yang diperantarai sel (cell mediated hypersensitivity). Penyakit tuberkulosis yang
aktif bisa menjadi kronik dan berakhir dengan kematian apabila tidak dilakukan
pengobatan yang efektif.4
Definisi kasus TB adalah sebagai berikut.
a. Kasus TB definitif adalah kasus dengan salah satu dari spesimen
biologis positif dengan pemeriksaan mikroskopis apusan sputum
bakteri tahan asam (BTA), tes cepat molekuler yang telah disetujui
oleh WHO (seperti Xpert MTB/RIF) atau kultur Mycobacterium
tuberculosis dan uji kepekaan obat.4
b. Kasus TB diagnosis klinis adalah kasus TB yang tidak dapat
memenuhi kriteria konfirmasi bakteriologis walau telah diupayakan
maksimal tetapi ditegakkan diagnosis TB aktif oleh klinisi yang
memutuskan untuk memberikan pengobatan TB berdasarkan foto
toraks abnormal, histologi sugestif dan kasus ekstraparu. Kasus yang
ditegakkan diagnosis secara klinis ini bila kemudian didapatkan hasil
bakteriologis positif (sebelum dan setelah pengobatan) harus
diklasifikasikan kembali sebagai kasus TB dengan konfirmasi
bakteriologis.4

4
2.1.2. Epidemiologi
Jumlah kasus baru TB di Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun
2017 (data per 17 Mei 2018). Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru TBC
tahun 2017 pada laki-laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan pada perempuan.
Bahkan berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis prevalensi pada laki-laki 3
kali lebih tinggi dibandingkan pada perempuan. Begitu juga yang terjadi di
negara- negara lain. Hal ini terjadi kemungkinan karena laki-laki lebih terpapar
pada fakto risiko TBC misalnya merokok dan kurangnya ketidakpatuhan minum
obat. Survei ini menemukan bahwa dari seluruh partisipan laki-laki yang merokok
sebanyak 68,5% dan hanya 3,7% partisipan perempuan yang merokok.2

Gambar 1. Jumlah Kasus Baru TBC di Indonesia Berdasarkan Jenis Kelamin, 2017.2

Gambar 2. Prevalensi TBC Menurut Karakteristik Umur, Pendidikan, dan Sosial


Ekonomi.2

Berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis tahun 2013-2014, prevalensi


TBC dengan konfirmasi bakteriologis di Indonesia sebesar 759 per 100.000

5
penduduk berumur 15 tahun ke atas dan prevalensi TBC BTA positif sebesar 257
per 100.000 penduduk berumur 15 tahun ke atas. Berdasarkan survey Riskesdas
2013, semakin bertambah usia, prevalensinya semakin tinggi. Kemungkinan
terjadi re-aktivasi TBC dan durasi paparan TBC lebih lama dibandingkan
kelompok umur di bawahnya.2

2.1.3. Etiologi
Penyebab tuberculosis adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis
kuman berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-4 µm dan tebal 0.3-0.6 µm.
Sebagian besar dinding kuman terdiri atas asam lemak (lipid), kemudian
peptidoglikan dan arabinomanan. Lipid ini yang membuat kuman lebih tahan
terhadap asam sehingga disebut bakteri tahan asam (BTA) dan juga lebih tahan
terhadap gangguan kimia dan fisis. Kuman dapat bertahan hidup pada udara
kering maupun dalam keadaan dingin. Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai
parasit intraselular yakni dalam sitoplasma markofag. Makrofag yang semula
memfagositasi malah kemudian disenanginya karena banyak mengandung lipid.
Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih
menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan
oksigen pada bagian apikal paru-paru lebih tinggi dari bagian lain. Sehingga
bagian apikal ini merupakan tempat predileksi penyakit tuberkulosis.3
Beberapa golongan kuman Mycobacterium tuberculosis complex adalah:
1. M. tuberculosae, 2.Varian Asian, 3. Varian African I, 4. Varian African II, 5.
M. bovis. Pembagian tersebut adalah berdasarkan perbedaan secara epidemiologi.
Kelompok kuman Mycobacteria Other Than TB (MOTT, atypical) adalah: 1. M.
kansasi, 2. M. avium, 3.M. intra cellular, 4. M. scrofulaceum, 5. M. malmacerse,
6. M. xenopi.3

6
Gambar 3. Mycobacterium tuberculosis dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen.5

2.1.4. Faktor Risiko


Terdapat beberapa kelompok orang yang memiliki risiko lebih tinggi
untuk mengalami penyakit TB, kelompok tersebut adalah sebagai berikut.3
1) Orang dengan HIV positif dan penyakit imunokompromais lain.
2) Orang yang mengonsumsi obat imunosupresan dalam jangka waktu panjang.
3) Perokok.
4) Konsumsi alkohol tinggi.
5) Anak usia <5 tahun dan lansia.
6) Memiliki kontak erat dengan orang dengan penyakit TB aktif yang infeksius.
7) Berada di tempat dengan risiko tinggi terinfeksi tuberkulosis (contoh: lembaga
permasyarakatan, fasilitas perawatan jangka panjang).
8) Petugas kesehatan.

2.1.5. Patogenesis
Bakteri Mycobacterium tuberculosis dapat masuk ke saluran napas melalui
droplet penderita TB yang terhirup dan mencapai alveolus. Masuknya kuman TB
akan dikenali oleh respons imun nonspesifik tubuh. Makrofag di alveolus akan
melakukan fagositosis terhadap kuman TB dan umumnya dapat menghancurkan

7
sebagian besar kuman TB. Apabila basilus dapat bertahan melewati mekanisme
pertahanan awal ini, basilus dapat bermultiplikasi di dalam makrofag.4
Tuberkel bakteri akan tumbuh perlahan dan membelah setiap 23-32 jam
sekali di dalam makrofag. Mycobacterium tidak memiliki endotoksin ataupun
exotoksin, sehingga tidak terjadi reaksi imun segera pada host yang terinfeksi.
Bakteri kemudian akan terus tumbuh dalam 2 - 12 minggu dan jumlahnya akan
mencapai 103-104, yang merupakan jumlah yang cukup untuk menimbulkan
sebuah respon imun seluler yang dapat dideteksi dalam reaksi pada uji tuberkulin
skin test. Bakteri kemudian akan merusak makrofag dan mengeluarkan produk
berupa tuberkel basilus dan kemokin yang kemudian akan menstimulasi respon
imun.4
Basil tuberkulosis akan mengaktifasi limfosit T helper CD4 agar
memproduksi interferon gamma guna aktifasi makrofag sehingga meningkatkan
kemampuan fagositosisnya. Disamping itu juga diproduksi TNF oleh limfosit T
dan makrofag dimana TNF berperan dalam aktifasi makrofag dan inflamasi lokal.
Alveoli yang terserang akan mengalami konsolidasi yang disebut dengan focus
primer atau Ghon focus yang merupakan infeksi primer. Infeksi primer ini dapat
sembuh dengan atau tanpa bekas atau dapat berlanjut terus dan bakteri terus di
fagosit atau berkembang biak didalam sel. Basil dapat menyebar melalui kelenjar
getah bening menuju kelenjar getah bening regional. Gabungan terserangnya
kelenjar getah bening dengan focus primer disebut kompleks ghon. Infeksi primer
kadang-kadang berlanjut terus dan perubahan patologisnya bersamaan seperti TB
post primer.4

2.1.6 Klasifikasi
Penentuan klasifikasi penyakit dan tipe penderita penting dilakukan untuk
menetapkan paduan Obat Anti Tuberkulosis (OAT) yang sesuai dan dilakukan
sebelum pengobatan dimulai. Klasifikasi penyakit tuberkulosis paru adalah
sebagai berikut.2
a. Tuberkulosis Paru
Berdasarkan hasil pemeriksaan dahak, TB Paru dibagi menjadi:

8
 Tuberkulosis Paru BTA (+)
Kriteria hasil dari tuberkulosis paru BTA positif adalah
Sekurang-kurangnya 2 pemeriksaan dari 3 spesimen dahak SPS
hasilnya BTA (+) atau 1 spesimen dahak SPS hasilnya (+) dan
foto rontgen dada menunjukan gambaran tuberculosis aktif.
 Tuberkulosis Paru BTA (-)
Pemeriksaan 3 spesimen dahak SPS hasilnya BTA (-) dan foto
rontgen dada menunjukan gambaran Tuberculosis aktif. TBC
Paru BTA (-), rontgen (+) dibagi berdasarkan tingkat keparahan
penyakitnya, yaitu bentuk berat dan ringan. Bentuk berat bila
gambaran foto rontgan dada memperlihatkan gambaran
kerusakan paru yang luas.
b. Tuberkulosis Ekstra Paru
TB ekstra-paru dibagi berdasarkan pada tingkat keparahan penyakitnya:
 TB ekstra-paru ringan
Contoh: TB kelenjar limfe, pleuritis eksudativa unilateral,
tulang (kecuali tulang belakang), sendi, dan kelenjar adrenal.
 TB ekstra-paru berat
Contoh: meningitis, millier, perikarditis, peritonitis, pleuritis
eksudativa duplex, TB tulang belakang, TB usus, TB saluran
kencing dan alat kelamin.
c. Tipe Penderita
Berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, ada beberapa tipe
penderita yaitu:
 Kasus Baru
Penderita yang belum pernah diobati dengan OAT atau sudah
pernah menelan OAT kurang dari satu bulan (30 dosis harian).
 Kambuh (Relaps)
Penderita tuberkulosis yang sebelumnya pernah mendapat
pengobatan Tuberkulosis dan telah dinyatakan sembuh,

9
kemudian kembali lagi berobat dengan hasil pemeriksaan
dahak BTA (+).
 Pindahan (Transfer In)
Penderita yang sedang mendapat pengobatan di suatu
kabupaten lain dan kemudian pindah berobat ke kabupaten ini.
Penderita pindahan tersebut harus membawa surat
rujukan/pindah (Form TB.09).
 Setelah Lalai (Pengobatan setelah Default/Drop Out)
Penderita yang sudah berobat paling kurang 1 bulan, dan
berhenti 2 bulan atau lebih, kemudian datang kembali dengan
hasil pemeriksaan dahak BTA (+).

2.1.7. Diagnosis

Gambar 4. Algoritme Diagnosis TB Paru pada Dewasa.4

10
Diagnosis TB ditetapkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,
laboratorium serta penunjang lainnya. Diagnosis berdasarkan Pedoman Nasional
Pelayanan Kedokteran (PNPK) tuberkulosis. Keluhan utama penderita
tuberkulosis paru:
 Batuk (bisa batuk berdahak, tidak berdahak atau batuk darah). Batuk
berdahak lebih dari 2 minggu merupakan gejala yang sering. Keluhan
lain yang dapat terjadi adalah demam, menurunnya nafsu makan,
penurunan berat badan, lemah, lelah dan keringat malam.
 Riwayat medis yang dapat meningkatkan risiko infeksi TB adalah
infeksi human immunodeficiency virus (HIV), diabetes mellitus (DM),
keganasan, dan penggunaan obat-obatan yang mensupresi sistem
imun. Faktor risiko infeksi lainnya adalah kontak dengan penderita TB
aktif, tinggal di lingkungan padat penduduk, tunawisma, dan
malnutrisi.
Secara umum, pada pemeriksaan fisik didapatkan indeks massa tubuh
(IMT) menurun, kelainan pada paru yang didapat tergantung luas kelainan struktur
paru. Pada pemeriksaan fisik paru dapat ditemukan antara lain suara napas
melemah, ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma atau mediastinum.
Kelainan umumnya terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan
segmen posterior, serta daerah apeks lobus inferior.
Untuk membantu menegakkan diagnosis diperlukan beberapa pemeriksaan
penunjang di antaranya:
1) Pemeriksaan Bakteriologis
Spesimen yang dapat digunakan:
 Sputum
 Minimal 2 kali pemeriksaan, salah satunya di pagi hari.
 Pasien yang sulit memproduksi sputum, pertimbangkan induksi sputum
dengan inhalasi salin hipertonik 3%. bila tidak tersedia dapat
menggunakan normal salin.
 Pasien dengan penurunan kesedaran, spesimen dapat diperoleh dengan
suction.

