MINIRESEARCH
Oleh:
Risty Pradana Linggan W 132011101043
Fatmalia Fhierziandrini N 132011101071
Pembimbing:
dr. T. Ninik Widyawati
dr. Dwita Aryadina Rachmawati, M.Kes.
PENGESAHAN
Tim Pembimbing
Koordinator IKM
PRAKATA
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan miniriset ini. Miniriset ini disusun untuk
menyelesaikan tugas Kepaniteraan Klinik Madya SMF/Lab. Ilmu Kesehatan
Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Jember.
Penyusunan laporan miniriset ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak,
oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. dr. Supangat, M.Kes., Ph.D Sp.BA., selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Jember;
2. dr. Dwita Aryadina Rachmawati, M. Kes selaku koordinator IKM Fakultas
Kedokteran Universitas Jemberdan selaku pembimbing keluarga binaan
3. dr. T. Ninik Widyawati, selaku Kepala Puskesmas Patrang dan pembimbing
lapangan yang telah memberikan banyak pengetahuan dan masukan selama
menempuh pendidikan IKM;
4. Rekan kerja di Puskesmas Patrang yang telah memberikan dukungan dan
bantuannya;
5. Semua pihak yang telah memberikan bantuan dalam penyusunan karya tulis
ilmiah ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Penulis juga menerima segala kritik dan saran yang membangun demi
kesempurnaan karya tulis ini. Semoga karya tulis ini bermanfaat bagi pembaca
khususnya untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan Fakultas Kedokteran
Universitas Jember.
Penulis
1
BAB 1. PENDAHULUAN
Rumah dengan kondisi tidak sehat atau tidak memenuhi syarat kesehatan
apat sebagai media penularan penyakit pernafasan yang salah satunya adalah
penyakit TB paru.TB dapat diperburuk dengan kondisi sanitasi perumahan yang
buruk, khususnya pada pemukiman padat dan penduduk miskin (Jauhari,
2015).Penderita TB paru dapat menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
percikan dahak pada waktu batuk dan bersin, sekali batuk dapat menghasilkan
sekitan 3000 percikan dahak.Percikan dahak yang mengandung kuman dapat
bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam.Orang dapat terinfeksi
jika percikan terhirup dalam saluran napas.
Berdasar latar belakang di atas, maka pepeneliti perlu menganalisis faktor
risiko individu dan lingkungan terhadapkejadian TB di Puskesmas Patrang
Kabupaten Jember.
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui hubungan faktor risiko individu dan lingkungan terhadap kejadian TB
di Puskesmas Patrang Kabupaten Jember.
1.4 Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada beberapa pihak,
antara lain sebagai berikut.
a. Bagi Puskesmas Patrang, sebagai bahan masukan dan pertimbangan kepada
pihak pemegang kebijakan dalam usaha preventif mengatasi masalah TB
paru di Puskesmas Patrang.
3
b. Bagi akademisi, sebagai bahan perbandingan dan referensi untuk studi atau
penelitian pada masa yang akan datang.
c. Bagi peneliti, sebagai bahan pengembangan wawasan keilmuan dan wacana
pengembangan penulisan mengenai faktor risiko individu dan lingkungan
tuberkulosis paru.
d. Bagi praktisi kedokteran layanan primer, sebagai pengetahuan dan bahan
pertimbangan strategi usaha preventif program TB dalam yang akan
diterapkan dalam melakukan praktik kedokteran layanan primer.
4
2.1.2 Etiologi
Penyebab dari penyakit ini adalah bakteri Mycobacterium
tuberculosis.Adanya infeksi Mycobacterium tuberculosis dalam paru dapat
memicu reaksi inflamasi kronik yang menimbulkan gejala klinik.Mycobacterium
tuberculosis berbentuk batang, tidak berspora dan tidak berkapsul. Berukuran
lebar 0,3-0,6 μm dan 1-4 μm. Dinding Mycobacteriumtuberculosis tersusun dari
lapisan lemak hingga mencapai 60% yang terdiri darilipoarabinomanan, asam
mikolat yang mengandung glikolipid, sulfolipid dan 19 kDa lipoprotein yang
berperan dalam virulensinya. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut
menyebabkan Mycobacterium tuberculosis bersifat tahan asam pada pewarnaan
Ziehl Nielson (Karakousis et al, 2004). Selain itu, bakteri ini juga tahan terhadap
suasana kering dan dingin. Bakteri ini dapat bertahan pada kondisi rumah atau
lingkungan yang lembab dan gelap bisa sampai berbulan-bulan, namun bakteri ini
tidak tahan atau dapat mati apabila terkena sinar, matahari atau aliran udara
(Widoyono, 2011).
