Anda di halaman 1dari 24

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Mata adalah satu dari sekian banyak organ tubuh kita yang sangat berharga. Yang mana telah kita ketahui bersama bahwa fungsi mata adalah untuk melihat. Jika kita tidak dapat melihat, maka kita tidak dapat melihat pemandangan yang indah yang telah diciptakan Allah SWT. Untuk itu kita harus dapat memelihara dengan baik anugerah yang telah diberikan oleh Allah SWT. Walaupun demikian, terkadang penyakit mata dan kelainan mata tidak bisa dihindari begitu saja. Usia yang terkena penyakit mata ini pun tidak memandang bulu. Bisa saja kelainan itu diderita sejak orang tersebut lahir ke dunia, kita katakana bahwa adanya kelainan kongenital. Tumor mata adalah salah satu kelompok sakit mata yang jarang terjadi, namun jika terjadi akan berakibat fatal. Hal ini walaupun tidak mendalam dipelajari oleh dokter umum, tetapi baik untuk diketahui. Salah satu dari sekian banyak tumor yang memungkinkan ada pada mata adalah retinoblastoma. Disini penulis akan menyajikan referat yang berjudul retinoblastoma.

1.2 Tujuan 1.2.1 Umum Untuk mengetahui dan mengerti anatomi dan fisiologi retina serta mengetahui lebih dalam lagi tentang retinoblastoma.

1.2.2 Khusus Untuk mengetahui anatomi dan fisiologi dari retina Untuk mengetahui definisi retinoblastoma Untuk mengetahui etiologi retinoblastoma Untuk mengetahui epidemiologi dari retinoblastoma Untuk mengetahui patofisiologi dari retinoblastoma Untuk mengetahui gejala klinis dari retinoblastoma Untuk mengetahui klasifikasi dari retinoblastoma Untuk mengetahui pemeriksaan penunjang apa yang dibutuhkan untuk menegakkan diagnosa retinoblastoma Untuk mengetahui penatalaksanaan dari retinoblastoma Untuk mengetahui prognosis dari retinoblastoma Untuk mengetahui pencegahan dari retinoblastoma

BAB II PEMBAHASAN

Retina merupakan membrane yang tipis, halus, dan tidak berwarna, serta tembus pandang. Yang terlihat merah pada fundus adalah warna dari koroid. Retina ini terdiri dari serat-serat Mueller, membrane limitans interna dan eksterna, dan sel-sel glia. (5,16) Retinoblastoma merupakan suatu neoplasma yang berasal dari

neuroretina (sel batang dan kerucut) atau sel glia, yang bersifat ganas. Kelainan ini bersifat kongenital yang timbul pada anak-anak dan bayi sampai umur 5 tahun.
(4,6,16)

Umumnya penderita datang pada stadium lanjut dari tumor, karena pada stadium awal biasanya tidak memberikan keluhan. Dan 95% kasus dapat didiagnosa sebelum umur 5 tahun. Tumor dapat terjadi secara bilateral (25%) dan unilateral (75%).(16,17) Pengobatan retinoblastoma tergantung terjadi pada satu mata maupun luasnya tumor. Dengan deteksi dini dan kemajuan pengobatan, penglihatan, dan hidup pasien dengan retinoblastoma telah maju dengan signifikan pada 20 tahun terakhir.(17) Retinoblastoma adalah suatu tumor ganas intraocular yang terjadi pada anak- anak dengan perhitungan kurang lebih 3 % dari semua kanker pada anak.1 Tumor ini bersifat jarang namun bisa berakibat fatal.(5) Insiden retinoblastoma rata-rata 1 : 20000 dari kelahiran hidup. Seperiga kasus adalah bilateral. Laki- laki dan perempuan dapat terkena dan tidak dipengaruhi oleh ras.3,4Retinoblastoma dapat terjadi heriditer maupun non heriditer. Kasus heriditer melibatkan mutasi dari germinal, sedangkan non heriditer 25% diantaranya bilateral dan 15% adalah unilateral. Sedangkan saudara kandung dan keturunannya merupakan resiko menderita kanker ini. (10,13,15)

