Anda di halaman 1dari 22

Clinical Science Session

RETINOBLASTOMA

Oleh :
Fikriyyah Ulfayuni 1740312242
Firmansyah 1310312098
Husni Miranda 1740312222
Rina Pratiwi Annur 1110312007

Pembimbing :
Dr. dr. Hendriati, Sp.M (K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA


RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
PADANG
2017
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Retinoblastoma adalah keganasan intraokuler primer yang paling sering
ditemukan pada masa kanak-kanak. Retinoblastoma merupakan keganasan yang
terjadi pada sel retinoblas imatur pada masa perkembangan retina. Diduga
penyebab retinoblastoma yaitu adanya mutasi pada gen RB1, yang mana gen ini
berperan sebagai gen supresor tumor.1,2,3,4
Retinoblastoma terjadi pada 1 dari tiap 14.000-20.000 kelahiran hidup.
Insidens ini nampaknya serupa di berbagai negara, namun sumber lain
mengatakan bahwa retinoblastoma tampak lebih banyak terjadi di Negara-negara
berkembang khususnya di Afrika, India dan Amerika Utara. Retinoblastoma
mengenai anak pada usia yang sangat muda, 2 per 3 kasus terdiagnosis pada usia
kurang dari 2 tahun, dan lebih dari 95% kasus pada usia kurang dari 5 tahun.
Retinoblastoma dapat mengenai laki-laki maupun perempuan sama rata dan
belum ada bukti mengenai predileksi ras tau etnis.2,5
Retinoblastoma memiliki kecenderungan yang kuat untuk terjadi invasi ke
otak melalui nervus optikus dan metastasis ke tempat lainnya. Anak dengan
retinoblastoma yang tidak tertangani dapat meninggal dunia dalam waktu 2-4
tahun setelah munculnya gejala. Oleh karena itu, diperlukan pencegahan dan
tatalaksana yang tepat untuk mencegah terjadinya komplikasi lain.2

1.2 Batasan Masalah


Makalah ini membahas tentang anatomi dan fisiologi retina, definisi,
epidemiologi, etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, diagnosis
banding, tatalaksana, komplikasi, dan prognosis retinoblastoma

1.3 Tujuan Penulisan


Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui anatomi dan fisiologi
retina, definisi, epidemiologi, etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis,
diagnosis banding, tatalaksana, komplikasi, dan prognosis retinoblastoma.
1.4 Manfaat Penulisan
Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan informasi dan
pengetahuan mengenai anatomi dan fisiologi retina, definisi, epidemiologi,
etiologi, patogenesis, manifestasi klinis, diagnosis, diagnosis banding, tatalaksana,
komplikasi, dan prognosis retinoblastoma.