2.1.3 Patogenesis
5
Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB.Karena
ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang
terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi
oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit
kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB.
Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan
kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam
makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di
tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus
Primer GOHN.
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limferegional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke
lokasi fokus primer.Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran
limfe (limfangitis) dan dikelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus
primer terletak di lobus parubawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat
adalah kelenjar limfe parahilus,sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru,
yang akan terlibat adalahkelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan
gabungan antara fokus primer,kelenjar limfe regional yang membesar
(limfadenitis) dan saluran limfe yangmeradang (limfangitis).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleksprimer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini
berbeda denganpengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu
yang diperlukan sejakmasuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa
inkubasi TB biasanyaberlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu
antara 2-12 minggu.Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga
mencapai jumlah 103-104,yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons
imunitas seluler.
Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan
logaritmikkuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi
terhadap tuberkulin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat
6
2.1.4 Diagnosis
Diagnosis TB paru berdasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.Anamnesis dilakukan untuk mencari gejala klinis yang
khas pada TB dan faktor risiko yang ada pada pasien.Pemeriksaan fisik ditujukan
untuk menilai kondisi umum pasien, namun sulit menilai kerusakan yang ada di
dalam paru secara palpasi, perkusi dan auskultasi (Depkes RI, 2011).Gejala klinis
pada TB paru meliputi gejala sistemik dan gejala respiratorik.
8
a. Gejala sistemik
Gejala sistemik yang sering menyertai TB adalah demam, malaise, keringat
malam, anoreksia dan penurunan berat yang signifikan.
b. Gejala respiratorik
Gejala respiratorik yang sering menyertai TB adalah batuk lebih dari 2
minggu, batuk darah, sesak nafas dan nyeri dada.Gejala ini sangat bervariasi
tergantung pada luas lesi yang terdapat pada paru.Manifestasi batuk timbul saat
bronkus mengalami iritasi oleh karena adanya sekret yang dihasilkan dari
inflamasi Mycobacterium tuberculosis (Depkes RI, 2011).
Pada pemeriksaan fisik TB paru, kelainan yang didapat tergantung luas
kelainan struktur paru.Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya
tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan.Kelainan paru pada umumnya
terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1
& S2), serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan jasmani dapat
ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki
basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.
Pada pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan
sputum dan foto thoraks.Pemeriksaan sputum menggunakan metode sewaktu pagi
sewaktu (SPS) dilakukan untuk mendiagnosis, menilai keberhasilan pengobatan
dan menentukan potensi penularan. Apabila dalam 3 kali pemeriksaan didapatkan
3 kali positif, 2 kali positif, atau 1 kali positif dalam 2 kali pengulangan maka
dapat diagnosis positif TB. Namun, apabila tidak memenuhi kriteria tersebut,
namun gejala klinis mendukung TB, maka dapat dilakukan pemeriksaan
penunjang berupa pemeriksaan radiologik berupa foto rontgen thoraks PA.
Apabila ditemukan gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif
(cavitas terutama lebih dari satu yang dikelilingi bayangan opak berawan atau
nodular, bercak milier, nodul di segmen apeks maupun posterior, efusi pleura),
9
maka dapat didiagnosis BTA negatif dengan rontgen positif yang merupakan
diagnosis positif TB.
2.1.5 Penularan
Risiko penularan tergantung dari tingkat pajanan dengan
percikandahak.Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan
kemungkinanrisiko penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA
negatif.Risiko penularan setiap tahunnya ditunjukkan dengan Annual Risk of
Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisikoterinfeksi
TB selama satu tahun.ARTI sebesar 1 %, berarti sepuluh orangdiantara 1000
penduduk terinfeksi setiap tahun.ARTI di Indonesiabervariasi antara 1-3%.Faktor
yang mempengaruhikemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya tahan
tubuh yangrendah, diantaranya adalah infeksi HIV/AIDS dan gizi buruk
(Kemenkes, 2016).
Sumber penularan adalah pasien TB paru dengan BTA positif,yaitupada
waktu pasien batuk atau bersin dapat menyebarkan kuman ke udaradalam bentuk
percikan ludah (droplet).Droplet yang mengandung kumandapat bertahan di udara
pada suhu kamar selama beberapa jam.Orangdapat terinfeksi kalau droplet
tersebut terhirup ke dalam saluranpernafasan dan daya tahan tubuh seseorang
dalam keadaan lemah pula (Kemenkes, 2016).
Daya penularan dari seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kumanyang
dikeluarkan dari dalam paru-parunya.Makin tinggi derajat positif dari hasil
pemeriksaan dahak secara mikroskopis makin mudah untukmenularkan.Bila hasil
pemeriksaan dahak negatif maka pasien tersebuttidak menular, dari seseorang
yang terinfeksi ditentukan oleh konsentrasidroplet dalam udara dan lamanya
menghirup udara tersebut (Kemenkes, 2016).