Retinoblastoma dapat tumbuh ke luar (eksofitik) atau ke dalam (endofitik) atau kombinasi keduanya. Dapat terjadi penyebaran sel- sel tumor ke dalam vitreus. Retinoblastoma endofitik akan meluas ke dalam vitreus. Kedua jenis retinoblastoma, secara bertahap akan mengisi mata dan meluas bersama nervus opticus ke otak. Tumor ini terkadang tumbuh secara difus di retina, melepaskan sel- sel ganas ke dalam vitreus dan bilik mata depan. Dengan demikian, menimbulkan proses pseudoinflamasi yang dapat menyerupai retinitis, vitritis, uveitis atau endoftalmitis. (5) Perkembangan tumor ini diperkirakan terjadi akibat hilangnya dari dua anggota pasangan kromosom alel- alel dominan profektif normal di sebuah lokus di dalam pita kromosom 13q14. Gen ini berperan menghasilkan suatu fosfoprotein inti dengan aktivitas pengikat DNA. Hilangnya alel disebabkan adanya mutasi di sel- sel somatic saja (retinoblastoma herediter) atau juga di sel- sel germinativum (retinoblastoma non herediter). (5) Retinoblastoma biasanya tidak disadari sampai tumbuh cukup besar untuk menimbulkan suatu pupil putih (leukokoria), strabismus, atau peradangan intraocular harus dievaluasi untuk mencaari adanya retinoblastoma. Tumor stadium awal biasanya terlihat apabila dicari, misalnya pada anak dengan riwayat herediter atau pada kasus- kasus yang mata sebelahnya sudah terkena. (5) Enukleasi adalah terapi pilihan untuk Retinoblastoma ukuran besar. Mata dengan tumor yang berukuran lebih kecil pada anak dapat diterapi secara efektif dengan Radioterapi Plaque atau External Beam, Krioterapi, atau Fotokoagulasi. Kemoterapi dapat digunakan untuk memperkecil ukuran tumor besar sebelum dilakukan terapi jenis lain dan terkadang sebagai terapi tunggal. Kemoterapi juga digunakan untuk mengobati tumor yang sudah meluas ke otak, orbita atau ke distal dan mungkin diberikan setelah dilakukan enukleasi pada pasien dengan resiko penyebaran yang tinggi. (5)

2.1 Anatomi dan Fisiologi Retina merupakan suatu struktur sangat kompleks yang terbagi menjadi 10 bagian, terdiri dari fotoreseptor (sel batang dan kerucut) dan neuron, beberapa

diantaranya (sel ganglion) bersatu membentuk serabut saraf optic, seperti pada Gambar 2.1. Bertanggung jawab untuk mengubah cahaya menjadi sinyal listrik. Retina akan meneruskan rangsangan yang diterimanya berupa bayangan benda sebagai rangsangan elektrik ke otak sebagai bayangan yang dikenal pada retina terdapat sel batang sebagai sel pengenal sinar dan sel kerucut yang mengenali frekuensi sinar. Sel kerucut bertanggung jawab untuk penglihatan siang hari. (11)

Gambar 2.1 Skema Struktur Retina (Arno, 1995)

Subgroup dari sel kerucut responsive terhadap panjang gelombang pendek, menengah, dan panjang (biru, hijau, merah). Sel-sel ini terkonsentrasi di fovea yang menjadi pusat penglihatan. Sel batang untuk penglihatan malam. Selsel ini sensitive terhadap cahaya dan tidak memberikan sinyal informasi panjang

gelombang (warna). Sel batang menyusun sebagian besar fotoreseptor di retina bagian lainnya, seperti yang terlihat pada Gambar 2.2. (11)

Gambar 2.2

Struktur Histologi Retina (http://www.glaucoma.org/glaucoma/anatomyof-the-eye.php)

Retina adalah jaringan saraf berlapis yang tipis dan semitransparan, yang melapisi 2/3 bagian dalam posterior dinding bola mata. Retina membentang ke anterior sejauh korpus siliaris dan berakhir pada ora serata dengan tepi yang tidak rata. Di sebagian besar tempat, retina dan epitel pigmen retina mudah terpisah sehingga dapat terbentuk suatu ruang yang disebut subretina. Akan tetapi pada diskus optikus dan ora serata, retina dan epitel pigmen retina saling melekat kuat.
(12)

Retina terdiri dari 10 lapisan yang berturut-turut dari dalam ke luar adalah sebagai berikut:(12) a) Lapisan membran limitans interna b) Lapisan serat saraf yang mengandung akson-akson sel ganglion yang berjalan menuju nervus optikus

c) Lapisan sel ganglion d) Lapisan pleksiformis dalam yang mengandung sambungan sel ganglion dengan sel amakrin dan bipolar e) Lapisan inti dalam yang mengandung badan-badan sel bipolar, amakrin, dan horizontal f) Lapisan pleksiformis luar yang mengandung sambungan sel bipolar dan horizontal dengan sel-sel fotoreseptor g) Lapisan inti luar yang mengandung akson sel fotoreseptor (batang dan kerucut) h) Lapisan membran limitans eksterna i) Lapisan fotoreseptor yang mengandung badan-badan sel batang dan kerucut j) Lapisan epitel pigmen retina Fotoreseptor batang dan kerucut terletak di lapisan terluar retina sensorik yang avaskular dan merupakan tempat berlangsungnya reaksi kimia yang mengawali proses penglihatan. Setiap sel kerucut mengandung rodopsin, yaitu pigmen penglihatan yang fotosensitif. Saat rodopsin menyerap cahaya, akan terjadi perubahan bentuk 11-cis-retinal (komponen kromofor pada rodopsin) menjadi all-trans-retinol. Perubahan bentuk ini akan memicu terjadinya kaskade penghantar kedua, dimana rangsangan cahaya akan diubah menjadi impuls saraf. Impuls ini kemudian dihantarkan oleh jaras-jaras penglihatan melalui nervus optikus menuju korteks penglihatan oksipital. (18) Baik sel batang ataupun kerucut mengandung bahan kimia rodopsin dan pigmen kerucut yang akan terurai bila terpapar cahaya. Bila rodopsin sudah mengabsorbsi energi cahaya, rodopsin akan segera terurai akibat fotoaktivasi elektron pada bagian retinal yang mengubah bentuk cis dari retinal menjadi bentuk all-trans. Bentuk all-trans memiliki struktur kimiawi yang sama dengan bentuk cis namun struktur fisiknya berbeda, yaitu lebih merupakan molekul lurus daripada bentuk molekul yang melengkung. Oleh karena orientasi tiga dimensi dari tempat reaksi retinal all-trans tidak lagi cocok dengan tempat reaksi protein skotopsin, maka terjadi pelepasan dengan skotoopsin. Produk yang segera terbentuk adalah batorodopsin, yang merupakan kombinasi terpisah sebagian dari