11
 Cairan
 Bronchial Alveolar Lavage (BAL) yang diambil menggunakan
bronkoskopi.
 Bilasan Lambung yang diperoleh dari NGT.
Cara pemeriksaan bakteriologi:
 Tes Cepat Molekuler (TCM)
Xpert Mycobacterium tuberculosis/rifampin (MTB/RIF): Hasil menunjukan
konfirmasi Mycobacterium tuberculosis yang resisten atau sensitive (susceptible)
rifampicin. Hasil TCM dapat berupa:
 MTB Positif, Rifampisin sensitive.
 MTB Positif, Rifampisin indeterminate.
 MTB Positif, Rifampisin resistan.
 MTB negative.
TCM tidak dapat dimanfaatkan untuk evaluasi hasil pengobatan.
 Mikroskopis
 Pemeriksaan mikroskopik untuk melihat bakteri tahan asam (BTA)
menggunakan pewarnaan Ziehl Neelsen.
 Kultur
 Kultur dan uji kepekaan obat antituberkulsosis (OAT) pada medium
padat Loweinstein Jensen atau pada medium cair MGIT.
2) Pemeriksaan Laboratorium Darah
 Interferon-Gamma Release Assay (IGRA)
 Terdapat 2 jenis IGRA: Quantiferon dan T SPOT. Hanya mendiagnosis
TB laten, tidak direkomendasi untuk menegakkan TB aktif. Hasil
IGRA negative tidak menyingkirkan TB laten maupun TB aktif.
 Tidak dipengaruhi oleh vaksin BCG.
 PCR TB
3) Pemeriksaan Radiologi
 Foto toraks

12
Foto toraks digunakan untuk membantu diagnosis, mengevaluasi
perbaikan atau progresivitas penyakit setelah terapi serta mendeteksi adanya
komplikasi. Proyeksi foto torak yang rutin digunakan adalah postero anterior
(PA), sedangkan pemeriksaan tambahan lain yang dapat dilakukan antara proyeksi
top lordotik apabila dicurigai adanya lesi di apeks paru yang tertutupi oleh tulang
iga dan klavikula serta foto lateral. Gambaran foto toraks TB dapat berupa
infiltrat, adenopati hilus, atelektasis, kavitas, scar dan kalsifikasi, nodul miliar,
tetapi bisa menunjukkan gambaran normal khususnya pada pasien HIV lanjut.
 CT-scan Toraks
CT-scan Toraks dapat dipertimbangkan untuk mendeteksi TB pada pasien
dengan foto toraks meragukan, menentukan aktivitas penyakit, mendeteksi
komplikasi, menentukan lokasi kelainan yang tepat untuk perencaan terapi
pembedahan.
4) Tuberculin Skin Test (TST)
 Memicu reaksi hipersensitivitas tipe lambat terhadap PPD.
 Ukur indurasi setelah 48-72 jam.
 Reaksi TST dengan indurasi ≥5 mm dianggap positif pada:
- Pasien yang terinfeksi HIV.
- Individu yang mengalami kontak terus menerus dengan pasien
terdiagnosis penyakit TB yang infeksius.
- Pasien dengan penampakan fibrotik pada radiografi toraks yang
konsisten dengan riwayat TB sebelumya.
- Pasien yang mendapatkan transplantasi organ atau pasien
imunosupresif (termasuk pasien yang mendapatkan pengobatan
prednisone dengan dosis ≥15 mg/hari selama 1 bulan atau lebih,
atau dalam pengobatan antagonis TNF-α)
 Reaksi TST dengan indurasi ≥10 mm dianggap positif pada:
- Pendatang baru dari area dengan prevalansi TB tinggi.
- Pengguna narkoba jenis injeksi.
- Residen atau pegawai yang bekerja pada tempat berisiko tinggi
(seperti tempat rehabilitasi, rumah sakit dan fasilitas kesehatan

13
lain, tempat penampungan, rumah perawatan, dan fasilitas
kesehatan untuk penderita HIV/AIDS).
- Pegawai laboratorium mikobakteriologi.
- Orang-orang dengan risiko tinggi menjadi TB aktif/ penyakit TB.
- Anak-anak dibawah umur 5 tahun.
- Bayi, anak-anak, dan remaja yang terpapar orang dewasa dengan
risiko tinggi penyakit TB.
 Reaksi TST dengan indurasi ≥15 mm dianggap positif pada:
- Individu yang tidak memiliki risiko TB.

2.1.8. Tatalaksana
a. Pengobatan TB
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien dan memperbaiki
produktivitas serta kualitas hidup, mencegah terjadinya kematian atau dampak
buruk selanjutnya, mencegah terjadinya kekambuhan TB, menurunkan penularan
TB serta mencegah terjadinya dan penularan TB resisten obat.4
Pengobatan TB meliputi fase intensif dan tahap lanjutan4:
1) Fase Intensif
Pengobatan diberikan setiap hari, pada pasien baru harus diberikan
selama 2 bulan. Pengobatan pada tahap ini berfungsi untuk
menurunkan jumlah bakteri yang ada dalam tubuh pasien dan
mengurangi dampak dari sebagian kecil bekteri yang mungkin sudah
resisten sejak sebelum pasien mendapatkan pengobatan.
2) Fase Lanjutan
Pengobatan pada tahap ini berfungsi untuk membunuh sisa bakteri
yang masih ada dalam tubuh khususnya bakteri persisten sehingga
pasien dapat sembuh dan mencegah terjadinya kekambuhan. Berikut
obat anti tuberkulosis lini pertama beserta dosis yang diperlukan.

14
Tabel 1. Dosis OAT Lini Pertama.4

OAT memiliki beberapa efek samping yang harus dipertimbangkan


sebelum memberikan terapi, seperti isoniazid memiliki efek samping berupa
neuropati perifer, psikosis toksik, gangguan fungsi hati, dan kejang atau rifampisin
dengan efek samping berupa flu syndrome, gangguan gastrointestinal, urin
berwarna merah, gangguan fungsi hati, trombositopeni, dan lain-lain.6

Tabel 2. Sifat dan Efek Samping OAT Lini Pertama.4

Kategori-1: 2(HRZE)/4(HR)3
Paduan OAT ini diberikan untuk pasien baru yaitu pasien TB paru
terkonfirmasi bakteriologis, pasien TB paru terdiagnosis klinis dan Pasien TB
ekstra paru.4

15
Tabel 3. Dosis OAT Kategori 1.6

Kategori -2: 2(HRZE)S (HRZE)/5(HR)3E3)


Paduan OAT ini diberikan untuk pasien BTA positif yang pernah diobati
sebelumnya (pengobatan ulang) yaitu pasien kambuh, pasien gagal pada
pengobatan dengan paduan OAT kategori 1 sebelumnya dan pasien yang diobati
kembali setelah putus berobat (lost to follow-up).

Tabel 4. Dosis OAT Kategori 2.6

b. Pemantauan Kemajuan Pengobatan TB


Pemantauan kemajuan dan hasil pengobatan pada orang dewasa
dilaksanakan dengan pemeriksaan ulang sputum secara mikroskopis. Pemantauan
kemajuan pengobatan dilakukan dengan pemeriksaan dua sampel pemeriksaan
sputum (sewaktu dan pagi). Hasil dari pemeriksaan mikroskopis semua pasien
sebelum memulai pengobatan harus dicatat. Pemeriksaan ulang sputum pasien TB
yang terkonfirmasi bakteriologis merupakan suatu cara terpenting untuk menilai
hasil kemajuan pengobatan. Setelah pengobatan fase intensif, tanpa
memperhatikan hasil pemeriksaan ulang dahak apakah masih tetap BTA positif

16
atau sudah menjadi BTA negatif, pasien harus memulai pengobatan tahap
lanjutan. Pemberian OAT sisipan sudah tidak dilakukan.6
Semua pasien TB baru yang tidak konversi pada akhir 2 bulan pengobatan
fase intensif, tanpa pemberian paduan sisipan, pengobatan dilanjutkan ke paduan
tahap lanjutan. Pemeriksaan dahak diulang pada akhir bulan ke-3 pengobatan. Bila
hasil tetap BTA positif, pasien ditetapkan sebagai pasien terduga TB resisten obat
(TB-RO). Semua pasien TB pengobatan ulang yang tidak konversi akhir fase
intensif ditetapkan juga sebagai terduga TB-RO. Semua pasien TB BTA positif,
pemeriksaan ulang dahak selanjutnya dilakukan pada akhir bulan ke-5
pengobatan. Apabila hasilnya negatif, pengobatan dilanjutkan hingga seluruh
dosis pengobatan selesai dan dilakukan pemeriksaan ulang dahak kembali pada
akhir pengobatan. Jika hasil pemeriksaan mikroskopisnya positif, pasien dianggap
gagal pengobatan dan dimasukkan kedalam kelompok terduga TB-RO.
Sebagaimana pada pasien TB BTA negatif, perbaikan kondisi klinis merupakan
indikator yang bermanfaat untuk menilai hasil pengobatan, antara lain
peningkatan berat badan pasien, berkurangnya keluhan, dan lain-lain. Adapun
definisi hasil pengobatan secara rinci terdapat pada tabel di bawah ini.6

Tabel 5. Definisi Hasil Pengobatan.6


Hasil Definisi
Sembuh Pasien TB paru dengan konfirmasi bakteriologis pada
awal pengobatan dan apusan dahak BTA negatif atau
biakan negatif pada akhir pengobatan dan / atau
sebelumnya.
Pengobatan Pasien TB yang telah menyelesaikan pengobatan tetapi
lengkap tidak memiliki bukti gagal TETAPI tidak memiliki rekam
medis yang menunjukkan apusan dahak BTA atau biakan
negatif pada akhir pengobatan dan satu kesempatan
sebelumnya, baik karena tidak dilakukan atau karena
hasilnya tidak ada.
Pengobatan gagal Pasien TB dengan apusan dahak atau biakan positif pada

17
bulan kelima atau setelahnya selama pengobatan.
Termasuk juga dalam definisi ini adalah pasien dengan
strain kuman resisten obat yang didapatkan selama
pengobatan baik apusan dahak BTA negatif atau positif.
Meninggal Pasien TB yang meninggal dengan alasan apapun
sebelum dan selama pengobatan.
Putus Obat Pasien TB yang tidak memulai pengobatan atau
menghentikan pengobatan selama 2 bulan berturut-turut
atau lebih

c. Pencatatan dan Pelaporan Program Penanggulangan TB


Salah satu komponen penting surveilans adalah pencatatan dan pelaporan
dengan tujuan untuk mendapatkan data yang dapat diolah, dianalisis, diintepretasi,
disajikan dan disebarluaskan. Data yang dikumpulkan harus akurat, lengkap dan
tepat waktu sehingga memudahkan dalam pengolahan dan analisis. Data program
TB diperoleh dari pencatatan di semua sarana pelayanan kesehatan dengan satu
sistem baku.6
Formulir yang digunakan dalam pencatatan TB di fasilitas pelayanan
kesehatan yang meliputi puskesmas, rumah sakit, balai pengobatan penyakit paru,
klinik dan dokter praktek swasta, dll:6
• Daftar tersangka pasien (suspek) yang diperiksa dahak SPS (TB.06).
• Formulir permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan dahak (TB.05).
• Kartu pengobatan pasien TB (TB.01).
• Kartu identitas pasien TB (TB.02).
• Register TB sarana pelayanan kesehatan (TB.03 sarana pelayanan
kesehatan).
• Formulir rujukan/pindah pasien (TB.09).
• Formulir hasil akhir pengobatan dari pasien TB pindahan (TB.10).
• Register Laboratorium TB (TB.04).

18
2.1.9. Pencegahan dan Pengendalian TB
Pencegahan dan pengendalian risiko bertujuan mengurangi sampai dengan
mengeliminasi penularan dan kejadian sakit TB di masyarakat. Upaya yang
dilakukan:
1) Pengendalian Kuman Penyebab TB
a. Mempertahankan cakupan pengobatan dan keberhasilan pengobatan
tetap tinggi.
b. Melakukan penatalaksanaan penyakit penyerta (komorbid TB) yang
mempermudah terjangkitnya TB, misalnya HIV, diabetes, dll.
2) Pengendalian Faktor Risiko Individu
a. Membudayakan PHBS atau Perilaku Hidup Bersih dan Sehat, makan
makanan bergizi, dan tidak merokok.
b. Membudayakan perilaku etika berbatuk dan cara membuang dahak
bagi pasien TB.
c. Meningkatkan daya tahan tubuh melalui perbaikan kualitas nutrisi
bagi populasi terdampak TB.
d. Pencegahan bagi populasi rentan
1) Vaksinasi BCG bagi bayi baru lahir.
2) Pemberian profilaksis INH pada anak di bawah lima tahun.
3) Pemberian profilaksis INH pada ODHA selama 6 bulan dan
diulang setiap 3 tahun.
4) Pemberian profilaksis INH pada pasien dengan indikasi klinis
lainnya seperti silikosis.
3) Pengendalian Faktor Lingkungan
a. Mengupayakan lingkungan sehat.
b. Melakukan pemeliharaan dan perbaikan kualitas perumahan dan
lingkungannya sesuai persyaratan baku rumah sehat.
4) Pengendalian Intervensi daerah berisiko penularan
a. Kelompok khusus maupun masyarakat umum yang berisiko tinggi
penularan TB (lapas/rutan, masyarakat pelabuhan, tempat kerja,

19
institusi pendidikan berasrama, dan tempat lain yang teridentifikasi
berisiko.
b. Penemuan aktif dan masif di masyarakat (daerah terpencil, belum
ada program, padat penduduk).
5) Pencegahan dan Pengendalian Infeksi (PPI).
Mencegah penularan TB pada semua orang yang terlibat dalam pemberian
pelayanan pada pasien TB harus menjadi perhatian utama. Semua fasyankes yang
memberi layanan TB harus menerapkan PPI TB untuk memastikan
berlangsungnya deteksi segera, tindakan pencegahan dan pengobatan seseorang
yang dicurigai atau dipastikan menderita TB.
Upaya tersebut berupa Penanggulangan infeksi dengan 4 pilar yaitu:
1) Pengendalian secara Manajerial Komitmen, kepemimipinan dan dukungan
manajemen yang efektif berupa penguatan dari upaya manajerial bagi
program PPI TB yang meliputi:
a. Membuat kebijakan pelaksanaan PPI TB.
b. Membuat Standar Prosedur Operasional (SPO) mengenai alur pasien
untuk semua pasien batuk, alur pelaporan dan surveilans.
c. Membuat perencanaan program PPI TB secara komprehensif.
d. Memastikan desain dan persyaratan bangunan serta pemeliharaannya
sesuai PPI TB.
e. Menyediakan sumber daya untuk terlaksananya program PPI TB,
yaitu tenaga, anggaran, sarana dan prasarana yang dibutuhkan.
f. Monitoring dan Evaluasi.
g. Melakukan kajian di unit terkait penularan TB.
h. Melaksanakan promosi pelibatan masyarakat dan organisasi
masyarakat terkait PPI TB.
2) Pengendalian secara administratif
Pengendalian secara administratif adalah upaya yang dilakukan untuk
mencegah/mengurangi pajanan kuman M. tuberkulosis kepada petugas kesehatan,
pasien, pengunjung dan lingkungan sekitarnya dengan menyediakan, menyebar