1.5 Metode Penulisan


Penulisan makalah ini menggunakan tinjauan pustaka yang merujuk kepada
berbagai literatur.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Retina
Retina merupakan bagian mata yang mengandung reseptor yang menerima
rangsangan cahaya.6 Retina merupakan suatu struktur yang terdiri dari lembaran
jaringan saraf berlapis yang tipis dan semitransparan yang melapisi dua pertiga
bagian dalam dinding posterior bola mata.7 Retina membentang ke anterior hampir
sejauh korpus siliaris dan berakhir pada ora serrata dengan tepi yang tidak rata.
Permukaan luar retina sensoris bertumpuk dengan lapisan epitel berpigmen retina
sehingga juga berhubungan dengan membran Bruch, koroid, dan sklera. Lapisan-
lapisan epitel pada permukaan dalam korpus siliaris dan permukaan posterior iris
merupakan perluasan retina dan epitel pigmen retina ke anterior. Permukaan
dalam retina berhadapan dengan vitreus.7 Pada potongan melintang, dari luar ke
dalam, lapisannya adalah :
a. Epitel pigmen retina
b. Lapisan fotoreseptor , terdiri atas sel batang dan sel kerucut
c. Membran limitans eksterna yang merupakan membrane ilusi
d. Lapisan inti luar sel fotoreseptor, merupakan susunan lapis nucleus sel
kerucut dan batang.
e. Lapisan pleksiform luar, merupakan lapis aselular dan merupakan tempat
sinapsis sel fotoreseptor dengan sel bipolar dan sel horizontal
f. Lapis inti dalam, merupakan badan sel bipolar, sel horizontal dan sel Muller.
g. Lapis pleksiform dalam, merupakan lapis aselular merupakan tempat sinaps
sel bipolar, sel amakrin, dan sel ganglion.
h. Lapisan sel ganglion
i. Lapisan serabut saraf, yang mengandung akson-akson sel ganglion yang
berjalan menuju nervus optikus
j. Membran limitans interna.
Gambar 2.1 Lapisan-lapisan retina7
Retina mempunyai tebal 0,1 mm pada ora serrata dan 0,56 mm pada kutub
posterior. Di tengah-tengah retina posterior terdapat makula berdiameter 5,5-6
mm, yang secara klinis dinyatakan sebagai daerah yang dibatasi oleh cabang-
cabang pembuluh darah retina temporal. Daerah ini juga disebut dengan area
sentralis, yang secara histologis merupakan bagian retina yang ketebalan lapisan
sel ganglionnya lebih dari satu lapis. Makula lutea secara anatomis didefinisikan
sebagai daerah berdiameter 3 mm yang mengandung pigmen luteal kuning, yaitu
xantofil. Fovea merupakan zona avaskular retina yang berdiameter 1,5 mm.
Foveola merupakan bagian retina yang paling tipis (0,25 mm) dan hanya
mengandung fotoreseptor kerucut.7
Retina menerima darah dari 2 sumber yaitu koriokapilaris yang berada
tepat di luar membran Bruch, yang mendarahi sepertiga luar retina, termasuk
lapisan pleksiform luar dan lapisan inti luar, fotoreseptor, dan lapisan epitel
pigmen retina. Sumber kedua yaitu cabang-cabang arteri sentralis retina, yang
mendarahi dua per tiga dalam retina. Fovea seluruhnya didarahi oleh
koriokapilaris dan rentan terhadap kerusakan yang tak dapat diperbaiki jika retina
mengalami ablasi.7
2.2 Fisiologi Retina
Sel batang dan kerucut merupakan unsur reseptif retina yang mengubah
energi fisik menjadi impuls saraf. Transformasi energi cahaya tergantung pigmen
visual yang terkandung dalam sel batang ataupun kerucut. Sel-sel batang dan
kerucut di lapisan fotoreseptor mengubah rangsangan cahaya menjadi suatu
impuls saraf yang dihantarkan oleh jaras-jaras penglihatan ke korteks penglihatan
oksipital.8
Fotoreseptor tersusun sedemikian rupa sehingga kerapatan sel kerucut
meningkat di pusat makula (fovea), semakin berkurang ke perifer, dan kerapatan
sel batang lebih tinggi di perifer. Fovea berperan pada resolusi spasial (ketajaman
penglihatan) dan penglihatan warna yang baik, keduanya memerlukan
pencahayaan ruang yang terang (penglihatan fotopik) dan paling baik di foveola.
Sementara retina sisanya terutama digunakan untuk penglihatan gerak, kontras,
dan penglihatan malam (skotopik).8
Fotoreseptor kerucut dan batang terletak di lapisan terluar retina sensorik
yang avaskular dan merupakan tempat berlangsungnya reaksi kimia yang
mengawali proses penglihatan. Setiap sel fotoreseptor kerucut mengandung
rhodopsin, suatu pigmen penglihatan yang fotosensitif dan terbenam di dalam
diskus bermembran ganda pada fotoreseptor segmen luar. Saat rhodopsin
menyerap foton cahaya, 11-cis-retinal akan mengalami isomerisasi menjadi all-
trans-retinal dan akhirnya menjadi all-trans-retinol. Perubahan bentuk tersebut
akan mencetuskan terjadinya kaskade penghantar kedua.8

2.3 Retinoblastoma
2.3.1 Definisi
Retinoblastoma adalah keganasan intraokuler primer yang paling sering
ditemukan pada masa kanak-kanak. Retinoblastoma merupakan keganasan yang
terjadi pada sel retinoblas imatur pada masa perkembangan retina. Diduga
penyebab retinoblastoma yaitu adanya mutasi pada gen RB1, yang mana gen ini
berperan sebagai gen supresor tumor. Retinoblastoma memiliki kecenderungan
yang kuat untuk terjadi invasi ke otak melalui nervus optikus dan metastasis ke
tempat lainnya. Anak dengan retinoblastoma yang tidak tertangani dapat
meninggal dunia dalam waktu 2-4 tahun setelah munculnya gejala.1,2,3,4

2.3.2 Epidemiologi
Retinoblastoma terjadi pada 1 dari tiap 14.000-20.000 kelahiran hidup.
Insidens ini nampaknya serupa di berbagai negara, namun sumber lain
mengatakan bahwa retinoblastoma tampak lebih banyak terjadi di Negara-negara
berkembang khususnya di Afrika, India dan Amerika Utara. Retinoblastoma
merupakan 3% dari seluruh kasus keganasan yang tejadi pada anak.
Retinoblastoma mengenai anak pada usia yang sangat muda, 2 per 3 kasus
terdiagnosis pada usia kurang dari 2 tahun, dan lebih dari 95% kasus pada usia
kurang dari 5 tahun. Retinoblastoma dapat mengenai laki-laki maupun
perempuan sama rata dan belum ada bukti mengenai predileksi ras tau etnis.2,5
Berdasarkan ada tidaknya faktor herediter, angka kejadian retinoblastoma
bilateral atau multifocal herediter sebesar 25% kasus, pada tipe unilateral atau
unifokal herediter sebesar 75% kasus. Meskipun demikian kejadian
retinoblastoma 90% nya merupakan kasus non herediter atau sporadic.
Sedangkan berdasarkan lokasinya, retinoblastoma unilateral didapati sebanyak 60-
70%, dan retinoblastoma bilateral sisanya.2,5

