Anda di halaman 1dari 39

Proposal Profil KepadaYth :

Karakteristik Pola Kuman di Bangsal Paru RSUP M Djamil pada Periode 1


Januari 2020 – 31 Maret 2021

Presentan : Dr. Monica Bil Geni


Hari/Tanggal :
Waktu : 13.30 s.d selesai
Tempat :
Pembimbing : 1. Dr. dr. Masrul Basyar, Sp.P (K) FISR
2. dr. Russilawati, Sp.P K
Opponent : 1. Dr. R. Ananda Nuriman
2. dr. Ahmad Junaidi
3. dr. Rizki Amrika Putra
4. dr. Hana Novera

BAGIAN PULMONOLOGI DAN KEDOKTERAN RESPIRASI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS /
RS.Dr.M.DJAMIL
PADANG
2021

1
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Infeksi saluran napas bawah atau lower respiratory tract infection

(LRTI/LRTI) terjadi pada jalan napas dan paru.1 Infeksi saluran napas bawah

dapat disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, dan protozoa.2 Beberapa penyakit

infeksi saluran napas bawah antara lain pneumonia, bronkitis, abses paru dan

infeksi pleura yaitu empiema. Infeksi saluran napas bawah masih merupakan

penyebab morbiditas dan mortalitas yang paling tinggi di dunia. 1,3 Tingkat

keberhasilan penetalaksanaan infeksi paru dari diagnosis dan pemberian antibiotik

yang tepat.4

World Health Organization (WHO) melaporkan 3,5 juta kematian akibat

infeksi saluran pernapasan bawah setiap tahun. Pada tahun 2015 angka kematian

global akibat infeksi saluran pernapasan adalah 43,4 kematian per 100.000 orang.

Angka ini merupakan penyebab kematian ketiga di dunia.3 Di Amerika Serikat,

terdapat 915.500 kasus infeksi saluran pernapasan bagian bawah setiap tahun dan

menyebabkan pengeluaran nasional melebihi US $ 10 milyar. 4 Penelitian yang

dilakukan oleh Oxford University mendapatkan mikroorganisme terbanyak adalah

Staphylococcus aureus (25%), Enterobacteriaceae (33,4%) Enterococci (12%),

Pseudomonas spp (5%).5 Berdasarkan data RISKESDAS 2018 prevalensi infeksi

saluran pernapasan atas berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan (nakes) adalah

sekitar 4,4% di Indonesia, sedangkan di Sumatera Barat sekitar 3,5% prevalensi.

Infeksi saluran pernapasan bawah menempati urutan ke-2 sebagai penyebab

kematian tertinggi di Indonesia.6

2
Penelitian retrospektif yang dilakukan di RSUD DR. Moewardi Surakarta

antara Januari 2009-November 2011 menemukan bakteri terbanyak adalah

pseudomonas aeruginosa (15,2%), Enterobacter cloacae (6,1%), Klebsiella

pneumonia (3%), Acinetobacter spp (3%), dan serratia marcessens (3%) dan

sensitive terhadap meropenem, imipenem, amikasi, pipperacilin, ertapenem,

colistin, levofloksasin.7 Pada penelitian di Bagian Paru RSUP Dr. M. Djamil

Padang 2015 yang dilaporkan oleh Yandra Darusman adalah jumlah penyakit

infeksi paru dengan kultur positif terbanyak adalah CAP yaitu sebanyak 213

(54,2%), dan berdasarkan jenis bakteri yang tumbuh didapatkan bakteri terbanyak

adalah Klebsiella pneumonia yaitu 169 (43,0%) pasien terbanyak adalah laki-laki

dengan 285 (72,5%), denga range umur 14-88 tahun, dengan umur rata-rata 49,1.

Penyebab infeksi terbanyak pada semua jenis penyakit infeksi paru adalah

Klebsiella pneumonia yang paling sensitif terhadap meropenem, gentamycin,

fosfomycin, ceftazidime, levofloxacin, dan ciprofloxacin.8

Pelaporan pola kuman dan uji sensitivitas sangat penting dilakukan secara

berkala setiap tahun terutam terhadap pasien di bangsal paru sebagai pedoman

klinis dalam memberikan antibiotik yang tepat dan mencegah penyebaran infeksi

lebih lanjut. Di RSUP M Djamil Padang sebagai pusat rujukan nasional sebaiknya

memiliki data mengenai pola kuman dan uji sensitivitas terhadap antibiotik pasien

infeksi saluran napas bawah yang diperbaharui setiap tahun dan diinformasikan

kepada klinisi di bangsal paru.

Oleh Karena itu penulis ingin melakukan penelitian ini untuk mengetahui

karakteristik pola kuman di RSUP M Djamil padang sehingga dapat menjadi

pedoman untuk pemberian antibiotik dan mengurangi resistensi antibiotik.

3
1.2 Rumusan Masalah

Bagaimanakan karakterisktik pola kuman dan sensitivitas antibiotik pada

pasien yang dirawat di bangsal paru RSUP Dr. M Djamil Padang periode 1

Januari 2020 – 31 Maret 2021.

1.3 Tujuan Penelitian

1.3.1 Tujuan Umum

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui karakteristik pola

kuman dan sensitivitas antibiotik pada pasien yang dirawat di bangsal paru RSUP

Dr. M. Djamil Padang periode 1 Januari 2020 – 31 Maret 2021.

1.3.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui karakteristik dasar pasien dan distribusi penyakit infeksi

saluran napas bawah dan pleura di bangsal paru RSUP M Djamil

Padang.

2. Mengetahui prevalensi penyakit infeksi saluran napas bawah dan

pleura terbanyak di bangsal paru.

3. Mengetahui pola kuman berdasarkan diagnosis penyakit infeksi

saluran napas bawah dan pleura di bangsal paru.

4. Mengetahui pola sensitivitas kuman terhadap antibiotik pada pasien

dengan diagnosis penyakit infeksi saluran napas bawah dan pleura di

bangsal paru.

4
1.3.3 Manfaat Penelitian

1. Bagi RSUP Dr. M. Djamil Padang

Data mengenai pola sensitivitas kuman dapat dijadikan dasar

pertimbangan dalam penyediaan antibiotik empiris dalam kurun waktu

tertentu dan pemilihan antibiotik yang sesuai dengan diagnosis.

2. Bagi Organisasi Perhimpunan Dokter Paru Indonesia

Dapat menjadi referensi dalam penyusunan panduan penatalaksanaan

infeksi saluran pernapasan bawah dan infeksi pleura di Indonesia.