20
luaskan dan memantau pelaksanaan prosedur baku serta alur pelayanan. Upaya ini
mencakup:
a. Strategi Temukan pasien secepatnya, Pisahkan secara aman, Obati
secara tepat (TEMPO).
b. Penyuluhan pasien mengenai etika batuk.
c. Penyediaan tisu dan masker bedah, tempat pembuangan tisu, masker
bedah serta pembuangan dahak yang benar.
d. Pemasangan poster, spanduk dan bahan untuk KIE.
e. Skrining bagi petugas yang merawat pasien TB.
3) Pengendalian lingkungan fasyankes
Pengendalian lingkungan fasyankes adalah upaya peningkatan dan
pengaturan aliran udara/ventilasi dengan menggunakan teknologi sederhana untuk
mencegah penyebaran kuman dan mengurangi/menurunkan kadar percikan dahak
di udara. Upaya Penanggulangan dilakukan dengan menyalurkan percikan dahak
kearah tertentu (directional airflow) dan atau ditambah dengan radiasi ultraviolet
sebagai germisida. Sistem ventilasi ada 3 jenis, yaitu:
a. Ventilasi Alamiah
b. Ventilasi Mekanik
c. Ventilasi campuran
4) Pemanfaatan Alat Pelindung Diri
Penggunaan alat pelindung diri pernafasan oleh petugas kesehatan di
tempat pelayanan sangat penting untuk menurunkan risiko terpajan, sebab kadar
percik renik tidak dapat dihilangkan dengan upaya administratif dan lingkungan.
Alat pelindung diri pernafasan disebut dengan respirator partikulat atau disebut
dengan respirator. Respirator partikulat untuk pelayanan kesehatan N95 atau FFP2
(health care particular respirator), merupakan masker khusus dengan efisiensi
tinggi untuk melindungi seseorang dari partikel berukuran < 5 mikron yang
dibawa melalui udara. Sebelum memakai respirator ini, petugas kesehatan perlu
melakukan fit tes untuk mengetahui ukuran yang cocok. PPI TB pada
kondisi/situasi khusus adalah pelaksanaan Penanggulangan infeksi pada
rutan/lapas, rumah penampungan sementara, barak-barak militer, tempat-tempat

21
pengungsi, asrama dan sebagainya. Misalnya di rutan/lapas skrining TB harus
dilakukan pada saat Warga Binaan Pemasyarakatan baru, dan kontak sekamar

2.1.10. Komplikasi
Penyakit TB paru bila tidak ditangani dengan benar akan menimbulkan
komplikasi. Komplikasi dibagi atas komplikasi dini dan komplikasi lanjut.
Komplikasi dini yaitu pleuritis, efusi pleura, empiema, laringitis, dan Poncet's
arthropathy. Komplikasi lanjut yaitu obstruksi jalan napas seperti SOPT (Sindrom
Obstruksi Pasca Tuberkulosis), kerusakan parenkim berat seperti fibrosis paru, cor
pulmonal, amiloidosis, kanker paru, sindrom gagal napas akut (Acute Respiratory
Distress Syndrome) sering terjadi pada TB milier dan kavitas TB.4

2.1.11. Prognosis
Quo ad vitam : bonam.
Quo ad functionam : dubia ad
bonam. Quo ad sanationam : dubia
ad bonam.

2.2. Pelayanan Kedokteran Keluarga


2.2.1. Pengertian Pelayanan Kedokteran Keluarga
Dokter keluarga adalah dokter yang dididik secara khusus untuk bertugas
di lini terdepan sistem pelayanan kesehatan, bertugas mengambil langkah awal
penyelesaian semua masalah yang mungkin dipunyai pasien. Dokter keluarga
harus dapat melayani individu dalam masyarakat tanpa memandang jenis
penyakitnya ataupun karakter personal dan sosialnya dan memanfaatkan semua
sumber daya yang tersedia dalam sistem pelayanan kesehatan untuk semaksimal
mungkin kepentingan pasien. Dokter keluarga berwenang secara mandiri
melakukan tindak medis mulai dari pencegahan, diagnosis, pengobatan, perawatan
dan asuhan paliatif, menggunakan dan memadukan ilmu-ilmu biomedis, psikologi
medis dan sosiologi medis.12,13
Pelayanan Dokter Keluarga yang melibatkan dokter keluarga sebagai
penapis (gate keeper) di tingkat pelayanan primer, Dokter spesialis di tingkat

22
pelayanan sekunder, Rumah Sakit Rujukan dan sistem jaminan pemeliharaan
kesehatan yang bekerja secara bersama−sama, menempatkan dokter keluarga pada
posisi yang sangat strategis dalam pembangunan kesehatan. Tujuan yang ingin
dicapai dalam pelayanan kedokteran keluarga adalah suatu bentuk pelayanan
kesehatan bagi individu dan keluarga serta masyarakat yang bermutu namun
terkendali biayanya, yang tercermin dalam tatalaksana pelayanan kesehatan yang
diberikan oleh dokter keluarga.12,13

2.2.2 Prinsip Pelayanan Kedokteran Keluarga


Prinsip-prinsip pelayanan dokter keluarga di Indonesia mengikuti anjuran
WHO dan WONCA. Prinsip-prinsip ini juga merupakan simpulan untuk dapat
meningkatkan kualitas layanan dokter primer dalam melaksanakan pelayanan
kedokteran. Prinsip-prinsip pelayanan/pendekatan kedokteran keluarga adalah
memberikan/mewujudkan:7,8
Pelayanan yang holistik dan komprehensif
1) Pelayanan yang kontinu.
2) Pelayanan yang mengutamakan pencegahan.
3) Pelayanan yang koordinatif dan kolaboratif.
4) Penanganan personal bagi setiap pasien sebagai bagian integrasi dari
keluarganya.
5) Pelayanan yang mempertimbangkan keluarga, lingkungan kerja, dan
lingkungan tempat tinggalnya.
6) Pelayanan yang menjunjung tinggi etika dan hukum.
7) Pelayanan yang dapat diaudit dan dapat dipertanggungjawabkan.
8) Pelayanan yang sadar biaya dan mutu.

2.3. Keluarga
2.3.1. Definisi Keluarga
Friedman (1998) menyatakan definisi keluarga adalah hubungan interaksi
sekumpulan orang melalui perkawinan, adopsi, dan kelahiran yang memiliki
tujuan untuk menciptakan dan mempertahankan budaya umum, meningkatkan

23
perkembangan fisik, mental, emosional, dan sosial dari individu-individu yang ada
didalamnya. Efendy (1998) menyebutkan bahwa keluarga adalah dua atau lebih
individu yang saling berinteraksi dalam satu rumah tangga karena adanya
hubungan darah, perkawinan, maupun pengangkatan. Setiap anggota keluarga
memiliki perannya masing-masing dan menciptakan serta mempertahankan suatu
kebudayaan.7,8
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (2016) mendefinisikan
keluarga sebagai unit terkecil dari masyarakat yang terdiri atas kepala keluarga
dan beberapa orang yang terkumpul dan tinggal di suatu tempat dibawah satu atap
dalam keadaan saling ketergantungan. Kesimpulan definisi keluarga secara garis
besar adalah terbentuknya suatu hubungan interaksi dari dua atau lebih individu
didalam satu rumah dengan peran masing-masing sehingga membentuk serta
mempertahankan budaya, meningkatkan perkembangan fisik, mental, emosional
dan sosial untuk mencapai tujuan bersama.9

2.3.2. Fungsi Keluarga


Friedman (1998), membagi fungsi keluarga menjadi lima macam:7,8
1) Fungsi Afektif (affective function) adalah fungsi keluarga yang utama
untuk mengajarkan segala sesuatu untuk mempersiapkan anggota
keluarga berhubungan dengan orang lain. Fungsi ini dibutuhkan untuk
perkembangan individu dan psikososial anggota keluarga.
2) Fungsi Sosialisasi (socialization and social placement function) yaitu
proses perkembangan dan perubahan yang dilalui individu yang
menghasilkan interaksi sosial dan belajar berperan dalam lingkungan
sosialnya. Sosialisasi dimulai sejak lahir. Fungsi ini berguna untuk
membina sosialisasi pada anak, membentuk norma-norma tingkah
laku sesuai dengan tingkat perkembangan anak dan meneruskan
nilai−nilai budaya keluarga.
3) Fungsi Reproduksi (reproduction function) adalah fungsi untuk
mempertahankan generasi dan menjaga kelangsungan keluarga.

24
4) Fungsi ekonomi (economic function) yaitu keluarga berfungsi untuk
memenuhi kebutuhan keluarga secara ekonomi dan tempat untuk
mengembangkan kemampuan individu meningkatkan penghasilan
untuk memenuhi kebutuhan keluarga.
5) Fungsi perawatan atau pemeliharaan kesehatan (The Health Care
Function) adalah untuk mempertahankan keadaan kesehatan anggota
keluarga agar tetap memiliki produktivitas yang tinggi.

2.3.3. Genogram
Genogram adalah suatu alat bantu berupa peta skema (visual map) dari
silsilah keluarga pasien yang berguna bagi pemberi layanan kesehatan untuk
segera mendapatkan informasi tentang nama anggota keluarga pasien, kualitas
hubungan antar anggota keluarga. Genogram merupakan gambaran biopsikososial
pohon keluarga, yang mencatat tentang siklus kehidupan keluarga, riwayat sakit di
dalam keluarga serta hubungan antar anggota keluarga.7,8
Di dalam genogram berisi nama, umur, status menikah, riwayat
perkawinan, anak−anak, keluarga satu rumah, penyakit−penyakit spesifik, tahun
meninggal, dan pekerjaan. Juga terdapat informasi tentang hubungan emosional,
jarak atau konflik antar anggota keluarga, hubungan penting dengan profesional
yang lain serta informasi−informasi lain yang relevan. Dengan genogram dapat
digunakan juga untuk menyaring kemungkinan adanya kekerasan (abuse) di
dalam keluarga.7,8
Genogram idealnya diisi sejak kunjungan pertama anggota keluarga, dan
selalu dilengkapi (update) setiap ada informasi baru tentang anggota keluarga
pada kunjungan−kunjungan selanjutnya. Dalam teori sistem keluarga dinyatakan
bahwa keluarga sebagai sistem yang saling berinteraksi dalam suatu unit
emosional. Setiap kejadian emosional keluarga dapat mempengaruhi atau
melibatkan sediktnya 3 generasi keluarga sehingga idealnya genogram dibuat
minimal untuk 3 generasi. Dengan demikian, genogram dapat membantu dokter
untuk mendapat informasi dengan cepat tentang data yang terintegrasi antara
kesehatan fisik dan mental di dalam keluarga serta mengetahui pola multigenerasi
dari penyakit dan disfungsi.7,8

25
2.1. Konsep Pendekatan Kedokteran Keluarga
2.1.1. Pengertian dan Bentuk Keluarga
Keluarga adalah suatu lembaga yang merupakan satuan (unit) terkecil dari
masyarakat, terdiri atas ayah, ibu, dan anak. Keluarga yang seperti ini disebut
rumah tangga atau keluarga inti (keluarga batih). Sedangkan keluarga yang
anggotanya mencakup juga kakek dan atau nenek atau individu lain yang
memiliki hubungan darah, bahkan juga tidak memiliki hubungan darah (misalnya
pembantu rumah tangga), disebut keluarga luas (extended family). Oleh karena
merupakan unit terkecil dari masyarakat, maka derajat kesehatan rumah tangga
atau keluarga menentukan derajat kesehatan masyarakatnya.13
Terdapat beberapa tipe atau bentuk keluarga di antaranya:14
1. Keluarga inti (nuclear family), yaitu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, dan
anak yang diperoleh dari keturunan atau adopsi maupun keduanya.
2. Keluarga besar (extended family), yaitu keluarga inti ditambah dengan sanak
saudaranya, misalnya kakek, nenek, keponakan, paman, bibi, saudara sepupu,
dan lain sebagainya.
3. Keluarga bentukan kembali (dyadic family), yaitu keluarga baru yang
terbentuk dari pasangan yang telah bercerai atau kehilangan pasangannya.
4. Orang tua tunggal (single parent family), yaitu keluarga yang terdiri dari
salah satu orang tua baik pria maupun wanita dengan anak-anaknya akibat
dari perceraian atau ditinggal oleh pasangannya.
5. Ibu dengan anak tanpa perkawinan (the unmarried teenage mother).

26
6. Orang dewasa (laki-laki atau perempuan) yang tinggal sendiri tanpa pernah
menikah (the single adult living alone).
7. Keluarga dengan anak tanpa pernikahan sebelumnya (the nonmarital
heterosexual cohabiting family) atau keluarga kabitas (cohabition).
8. Keluarga berkomposisi (composite) yaitu keluarga yang perkawinannya
berpoligami dan hidup secara bersama-sama.

2.1.2. Genogram
Genogram merupakan alat bantu berupa peta skema (pohon keluarga) yang
menggambarkan faktor biopsikososial individu dan keluarga dalam 3 generasi.
Genogram dapat pula menggambarkan siklus hidup keluarga, penyakit, dan
hubungan antaranggota keluarga. Kegunaan genogram adalah untuk mengetahui
hubungan di antara anggota keluarga, masalah medis dan psikologis keluarga
yang sederhana, mudah, cepat serta murah. Informasi yang didapat dari genogram
dapat digunakan oleh seorang dokter untuk mengambil keputusan terhadap
masalah pasien dan keluarganya.15

2.1.3. Family Assesment (APGAR, SCREEM)


1. APGAR
APGAR keluarga (Tingkat Kepuasan Anggota Keluarga) merupakan salah
satu cara yang digunakan untuk mengukur sehat tidaknya suatu keluarga.
Penilaian ini dikembangkan oleh Rosen, Geyman dan Leyton dengan menilai
lima fungsi pokok dalam keluarga tingkat kesehatan keluarga tersebut:16
a. Adaptasi (Adaptation)
Disini dinilai tingkat kepuasan anggota keluarga dalam menerima
bantuan yang diperlukannya dan anggota keluarga lain.
b. Kemitraan (Partnership)
Disini dinilai tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap berkomunikasi,
urun rembuk dalam mengambil keputusan dan atau menyelesaikan suatu
masalah yang sedang dihadapi dengan anggota keluarga lain.
c. Pertumbuhan (Growth)

27
Disini dinilai tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kebebasan
yang diberikan keluarga dalam mematangkan pertumbuhan dan atau
kedewasaan setiap anggota keluarga.
d. Kasih Sayang (Affection)
Disini dinilai tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kasih sayang
serta interaksi emosional yang berlangsung dalam keluarga.
e. Kebersamaan (Resolve)
Disini dinilai tingkat kepuasan anggota keluarga terhadap kebersamaan
dalam membagi waktu, keuangan dan ruang antar anggota keluarga.
Tabel 6. APGAR16
Sering/ Kadang- Jarang/
Selalu kadang Tidak
Saya puas bahwa saya dapat
A kembali ke keluarga saya bila saya
menghadapi masalah
Saya puas dengan cara keluarga saya
P membahas dan membagi masalah dengan
saya
Saya puas dengan cara keluarga saya
menerima dan mendukung keinginan saya
G
untuk melakukan kegiatan baru atau arah
hidup yang baru
Saya puas dengan cara keluarga saya
mengekspresikan kasih sayangnya dan
A
merespon emosi saya seperti kemarahan,
perhatian dll
Saya puas dengan cara keluarga saya dan
R
saya membagi waktu bersama−sama

Skor untuk masing-masing kategori adalah:


0 : jarang/tidak sama sekali
1 : kadang−kadang
2 : selalu/sering
Terdapat tiga kategori penilaian, yaitu:

28
– 7 – 10 berarti keluarga yang dinilai adalah sehat, dalam arti setiap anggota
keluarga saling mendukung satu sama lain
– 4 – 6 berarti keluarga yang dinilai adalah kurang sehat, dalam arti hubungan
antar anggota keluarga masih perlu untuk lebih ditingkatkan
– 0 – 3 berarti keluarga yang dinilai sama sekali tidak sehat, dalam arti sangat
memerlukan banyak perbaikan untuk lebih meningkatkan hubungan antar
anggota keluarga.

