Anda di halaman 1dari 52

i

MINIRESEARCH

Analisis Faktor Risiko Individu dan Lingkungan terhadap Kejadian


TB Paru di Puskesmas Patrang pada November 2018

Disusun untuk Melaksanakan tugas Kepaniteraan Klinik Madya SMF/Lab. Ilmu


Kesehatan Masyarakat

Oleh:
Risty Pradana Linggan W 132011101043
Fatmalia Fhierziandrini N 132011101071

Pembimbing:
dr. T. Ninik Widyawati
dr. Dwita Aryadina Rachmawati, M.Kes.

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS JEMBER


SMF/LAB. ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
PUSKESMAS PATRANG
2018
ii

PENGESAHAN

Miniriset “Analisis Faktor Risiko Individu dan Lingkungan terhadap


Kejadian TB Paru di Puskesmas Patrang pada November 2018” telah disahkan
oleh Fakultas Kedokteran Universitas Jember pada:
tanggal :
tempat : Fakultas Kedokteran Universitas Jember

Tim Pembimbing

Pembimbing Lapangan Pembimbing


Kepala Puskesmas Patrang

dr. T. Ninik Widyawati dr. Dwita Aryadina R., M.Kes.


NIP. 197108272002122005 NIP. 198010272008122002

Koordinator IKM

dr. Dwita Aryadina Rachmawati, M.Kes.


NIP. 198010272008122002
iii

PRAKATA

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya
sehingga penulis dapat menyelesaikan miniriset ini. Miniriset ini disusun untuk
menyelesaikan tugas Kepaniteraan Klinik Madya SMF/Lab. Ilmu Kesehatan
Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Jember.
Penyusunan laporan miniriset ini tidak lepas dari bantuan berbagai pihak,
oleh karena itu penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada:
1. dr. Supangat, M.Kes., Ph.D Sp.BA., selaku Dekan Fakultas Kedokteran
Universitas Jember;
2. dr. Dwita Aryadina Rachmawati, M. Kes selaku koordinator IKM Fakultas
Kedokteran Universitas Jemberdan selaku pembimbing keluarga binaan
3. dr. T. Ninik Widyawati, selaku Kepala Puskesmas Patrang dan pembimbing
lapangan yang telah memberikan banyak pengetahuan dan masukan selama
menempuh pendidikan IKM;
4. Rekan kerja di Puskesmas Patrang yang telah memberikan dukungan dan
bantuannya;
5. Semua pihak yang telah memberikan bantuan dalam penyusunan karya tulis
ilmiah ini, yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Penulis juga menerima segala kritik dan saran yang membangun demi
kesempurnaan karya tulis ini. Semoga karya tulis ini bermanfaat bagi pembaca
khususnya untuk perkembangan ilmu pengetahuan dan Fakultas Kedokteran
Universitas Jember.

Jember, Desember 2018

Penulis
1

BAB 1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Tuberkulosis (TB) sampai dengan saat ini masih merupakan salah satu
masalah kesehatan masyarakat di dunia walaupun upaya penanggulangan TB telah
dilaksanakan di banyak negara sejak tahun 1995. Jumlah kasus TB di Indonesia
menurut laporan WHO tahun 2017, diperkirakan ada 1,02 juta kasus TB di
Indonesia (399 per 100.000 penduduk) tetapi yang terlapor hanya 420.000 kasus.
Indonesia merupakan peringkat ke 2 terbanyak setelah India.Angka kematian
pertahun pada kasus TB mencapai 100.000 (41 per 100.000
penduduk).Diperkirakan 63.000 kasus TB bersamaan dengan HIV positif (25 per
100.000 penduduk).
Jawa Timur merupakan penyumbang TB paru terbesar kedua di
Indonesia.Kabupaten Jember menduduki peringkat kedua setelah Surabaya
sebagai penyumbang TB paru terbesar di Jawa Timur dengan jumlah 3.104 orang
(Kemenkes, 2011).Pada tahun 2017, penderita TB di Puskesmas Patrang Jember
mencapai 123 kasus, dengan BTA positif sebanyak 84 (Puskesmas Patrang,
2017).Upaya penanggulangan terus diusahakan namun data dari tahun ketahun di
wilayah ini masih ditemukan penderita TB paru atau bahkan masih jauh untuk
dinyatakan terbebas dari penularan TB paru.
Derajat kesehatan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu lingkungan,
perilaku, pelayanan kesehatan dan keturunan.Faktor paling besar yang
mempengaruhi derajat kesehatan adalah faktor lingkungan dan perilaku masyarkat
sendiri yang dapat merugikan kesehatan.TB merupakan penyakit berbasis
lingkungan.Faktor risiko penularan TB paru akibat lingkungan, meliputi ventilasi,
kepadatan hunian, suhu, pencahayaan dan kelembaban.Sedangkan faktor perilaku
yang menyebabkan penularan TB paru meliputi meludah atau membuang dahak
sembarangan, tidak menutup saat batuk maupun bersin, serta tidak kebiasaan
membuka jendela (Wulandari et al., 2017).
2

Rumah dengan kondisi tidak sehat atau tidak memenuhi syarat kesehatan
apat sebagai media penularan penyakit pernafasan yang salah satunya adalah
penyakit TB paru.TB dapat diperburuk dengan kondisi sanitasi perumahan yang
buruk, khususnya pada pemukiman padat dan penduduk miskin (Jauhari,
2015).Penderita TB paru dapat menyebarkan kuman ke udara dalam bentuk
percikan dahak pada waktu batuk dan bersin, sekali batuk dapat menghasilkan
sekitan 3000 percikan dahak.Percikan dahak yang mengandung kuman dapat
bertahan di udara pada suhu kamar selama beberapa jam.Orang dapat terinfeksi
jika percikan terhirup dalam saluran napas.
Berdasar latar belakang di atas, maka pepeneliti perlu menganalisis faktor
risiko individu dan lingkungan terhadapkejadian TB di Puskesmas Patrang
Kabupaten Jember.

1.2 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan, rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah apakah faktor risiko individu dan lingkungan
berhubungan terhadap kejadian TB di Puskesmas Patrang Kabupaten Jember?

1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui hubungan faktor risiko individu dan lingkungan terhadap kejadian TB
di Puskesmas Patrang Kabupaten Jember.

1.4 Manfaat
Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada beberapa pihak,
antara lain sebagai berikut.
a. Bagi Puskesmas Patrang, sebagai bahan masukan dan pertimbangan kepada
pihak pemegang kebijakan dalam usaha preventif mengatasi masalah TB
paru di Puskesmas Patrang.
3

b. Bagi akademisi, sebagai bahan perbandingan dan referensi untuk studi atau
penelitian pada masa yang akan datang.
c. Bagi peneliti, sebagai bahan pengembangan wawasan keilmuan dan wacana
pengembangan penulisan mengenai faktor risiko individu dan lingkungan
tuberkulosis paru.
d. Bagi praktisi kedokteran layanan primer, sebagai pengetahuan dan bahan
pertimbangan strategi usaha preventif program TB dalam yang akan
diterapkan dalam melakukan praktik kedokteran layanan primer.
4

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Tuberkulosis Paru


2.1.1 Definisi
Tuberkulosis (TB) adalah penyakit radang pareknim paru karena infeksi
kuman Mycobacterium tuberculosa.Tuberkulosis paru termasuk suatu pneumonia,
yaitu pneumonia yang disebabkan oleh M. tuberculosa (Darmanto, 2014).
Menurut Kemnkes (2016) TB merupakan penyakit infeksi menular yang
disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis.TB adalah penyakit
infeksius, yang terutama menyerangparenkim paru.Sebagian besar kuman TB
menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ tubuh lainnya termasuk
meninges, ginjal, tulang dan kelenjar limfonoid.

2.1.2 Etiologi
Penyebab dari penyakit ini adalah bakteri Mycobacterium
tuberculosis.Adanya infeksi Mycobacterium tuberculosis dalam paru dapat
memicu reaksi inflamasi kronik yang menimbulkan gejala klinik.Mycobacterium
tuberculosis berbentuk batang, tidak berspora dan tidak berkapsul. Berukuran
lebar 0,3-0,6 μm dan 1-4 μm. Dinding Mycobacteriumtuberculosis tersusun dari
lapisan lemak hingga mencapai 60% yang terdiri darilipoarabinomanan, asam
mikolat yang mengandung glikolipid, sulfolipid dan 19 kDa lipoprotein yang
berperan dalam virulensinya. Struktur dinding sel yang kompleks tersebut
menyebabkan Mycobacterium tuberculosis bersifat tahan asam pada pewarnaan
Ziehl Nielson (Karakousis et al, 2004). Selain itu, bakteri ini juga tahan terhadap
suasana kering dan dingin. Bakteri ini dapat bertahan pada kondisi rumah atau
lingkungan yang lembab dan gelap bisa sampai berbulan-bulan, namun bakteri ini
tidak tahan atau dapat mati apabila terkena sinar, matahari atau aliran udara
(Widoyono, 2011).

2.1.3 Patogenesis
5

Paru merupakan port d’entrée lebih dari 98% kasus infeksi TB.Karena
ukurannya yang sangat kecil, kuman TB dalam percik renik (droplet nuclei) yang
terhirup, dapat mencapai alveolus. Masuknya kuman TB ini akan segera diatasi
oleh mekanisme imunologis non spesifik. Makrofag alveolus akan menfagosit
kuman TB dan biasanya sanggup menghancurkan sebagian besar kuman TB.
Akan tetapi, pada sebagian kecil kasus, makrofag tidak mampu menghancurkan
kuman TB dan kuman akan bereplikasi dalam makrofag. Kuman TB dalam
makrofag yang terus berkembang biak, akhirnya akan membentuk koloni di
tempat tersebut. Lokasi pertama koloni kuman TB di jaringan paru disebut Fokus
Primer GOHN.
Dari fokus primer, kuman TB menyebar melalui saluran limfe menuju
kelenjar limferegional, yaitu kelenjar limfe yang mempunyai saluran limfe ke
lokasi fokus primer.Penyebaran ini menyebabkan terjadinya inflamasi di saluran
limfe (limfangitis) dan dikelenjar limfe (limfadenitis) yang terkena. Jika fokus
primer terletak di lobus parubawah atau tengah, kelenjar limfe yang akan terlibat
adalah kelenjar limfe parahilus,sedangkan jika fokus primer terletak di apeks paru,
yang akan terlibat adalahkelenjar paratrakeal. Kompleks primer merupakan
gabungan antara fokus primer,kelenjar limfe regional yang membesar
(limfadenitis) dan saluran limfe yangmeradang (limfangitis).
Waktu yang diperlukan sejak masuknya kuman TB hingga terbentuknya
kompleksprimer secara lengkap disebut sebagai masa inkubasi TB. Hal ini
berbeda denganpengertian masa inkubasi pada proses infeksi lain, yaitu waktu
yang diperlukan sejakmasuknya kuman hingga timbulnya gejala penyakit. Masa
inkubasi TB biasanyaberlangsung dalam waktu 4-8 minggu dengan rentang waktu
antara 2-12 minggu.Dalam masa inkubasi tersebut, kuman tumbuh hingga
mencapai jumlah 103-104,yaitu jumlah yang cukup untuk merangsang respons
imunitas seluler.
Selama berminggu-minggu awal proses infeksi, terjadi pertumbuhan
logaritmikkuman TB sehingga jaringan tubuh yang awalnya belum tersensitisasi
terhadap tuberkulin, mengalami perkembangan sensitivitas. Pada saat
6