2.1.6 Pengobatan
Pengobatan bertujuan untuk menyembuhkan
pasien,mencegahkematian,mencegah kekambuhan,memutuskan rantai penularan
10
b. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namundalam
jangka waktu yang lebih lama.Tahap lanjutan penting untukmembunuh kuman
persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan (Kemenkes, 2016).
Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis di Indonesia, yaitu Kategori I:2HRZE/4(HR)3. Tahap intensif ini
terdiri dari isoniasid (H), Rifampisin(R),Pirazinamid (Z) dan Ethambutol (E), obat
tersebut diberikan setiap hariselama 2 bulan, kemudian diteruskan tahap
selanjutnya terdiri dariIsoniazid dan Rifampisin diberikan 3 kali dalam seminggu
selama 4 bulan. Obat ini diberikan untuk: (1) Penderita baru TB paru BTA positif,
(2)Penderita TB paru BTA negatif rontgen positif yang sakit berat. (3)Penderita
TB ekstra paru berat.
Kategori 2: 2HRZ(S)/HRZE/5(HR)3E3,tahap intensif ini diberikan selama 3
bulan yang terdiri dari 2 bulan dengan isoniazid, rifampisin, pirazinamid,
ethambutol dan suntikan streptomisin setiap hari. Dilanjutkandengan 1 bulan
dengan isoniasid,rifampisin,pirazinamid, dan etambutol setiap hari. Setelah itu,
dilanjutkan tahap berikutnya selama 5 bulan denganRHE yang diberikan 3 kali
dalam seminggu.Perlu diperhatikan bahwas untikan streptomisin diberikan setelah
penderita minum obat. Obat ini diberikan untuk: (1) penderita kambuh; (2)
penderita gagal; (3) penderitadengan pengobatan setelah lalai. OAT sisipan
(HRZE), bila pada akhirtahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif
11
dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2,
hasilpemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat (HRZE) setiap hari
selama sebulan (Kemenkes, 2016).
Kemasan OAT dapat secara tunggal maupun kombinasi dosis tetap.
Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain:
a. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal
b. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan
kesalahan pengobatan yang tidak disengaja
c. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang
benar dan standar
d. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit
e. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat
penurunan penggunaan monoterapi
Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang
dosis yang telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih
termasuk dalam batas dosis terapi dan non toksik.Pada kasus yang mendapat obat
kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping serius harus dirujuk
ke rumah sakit/ dokter spesialis paru/ fasiliti yang mampu menanganinya.
c. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap pengetahuan
seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan
pengetahuan penyakit TB Paru, sehingga dengan pengetahuan yang cukup
maka seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersin dan
sehat. Selain itu tingkat pedidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap
jenis pekerjaannya.Gambaran kesakitan menurut pendidikan menunjukkan,
prevalensi semakin rendah seiring dengan tingginya tingkat pendidikan
(Depkes, 2017).
d. Pekerjaan
Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap
individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu paparan partikel
debu di daerah terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada
saluran pernafasan. Paparan kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan
morbiditas, terutama terjadinya gejala penyakit saluran pernafasan dan
umumnya TB Paru.
Jenis pekerjaan seseorang juga mempengaruhi terhadap pendapatan
keluarga yang akan mempunyai dampak terhadap pola hidup sehari-hari
diantara konsumsi makanan, pemeliharaan kesehatan selain itu juga akan
mempengaruhi terhadap kepemilikan rumah (kontruksi rumah). Kepala
keluarga yang mempunyai pendapatan dibawah UMR akan mengkonsumsi
makanan dengan kadar gizi yang tidak sesuai dengan kebutuhan bagi setiap
anggota keluarga sehingga mempunyai status gizi yang kurang dan akan
memudahkan untuk terkena penyakit infeksi diantaranya TB Paru. Dalam hal
jenis kontruksi rumah dengan mempunyai pendapatan yang kurang maka
kontruksi rumah yang dimiliki tidak memenuhi syarat kesehatan sehingga
akan mempermudah terjadinya penularan penyakit TB Paru.