retianal all-trans dan opsin. Batorodopsin sendiri merupakan senyawa yang sangat tidak stabil dan dalam waktu singkat akan rusak menjadi lumirodopsin yang lalu berubah lagi menjadi metarodopsin I.Metarodopsin I ini selanjutnya akan menjadi produk pecahan akhir yaitu metarodopsin II yang disebut jugarodopsin teraktivasi, yang menstimulasi perubahan elektrik dalam sel batang yang selanjutnya diteruskan sebagai sinyal ke otak. (18) Rodopsin selanjutnya akan dibentuk kembali dengan mengubah all-trans retinal menjadi 11-cis retinal. Hal ini didapat dengan mula-mula mengubah alltrans retinal menjadi menjadi all-trans retinol yang merupakan salah satu bentuk vitamin A. Selanjutnya, di bawah pengaruh enzim isomerase, all-trans retinol diubah menjadi 11-cisretinol lalu diubah lagi menjadi 11-cis retinal yang lalu bergabung dengan skotopsin membentuk rodopsin. (20) Bila seseorang berada di tempat yang sangat terang untuk waktu yang lama, maka banyak sekali fotokimiawi yang yang terdapat di sel batang dan kerucut menjadi berkurang karena diubah menjadi retinal dan opsin. Selanjutnya, sebagian besar retinal dalam sel batang dan kerucut akan diubah menjadi vitamin A. Oleh karena kedua efek ini, maka konsentrasi bahan kimiawi fotosensitif yang menetap dalam sel batang dan kerucut akan sangat banyak berkurang, akibatnya sensitivitas mata terhadap cahaya juga turut berkurang. Keadaan ini disebut adaptasi terang. (20) Sebaliknya, bila orang tersebut terus berada di tempat gelap dalam waktu yang lama, maka retinal dan opsin yang ada di sel batang dan kerucut diubah kembali menjadi pigmen yang peka terhadap cahaya. Selanjutnya, vitamin A diubah kembali menjadi retinal untuk terus menyediakan pigmen peka cahaya tambahan, dimana batas akhirnya ditentukan oleh jumlah opsin yang ada di dalam sel batang dan kerucut. Keadaan ini disebut adaptasi gelap. (20) Pada bagian tengah dari retina posterior terdapat makula yang secara klinis dinyatakan sebagai daerah yang dibatasi oleh cabang-cabang pembuluh darah retina temporal. Makula secara histologis memiliki ketebalan lapisan sel ganglion lebih dari satu lapis. Di tengah makula terdapat fovea sentralis, yaitu suatu daerah yang secara histologis ditandai oleh adanya penipisan lapisan inti

luar tanpa disertai lapisan parenkim lain. Hal ini dapat terjadi akibat akson-akson sel fotoreseptor berjalan miring dan lapisan-lapisan retina yang lebih dekat dengan permukaan dalam retina lepas secara sentrifugal. Fovea sentralis adalah bagian retina yang paling tipis dan hanya mengandung fotoreseptor kerucut. Fungsi dari fovea sentralis ini adalah sebagai penghasil ketajaman penglihatan yang optimal.
(14)