terbentuknya kompleksprimer inilah, infeksi TB primer dinyatakan telah


terjadi.Hal tersebut ditandai olehterbentuknya hipersensitivitas terhadap
tuberkuloprotein, yaitu timbulnya respons positif terhadap uji tuberkulin.Selama
masa inkubasi, uji tuberkulin masih negatif.Setelah kompleks primer terbentuk,
imunitas seluler tubuh terhadap TB telahterbentuk.Pada sebagian besar individu
dengan sistem imun yang berfungsi baik, begitu sistem imun seluler berkembang,
proliferasi kuman TB terhenti.Namun,sejumlah kecil kuman TB dapat tetap hidup
dalam granuloma. Bila imunitas selulertelah terbentuk, kuman TB baru yang
masuk ke dalam alveoli akan segeradimusnahkan.
Setelah imunitas seluler terbentuk, fokus primer di jaringan paru
biasanyamengalami resolusi secara sempurna membentuk fibrosis atau kalsifikasi
setelahmengalami nekrosis perkijuan dan enkapsulasi. Kelenjar limfe regional
juga akanmengalami fibrosis dan enkapsulasi, tetapi penyembuhannya biasanya
tidak sesempurna fokus primer di jaringan paru. Kuman TB dapat tetap hidup
danmenetap selama bertahun-tahun dalam kelenjar ini.
Kompleks primer dapat juga mengalami komplikasi.Komplikasi yang
terjadi dapat disebabkan oleh fokus paru atau di kelenjar limfe regional.Fokus
primer di parudapat membesar dan menyebabkan pneumonitis atau pleuritis fokal.
Jika terjadinekrosis perkijuan yang berat, bagian tengah lesi akan mencair dan
keluar melaluibronkus sehingga meninggalkan rongga di jaringan paru (kavitas).
Kelenjar limfehilus atau paratrakea yang mulanya berukuran normal saat awal
infeksi, akanmembesar karena reaksi inflamasi yang berlanjut.Bronkus dapat
terganggu.Obstruksi parsial pada bronkus akibat tekanan eksternal dapat
menyebabkanateletaksis.Kelenjar yang mengalami inflamasi dan nekrosis
perkijuan dapatmerusak dan menimbulkan erosi dinding bronkus, sehingga
menyebabkan TBendobronkial atau membentuk fistula.Massa kiju dapat
menimbulkan obstruksikomplit pada bronkus sehingga menyebabkan gabungan
pneumonitis danateletaksis, yang sering disebut sebagai lesi segmental kolaps-
konsolidasi.
7

Selama masa inkubasi, sebelum terbentuknya imunitas seluler, dapat


terjadipenyebaran limfogen dan hematogen.Pada penyebaran limfogen, kuman
menyebarke kelenjar limfe regional membentuk kompleks primer.Sedangkan
padapenyebaran hematogen, kuman TB masuk ke dalam sirkulasi darah dan
menyebarke seluruh tubuh.Adanya penyebaran hematogen inilah yang
menyebabkan TBdisebut sebagai penyakit sistemik.
Penyebaran hamatogen yang paling sering terjadi adalah dalam bentuk
penyebaranhematogenik tersamar (occult hamatogenic spread). Melalui cara ini,
kuman TB menyebar secara sporadik dan sedikit demi sedikit sehingga tidak
menimbulkangejala klinis. Kuman TB kemudian akan mencapai berbagai organ di
seluruh tubuh.Organ yang biasanya dituju adalah organ yang mempunyai
vaskularisasi baik,misalnya otak, tulang, ginjal, dan paru sendiri, terutama apeks
paru atau lobus atasparu. Di berbagai lokasi tersebut, kuman TB akan bereplikasi
dan membentuk kolonikuman sebelum terbentuk imunitas seluler yang akan
membatasi pertumbuhannya.
Di dalam koloni yang sempat terbentuk dan kemudian dibatasi
pertumbuhannya olehimunitas seluler, kuman tetap hidup dalam bentuk
dorman.Fokus ini umumnya tidaklangsung berlanjut menjadi penyakit, tetapi
berpotensi untuk menjadi focusreaktivasi.Fokus potensial di apkes paru disebut
sebagai Fokus SIMON.Bertahun-tahunkemudian, bila daya tahan tubuh pejamu
menurun, fokus TB ini dapatmengalami reaktivasi dan menjadi penyakit TB di
organ terkait, misalnya meningitis,TB tulang, dan lain-lain.

2.1.4 Diagnosis
Diagnosis TB paru berdasarkan pada anamnesis, pemeriksaan fisik, dan
pemeriksaan penunjang.Anamnesis dilakukan untuk mencari gejala klinis yang
khas pada TB dan faktor risiko yang ada pada pasien.Pemeriksaan fisik ditujukan
untuk menilai kondisi umum pasien, namun sulit menilai kerusakan yang ada di
dalam paru secara palpasi, perkusi dan auskultasi (Depkes RI, 2011).Gejala klinis
pada TB paru meliputi gejala sistemik dan gejala respiratorik.
8

a. Gejala sistemik
Gejala sistemik yang sering menyertai TB adalah demam, malaise, keringat
malam, anoreksia dan penurunan berat yang signifikan.

b. Gejala respiratorik
Gejala respiratorik yang sering menyertai TB adalah batuk lebih dari 2
minggu, batuk darah, sesak nafas dan nyeri dada.Gejala ini sangat bervariasi
tergantung pada luas lesi yang terdapat pada paru.Manifestasi batuk timbul saat
bronkus mengalami iritasi oleh karena adanya sekret yang dihasilkan dari
inflamasi Mycobacterium tuberculosis (Depkes RI, 2011).
Pada pemeriksaan fisik TB paru, kelainan yang didapat tergantung luas
kelainan struktur paru.Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit umumnya
tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan.Kelainan paru pada umumnya
terletak di daerah lobus superior terutama daerah apeks dan segmen posterior (S1
& S2), serta daerah apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan jasmani dapat
ditemukan antara lain suara napas bronkial, amforik, suara napas melemah, ronki
basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma dan mediastinum.
Pada pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan adalah pemeriksaan
sputum dan foto thoraks.Pemeriksaan sputum menggunakan metode sewaktu pagi
sewaktu (SPS) dilakukan untuk mendiagnosis, menilai keberhasilan pengobatan
dan menentukan potensi penularan. Apabila dalam 3 kali pemeriksaan didapatkan
3 kali positif, 2 kali positif, atau 1 kali positif dalam 2 kali pengulangan maka
dapat diagnosis positif TB. Namun, apabila tidak memenuhi kriteria tersebut,
namun gejala klinis mendukung TB, maka dapat dilakukan pemeriksaan
penunjang berupa pemeriksaan radiologik berupa foto rontgen thoraks PA.
Apabila ditemukan gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB aktif
(cavitas terutama lebih dari satu yang dikelilingi bayangan opak berawan atau
nodular, bercak milier, nodul di segmen apeks maupun posterior, efusi pleura),
9

maka dapat didiagnosis BTA negatif dengan rontgen positif yang merupakan
diagnosis positif TB.

2.1.5 Penularan
Risiko penularan tergantung dari tingkat pajanan dengan
percikandahak.Pasien TB paru dengan BTA positif memberikan
kemungkinanrisiko penularan lebih besar dari pasien TB paru dengan BTA
negatif.Risiko penularan setiap tahunnya ditunjukkan dengan Annual Risk of
Tuberculosis Infection (ARTI) yaitu proporsi penduduk yang berisikoterinfeksi
TB selama satu tahun.ARTI sebesar 1 %, berarti sepuluh orangdiantara 1000
penduduk terinfeksi setiap tahun.ARTI di Indonesiabervariasi antara 1-3%.Faktor
yang mempengaruhikemungkinan seseorang menjadi pasien TB adalah daya tahan
tubuh yangrendah, diantaranya adalah infeksi HIV/AIDS dan gizi buruk
(Kemenkes, 2016).
Sumber penularan adalah pasien TB paru dengan BTA positif,yaitupada
waktu pasien batuk atau bersin dapat menyebarkan kuman ke udaradalam bentuk
percikan ludah (droplet).Droplet yang mengandung kumandapat bertahan di udara
pada suhu kamar selama beberapa jam.Orangdapat terinfeksi kalau droplet
tersebut terhirup ke dalam saluranpernafasan dan daya tahan tubuh seseorang
dalam keadaan lemah pula (Kemenkes, 2016).
Daya penularan dari seorang pasien ditentukan oleh banyaknya kumanyang
dikeluarkan dari dalam paru-parunya.Makin tinggi derajat positif dari hasil
pemeriksaan dahak secara mikroskopis makin mudah untukmenularkan.Bila hasil
pemeriksaan dahak negatif maka pasien tersebuttidak menular, dari seseorang
yang terinfeksi ditentukan oleh konsentrasidroplet dalam udara dan lamanya
menghirup udara tersebut (Kemenkes, 2016).