15
e. Kebiasaan Merokok
Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan meningkatkan risiko
untuk mendapatkan kanker paru-paru, penyakit jantung koroner, bronchitis
kronik dan kanker kandung kemih. Kebiasaan merokok meningkatkan risiko
untuk terkena TB paru sebanyak 2,2 kali. Pada tahun 1973 konsumsi rokok di
Indonesia per orang per tahun adalah 230 batang, relatif lebih rendah dengan
430 batang/orang/tahun di Sierra Leon, 480 batang/orang/tahun di Ghana dan
760 batang/orang/tahun di Pakistan (Achmadi, 2005). Prevalensi merokok
pada hampir semua negara berkembang lebih dari 50% terjadi pada laki-laki
dewasa, sedangkan wanita perokok kurang dari 5%. Dengan adanya
kebiasaan merokok akan mempermudah untuk terjadinya infeksi TB Paru.
Pada Survei Prevalensi Tuberkulosis prevalensi pada laki-laki 3 kali lebih
tinggi dibandingkan pada perempuan.Hal ini terjadi kemungkinan karena
laki-laki lebih terpapar pada salah satu fakto risiko TBC, yaitu merokok.
Survei ini menemukan bahwa dari seluruh partisipan laki-laki yang merokok
sebanyak 68,5% dan hanya 3,7% partisipan perempuan yang merokok
(Depkes, 2017).
f. Status Gizi
Status gizi merupakan variable yang sangat berperan dalam timbulnya
kejadian TB Paru. Tetapi hal ini masih dipengaruhi oleh faktor –faktor yang
lainnya seperti ada tidaknya kuman TBC pada paru.. Karena kuman TBC
merupakan kuman yang dapat “tidur” bertahun-tahun dan apabila memiliki
kesempatan “bangun” dan menimbulkan penyakit maka timbullah kejadian
penyakit TB paru. Oleh sebab itu salah satu upaya untuk menangkalnya
adalah stus gizi yang baik, baik untuk wanita, laki-laki, anak-anak maupun
dewasa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dengan status gizi kurang
mempunyai risiko 3,7 kali untuk menderita TB Paru berat dibandingkan
dengan orang yang status gizinya cukup atau lebih. Kekurangan gizi pada
16
seseorang akan berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan respon
immunologik terhadap penyakit (Achmadi, 2005).
h. Perilaku
Perilaku seseorang yang berkaitan dengan penyakit TB adalah perilaku
yang mempengaruhi atau memjadikan seseorang untuk mudah terinfeksi atau
tertular kuman TB misalnya kebiasaan membuka jendela setiap hari, menutup
mulut bila batuk atau bersin, meludah sembarangan, merokok dan kebiasaan
menjemur kasur ataupun bantal (Edwan, 2008).
17
b. Pencahayaan
Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan
tidak terlalu banyak.Kurangnya cahaya yang masuk ke dalam ruangan rumah,
terutama cahaya matahari disamping kurang nyaman, juga merupakan media
atau tempat yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibit-bibit penyakit.
18
c. Ventilasi
19
Yang di maksud dengan ventilasi adalah proses di mana udara bersih dari
luar ruang sengaja di alirkan kedalam ruang dan udara yang buruk dari dalam
ruang di keluarkan (Pujiastuti, 1998).
Ventilasi mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk
menjaga agar aliran udara didalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti
keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap
terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen di dalam
rumah, disamping itu kurangnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban
udara di dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari
kulit dan penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang baik
untuk pertumbuhan bakteri-bakteri patogen, misalnya kuman TB. Fungsi
kedua dari ventilasi itu adalah untuk membebaskan udara ruangan dari
bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena di situ selalu terjadi aliran
udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu
mengalir. Fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan kamar tidur
selalu tetap di dalam kelembaban (humiditiy) yang optimum (Notoatmodjo,
2003).
Ada 2 macam ventilasi, yakni ventilasi alamiah dan buatan.Ventilasi
alamiah maksudnya adalah aliran udara di dalam ruangan tersebut terjadi
secara alamiah melalui jendela, pintu, lubang angin, lubang-lubang pada
dinding dan sebagainya.Sedangkan ventilasi buatan adalah dengan
mempergunakan alat-alat khusus untuk mengalirkan udara tersebut, misalnya
kipas angin dan mesin pengisap udara (Notoatmodjo, 2003).
Untuk sirkulasi yang baik diperlukan paling sedikit luas lubang ventilasi
sebesar 10% dari luas lantai (Kepmenkes, 1999).Untuk luas ventilasi
permanen minimal 5% dari luas lantai dan luas ventilasi insidentil (dapat
dibuka tutup) 5% dari luas lantai. Udara segar juga diperlukan untuk menjaga
temperatur dan kelembaban udara dalam ruangan. Umumnya temperatur yang
nyaman berkisar 18°-30°C dari kelembaban udara berkisar 40%-70%
(Kepmenkes, 1999).