3. Bagi Peneliti

Menjadi sarana untuk meningkatkan pemahaman mengenai pola

sensitivitas kuman dalam pemberian terapi antibiotik pada pasien.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

Infeksi saluran pernapasan merupakan akibat langsung dari akuisisi virus

atau bakteri patogen, diikuti oleh pertumbuhan berlebih, penyebaran, dan dalam

beberapa kasus dikarenakan oleh invasi jaringan.9 Infeksi saluran pernapasan

bagian bawah/ Lower respiratory tract infections (LRTI) disebutkan sebagai

penyebab kematian menular dan penyebab kematian nomor enam secara

keseluruhan di seluruh dunia mencakup diagnosis pneumonia, bronkitis, atau

bronkiolitis (pada anak kecil) dan infeksi alveolar paru dan saluran napas lainnya,

yang disebabkan oleh bakteri, virus, jamur, dan bahkan parasit.2

Infeksi saluran pernapasan yang disebabkan oleh bakteri kebanyakan

adalah Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Mycoplasma

pneumoniae, Staphylococcus aureus, Legionella species, Chlamydia pneumoniae,

dan Moraxella catarrhalis. etiologi mikroba dapat berubah tergantung penyebaran

vaksin konjugasi dan peran virus patogen. Patogen bakteri sering terjadi

berdampingan dengan virus, namun terapi awal dengan kejadian ini difokuskan

kepada bakteri. Berdasarkan ATS/IDSA 2019, rekomendasi terapi yang

digunakan pada contoh infeksi seperti Pneumonia dengan rawat inap adalah

kombinasi beta laktam (contoh: ampisilin, sefotaxim, seftriakson, atau ceftarolin)

dan makrolid (contoh: azitromisin atau klaritromisin atau kombinasi beta laktam

dan fluroquinolon (contoh: levofloksasin atau moxifloksasin). Sementara itu,

terapi pasien rawat jalan tanpa komorbid adalah amoksisilin, doksisiklin, atau

golongan makrolid; terapi pasien rawat jalan dengan komorbid seperti penyakit

jantung, paru, ginjal, diabetes melitus, dll adalah kombinasi amoksisilin atau

6
sefalosporin dengan makrolid atau doksisiklin atau terapi monoterapi dengan

fluroquinolon.(Metlay JP, Waterer GW, Long AC, et al. Diagnosis and Treatment

of Adults with Community-acquired Pneumonia. An Official Clinical Practice

Guideline of the American Thoracic Society and Infectious Diseases Society of

America. American Journal of Respiratory and Critical Care Medicine.

2019;200:e45-e60)

Menurut WHO infeksi pernapasan akut akan memicu pneumonia.

Pneumonia disebabkan oleh sejumlah agen penular, termasuk virus, bakteri, dan

jamur. Penyebab paling umum adalah Streptococcus pneumoniae sebagai

penyebab paling umum dari pneumonia bakterial pada anak-anak; Haemophilus

influenzae tipe b (Hib) sebagai penyebab paling umum kedua dari pneumonia

bakterial; respiratory syncytial virus adalah penyebab virus paling umum dari

pneumonia; pada bayi yang terinfeksi HIV, Pneumocystis jiroveci adalah salah

satu penyebab paling umum dari pneumonia, bertanggung jawab atas setidaknya

seperempat dari semua kematian akibat pneumonia pada bayi yang terinfeksi HIV.

Pneumonia harus diobati dengan antibiotik. Antibiotik pilihannya adalah tablet

dispersibel amoksisilin. Rawat inap hanya direkomendasikan untuk kasus

pneumonia yang parah.(WHO. Pneumonia. https://www.who.int/news-room/fact-

sheets/detail/pneumonia#:~:text=In children under 5 years,the chest expands

during inhalation). 2019)

Berdasarkan skala Asia-Pasifik, penyebab terbanyak dari infeksi

pernapasan dalam hal ini Pneumonia adalah Streptococcus pneumoniae.

Sementara itu, etiologi Pneumonia di Indonesia adalah Streptococcus

7
pneumoniae, Klebsiella pneumonia, Chlamydophila pneumonia, Moraxella

catarrhalis, Legionela pneumophilla, virus Influenza A dan B, respiratory

synctytial virus, Parainfluenza virus, Human rhinovirus, Adenovirus, dan

Metapneumovirus.(Song JH, Huh K, Chung DR. Community-Acquired

Pneumonia in the Asia-Pacific Region. Semin Respir Crit Care Med 2016

;37:839–854.) Terdapat perbedaan penggunaan terapi pada setiap instansi

kesehatan setiap daerah di Indonesia, pada studi yang dilakukan di RSUP Prof.

Dr. R. D. Kandou Manado periode Januari – Desember 2017 terapi antibiotik

yang digunakan adalah Seftriakson dan Sefotaksim.(Nalang A, Citraningtyas G,

Lolo WA. Analisis Efektivitas Biaya (Cost Effectiveness Analysis) Pengobatan

Pneumonia Menggunakan Antibiotik Seftriakson Dan Sefotaksim Di Rsup Prof.

Dr. R. D. Kandou Manado. PHARMACON Jurnal Ilmiah Farmasi – UNSRAT.

2018;7:1-9) Sementara itu, Kombinasi betalaktam-makrolida (azitromisin-

seftriakson dan azitromisinsefotaksim) merupakan kombinasi antibiotik yang

paling banyak digunakan di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung pada pasien CAP

non-ICU (rentang waktu Januari – Desember 2018).(Fatin MNA, Rahayu C,

Suwantika AA. Analisis Efektivitas Biaya Penggunaan Antibiotik pada Pasien

Community-acquired Pneumonia di RSUP Dr. Hasan Sadikin Bandung. Jurnal

Farmasi Klinik Indonesia. 2019;8(3):228-236) RSUD Kabupaten Bombana

menggunakan antibiotik Sefotaksim dan Gentamisin sebagai obat yang paling

banyak digunakan dalam rentang periode Januari-Desember 2016.(Musdalipah,

Setiawan MA, Santi E. Analisis Efektivitas Biaya Antibiotik Sefotaxime Dan

Gentamisin Penderita Pneumonia Pada Balita Di Rsud Kabupaten Bombana

Provinsi Sulawesi Tenggara. Jurnal Ilmiah Ibnu Sina. 2018. 3(1), 1-11) Antibiotik

8
yang paling banyak digunakan di RSUD Budhi Asih Jakarta untuk terapi CAP

adalah Seftriakson, dan yang paling sedikit adalah Sefiksim dan Seftadiazim.

(Pahriyani A, Khotimah N, Bakar L. Evaluasi Penggunaan Antibiotik Pada Pasien

Community Acquired Pneumonia (CAP) Di Rsud Budi Asih Jakarta Timur.

Farmasains. 2015;2:1-5) Sementara itu, terapi antibiotik yang paling banyak

digunakan pada pasien Pneumonia bangsal paru anak RSUP Dr. M. Djamil adalah

Amoksisilin.(Juwita DA, Arifin H, Yulianti N. Kajian Deskriptif Retrospektif

Regimen Dosis Antibiotik Pasien Pneumonia Anak di RSUP. Dr. M. Djamil

Padang. Jurnal Sains Farmasi & Klinis. 2017. 3(2):128-133)

2.1 Karakteristik Bakteri Aerob dan Anaerob

Klasifikasi fenotipe bakteri menempatkan ke dalam kelompok berdasarkan

karakteristik yang mudah diidentifikasi, yang meliputi reaksi pewarnaan Gram,

morfologi seluler mikroskopis, kebutuhan oksigen, dan kemampuan untuk

membentuk endospora. Bakteri dapat dikategorikan lebih lanjut berdasarkan

kemampuannya untuk memanfaatkan atau mentolerir oksigen yaitu anaerob dan

aerob. Reaksi pewarnaan Gram membagi bakteri menjadi bentuk gram positif atau

gram negatif berdasarkan perbedaan komposisi dan ketebalan dinding selnya.