2.1.6 Pengobatan
Pengobatan bertujuan untuk menyembuhkan
pasien,mencegahkematian,mencegah kekambuhan,memutuskan rantai penularan
10

danmencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.Pengobatan TBdiberikan


dalam 2 tahap,yaitu tahap intensif dan lanjutan (Kemenkes, 2016).
a. Tahap Awal (Intensif)
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan perludiawasi
secara langsung untuk mencegah terjadinya resistensi obat.Bilapengobatan tahap
intensif tersebut diberikan secara tepat, biasanya pasienmenular menjadi tidak
menular dalam kurun waktu 2 minggu.Sebagianbesar pasien TB BTA positif
menjadi BTA negatif (konversi) dalam 2bulan.

b. Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit, namundalam
jangka waktu yang lebih lama.Tahap lanjutan penting untukmembunuh kuman
persisten sehingga mencegah terjadinya kekambuhan (Kemenkes, 2016).
Paduan OAT yang digunakan oleh Program Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis di Indonesia, yaitu Kategori I:2HRZE/4(HR)3. Tahap intensif ini
terdiri dari isoniasid (H), Rifampisin(R),Pirazinamid (Z) dan Ethambutol (E), obat
tersebut diberikan setiap hariselama 2 bulan, kemudian diteruskan tahap
selanjutnya terdiri dariIsoniazid dan Rifampisin diberikan 3 kali dalam seminggu
selama 4 bulan. Obat ini diberikan untuk: (1) Penderita baru TB paru BTA positif,
(2)Penderita TB paru BTA negatif rontgen positif yang sakit berat. (3)Penderita
TB ekstra paru berat.
Kategori 2: 2HRZ(S)/HRZE/5(HR)3E3,tahap intensif ini diberikan selama 3
bulan yang terdiri dari 2 bulan dengan isoniazid, rifampisin, pirazinamid,
ethambutol dan suntikan streptomisin setiap hari. Dilanjutkandengan 1 bulan
dengan isoniasid,rifampisin,pirazinamid, dan etambutol setiap hari. Setelah itu,
dilanjutkan tahap berikutnya selama 5 bulan denganRHE yang diberikan 3 kali
dalam seminggu.Perlu diperhatikan bahwas untikan streptomisin diberikan setelah
penderita minum obat. Obat ini diberikan untuk: (1) penderita kambuh; (2)
penderita gagal; (3) penderitadengan pengobatan setelah lalai. OAT sisipan
(HRZE), bila pada akhirtahap intensif pengobatan penderita baru BTA positif
11

dengan kategori 1 atau penderita BTA positif pengobatan ulang dengan kategori 2,
hasilpemeriksaan dahak masih BTA positif, diberikan obat (HRZE) setiap hari
selama sebulan (Kemenkes, 2016).
Kemasan OAT dapat secara tunggal maupun kombinasi dosis tetap.
Keuntungan kombinasi dosis tetap antara lain:
a. Penatalaksanaan sederhana dengan kesalahan pembuatan resep minimal
b. Peningkatan kepatuhan dan penerimaan pasien dengan penurunan
kesalahan pengobatan yang tidak disengaja
c. Peningkatan kepatuhan tenaga kesehatan terhadap penatalaksanaan yang
benar dan standar
d. Perbaikan manajemen obat karena jenis obat lebih sedikit
e. Menurunkan risiko penyalahgunaan obat tunggal dan MDR akibat
penurunan penggunaan monoterapi
Penentuan dosis terapi kombinasi dosis tetap 4 obat berdasarkan rentang
dosis yang telah ditentukan oleh WHO merupakan dosis yang efektif atau masih
termasuk dalam batas dosis terapi dan non toksik.Pada kasus yang mendapat obat
kombinasi dosis tetap tersebut, bila mengalami efek samping serius harus dirujuk
ke rumah sakit/ dokter spesialis paru/ fasiliti yang mampu menanganinya.

2.2 Faktor Risiko Penyakit Tuberculosis


Faktor risiko adalah semua variabel yang berperan terhadap timbulnya
penyakit. Pada dasarnya berbagai faktor risiko TBC saling berkaitan satu sama
lain. Faktor risiko yang berperan dalam kejadian penyakit tuberkulosis adalah
faktor karakteristik individu dan faktor risiko lingkungan.

2.2.1 Faktor Karakteristik Individu


Beberapa faktor karakteristik individu yang menjadi faktor risiko terhadap
kejadian TB Paru adalah:
a. Faktor Umur
12

Beberapa faktor risiko penularan penyakit tuberkulosis di Amerika yaitu


umur, jenis kelamin, ras, asal negara bagian, serta infeksi AIDS.Variabel
umur berperan dalam kejadian penyakit TBC.Dari hasil penelitian yang
dilaksanakan di New York pada Panti penampungan orang-orang
gelandangan menunjukkan bahwa kemungkinan mendapat infeksi
tuberkulosis aktif meningkat secara bermakna sesuai dengan umur. Prevalensi
tubekulosis paru tampaknya meningkat seiring dengan peningkatan usia. Pada
wanita prevalensi mencapai maksimum pada usia 40-50 tahun dab kemudian
berkurang sedangkan pada pria prevalensi terus meningkat sampai sekurang-
kurangnya mencapai usia 60 tahun (Crofton, 2002)
Risiko untuk mendapatkan TBC dapat dikatakan seperti halya kurva
terbalik, yakni tinggi ketika awalnya, menurun ketika di atas dua tahun
hingga dewasa memiliki daya tangkal terhadap TBC dengan baik. Puncaknya
tentu dewasa muda, dan menurun kembali ketika seseorang atau kelompok
menjelang usia tua. (Warren, 1994, Daniel dalam Horrison, 1991, dalam
Achmadi 2005).
Berdasarkan hasil penelitian di Singapura tahun 1987 menyatakan bahwa
sebanyak 31,11 % penderita tuberkulosis paru berada pada usia 60 tahun atau
lebih dan 19,17 % berda pada usia antara 40- 49 tahun. Sedangkan hasil
penelitian di Brunai Darussalam tahun 1995 sebanyak 23,85 % penderita TB
berusia 60 tahun atau lebih dan 73,85 % penderita berusia antara 15-69 tahun
(Aditama, 1990 dalam Ayunah, 2008 ).
Berdasarkan survey Riskesdas 2013, semakin bertambah usia,
prevalensinya semakin tinggi. Kemungkinan terjadi re-aktivasi TBC dan
durasi paparan TBC lebih lama dibandingkan kelompok umur di bawahnya
(Depkes, 2017).Di Indonesia diperkirakan 75% penderita TB Paru adalah
kelompok usia produktif yaitu 15-50 tahun (Depkes, 2007).

b. Faktor Jenis kelamin


13

Prevalensi tubekulosis paru tampaknya meningkat seiring dengan


peningkatan usia. Angka pada pria selalu cukup tinggi pada semua usia tetapi
angka pada wanita cenderung menurun tajam sesudah melampaui usia subur.
Wanita sering mendapat tubrkulosis paru sesudah bersalin (Crofton, 2002)
Di benua Afrika banyak tuberkulosis terutama menyerang laki-laki. Pada
tahun 1996 jumlah penderita TB Paru laki-laki hampir dua kali lipat
dibandingkan jumlah penderita TB Paru pada wanita, yaitu 42,34% pada laki-
laki dan 28,9 % pada wanita. Antara tahun 1985-1987 penderita TB paru laki-
laki cenderung meningkat sebanyak 2,5%, sedangkan penderita TB Paru pada
wanita menurun 0,7%. TB paru lebih banyak terjadi pada laki-laki
dibandingkan dengan wanita karena laki-laki sebagian besar mempunyai
kebiasaan merokok sehingga memudahkan terjangkitnya TB paru . Pada
beberapa studi dengan caracross sectional dan longitudinal menunjukkan
bahwa pekembangan TB aktif tergantung pada gender. Pada penelitian kohor
di Bangkore di India menunjukkan hasil wanita memiki risiko lebih tinggi di
bandingkan dengan pria (Nelson, 2001)
Dari catatan statistik mayoritas penderita TB paru adalah wanita tetapi
hal ini memerlukan penyelidikan dan penelitian yang lebih lanjut, untuk
sementara di duga jenis kelamin perempuan merupakan faktor risiko (Ahmadi,
2005).
Jumlah kasus baru TB di Indonesia sebanyak 420.994 kasus pada tahun
2017 (data per 17 Mei 2018). Berdasarkan jenis kelamin, jumlah kasus baru
TBC tahun 2017 pada laki-laki 1,4 kali lebih besar dibandingkan pada
perempuan. Bahkan berdasarkan Survei Prevalensi Tuberkulosis prevalensi
pada laki-laki 3 kali lebih tinggi dibandingkan pada perempuan. Begitu juga
yang terjadi di negara-negara lain. Hal ini terjadi kemungkinan karena laki-
laki lebih terpapar pada fakto risiko TBC misalnya merokok dan kurangnya
ketidakpatuhan minum obat. Survei ini menemukan bahwa dari seluruh
partisipan laki-laki yang merokok sebanyak 68,5% dan hanya 3,7% partisipan
perempuan yang merokok (Depkes, 2017).
14

c. Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap pengetahuan
seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan
pengetahuan penyakit TB Paru, sehingga dengan pengetahuan yang cukup
maka seseorang akan mencoba untuk mempunyai perilaku hidup bersin dan
sehat. Selain itu tingkat pedidikan seseorang akan mempengaruhi terhadap
jenis pekerjaannya.Gambaran kesakitan menurut pendidikan menunjukkan,
prevalensi semakin rendah seiring dengan tingginya tingkat pendidikan
(Depkes, 2017).

d. Pekerjaan
Jenis pekerjaan menentukan faktor risiko apa yang harus dihadapi setiap
individu. Bila pekerja bekerja di lingkungan yang berdebu paparan partikel
debu di daerah terpapar akan mempengaruhi terjadinya gangguan pada
saluran pernafasan. Paparan kronis udara yang tercemar dapat meningkatkan
morbiditas, terutama terjadinya gejala penyakit saluran pernafasan dan
umumnya TB Paru.
Jenis pekerjaan seseorang juga mempengaruhi terhadap pendapatan
keluarga yang akan mempunyai dampak terhadap pola hidup sehari-hari
diantara konsumsi makanan, pemeliharaan kesehatan selain itu juga akan
mempengaruhi terhadap kepemilikan rumah (kontruksi rumah). Kepala
keluarga yang mempunyai pendapatan dibawah UMR akan mengkonsumsi
makanan dengan kadar gizi yang tidak sesuai dengan kebutuhan bagi setiap
anggota keluarga sehingga mempunyai status gizi yang kurang dan akan
memudahkan untuk terkena penyakit infeksi diantaranya TB Paru. Dalam hal
jenis kontruksi rumah dengan mempunyai pendapatan yang kurang maka
kontruksi rumah yang dimiliki tidak memenuhi syarat kesehatan sehingga
akan mempermudah terjadinya penularan penyakit TB Paru.
15

e. Kebiasaan Merokok
Merokok diketahui mempunyai hubungan dengan meningkatkan risiko
untuk mendapatkan kanker paru-paru, penyakit jantung koroner, bronchitis
kronik dan kanker kandung kemih. Kebiasaan merokok meningkatkan risiko
untuk terkena TB paru sebanyak 2,2 kali. Pada tahun 1973 konsumsi rokok di
Indonesia per orang per tahun adalah 230 batang, relatif lebih rendah dengan
430 batang/orang/tahun di Sierra Leon, 480 batang/orang/tahun di Ghana dan
760 batang/orang/tahun di Pakistan (Achmadi, 2005). Prevalensi merokok
pada hampir semua negara berkembang lebih dari 50% terjadi pada laki-laki
dewasa, sedangkan wanita perokok kurang dari 5%. Dengan adanya
kebiasaan merokok akan mempermudah untuk terjadinya infeksi TB Paru.
Pada Survei Prevalensi Tuberkulosis prevalensi pada laki-laki 3 kali lebih
tinggi dibandingkan pada perempuan.Hal ini terjadi kemungkinan karena
laki-laki lebih terpapar pada salah satu fakto risiko TBC, yaitu merokok.
Survei ini menemukan bahwa dari seluruh partisipan laki-laki yang merokok
sebanyak 68,5% dan hanya 3,7% partisipan perempuan yang merokok
(Depkes, 2017).