20
d. Kondisi Rumah
Kondisi rumah dapat menjadi salah satu faktor risiko penularan penyakit
TBC.Atap, dinding dan lantai dapat menjadi tempat perkembang biakan
kuman.Lantai dan dinding yang sulit dibersihkan dan tidak kedap air akan
menyebabkan penumpukan debu, sehingga akan dijadikan sebagai media
yang baik bagi berkembangbiaknya kuman Mycrobacterium tuberculosis
(Achmadi, 2005).
e. Kelembaban Udara
Kelembaban udara dalam ruangan untuk memperoleh kenyamanan,
dimana kelembaban berkisar 40%-60% dengan suhu udara yang nyaman 18°-
30°C. Kuman TB Paru akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung,
tetapi dapat bertahan hidup selama beberapa jam di tempat yang gelap dan
lembab. Mulyadi (2003) meneliti di Kota Bogor, penghuni rumah yang
memiliki kelembaban ruang keluarga lebih besar dari 60 % berisiko terkena
TBC 10,7 kali di banding penghuni rumah yang tinggal pada perumahan yang
memiliki kelembaban lebih kecil atau sama dengan 60 %.
f. Suhu
Suhu dalam ruangan harus dapat diciptakan sedemukian rupa
sehinggatubuh tidak terlalu bnayak kehilangan panas atau sebaliknya tubuh
tidak sampai kepanasan.Suhu ruangan dalam rumah yang ideal adalah bekisar
antara 18-30 ºC dan suhu tersebut di pengaruhi oleh suhu udara luar,
pergerakan udara dan kelembaban udara dalam ruangan (Kepmenkes, 1999).
g. Ketinggian Wilayah
21
2.3Kerangka Konsep
Pasien berkunjung ke
Puskesmas Patrang
3.3.1. Sampel
Sampel merupakan bagian dari populasi yang ingin diteliti oleh peneliti.
Menurut Sugiyono (2011), sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik
yang dimiliki oleh populasi tersebut. Sampel yang digunakan pada penelitian ini
adalah pasien tuberkulosis yang datang berobat ke Puskesmas Patrang Kabupaten
Jember yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi.
a. Besar Sampel
Penentuan besar sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan rumus Slovin, sebagai berikut (Sugiyono, 2011):
n=
Keterangan:
n = besar sampel N = besar populasi
e = taraf kesalahan (error) sebesar 5% (0,05)
24
=
1 + 24 (0,052)
=22, 64 = 23
Berdasarkan rumus di atas, maka sampel yang diperoleh merupakan
pembulatan dari 22,64 adalah 23.
dalam penelitian sampai kurun waktu tertentu, sehingga jumlah sampel yang
diperlukan terpenuhi (Sastroasmoro, 2014).
a. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi kelompok kontrol pada penelitian ini sebagai berikut.
1) Pasien yang datang ke Balai Pengobatan Puskesmas Patrang
2) Bersedia untuk mengisi kuisioner yang telah disediakan sebagai
tanda persetujuan sampel penelitian.
Kriteria inklusi kelompok perlakuan pada penelitian ini sebagai berikut.
1) Pasien yang terdiagnosis secara bakteriologis mengalami TB di
Puskesmas Patrang Kabupaten Jember
2) Bersedia untuk mengisi kuisioner yang telah disediakan sebagai
tanda persetujuan sampel penelitian.
c. Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi kelompok kontrol pada penelitian ini sebagai berikut.
1) Pasien dengan keluhan batuk > 2 minggu, demam tanpa alasan yang
jelas > 3 minggu, batuk darah, dan keluar keringat dingin ketika
malam hari
2) Pasien dengan riwayat terkena penyakit TB
dengan luas
bangunan,
dengan
persyaratan
minimal 10
m2/orang
(Depkes,
2003)
b. Ventilasi Lubang hawa Wawancara Kuisioner 1. < 10% luas Nominal
yang terdapat lantai
pada dinding 2. >10% luas
rumah lantai
berfungsi
sebagai keluar
masuk udara.
Minimal 10%
dari luas lantai
rumah
(Kepmenkes
No 829/1999)
c. Lantai Lantai rumah Wawancara Kuisioner 1. Tidak kedap Nominal
rumah kedap air dan air
mudah 2. Kedap air
dibersihkan
(Kepmenkes
No 829/1999)
d. Dinding Dinding Wawancara Kuisioner 1. Tidak standar Nominal
rumah rumah 2. Standar
dikatakan
terstandar jika
dinding rumah
kedap air dan
mudah
dibersihkan
(Kepmenkes
No 829/1999)
yang telah dibuat. Pertanyaan terdiri dari tiga bagianyaitu, bagian A berisi tentang
data demografi yang meliputi nama, usia, jenis kelamin, status pendidikan, dan
status gizi. Bagian B berkaitan dengan tingkat pengetahuan dalam bentuk
pertanyaan tertutup tentang penyakit tuberkulosis sebanyak 20 item.Bagian C
tentang faktor fisik lingkungan yang berbentuk pertanyaan tertutup sebanyak 4
item.