2. SCREEM
S.C.R.E.E.M. score digunakan untuk menilai fungsi patologis keluarga. Berikut
cara penilaian screem score:17,18
1. Social: melihat bagaimana interaksi dengan tetangga sekitar
2. Cultural: melihat bagaimana kepuasan keluarga terhadap budaya, tata krama
dan perhatian terhadap sopan santun
3. Religious: melihat ketaatan anggota keluarga dalam menjalankan ibadah
sesuai dengan ajaran agamanya
4. Economic: melihat status ekonomi anggota keluarga
5. Educational: melihat tingkat pendidikan anggota keluarga
6. Medical: melihat apakah anggota keluarga ini mampu mendapatkan
pelayanan kesehatan yang memadai

Tabel 7. SCREEM.17,18
Sumber Patologis Ket
Social Ikut berpartisipasi dalam kegiatan di lingkungannya +/-
Culture Kepuasan atau kebanggaan terhadap budaya baik, dapat dilihat +/-
dari sikap pasien dan keluarga yang menghargai adat istiadat
Jawa dalam kehidupan sehari−hari.
Religious Pemahaman terhadap ajaran agama cukup, demikian juga dalam +/-
ketaatannya dalam beribadah.
Economic Ekonomi keluarga ini termasuk cukup. Pendapatan dari gaji +/-
sudah mencukupi untuk hidup layak sehari hari.
Educational Tingkat pendidikan dan pengetahuan keluarga ini cukup baik +/-

29
Medical Keluarga ini menganggap pemeriksaan rutin kesehatan sebagai +/-
kebutuhan.

2.3.4. Pelayanan Pendekatan Keluarga


Pendekatan keluarga adalah salah satu cara puskesmas untuk meningkatkan
jangkauan sasaran dan mendekatkan/meningkatkan akses pelayanan kesehatan di
wilayah kerjanya dengan mendatangi keluarga. Puskesmas tidak hanya
menyelenggarakan pelayanan kesehatan di dalam gedung, melainkan juga keluar
gedung dengan mengunjungi keluarga di wilayah kerjanya.13
Keluarga sebagai fokus dalam pendekatan pelaksanaan program Indonesia
Sehat karena menurut Friedman (1998), terdapat lima fungsi keluarga, yaitu:13
1. Fungsi afektif (The Affective Function) adalah fungsi keluarga yang utama
untuk mengajarkan segala sesuatu untuk mempersiapkan anggota keluarga
berhubungan dengan orang lain. Fungsi ini dibutuhkan untuk perkembangan
individu dan psikososial anggota keluarga.
2. Fungsi sosialisasi yaitu proses perkembangan dan perubahan yang dilalui
individu yang menghasilkan interaksi sosial dan belajar berperan dalam
lingkungan sosialnya. Sosialisasi dimulai sejak lahir. Fungsi ini berguna
untuk membina sosialisasi pada anak, membentuk norma-norma tingkah laku
sesuai dengan tingkat perkembangan anak dan dan meneruskan nilai-nilai
budaya keluarga.
3. Fungsi reproduksi (The Reproduction Function) adalah fungsi untuk
mempertahankan generasi dan menjaga kelangsungan keluarga.
4. Fungsi ekonomi (The Economic Function) yaitu keluarga berfungsi untuk
memenuhi kebutuhan keluarga secara ekonomi dan tempat untuk
mengembangkan kemampuan individu meningkatkan penghasilan untuk
memenuhi kebutuhan keluarga.
5. Fungsi perawatan atau pemeliharaan kesehatan (The Health Care Function)
adalah untuk mempertahankan keadaan kesehatan anggota keluarga agar tetap
memiliki produktivitas yang tinggi.

30
Fungsi ini dikembangkan menjadi tugas keluarga di bidang kesehatan.
Sedangkan tugas-tugas keluarga dalam pemeliharaan kesehatan adalah:13
1. Mengenal gangguan perkembangan kesehatan setiap anggota keluarganya,
2. Mengambil keputusan untuk tindakan kesehatan yang tepat
3. Memberikan perawatan kepada anggota keluarga yang sakit
4. Mempertahankan suasana rumah yang menguntungkan untuk kesehatan dan
perkembangan kepribadian anggota keluarganya
5. Mempertahankan hubungan timbal balik antara keluarga dan fasilitas
kesehatan.
Pendekatan keluarga meliputi kegiatan berikut:13
1. Kunjungan keluarga untuk pendataan/pengumpulan data Profil Kesehatan
Keluarga dan peremajaan (updating) pangkalan datanya.
2. Kunjungan keluarga dalam rangka promosi kesehatan sebagai upaya promotif
dan preventif.
3. Kunjungan keluarga untuk menidak lanjuti pelayanan kesehatan dalam gedung.
4. Pemanfaatan data dan informasi dari Profil Kesehatan Keluarga untuk
pengorganisasian/pemberdayaan masyarakat dan manajemen Puskesmas.
Kunjungan rumah (keluarga) dilakukan secara terjadwal dan rutin, dengan
memanfaatkan data dan informasi dari Profil Kesehatan Keluarga (family folder).
Dengan demikian, pelaksanaan upaya Perawatan Kesehatan Masyarakat
(Perkesmas) harus diintengrasikan ke dalam kegiatan pendekatan keluarga. Dalam
menjangkau keluarga, Puskesmas tidak hanya mengandalkan upaya kesehatan
berbasis masyarakat (UKBM) yang ada sebagaimana selama ini dilaksanakan,
melainkan juga langsung berkunjung ke keluarga.13

31
Gambar 3. Konsep Pendekatan Keluarga13

2.2.5 Konsep Biopsikososial Mandala of Health

Gambar 4. Mandala of Health

Mandala of Health adalah suatu model yang menggambarkan ekosistem


(ekologi) manusia sebagai suatu keterkaitan yang sangat kompleks yang dapat
dilihat pada gambar di atas, dimana setiap komponen tersebut memiliki potensi
yang dapat mempengaruhi status kesehatanmanusia. Menurut model Mandala of
Health, kesehatan seseorang, selain dilihat dari tiga komponen pada individu yaitu
body, mind dan spirit, juga dipengaruhi oleh 3 sistem yang ada di sekitar
manusia yaitu

32
keluarga dan komunitas, kultur yang mempengaruhi perilaku, serta biosphere
termasuk di dalamnya lingkungan buatan manusia.
Dalam mandala of health, individu (yang terdiri atas body, mind, dan spirit)
terlihat sebagai pusat atau fokus namun tidak dipandang secara terpisah. Individu
berada dalam keluarga memiliki peran penting dalam membangun nilai-nilai
kesehatan, sikap, kebiasaan, dan secara terus-menerus mempengaruhi kesehatan
anggota keluarganya. Dalam melindungi mereka dari pengaruh komunitas dan
kultur, keluarga mungkin berperan sebagai struktur perantara yang paling penting
antara seseorang dan lingkungan sosial. Terdapat empat faktor yang dapat
mempengaruhi kesehatan individu dan keluarga. Faktor-faktor ini didasarkan pada
konsep bidang kesehatan yang awalnya dideskripsikan oleh Lalonde Report.
Faktor-faktor ini dimodifikasi dalam mandala of health. Faktor tersebut adalah:
a. Biologi manusia: sifat dan predisposisi genetik; kemampuan sistem imun;
dan kondisi biokimia, fisiologis dan anatomi individu dan keluarga.
b. Perilaku personal: kebiasaan makan, termasuk merokok atau minum
alkohol; kebiasaan mengemudi, termasuk penggunaan sabuk pengaman;
pengambil risiko dan perilaku pencegahan.
c. Lingkungan psikososial: status sosioekonomi, tekanan teman sebaya,
paparan terhadap iklan dan sistem dukungan sosial.
d. Lingkungan fisik: keadaan fisik lingkungan tempat tinggal dan lingkungan
kerja serta lingkungan sekitar.
Model ini menekankan bahwa gaya hidup tidak sama dengan perilaku
personal, melainkan dipengaruhi dan dimodifikasi oleh perilaku personal dan
proses sosialisasi sepanjang hidup, serta oleh lingkungan psikososial termasuk
keluarga, komunitas, dan nilai budaya. Gaya hidup seseorang dipilih dari ruang
lingkup yang sempit. Sistem pelayanan medis menjadi bagian dan bertanggung
jawab dalam komunitas. Sistem ini berkaitan secara khusus dengan biologi
manusia dan perilaku personal. Oleh karena itu, perawatan medis cenderung
menjadi determinan kesehatan yang kurang penting dibandingkan dengan
komponen lainnya di dalam model ini.
Pekerjaan merupakan determinan kesehatan yang penting. Kesehatan mental

33
dan fisik dipengaruhi oleh keadaan fisik di tempat kerja dan aspek psikososial dari
pekerjaan, termasuk peran, hubungan sosial, dan kualitas kehidupan pekerjaan.
Setiap komunitas memiliki nilai, standar, sistem dukungan dan jaringannya sendiri
dan hal tersebut merupakan pengaruh utama bagi kesehatan. Komunitas dan
lingkungan yang dibuat manusia berada dalam kerangka acuanyang lebih luas
mencakup biosfer dan kultur demokrasi, teknologi, dan sains. Nilai budaya, sikap,
dan keyakinan memengaruhi kesehatan, bagaimana suatu individu memandang
kesehatan, dan bagaimana mereka bereaksi terhadap penyakit. Biosfer, dimana
suatu individu merupakan salah satu bagian kecil dan independen, merupakan
determinan utama kesehatan.

2.3 Rumah Sehat


2.3.1 Definisi Rumah Sehat
Rumah adalah struktur fisik atau bangunan sebagai tempat berlindung,
dimana lingkungan dari struktur tersebut berguna untuk kesehatan jasmani dan
rohani serta keadaan sosialnya baik untuk kesehatan keluarga dan individu.
Rumah sehat merupakan bangunan tempat tinggal yang memenuhi syarat
kesehatan yaitu rumah yang memiliki jamban yang sehat, sarana air bersih, tempat
pembuangan sampah, sarana pembuangan air limbah, ventilasi yang baik,
kepadatan hunian rumah yang sesuai dan lantai rumah yang tidak terbuat dari
tanah. Dapat dikatakan bahwa rumah sehat adalah bangunan tempat berlindung
dan beristirahat yang menumbuhkan kehidupan sehat secara fisik, mental dan
sosial, sehingga seluruh anggota keluarga dapat memperoleh derajat kesehatan
yang optimal.29

2.3.2 Syarat Rumah Sehat


Rumah sehat juga merupakan suatu tempat untuk tinggal permanen yang
berfungsi sebagai tempat perlindungan dari pengaruh lingkungan yang memenuhi
syarat fisiologis, psikologis, dan bebas dari penularan penyakit. Rumah sehat
menurut Winslow dan APHA (American Public Health Association) harus
memiliki syarat, antara lain:29

34
1. Memenuhi kebutuhan Fisiologis antara lain pencahayaan, penghawaan
(ventilasi), ruang gerak yang cukup, terhindar dari kebisingan/suara yang
mengganggu.
2. Memenuhi kebutuhan psikologis antara lain cukup nyaman dan aman bagi
masing-masing penghuni rumah, privasi yang cukup, komunikasi yang
sehat antar anggota keluarga dan penghuni rumah, lingkungan tempat
tinggal yang memiliki tingkat ekonomi yang relatif sama
3. Memenuhi persyaratan pencegahan penularan penyakit antar penghuni
rumah dengan penyediaan air bersih, pengelolaan tinja dan air limbah
rumah tangga, bebas vektor penyakit dan tikus, kepadatan hunian yang
berlebihan, cukup sinar matahari pagi, terlindungnya makanan dan
minuman dari pencemaran.
4. Memenuhi persyaratan pencegahan terjadinya kecelakaan baik yang
timbul karena keadaan luar maupun dalam rumah. Termasuk dalam
persyaratan ini antara lain bangunan yang kokoh, terhindar dari bahaya
kebakaran, tidak menyebabkan keracunan gas, terlindung dari kecelakaan
lalu lintas, dan lain sebagainya.

2.3.3 Parameter dan Indikator Penilaian Rumah Sehat


Parameter yang dipergunakan untuk menentukan rumah sehat adalah
sebagaimana yang tercantum dalam Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
829/Menkes/SK/VII/199 tentang Persyaratan Kesehatan Perumahan meliputi 3
lingkup kelompok komponen penilaian, yaitu:29
1. Kelompok komponen rumah, meliputi langit-langit, dinding, lantai,
ventilasi, sarana pembuangan asap dapur dan pencahayaan.
2. Kelompok sarana sanitasi, meliputi sarana air bersih, pembuangan kotoran,
pembuangan air limbah, sarana tempat pembuangan sampah.
3. Kelompok perilaku penghuni, meliputi membuka jendela ruangan di rumah,
membersihkan rumah dan halaman, membuang tinja ke jamban, membuang
sampah pada tempat sampah.
Adapun aspek komponen rumah yang memenuhi syarat rumah sehat
adalah:29,30

35
1. Bahan Bangunan
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 829 tahun 1999
tentang kesehatan perumahan, rumah tidak terbuat dari bahan yang dapat
melepaskan bahan yang dapat membahayakan kesehatan antara lain: debu
total kurang dari 150 𝜇𝑔/𝑚2, asbestos kurang dari kurang dari 0,5 serat/m³
per 24 jam, plumbum (Pb) kurang dari 300 mg/kg bahan. Rumah tidak
terbuat dari bahan yang dapat menjadi tumbuh dan berkembangnya
mikroogranisme patogen.
2. Ventilasi
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 829 tahun 1999
tentang kesehatan perumahan menetapkan bahwa luas penghawaan atau
ventilasi alamiah yang permanen minimal 10% dari luas lantai, dengan
adanya ventilasi yang baik maka udara segar dapat dengan mudah masuk ke
dalam ruangan sehingga kejadian ISPA akan semakin berkurang.