Retina menerima darah dari dua sumber yaitu arteri sentralis retina dan arteri koriokapilaris. Arteri sentralis retina memperdarahi 2/3 daerah retina bagian dalam, sementara 1/3 daerah retina bagian luar diperdarahi oleh arteri koriokapilaris. Fovea sentralis sendiri diperdarahi hanya oleh arteri koriokapilaris dan rentan untuk mengalami kerusakan yang tidak dapat diperbaiki bila retina mengalami ablasi. Pembuluh darah retina memiliki lapisan endotel yang tidak berlubang, sehingga membentuk sawar darah-retina. (18) Secara anatomis, terdapat tiga struktur yang terletak di perifer retina yaitu: pars plana korpus siliaris, ora serrata, dan basis vitreous. Ketiga struktur ini bertanggung jawab mempertahankan retina agar tidak terlepas dengan membentuk tautan dengannya. (18) Korpus siliaris dimulai 1 mm dari limbus yang kemudian meluas ke belakang sejauh 6 mm. Korpus siliaris terdiri dari dua bagian, yaitu pars plicata yang dimulai dari 2 mm pertama (struktur berombak) dan pars plana yaitu 4 mm sisanya (struktur datar). (18) Ora serrata membentuk tautan antara retina dengan korpus siliaris dan memiliki struktur dengan ciri-ciri sebagai berikut: (18) a) Prosesus dentata yang merupakan perpanjangan retina menuju pars plana yang berbentuk seperti gigi. b) Oral bays yang merupakan ujung bergigi dari epitel pars plana yang terletak di antara prosesus dentata. c) Lipatan meridional yang merupakan lipatan radial kecil dari penebalan jaringan retina yang segaris dengan prosesus dentata, terutama terletak pada kuadran superonasal. Lipatan tersebut dapat memperlihatkan lubang retina yang kecil pada apeksnya. Kompleks meridional merupakan konfigurasi

dimana prosesus dentata, terutama dengan lipatan meridional, berhubungan dengan prosesus siliaris. d) Oral bays yang tertutup yang merupakan pulau kecil pada pars plana yang dikelilingi oleh retina sebagai pertemuan dua prosesus dentata. e) Jaringan granular yang suatu kekeruhan putih multipel yang terletak dalam basis vitreus. Jaringan ini dapat disalahartikan sebagai operkula perifer kecil. Basis vitreous adalah zona selebar 3-4 mm yang mengitari ora serrata. Vitreous bagian kortikal melekat kuat dengan basis vitreous, sehingga ketika terjadi pelepasan vitreous posterior (PVD), permukaan hialoid posterior tidak ikut terlepas melainkan tetap melekat pada bagian posterior dari basis vitreous. (18) Sepanjang perifer retina yaitu dari ekuator ke ora serrata, dapat terjadi sejumlah lesi yang tidak terlalu membahayakan seperti: degenerasi mikrokistoid, degenerasi pavingstone, degenerasi honeycomb, dan drusen perifer. Lesi-lesi tersebut kebanyakan berkaitan dengan penuaan yang terjadi pada mata usia lanjut.
(18)

2.2 Definisi Retinoblastoma adalah tumor retina yang terdiri atas sel neuroblastik yang tidak berdiferensiasi dan merupakan tumor ganas retina yang ditemukan pada anak-anak terutama pada usia dibawah 5 tahun. (2,19)

2.3 Etiologi Terjadi karena kehilangan kedua kromosom dari satu pasang alel dominan protektif yang berada dalam pita kromosom 13 q 14. Bisa karena mutasi atau diturunkan. (2,5) 2.4 Epidemiologi Retinoblastoma dapat mengenai kedua mata yang merupakan kelaianan yang diturunkan secara autosom dominan, dapat pula mengenai satu mata yang bersifat mutasi genetik.(4,16) Angka kejadian adalah satu diantara 17.000-34.000 kelahiran hidup. Angka ini lebih tinggi lagi pada Negara berkembang.(2,4,6,16) Pada wanita dan pria sama banyak dan dapat mengenai semua ras.(4,16)

10

2.5 Patofisiologi Retinoblastoma semula diperkirakan terjadi akibat mutasi suatu gen dominan otosom, tetapi sekarang diduga bahwa suatu alel di satu lokus di dalam pita kromosom 13 q 14 mengontrol tumor bentuk herediter dan non herediter. Gen retinoblastoma normal, yang terdapat pada semua orang, adalah suatu gen supresor atau anti-onkogen. Individu dengan penyakit yang herediter memiliki satu alel yang terganggu di setiap sel tubuhnya, apabila alel pasangannya di sel retina yang sedang tumbuh mengalami mutasi spontan, terbentuklah tumor. Pada bentuk penyakit yang non-herediter, kedua alel gen retinoblastoma normal di sel retina yang sedang tumbuh diinaktifkan oleh mutasi spontan.(5) Retinoblastoma dapat tumbuh keluar (eksofitik) atau kedalam (endofitik). Retinoblastoma endofitik kemudian meluas ke dalam korpus vitreum. Kedua jenis secara bertahap akhirnya mengisi mata dan meluas melalui saraf optikus ke otak dan sepanjang saraf dan pembuluh-pembuluh emisari di sclera ke jaringan orbita lainnya. Secra mikroskopis, sebagian besar retinoblastoma terdiri dari sel-sel kecil, tersusun rapat bundar atau poligonal dengan inti besar berwarna gelap dan sedikit sitoplasma. Sel-sel ini kadang-kadang membentuk rosette Flexner Wintersteiner yang khas, yang merupakan indikasi diferensiasi fotoreseptor. Kelainan-kelainan degeneratif sering dijumpai, disertai oleh nekrosis dan klasifikasi.(2,5)