Morfologi seluler bakteri terdiri dari cocci (kokus/bola), basil (batang), dan

spirochetes (batang melengkung atau bentuk spiral).12

9
Gambar 1 . Struktur Bakteri

Dikutip dari (12)

BAKTERI
Gram (-)
Aerob Anaerob

Gram (+) Gram (+) Gram (-)


Streptococcus a Klebsiella
COCCUS
hemolitikus pneumonia COCCUS
Peptococcus
Staphylococcus Pseudomonas Tidak ada
aureus aeruginosa Peptostreptococcus
BACILL
Methicili-resistant Acinetobacter BACILL
staphylococcus baumannii Bacteroides
aureues Clostridia
Fusobacterium
Streptococcus Proprionibacterium
pneumonia
Diagram 1. Klasifikasi Bakteri

Dikutip dari (12)

2.1.1 Bakteri Anaerob

Bakteri anaerob sulit diisolasi dan seringkali tidak dikenali. Bakteri

anaerob adalah bakteri yang tumbuh dalam suasana kurang atau tidak ada oksigen.

Keberadaan oksigen akan menyebab bakteri mati atau terhambat pertumbuhannya.

Hal ini dikarenakan dalam suasana ini akan terbentuk H2O2 yang bersifat toksik

terhadap bakteri. Keterlambatan dalam menerapkan terapi yang tepat dapat

menyebabkan kegagalan klinis. Isolasi bakteri anaerob membutuhkan metode

pengumpulan, pengangkutan dan budidaya spesimen yang tepat. Pengobatan

10
dipersulit oleh pertumbuhan in-vitro yang lambat, sifat polimikroba infeksi dan

resistensi antimikroba organisme yang meningkat.10,13

Bakteri anaerob dibedakan menjadi 2 yaitu anaerob obligat dan anaerob

fakultatif. Anaerob obligat yaitu bakteri yang sama sekali tidak dapat tumbuh dan

memiliki efek letal terhadap keberadaan oksigen. Hal ini dikarenakan bakteri

kelompok ini tidak memiliki superoksida dismutase (SOD) dan katalase yang

berfungsi menghilangkan efek toksik radikal oksigen serta hydrogen peroksidase

yang menyebabkan mampu mentoleransi terhadap oksigen (aerotolerant). Contoh

dari anaerob obligat adalah Clostridium tetani dan Bacteroides. Sedangkan

anaerob fakultatif, yaitu bakteri yang masih dapat hidup pada kondisi ada sedikit

oksigen. Sebagian besar bakteri kelompok anaerob fakultatif adalah pathogen.

Contoh dari anaerob fakultatif adalah beberapa spesies dari

Enterobacteriaceae.10,14

Bakteri anaerob juga dapat dibedakan dari bentuknya, yaitu kokus dan

batang. Bakteri anaerob kokus gram positif yaitu Anaerococcus, Finegoldia,

Peptostreptococus, sedangkan bakteri anaerob kokus gram negatif adalah

Veilonella. Untuk bakteri anaerob batang gram positif contohnya Actinomyces,

Bifidobacterium, Clostridium, Lactobacillus, Mobiluncus, Propionibacterium,

sedangkan bakteri anaerob batang gram negatif yaitu Bacteroides, Prevotella,

Porphyromonas, Fusobacterium.10

2.1.2 Bakteri Aerob

Bakteri aerob merupakan bakteri yang membutuhkan O2 untuk

pertumbuhannya. Sistem enzimnya membutuhkan O2 sebagai elektron aseptor

pada proses fosforilasi oksidatifnya. Bakteri aerob juga dapat dibedakan dari

11
bentuknya, yaitu kokus dan batang. Yang termasuk bakteri aerob kokus gram

positif yaitu Streptococcus, Staphylococcus, sedangkan untuk kokus gram negatif

yaitu Neisseria sp. Contoh bakteri aerob batang gram positif yaitu Bacillus sp dan

bakteri aerob batang gram negatif yaitu Pseudomonas, Shigella, Klebsiella.10

2.2 Pola Kuman pada Penyakit

2.2.1 Community Acquired Pneumonia (CAP)

Infeksi saluran pernapasan bagian bawah yang sering terjadi adalah

pneumonia. Pneumonia adalah penyakit infeksi yang menyerang jaringan

parenkim paru yang menyebabkan konsolidasi jaringan paru dan gangguan difusi.

Pneumonia yang didapat dari komunitas disebut Community Acquired Pneumonia

(CAP).15 CAP merupakan penyebab penting mortalitas dan morbiditas di seluruh

dunia. Di Inggris, dilaporkan bahwa setiap tahun ada 0,5-1% dari total populasi

orang dewasa yang menderita CAP dan 22-42% perlu berobat di rumah sakit

dengan angka kematian antara 5-14%. Kawasan Asia-Pasifik rentan terhadap CAP

dikarenakan populasi yang menua, urbanisasi yang padat, dan akses yang buruk

ke perawatan kesehatan. Insiden CAP yang tinggi menimbulkan beban kesehatan

dan ekonomi yang signifikan di wilayah ini. Menurut Riset Kesehatan Dasar RI

tahun 2013, pneumonia menempati urutan ke 9 (2,7%) dari 10 penyebab kematian

tertinggi di Indonesia.15,16

Patogen sebagi etiologi umum untuk CAP yang dapat diidentifikasi

termasuk Streptococcus pneumoniae, Haemophilus influenzae, Mycoplasma

pneumoniae, Chlamydophila pneumoniae, dan Legionella spp. Staphylococcus

aureus juga disebutkan sebagai agen yang paling umum sebagai penyebab CAP di

12
kawasan Asia-Pasifik. Streptococcus pneumoniae adalah patogen yang paling

umum, sebesar 29,2% diikuti oleh Klebsiella pneumoniae (15,4%), H. influenzae

(15,1%), C. pneumoniae (13,4%), dan M. pneumoniae (11,0%).16

Organisme yang berbeda dapat dikaitkan dengan pola infiltrat yang khas,

yang sering bermanifestasi dalam 12 jam setelah onset gejala. Pada pneumonia

nonsegmental atau lobar fokal bakterial yang khas disebabkan oleh organisme

seperti Streptococcus pneumoniae yang cenderung bermanifestasi dengan opasitas

ruang udara dalam 1 segmen atau lobus. Untuk bronkopneumonia multifokal atau

pneumonia lobar disebabkan oleh Staphylococcus aureus, Haemophilus

influenzae, dan jamur. Sedangkan untuk pneumonia "interstitial" fokal atau difus

disebabkan oleh organisme bakteri atipikal termasuk Legionella pneumophila,

Mycoplasma pneumoniae, dan Chlamydophila pneumoniae yang sering kali

melibatkan pangkal paru dalam pola retikulonodular bilateral, difus, tetapi diawali

sebagai kekeruhan lobaris terisolasi pada radiografi dada.4

2.2.2 Hospital Acquired Pneumonia (HAP)

Pneumonia yang didapat di rumah sakit / Hospital Acquired Pneumonia

(HAP) adalah infeksi parenkim paru yang disebabkan oleh patogen yang ada di

lingkungan rumah sakit. Pneumonia nosokomial berkembang pada pasien yang

dirawat di rumah sakit selama> 48 jam dan biasanya masa inkubasinya minimal 2

hari. HAP adalah infeksi nosokomial tersering kedua dan penyebab utama

kematian akibat infeksi nosokomial pada pasien sakit kritis. Insidensinya berkisar

dari 5 hingga lebih dari 20 kasus per 1000 pasien yang masuk rumah sakit, dengan

13
angka tertinggi pada pasien yang mengalami gangguan sistem imun, bedah, dan

lanjut usia.17

Di antara pneumonia nosokomial, ventilator-associated pneumonia/

pneumonia terkait ventilator (VAP) berkembang pada pasien unit perawatan

intensif (ICU) yang telah berventilasi mekanis setidaknya selama 48 jam.