f. Status Gizi
Status gizi merupakan variable yang sangat berperan dalam timbulnya
kejadian TB Paru. Tetapi hal ini masih dipengaruhi oleh faktor –faktor yang
lainnya seperti ada tidaknya kuman TBC pada paru.. Karena kuman TBC
merupakan kuman yang dapat “tidur” bertahun-tahun dan apabila memiliki
kesempatan “bangun” dan menimbulkan penyakit maka timbullah kejadian
penyakit TB paru. Oleh sebab itu salah satu upaya untuk menangkalnya
adalah stus gizi yang baik, baik untuk wanita, laki-laki, anak-anak maupun
dewasa.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa orang dengan status gizi kurang
mempunyai risiko 3,7 kali untuk menderita TB Paru berat dibandingkan
dengan orang yang status gizinya cukup atau lebih. Kekurangan gizi pada
16

seseorang akan berpengaruh terhadap kekuatan daya tahan tubuh dan respon
immunologik terhadap penyakit (Achmadi, 2005).

g. Kondisi Sosial Ekonomi


Keadaan sosial ekonomi berkaitan erat dengan pendidikan, keadaan
sanitasi lingkungan, gizi dan akses terhadap pelayanan kesehatan. Penurunan
pendapatan dapat menyebabkan kurangnya kemampuan daya beli dalam
memenuhi konsumsi makanan sehingga akan berpengaruh terhadap status
gizi. Apabila status gizi buruk maka akan menyebabkan kekebalan tubuh
yang menurun sehingga memudahkan terkena infeksi TB Paru.
WHO (2003) menyebutkan penderita TB Paru di dunia menyerang
kelompok sosial ekonomi lemah atau miskin. Walaupun tidak berhubungan
secara langsung namun dapat merupakan penyebab tidak langsung seperti
adanya kondisi gizi memburuk, perumahan tidak sehat, dan akses terhadap
pelayanan kesehatan juga menurun kemampuannya. Menurut perhitungan
rata-rata penderita TBC kehilangan tiga sampai empat bulan waktu kerja
dalam setahun.Mereka juga kehilangan penghasilan setahun secara total
mencapai 30 % dari pendapatan rumah tangga (Ahmadi, 2005).
Pada sebuah penelitian yang dilakukan Depkes diketahui bahwa angka
kesakitan TBC menurut kuintil indeks kepemilikian menunjukkan tidak ada
perbedaan antara kelompok terbawah sampai dengan menengah
atas.Perbedaan hanya terjadi pada kelompok teratas.Hal ini berarti risiko TBC
dapat terjadi pada hampir semua tingkatan sosial ekonomi (Depkes, 2017).

h. Perilaku
Perilaku seseorang yang berkaitan dengan penyakit TB adalah perilaku
yang mempengaruhi atau memjadikan seseorang untuk mudah terinfeksi atau
tertular kuman TB misalnya kebiasaan membuka jendela setiap hari, menutup
mulut bila batuk atau bersin, meludah sembarangan, merokok dan kebiasaan
menjemur kasur ataupun bantal (Edwan, 2008).
17

Perilaku dapat terdiri dari pengetahuan, sikap dan tindakan. Pengetahuan


penderita TB Paru yang kurang tentang cara penularan, bahaya dan cara
pengobatan akan berpengaruh terhadap sikap dan prilaku sebagai orang sakit
dan akhinya berakibat menjadi sumber penular bagi orang disekelilingnya.

2.2.2 Faktor Risiko Lingkungan


Beberapa faktor lingkungan yang menjadi faktor risiko terhadap kejadian
TB Paru adala :
a. Kepadatan hunian
Luas lantai bangunan rumah sehat harus cukup untuk penghuni di
dalamnya, artinya luas lantai bangunan rumah tersebut harus disesuaikan
dengan jumlah penghuninya agar tidak menyebabkan overload. Hal ini tidak
sehat, sebab disamping menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen juga bila
salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, akan mudah menular
kepada anggota keluarga yang lain (Notoatmodjo, 2003).
Persyaratan kepadatan hunian untuk seluruh rumah biasanya dinyatakan
dalam m2/orang.Luas minimum per orang sangat relatif tergantung dari
kualitas bangunan dan fasilitas yang tersedia.Untuk rumah sederhana luasnya
minimum 10 m2/orang.Untuk kamar tidur diperlukan luas lantai minimum 3
m2/orang. Untuk mencegah penularan penyakit pernapasan, jarak antara tepi
tempat tidur yang satu dengan yang lainnya minimum 90 cm. Kamar tidur
sebaiknya tidak dihuni lebih dari dua orang, kecuali untuk suami istri dan
anak di bawah 2 tahun (Kepmenkes, 1999). Untuk menjamin volume udara
yang cukup, disyaratkan juga langit-langit minimum tingginya 2,75 m.

b. Pencahayaan
Rumah yang sehat memerlukan cahaya yang cukup, tidak kurang dan
tidak terlalu banyak.Kurangnya cahaya yang masuk ke dalam ruangan rumah,
terutama cahaya matahari disamping kurang nyaman, juga merupakan media
atau tempat yang baik untuk hidup dan berkembangnya bibit-bibit penyakit.
18

Sebaliknya terlalu banyak cahaya didalam rumah akan menyebabkan silau


dan akhirnya dapat merusakkan mata (Notoatmodjo, 2003).
Untuk memperoleh cahaya cukup pada siang hari diperlukan minimal
pencahayaan dalam rumah sebesar 60 lux (Kepmenkes, 1999).Jika peletakan
jendela kurang baik atau kurang leluasa maka dapat dipasang genteng
kaca.Cahaya ini sangat penting karena dapat membunuh bakteri-bakteri
patogen di dalam rumah, misalnya basil TB, karena itu rumah yang sehat
harus mempunyai jalan masuk cahaya yang cukup.
Cahaya dapat dibedakan menjadi 2, yakni cahaya alamiah dan cahaya
buatan. Cahaya alamiah yaitu cahaya matahari yang mengandung sinar
ultraviolet.Cahaya ini sangat penting karena dapat membunuh bakteri-bakteri
patogen didalam rumah, misalnya baksil TBC. Sedangkan cahaya buatan
adalah dengan menggunakan sumber cahaya yang bukan alamiah, seperti
lampu minyak tanah, listrik, api dan sebagainya. Cahaya matahari minimal
masuk 60 lux dengan syarat tidak menyilaukan Semua cahaya pada dasarnya
dapat mematikan, namun tergantung jenis dan lama cahaya tersebut
(Achmadi, 2005), sinar matahari langsung dapat mematikan bakteri TB Paru
dalam 5 menit (Crofton, 2002).
Intensitas pencahayaan minimum yang diperlukan 10 kali lilin atau
kurang lebih 60 lux., kecuali untuk kamar tidur diperlukan cahaya yang lebih
redup.Semua jenis cahaya dapat mematikan kuman hanya berbeda dari segi
lamanya proses mematikan kuman untuk setiap jenisnya.Cahaya yang sama
apabila dipancarkan melalui kaca tidak berwarna dapat membunuh kuman
dalam waktu yang lebih cepat dari pada yang melalui kaca berwama
Penularan kuman TB Paru relatif tidak tahan pada sinar matahari. Bila sinar
matahari dapat masuk dalam rumah serta sirkulasi udara diatur maka risiko
penularan antar penghuni akan sangat berkurang.

c. Ventilasi
19

Yang di maksud dengan ventilasi adalah proses di mana udara bersih dari
luar ruang sengaja di alirkan kedalam ruang dan udara yang buruk dari dalam
ruang di keluarkan (Pujiastuti, 1998).
Ventilasi mempunyai banyak fungsi. Fungsi pertama adalah untuk
menjaga agar aliran udara didalam rumah tersebut tetap segar. Hal ini berarti
keseimbangan oksigen yang diperlukan oleh penghuni rumah tersebut tetap
terjaga. Kurangnya ventilasi akan menyebabkan kurangnya oksigen di dalam
rumah, disamping itu kurangnya ventilasi akan menyebabkan kelembaban
udara di dalam ruangan naik karena terjadinya proses penguapan cairan dari
kulit dan penyerapan. Kelembaban ini akan merupakan media yang baik
untuk pertumbuhan bakteri-bakteri patogen, misalnya kuman TB. Fungsi
kedua dari ventilasi itu adalah untuk membebaskan udara ruangan dari
bakteri-bakteri, terutama bakteri patogen, karena di situ selalu terjadi aliran
udara yang terus menerus. Bakteri yang terbawa oleh udara akan selalu
mengalir. Fungsi lainnya adalah untuk menjaga agar ruangan kamar tidur
selalu tetap di dalam kelembaban (humiditiy) yang optimum (Notoatmodjo,
2003).
Ada 2 macam ventilasi, yakni ventilasi alamiah dan buatan.Ventilasi
alamiah maksudnya adalah aliran udara di dalam ruangan tersebut terjadi
secara alamiah melalui jendela, pintu, lubang angin, lubang-lubang pada
dinding dan sebagainya.Sedangkan ventilasi buatan adalah dengan
mempergunakan alat-alat khusus untuk mengalirkan udara tersebut, misalnya
kipas angin dan mesin pengisap udara (Notoatmodjo, 2003).
Untuk sirkulasi yang baik diperlukan paling sedikit luas lubang ventilasi
sebesar 10% dari luas lantai (Kepmenkes, 1999).Untuk luas ventilasi
permanen minimal 5% dari luas lantai dan luas ventilasi insidentil (dapat
dibuka tutup) 5% dari luas lantai. Udara segar juga diperlukan untuk menjaga
temperatur dan kelembaban udara dalam ruangan. Umumnya temperatur yang
nyaman berkisar 18°-30°C dari kelembaban udara berkisar 40%-70%
(Kepmenkes, 1999).
20

d. Kondisi Rumah
Kondisi rumah dapat menjadi salah satu faktor risiko penularan penyakit
TBC.Atap, dinding dan lantai dapat menjadi tempat perkembang biakan
kuman.Lantai dan dinding yang sulit dibersihkan dan tidak kedap air akan
menyebabkan penumpukan debu, sehingga akan dijadikan sebagai media
yang baik bagi berkembangbiaknya kuman Mycrobacterium tuberculosis
(Achmadi, 2005).

e. Kelembaban Udara
Kelembaban udara dalam ruangan untuk memperoleh kenyamanan,
dimana kelembaban berkisar 40%-60% dengan suhu udara yang nyaman 18°-
30°C. Kuman TB Paru akan cepat mati bila terkena sinar matahari langsung,
tetapi dapat bertahan hidup selama beberapa jam di tempat yang gelap dan
lembab. Mulyadi (2003) meneliti di Kota Bogor, penghuni rumah yang
memiliki kelembaban ruang keluarga lebih besar dari 60 % berisiko terkena
TBC 10,7 kali di banding penghuni rumah yang tinggal pada perumahan yang
memiliki kelembaban lebih kecil atau sama dengan 60 %.

f. Suhu
Suhu dalam ruangan harus dapat diciptakan sedemukian rupa
sehinggatubuh tidak terlalu bnayak kehilangan panas atau sebaliknya tubuh
tidak sampai kepanasan.Suhu ruangan dalam rumah yang ideal adalah bekisar
antara 18-30 ºC dan suhu tersebut di pengaruhi oleh suhu udara luar,
pergerakan udara dan kelembaban udara dalam ruangan (Kepmenkes, 1999).

g. Ketinggian Wilayah
21

Menurut Olander, ketinggian secara umum mempengaruhi kelembaban


dan suhu lingkungan. Setiap kenaikan 100 meter selisih suhu udara dengan
permukaan air laut sebesar 0,5 °C. Selain itu berkaitan juga dengan kerapatan
oksigen, Mycrobacterium tuberculosis sangat aerob, sehingga diperkirakan
kerapatan pegunungan akan mempengaruhi viabilitas kuman TBC (Achmadi,
2005).