Gambar 5. Ventilasi Rumah Sehat


3. Lantai
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
829/Menkes/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan perumahan,
komponen dan penataan ruangan rumah sehat dimana lantai dalam keadaan
kering dan tidak lembab. Bahan lantai harus kedap air, mudah di bersihkan
dan tidak rawan kecelakaan.

36
Gambar 6. Lantai/Pondasi

4. Langit-Langit
Adapun persayaratan untuk langit-langit yang baik adalah dapat menahan
debu dan kotoran lain yang jatuh dari atap, harus menutup rata kerangka
atap serta mudah dibersihkan.

Gambar 7. Atap Rumah


5. Dinding
Dinding harus tegak lurus agar dapat memikul berat dinding sendiri,
beban tekanan angin dan bila sebagai dinding pemikul harus dapat memikul
beban diatasnya, dinding harus terpisah dari pondasi oleh lapisan kedap air
agar air tanah tidak meresap naik sehingga dinding terhindar dari basah,
lembab dan tampak bersih tidak berlumut.

37
Gambar 8. Dinding
6. Kelembapan
Persyaratan kesehatan untuk kelembaban di dalam rumah menurut
Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 829 /Menkes/SK/VII/1999 adalah
berkisar antara 40% hingga 70%. Kelembaban udara yang tidak memenuhi
syarat dapat menjadi sarana yang baik untuk pertumbuhan mikroorganisme
sehingga kuman patogen dapat tumbuh dan berkembang terutama pada
daerah yang tingkat kelembaban yang tinggi.
7. Pencahayaan
Menurut Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
829/Menkes/SK/VII/1999 tentang persyaratan kesehatan perumahan,
pencahayaan alami dianggap baik jika besarnya minimal 60 lux.
Pencahayaan alami dan atau buatan langsung maupun tidak langsung dapat
menerangi seluruh ruangan dengan intensitas penerangan minimal 60 lux
dan tidak menyilaukan mata.

38
Gambar 9. Pencahayaan
8. Kepadatan Hunian Rumah
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 829 tahun 1999
tentang persyaratan kesehatan perumahan menetapkan bahwa luas ruang
tidur minimal 8m2 dan tidak dianjurkan digunakan lebih dari dua orang,
kecuali anak di bawah umur 5 tahun. Bangunan yang sempit dan tidak
sesuai dengan jumlah penghuninya akan mempunyai dampak kurangnya
oksigen di dalam ruangan sehingga daya tahan penghuninya menurun,
kemudian cepat timbulnya penyakit saluran pernapasan seperti ISPA.

9. Suhu
Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 829 tahun 1999
tentang persyaratan kesehatan perumahan, suhu udara yang ideal dan
nyaman adalah berkisar antara 18°C – 30°C. Jika suhu udara di atas 30°C
diturunkan dengan cara meningkatkan sirkulasi udara dengan menambah
ventilasi, dan apabila suhu kurang dari 18°C maka perlu memerlukan
pemanas ruangan dengan menggunakan sumber energi yang aman bagi
lingkungan dan kesehatan. Suhu ruangan sangat di pengaruhi oleh suhu
udara luar, pergerakan udara, kelembaban udara, suhu benda-benda yang
ada di sekitar.

10. Luas Bangunan Rumah


Luas bangunan rumah sehat 39
harus cukup untuk penghuni di dalamnya,
artinya luas bangunan harus disesuaikan dengan jumlah penghuninya. Luas
bangunan yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan
menyebabkan kepadatan penghuni (overcrowded). Hal ini tidak sehat, di
samping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen, bila salah satu anggota
keluarga terkena penyakit infeksi akan mudah menular kepada anggota
keluarga yang lain. Sesuai kriteria Permenkes tentang rumah sehat,
dikatakan memenuhi syarat jika ≥ 8 m2 / orang.

11. Pembuangan Limbah


Berdasarkan Keputusan Menteri Kesehatan RI No. 829 tahun 1999
tentang persyaratan kesehatan perumahan, pembuangan limbah cair yang
berasal dari rumah tangga tidak mencemari sumber air, tidak menimbulkan
bau, dan tidak mencemari permukaan tanah. Sedangkan untuk pembuangan
limbah padat harus dikelola dengan baik agar tidak menimbulkan bau, tidak
mencemari permukaan tanah dan air tanah.

2.3.4 Letak Rumah


Perlu diperhatikan juga letak sebuah bangunan hendaknya menyerong dari arah
lintasan matahari yaitu arah utara–selatan untuk mencegah penyinaran yang terus-
menerus pada satu bagian rumah. Di bangun dengan lubang bukaan maksimal pada
arah utara, arah selatan, dan arah timur, serta seminimal mungkin pada arah barat.
Lubang bukaan pada arah utara-selatan diharapkan sebanyak mungkin memasukan
sinar matahari dari kubah langit. Sementara lubang pada arah timur untuk
memasukan sinar matahari pagi yang dapat meningkatkan kesehatan.29,30

Gambar 10. Letak Rumah


40
2.4. Puskesmas dalam Program Penanggulangan Tuberkulosis Paru
Puskesmas sebagai semacam kantor administrasi kesejahteraan umum tingkat
pertama memainkan peran terpenting untuk mewujudkan Kegiatan Indonesia Solid.
Pedoman Menteri Kesehatan Republik Indonesia No.43 tahun 2019 menyebutkan
“bahwa tempat kesejahteraan umum adalah kantor administrasi kesejahteraan umum
dan upaya kesejahteraan individu tingkat pertama, dengan berfokus pada upaya
promotif dan preventif, untuk mencapai status kesejahteraan yang paling utama di
wilayah fungsi mereka.” Puskesmas bertanggung jawab atas sebagian saja dari upaya
peningkatan kesejahteraan yang dibebankan oleh dinas kesehatan kabupaten/kota
sesuai dengan kemampuannya.
Pengembangan kesehatan tersebut dikoordinasikan oleh Puskesmas berarti
menciptakan wilayah kerja puskesmas yang sehat, dengan individu-individu yang
mempunyai perilaku solid, mencakup kesadiaran, kemauan, dan kemampuan untuk
hidup sehat, siap untuk mencapai administrasi kesehatan yang berkualitas, hidup
dalam iklim yang sehat, dan memiliki lingkungan yang sehat. derajat kesejahteraan.
orang, keluarga, pertemuan dan jaringan. Sementara itu, upaya kesehatan individu
tingkat utama dilakukan sebagai kunjungan jangka pendek, baik kunjungan padat dan
sehat, administrasi krisis, administrasi angkutan umum, perawatan rumah, dan
pertimbangan berkelanjutan mengingat pertimbangan kebutuhan administrasi
kesehatan.
Menurut Peraturan Menteri Kesehatan No. 67 tahun 2016tentang penanggulangan
Tuberculosis pada BAB III yaitu mengenai kegiatan penanggulangan TB yang
terdapat pada bagian kedua pasal 6 yang berisi tentang penanggulangan TB
diselenggarakan dengan kegiatan promosi kesehatan, surveilens TB, penanggulangan
faktor risiko, pencarian dan penyelesaian kasus TB, pemberian kekebalan, dan
pemberian obat pencegahan. Kebijakan Program Penanggulangan Tuberkulosis
(P2TB) dalam hal ini penemuan penderita secara pasif promotif case finding yaitu
penjaringan tersangka tuberkulosis paru dilakukan kepada masyarakat yang
berkunjung ke fasilitas pelayanan kesehatan, yang sebelumnya diadakan penyuluhan-
penyuluhan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat memeriksakan diri ke unit
pelayanan kesehatan.

41
Terdapat uraian tugas program tuberkulosis yang ditetapkan secara nasional
sebagai acuan dalam pelaksanaan program penanggulangan tuberkulosis khususnya
kegiatan penemuan penderita baru. Kegiatan ini melibatkan seluruh petugas yang
termasuk dalam tim pengelola program P2TB. Tim pengelola program P2TB/petugas
pelaksana program TB paru di Puskesmas yang antara lain terdiri perawat sebagai
petugas program, analis sebagai petugas labolatorium, dan dokter sebagai petugas di
balai pengobatan merupakan ujung tombak dalam penemuan, pengobatan dan
evaluasi penderita maupun pelaksanaan administrasi program puskesmas. Uraian
tugas tersebut merupakan tugas pokok yang harus dilakukan oleh tim pengelola
program TB puskesmas.
Kegiatan pokok mencakup kegiatan penemuan penderita (case finding)
pengamatan dan monitoring penemuan penderita didahului dengan penemuan
tersangka tuberkulosis dengan gejala klinis adalah batuk-batuk terus menerus selama
tiga minggu atau lebih. Setiap orang yang datang ke unit pelayanan kesehatan dengan
gejala utama ini harus dianggap suspek tuberculosis atau tersangka tuberkulosis paru
dengan pasive promotive case finding (penemuan penderita secara pasif dengan
promosi yang aktif).

Tugas Pokok dan Fungsi Petugas Program Tuberkulosis di Puskesmas :


a. Menemukan Penderita
1) Memberikan penyuluhan tentang TBC kepada masyarakat umum
2) Menjaring suspek (penderita tersangka) TBC
3) Mengumpulkan dahak dan mengisi buku daftar suspek Form Tb 06
4) Membuat sediaan hapus dahak
5) Mengirim sediaan hapus dahak ke laboratorium dengan form TB 05
6) Menegakkan diagnosis TB sesuai protap
7) Membuat klasifikasi penderita
8) Mengisi kartu penderita (TB 01) dan kartu identitas penderita (B 02)
9) Memeriksa kontak terutama kontak dengan penderita TBC BTA (+)
10) Memantau jumlah suspek yang diperiksa dan jumlah penderita TBC yang
ditemukan.

42
b. Memberikan Pengobatan
1) Menetapkan jenis paduan obat
2) Memberi obat tahap intensip dan tahap lanjutan
3) Mencatat pemberian obat tersebut dalam kartu penderita (form TB 01)
4) Menentukan PMO (bersama penderita)
5) Memberi KIE (penyuluhan) kepada penderita, keluarga dan PMO
6) Memantau keteraturan berobat
7) Melakukan pemeriksaan dahak ulang untuk follow-up pengobatan
8) Mengenal efek samping obat dan komplikasi lainnya serta cara penangganannya
9) Menentukan hasil pengobatan dan mencatatnya di kartu penderita.

c. Penanganan Logistik
1) Menjamin ketersediaan OAT di puskesmas
2) Menjamin tersedianya bahan pelengkap lainnya (formulir, reagens, dll)

d. Jaga mutu pelaksanaan semua kegiatan

Tugas Pokok dan Fungsi Petugas Laboratorium di Puskesmas


a. Menemukan Penderita
1) Memberikan penyuluhan tentang TBC kepada masyarakat umum
2) Menjaring suspek (penderita tersangka) TBC
3) Mengumpul dahak dan mengisi buku daftar suspek Form Tb 06
4) Membuat sediaan hapus dahak
5) Mewarnai dan membaca sediaan dahak, mengirim balik hasil bacaan, mengisi
buku register laboratorium (TB 04) dan menyimpan sediaan dahak untuk cross check

b. Penanganan Logistik
- Menjamin tersedianya bahan pelengkap lainnya (formulir, reagens,dll)

c. Pengelolaan Laboratorium
1) Memelihara mikroskop dan alat laboratorium lainnya
2) Menangani limbah laboratorium
3) Melaksanakan prosedur keamanan dan keselamatan kerja

43
4) Menjaga mutu pelaksanaan semua kegiatan

BAB III
TINJAUAN
KASUS

3.1. Identitas Pasien


Nama : Tn. S
Umur : 63 tahun
Jenis Kelamin : Laki-
laki
Alamat : Jl. Muhajirin 4 RT 57 RW 13 Kelurahan Pakjo
Suku : Sumatera Selatan
Bangsa : Indonesia
Agama : Islam
Pendidikan : SD
Pekerjaan : Pensiunan Petugas Kebersihan
Dokter Muda : - Fatasya Nurita Amanda, S.Ked
- Safira PutriRizkiah, S.Ked

3.2. Anamnesis (Autoanamnesis dan Alloanamnesis, 28 Februari 2023)


Keluhan Utama
Hasil pemeriksaan TCM M.Tb masih positif setelah pengobatan selama 6
bulan.

Riwayat Perjalanan Penyakit

Sejak 9 bulan yang lalu, pasien mengeluh batuk yang dirasakan hilang
timbul, batuk disertai dahak, dahak kuning kental, tidak disertai darah. Pasien juga
mengeluh badan terasa lemas, demam hilang timbul ada, menggigil, suhu tidak
diukur. Sesak nafas tidak ada, keringat pada malam hari tanpa aktivitas ada,
penurunan nafsu makan ada, nyeri otot, BAB dan BAK tidak ada keluhan. Pasien
minum obat batuk yang dibeli di warung namun keluhan tidak berkurang.
Sejak 8 bulan yang lalu, keluhan batuk dirasakan semakin sering dan
dirasakan semakin berat hingga mengganggu aktivitas. Keluhan sesak mulai
muncul. Sesak dirasakan hilang timbul, timbul pada waktu yang tidak menentu,

44
sesak napas tidak disertai mengi. Keluhan demam hilang timbul, badan lemas dan
sering berkeringat pada malam hari masih ada. Penurunan nafsu makan masih
ada. Terdapat penurunan berat badan kurang lebih 5 kg dalam waktu 1 bulan.