Healthcare-associated pneumonia/ pneumonia terkait perawatan kesehatan

(HCAP) berkembang pada pasien yang tidak dirawat di rumah sakit yang

memiliki banyak resiko oleh patogen nosokomial multidrug-resistant (MDR).

Faktor risiko pengembangan HCAP adalah rawat inap selama 2 hari dalam 90 hari

sebelumnya, tinggal di panti jompo atau fasilitas perawatan tambahan, terapi infus

di rumah, dialisis kronis, perawatan luka di rumah dan kontak dengan subjek yang

dikolonisasi oleh patogen MDR.17

HAP dapat disebabkan bakteri aerob (gram positif dan gram negatif) dan

bakteri anaerob. Penyebab gram negatif pada HAP sebesar 50-60%. Bakteri utama

penyebab HAP adalah golongan Enterobacteriaceae (Klebsiella pneumonia,

E.coli, Serratia marcescens, Enterobacter spp), Acinetobacter spp, dan

Pseudomonas aeruginosa.4 Secara keseluruhan, patogen yang paling umum

diidentifikasi adalah bakteri Gram-negatif non-fermentasi (39%), diikuti oleh

Staphylococcus aureus (24%) dan bakteri enterik Gram-negatif (24%). Prevalensi

HAP polimikroba adalah 17%, sedangkan 40% memiliki patogen MDR.18

Penelitian yang dilakukan pada 73 Rumah Sakit di 10 negara Asia dari

tahun 2008 hingga 2009, mendapatkan hasil bahwa kuman yang paling dominan

pada pasien dengan HAP adalah Acinetobacter sp, Pseudomonas aeruginosa,

14
Staphyloccus aureus dan Klebsiella pneumoniae. Kejadian resistensi terhadap

Imipenem pada infeksi Acinetobacter dan P. aeruginosa sebesar 67.3% dan

27.2%. (Chung DR, Song JH, Kim SH, Thamlikitlul V, Huang SG, Wang H, dkk.

High Prevalence of Multidrug-Resistant Non-Fermenters in Hospital Acquired

Pneumonia in Asia. AJRCCM Article in Press. 2011:5-6.) Penelitian prospektif

observasional selama 10 tahun di China dari tahun 2007 hingga 2016, yang

meneliti karakteristik klinis dan mikrobiologis pasien dengan HAP, menunjukkan

bahwa Acinetobacter baumannii (25.6%), Pseudomonas aeruginosa (20.1%),

Klebsiella pneumoniae (15.4%) dan Staphylococcus aureus (12.6%) adalah

patogen tersering. Resistensi S.aureus terhadap methicillin menurun, sementara

resistensi terhadap carbapenem sebaliknya. (Yin Y, Zhao C, Li H, Jin L, Wang Q,

Wang R, dkk. Clinical and Microbiological Characteristics of Adults with

Hospital Acquired Pneumonia : a 10-year Prospective Observational Study in

China. European Journal of Clinical Microbiology & Infectious Disease.

2021;40:683-690.)

Sementara di Indonesia, berdasarkan data surveillance Divisi Penyakit

Tropik dan Infeksi Departemen Ilmu Penyakit Dalam (IPS) Rumah Sakit Cipto

Mangunkusumo (RSCM) menunjukkan selama tahun 2010 terdapat 595 kasus

pneumonia dengan 49 kasus (2.2%) diantaranya adalah HAP. Penelitian yang

dilakukan di Instalasi Rawat Inap IPD RSCM selama kurun waktu 1 Januari 2006

hingga 31 Desember 2012 menunjukkan bahwa pola kuman pada pasien yang

terdiagnosa HAP didominasi oleh kuman gram negatif yaitu Klebsiella

pneumonia sebanyak 59%, kemudian diikuiti oleh Acinetobacter (14.8%) dan

Pseudomonas (13.1%). (Halim S, Amin Z. Profil Klinis Pasien Hospital Acquired

15
Pneumonia di Ruang Rawat Penyakit Dalam. Ebes Papyrus. 2014;20(1):19-23.)

Data sekunder yang didapatkan dari Laboratorium Mikrobiologi RSUP dr.

Soeradji Tirtonegoro Klaten pada tahun 2017 menunjukkan bahwa Klebsiella

pneumonia adalah salah satu hasil biakan tersering yang didapatkan dari kultur

pasien HAP, dimana kuman tersebut hanya mempunyai sensitivitas yang tinggi

terhadap meropenem (98.43%), amikacin (93.75%), nitrofurantoin (88.89%) dan

fosfomisin (88.89%). (Virawan H, Nuryastuti T, Nirwati H. Multidrug-resistant

Klebsiella pneumoniae from clinical isolates at dr. Soeradji Tirtonegoro central

hospital Klaten. JKKI. 2020;11(2):109-120.)

2.2.3 Bronkiektasis

Bronkiektasis adalah suatu kondisi di mana pasien memiliki gejala sepsis

bronkial persisten atau rekuren yang berhubungan dengan bronkus yang melebar

dan rusak permanen. Diagnosis bronkiektasis harus dicurigai saat pasien datang

dengan batuk berulang atau terus menerus (> 8 minggu), dengan produksi sputum

purulen atau mukopurulen, terutama dengan faktor risiko terkait yang relevan,

seperti PPOK.19,20

Sebuah meta-analisis dari enam studi observasi terhadap 881 pasien,

menemukan bahwa prevalensi bronkiektasis adalah 54,3% pada pasien dengan

PPOK. Satu studi yang dilakukan pada 110 pasien dari 29 praktik umum di

Inggris menunjukkan bahwa prevalensi bronkiektasis adalah 29% pada pasien

dengan PPOK. Bronkiektasis ini disebabkan oleh bakteri pernapasan dan jamur

patogen, termasuk Pseudomonas aeruginosa, Haemophilus, Aspergillus

fumigatus, dan mikobakteri nontuberkulosis. Pasien dengan risiko eksaserbasi

16
yang lebih tinggi agen patogen lain yang memungkinkan selain yang disebutkan

yaitu methicillin-resistant Staphylococcus aureus (MRSA) kolonisasi.19,20

Hasil studi menunjukkan H. influenzae ditemukan di sekitar setengah dari

kultur dahak dari pasien dengan bronkiektasis; P. aeruginosa dalam 12-30%; dan

NTM, Moraxella, Prevotella, dan Veillonella masing-masing sekitar 8–10%.