2.3Kerangka Konsep
Pasien berkunjung ke
Puskesmas Patrang

Pasien TB Pasien non TB

Faktor Risiko Individu: Faktor Risiko


- Umur Lingkungan:
- Jenis kelamin - Kepadatan hunian
- Pengetahuan - Ventilasi
- Status Gizi - Lantai rumah
- Perilaku batuk - Dinding rumah
- Kebiasaan merokok

Gambar 2.3 Skema kerangka konsep


2.4 Hipotesis
Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis dari penilitian di bawah ini
adalah sebagai berikut:
1. H0: tidak ada hubungan antara faktor risiko individu dan lingkungan
terhadap kejadian TB di Puskesmas Patrang Kabupaten Jember.
2. H1 :ada hubungan antara faktor risiko individu dan lingkungan terhadap
terhadap kejadian TB di Puskesmas Patrang Kabupaten Jember.
22
23

BAB 3. METODE PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian


Desain yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif
analitik korelasi dengan pendekatan cross sectional. Penelitian korelatif cross
sectional adalah suatu bentuk studi observasional non eksperimental untuk
menentukan hubungan variabel independen (faktor risiko individu dan lingkungan
penderita tuberkulosis di Puskesmas Patrang Kabupaten Jember) dengan variabel
dependen (kejadian tuberkulosis di Puskesmas Patrang Kabupaten Jember bulan
November 2018) dengan melakukan pengukuran sesaat (Sugiyono, 2011).

3.2. Tempat dan Waktu Penelitian


3.2.1. Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Puskesmas Patrang Kabupaten Jember.

3.2.2. Waktu Penelitian


Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2018 .

3.3 Populasi dan Sampel


3.3.1. Populasi
Populasi dalam penelitian merupakan wilayah yang ingin diteliti oleh
peneliti. Menurut Sugiyono (2011), populasi adalah wilayah generalisasi yang
terdiri atas obyek atau subyek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu
yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik
kesimpulannya. Populasi yang digunakan pada penelitian ini yaitu pasien
tuberkulosis yang datang berobat ke Puskesmas Patrang Kabupaten Jember pada
bulan November 2018. Jumlah populasi diambil dari total kunjungan pasien yang
berobat di Puskesmas Patrang sebanyak 24 pasien.
24

3.3.1. Sampel
Sampel merupakan bagian dari populasi yang ingin diteliti oleh peneliti.
Menurut Sugiyono (2011), sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik
yang dimiliki oleh populasi tersebut. Sampel yang digunakan pada penelitian ini
adalah pasien tuberkulosis yang datang berobat ke Puskesmas Patrang Kabupaten
Jember yang memenuhi kriteria inklusi dan kriteria eksklusi.
a. Besar Sampel
Penentuan besar sampel dalam penelitian ini dilakukan dengan
menggunakan rumus Slovin, sebagai berikut (Sugiyono, 2011):
n=

Keterangan:
n = besar sampel N = besar populasi
e = taraf kesalahan (error) sebesar 5% (0,05)

Sehingga perhitungan untuk jumlah sampel sebagai berikut :


n =

24
=
1 + 24 (0,052)

=22, 64 = 23
Berdasarkan rumus di atas, maka sampel yang diperoleh merupakan
pembulatan dari 22,64 adalah 23.

b. Teknik Pengambilan Sampel


Metode pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan cara non
probability sampling dengan metode consecutive sampling. Consecutive
Sampling ialah setiap pasien yang memenuhi kriteria penelitian dimasukkan
25

dalam penelitian sampai kurun waktu tertentu, sehingga jumlah sampel yang
diperlukan terpenuhi (Sastroasmoro, 2014).

a. Kriteria Inklusi
Kriteria inklusi kelompok kontrol pada penelitian ini sebagai berikut.
1) Pasien yang datang ke Balai Pengobatan Puskesmas Patrang
2) Bersedia untuk mengisi kuisioner yang telah disediakan sebagai
tanda persetujuan sampel penelitian.
Kriteria inklusi kelompok perlakuan pada penelitian ini sebagai berikut.
1) Pasien yang terdiagnosis secara bakteriologis mengalami TB di
Puskesmas Patrang Kabupaten Jember
2) Bersedia untuk mengisi kuisioner yang telah disediakan sebagai
tanda persetujuan sampel penelitian.

c. Kriteria Eksklusi
Kriteria eksklusi kelompok kontrol pada penelitian ini sebagai berikut.
1) Pasien dengan keluhan batuk > 2 minggu, demam tanpa alasan yang
jelas > 3 minggu, batuk darah, dan keluar keringat dingin ketika
malam hari
2) Pasien dengan riwayat terkena penyakit TB

3.3 . Variabel Penelitian


Variabel dalam penelitian ini terdapat dua variabel, yaitu:
3.3.1. Variabel Independen
Variabel independen pada penelitian ini adalah faktor risiko individu dan
lingkungan penderita TB Puskesmas Patrang Kabupaten Jember.
3.3.2. Variabel Dependen
Variabel dependen pada penelitian ini adalah kejadianTBdi Puskesmas
Patrang Kabupaten Jember.
26

3.5. Definisi Operasional


Tabel 3.1 Definisi Operasional
No Variabel Definisi Cara Alat Ukur Hasil Ukur Skala
Operasional Ukur
1. Faktor
Risiko
Individu
a. Umur Umur Wawancara Buku 1. Usia 0-18 th Ordinal
responden dan rekam register 2. Usia 19-40 th
yang dihitung medik pasien dan 3. Usia 41-60 th
sejak lahir kuesioner 4. Usia >60 th
sampai
dilakukan
wawancara
b. Jenis Perbedaan Wawancara Buku 1. Laki-laki Nominal
kelamin individu dan rekam register 2. Perempuan
berdasarkan medik pasien dan
gender kuesioner
c. Pengetahu Sesuatu yang Wawancara Kuesioner 1. Kurang (0-10 Ordinal
an diketahui poin)
responden 2. Cukup (11-14
mengenai poin)
penyakit TB 3. Baik (15-20
poin)
d. Status Gizi Status gizi Rumus Timbangan 1. Kurus (IMT < Ordinal
diukur dengan IMT = BB ,microtoise 18,50)
menentukan (kg)/ 2. Normal ( IMT
2
IMT yang TB (m) 18,50-25,00)
diambil dari 3. Gemuk ( IMT
perhitungan 25,10-27,00)
antara BB dan 4. Sangat gemuk
TB (IMT >27,00)
2. Faktor
Risiko
Lingkungan
a. Kepadatan Perbandingan Wawancara Kuisioner 1. <10 m2/orang Nominal
hunian jumlah 2. >10 m2/orang
penghuni
27

dengan luas
bangunan,
dengan
persyaratan
minimal 10
m2/orang
(Depkes,
2003)
b. Ventilasi Lubang hawa Wawancara Kuisioner 1. < 10% luas Nominal
yang terdapat lantai
pada dinding 2. >10% luas
rumah lantai
berfungsi
sebagai keluar
masuk udara.
Minimal 10%
dari luas lantai
rumah
(Kepmenkes
No 829/1999)
c. Lantai Lantai rumah Wawancara Kuisioner 1. Tidak kedap Nominal
rumah kedap air dan air
mudah 2. Kedap air
dibersihkan
(Kepmenkes
No 829/1999)
d. Dinding Dinding Wawancara Kuisioner 1. Tidak standar Nominal
rumah rumah 2. Standar
dikatakan
terstandar jika
dinding rumah
kedap air dan
mudah
dibersihkan
(Kepmenkes
No 829/1999)

3.6. Instrumen Penelitian


Instrumen dalam penelitian ini menggunakan:
3.6.1. Kuesioner
Pengumpulan data yang digunakan peneliti adalah kuesioner atau angket
yang disesuaikan dengan tujuan penelitian dan mengacu kepada konsep dan teori
28

yang telah dibuat. Pertanyaan terdiri dari tiga bagianyaitu, bagian A berisi tentang
data demografi yang meliputi nama, usia, jenis kelamin, status pendidikan, dan
status gizi. Bagian B berkaitan dengan tingkat pengetahuan dalam bentuk
pertanyaan tertutup tentang penyakit tuberkulosis sebanyak 20 item.Bagian C
tentang faktor fisik lingkungan yang berbentuk pertanyaan tertutup sebanyak 4
item.
3.6.2. Informed Consent
Instrumen ini digunakan untuk pernyataan persetujuan responden untuk
menjadi subjek penelitian.

3.7. Prosedur Pengambilan Data


3.7.1. Informed Consent
Informed Consent adalah suatu formulir pernyataan yang berisi tentang
kesediaan sampel untuk menjadi subjek penelitian. Pada formulir ini juga akan
dijelaskan bahwa selama pengambilan data pada sampel, tidak ada kerugian baik
materiil maupun non-materiil yang akan dialami oleh sampel selama perlakuan
ataupun sesudah perlakuan (Badan Litbangkes Depkes, Tanpa tahun).
3.7.2. Pengumpulan Data Populasi dan Pengambilan Data
Subjek penelitian mengisi kuesioner sesuai dengan petunjuk pengisian.
Data diambil dengan cara menghitung jumlah jawaban sampel. Skala pengukuran
pada bagian B menggunakan skala Guttman, yaitu skala yang bersifat tegas dan
konsisten dengan memberikan jawaban yang tegas seperti jawaban dari
pernyataan : benar dan salah atau ya dan tidak. Skala Guttman dapat dibuat dalam
bentuk pilihan ganda atau bentuk check list. Skor penilaiannya jika jawaban
pernyataan benar (sesuai teori) maka nilainya 1, sedangkan jika jawaban
pernyataan salah (tidak sesuai teori) maka nilainya 0 (Hidayat, 2007).