2.3.3 Etiologi
Retinoblastoma disebabkan oleh mutasi pada gen Rb1 yaitu gen yang
berfungsi menekan perkembangan retinoblastoma sendiri. Kedua salinan gen Rb1
ini harus bermutasi supaya dapat terbentuk tumor. Gen Rb1 berlokasi pada lengan
panjang kromosom 13 lokus 14(13q14). Rb1 yang cacat ini dapat diwariskan dari
salah satu orang tua, biasanya mengenai kedua mata dan cenderung berkembang
pada usia yang muda. Namun pada beberapa kasus lain mutasi baru terjadi pada
tahap awal perkembangan janin berupa kesalahan anak pada tahap awal
perkembangan janin berupa kesalahan pada proses penyalinan ketika sel
membelah.9
2.3.4 Klasifikasi

Klasifikasi Reese-Ellsworth adalah metode penggolongan retinoblastoma


intraokular yang paling sering digunakan, tetapi klasifikasi ini tidak
menggolongkan Retinoblastoma ekstraokular. Klasifikasi diambil dari
perhitungan jumlah, ukuran, lokasi tumor dan ada tidaknya vitreous seeding.

Tabel 2.1 Klasifikasi Reese-Ellsworth Retinoblastoma

Selain klasifikasi diatas, juga dapat dipakai sistem klasifikasi internasional


untuk menilai respon tumor terhadap kemoterapi,

Tabel 2.2 Klasifikasi Sistem Internasional untuk Menilai Respon terhadap Kemoterapi
2.3.5 Patofisiologi
Awalnya retinoblastoma dianggap sel glia sehingga disebut pseudoglia
dan saat ini diterima bahwa tumor ini berasal dari sel neuroblastik pada lapisan
inti retina. Penelitian imunohistokimia membuktikan bahwa retinoblastoma
berasal dari keganasan sel kerucut, diperlihatkan oleh hasil positif tumor untuk
neuron spesifik enulase, rod spesifik antigen S-fotoreseptor segmen luar dan
rodopsin. Sel tumor mensekresikan substansi ekstrasel yang disebut retinoid
interfotoreseptor binding protein yang normalnya merupakan produk dari
fotoreseptor.1
Gen retinoblastoma normal, yang biasa terdapat pada semua orang
merupakan suatu gen supresor tumor atau anti-onkogen. Individu dengan penyakit
herediter memiliki satu alel yang terganggu di setiap sel tubuhnya. Apabila alel
pasangannya di sel retina yang sedang tumbuh mengalami mutasi spontan maka
terbentuklah tumor. Pada bentuk penyakit non-herediter, kedua alel gen
retinoblastoma normal di sel retina yang sedang tumbuh diinaktifkan oleh suatu
mutasi spontan. Penyebab dari mutasi gen ini tidak diketahui dengan pasti hingga
saat ini. Diduga adanya Human Papilloma Virus dalam jaringan retina yang
sedang tumbuh dapat meyebabkan mutasi yang meningkatkan resiko terjadinya
retinoblastoma dan juga terdapat dugaan bahwa prosedur bayi tabung dapat
meningkatkan resiko terjadinya retinoblastoma pada calon bayi.9
Khas gambaran histopatologis retinoblastoma yang biasanya dijumpai
adanya Flexner-Wintersteiner rosettes dan gambaran fleurettes yang jarang.
Keduanya dijumpai pada derajat terbatas pada diferensiasi sel retina. Homer-
Wright rosettes juga sering dijumpai tapi kurang spesifik untuk retinoblastoma
karena sering juga dijumpai pada tumor neuroblastik lain. Kalsifikasi luas biasa
dijumpai. Tumor terdiri dari sel basophilic kecil (retinoblas) dengan nukleus
hiperkromotik besar dan sedikit sitoplasma. Kebanyakan retinoblastoma tidak
dapat dibedakan tapi bermacam-macam derajat diferensiasi retinoblastoma
ditandai oleh pembentukan Rosettes, yang terdiri dari 3 tipe :7
 Flexner-wintersteiner Rosettes, yang terdiri dari lumen central yang
dikelilingi oleh sel kolumnar tinggi. Nukleus sel ini lebih jauh dari lumen.
Gambar 2.2 Flexner – winsteiner rosettes
 Homer-Wright Rosettes, rosettes yang tidak mempunyai lumen dan sel
terbentuk mengelilingi masa proses eosinofilik.
 Flerettes adalah fokus sel tumor yang menunjukkan differensiasi
fotoreseptor, kelompok sel dengan proses pembentukan sitoplasma dan
tampak menyerupai karangan bunga.10