2.6 Gejala Klinis Gejala klinis subjektif pada pasien retinoblastoma sukar karena anak tidak memberikan keluhan. Tapi kita harus waspada terhadap kemungkinan retinoblastoma. Ledih dari 75% anak-anak dengan retinoblastoma yang pertama kali dicatat mempunyai pupil putih yang mana dokter menyebutnya Leukokoria yang seolah bersinar bila kena cahaya seperti mata kucing Amaurotic cats eye, atau strabismus, atau kemerahan dan nyeri pada mata (biasanya disebabkan glaukoma). Jika dalam perkembangan anak terjadi iritasi kemerahan yang menetap, hal ini dapat menggambarkan inflamasi atau pseudoinflamasi pada mata, 9% pasien retinoblastoma dapat berkembang dengan

11

symptom ini. Tanda lain yang jarang diperlihatkan pada retinoblastoma termasuk anisokoria, perbedaan warna pada iris (heterochromia), berair, penonjolan ke depan pada mata (proptosis), katarak, dan pergerakan mata abnormal (nistagmus).
(4,16,19)

Penyakit ini jarang sekali didaptkan dalam stadium dini. Hal ini disebabkan massa tumor tidak terletak di daerah makula maka tidak akan menimbulkan gejala gangguan penglihatan. Terlebih lagi bila massa tumor hanya pada satu maa, sehingga mata yang normal dapat mengatasi fungsi penglihatan. Disamping itu penyakit ini biasanya mengenai bayi dan anak kecil yang belum mampu mengemukakan keluhan-keluhan apabila terdapat gangguan fungsi mata, misalnya penglihatan menjadi kabur. Orang tua tidak menyadari kelaianan yang terjadi pada anaknya. Stadium dini biasanya didapatkan pada pemeriksaan funduskopi rutin secara kebetulan atau apabila tumor terdapat di makula retina dan menyebabkan mata juling karena binokuler vision penderita terganggu. Gejala juling inilah membawa penderita atau orang tua penderita pergi ke dokter. (16,19,21) Sebagian besar penderita tumor ini datang pada keadaan stadium lanjut. Salah satu gejala yang mendorong orang tua membawa penderita berobat adalah refleks pupil yang berwarna putih atau kekuning-kuningan (leukokoria), seperti mata kucing atau kelereng. Gambaran ini sebenarnya sudah menunjukkan hampir seluruh retina terisi massa tumor. Umunya terlihat pada usia 2 sampai dengan 3 tahun, sedangkan pada kasus yang diturunkan melalui genetic gejala klinis dapat muncul lebih awal, seperti pada Gambar 2.3. (4,5,6,19,21)

12

Gambar 2.3 Retinoblastoma (Galindo, 2003)

Beberapa gejala dari retinoblastoma diantaranya: (5,6,19,21) 1. Leukokoria Merupakan gejala klinis yang paling sering ditemukan pada

retinoblastoma intra ocular yang dapat mengenai satu atau kedua mata. Gejala ini sering disebut seperti mata kucing. Hal ini disebabkan refleksi cahaya dari tumor yang berwarna putih disekitar retina. Warna putih

13

mungkin terlihat pada saat anak melirik atau dengan pencahayaan pada waktu pupil dalam keadaan semi midriasis. 2. Strabismus Merupakan gejala yang sering ditemukan setelah leukokoria. Strabismus ini muncul bila lokasi tumor pada daerah macula sehingga mata tidak dapat terfiksasi. Strabismus dapat juga terjadi apabila tumornya berada diluar macula tetapi massa tumor sudah cukup besar. 3. Mata merah Mata merah ini sering berhubungan dengan glaukoma sekunder yang terjadi akibat retinoblastoma. Apabila sudah terjadi glaukoma maka dapat diprediksi sudah terjadi invasi ke nervus optikus. Selain glaukoma, penyebab mata merah ini dapat pula akibat gejala inflamasi okuler atau periokuler yang tampak sebagai selulitis preseptal atau endoftalmitis. Inflamasi ini disebabkan oleh adanya tumor yang nekrosis. 4. Buftalmus Merupakan gejala klinis yang berhubungan dengan peningkatan tekanan intra okular akibat tumor yang bertambah besar. 5. Pupil midriasis Terjadi karena tumor telah mengganggu saraf parasimpatik. 6. Proptosis Bola mata menonjol ke arah luar akibat pembesaran tumor intra dan ekstra okular. Pada retinoblastoma didapatkan tiga stadium, yaitu :(16) 1. Stadium tenang Pupil lebar, di pupil tampak refleks kuning yang disebut amaurotic cats eye. Hal inilah yang menarik perhatian orang tuanya untuk kemudian berobat. Pada funduskopi, tampak bercak yang berwarna kuning mengkilat dapat menonjol ke dalam badan kaca. Di

permukaannya ada neovaskularisasi dan perdarahan, dapat disertai dengan ablation retina. 2. Stadium glaukoma