Penilaian bagi pengetahuan tentang penyakit tuberkulosis dengan cara


membandingkan jumlah skor jawaban dengan skor yang diharapkan (tertinggi)
kemudian dikalikan 100% dan hasilnya berupa presentase. Selanjutnya presentase
jawaban diinterpretasikan dalam kalimat kualitatif sesuai dengan Tabel 3.2.
29

Tabel 3.2 Penilaian tingkat pengetahuan


Skor Penilaian Interpretasi Tingkat
Pengetahuan
76-100% atau 15-20 poin Baik
jawaban benar
56-75% atau 11-14 poin jawaban Cukup
benar
0-55% atau 0-10 poin jawaban Kurang
benar

3.8. Pengolahan Data


Pada penelitian ini dilakukan pengolahan data secara komputerisasi dengan
langkah-langkah sebagai berikut.
3.8.1. Pengecekan Data (Editing)
Editing yaitu melihat atau mengecek kuesioner-kuesioner yang sudah terisi,
apakah isian kuesioner dapat dibaca, apakah semua pertanyaan telah dijawab,
apakah ada ketidakserasian atau ketidakkonsistenan jawaban, apakah nomor sudah
berurutan, dan berbagai kesalahan lainnya.
3.8.2. Memberi Kode Data (Coding)
Coding adalah mengubah data berbentuk huruf menjadi data berbentuk
angka. Kegunaan pengkodean adalah mempermudah pada saat analisis data dan
juga mempercepat pada saat memasukkan data ke komputer.
3.8.3. Memasukkan Data ke Komputer (Entering)
Entering ialah mentransfer data ke program komputer tertentu agar data
dapat disajikan dan dianalisis dengan baik.
3.8.4. Pembersihan Data (Cleaning)
Data yang sudah dimasukkan ke komputer harus diperiksa kembali dari
kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi, sehingga data yang masuk ke program
komputer tersebut betul-betul sudah tidak ada kesalahan lagi dan siap untuk
dianalisis.

3.8. Analisis Data


3.8.1. Analisis Univariat
30

Analisis yang digunakan dengan menjelaskan secara deskriptif untuk


melihat distribusi variabel-variabel yang diteliti, baik variabel bebas maupun
terikat.

3.8.2. Analisis Bivariat


Analisis ini digunakan untuk mengukur keeratan pengaruh antara variabel
terikat dengan variabel bebas.Analisis bivariat yang digunakan dalam penelitian
adalah uji korelasi Spearman’s Rho untuk mengetahui hubungan umur,
pengetahuan dan status gizi terhadap kejadian TB di Puskesmas Patrang.Uji Chi-
Square digunakan untuk mengetahui hubungan jenis kelamin dan faktor fisik
lingkungan terhadap kejadian TB di Puskesmas Patrang. Hasil uji dikatakan
bermakna bila nilai p < α (p < 0,05). Hasil uji dikatakan tidak bermakna apabila
nilai p > α (p > 0,05). Kemudian untuk mengetahui kuat lemahnya korelasi
digunakan pedoman umum dalam menentukan kriteria korelasi, yaitu:
Tabel 3.4 Nilai kekuatan r (korelasi)
No. Nilai r Kriteria hubungan
1. 0,00 Tidak ada korelasi
2. 0,00 – 0,50 Korelasi lemah
3. 0,51 – 0,80 Korelasi sedang
4. 0,80 – 0,99 Korelasi kuat / erat
5. 1,00 Korelasi sempurna
31

3.9 Alur Penelitian

Pasien yang berobat di


Puskesmas Patrang

Krikertia Inklusi

Krikertia Eksklusi

Informed consent
dan pengambilan
data dengan
kuesioner

Pencatatan dan
pengolahan data

Analisis Data

Gambar 3.1 Skema Alur Penelitian


32

BAB 4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Hasil Penelitian


Penelitian ini dilakukan di Puskesmas Patrang Jember pada bulan
November-Desember 2018 dengan menggunakan masing-masing 23 sampel yang
memenuhi kriteria inklusi kelompok kontrol dan kempok perlakuan. Seluruh
responden merupakan pasien yang sedang berobat di Puskesmas Patrang.Hasil
penelitian didapatkan data mengenai karakteristik responden yang mempengaruhi
faktor risiko terjadinya penyakit tuberkulosis yang terdiri dari faktor risiko
individu maupun faktor lingkungan. Faktor risiko individu meliputi usia, jenis
kelamin, pendidikan terakhir, status gizi, dan pengetahuan responden. Sedangkan
faktor fisik lingkungan meliputi kepadatan hunian, ventilasi, jenis lantai, dan jenis
dinding rumah.

4.1.1 Analisis Univariat


a. Jenis kelamin
Distribusi jenis kelamin responden secara lengkap dan rinci dijabarkan
dalam Tabel 4.1 dan Gambar 4.1.
Tabel 4.1 Distribusi responden berdasarkan jenis kelamin
Distribusi Jenis Frekuensi (n) Presentase
Kelamin Responden
Laki-Laki 21 45,7 %
Perempuan 25 54,3 %

45.7% Laki-Laki
54.3% Perempuan

Gambar 4.1 Diagram karakteristik jenis kelamin responden


33

Dari Tabel 4.1 dan Gambar 4.1 dapat diketahui bahwa distribusi jenis
kelamin pada penelitian ini adalah laki-laki sebanyak 21 orang (45,7 %) dan
perempuan sebanyak 25 orang (54,3 %).

b. Usia
Tabel 4.2 Distribusi responden berdasarkan usia
Distribusi Usia Frekuensi (n) Presentase
Responden
0-18 tahun 3 6,5 %
19-40 tahun 24 50,0 %
41-60 tahun 13 30,4 %
>60 tahun 6 13,0 %

13.0% 6.5%

0-18 th
19-40 th
30.4% 41-60 th
50.0%
>60

Gambar 4.2 Diagram karakteristik usiaresponden


Dari Tabel 4.2 dan Gambar 4.2 dapat diketahui bahwa distribusi usia
pada penelitian ini, yaitu untuk usia 0-18 tahun sebanyak 3 orang (6,5 %),
usia 19-40 tahun sebanyak 24 tahun (50%), usia 41-60 tahun (30,4%), dan
usia >60 tahun sebanyak 6 orang (13%).

c. Pendidikan terakhir
Tabel 4.3 Distribusi responden berdasarkan pendidikan terakhir
Distribusi Pendidikan Frekuensi (n) Presentase
Terakhir Responden
BelumTamat SD 0 0,0 %
SD 8 17,4 %
SMP 6 13,0 %
34

SMA 27 58,7 %
Diploma 0 0,0 %
Sarjana 5 10,9 %

10.9% 0.0% BelumTamat


0.0% SD
17.4%
SD
13.0%
58.7% SMP

SMA

Gambar 4.3 Diagram karakteristik pendidikan terakhir responden


Dari Tabel 4.3 dan Gambar 4.3 dapat diketahui bahwa distribusi jenis
kelamin pada penelitian ini, yaitu untuk responden yang belum takut sekolah
sebanyak 0, SD sebanyak 8 orang (17,4%), SMP sebanyak 6 orang (13%),
SMA sebanyak 26 orang (58,7%), dan sarjana sebanyak 6 orang (10,9%).

d. Status gizi
Tabel 4.4 Distribusi responden berdasarkan status gizi
Distribusi Status Gizi Frekuensi (n) Presentase
Responden
Kurus 11 23,9 %
Normal 26 56,5 %
Gemuk 9 19,6 %

19.6% Kurus
23.9%
Normal
56.5% Gemuk

Gambar 4.4 Diagram karakteristik status gizi responden


35

Dari Tabel 4.4 dan Gambar 4.4 dapat diketahui bahwa distribusi status
gizi pada penelitian ini, yaitu untuk kategori kurus sebanyak 14 orang
(23,9%), kategori normal sebanyak 26 orang (56,5%), dan kategori gemuk
sebanyak 9 orang (19,6%).

e. Pengetahuan
Tabel 4.5 Distribusi responden berdasarkan pengetahuan
Distribusi Pengetahuan Frekuensi (n) Presentase
Responden
Kurang 0 0,0 %
Cukup 6 13,0 %
Baik 40 87,0 %

0%
13% Kurang
Cukup

87% Baik

Gambar 4.5 Diagram karakteristik pengetahuan responden


Dari Tabel 4.5 dan Gambar 4.5 dapat diketahui bahwa tingkat
pengetahuan responden pada penelitian ini adalah kategori kurang 0%,
kategori cukup sebanyak 6 orang (13%), dan kategori baik sebanyak 40 orang
(87%).

f. Kepadatan hunian
Tabel 4.6 Distribusi responden berdasarkan kepadatan hunian
Distribusi Kepadatan Frekuensi (n) Presentase
Hunian Responden
Kurang dari 10 13 28,3 %
m2/orang
Lebih dari 10 m2/orang 33 71,7 %
36

28.3%
< 10 m2/org
> 10 m2/orang
71.7%

Gambar 4.6 Diagram karakteristik kepadatan hunian


Dari Tabel 4.6 dan Gambar 4.6 dapat diketahui bahwa distribusi
kepadatan hunian pada penelitian ini dengan kepadatan kurang dari 10
m2/orang sebanyak 13 orang (28,3%) dan kepadatan >10 m2/orang sebanyak
33 orang (71,7%).

g. Luas ventilasi
Tabel 4.7 Distribusi responden berdasarkan luas ventilasi
Distribusi Luas Frekuensi (n) Presentase
Ventilasi Responden
<10 % luas lantai 32 69,6 %
>10 % luas lantai 14 30,4 %

<10% luas
30.4% lantai
>10% luas
69.6%
lantai

Gambar 4.7 Diagram karakteristik luas ventilasi


Dari Tabel 4.7 dan Gambar 4.7 dapat diketahui bahwa distribusi luas
ventilasi responden yang <10% luas lantai sebanyak 32 orang (69,6%) dan
>10% luas lantai sebanyak 14 orang (30,4%).
37

h. Jenis lantai
Tabel 4.8 Distribusi responden berdasarkan jenis lantai
Distribusi Jenis Lantai Frekuensi (n) Presentase
Responden
Tidak kedap air 0 0,0 %
Kedap air 46 100 %

0.0% Tidak kedap


air
Kedap air
100.0%

Gambar 4.8 Diagram karakteristik jenis lantai responden


Dari Tabel 4.8 dan Gambar 4.8 dapat diketahui bahwa distribusi jenis
lantai pada penelitian ini adalah sebanyak 100% memiliki tipe lantai yang
kedap air.

i. Jenis dinding rumah


Tabel 4.9 Distribusi responden berdasarkan jenis dinding rumah
Distribusi Dinding Frekuensi (n) Presentase
Rumah Responden
Tidak standar 2 4,3 %
Standar 44 95,7 %

4.3%
Tidak standar
Standar
95.7%
38

Gambar 4.9 Diagram karakteristik jenis dinding responden


Dari Tabel 4.9 dan Gambar 4.9 dapat diketahui bahwa distribusi jenis
dinding rumah pada penelitian ini adalah tidak standar sebanyak 2orang
(4,3%) dan berstandar sebanyak 44 orang (95,7%).