Retinoblastoma menunjukkan berbagai macam pola pertumbuhan, yaitu:3


1. Pertumbuhan endofilik
Pertumbuhan endofilik terjadi saat tumor menembus internal
limiting membrane kearah corpus vitreus dan memiliki gambaran massa
berwarna putih sampai krem, yang menunjukkan tidak adanya pembuluh
darah superfisial atau pembuluh darah tumor irregular yang kecil. Pola
pertumbuhan ini biasanya berhubungan dengan vitreous seeding yaitu
fragmen kecil dari jaringan menjadi terpisah dari tumor utama. Pada
beberapa keadaan, vitreous seeding dapat meluas menyebabkan sel tumor
terlihat sebagai massa-massa sphenoid yang mengapung pada vitreous. Dari
korpus vitreous tumor dapat menginfiltrasi serabut nervus optikus, koroid
dan sklera.
2. Pertumbuhan eksofilik
Pertumbuhan eksofilik terjadi pada celah subretinal. Pola
pertumbuhan ini biasanya berhubungan dengan akumulasi cairan subretinal
dan terjadi sobekan pada retina. Sel tumor dapat menginfiltrasi melalui
membran Bruch ke koroid dan kemudian menginvasi nervus siliaris.
Pertumbuhan tumor juga dapat keluar dari rongga orbita.
3. Pertumbuhan infiltrasi difus
Jenis pertumbuhan ini merupakan jenis pertumbuhan yang jarang
dimana hanya 1,5% dari seluruh pola pertumbuhan retinoblastoma.
Pertumbuhan ini dikarakteristikkan dengan infiltrasi datar pada retina oleh
sel tumor tanpa massa tumor yang tampak jelas.
Jika letak tumor di makula maka dapat terlihat gejala awal strabismus.
Massa tumor yang semakin membesar akan memperlihatkan gejala leukokoria,
tanda-tanda peradangan vitreus yang menyerupai endoftalmitis. Jika sel-sel tumor
terlepas dan masuk ke segmen anterior mata, akan menyebabkan glaukoma atau
tanda peradangan berupa hipopion atau hifema. Pertumbuhan tumor ini dapat
menyebabkan metastasis dengan invasi tumor melalui; nervus optikus ke otak,
sclera ke jaringan orbita dan sinus paranasal dan metastasis jauh kesumsum tulang
melalui pembuluh darah. Pada fundus terlihat bercak kuning mengkilat, dapat
menonjol ke badan kaca. Di permukaan terdapat neovaskularisasi dan perdarahan.
Warna iris tidak normal. Penyebaran secara limfogen, ke kelenjar limfe
preaurikuler dan submandibula serta secara hematogen ke sumsum tulang dan
visera, terutama hati.6

2.3.6 Manifestasi Klinis dan Diagnosis


Penegakan diagnosis retinoblastoma didasarkan pada temuan klinis dan
pemeriksaan penunjang. Manifestasi klinis retinoblastoma ditentukan oleh ukuran,
lokasi tumor, dan ada tidaknya invasi ekstraokular dan metastasis jauh.
Manifestasi klinis paling sering ditemukan leukokoria (white pupillary reflex)
yang digambarkan sebagai mata yang bercahaya, berkilat, atau cat’s-eye
appearance, strabismus dan inflamasi okular. Gejala ini muncul setelah tumor
menginvasi lensa, melalui pupil tumor tampak berwarna putih kuning. Strabismus
adalah gejala klinis lain yang sering ditemukan, karena otot okular terkena, atau
tumor menginvasi makula sehingga visus terganggu, dapat berupa esotropia
ataupun eksotropia. Penurunan visus terutama karena tumor menginvasi retina.
ketika tumor bertambah besar dan menyumbat angulus kamera okuli anterior,
dapat timbul glaukoma, oftalmalgia dan sefalgia. Bila tumor menginvasi keluar
bola mata sampai ke orbita maka bola mata bengkak merah terfikasi, kelenjar
limfe periaurikular dan leher dapat membesar.1,11

Gambar 2.3 Manifestasi klinis retinoblastoma (Sumber: Jogi R, 2009)

Tabel 2.3 Manifestasi Klinis Retinoblastoma

Usia < 5 tahun Usia > 5 tahun

 Leukokoria(54-62%)
 Strabismus (18%-22%)
 Inflamasi
Hypopion
 Hyphema

 Leukokoria (35%)
 Heterochromia

 Penurunan visus (35%)
 Spontaneous globe perforation
 Strabismus (15%)
 Proptosis