14

Tumor menjadi besar, menyebabkan tekanan intraokuler meningkat (glaukoma sekunder) yang disertai rasa sakit yang sangat. Media refrakta keruh, pada funduskopi sukar menentukan besarnya tumor. 3. Stadium ekstraokuler Tumor menjadi lebih besar, bola mata membesar menyebabkan eksoftalmus kemudian dapat pecah ke depan sampai ke luar dari rongga orbita disertai nekrosis di atasnya. Pertumbuhan dapat pula terjadi ke belakang sepanjang N. II dan masuk ke ruang tengkorak. Penyebaran ke kelenjar getah bening, dapat masuk ke pembuluh darah untuk kemudian menyebar ke seluruh tubuh. 2.7 Klasifikasi (7,17) Berdasarkan tujuan dari pengobatan retinoblastoma dikategorikan menjadi dua, yaitu : 1. 2. Intraokuler Ekstraokuler

Reese dan Ellsworth membagi retinoblastoma menjadi 5 golongan, yaitu : Golongan I (prognosa sangat baik) : 1. Tumor soliter, berukuran < 4 diameter papil, terletak pada atau di belakang equator. 2. Tumor multiple, berukuran tidak lebih besar dari 4 diameter papil, terletak pada atau di belakang equator. Golongan II (prognosis baik) : 1. Tumor soliter, berukuran 4-10 diameter papil, terletak pada atau dibelakang equator. 2. Tumor multiple, berukuran 4-10 diameter papil, terletak dibelakang equator. Golongan III (prognosis meragukan) : 1. 2. Beberapa lesi di depan equator. Tumor soliter, berukuran > 10 diameter papil, terletak di belakang equator.

15

Golongan IV (prognosis tidak baik) : 1. 2. Tumor multiple, berukuran > 10 diameter papil. Beberapa lesi meluas sampai ke ora seratta.

Golongan V (prognosis buruk) :

Tumor berkembang massive sampai separuh retina dengan benih di badan kaca. Sedangkan menurut International Classification of Retinoblastoma dari COG: A Small tumor: =3 mm Large tumor: >3 mm B Macular: =3 mm to foveola Juxtapapillary: =3 mm to disc Subretinal fluid: =3 mm from the margin Focal seeds C Subretinal seeds: =3 mm Vitreous seeds: =3 mm Both subretinal and vitreous seeds: =3 mm Diffused seeds D Subretinal seeds: >3 mm Vitreous seeds: >3 mm Both subretinal and vitreous seeds: >3 mm E Extensive retinoblastoma occupying more than 50% or neovascular glaucoma or opagque media from hemorrhage in anterior chamber, vitreous or subretinal space. 2.8 Diagnosis (4,6,7) Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesa, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Diagnosis pasti dari retinoblastoma intraokuler hanya dapat ditegakkan dengan pemeriksaan patologi anatomi, akan tetapi karena tindakan biopsy merupakan kontraindikasi, maka untuk menegakkan diagnosis digunakan beberapa sarana pemeriksaan sebagai sarana penunjang:

16

1. Pemeriksaan fundus okuli, ditemukan adanya massa yang menonjol dari retina disertai pembuluh darah pada permukaan maupun di dalam masaa tumor tersebut dan berbatas kabur. 2. Pemeriksaan foto rontgen, pada hampIr 60-70% kasus penderita

retinoblastoma menunjukkan adanya klasifikasi. Bila tumor mengadakan infiltrasi ke nervus optikus, maka foramen optikum melebar. 3. Pemeriksaan CT-scan dan MRI untuk mendeteksi penyebaran tumor sampai ke intracranial, seperti pada Gambar 2.4. 4. Pemeriksaan onkologis opthalmik ultrasound dapat mendiagnosa

retinoblastoma intraokular lebih dari 95% kasus. 5. Pemeriksaan Enzim Lactic Acid Dehydrogenase (LDH), yaitu dengan membandingkan kadar LDH humor akuos dengan serum darah. Bila rasio lebih besar dari 1,5 dicurigai kemungkinan adanya retinoblastoma intraokuler (pada keadaan normal rasio kurang dari 1).

Gambar 2.4 Gambaran CT-scan Retinoblastoma (Elli,2002)

17

2.9 Penatalaksanaan Penanganan retinoblastoma sangat tergantung pada besarnya tumor, bilateral, perluasan kejaringan ekstraokuler dan adanya tanda-tanda metastasis jauh. (1,9) 1. Fotokoagulasi laser Fotokoagulasi laser sangat bermanfaat untuk retinoblastoma stadium sangat dini. Dengan melakukan fotokoagulasi laser diharapkan pembuluh darah yang menuju ke tumor tertutup, sehingga sel tumor akan menjadi mati. Keberhasilan cara ini dapat dinilai dengan adanya regresi tumor dan terbentuknya jaringan sikatrik korioretina. Cara ini baik untuk tumor yang diameternya 4,5 mm dan ketebalah 2,5 mm tanpa adanya vitreous seeding. Yang paling sering dipakai adalah Argon atau Diode laser yang dilakukan sebanya 2 sampai 3 kali dengan interval masing-masingnya 1 bulan, seperti pada Gambar 2.5.