4.1.2 Analisis Bivariat


Untuk mengetahui hubungan antar variabel, maka dilakukan analisis
bivariat dengan metode chi-square dan korelasi Pearson untuk data kategorik dan
menggunakan spearman untuk data ordinal. Hasil analisis bivariat hubungan
antara faktor individu dan lingkungan terhadap kejadian TB seperti ditunjukkan
oleh tabel 4.10.
Tabel 4.10 Analisis faktor individu dan lingkungan terhadap kejadian TB
TB
Korelasi
Variabel Kategori Ya Tidak p-value
(r)
n % n %
Jenis Laki-laki 13 56,52 8 34,78
0,139 -0,218
kelamin Perempuan 10 43,47 15 65,21
0-18 th 1 4,34 2 8,69
19-40 th 11 47,82 12 52,17
Usia 0,882 0,081
40-61 th 8 34,78 6 26,08
>60 th 3 13,04 3 13,04
SD 7 30,43 1 4,34
SMP 2 8,69 4 17,39
Pendidikan
SMA 14 60,86 13 56,52 0,017* -0,398
terakhir
Diploma 0 0 0 0
Sarjana 0 0 5 21,73
Kurus 10 43,47 1 4,34
Status Gizi Normal 12 52,17 14 60,86 0,002* -0,529
Gemuk 1 4,34 8 34,78
Kurang 0 0 0 0
Pengetahuan Cukup 4 17,39 2 8,69 0,381 -0,129
Baik 19 82,6 21 91,3
Kepadatan <10 m2/orang 9 39,13 4 17,39
0,102 -0,241
penghuni >10 m2/orang 14 60,86 19 82,6
Luas <10% luas lantai 19 82,6 13 56,52
0,050* -0,283
ventilasi >10% luas lantai 4 17,39 10 43,47
Lantai Tidak kedap air 0 0 0 0
- -
rumah Kedap air 23 100 23 100
Dinding Tidak standar 2 8,69 0 0
0,148 -0,213
rumah Standar 21 91,3 23 100
39

* p-value< 0,05

Dari Tabel 4.10 diketahui bahwa pendidikan terakhir, status gizi, dan luas
ventilasi memiliki angka signifikansi p<0,05, sehingga dapat disimpulkan bahwa
pendidikan terakhir, status gizi, dan luas ventilasi memiliki hubungan yang
bermakna terhadap kejadian TB. Kemudian ketiga variabel ini dilakukan analisis
korelasi Pearson dan diketahui bahwa pendidikan terakhir memiliki nilai r = -
0,398. Angka negatif menunjukkan bahwa semakin rendah pendidikan yang
ditempuh maka akan meningkatkan kejadian TB, dimana angka 0,398
menunjukkan bahwa korelasi antara kedua variabel ini lemah. Sedangkan status
gizi memiliki nilai r = -0,529 (korelasi sedang). Nilai r ini menunjukkan bahwa
semakin rendah status gizi maka kejadian TB akan semakin meningkat.
Sedangkan luas ventilasi memiliki nilai r = -0,283 (korelasi lemah). Nilai r pada
variabel luas ventilasi ini menunjukkan bahwa semakin kecil luas ventilasi maka
angka kejadian TB semakin meningkat.

4.1.3 Analisis Multivariat


Untuk mengetahui variabel mana yang menjadi faktor utama dalam
meningkatkan kejadian TB maka dilanjutkan dengan analisis multivariat dimana
data yang digunakan harus memenuhi syarat p-value<0,25. Maka dari Tabel 4.11
dapat diketahui variabel yang dapat dilakukan analisis multivariat.
Tabel 4.11 Angka signifikansi setiap variabel
Score df Sig.

Jenis_Kelamin 2,190 1 ,139*

Usia ,305 1 ,581

Pendidikan_terakhir 7,290 1 ,007*

Status_Gizi 12,856 1 ,000*


Step 0 Variables
Pengetahuan ,767 1 ,381

Kepadatan_hunian 2,681 1 ,102*

Ventilasi 3,696 1 ,055*

Dinding_rumah 2,091 1 ,148*


40

Overall Statistics 25,485 8 ,001


*p-value<0,25
Dari Tabel 4.11 diketahui bahwa jenis kelamin, pendidikan terakhir, status
gizi, kepadatan hunian, ventilasi, dan dinding rumah memiliki angka p-value<0,25.
Maka variabel-variabel ini dapat dilanjutkan untuk dilakukan analisis multivariat.
Sehingga akan didapatkan hasil analisis multivariat faktor individu dan
lingkungan terhadap kejadian TB seperti yang ditunjukkan pada Tabel 4.12.

Tabel 4.12 Analisis multivariat faktor individu dan lingkungan terhadap kejadian
Tuberkulosis
Model 1 Model 2 Model 3
Variabel Kategori
OR (95% CI) OR (95% CI) OR (95% CI)
Jenis Laki-laki 1,043 (0,18- 0,869 (0,156- -
kelamin Perempuan 6,028) 4,842)
SD 0,673 (0,219- 0,755 (0,254- 0,754 (0,254-
SMP 2,070) 2,247) 2,239)
Pendidikan
SMA
terakhir
Diploma
Sarjana
Kurus 0,047 (0,005- 0,044 (0,005- 0,043 (0,005-
Status Gizi Normal 0,424)* 0,402)* 0,393)**
Gemuk
Kepadatan <10 m2/orang 0,060 (0,003- 0,057 (0,003- 0,056 (0,003-
penghuni >10 m2/orang 1,131) 1,019) 0,991)*
Luas <10% luas lantai 0,024 (0,001- 0,018 (0,001- 0,018 (0,001-
ventilasi >10% luas lantai 0,742)* 0,568)* 0,528)*
Dinding Tidak standar 0,000 (0,000) - -
rumah Standar
* p-value< 0,05
**Faktor dominan

Dari Tabel 4.12 diketahui bahwa status gizi merupakan variabel yang
dominan berpengaruh terhadap kejadian tuberkulosis. Sedangkan jenis kelamin,
pendidikan terakhir, dan dinding rumah merupakan variabel cofounding(perancu).
Variabel perancu adalah variabel yang berpengaruh dalam menutupi faktor
lainnya. Adanya faktor perancu dapat memperbesar atau memperkecil hubungan
sebenarnya.
41

4.2 Pembahasan
Pada penelitian ini faktor risiko umur berhubungan dengan kejadian
penyakit TB Paru. Secara teori menyatakan bahwa umur yang lebih tua dapat
meningkatkan terjadinya TB Paru, sedangkan hasil penelitian menyatakan hal
yang sama. Hal ini dapat terjadi karena terjadi karenanya faktor adanya agent,
penjamu dan faktor lingkungan perumahan yang tidak sehat. Faktor penjamu
meliputi daya tahan tubuh. Seseorang dapat terinfeksi penyakit TB Paru ini
apabila adanya agent (Mycobacterium tubercullosis) yang mengkontaminasi udara
kemudian terhirup oleh orang yang sehat dengan jumlah bakteri yang banyak,
lama pajanan yang lama dan tentunya imunitas seseorang yang rendah. Oleh
sebab itu diharapkan pada semua golongan umur agar tetap menjaga daya tahan
tubuhnya dengan cara memakan makanan dengan gizi seimbang, menjaga
kebersihan diri dan kebersihan sanitasi lingkungan perumahan.
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa faktor risiko jenis kelamin tidak
berhubungan dengan kejadian TB paru di wilayah kerja puskesmas Patrang. Dari
hasil wawancara jumlah responden yang terkena TB paru antara jenis kelamin
sama besarnya antara kelompok kasus dan kelompok control tidak menunjukkan
perbedaan yang signifikan antar keduanya hal ini disebabkan karena penyakit TB
paru merupakan penyakit Infeksi paru-paru yang disebabkan oleh kontaminasi
udara oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis yang setiap jenis kelamin
memiliki kesempatan yang sama terhadap infeksi TB paru. TB Paru adalah
penyakit infeksi dan menyerang paru-paru seseorang dengan kondisi mallnutrisi,
rumah yang tak sehat tanpa memandang jenis kelamin.
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan bahwa rata-rata
responden memiliki pendidikan yang rendah (Pendidikan dasar 9 tahun), sehingga
hal in berdampak terhadap pengetahuan yang rendah mengenai rumah yang
memenuhi syarat kesehatan dan pengetahuan penyakit TB paru, pencegahan, serta
pengobatan. Tingkat Pendidikan seseorang akan mempengaruhi pengetahuan
seseorang diantaranya mengenai rumah yang memenuhi syarat kesehatan dan
42

pengetahuan penyakit TB paru, pencegahan, dan pengobatan sehingga dengan


pengetahuan yang cukup maka seseorang akan mencoba untuk mempunyai
perilaku hidup bersih dan sehat. Semakin tinggi tingkat pendidikan maka semakin
rendah kejadian TB paru. Untuk peningkatan pengetahuan bagi masyarakat
setempat sebaiknya diberikan komunikasi informasi dan edukasi dapat berupa
kunjungan rumah sanitarian diiringi dengan pembagian informasi tentang
penyakit tersebut kepada masyarakat agar mereka memahami dan tahu cara
mencegah terjadi penularan TB paru dari satu orang ke orang sehat lainnya.
Hasil penelitian ini menyatakan bahwa pengetahuan tentang TB Paru tidak
berhubungan secara signifikan dengan kejadian TB paru. Dari hasil wawancara
menyatakan bahwa pengetahuan responden mayoritas belum mengetahui tentang
cara pencegahan TB paru dengan imunisasi serta pencegahan dengan
pencahayaan sinar matahari. Manfaat sinar matahari/pencahayaan ialah dapat
membunuh kuman hanya sebesar (51,5%). Jumlah responden yang menjawab
benar tidak berbeda nyata dengan yang menjawab salah untuk pertanyaan tentang
penyebab, gejalagejala serta cara menghindarinya. Hal ini bisa disebabkan karena
kurangnya pengetahuan responden tentang hal tersebut. Terutama tentang
pencegahan terhadap penyakit
TB Paru tidak langsung dapat memungkinkan adanya kemunculan kasus
TB Paru yang baru, karena apabila seseorang mengetahui cara pencegahan
terhadap suatu penyakit maka mereka akan lebih waspada dan peduli tentang
bahayanya penyakit TB tersebut. Oleh sebab itu, sebaiknya kegiatan program
pencegahan dan penanggulangan penyakit TB (P2TB) memberikan suatu
informasi yang jelas kepada masyarakat sekitar tentang TB paru, serta lingkungan
perumahan yang sehat. Hal ini dapat diwujudkan dengan pembuatan selembaran/
leaflet/ poster tentang penyakit TB sehingga responden akan mengetahui tentang
penyakit tersebut sehingga mereka akan mengetahui bagaimana cara dalam
pencegahannya sehingga penularan dan kasus baru TB Paru bisa ditekan.
Berdasarkan hasil wawancara yang telah dilakukan didapatkan bahwa rata-
rata responden pada kelompok kasus memiliki status gizi yang ruang cykup besar
43