 Floater (4%)
 Katarak

 Pain (4%)
 Glaucoma

 Nistagmus

 Tearing

 Anisocoroa
Sumber: American Academy of Ophthalmology, 2007
Untuk mengkonfirmasi temuan klinis, berbagai pemeriksaan dilakukan
dalam keadaan anestesi dengan pupil dilatasi maksimal. Pemeriksaan dengan
oftalmoskopi indirek dan penekanan sklera adalah pemeriksaan yang sangat
penting untuk diagnosis. Ultrasonografi (USG) membantu untuk membuat
diagnosis banding leukocoria pada anak. USG dapat menentukan ketebalan atau
tinggi dari tumor. Namun USG tidak lebih sensitif daripada CT scan.12,13
Evaluasi nervus optikus, orbital, keterlibatan sistem saraf pusat dan
kalsifikasi intraokular dapat dilakukan dengan menggunakan CT scan dan MRI.
MRI adalah modalitas yang sangat sensitif untuk tumor ekstraokuler. Apabila ada
bukti penyebaran ekstraokuler, maka dianjurkan untuk pemeriksaan sitologi
dengan cara aspirasi, biopsi sumsum tulang, dan punksi lumbal. Diagnosis
retinoblastoma jarang menggunakan biopsi. Pemeriksaan dokter berdasarkan
gejala klinis dan pencitraan adalah dua modalitas utama penegakan diagnosis
retinoblastoma.12,13

Gambar 2.4 Gambaran USG retinoblastoma Sumber: (Correa, 2016)

Gambar 2.5 Pemeriksaan CT scan pada retinoblastoma Sumber: (Correa, 2016)


2.2.7 Diagnosis Banding
Retinoblastoma adalah diagnosis yang paling penting jika terdapat
leukokoria pada anak. Namun, hilangnya refleks fundus ini juga dapat disebabkan
oleh, hal lain seperti katarak, penyakit Coats, persistent fetal vasculature (PFV),
retinopati prematur, ablasi retina, toxocariasis, koloboma koroid, perdarahan
vitreous, mielinisasi serat saraf retina, dan tumor retina lainnya, seperti
hamartoma astrocytic. Selain itu kekeruhan kornea juga dapat menghasilkan
refleks putih, tetapi hal ini dapat dengan mudah dibedakan dari leukocoria pada
pemeriksaan klinis.14
Toxocariasis dapat menyebabkan retina putih, perifer dengan tampilan
yang mirip dengan retinoblastoma. Toxocariasis biasanya unilateral, dan jika akut,
dapat dikaitkan dengan tanda-tanda peradangan. Riwayat demam, eosinofilia,
pneumonitis, atau hepatosplenomegali sangat sugestif untuk manifestasi sistemik
larva migrans perifer. Serum titer positif bagi Toxocara canis akan lebih
mendukung diagnosis.14
PFV adalah penyakit kongenital, dan leukocoria terlihat pada masa awal
kehidupan, bahkan pada saat lahir. Biasanya bersifat unilateral, dan mata
cenderung microphthalmic. Katarak sering menyertai penyakit ini.. USG bisa
membantu membedakan PFV dari retinoblastoma.14
Eksudat pada penyakit Coats lebih kuning karena adanya eksudasi lipid.
Penyakit Coats biasanya unilateral dan dominan pada anak laki-laki antara 6 dan 8
tahun yang mana merupakan usia yang lebih tua dari pasien retinoblastoma.14
B-scan ultrasonografi dapat membantu dalam membedakan retinoblastoma
dari kondisi-kondisi ini. Adanya kalsifikasi intralesi difus yang berhubungan
dengan massa membantu diagnosis retinoblastoma. Massa retrolental yang tidak
terkalsifikasi dan aksial yang pendek dibandingkan mata kontralateral membantu
menegakkan diagnosis PFV. Fluorescein angiography (FA) dapat membantu
untuk membedakan antara retinoblastoma dan penyakit Coats.14