Gambar 2.5 Fotokoagulasi Laser (Abramson, 2004)

2. Krioterapi Dapat dipergunakan untuk tumor yang diameternya 3,5 mm dengan ketebalan 3 mm tanpa adanya vitreous seeding, dapat juga digabungkan dengan
18

fotokoagulasi laser. Keberhasilan cara ini akan terlihat adanya tanda-tanda sikatrik korioretina. Cara ini akan berhasil jika dilakukan sebanyak 3 kali dengan interval masing-masing 1 bulan. 3. Thermoterapi Dengan mempergunakan laser infra red untuk menghancurkan sel-sel tumor terutama untuk tumor-tumor ukuran kecil. 4. Radioterapi Dapat digunakan pada tumor-tumor yang timbul kerah korpus vitreus dan tumor-tumor yang sudah berinervasi kea rah nervus optikus yang terlihat setelah dilakukan enukleasi bulbi. Dosis yang dianjurkan adalah dosis fraksi perhari 190-200 cGy dengan total dosis 4000-5000 cGy yang diberikan selama 4 sampai 6 minggu. 5. Kemoterapi Indikasinya adalah pada tumor yang sudah dilakukan enukleasi bulbi yang pada pemeriksaan patologi anatomi terdapat tumor pada koroid dan atau mengenai nervus optikus. Kemoterapi juga diberikan pada pasien yang sudah dilakukan eksentrasi dan dengan metastase regional atau metastase jauh. Kemoterapi juga diberikan pada tumor ukuran kecil dan sedang untuk menganjurkan penggunaan Carboplastin, Vincristine sulfat, dan Etopozide phosphate. Beberapa peneliti juga menambahkan Cyclosporine atau dikombinasi dengan regimen kemoterapi carboplastin, vincristine, etopozide phosphate. Tehnik lain yang dapat digabungkan dengan metode kemoterapi ini adalah : Kemoterapi, dimana setelah dilakukan kemoreduksi dilanjutkan dengan termoterapi. Cara ini paling baik untuk tumor-tumor yang berada pada fovea dan nervus optikus dimana jika dilakukan radiasi atau fotokoagulasi laser dapat berakibat terjadinya penurunan visus. (2) Kemoradioterapi, adalah kombinasi antara kemoterapu dan radioterapi yang dapat dipergunakan untuk tumor-tumor lokal dan sistemik.

19

6. Enukleasi bulbi Dilakukan apabila tumor sudah memenuhi segmen posterior bola mata. Apabila tumor telah berinervasi ke jaringan sekitar bola mata maka dilakukan eksenterasi. Berdasarkan ukuran tumor, penatalaksanaan dapat dibagi : 1. Tumor kecil Ukuran tumor kecil dari 2 diameter papil nervus optikus tanpa infiltrasi ke korpus vitreous atau sub retinal. Dapat dilakukan fotokoagulasi laser, termoterapi, korioterapi, dan kemoterapi. 2. Tumor medium a. Brakiterapi untuk tumor ukuran kecil dari 8 diameter papil nervus optikus, terutama yang tidak ada infiltrasi ke korpus vitreous, juga dipergunakan untuk tumor-tumor yang sudah mengalami regresi. b. Kemoterapi c. Radioterapi, sebaiknya hal ini dihindarkan, karena kompikasinya dapat menyebabkan katarak, radiasi retinopati. 3. Tumor besar a. Kemoterapi : untuk mengecilkan tumor dan ditambah pengobatan local seperti krioterapi dan fotokoagulasi laser yang bertujuan untuk menghindarkan enukleasi atau radioterapi. Tindakan ini juga

memberikan keuntungan apabila terdapat tumor yang kecil pada mata sebelahnya. b. Enukleasi bulbi dilakukan apabila tumor diffuse pada segmen posterior bola mata dan yang mempunyai risiko tinggi untuk terjadi rekurensi. 4. Tumor yang sudah meluas kejaringan ekstraokuler maka dilakukan eksenterasi dan diikuti dengan kemoterapi dan radioterapi. 5. Tumor yang sudah bermetastasis jauh, hanya diberikan kemoterapi saja.

2.10 Prognosis Dimana pasien dengan penyakit unilateral prognosis visus untuk mata normal umumnya baik, diantara pasien mata denan penyakit bilateral, prognosis

20

visus tergantung lokasi dan luasnya keterlibatan. Salah satu studi dilaporkan bahwa diantara pasien dengan penyakit bilateral diobati dengan konservatif 50% mencapai visus 20/40. Peningkatan taraf hidup lebih besar diantara pasien yang didiagnosa sebelum umur 2 tahun atau sebelum umur 7 tahun.(6,17) Harapan hidup sangat tergantung dari dininya diagnosis ditegakkan dan metode pengobatan yang dilakukan.(4,19) 1. Bila masih terbatas di retina, kemungkinan hidup 95% 2. Bila terjadi metastase ke orbita, kemungkinan hidup 5% 3. Bila metastase ke seluruh tubuh, kemungkinan hidup 0%