3.6.2. Informed Consent
Instrumen ini digunakan untuk pernyataan persetujuan responden untuk
menjadi subjek penelitian.
Krikertia Inklusi
Krikertia Eksklusi
Informed consent
dan pengambilan
data dengan
kuesioner
Pencatatan dan
pengolahan data
Analisis Data
45.7% Laki-Laki
54.3% Perempuan
Dari Tabel 4.1 dan Gambar 4.1 dapat diketahui bahwa distribusi jenis
kelamin pada penelitian ini adalah laki-laki sebanyak 21 orang (45,7 %) dan
perempuan sebanyak 25 orang (54,3 %).
b. Usia
Tabel 4.2 Distribusi responden berdasarkan usia
Distribusi Usia Frekuensi (n) Presentase
Responden
0-18 tahun 3 6,5 %
19-40 tahun 24 50,0 %
41-60 tahun 13 30,4 %
>60 tahun 6 13,0 %
13.0% 6.5%
0-18 th
19-40 th
30.4% 41-60 th
50.0%
>60
c. Pendidikan terakhir
Tabel 4.3 Distribusi responden berdasarkan pendidikan terakhir
Distribusi Pendidikan Frekuensi (n) Presentase
Terakhir Responden
BelumTamat SD 0 0,0 %
SD 8 17,4 %
SMP 6 13,0 %
34
SMA 27 58,7 %
Diploma 0 0,0 %
Sarjana 5 10,9 %
SMA
d. Status gizi
Tabel 4.4 Distribusi responden berdasarkan status gizi
Distribusi Status Gizi Frekuensi (n) Presentase
Responden
Kurus 11 23,9 %
Normal 26 56,5 %
Gemuk 9 19,6 %
19.6% Kurus
23.9%
Normal
56.5% Gemuk
Dari Tabel 4.4 dan Gambar 4.4 dapat diketahui bahwa distribusi status
gizi pada penelitian ini, yaitu untuk kategori kurus sebanyak 14 orang
(23,9%), kategori normal sebanyak 26 orang (56,5%), dan kategori gemuk
sebanyak 9 orang (19,6%).
e. Pengetahuan
Tabel 4.5 Distribusi responden berdasarkan pengetahuan
Distribusi Pengetahuan Frekuensi (n) Presentase
Responden
Kurang 0 0,0 %
Cukup 6 13,0 %
Baik 40 87,0 %
0%
13% Kurang
Cukup
87% Baik
f. Kepadatan hunian
Tabel 4.6 Distribusi responden berdasarkan kepadatan hunian
Distribusi Kepadatan Frekuensi (n) Presentase
Hunian Responden
Kurang dari 10 13 28,3 %
m2/orang
Lebih dari 10 m2/orang 33 71,7 %
36
28.3%
< 10 m2/org
> 10 m2/orang
71.7%
g. Luas ventilasi
Tabel 4.7 Distribusi responden berdasarkan luas ventilasi
Distribusi Luas Frekuensi (n) Presentase
Ventilasi Responden
<10 % luas lantai 32 69,6 %
>10 % luas lantai 14 30,4 %
<10% luas
30.4% lantai
>10% luas
69.6%
lantai
h. Jenis lantai
Tabel 4.8 Distribusi responden berdasarkan jenis lantai
Distribusi Jenis Lantai Frekuensi (n) Presentase
Responden
Tidak kedap air 0 0,0 %
Kedap air 46 100 %
4.3%
Tidak standar
Standar
95.7%
38
* p-value< 0,05
Dari Tabel 4.10 diketahui bahwa pendidikan terakhir, status gizi, dan luas
ventilasi memiliki angka signifikansi p<0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa
pendidikan terakhir, status gizi, dan luas ventilasi memiliki hubungan yang
bermakna terhadap kejadian TB. Kemudian ketiga variabel ini dilakukan analisis
korelasi Pearson dan diketahui bahwa pendidikan terakhir memiliki nilai r = -
0,398. Angka negatif menunjukkan bahwa semakin rendah pendidikan yang
ditempuh maka akan meningkatkan kejadian TB, dimana angka 0,398
menunjukkan bahwa korelasi antara kedua variabel ini lemah. Sedangkan status
gizi memiliki nilai r = -0,529 (korelasi sedang). Nilai r ini menunjukkan bahwa
semakin rendah status gizi maka kejadian TB akan semakin meningkat.