sebagaimana dengan Keadaan status gizi yang kurang berhubungan erat dengan
penyakit infeksi TB paru. penurunan gizi atau kurang gizi akan memiliki daya
tahan tubuh yang rendah dan sangat rentan terhadap penyakit sehingga reaksi
imunitas terhadap penyakit infeksi menurun. Peningkatan taraf ekonomi sosial,
dan peningkatan daya tahan tubuh dengan makan makanan gizi seimbang dapat
meningkatkan ststus gizi seseorang sehingga terhindar dari serangan Tb Paru.
Penelitian ini menunjukkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara
kepadatan hunian dengan kejadian TB paru hal ini terjadi sebagaimana bahwa
jumlah penghuni yang semakin banyak akan berpengaruh terhadap kadar oksigen
dalam ruangan tersebut, begitu juga kadar uap air dan suhu udaranya. Dengan
meningkatnya kadar CO2 di udara dalam rumah, maka akan memberi kesempatan
tumbuh dan berkembang biak lebih bagi Mycobacterium tuberculosis. Dengan
demikian akan semakin banyak kuman yang terhisap oleh penghuni rumah
melalui saluran pernafasan.9 Oleh sebab itu untuk menjaga kelembaban dan suhu
maka perlu adanya siklus pertukaran udara baik alami maupun buatan yang dapat
menjaga kesegaran dari ruangan itu sendiri.
Hasil penelitian ini menunjukkan bukti statistik yang kuat bahwa ada
hubungan antara ventilasi dengan kejadian TB paru. dari hasil wawancara yang
telah dilakukan bahwa mayoritas ventilasi yang ada di rumah responden tidak
memenuhi syarat kesehatan dengan luas ventilasi <10% luas lantai sebesar
(69,6%). Rata-rata ventilasi yang ada di rumah responden berukuran kecil dan
pada kenyataannya ada yang tidak mempunyai ventilasi, serta ada jendela yang
jarang terbuka. Hal itulah yang menyebabkan kurangnya pertukaran udara yang
ada di dalam rumah memungkinkan kelembaban juga ikut tinggi, dan pengap.
Kelembaban dalam rumah dapat menjadi tempat perkembangbiakan
Mycobacterium tuberculosis tinggi.
44

BAB 5. PENUTUP

5.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisis dan pembahasan, dapat disimpulkan bahwa:
1. Terdapat hubungan bermakna antara faktor risiko individu, pendidikan
terakhir dan status gizi terhadap kejadian TB Paru di Puskesmas Patrang.
Sedangkan faktor risiko individu jenis kelamin, usia, dan pengetahuan tidak
memiliki hubungan bermakna dengan kejadian TB Paru di Puskesmas Patrang.
2. Terdapat hubungan bermakna antara faktor risiko lingkungan, luas ventilasi
terhadap kejadian TB Paru di Puskesmas Patrang. Sedangkan faktor risiko
lingkungan, kepadatan hunian, lantai dan dinding rumah tidak memiliki
hubungan bermakna dengan kejadian TB Paru di Puskesmas Patrang.
3. Status gizi merupakan faktor risiko yang paling dominan berpengaruh
terhadap kejadian TB paru di Puskesmas Patrang

5.2 Saran
Bagi Penelitian Selanjutnya
1. Perlu dilakukan penelitian yang ditunjang dengan data sekunder (misalnya
rekam medis) mengenai pengaruh faktor risiko kontak langsung penderita TB
paru terhadap kejadian TB paru.
2. Perlu dilakukan penelitian mengenai pengaruh faktor risiko kontak langsung
penderita TB paru BTA positif terhadap terjadinya penularan anggota keluarga.

Bagi Puskesmas atau Petugas Kesehatan


1. Perlu dilakukan penyuluhan mengenai pencegahan dari TB paru dengan
menghindari kontak dengan penderita TB paru, terutama saat penderita
didiagnosis < 6 bulan.
2. Perlu dilakukan penyuluhan mengenai pencegahan dari TB paru dengan
menyesuaikan faktor lingkungan, seperti kriteria rumah sehat dan PHBS
3. Perlu dilakukan screening TB Paru terutama pada lingkungan yang langsung
kontak dengan penderita TB.
45

DAFTAR PUSTAKA

Aris, M., 2011. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penularan Tuberkulosis Paru


di Kabupaten Tabalong Propinsi Kalimantan Selatan. Tesis. Yogyakarta:
Universitas Gajah Mada.

Depkes RI., 2012. TBC Masalah Kesehatan Dunia. Jakarta: BPPSDMK

Dooley K. E., Chaisson R. E. 2009. Tuberculosis and diabetes mellitus :


convergence of two epidemics. Lancet Infect Dis.

Guptan, A., Shah, A. 2000. Tuberculosis and diabetes: an appraisal. Ind J Tuberc.

Kapur, A., Harries, A. D., Lonnroth, K., Bygbjerg, C., Lefebvre,P. 2009. Diabetes
and tuberculosis-old associates posing a renewal public health challenge.
US: US EndrocinologY.

Kementrian Kesehatan RI. 2014. Pedoman Nasional Pengendalian Tuberkulosis.


Jakarta: Kemenkes RI.

Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. 2006. Tuberkulosis: Pedoman Diagnosis


dan PenatalaksanaanTB di Indonesia.
http://www.klikpdpi.com/konsensus/tb.tb.html

Puspitawati, Herien. 2013. Konsep Dan Teori Keluarga. Departemen Ilmu


Keluarga Dan Konsumen Fakultas Ekologi Manusia- Institut Pertanian
Bogor.

Rahardiyanti, Widhi. 2012. Gambaran Karakteristik Penderita Tuberkulosis Pada


Anak Umur 1-5 Tahun yang Berobat di Balai Kesehatan Paru Masyarakat
Kota Semarang. Bagian Epidemiologi dan Penyakit Tropik FKM UNDIP.
Semarang.

Riset Kesehatan Dasar(Riskesdas). (2013). Badan Penelitian dan Pengembangan


Kesehatan Kementerian RI tahun 2013.Diakses: 19 Oktober 2014, dari
http://www.depkes.go.id/resources/download/general/Hasil%20Riskesdas
%20 2013.pdf.

Sudiharto.2007. Asuhan Keperawatan Keluarga dengan Pendekatan


Keperawatan Transkultural. Jakarta: EGC.

World Health Organization, 2012. The Stop Tuberculose Strategy. WHO. 24 : 10-
11.
46

LAMPIRAN

Lampiran 1.

INFORMED CONSENT

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :


Nama :
Usia :
Alamat :

menyatakan bersedia untuk menjadi subyek penelitian “Analisis Faktor


Risiko Individu dan Fisik Lingkungan terhadap Kejadian TB di Puskesmas
Patrang pada Bulan November 2018”
Semua penjelasan telah disampaikan kepada saya dan semua pertanyaan
saya telah dijawab oleh peneliti. Saya mengerti bahwa bila masih memerlukan
penjelasan, saya akan mendapat jawaban dari peneliti.
Dengan menandatangani formulir ini, saya setuju untuk ikut dalam
penelitian ini.

Jember,
Saksi Subyek

( ) ( )
47

Lampiran 2.

KUESIONER PENELITIAN
ANALISIS FAKTOR RISIKO INDIVIDU DAN LINGKUNGAN RUMAH
PADA KEJADIAN TB DI PUSKESMAS PATRANG KABUPATEN JEMBER
PADA BULAN NOVEMBER 2018
A. Karakteristik Responden
Data Responden
Petunjuk pengisian: berikan tanda √ (check) pada salah satu jawaban berbentuk
pilihan dan/atau isilah titik-titik dengan tulisan tangan yang sesuai dengan identitas
Bapak/Ibu/Saudara (i)
Nama :…………………………………….

Umur : …………………………………… tahun

Alamat :…………………………………….

Pendidikan terakhir : Tidak tamat SD SD

SMP SMA

Diploma Sarjana

Status Gizi : TB ........... cm BB .......... kg

B. Pengetahuan
Petunjuk pengisian: Berikan penilaian dengan memberikan tanda √ (check) pada
kolom Benar atau Salah.
No Pernyataan Benar Salah
1. TBC merupakan penyakit keturunan dari orang tua
2. Penyakit TBC disebabkan oleh bakteri TBC
3. Penyebaran penyakit TBC dapat melalui pemakaian
sabun yang digunakan bersama-sama penderita penyakit
TBC
48

4. Batuk, nyeri dada, dan demam merupakan tanda dan


gejala dari penyakit TBC
5. Anggota keluarga yang tidak tinggal serumah
dengan penderita TBC memiliki resiko yang besar
terserang atau tertular penyakit TBC
6. Sering begadang dan kurang istirahat merupakan salah
satu faktor penyebab terjangkit TBC
7. Pencegahan penularan TBC dengan menutup mulut
saat bersin dan batuk
8. TBC bila tidak ditangani dengan baik akan
menyebabkan komplikasi pada berbagai organ tubuh
sperti otak, jantung, dan ginjal
9. Cahaya yang terang dan sinar matahari yang dapat
masuk ke rumah dapat masuk ke rumah dan
membunuh kuman TBC
10. TBC dapat juga disebut dengan paru-paru basah
11. Penderita TBC dapat mengalami kematian akibat
kuman TBC yang ada dalam tubuhnya
12. Supaya tidak tertular penyakit TBC, maka sebaiknya
anak balita diberikan imunisasi BCG
13. Merokok di dalam rumah dapat mempercepat
penularan TBC
14. Perumahan yang terlalu padat dan kumuh merupakan
kondisi yang tidak dapat menyebabkan TBC
15. Lingkungan yang lembab merupakan kondisi yang
dapat menyebabkan TBC
16. Membuka jendela pada siang hari merupakan salah
satu tindakan pencegahan TBC
17. Upaya pencegahan yang lain yaitu dengan membuang
dahak/ludah disembarang tempat
18. Meminum obat secara tekun dan teratur bagi penderita
TBC merupakan tindakan yang efektif untuk mencegah
49

penularan penyakit TBC

19. Tidur dan istirahat yang cukup dapat mencegah


tertularnya TBC
20. Pencegahan TBC dapat dilakukan dengan
menyediakan makanan dengan gizi seimbang seperti
nasi, lauk, sayur, dan buah

C. FAKTOR FISIK LINGKUNGAN


Petunjuk pengisian: Berikan penilaian dengan memberikan tanda √ (check) pada
kotak dan mengisi isian pada titik-titik yang tersedia
1. Kepadatan penghuni dalam rumah (petugas menghitung luas rumah dan
membaginya dengan jumlah penghuni yang tinggal di dalam rumah)
- Luas rumah : .......................................... m2
- Jumlah penghuni : ..........................................orang
Jadi ukuran kepadatan dalam ruangan = ........................................... m2/orang
Kurang dari 10 m2/orang
Lebih dari atau sama dengan 10 m2/orang
2. Luas ventilasi dalam ruangan (petugas menghitung luas lubang angin dan luas
jendela dibagi dengan luas lantai)
- Luas ventilasi : .......................................... m2
- Luas lantai : .......................................... m2
Jadi ukuran ventilasi tetap dalam ruangan = ...................................... %
Kurang dari 10% dari luas lantai
Lebih dari atau sama dengan 10% dari luas lantai
3. Jenis lantai terluas di dalam rumah
Tidak kedap air
Kedap air
4. Jenis dinding rumah
Tidak standar
Standar (kedap air dan mudah dibersihkan, serta memiliki ventilasi di
kamar mandi dan kamar cuci)

Anda mungkin juga menyukai