2.2.8 Tatalaksana
Regresi spontan dari retinoblastoma dapat terjadi, namun sangat jarang.
Tatalaksana retinoblastoma bertujuan untuk mempertahankan kehidupan,
mempertahankan bola mata dan mempertahankan penglihatan. Penanganan
retinoblastoma bergantung pada besarnya tumor, bilateral, perluasan ke jaringan
ekstra okular dan adanya tanda-tanda metastasis jauh. Jenis-jenis terapi pada
retinoblastoma adalah :15
1. Fotokoagulasi laser
Fotokoagulasi digunakan sebagai terapi primer pada tumor kecil yang
terletak di posterior. Fotokoagulasi laser sangat bermanfaat untuk retinoblastoma
stadium sangat dini. Dengan melakukan fotokoagulasi laser diharapkan pembuluh
darah yang menuju ke tumor akan tertutup sehingga sel tumor akan menjadi mati.
Laser yang paling sering digunakan adalah argon atau xenon.15
2. Krioterapi
Krioterapi dapat digunakan untuk tumor yang diameternya 3,5 mm dengan
ketebalan 3 mm, tanpa adanya vitreous seeding dan terletak di anterior. Krioterapi
dapat digabung dengan fotokoagulasi laser. Krioterapi dilakukan secara
transklera, pembekuan dilakukan sampai semua badan tumor membentuk jaringan
es. Siklus refreeze-thaw diulang 3-4 kali.15
3. Termoterapi
Panas yang ekstrim ditargetkan untuk membunuh sel kanker.15
4. Enukleasi bulbi
Enukleasi merupakan terapi definitif untuk retinoblastoma unilateral pada
pasien yang belum meluas ke ekstraokular.1 Enukleasi dilakukan apabila tumor
sudah memenuhi segmen posterior bola mata dan visus sudah sangat menurun.
Enukleasi dilakukan untuk mencegah perluasan tumor ke jaringan sekitar. Setelah
mengangkat bola mata, dapat di pasang implan mata artifisial pada rongga orbita.
Otot ekstraokular akan dilekatkan pada implan mata, sehingga otot mata dapat
menggerakan implan mata seperti halnya dengan mata normal. Implan mata tidak
dapat melihat, namun dapat bergerak dan terlihat layaknya seperti mata yang
normal.15
5. Kemoterapi
Kemoterapi adalah obat-obatan yang diberikan yang akan
ditransportasikan oleh darah ke seluruh tubuh untuk membunuh sel kanker.
Kemoterapi biasanya digunakan bersama dengan terapi konsolidatif fokal. Prinsip
pentalaksanaan ini disebut sebagai kemoreduksi karena tujuannya adalah untuk
mengecilkan ukuran tumor, sehingga selanjutnya dapat dilakukan terapi
konsolidatif fokal atau terapi lain untuk mengatasi sel kanker yang tersisa.
Pengecilkan ukuran tumor akan meningkatkan angka kesuksesan terapi
konsolidatif fokal. Terapi konsolidatif fokal bersifat dekstruksi terhadap sel tumor
secara langsung ataupun dengan menghancurkan barier pembuluh darah okular
sehingga akan meningkatkan penetrasi obat kemoterapi ke dalam bola mata.1
Kemoterapi juga dapat digunakan untuk menatalaksana kanker yang sudah
menginvasi keluar dari bola mata. Indikasinya adalah pada tumor yang sudah
dilakukan enukleasi bulbi yang pada pemeriksaan patologi anatomi terdapat tumor
pada khoroid dan atau mengenai nervus optikus. Kemoterapi juga diberikan pada
pasien yang sudah dilakukan eksenterasi dan dengan metastase regional atau
metastase jauh.15
Pada pasien dengan retinoblastoma bilateral yang lanjut, sisi mata yang
kelainannya lebih berat diterapi dengan enukleasi bulbi, sedangkan sisi mata yang
lebih ringan diterapi dengan kemoreduksi dengan atau tanpa EBR.15
Retinoblastoma study group menganjurkan penggunaan carboplastin,
vincristine sulfate, dan etopozide phospate. Teknik lain yang dapat digabungkan
dengan metode kemoterapi ini adalah :15
a. Kemotermoterapi
Dimana setelah dilakukan kemoreduksi dilanjutkan dengan
termoterapi. Cara ini paling baik untuk tumor-tumor yang berada pada
fovea dan nervus optikus dimana dilakukan radiasi atau fotokoagulasi
laser
b. Kemoradioterapi
Dimana kombinasi antara kemoterapi dan radioterapi yang dapat
dipergunakan untuk tumor-tumor lokal dan sistemik.

6. Eksternal beam radioterapi (EBR)


Radioterapi adalah terapi elektif lokal untuk retinoblastoma karena tumor
ini bersifat radiosensitif. Keberhasilan EBRT bergantung pada ukuran tumor,
teknik terapi dan lokasi tumor. Hasil terapi bisa dilihat dengan oftalmoskopi.
Cryoterapi atau fotokoagulasi bisa dilakukan setelah radiasi apabila terdapat
rekurensi.15
EBR menggunakan sinar X untuk membunuh sel kanker. Dosis yang
diberikan adalah 4000-45000 cGy dengan 200 cGy fraksi. EBR dapat
menyebabkan efek samping seperti katarak, chronic dry eye, keratopati,
perdarahan vitreous, retinopati radiasi, neuropati radiasi optik, hipoplasia fasial.
EBR juga dapat meningkatkan resiko terhadap tumor sekunder. Resiko tumor
sekunder meningkat sebanyak tiga kali lipat oleh EBR. Karena efek samping ini,
maka EBR mulai diganti dengan kemoterapi sebagai tatalaksana utama terhadap
retinoblastoma. EBR masih dapat digunakan pada kasus tertentu sebagai tindakan
penyelamatan setelah kegagalan terhadap kemoterapi reduksi sistemik dan sebagai
tatalaksana dari retinoblastoma ekstraokular.1
Retinoblastoma di tatalaksana sesuai dengan klasifikasinya yaitu
klasifikasi Reese-Ellsworth dan klasifikaai retinoblastoma internasional, yang
dapat dilihat sesuai gambar dibawah.