Studi tentang mikrobiologi dahak dari pasien bronkiektasis sering

mengidentifikasi H. influenzae sebagai spesies yang paling sering diisolasi, yang

sering berkorelasi dengan keparahan penyakit, dengan P. aeruginosa hadir dalam

subset yang sedikit lebih kecil, tetapi terkait dengan penyakit yang paling parah.20

Sebuah tinjauan sistematis studi observasi mengidentifikasi bahwa infeksi P.

aeruginosa dikaitkan dengan peningkatan tiga kali lipat dalam risiko kematian,

peningkatan hampir tujuh kali lipat dalam risiko masuk rumah sakit dan rata-rata

satu eksaserbasi tambahan per pasien per tahun.21

2.2.4 Abses Paru

Abses paru merupakan salah satu penyakit infeksi paru yang didefinisikan

sebagai kematian jaringan paru-paru dan pembentukan rongga yang berisi sel-sel

mati atau cairan akibat infeksi destruktif berupa lesi nekrotik pada jaringan paru

yang terlokalisir sehingga membentuk kavitas yang berisi nanah (pus) dalam

parenkim paru pada satu lobus atau lebih. Abses paru harus dibedakan dengan

cavitas pada pasien tuberkulosis paru. Abses paru lebih sering terjadi pada laki-

laki dibanding perempuan dan umumnya terjadi pada umur tua karena terdapat

peningkatan insidens penyakit periodontal dan peningkatan prevalensi aspirasi.22

17
Abses paru dapat dibagi menjadi abses paru akut (kurang dari 6 minggu)

dan kronis (lebih dari 6 minggu). Klasifikasi lain abses paru dapat dikelompokkan

menjadi abses paru primer akibat aspirasi sekresi orofaringeal (infeksi gigi/

periodontal), sinusitis para nasal, gangguan penurunan kesadaran, penyakit refluks

gastroesofagus, pneumonia nekrotikans atau pada pasien yang mengalami

gangguan sistem imun. Abses paru sekunder terjadi pada obstruksi bronkial (oleh

tumor, benda asing atau pembesaran kelenjar getah bening), dengan penyakit paru

yang menyertai (bronkiektasis, emfisema bulosa, fibrosis kistik, infark paru yang

terinfeksi, memar paru), kemudian menyebar dari tempat ekstrapulmonal-

hematogen (sepsis perut, endokarditis infektif), kanula terinfeksi atau kateter vena

sentral, tromboemboli septik) atau dengan penyebaran langsung (fistula broncho-

esofagus, abses subphrenic).23

Di lebih dari 90% kasus abses paru dapat ditemukan bakteri polimikroba

(10). Dari bakteri anaerob pada isolat dominan abses paru yaitu Bacteroides

fragilis gram negatif, Fusobacterium capsulatum dan necrophorum,

Peptostreptococcus anaerob gram positif dan Streptokokus mikroearofilik. Dari

isolat bakteri aerob yang dominan pada abses paru adalah Staphylococcus aureus

(termasuk methicillin resistant staphylococcus aureus (MRSA)), Streptococcus

pyogenes dan S. pneumonia, Klebsiella pneumonia, Pseudomonas aeruginosa,

Haemophilus influenza (tipe B), Acinetobacter spp, Escherichionia coli.23

2.2.5 Empiema

Empiema didefinisikan sebagai kumpulan nanah di dalam rongga pleura

atau pada kultur dari cairan pleura. Empiema biasanya dikaitkan dengan

pneumonia tetapi juga dapat berkembang setelah operasi toraks atau trauma

18
toraks. Di Amerika Serikat, ada sekitar 32.000 kasus per tahun. Empiema

dikaitkan dengan peningkatan morbiditas dan mortalitas, sekitar 20% sampai 30%

pasien yang terkena akan meninggal atau memerlukan pembedahan lebih lanjut

pada tahun pertama setelah empiema berkembang. Intervensi dini sangat penting

dalam pengelolaan empiema.24

Perkembangan empiema dapat digambarkan dalam beberapa rangkaian

peristiwa. Selama proses inflamasi seperti pneumonia, terjadi peningkatan

produksi cairan di rongga pleura yang dikenal sebagai tahap eksudat. Saat

penyakit berkembang, mikroorganisme, biasanya bakteri, dapat menjajah cairan

dan menghasilkan empiema. Cairan ini ditandai dengan peningkatan laktat

dehidrogenase, protein, neutrofil, dan sel mati. Secara makroskopik ditemukan

cairan buram kental pada stadium fibrinopurulen. Setelah infeksi sembuh dan

sebagai konsekuensi dari peradangan, terjadi proses fibrosis yang dapat

menyebabkan terbatasnya parenkim paru. Intervensi yang tepat dan dini sangat

penting untuk mengurangi komplikasi dan kematian.25

Tabel 1. Bakteri Penyebab Empiema23

Bakteri Community-acquired Hospital Acquired

Gram positif 65% 51%

Gram negatif 17% 38%

Anaerob 18% 11%

Most common Viridans streptococci Staphylococcus aureus


organism 25% Methicillin- resistan 31 %
Methicillin sensitive 11 %

19
Streptococcus
pneumonia 23,8%

Staphylococcus aureus Enterobacteriacae 13,6%


Methicillin-resistant 4%
Methicillin sensitive
11,4 %

Viridans streptococci 9%

Enterobacteriacae Pseudomonas species 6,5%


7,5%

Pseudomonas species Klebsiella species 6%


3,2%

Tabel 1 memaparkan prevalensi bakteri sebagai agen penyebab infeksi.

Bakteri dibagi menjadi 2 kelompok utama berdasarkan asalnya yaitu CA dan HA.

Kuman anaerob penyebab tersering empyema adalah Viridans streptococci dan

mereka adalah bakteri komensal pada mulut. Studi yang dilakukan oleh Bedawi

dkk, menemukan 70 % sampel empiema terdapat bakteri anaerob dan hampir

seperempatnya memiliki 3 jenis atau lebih kuman. Hal ini menunjukkan emipema

disebabkan lebih dari 1 kuman. Pada CA, Viridans streptococci menjadi penyebab

tersering. Pada laporan dari Far East, Klebsiella paling sering , khususnya pada

infeksi HA. Hal ini sesuai dengan tingginya prevalensi infeksi piogenik yang

disebabkan Klebsiella diseluruh dunia.26

Pemberian antibiotik dan pengendalian sumber secara cepat adalah hal

yang mendasar. Perawatan empiema biasanya melibatkan perawatan

medikamentosa dan bedah. Pada empiema yang didapat dari komunitas,

20
penggunaan sefalosporin generasi ketiga atau keempat ditambah metronidazol

atau ampisilin dengan penghambat beta-laktamase akan memberikan hasil yang

baik. Pada empiema yang didapat di rumah sakit atau trauma, dan pembedahan,

yang penyebabnya Pseudomonas dan MRSA dengan menambahkan vankomisin,

sefepim, dan metronidazol atau piperasilin-tazobaktam sangat penting. Karena

sulitnya mengisolasi anaerob. Tidak ada manfaat yang terbukti dari pemberian

antibiotik intrapleural. Antibiotik harus diberikan selama 2 sampai 6 minggu,

tergantung pada respon pasien, lingkungan, dan organisme.27

2.2.6 Bronkitis

Bronkitis adalah peradangan pada saluran bronkial, menyebabkan

pembengkakan yang berlebihan dan produksi lendir. Batuk, peningkatan

pengeluaran dahak dan sesak napas adalah gejala utama bronkitis. Bronkitis dapat

bersifat akut atau kronis. Bronkitis akut disebabkan oleh infeksi yang sama yang

menyebabkan flu biasa atau influenza dan berlangsung sekitar beberapa minggu.28

Penyebab penyakit bronkitis sering disebabkan oleh virus seperti

Rhinovirus, Respiratory Syncitial Virus (RSV), virus influenza, virus para

influenza, dan coxsackie virus. Bronkitis dapat juga disebabkan oleh parasit

seperti askariasis dan jamur. Selain penyakit infeksi, bronkitis dapat pula

disebabkan oleh penyebab non infeksi seperti bahan fisik atau kimia serta faktor

risiko lainnya yang mempermudah seseorang menderita bronkitis misalnya

perubahan cuaca, alergi, polusi udara dan infeksi saluran napas atas kronik.28

Banyak penelitian terkait pengaruh kebiasaan merokok dalam

meningkatkan kasus bronkitis baik perokok yang masih aktif ataupun mantan

perokok. Biasanya Indeks Brinkman selalu digunakan untuk menilai risiko akibat

21
dari merokok yakni perkalian antara jumlah rata-rata batang rokok yang dihisap