2.11 Pencegahan Jika di dalam keluarga terdapat riwayat retinoblastoma, sebaiknya mengikuti konsultasi genetik untuk membantu meramalkan risiko terjadinya retinoblastoma pada keturunannya.(6,7,19)

21

BAB III PENUTUP

Kesimpulan: Adapun kesimpulan yang dapat disampaikan adalah : 1. Retinoblastoma merupakan suatu tumor ganas intraokuler yang sering menyerang anak-anak. 2. Retinoblastoma merupakan suatu penyakit herediter 3. Pada anak dengan gejala mata juling (strabismus) dan ada suatu peradangan maka dicurigai adanya suatu retinoblastoma.

22

DAFTAR PUSTAKA

1. Abramson DH, Schelfer AC, Transpupillary Thermotherapi as initial treatment for Small Intra Oculer Retinoblastoma. Opthalmology 2004; 3:984991. 2. Arief Mansjoer dkk. Retinoblastoma dalam Kapita Selekta Kedotekteran Jilid I Edisi ketiga. Media Aesculapius. Jakarta, 2001 : 75-76. 3. Arno Nover Fundus Okuli (gambaran Khas dan Metode-metode Pemeriksaan) edisi IV. Penerbit Buku Kedokteran Hipokrates. Jakarta, 1995 : 134. 4. Bakri Abdul Sjukur & Prijanto. Retinoblastoma dalam Pedoman Diagnosis dan Terapi Lab/UPF Ilmu Penyakit Mata. RSUD Dr. Soetomo. Surabaya, 1994 : 59-61. 5. Daniel G. Vaughan et all. Oftalmologi Umum. Widya Medika. Jakarta. 2000: 217-219. 6. Elli Kusmayati et all. Relationship Between Cats eye Reflex and Bonemarrow Metastasis Patient with Retinoblastoma In : Pediatrical Indonesiana (The Indonesian Journal of Pediatrics and Perinatal Medicine) Volume 42. No : 1-2, January-February 2002. The Indonesian Society of Pediatricans : 39-41. 7. Enrique Schuartzman et all Result of a Stage-Based Protocol for the Treatment of Retinoblastoma in Journal of Clinical Oncology Vol.14, 5 May 1996 : 1532-1536. 8. Eye anatomy. Glaucoma research foundation.

http://www.glaucoma.org/glaucoma/anatomy-of-the-eye.php. Diunduh: 29 Januari 2012. 9. Galindo CR, Wilson MW, Haik BG. Treatment of metastatic retinoblastoma, Ophthalmology 2003; 110: 1237-1240.

23

10. Hurwitz RL. Shields CL. Shields JA. Barrios PC. Hurwitz MY. Chintagumpala MM.Retinoblastoma. Dalam: Pizzo PA, Poplack DG, penyunting. Principles and practice of Pediatric Oncology. Edisi ke 4. Lipincott Williams & Wilkins. 825- 46. 11. Kanski, Jack J. Clinical Ophtalmology, A Systemic Approach, second edition. Oxford: Butterworth- Heinemann, 1993, 542- 552. 12. Kanski, J.J., Bowling, B., editors. Clinical Ophthalmology: a systemic approach. 7th ed. Elsevier, 2011. 13. Lanzkowsky P. Retinoblastoma. Dalam : Manual of Pediat ric Hemat ology and Oncology. Edisi ke 2. Churchill Livingsome. 1995. 513- 26. 14. M. Nenadov Beck et al. First Line Chemotherapy With Local Treatment Can Prevent External-Beam Irradiation and Enucliation In Low Stage Intraocular Retinoblastoma In : Journal of Clinical Oncology Vol.18 No. 15 August 2000 : 2881-2887.12. Curtis E. Margo et all. Retinoblastoma.

http://www.SpEdEx. com 20031-4. 15. Moll AC, Imhoff SM, Van Meeteren AY, Boers M. At What Age Could Screening for Familial Retinoblastoma Be Stopped? ARegister Based Study 1945- 98. Br I Ophthalmol. 2000: 84:1170- 2. 16. Nana Wijana. Ilmu Penyakit Mata Edisi 3.Jakarta,1983 : 140-141 17. National Cancer Institute. Retinoblastoma.http://www.medNews.com 2004 : 1-8. 18. Riordan-Eva P, Whitcher JP. Vaughan & Asburys general ophthalmology. 17th ed. McGraw-Hill, 2007. 19. Sidarta Ilyas. Retinoblastoma dalam Kegawatdaruratan Dalam Ilmu Penyakit Mata.FKUI. Jakarta, 2000 : 159-161. 20. Sense organs. Arthurs medical clipart.

http://www.arthursclipart.org/medical/senseorgans/page_02.htm. Diunduh: 29 Januari 2012. 21. Tamin Radjamin. Ilmu Penyakit Mata. Airlangga University Press Surabaya, 1984 : 98.

24

Anda mungkin juga menyukai