Retinoblastoma Retinoblastoma
ekstraokular
intraokular

1. N.optikus, atau
Less advanced Advanced koroid

-RE : I, II, III -RE : IV, V 2. Orbital

-ICRB : A, B, C -ICRB : D, E 3. Sistem saraf pusat

Laser, transpupillary Multimodal therapy


termoterapi, Enukleasi
krioterapi, bulbi
kemoreduksi, Kemoterapi sistemik
eksternal beam intensif, EBR, surgical
debulking, transplant
sumsum tulang

Gambar 2.6 Tatalaksana retinoblastoma berdasarkan klasifikasinya17


Sebelum berkembang pesatnya kemajuan kemoterapi, retinoblastoma
ekstraokular bersifat fatal. Retinoblastoma yang terbatas pada rongga orbita,
hanya memiliki 10% angka survival, sedangkan semua pasien retinoblastoma
yang telah bermetastasis jauh tidak akan mampu bertahan hidup lama. Akan
tetapi, setelah semakin maju kemoterapi, prognosis retinoblastoma ekstraokular
semakin membaik. Retinoblastoma yang terbatas para rongga orbita, dapat
ditatalaksana dengan kemoterapi neoadjuvan untuk mengecilkan sel tumor, yang
selanjutnya diikuti dengan surgical debulking dan kemoterapi post operasi dan
radiasi jika diperlukan. Retunoblastoma yang telah bermetastasis, terutama pada
sistem saraf pusat, penatalaksaan agresif dengan kemoterapi dosis tinggi (high
dose chemoteraphy/HDC) dan autologous stem cell rescue (ASCR)
direkomendasikan.1

2.2.9 Komplikasi
Pasien dengan retinoblastoma membutuhkan tindak lanjut jangka panjang
karena pasien tersebut memiliki resiko keganasan sekunder di seluruh tubuh
seumur hidup. Tumor sekunder yang paling umum adalah osteosarcoma. Tumor
lainnya adalah PNETs, fibrosarcoma, dan melanoma. Pasien yang telah diobati
dengan radiasi berada pada resiko tinggi untuk tumor sekunder.16

2.2.10 Prognosis
Dengan modalitas kemoterapi saat ini termasuk intravena, intra-arteri, dan
kemoterapi intravitreal, tingkat kesembuhan pasien lebih dari 95%. Prognosis
visual tergantung pada ukuran dan lokasi tumor. Prognosis retinoblastoma baik
jika dilakukan terapi yang tepat. Angka kesembuhannya hampir 90% jika nervus
optikus tidak terlibat dan enukleasi dilakukan sebelum tumor melewati lamina
kribosa. Angka ketahanan hidup jadi 60% jika tumor meluas melewati lamina
kribosa. Kematian terjadi kerana perluasan intrakranial.1
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN

3.1 Kesimpulan
Mata sebagai salah satu organ tubuh tidak luput dari pengaruh kongenital,
inflamasi, tumor, trauma dan degenerative. Pengaruh tersebut dapat berupa
kelainan patalogi anatomi ringan sampai ke tingkat yang lebih parah. Penyakit
kongenital dapat bersifat fatal pada pasien.
Salah satu manifestasi penyakit kongenital adalah retinoblastoma.
Penyakit ini berupa kelainan pada sel glia di retina. Kelainan kongenital ini sering
terjadi pada anak-anak yang diturunkan secara genetik atau terjadinya mutasi gen.
Biasanya kelainan ini lambat dideteksi oleh orangtua pasien, karena anak-anak
sukar untuk mengeluh kelainan yang terjadi padanya.
Retinoblastoma dapat menunjukkan berbagai macam pola pertumbuhan
seperti : a) Pertumbuhan endofilik. Terjadi saat menembus internal limiting
membrane ke arah korpus vitreous dan memiliki gambaran massa berwarna putih
sampai krim. b) Pertumbuhan eksofitik. Terjadi pada celah subretina. Berhubung
dengan akumulasi cairan subretinal dan terjadi sobekan pada retina. c)
pertumbuhan infiltrasi difus. Jarang terjadi hanya 1.5% dari seluruh
retinoblastoma.
Retinoblastoma terdiri daripada tiga stadium yaitu a) Stadium tenang :
Pupil melebar. Di pupil tampak reflek kuning yang disebut “amourotic cat’s eye”.
Hal inilah yang menarik perhatian orang tuanya untuk kemudian berobat. b)
Stadium glaukoma : Oleh karena tumor menjadi besar, menyebabkan tekanan
intraokuler meninggi, glaucoma sekunder yang disertai dengan rasa sakit yang
sangat. c) Stadium esktra okuler : Tumor menjadi lebih besar, bola mata
membesar, menyebabkan eksoftalmus, kemudian dapat pecah kedepan sampai
keluar dari rongga orbita, disertai nekrose diatasnya.
Tatalaksana retinoblastoma untuk pengawasan tumor dan pertahankannya
sebisa mungkin. Jika kanker tidak memberikan respon terhadap pengobatan
mungkin perlu diangkat. Beberapa tindakan yang dilakukan adalah golongan I dan
II dengan pengobatan lokal (radiasi, cryotherapy, fotokoagulasi laser). Kadang-
kadang digabung dengan kemoterapi. Jika tumor besar (golongan IV dan V) mata
harus dienukleasi segera. Prognosis retinoblastoma baik jika dilakukan terapi
yang tepat. Angka kesembuhannya hampir 90% jika nervus optikus tidak terlibat
dan enukleasi dilakukan sebelum tumor melewati lamina kribosa. Angka
ketahanan hidup jadi 60% jika tumor meluas melewati lamina kribosa.