sehari dikalikan lama merokok dalam tahun.29

2.2.7 Penyakit Paru Obstruktif Kronik Eksaserbasi Akut

Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) eksaserbasi akut didefinisikan

sebagai perburukan kondisi pasien melewati normal yang berkelanjutan dengan

variasi dari hari ke hari yang onset nya akut dan mungkin juga memerlukan

perubahan dalam pengobatan dan atau rawatan rumah sakit. Eksaserbasi memiliki

efek yang signifikan dan berkepanjangan pada status dan hasil luaran kesehatan,

dan punya efek negatif pada fungsi paru. (Pavord ID, Jones PW, Burgel PR, Rabe

KF. Exacerbations of COPD. International Journal of COPD. 2016;11:21-30.)

PPOK eksaserbasi akut adalah kondisi respirasi kronik yang umum terjadi pada

usia tua yang dikarakteristikan sebagai hambatan jalan napas progresif yang

ireversibel. (Beasley V, Joshi PV, Singanayagam A, Molyneaux PL, Johnston S,

Mallia P. Lung Microbiology and Exacerbations in COPD. International Journal

of COPD. 2012:7;555-569.) Klasifikasi PPOK eksaserbasi akut Anthonisen,

membagi PPOK eksaserbasi akut menjadi 3 tipe, tipe I (tipe yang paling berat),

ketika pasien memiliki 3 gejala yaitu peningkatan volume sputum, peningkatan

purulensi sputum dan peningkatan sesak napas. Tipe II ketika pasien memiliki 2

dari 3 gejala, sementara tipe III memiliki 1 dari 3 gejala disertai salah satu gejala

seperti infeksi saluran napas atas dalam kurun waktu 5 hari terakhir, peningkatan

wheezing, peningkatan batuk, demam yang tidak diketahui penyebabnya,

peningkatan 20% respiratory rate dan denyut jantung dibawah normal. (Lawati

NA, Gerald MF. Acute Exacerbation of Chronic Obstructive Pulmonary Disease.

BC Medical Journal. 2008;50(3):138-141.)

22
Penyebab mayor terjadinya eksaserbasi pada pasien PPOK adalah infeksi

saluran napas baik virus maupun bakteri. Infeksi adalah penyebab utama PPOK

eksaserbasi akut yang mengakibatkan mortalitas dan morbiditas signifikan pada

pasien. Lebih dari 50% pasien dengan PPOK eksaserbasi akut berhubungan

dengan infeksi bakteri. Mikroorganisme terbanyak yang ditemukan pada pasien

PPOK eksaserbasi akut adalah Moraxella catarrhalis, Streptococcus pneumonia,

Haemophilus influenza, Pseudomonas aeruginosa, Staphylococcus aureus,

Haemophilus parainfluenza. Penelitian yang dilakukan selama tahun 2013 hingga

2016 di Singapore, ditemukan bakteri pada 39.6% dari total 101 sampel sputum

pasien PPOK eksaserbasi akut dengan bakteri terbanyak yaitu Pseudomonas

aeruginosa, Hemophilus influenza, Klebsiella pneumoniae dan Acinetobacter

baumannii. (Beasley V, Joshi PV, Singanayagam A, Molyneaux PL, Johnston S,

Mallia P. Lung Microbiology and Exacerbations in COPD. International Journal

of COPD. 2012:7;555-569.) (Erkan L, Uzun O, Findik S, Katar D, Sanic A, Atici

A. Role of Bacteria in Acute Exacerbations of Chronic Obstructive Pulmonary

Disease. International Journal of COPD. 2008:3(3) 463-467.) (Tiew PY, Koh

MS, Tan JHY, Soh RY, Ong TH, Loo CM, dkk. Bacteria Profile of Acute

Exacerbations of Chronic Obstructive Pulmonary Disease in Singapore.

Schweizerische Gesellschaft fur Pneumologie. 2017;2.) Infeksi bakteri sebagai

salah satu etiologi penting pada PPOK eksaserbasi akut memberikan tempat

kepada antibiotik untuk digunakan sebagai salah satu tatalaksana dalam praktik

klinis penanganan PPOK eksaserbasi akut. Rekomendasi pemberian antibiotik

pada strategi Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD)

adalah kategori B. Beberapa penelitian menyatakan bahwa penggunaan terapi

23
antibiotik selama PPOK eksaserbasi akut dapat menurunkan risiko kegagalan

pengobatan dan juga beberapa data menunjukkan manfaat jangka panjang dengan

menurunkan risiko eksaserbasi akut berulang pada pasien.(Manalan K, Rashid T,

Singanayagam A. Antibiotic Treatment in Exacerbations of Chronic Obstructive

Pulmonary Disease : Recent Trial Results. Clin Invest Lond. 2015;5(2):189-204.)

Penggunaan terapi antibiotik hanya diberikan pada pasien yang diasumsikan

terinfeksi bakteri. Penilaian klinis atau parameter klinis yang dapat digunakan

sebagai pengambilan keputusan adanya infeksi bakteri pada pasien PPOK

eksaserbasi akut adalah adanya sputum purulen. Membedakan infeksi akut dan

kolonisasi kronik pada pasien PPOK eksaserbasi akut, kadar prokalsitonin dapat

digunakan sebagai marker untuk terapi antibiotik. Jika kadar prokalsitonin

meningkat, terapi antibiotik harus diberikan. Durasi penggunaan antibiotik

biasanya selama 5-7 hari. (Viniol C, Vogelmeier CF. Exacerbations of COPD. Eur

Respir Rev. 2018;27:1-7.) Penelitian yang dilakukan oleh 11 klinisi yang

berpengalaman dalam penelitian dan manajemen PPOK, mendapatkan bahwa

penggunaan antibiotik amoksisilin atau klavulanat selama 8 hari atau

trimetropin/sulfametoksazol, doksisiklin atau amoksisilin selama 7-10 hari

menurunkan kegagalan pengobatan pada pasien PPOK eksaserbasi akut.

(Wedzicha JA, Miravitlles M, Hurst JR, Calverley PMA, Albert RK, Anzueto A,

Criner GJ, dkk. Management of COPD Exacerbations : a European Respiratory

Society/American Thoracic Society Guideline. Eur Respir J. 2017;49:1-13.)

24
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Desain penelitian adalah deskriptif retrospektif tentang karakteristik

pola sensitivitas kuman pada spesimen yang berasal dari pasien yang

dirawat di bangsal Paru RSUP Dr. M. Djamil Padang periode 1 Januari

2020 – 31 Maret 2021.

3.2 Tempat Penelitian

Tempat penelitian dilakukan di bangsal paru RSUP dr. M. Djamil Padang.

3.3 Subjek Penelitian

Pasien infeksi saluran napas bawah bakterialis yang dirawat di

bangsal Paru RSUP Dr. M. Djamil Padang periode 1 Januari 2020 – 31

Maret 2021 yang memiliki hasil kultur kuman dan sensitivitas terhadap

antibiotik.