Pasien kemudian berobat ke Puskesmas kampus dilakukan pemeriksaan


TCM, dikatakan terdapat kuman TBC, pasien diberikan OAT dan rutin
mengonsumsi obat setiap hari sampai dengan 6 bulan. Setelah 6 bulan pengobatan,
pasien kemudian berobat Kembali ke Puskesmas Kampus untuk dilakukan tes
dahak dan didapatkan hasil pemeriksaan TCM masih positif terinfeksi M.TB.

Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat TB sebelumnya ada (bulan Juni 2022)
- Riwayat penyakit jantung ada 10 tahun yang lalu (tahun 2013).
- Riwayat darah tinggi tidak ada.
- Riwayat kencing manis tidak ada.
- Riwayat asma tidak ada.

Riwayat Penyakit Keluarga


- Riwayat batuk lama pada anggota keluarga disangkal
- Riwayat penyakit jantung dalam keluarga disangkal
- Riwayat darah tinggi dalam keluarga disangkal
- Riwayat kecing manis dalam keluarga disangkal
- Riwayat asma dalam keluarga disangkal

Riwayat Pengobatan
- Pasien mengonsumsi obat paracetamol untuk demam dan obat batuk
yang dibeli sendiri di warung.

- Riwayat konsumsi OAT kategori 1 sebelumnya ada selama 6 bulan


(bulan Juni 2022).

- Riwayat konsumsi obat jantung (Bisoprolol 1 x 1,25 mg , ISDN 3 x 5


mg, Asam asetilsalisilat 1 x 80 mg) sejak tahun 2013.

45
Riwayat Kebiasaan
- Pasien memiliki kebiasaan merokok sejak ± usia 20 tahun dengan
menghabiskan sebanyak 2 bungkus rokok per hari.

- Pasien tidak memiliki riwayat mengonsumsi alkohol.

46
Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien tinggal bersama istri yang berusia 61 tahun yang saat ini bekerja
sebagai ibu rumah tangga, dan satu orang anak perempuan yang merupakan anak
terakhir pasien berusia 30 tahun bekerja sebagai pegawai swasta, serta tiga orang
anak perempuan lainnya tinggal di luar kota, anak pertama berusia 43 tahun
sebagai wirausaha, anak kedua berusia 39 tahun dan anak ketiga berusia 35 tahun
masing-masing bekerja sebagai pegawai swasta. Rumah yang ditinggalinya
merupakan rumah sendiri yang berada di lorong kecil. Rumah dua lantai dengan
luas sekitar 6x10 m2, dinding terbuat dari batu bata, lantai rumah terbuat dari
semen, dan atap rumah berupa seng. Pasien tidur di kamar yang sekaligus menjadi
ruang tamu dan ruang makan dengan kasur sebagai alas. Lingkungan rumah
pasien padat dengan rumah di sekitarnya. Biaya hidup pasien ditanggung anak
pasien. Pendapatan keluarga Tn. S dalam satu bulan  Rp 2.500.000,-.

3.3. Pemeriksaan Fisik (28 Februari 2023)


a. Status Generalis
Keadaan umum : baik
Kesadaran : compos
mentis Tekanan darah : 130/80
mmHg
Nadi : 88x/menit, reguler, isi dan tegangan
cukup Pernafasan : 24x/menit
Suhu :36,6 C
Tinggi badan :165 cm
Berat badan : 60 kg
IMT : 22,04 (normoweight)

b. Status Lokalis
1) Kepala
Normosefali, simetris, ekspresi wajar.
2) Mata
Eksoftalmus (−/−), endoftalmus (−/−), kelopak tenang, konjungtiva anemis
(−), sklera ikterik (−), pupil isokor, gerakan luas ke segala arah.
3) Telinga
Tampak luar tidak ada kelainan, sekret telinga (−/−), nyeri tekan tragus
47
(−/−).
4) Hidung
Deformitas (−), septum deviasi (−), cavum nasi lapang (+), sekret (−),
epistaksis (−).
5) Mulut
Bibir kering (−), sianosis (−), stomatitis (−), gusi berdarah (−), atrofi papil
(−), tonsil tenang.
6) Leher
Pembesaran KBG (−), JVP tidak diperiksa, struma (−), kaku kuduk (−).
7) Paru−paru
Inspeksi : Statis simetris, dinamis tidak ada yang tertinggal, jejas (−),
retraksi dinding dada (−).
Palpasi : Nyeri tekan (−), stem fremitus kanan sama dengan kiri, normal.
Perkusi : Nyeri ketuk (−), sonor di kedua lapang paru, batas paru
hepar ICS V linea midclavicular dextra.
Auskultasi : Vesikular (+) normal pada kedua lapang paru, ronkhi basah
kasar (-/+), wheezing (−).
8) Jantung
Inspeksi : ictus cordis tidak terlihat.
Palpasi : ictus cordis tidak teraba.
Perkusi : batas atas jantung ICS II, batas kanan jantung ICS IV linea
sternalis dextra, batas kiri jantung ICS V linea midclavicular sinistra.
Auskultasi : bunyi jantung I−II normal, murmur (−), gallop (−).
9) Perut
Inspeksi : datar.
Palpasi : lemas, nyeri tekan (−), hepar dan lien tidak teraba.
Perkusi : timpani, shifting dullness (−).
Auskultasi : bising usus (+) normal, 3 kali per menit.

10) Ekstremitas : Akral hangat (+), edema (−), palmar pucat (−), CRT <3 detik.

3.4. Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan TCM didapatkan hasil (+) M. TB, pemeriksaan DM (-),
pemeriksaan HIV (-).

48
3.5. Genogram

Tn. S Ny.N

Ny.Y Ny.N Ny.C Ny.A

Keterangan
: Laki-laki

: Perempuan

: Menderita TB paru

: Tinggal bersama

49
3.6. Hasil Observasi Kunjungan Rumah
Berdasarkan informasi yang diperoleh dari home visit, maka dapat
dirumuskan beberapa masalah kesehatan dalam keluarga Tn.S serta kemungkinan
penyebab masalah kesehatannya dan disajikan pada tabel berikut ini.
Tabel 8. Hasil Observasi Kunjungan Rumah
Anggota Masalah
No Kemungkinan Penyebab Keterangan
Keluarga Kesehatan
- Pengetahuan tentang
penyakit TB rendah (tanda, Saat kunjungan
gejala, cara pencegahan, ke rumah
1 Tn . S TB paru efek samping obat, memiliki masalah
komplikasi). kesehatan.
- Penerapan komponen
perilaku hidup bersih dan
sehat masih rendah (etika
batuk tidak benar dan tidak
menggunakan masker saat di
rumah).
- Ventilasi dan pencahayaan
yang kurang di dalam rumah.
Kondisi rumah lembab dan
lingkungan rumah yang
kotor. Jarak antar rumah
rapat.
2 Saat kunjungan
Pasien dan keluarga
Ny. N ke rumah
tidak menjaga pola
Diabetes memiliki
Mellitus makan, serta
masalah
pengetahuan tentang
kesehatan.
pencegahan DM rendah.
3 Tidak ada Tidak memiliki
Tidak memiliki masalah
Ny. A masalah masalah
kesehatan
kesehatan kesehatan

Berdasarkan aspek kesehatan masyarakat, masalah-masalah kesehatan yang


dialami oleh Tn. S dipengaruhi oleh beberapa determinan kesehatan. Determinan
kesehatan tersebut yaitu aspek biologis, aspek lingkungan, serta aspek
perilaku/gaya hidup.

50
3.6.1. Fungsi Holistik
3.6.1.1 Fungsi Biologi
Melalui kunjungan rumah yang dilakukan, dapat disimpulkan pada
keluarga ini tidak terdapat penyakit yang diturunkan dan penyakit menular. Fungsi
biologis keluarga ini baik karena tidak terdapat anggota keluarga yang terkena
penyakit dengan risiko penularan yang tinggi.

3.6.1.2 Fungsi Psikologi


Fungsi psikologis keluarga Tn. S tampak baik karena pasien dalam keadaan
sadar, tenang, nyaman dan tidak ada tekanan maupun beban dalam keluarga.
Hubungan antar anggota keluarga tampak harmonis. Anggota keluarga mendukung
pengobatan Tn. S dan bersedia mengawasi Tn. S dalam minum obat, serta kerap
mengingatkan pasien untuk tepat waktu dalam mengonsumsi OAT.

3.6.1.3 Fungsi Sosial Ekonomi


Kondisi ekonomi keluarga dapat dikatakan menengah ke bawah dinilai
dari penghasilan di bawah upah minimum, kondisi rumah pasien, serta fasilitas di
rumah yang tidak lengkap. Namun dari pengakuan pasien masih dapat memenuhi
kebutuhan makan sehari-hari. Pasien juga mengaku tidak memiliki kendala untuk
rutin kontrol ke rumah sakit karena biaya ditanggung oleh BPJS. Pasien mengaku
tidak memiliki musuh ataupun riwayat berselisih dengan tetangga sekitar termasuk
di dalam keluarga. Dari penilaian ini maka dapat disimpulkan bahwa fungsi
ekonomi dan sosial pasien masih kurang baik.

3.6.2. Fungsi Fisiologi


Skor APGAR dapat digunakan dalam menilai fungsi fisiologis dalam suatu
keluarga. Fungsi ini digunakan dengan tujuan untuk menilai fungsi keluarga
dengan cara masing-masing anggota keluarga menilai hubungan mereka dengan
anggota keluarga lainnya.
a) Adaptation

51
Keluarga ini secara umum mampu beradaptasi antar anggota keluarganya.
Mereka saling mendukung, memberikan semangat, dan memberikan saran
sehari−harinya.
b) Partnership
Kerjasama dan komunikasi keluarga ini cukup baik. Keluarga saling
berbagi informasi dan umumnya dapat membagi tugas satu sama lain di
antara anggota keluarga.
c) Growth
Keluarga pasien saling memberikan kebebasan satu sama lain untuk
mematangkan pertumbuhan dan atau kedewasaan setiap anggota keluarga.

d) Affection
Anggota keluarga saling menyayangi.
e) Resolve
Nilai kebersamaan dalam keluarga mampu memuaskan hati pasien.

52
Tabel 12. Skor APGAR Tn.A
Sering/selalu Kadang- Jarang/tidak
kadang
A Saya puas bahwa saya dapat 2
kembali ke keluarga saya bila
saya menghadapi masalah
P Saya puas dengan cara keluarga 2
saya membahas dan membagi
masalah dengan saya
G Saya puas dengan cara keluarga 2
saya menerima dan mendukung
keinginan saya untuk
melakukan kegiaan baru atau
arah hidup yang baru
A Saya puas dengan cara keluarga 2
saya mengekspresikan kasih
sayangnya dan merespon emosi
saya seperti kemarahan,
perhatian dll
R Saya puas dengan cara keluarga 2
saya dan saya membagi waktu
bersama−sama

Skor APGAR Tn.A adalah 10, berarti keluarga sehat, dalam arti setiap anggota
keluarga saling mendukung satu sama lain.

3.6.3. Fungsi Patologis


4 Fungsi patologis dinilai menggunakan skor SCREEM sebagai berikut
Tabel 2. Skor SCREEM keluarga Tn. S
Komponen Sumber Patologis
Social Keluarga ini sehari-hari bersosialisasi dengan tetangga sekitar -
rumah dan mereka juga sering mengikuti kegiatan sosial.

53
Culture Keluarga ini memberikan apresiasi dan kepuasan yang cukup -
terhadap budaya, tata karma, dan perhatian terhadap sopan
santun. Hal ini tampak pada saat dilakukan kunjungan rumah
(home visite), keluarga menerima kunjungan dan
mengabulkan permintaan petugas kesehatan dengan ramah.

Religious Penerapan agama keluarga ini tampak baik. Mereka cukup aktif -
mengikuti kegiatan musholah.
Economic Keluarga ini berada di status ekonomi ke bawah. Pasien tinggal -
di rumah sendiri bersama istri dan 1 orang anak perempuannya.
Pasien merupakan seorang pensiunan petugas kebersihan. Istri
pasien merupakan ibu rumah tangga.
Kebutuhan sehari-hari ditunjang oleh pendapatan anak.
Educational Latar pendidikan kurang baik. Tn. S, Ny. N, merupakan tamatan -
SD.
Medical Keluarga ini telah memiliki jaminan kesehatan (BPJS) yang -
aktif. Mereka tanggap ke fasilitas layanan kesehatan bila ada
anggota keluarga sakit.

Interpretasi:
Skor < 3 : fungsi patologis baik
Skor > 3 : fungsi patologis kurang
Pada pasien ini didapatkan skor SCREEM 0, dapat disimpulkan bahwa keluarga
pasien memiliki fungsi patologis yang baik.

3.6.4 Fungsi Hubungan Antar Manusia


Keseharian antar anggota keluarga terjalin dengan baik. Sosialisasi keluarga
dengan masyarakat juga tergolong baik, keluarga ini masih sesekali berpartisipasi
dengan kegiatan lingkungan RT maupun RW. Terkadang masih juga membantu jika
tetangga memiliki kesibukan (hajatan, yasinan, dan lain-lain).

3.6.5 Fungsi Keturunan


Fungsi genogram pasien baik, karena tidak ada penyakit yang diturunkan
dalam keluarga.

54
3.6.6 Fungsi Perilaku
Pengetahuan tentang kesehatan keluarga ini masih kurang, sikap sadar akan
kesehatan, dan beberapa tindakan yang mencerminkan pola hidup yang kurang
baik. Keluarga Tn. S mempunyai kebiasaan etika batuk yang salah, dan kurang
menjaga kebersihan. Tn. S adalah perokok aktif sehingga menyebabkan keluarga
yang tinggal serumah sering terpapar dengan asap rokok (perokok pasif).

3.6.7 Fungsi Nonperilaku

Lingkungan sekitar rumah Tn. S tergolong kurang sehat, jarak antar rumah
sangat dekat, rumah lembab, terdapat tumpukan barang bekas, dan kurangnya lubang
ventilasi di dalam rumah sebagai tempat pertukaran udara di dalam rumah.