Sedangkan luas ventilasi memiliki nilai r = -0,283 (korelasi lemah). Nilai r pada
variabel luas ventilasi ini menunjukkan bahwa semakin kecil luas ventilasi maka
angka kejadian TB semakin meningkat.
Tabel 4.12 Analisis multivariat faktor individu dan lingkungan terhadap kejadian
Tuberkulosis
Model 1 Model 2 Model 3
Variabel Kategori
OR (95% CI) OR (95% CI) OR (95% CI)
Jenis Laki-laki 1,043 (0,18- 0,869 (0,156- -
kelamin Perempuan 6,028) 4,842)
SD 0,673 (0,219- 0,755 (0,254- 0,754 (0,254-
SMP 2,070) 2,247) 2,239)
Pendidikan
SMA
terakhir
Diploma
Sarjana
Kurus 0,047 (0,005- 0,044 (0,005- 0,043 (0,005-
Status Gizi Normal 0,424)* 0,402)* 0,393)**
Gemuk
Kepadatan <10 m2/orang 0,060 (0,003- 0,057 (0,003- 0,056 (0,003-
penghuni >10 m2/orang 1,131) 1,019) 0,991)*
Luas <10% luas lantai 0,024 (0,001- 0,018 (0,001- 0,018 (0,001-
ventilasi >10% luas lantai 0,742)* 0,568)* 0,528)*
Dinding Tidak standar 0,000 (0,000) - -
rumah Standar
* p-value< 0,05
**Faktor dominan
Dari Tabel 4.12 diketahui bahwa status gizi merupakan variabel yang
dominan berpengaruh terhadap kejadian tuberkulosis. Sedangkan jenis kelamin,
pendidikan terakhir, dan dinding rumah merupakan variabel cofounding(perancu).
Variabel perancu adalah variabel yang berpengaruh dalam menutupi faktor
lainnya. Adanya faktor perancu dapat memperbesar atau memperkecil hubungan
sebenarnya.
41
4.2 Pembahasan
Pada penelitian ini faktor risiko umur berhubungan dengan kejadian
penyakit TB Paru. Secara teori menyatakan bahwa umur yang lebih tua dapat
meningkatkan terjadinya TB Paru, sedangkan hasil penelitian menyatakan hal
yang sama. Hal ini dapat terjadi karena terjadi karenanya faktor adanya agent,
penjamu dan faktor lingkungan perumahan yang tidak sehat. Faktor penjamu
meliputi daya tahan tubuh. Seseorang dapat terinfeksi penyakit TB Paru ini
apabila adanya agent (Mycobacterium tubercullosis) yang mengkontaminasi udara
kemudian terhirup oleh orang yang sehat dengan jumlah bakteri yang banyak,
lama pajanan yang lama dan tentunya imunitas seseorang yang rendah. Oleh
sebab itu diharapkan pada semua golongan umur agar tetap menjaga daya tahan
tubuhnya dengan cara memakan makanan dengan gizi seimbang, menjaga
kebersihan diri dan kebersihan sanitasi lingkungan perumahan.
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa faktor risiko jenis kelamin tidak
berhubungan dengan kejadian TB paru di wilayah kerja puskesmas Patrang. Dari
hasil wawancara jumlah responden yang terkena TB paru antara jenis kelamin
sama besarnya antara kelompok kasus dan kelompok control tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan antar keduanya hal ini disebabkan karena penyakit TB
paru merupakan penyakit Infeksi paru-paru yang disebabkan oleh kontaminasi
udara oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis yang setiap jenis kelamin
memiliki kesempatan yang sama terhadap infeksi TB paru. TB Paru adalah
penyakit infeksi dan menyerang paru-paru seseorang dengan kondisi mallnutrisi,
rumah yang tak sehat tanpa memandang jenis kelamin.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa rata-rata
responden memiliki pendidikan yang rendah (Pendidikan dasar 9 tahun), sehingga
hal in berdampak terhadap pengetahuan yang rendah mengenai rumah yang
memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan penyakit TB paru, pencegahan, serta
pengobatan. Tingkat Pendidikan seseorang akan mempengaruhi pengetahuan
seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan
42
sebagaimana dengan Keadaan status gizi yang kurang berhubungan erat dengan
penyakit infeksi TB paru. penurunan gizi atau kurang gizi akan memiliki daya
tahan tubuh yang rendah dan sangat rentan terhadap penyakit sehingga reaksi
imunitas terhadap penyakit infeksi menurun. Peningkatan taraf ekonomi sosial,
dan peningkatan daya tahan tubuh dengan makan makanan gizi seimbang dapat
meningkatkan ststus gizi seseorang sehingga terhindar dari serangan Tb Paru.
Penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
kepadatan hunian dengan kejadian TB paru hal ini terjadi sebagaimana bahwa
jumlah penghuni yang semakin banyak akan berpengaruh terhadap kadar oksigen
dalam ruangan tersebut, begitu juga kadar uap air dan suhu udaranya. Dengan
meningkatnya kadar CO2 di udara dalam rumah, maka akan memberi kesempatan
tumbuh dan berkembang biak lebih bagi Mycobacterium tuberculosis. Dengan
demikian akan semakin banyak kuman yang terhisap oleh penghuni rumah
melalui saluran pernafasan.9 Oleh sebab itu untuk menjaga kelembaban dan suhu
maka perlu adanya siklus pertukaran udara baik alami maupun buatan yang dapat
menjaga kesegaran dari ruangan itu sendiri.
Hasil penelitian ini menunjukkan bukti statistik yang kuat bahwa ada
hubungan antara ventilasi dengan kejadian TB paru. dari hasil wawancara yang
telah dilakukan bahwa mayoritas ventilasi yang ada di rumah responden tidak
memenuhi syarat kesehatan dengan luas ventilasi <10% luas lantai sebesar
(69,6%). Rata-rata ventilasi yang ada di rumah responden berukuran kecil dan
pada kenyataannya ada yang tidak mempunyai ventilasi, serta ada jendela yang
jarang terbuka. Hal itulah yang menyebabkan kurangnya pertukaran udara yang
ada di dalam rumah memungkinkan kelembaban juga ikut tinggi, dan pengap.
Kelembaban dalam rumah dapat menjadi tempat perkembangbiakan
Mycobacterium tuberculosis tinggi.
44
BAB 5. PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisis dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa:
1. Terdapat hubungan bermakna antara faktor risiko individu, pendidikan
terakhir dan status gizi terhadap kejadian TB Paru di Puskesmas Patrang.
Sedangkan faktor risiko individu jenis kelamin, usia, dan pengetahuan tidak
memiliki hubungan bermakna dengan kejadian TB Paru di Puskesmas Patrang.
2. Terdapat hubungan bermakna antara faktor risiko lingkungan, luas ventilasi
terhadap kejadian TB Paru di Puskesmas Patrang. Sedangkan faktor risiko
lingkungan, kepadatan hunian, lantai dan dinding rumah tidak memiliki
hubungan bermakna dengan kejadian TB Paru di Puskesmas Patrang.
3. Status gizi merupakan faktor risiko yang paling dominan berpengaruh
terhadap kejadian TB paru di Puskesmas Patrang
5.2 Saran
Bagi Penelitian Selanjutnya
1. Perlu dilakukan penelitian yang ditunjang dengan data sekunder (misalnya
rekam medis) mengenai pengaruh faktor risiko kontak langsung penderita TB
paru terhadap kejadian TB paru.
2. Perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh faktor risiko kontak langsung
penderita TB paru BTA positif terhadap terjadinya penularan anggota keluarga.
DAFTAR PUSTAKA
Guptan, A., Shah, A. 2000. Tuberculosis and diabetes: an appraisal. Ind J Tuberc.
Kapur, A., Harries, A. D., Lonnroth, K., Bygbjerg, C., Lefebvre,P. 2009. Diabetes
and tuberculosis-old associates posing a renewal public health challenge.
US: US EndrocinologY.
World Health Organization, 2012. The Stop Tuberculose Strategy. WHO. 24 : 10-
11.
46
LAMPIRAN
Lampiran 1.
INFORMED CONSENT
Jember,
Saksi Subyek
( ) ( )
47
Lampiran 2.
KUESIONER PENELITIAN
ANALISIS FAKTOR RISIKO INDIVIDU DAN LINGKUNGAN RUMAH
PADA KEJADIAN TB DI PUSKESMAS PATRANG KABUPATEN JEMBER
PADA BULAN NOVEMBER 2018
A. Karakteristik Responden
Data Responden
Petunjuk pengisian: berikan tanda √ (check) pada salah satu jawaban berbentuk
pilihan dan/atau isilah titik-titik dengan tulisan tangan yang sesuai dengan identitas
Bapak/Ibu/Saudara (i)
Nama :…………………………………….
Alamat :…………………………………….
SMP SMA
Diploma Sarjana
B. Pengetahuan
Petunjuk pengisian: Berikan penilaian dengan memberikan tanda √ (check) pada
kolom Benar atau Salah.
No Pernyataan Benar Salah
1. TBC merupakan penyakit keturunan dari orang tua
2. Penyakit TBC disebabkan oleh bakteri TBC
3. Penyebaran penyakit TBC dapat melalui pemakaian
sabun yang digunakan bersama-sama penderita penyakit
TBC
48