Kriteria Inklusi:

Pasien infeksi saluran napas bawah bakterialis yang dirawat di bangsal

Paru RSUP Dr. M. Djamil Padang periode 1 Januari 2020 – 31 Maret 2021

dengan data rekam medik lengkap dan ditemukan pertumbuhan bakteri pada

pemeriksaan kultur kuman dan sensitivitas terhadap antibiotik

Kriteria eksklusi:

Apabila data rekam medik tidak lengkap atau apabila hasil kultur bakteri

tidak ada dan uji sensitifitas dari sputum.

25
3.4 Cara Pengumpulan Data

Data yang diambil dari arsip hasil kultur kuman dan arsip Rekam

Medik penderita infeksi saluran napas bawah bakterialis yang dirawat di

bangsal Paru selama periode 1 Januari 2020 – 31 Maret 2021 dibagian

Rekam Medik RSUP. Dr. M. Djamil Padang sesuai dengan nomor register

penderita.

3.5 Pengolahan Data

Data yang diperoleh diolah secara komputerisasi dengan

menggunakan excel dan disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi

dan grafik.

3.6 Definisi Operasional

1. Penyakit infeksi saluran napas bawah yaitu diagnosis yang tertulis

di rekam medik yaitu penyakit infeksi paru terdiri dari Community

Acquired Pneumonia (CAP), Hospital Acquired Pneumonia

(HAP), bronkiekstasis terinfeksi, abses paru, bronkitis akut dan

empiema.

2. Data karakteristik dasar dalam penelitian ini adalah meliputi umur,

jenis kelamin, status perokok dan penyakit komorbid.

26
3. Umur dinyatakan dalam tahun berdasarkan ulang tahun terakhir

pasien pada Kartu Tanda Penduduk (KTP). Pengelompokkan umur

dalam interval usia 10 tahun, terdiri dari usia < 20 tahun, 20-29

tahun, 30-39 tahun, 40-49 tahun, 50-59 tahun, 60-69 tahun, 70-79

tahun, serta > 79 tahun.

4. Status perokok dikelompokan menjadi 3 kelompok, yaitu: perokok,

bekas perokok dan tidak merokok.

5. Penyakit komorbid terdiri dari asma, penyakit paru obstruksi

kronik (PPOK), TB paru, keganasan, diabetes melitus (DM) dan

congestive heart disease (CHF)

6. Spesimen kultur yang dikirim mencakup sputum, cairan pleura, pus

abses dan bilasan bronkoskopi.

7. Jenis bakteri adalah bakteri yang ditemukan pada kultur bakteri

pada pasien dengan penyakit infeksi bakterialis. Kategori kuman

gram positif adalah Streptococcus α hemolitikus, Staphylococcus

aureus, Methicillin-resistant Staphylococcus aureus, dan

Streptococcus pneumonia. Kateogori kuman gram negatif adalah

Klebsiella pneumonia, Pseudomonas aeruginosa, dan

Acinetobacter baumannii

8. Hasil uji sensitivitas kepekaan suatu antibiotik terhadap suatu

bakteri sesuai dengan ketentuan Laboratorium Mikrobiologi di

Instalasi Laboratorium sentral RSUP Dr. M. Djamil Padang yaitu

resisten, intermediet, dan sensitif terhadap antimikroba. Antibiotik

yang diuji sensitivitas kepekaannya untuk bakteri gram positif

27
adalah Benzylpenicillin, Oxacillin, Gentamicin, Ciprofloxacin,

Levofloxacin, Moxifloxacin Eryhtromicin, Clindamycin,

Vancomycin, Tetracycline dan Trimethroprim/Sulfametheoxazole.

Antibotik yang diuji sensitivitas kepekaanya untuk bakteri gram

negatif adalah Ampicillin, Ampicillin+Sulbaktam, Cefazolin,

Ceftazidime, Ceftriaxon, Cefepime, Meropenem, Amikacin,

Gentamicin, Ciprofloxacin, dan Trimethroprim/Sulfametheoxazole.

28
3.7 Alur Penelitian

Pasien dengan infeksi saluran napas bawah dan pleura : CAP,


HAP, Bronkiektasis, Abses Paru, Empiema, Bronkitis dirawat di
bangsal paru RSUP M Djamil Padang periode 1 Januari 2020 –
31 Maret 2021

Telusur rekam medis

Karakteristik

 Umur
 Jenis kelamin
 Komorbid
 Riwayat Merokok

Pemeriksaan kultur sensitivitas kuman


banal

Kuman yang tumbuh :


Kepekaan terhadap
1. Klebsiella pneumonia antibiotik
2. Streptococcus aureus
3. Methilin resistant 1. Sensitif
staphylococcus aureus 2. Intermediet
4. Pseudomonas 3. Resisten
aeruginas
5. Streptococcus
pneumonia

Gram (+) Gram (-)


Streptococcus a Klebsiella
hemolitikus pneumonia

Staphylococcus Pseudomonas 29
aureus aeruginosa

Methicili-resistant Acinetobacter
staphylococcus baumannii
DAFTAR PUSTAKA

1. NCBI. Diakses pada 2019. Respiratory Tract Infections - Antibiotik

Prescribing.

2. Noviello S, Huang DB. The basics and the advancements in diagnosis

of bacterial lower respiratory tract infections. Diagnostics.

2019;9(2):1–12

3. Soepandi PZ, Burhan E, Nawas A GS. Hospital Acquired Pneumonia

(HAP) dan Ventilator Associated Pneumonia (VAP) Pedoman

Diagnosis dan Penatalaksanaan di Indonesia. Jakarta: Perhimpunan

Dokter Paru Indonesia; 2018. p. 1–5.

4. Modi AR, Kovacs CS. Community-acquired pneumonia: Strategies

for triage and treatment. Cleve Clin J Med. 2020;87(3):145–51.

5. Maskell NA, Batt S, Hedley EL, Davies CW, Gillespie SH, Davies

RJ, The Bacteriology of Pleural Infection by Genetics and Starndar

Methods and its Mortality Signifiance, American Journal Respiration

Critical Care Medicine : 2006;174:817-23

6. Riset Kesehatan Dasar. Laporan Provinsi Sumatera Barat RISKEDAS

2018.2018

7. Surjanto E, Sutanto YS, Harsini, Puspitasari Y, Karakteristik Pasien

Empiema di Rumah Sakit Dr. Moewardi. J Respirologi Indonesia.

2013;33:117-21

30
8. Darusman Y. Pola dan Sensitivitas Kuman Pada Infeksi Paru

Bakterialis yang dirawat di Bangsal Paru RSUP Dr. Mdjamil Padang

Periode 1 Januari 2014 - 31 Desember 2015. Padang: Bagian

Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi FK UNAND; 2015: h. 3-32.

9. Hakansson AP, Orihuela CJ, Bogaert D. Bacterial-host interactions:

Physiology and pathophysiology of respiratory infection. Physiol Rev.

2018;98(2):781–811. 10.

10. Brooks GF, Butel JS, Morse SA. Jawetz, Melnick & Adelberg's

Medical Microbiology: McGraw-Hill Medical; 2012

11. Kim J, Lee Y, Park Y, Kim M, Choi JY, Yong D, Jeong SH, Lee K.

Anaerobic Bacteremia: Impact of Inappropriate Therapy on Mortality.