3.6.8 Fungsi Indoor


Kondisi dalam rumah untuk beberapa indikator belum memenuhi
syarat−syarat rumah sehat. Dinding rumah permanen karena merupakan batu bata
yang kedap air, lantai rumah terdiri dari semen, atap rumah berupa seng. Rumah
terdiri dari dua lantai, untuk lantai atas hanya digunakan sebagai kamar untuk anak.
Penyediaan ruang dalam rumah kurang mencukupi karena satu ruangan sekaligus
digabung sebagai ruang tamu, ruang tidur, ruang keluarga, ruang makan dan satu
kamar mandi. Keadaan rumah Tn. S secara umum tampak sedikit sempit dengan
ventilasi terdiri dari 2 jendela yang masih dapat memberikan pencahaayan sedikit ke
dalam ruangan namun masih kurang untuk akses pertukaran udara.
Perabotan dalam rumah dan kamar pasien terlalu banyak dan tidak tersusun
rapi. Dapur pasien berada di bagian belakang rumah, pasien masih memasak dengan
kompor gas. Sumber air bersih dari PDAM. Air bersih diambil dari air PAM yang
disimpan dalam bak tanpa penyaringan. Jamban ada di dalam kamar mandi. Kamar
mandi tidak memiliki lubang angin yang cukup, dinding kamar mandi dan jamban
terbuat dari semen yang kedap air. Pengelolaan sampah tidak baik karena terdpaat
tumpukan sampah yang berserakan di rumah.

3.6.9 Fungsi Outdoor


Tn. S tinggal di lingkungan kurang sehat, lingkungan antar rumah berjarak
sempit, berada di tempat dimana air hujan dan air kotor dapat menggenang. Selain itu,
terdapat beberapa tumpukan barang di teras rumah yang dapat menjadi sumber
penyakit.
55
Lingkungan ditempati oleh penduduk dengan rata-rata penghasilan menengah ke
bawah. Rumah Tn.S berada di jalan kecil dengan jarak rumah menuju jalan utama
yang besar kurang lebih 250 meter.

3.7. Diagnosis Holistik


3.7.1 Aspek Personal
- Alasan kedatangan: Pasien datang untuk berobat ke puskesmas yang
merupakan kesadaran pasien yang menginginkan untuk sembuh dari
penyakitnya dan ingin memulai pengobatan di puskesmas karena keberatan
dengan biaya pengobatan di luar.
- Kekhawatiran: pasien merasa sesak dan batuknya mengganggu sehari-hari
dan tidak kunjung sembuh.
- Persepsi: Pasien merasa tidak nyaman dengan gejala yang ia alami
mengaku mudah lelah dan sulit tidur.
- Harapan: Pasien berharap masalahnya dapat segera diatasi oleh dokter.

3.7.2 Aspek Klinik


Berdasarkan hasil anamnesis didapatkan bahwa pasien telah menderita batuk
sejak 9 bulan lalu, pasien sudah didiagnosa menderita tuberkulosis dengan hasil
pemeriksaan TCM positif kemudian pasien rutin mengonsumsi OAT setiap hari dan
sudah menyelesaikan pengobatan selama 6 bulan. Setelah 6 bulan pengobatan, pasien
berobat kembali ke puskesmas untuk dilakukan tes dahak dan didapatkan hasil
pemeriksaan TCM masih positif terinfeksi M.TB. Sehingga pasien didiganosis dengan
TB paru kasus gagal BTA positif

3.7.3 Aspek Risiko Internal


- Pengetahuan yang kurang tentang penyakit TB paru
- Pengetahuan yang kurang tentang gejala dan pencegahan penularan TB
paru ke anggota keluarga lainnya
- Pengetahuan yang kurang mengenai pentingnya menjaga kebersihan
lingkungan
- Pengetahuan yang kurang mengenai cara meningkatkan imunitas tubuh
- Pengetahuan yang kurang mengenai etika batuk yang benar
- Pengetahuan yang kurang mengenai pentingnya tindakan preventif

56
dibandingkan kuratif

3.7.4 Aspek Risiko Eksternal


- Psikososial keluarga: keluarga kurang memahami tentang penyakit pasien,
namun memberi dukungan yang baik serta bersedia menjadi pengawas minum
obat. Keluarga kurang menyadari pentingnya penggunaan masker di dalam
rumah. Keluarga masih kurang menyadari pentingnya etika batuk dan mencuci
tangan setiap setelah batuk. Keluarga masih kurang menyadari pentingnya
meningkatkan daya tahan tubuh dengan konsumsi makanan sehat, aktivitas
fisik, dan berjemur di pagi hari.
- Lingkungan tempat tinggal: kondisi rumah lembab, lingkungan yang cukup
kumuh dan padat, berada di jalan sempit, minim pencahayaan matahari, barang
bekas yang menumpuk, dapat menjadi tempat yang ideal untuk bakteri
berkembang biak.
- Sosial ekonomi: keluarga pasien termasuk ekonomi menengah ke bawah.

3.7.5 Skala Fungsional


Skor 2 : Kondisi Kesehatan pasien sedikit memberikan pengaruh terhadap
fungsi aktivitas pasien dimana pasien masih mampu melakukan pekerjaan ringan
sehari-hari di dalam dan di luar rumah

3.8 Pengelolaan Komprehensif


3.8.1 Patient Centered (Individu yang sakit)

Non Farmakologis
- Edukasi kepada pasien mengenai penyakit TB, gejala, faktor risiko, pola
diet yang disarankan, cara pencegahan, pengendalian, rencana tatalaksana,
kemungkinan efek samping obat, dan komplikasi.

- Edukasi dan memotivasi kepada pasien mengenai pentingnya mencegah


penularan penyakit TB terutama dengan mulai menggunakan masker baik
di dalam maupun di luar rumah, menjaga jarak dengan anggota keluarga
juga lingkungan sekitar, memulai perilaku hidup bersih dan sehat,
perlahan-lahan berhenti merokok, membersihkan rumah dan membuka
pintu dan jendela agar cahaya matahari masuk dan udara tidak lembab,
berjemur di pagi hari, memisahkan alat makan dan minum dengan
57
penderita, dan rutin menjemur alas tidur
- Konseling mengenai etika batuk yang baik dan tidak membuang dahak
sembarangan.
- Menjelaskan kepada pasien untuk selalu rutin kontrol berobat dan
mengonsumsi obat secara rutin, melakukan kontrol rutin jika ada keluhan
dan mengambil obat di Puskesmas jika obatnya habis.
- Konseling kepada pasien untuk memeriksakan dahak kembali setelah dua
bulan, lima bulan, dan enam bulan pengobatan.
- Menjelaskan kepada pasien untuk tetap mengonsumsi makan−makanan
yang bergizi berupa tinggi kalori dan tinggi protein dan minum vitamin.
- Konseling kepada pasien efek samping obat yang timbul seperti buang air
kecil akan berwarna merah yang menandakan itu bukanlah darah hanya
menandakan reaksi obat. Selain itu juga bisa timbul gatal-gatal, mual, dan
kepala terasa pusing. Hal ini dilakukan agar pasien tetap minum obatnya
dan tidak berhenti minum obat
- Konseling kepada pasien untuk mengalihkan stress psikososial dengan hal-
hal bersifat positif

Farmakologis
- Tn S: Obat Anti TB (OAT) kombinasi dosis tetap (KDT) dewasa kategori
II. Dosis yang diberikan sesuai dengan berat badan pasien, yaitu 60 kg
maka obat yang diberikan adalah 4 tablet 4KDT + injeksi streptomisin 750
mg setiap hari selama 2 bulan. Lalu dilanjutkan dengan 4 tablet 4KDT
setiap hari selama 1 bulan berikut. Kemudian dilanjutkan 4 tablet 2KDT +
4 tablet etambutol setiap 3 kali seminggu, selama 5 bulan.

- Ny. N : Metformin tab 500 mg 2 x 1

3.8.2 Family Focused (Berbasis Keluarga)


- Melakukan penyuluhan melalui pemberdayaan anggota keluarga dalam
upaya preventif pencegahan penyakit menular.
- Memberikan edukasi mengenai penyakit TB paru khususnya komplikasi
akibat tidak patuh minum obat pada pasien dan keluarganya.
- Konseling mengenai penyakit TB yang dapat menular dengan anggota
keluarga lainnya yang dapat dicegah dengan pemakaian masker, dan tidak
58
membuang dahak sembarangan (di wc/ kotak sampah didapur/ asbak)
- Memberikan edukasi kepada keluarga untuk berperan dalam mengingatkan
pasien mengenai rutinitas minum obat dan kontrol berobat.
- Memberikan semangat dan motivasi mengenai perlunya perhatian
dukungan dari semua anggota keluarga terhadap perbaikan penyakit pasien
- Melakukan skrining atau deteksi dini TB paru pada keluarga yang tinggal
serumah dengan pasien.

3.8.3 Community Oriented (Lingkungan)

- Edukasi kepada masyarakat di lingkungan sekitar mengenai pentingnya


menjaga kebersihan diri dan lingkungan sekitar tempat tinggal, serta terus
menjaga dan meningkatkan kebugaran diri.
- Edukasi tanda dan gejala TB, pengobatan, dan komplikasi yang dapat
ditimbulkan akibat pengobatan yang lalai maupun efek samping obat.
- Edukasi kepada masyarakat mengenai cara mencegah TB dengan
mengendalikan faktor risiko TB, pentingnya dilakukan skrining batuk
minimal satu tahun sekali terutama jika ada gejala seperti batuk lebih
dari dua minggu, serta pentingnya kesediaan masyarakat dalam
memberikan sampel dahak pada petugas puskesmas dan kader untuk
dilakukan pemeriksaan TB.
- Edukasi mengenai pencegahan TB lebih baik dibandingkan harus
melakukan pengobatan kuratif.
- Konseling mengenai penyakit, tindakan pencegahan penularan seperti
pemakaian masker dan tidak membuang dahak sembarangan (got dan
sawah di samping rumah) serta etika batuk yang benar.
- Melakukan investigasi kontak di sekitar lingkungan rumah.

3.9. Prognosis
Quo ad vitam: bonam.
Quo ad functionam: dubia ad bonam.
Quo ad sanationam: dubia ad bonam.

59
BAB IV
PEMBAHASAN

Diagnosis TB paru ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik,


dan pemeriksaan penunjang sesuai algoritna penegakan diagnosis TB paru Tn. S
telah terdiagnosis TB paru sejak 8 bulan yang lalu. Pada saat kunjungan pasien,
dilakukan pendekatan dan perkenalan terhadap pasien dan keluarga pasien serta
menerangkan maksud dan tujuannya, diikuti dengan anamnesis tentang keluarga
perihal penyakit yang telah diderita. Pasien didiagnosa penyakit TB sejak 8 bulan
yang lalu dan telah menyelesaikan pengobatan 6 bulan. Setelah 6 bulan
pengobatan, pasien kemudian berobat kembali untuk dilakukan tes dahak dan
didapatkan hasil pemeriksaan TCM masih positif terinfeksi M.TB.
Saat dilakukan kunjungan observasi rumah, didapatkan kondisi lingkungan
sekitar yang menopang terjadinya kondisi yang dialami Tn. S, meliputi kurangnya
ventilasi dan pencahayaan di dalam rumah, serta lingkungan rumah kumuh, kotor,
terdapat tumpukan barang bekas, jarak antar rumah yang berdekatan antar satu
dengan yang lain, dan lembab sehingga bakteri TB mudah untuk berkembang
biak. Selain itu, kurangnya penerapan beberapa komponen perilaku hidup bersih
dan sehat dalam keluarga Tn. S, tidak memakai masker di dalam rumah, etika
batuk tidak benar, gizi makanan yang kurang baik, sering jajan sembarangan,
sehingga diperlukan edukasi kepada pasien, keluarga, maupun masyarakat sekitar
perumahan pasien.
Berdasarkan konsep Mandala of Health, dari segi perilaku kesehatan, pasien
masih mengutamakan kuratif daripada preventif dan memiliki pengetahuan yang
kurang tentang penyakit-penyakit yang diderita. Konsep Mandala of Health
mencakup beberapa komponen penting yaitu human biology, lingkungan
psikososial, ekonomi dan lingkungan rumah serta lingkungan tempat tinggal.
Dari aspek human biology, gejala batuk yang diderita pasien akibat
penyakitnya terkadang mengganggu aktivitas sehari-hari pasien. Pada awalnya,
pasien hanya menganggap batuk yang ia derita adalah batuk biasa sehingga ia
membiarkannya dan hanya membeli obat warung yang tujuan pengobatannya
hanya meredakan batuk dan tidak membunuh M. Tuberculosis.