3.2 Saran
Retinoblastoma merupakan penyakit kongenital pada mata yang sering
terjadi pada anak-anak. Pemeriksaan mata pada bayi yang baru lahir penting untuk
mengetahui kelainan pada bayi lebih awal untuk mencegah terjadinya komplikasi.
Oleh karena itu sangat penting untuk menangani kelainan ini secara tepat untuk
mendapat prognosis yang baik.
DAFTAR PUSTAKA

1. American Academy of Ophtalmology. 2014. Ophtalmic patology and


intraocular tumors. San Francisco: American Academy of Ophtalmology.
2. Yanoff M, Dukker JS. Ophtalmology. 3rd Edition. 2008. China: Mosby
Elsevier, 2008.
3. Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan & Asbury’s General Ophtalmology.
17th Edition. 2008. USA: McGraw Hill, 2008.
4. Dimaras H,Kimani K, Dimba EAO, Gronsdahl P, White A, Chan HSL, et al.
Retinoblastoma. Lancet. 2012 March 12; 379: 1436-46.
5. Rodriguez-Galindo, Orbach DB, VanderVeen D. Retinoblastoma. Pediatr
Clin N Am. 2015; 62: 201-203.
6. Ilyas S. 2007. Anatomi dan Fisiologi Mata. In: Ilmu Penyakit Mata. Jakarta:
Balai Penerbit FKUI. 1-13
7. Jordan-Eva, Paul. 2010. Anatomi dan Embriologi Mata. In: Riordan-Eva, P.,
John P. Whitcher. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Jakarta: Penerbit
EGC. 7-14.
8. Fletcher EC, Shetlar DJ, Chong P.. 2010. Retina. In: Riordan-Eva, P., John P.
Whitcher. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum. Jakarta: Penerbit EGC.
185.
9. Augsburger, James, Taylor Asbury. 2010. Aspek Genetik Penyakit Mata. In:
Riordan-Eva, P., John P. Whitcher. Vaughan & Asbury Oftalmologi Umum.
Jakarta: Penerbit EGC. 369-370.
10. Galindo CR, Mathew WW, Guillermo C, Ligia F, Ibrahim Q, Celia A, Carlos
L et al. 2010. Retinoblastoma: One World, One Vision. Pediatrics: 122(3):
e763-70
11. Herzog, Cynthia E. 2004. Retinoblastoma. In: Behrman, Richard E, Robert
Kliegman,Hall B, Jenson. Nelson Textbook of Pediatric. Philadelphia: WB
Saunders
12. Sutaryo, Hagung P. Retinoblastoma. Dalam: Buku Ajar Hematologi Onkologi
Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2005. Hlm 302-309.
13. Gumpala MC, Barrios PC, Paysse EA, Plon SE, Hurwitz R. Retinoblastoma:
Review of Current Management. The Oncologist 2007; 12:1237-1246.
14. Correa ZM, Berry JL. Retinoblastoma. 2016 (diunduh 13 Desember 2017).
Tersedia dari: URL:http:// www.aao.org/pediatric-center-
detail/retinoblastoma-2016.
15. American Academy of Ophtalmology. 2007. Ophtalmic patology and
intraocular tumors. San Fransisco : American Academy of Ophtalmology
16. Correa ZM, Berry JL. Retinoblastoma. 2016 (diunduh 27 desember 2017).
Tersedia dari : URL : http://www.aao.org/pediatric-center-
detail/retinoblastoma-2016.
17. American Academy of Ophtalmology. 2013 (diakses 27 desember 2017).
Tersedia dari : URL : http://www.aao.org/topic-detail/retinoblastoma.

Anda mungkin juga menyukai