Infect Chemother. 2016; 48(2): 91-98

12. Post KW. Overview of Bacteria. In Diseases of Swine. 2019: 743-48

13. Brook, I. Spectrum and treatment of anaerobic infections. Journal of

Infection and Chemotherapy. 2016; 22(1),1–13.

14. Greenwood D, Barer M, Slack R, Irving W. Medical Microbiology A

Guide to Microbial Infections: Pathogenesis, Immunity, Laboratory

Investigation and Control. Edinburgh: Chrunchill Livingstone

Elsevier; 2012

15. Suryawan K, Iswari I, Fatmawati N, Tarini N, Budayanti N. Bacterial

and Antibiotic Sensitivity Patterns among Pneumonia Patients at

Sanglah Hospital Denpasar, Bali. Int J Med Rev Case Reports. 2020;

(0):1.

31
16. Song JH, Huh K, Chung DR. Community-Acquired Pneumonia in the

AsiaPacific Region. Semin Respir Crit Care Med. 2016;37(6):839–54.

17. Torres A, Niederman MS, Chastre J, et al. International

ERS/ESICM/ESCMID/ALAT guidelines for the management of

hospital-acquired pneumonia and ventilator-associated pneumonia.

Eur Respir J. 2017; 50: 1700582.

18. Ranzani OT, Senussi T, Idone F, et al. Invasive and non-invasive

diagnostic approaches for microbiological diagnosis of hospital-

acquired pneumonia. Crit Care. 2019.

19. Gruffydd-Jones K, Keeley D, Knowles V, Recabarren X, Woodward

A, Sullivan AL, et al. Primary care implications of the British

Thoracic Society Guidelines for bronchiectasis in adults 2019. npj

Prim Care Respir Med. 2019;29(1)

20. Boyton RJ, Altmann DM. Bronchiectasis: Current Concepts in

Pathogenesis, Immunology, and Microbiology. Annual Review of

Pathology: Mechanisms of Disease. 2016;11(1:, 523–554.

21. Polverino E, Goeminne PC, McDonnell MJ, Aliberti S, Marshall SE,

Loebinger MR, et al. European Respiratory Society guidelines for the

management of adult bronchiectasis. Eur Respir J . 2017;50(3):1–19

22. Rasyid A. Abses paru. Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I,

Simadibrata KM, Setiati S,editors. Buku ajar ilmu penyakit dalam.

Jilid II. Edisi IV. Jakarta: Balai Penerbit FK UI; 2006.hal.1052-5.

32
23. Kuhajda I, Zarogoulidis K, Tsirgogianni K, Tsavlis D, Kiomis I, et al.

Lung abscess-etiology, diagnostic and treatment options. Ann Transl

Med. 2015; 3(13): 183.

24. Bostock IC, Sheikh F, Millington TM, Finley DJ, Phillips JD.

Contemporary outcomes of surgical management of complex thoracic

infections. J Thorac Dis. 2018;10(9):5421-5427.

25. Feller-Kopman D, Light R. Pleural Disease. N Engl J Med.

2018;378(8):740-751.

26. Bedawi EO, Hassan M, Rahmann NM. Recent developments in the

management of pleural infection: A comprehensive review. Clinical

Respirology Journal.2018;12(8):2309-20

27. Kelly MM, Coller RJ, Kohler JE, Zhao Q, Sklansky DJ, Shadman KA,

Thurber A, Barreda CB, Edmonson MB. Trends in Hospital Treatment

of Empyema in Children in the United States. J Pediatr. 2018;

202:245-251

28. Karunanayake, et al. Bronchitis and Its Associated Risk Factors in

First Nations Children. Children Journal. 2017; 12(4).

29. Pahwa P, et al. Prevalence and associated risk factors of chronic

bronchitis in First Nations people. BMC Pulmonary Medicine Journal.

2017.

33
LAMPIRAN I

1. Dummy Table

Tabel 2. Karakteristik Dasar Pasien Infeksi Bakterialis


Karakteristik Dasar Jumlah (n) Frekuensi (%)
Jumlah Pasien
Laki – laki
Perempuan
Umur
< 20 th
20-29
30-39
40-49
50-59
60-69
> 70
Spesimen
Sputum
Cairan pleura
Pus
Penyakit infeksi paru
CAP
HAP
Empiema
Bronkiektasis
Abses paru
Bronkitis akut
Penyakit komorbid
Tidak ada
DM
Penyakit ginjal
Penyakit hati kronik

34
Pola Kepekaan Kuman Gram (+)
RSUP Dr. M. Djamil Padang Bulan Januari-Juni 2020
120 91 100 100 97 94 100 97
89 86 89
64 73
80 56 59 59
40
0

Staphylococcus aureus ss. aureus

35
Pola Kepekaan Kuman Gram (-)
RSUP Dr. M. Djamil Padang Bulan Januari-Juni 2020
120
99 100 100 100100 100100 99 97
100 96 91 9495 9595 95
89
87 83 83
79 81 80 82 78 7580
80 74 72 71 75 75
70 70 68
62
60 57
66 62 66
60 63 6063 63 64 67
59 58
60 50 47
53
47 5054
45
42 45 46 45 41
37 35 36 37 39
34 35
40
28 30 25
30
25 2933 25 27
32
22 24 24
19 22 17
20 11
6
0
in t n e n e ne in in n in in ne n le
c na ci lli am na
m m ta
m
ks
im citi im xo ac ne
m
ikl ne
m ici ne
m
ac ne
m
to ta
m
cl i is i zo
ika ul
a
pi a ct o epi a a x i d a ox e i s e m e ox e a n a c y m xa
av lb tre f ul
b ot fo az ri ofl ip ks p ta ip fl op ur b ec ra ho
Am cl Am / S u Ce ef Ce eft eft or Do rta en vo er of zo ig ob
n Az /s C C C Ci pr D E G Im
Le M t r Ta T T et
ili li n zo
n Ni in
/ fa
m
cic cil rapneumoniae ss. pneumoniae Escherichia coli Acinetobacter baumannii Pseudomonas aeruginosa il l ul
ox pi Klebsiella e c / S
Am
p ra
Am fo pe pr
im
Ce Pi o
h
et
Enterobacter cloacae ir m
T

36
Pola Kepekaan Kuman Gram (-)
RSUP Dr. M Djamil Padang Bulan Juli-Desember 2020
140
130

120

100 97

80
MDRO
65
Not MDRO
59
60
46
40
30

20 15 17 16
11

0
Aci.baumannii Esch.coli K.pneum.pneumoniae Ps.aeruginosa Staph.aureus

Mikroorganisme Penyebab Infeksi di RSUP Dr. M Djamil


Januari-Juni 2020
No. Nama Bakteri Jumlah isolat %
1 Klebsiella pneumoniae ss. pneumoniae 388 25
2 Escherichia coli 246 16
3 Acinetobacter baumannii 211 13
4 Pseudomonas aeruginosa 141 9
5 Staphylococcus haemolyticus 103 7
6 Enterobacter cloacae 70 4
7 Staphylococcus aureus ss. aureus 67 4
8 Staphylococcus epidermidis 54 3
9 Enterobacter aerogenes 22 1
10 Burkholderia cepacia 20 1
11 Stenotrophomonas maltophilia 20 1
12 Staphylococcus hominis ss. hominis 15 1
13 Proteus mirabilis 12 1

37
Hasil Pemeriksaan Gram negatif

Hasil Pemeriksaan Gram Positif

38
39

Anda mungkin juga menyukai