60
Hal tersebut menunjukkan bahwa pengetahuan pasien mengenai penyakit
TB masih kurang dan pasien tidak mengetahui bahwa penyakit TB harus diperiksa
di fasilitas kesehatan, pasien juga tidak mengetahui bahwa penyakit TB harus
rutin minum OAT serta melakukan kontrol ke pelayanan kesehatan. Untuk
menghindari dan menyukseskan program TB nasional, maka tindakan yang
dilakukan pada pasien ini adalah mengajarkan panduan obat dengan baik dan
berkelanjutan, pemberian dosis obat yang cukup sesuai dengan dosis yang
ditentukan, meminta dan mengawasi minum obat setiap hari dan teratur,
melakukan pengobatan sesuai jangka waktunya, melakukan evaluasi pengobatan
dan sputum secara berkala guna mendeteksi secara kemungkinan terjadinya MDR.
Resiko penularan TB Paru pada anggota keluarga dipengaruhi oleh dua
faktor. Pertama, individu dengan kondisi sistem imun rendah. Bagi orang yang
memiliki kekebalan tubuh yang baik, jika tertular kuman TB maka kuman tersebut
akan dalam keadaan tidur atau tidak aktif. Dengan begitu orang tersebut mengidap
infeksi TB laten yang tidak menimbulkan gejala apapun dan juga tidak dapat
menularkan ke orang lain. Namun, jika daya tahan tubuh penderita TB laten
menurun, kuman TB akan menjadi aktif.19,21
Kedua, kontak antara pasien TB Paru dengan orang terdekat. Keluarga yang
tinggal serumah, beresiko dua kali lebih menular dibandingkan kontak yang tidak
serumah. Selain itu, Pasien TB Paru dengan BTA positif lebih tinggi berpotensi
menularkan TB Paru. Peluang seseorang beresiko terinfeksi TB lebih banyak
dijumpai pada kelompok yang memiliki kontak lebih banyak dalam sehari dengan
cara berinteraksi bersama pasien TB Paru lebih dari delapan jam/hari. Semakin
erat intensitas kontak seseorang dengan sumber penularan dari pasien TB,
semakin tinggi peluang untuk terjadi penularan TB Paru.21 Seorang penderita TB
rata-rata dapat menularkan kepada 2-3 orang yang berada di dalam rumahnya.
Besar risiko penularan akan meningkat apabila penderita TB lebih dari satu orang
yang berada di dalam rumah. Jika semakin banyak penderita TB dalam satu
rumah maka akan meningkatkan frekuensi dan durasi kontak dengan kuman
tuberkulosis.
Dengan demikian untuk mencegah terjadinya penularan TB maka penderita
TB harus menjaga etika batuk bisa dengan menggunakan masker di dalam rumah,
menutup mulut dengan lengan saat batuk atau bersin, tidur terpisah dengan
anggota keluarga lain, meludah pada tempat khusus yaitu pot sputum, jangan
61
menggunakan alat-alat makan dan minum secara bersamaan dengan orang lain
ketika menderita penyakit. Pasien juga sebaiknya mengurangi kegiatan yang
melibatkan kerumunan sehingga mengurangi kemungkinan penularan TB.
Mengingat secara patogenesis kuman TB yang dapat bertahan selama 1-2 jam
dalam udara terbuka, maka dilakukan konseling edukasi akan pentingnya
penggunaan masker baik di dalam rumah maupun di luar rumah saat
beraktivitas.11,12
Dari aspek lingkungan psikososial, saat ini pasien tinggal dengan keluarga
kandungnya, yaitu istri dan satu anaknya. Pasien merasa bahagia dengan keadaan
keluarganya saat ini, hubungan antar anggota keluarga juga terbilang dekat dan
jarang mengalami suatu masalah. Hal ini dapat mendukung pasien dalam
menjalani pengobatan yang dapat dilihat dari seluruh anggota keluarga
memberikan dukungan serta bersedia menjadi pengawas minum obat.
Dari aspek ekonomi, kebutuhan rumah tangga ditanggung oleh uang dari
anak untuk kebutuhan sehari-hari, seperti makan, uang listrik, uang air, dan
segala kebutuhan rumah. Pasien mengatakan pemberian tersebut sudah cukup
untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Mengenai jaminan kesehatan, pasien
sudah memiliki asuransi BPJS. Meskipun terletak di jalan sempit, rumah pasien
memiliki halaman depan yang cukup luas sehingga tidak terlalu berhimpitan
dengan rumah lain.
Dalam hal lingkungan tempat tinggal terdapat beberapa faktor risiko yang
mempengaruhi kejadian TB paru yaitu pencahayaan rumah, luas ventilasi dan
kepadatan hunian. Kondisi rumah belum memenuhi syarat−syarat rumah sehat,
yaitu bangunan rumah kokoh karena terbuat batu bata dan semen. Langit-langit
rumah dari plafon yang terbuat dari gypsum tetapi pada beberapa tempat masih
menggunakan kayu dengan atap terbuat dari seng. Dinding rumah sudah
permanen karena merupakan batu bata yang kedap air, lantai rumah terdiri dari
semen yang terletak dekat dengan tanah (bukan rumah panggung). Di kamar
pasien, terdapat dua jendela sehingga pencahayaan dan ventilasi di kamar pasien
cukup baik
Kuman tuberkulosis dapat bertahan hidup pada tempat yang sejuk, lembab
dan gelap tanpa sinar matahari sampai bertahun-tahun lamanya. Rumah yang
tidak memiliki pencahayaan yang baik atau tidak ada celah masuknya sinar
matahari ke dalam rumah maka akan meningkatkan risiko terjadinya kejadian
62
tuberkulosis sebanyak 3-7 kali dibandingkan dengan rumah yang memiliki
pencahayaan yang dimasuki sinar matahari.19
Dalam hal ini, maka patut diberikan konseling terkait dengan keadaan
ruangan yang sehat sehingga menghindari keadaan yang lembab dimana kuman
TB dapat bertahan lebih lama. Bakteri TB yang berada di udara dapat bertahan
selama 1-2 jam tergantung ada atau tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang
buruk dan kelembapan udara. Dalam suasana yang lembab dan gelap, kuman
dapat bertahan selama berhari-hari bahkan berbulan-bulan. Oleh karena itu,
dilakukan juga intervensi berupa meminta keluarga membuka jendela dan pintu
sehingga cahaya dan ventilasi udara menjadi lebih terang dan baik serta menjaga
kebersihan rumah.1
Untuk mengurangi risiko menderita TB paru, Tn.S dan keluarga diberikan
pengetahuan mengenai cara pengendaliannya, yaitu Tn.S harus tidur terpisah
dengan anggota keluarga lain, menutup mulut saat batuk atau bersin, meludah
pada tempat khusus yaitu pot sputum, jangan menggunakan alat-alat makan dan
minum secara bersamaan dengan orang lain ketika menderita penyakit.
Sebagai rangkuman, berdasarkan beberapa masalah pada pasien berdasarkan
konsep Mandala of Health, maka dilakukan beberapa rencana intervensi berupa
konseling mengenai gejala, pencegahan, penularan penyakit TB, serta pentingnya
mengonsumi obat TB secara rutin dan melakukan kontrol rutin ke puskesmas.
Memberikan edukasi kepada pasien mengenai penggunaan masker baik di dalam
maupun di luar rumah saat beraktivitas, mengonsumsi makanan bergizi yang
tinggi kalori dan tinggi protein, meminum vitamin, menjaga pola hidup,
kebersihan diri dan lingkungan, berhenti merokok, serta pentingnya latihan fisik
dan olahraga. Terkait dengan pengobatan yang diberikan, pasien juga diberikan
konseling mengenai efek samping obat yang timbul seperti buang air kecil
berwarna merah yang menandakan itu bukanlah darah hanya menandakan
reaksi obat. Selain itu juga obat yang diberikan dapat menyebabkan gatal-gatal
dan kepala terasa pusing. Hal ini dilakukan agar pasien tetap minum obatnya dan
tidak berhenti minum obat.
Intervensi yang dilakukan bukan hanya pada pasien namun juga terfokus
pada keluarga dan komunitas. Adapun intervensi berbasis keluarga yang
dilakukan adalah melakukan penyuluhan melalui pemberdayaan anggota keluarga
dalam upaya preventif pencegahan penyakit menular, memberikan edukasi
63
mengenai penyakit TB paru khususnya komplikasi akibat tidak patuh minum obat
pada pasien
dan keluarganya, konseling mengenai penyakit TB yang dapat menular dengan
anggota keluarga lainnya yang dapat dicegah dengan pemakaian masker, dan
tidak membuang dahak sembarangan (di wc/ kotak sampah didapur/ asbak),
memberikan edukasi kepada keluarga untuk berperan dalam mengingatkan pasien
mengenai rutinitas minum obat dan kontrol berobatm, memberikan semangat dan
motivasi mengenai perlunya perhatian dukungan dari semua anggota keluarga
terhadap perbaikan penyakit pasien, dan melakukan skrining atau deteksi dini TB
paru pada keluarga yang tinggal serumah dengan pasien.
Intervensi berbasis lingkungan yang dilakukan yaitu memberikan konseling
mengenai pencegahan dan penularan penyakit TB yang berdampak pada orang
disekitarnya dalam satu komunitas. Konseling yang diberikan mengenai penyakit
tindakan yang dilakukan penderita TB agar tidak menularkan ke tetangga seperti
pemakaian masker dan tidak membuang dahak sembarangan.
Ada beberapa langkah atau proses sebelum orang mengadopsi perilaku baru.
Pertama adalah kesadaran (awareness), dimana orang tersebut menyadari stimulus
tersebut. Kemudian dia mulai tertarik (interest). Selanjutnya, orang tersebut akan
menimbang baik atau tidaknya stimulus tersebut (evaluation). Setelah itu, dia
akan mencoba melakukan apa yang dikehendaki oleh stimulus (trial). Pada tahap
akhir adalah adoption, berperilaku baru sesuai dengan pengetahuan, kesadaran,
dan sikapnya. Ketika intervensi dilakukan, keluarga juga turut serta mendampingi
dan mendengarkan apa yang disampaikan pada pasien.12

64
BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan
Masalah pada pasien berdasarkan konsep Mandala of Health, yakni
sanitasi rumah kurang baik, kurangnya pengetahuan mengenai tuberkulosis, faktor
ekonomi kurang memadai, dan kurangnya kekebalan tubuh akibat pola hidup
yang tidak sehat. Pengelolaan TB paru dengan konsep pendekatan keluarga telah
dilakukan, dari diagnostik holistik didapatkan fakta bahwa dalam wilayah kerja
Puskesmas Kampus pengetahuan pasien dan pengetahuan keluarga masih kurang.
Pengetahuan yang kurang ini membuat kesempatan terjadi TB paru di masyarakat
semakin tinggi dan memperberat masalah kesehatan masyarakat. Salah satunya
adalah minimnya pengetahuan tentang faktor risiko dan pencegahan. Melalui
penatalaksanaan komprehensif diharapkan pengetahuan pasien dan keluarga
terhadap TB paru mengalami peningkatan sehingga dapat dikendalikan.
Tuberkulosis Paru dengan Konsep Pelayanan Kedokteran Keluarga sangat cocok
untuk diterapkan di wilayah kerja Puskesmas termasuk Puskesmas Kampus saat
ini. Dengan Konsep Pelayanan Kedokteran Keluarga penatalaksaan dilakukan
secara komprehensif yang terdiri atas patient centered, family focused, dan juga
community oriented.

5.2. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka dapat dikemukakan beberapa saran
yakni memaksimalkan edukasi dan sosialisasi mengenai TB paru dengan rincian
materi berupa tanda dan gejala, cara pemeriksaan, pengobatan, komplikasi, cara
mencegah, dan cara mengendalikan faktor risiko secara efektif. Konsep
pendekatan pelayanan dokter keluarga harus dilakukan secara berkesinambungan
dan terprogram sehingga memberikan hasil yang maksimal.

65
DAFTAR PUSTAKA

1. Kemenkes. Infodatin Tuberkulosis. InfoDATIN. 2015. hal. 7.


2. Amin Z, Bahar A. Tuberkulosis Paru. In: Setiati S, Alwi I, Sudoyo AW,
Simandibrata M, Setyohadi B, Syam AF, editor. Ilmu Penyakit Dalam Edisi
Keenam. 6 ed. Jakarta: InternaPublishing; 2016. hal. 863–71.
3. Kemenkes RI. Keputusan Menteri Kesehatan RI No.
01.07/Menkes/755/2019 tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
Tatalaksana Tuberculosis. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik
Indonesia; 2019.
4. UNICEF Indonesia. Desk Review: Pediatric Tuberculosis with a Focus on
Indonesia. Jakarta: UNICEF; 2021.
5. Narasimhan P, Wood J, Macintyre CR, Mathai D. Risk factors for
tuberculosis. Pulm Med. 2013;2013(828939):1–11.
6. Kemenkes RI. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana
Tuberkulosis. Jakarta: Kementrian Kesehatan Republik Indonesia; 2020.
hal. 9–11.
7. M. D, J. A. Epidemiological Burden of Tuberculosis in Developing
Countries. Curr Top Public Heal. 2013;(October).
8. Kementerian Kesehatan RI. Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran. Tata
Laksana Tuberkulosis. Jakarta: Kementerian Kesehatan RI; 2019.
9. Perhimpunan Respirologi dan Penyakit Kritis Indonesia. Modul PPM TB
Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. Jakarta: PAPDI;
2017. 13–25 hal.
10. Kementerian Kesehatan RI. Infodatin Tuberkulosis. Jakarta: Kementerian
Kesehatan RI; 2018.
11. Kemenkes RI. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 67
Tahun 2016 tentang Penanggulangan Tuberkulosis. Kementrian Kesehatan
Republik Indonesia. 2016.
12. Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Peraturan Menteri Kesehatan
Republik Indonesia No. 67 Tahun 2016 tentang Penanggulangan

61
66
Tuberkulosis. 2016. 22–64 hal.
13. Kementrian Kesehatan RI. Pedoman Umum Program Indonesia Sehat
dengan Pendekatan Keluarga. Jakarta: Kementrian Kesehatan RI; 2016. 19–
22 hal.
14. Suprajitno. Asuhan Keperawatan Keluarga Aplikasi dan Praktik. Jakarta:
EGC; 2004.
15. DJ W, DW H. Family history: the three-generation pedigree. AAFP.
2005;72(3):441–8.
16. Takenaka H, Ban N. The most important question in family approach: The
potential of the resolve item of the family APGAR in family medicine. Asia
Pac Fam Med. Mei 2016;15(1):1–7.
17. A A. Pengantar Pelayanan Dokter Keluarga. Jakarta: Yayasan Penerbitan
Ikatan Dokter Indonesia; 1997. 1–45 hal.
18. Prasetyawati A. Kedokteran Keluarga. Jakarta: Rineka Cipta; 2010. 1–90
hal.
19. Dayu Pralambang S, Setiawan S, Dayu Pralambang - S. Faktor Risiko
Kejadian Tuberkulosis di Indonesia. J Biostat Kependudukan, dan Inform
Kesehat. November 2021;2(1):60–71.
20. Mulyanto H. Relationship Five Behavioral Indicators and Healthy Living
with Tuberculosis Multidrug-Resistant. J Berk Epidemiol. September
2014;2(3):355.
21. Tode RS, Kurniasari MD, Fretes F De, Sanubari TP elingsetyo. gambaran
resiko penularan terhadap keluarga dengan pasien tb paru di salatiga. J
Formil (Forum Ilmiah) Kesmas Respati. Juli 2019;4(1):55.

67
LAMPIRAN

Gambar 1. Tampak Depan Rumah Pasien

Gambar 2. Tampak Ruang Tamu Pasien Yang Juga Difungsikan Menjadi


Ruang Tidur dan Ruang Makan

68
Gambae 3. Dapur Rumah Pasien Gambar 4. Kamar Mandi Rumah Pasien

Gambar 5. Wawancara dan Pemberian Gambar 6. Pemeriksaan Kesehatan


Edukasi Pasien

69

Anda mungkin juga menyukai