Anda di halaman 1dari 34

Case Report Session

Ablasio Retina

Oleh :
Nurul Ramadani 1840312622
Aulia Khatib 1510312082
Della Reyhani Putri 1510312103

Preseptor :
dr. Andrini Ariesti, Sp.M (K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA


RSUP DR. M.DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2019

1
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur kami ucapkan kepada Allah SWT, yang telah melimpahkan

rahmat dan karuniaNya, sehingga CRS yang berjudul Ablasio Retina dapat

kami selesaikan.

CRS ini ditulis untuk menambah pengetahuan dan wawasan mengenai

ablasio retina sebagai salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik

senior di bagian Ilmu Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.

Terimakasih kami ucapkan kepada staf pengajar yang telah membimbing

penulis selama menjalani kepaniteraan klnik senior di bagian Ilmu Kesehatan

Mata, serta dr. Andrini Ariesti, Sp.M (K) sebagai pembimbing dalam penulisan

CRS ini.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa CRS ini masih jauh dari

kesempurnaan. Oleh karena itu penulis sangat mengahrapkan segala kritik dan

saran membangun demi perbaikan di masa yang akan datang.

Akhir kata penulis berharap semoga CRS ini dapat memberi manfaat

bagi kita semua di masa mendatang.

Padang, 26 Maret 2018

Penulis

2
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ablasio retina (Retinal Detachment) adalah kelaian pada mata
yang disebabkan oleh terpisahnya lapisan neurosensoris retina (NSR)
1
dari lapisan epitel retina (RPE). Kondisi ini mengakibatkan
terhambatnya aliran cairan subretina, yang dapat menumpuk di ruang
potensial antara NSR dan RPE.2 Insiden ablasio retina cukup banyak
terjadi, karena merupakan kasus emergency di bidang mata, setiap
tahun sekitar 1 sampai 2 orang dari 10.000 kasus mengalami ablasio
retina.3
Ablasio retina berdasarkan gambaran klinis dan etiologi terbagi
menjadi 3 tipe, yaitu regmatogen, traksional, dan eksudatif (serosa),
yang dapat menjadi hemoragis.4Pada ketiga tipe tersebut, Insiden
ablasio regmantosa adalah yang terbanyak dari ketiga jenis ablasio
yaitu 6,3 sampai 17,9 dari 10.000 kasus per tahun dan memiliki risiko
seumur hidup sekitar 0,06%.5
Faktor risiko yang dapat mengakibatkan peningkatan kasus
ablasio retina; seperti miopi tinggi, riwayat ablasio retina sebelumnya
atau pada keluarga, riwayat operasi katarak, riwayat cidera pada mata,
dan riwayat penyakit atau gangguan pada mata. 6Ablasio retina dengan
cepat akan mengakibatkan kematian pada sel fotoreseptor, sekitar 12
jam setelah proses ini terjadi. Jika tidak segera ditatalaksana dengan
baik, penurunan fungsi penglihatan dapat dengan cepat terjadi, yang
dapat mengakibatkan kehilangan fungsi penglihatan secara permanen.
7

Prinsip tatalaksana ablasio retina adalah menemukan robekan dan


segera menutup robekan tersebut. Tatalaksana dapat dilakukan dengan
pembedahan. Pembedahan harus dilakukan secepat mungkin antara 1
sampai 2 hari agar mencegah kerusakan lebih lenjut pada mata.
Krioterapi atau laser berfungsi untuk menimbulkan adhesi antara

3
epitel pigmen dan retina sensorik sehingga mencegah influx cairan
lebih lanjut kedalam ruang subretina, mengalirkan cairan subretina ke
dalam dan ke luar, dan mengurangi traksi vitreoretina. 9
1.2 Batasan Masalah
Batasan penulisan ini membahas mengenai definisi, epidemiologi,
etiologi, klasifikasi, gambaran klinis, penatalaksanaan, komplikasi, dan
prognosis dari ablasio retina.
1.3 Tujuan Penulisan
Penulisan ini bertujuan untuk menambah pengetahuan penulisan
mengenai anblasio retina.
1.4 Metode Penulisan
Penulisan ini menggunakan metode penulisan tinjauan
kepustakaan merujuk dengan merujuk pada berbagai literatur.

4
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Fisiologi Retina


Retina atau selaput jala merupakan bagian mata yang mengandung
reseptor yangmenerima rangsang cahaya. Retina merupakan selembar
tipis jaringan saraf yang semitransparan, dan multilapis yang melapisi
bagian dalam dua per tiga posterior dinding 2 bola mata. Retina
membentang ke depan hampir sama jauhnya dengan korpus siliaris, dan
akhirnya di tepi ora serrata. Pada orang dewasa, ora serrata berada sekitar
6,5 mm di belakang garis Schwalbe pada sistem temporal dan 5,7 mm di
belakang garis ini pada sisi nasal. Permukaan luar retina sensorik
bertumpuk dengan membrana Bruch , koroid, dan sklera. Retina
menpunyai tebal 0,1 mm pada ora serrata dan 0,23 mm pada kutub
posterior. Ditengah-tengah retina posterior terdapat makula. Di tengah
makula terdapat fovea yang secara klinis merupakan cekungan yang
memberikan pantulan khusus bila dilihat dengan oftalmoskop. Retina
berbatas dengan koroid dengan sel epitel pigmen retina dan terdiri atas
lapisan :
1. Lapisan epitel pigmen
2. Lapisan fotoreseptor merupakan lesi terluar retina terdiri atas sel
batang yang mempunyai bentuk ramping, dan sel kerucut.
3. Membran limitan eksterna yang merupakan membrane ilusi.
4. Lapisan nucleus luar, merupakan susunan lapis nucleus sel kerucut
dan batang.
5. 5.Lapisan pleksiform luar merupakan lapis aselular dan merupakan
tempat sinapsis sel fotoreseptor dengan sel bipolar dan sel horizontal.
6. Lapis nucleus dalam, merupakan tubuh sel bipolar, sel horizontal dan
sel Muller.
7. Lapisan pleksiform dalam, merupakan lapis aselular merupakan
tempat sinaps sel bipolar, sel amakrin dengan sel ganglion.
8. Lapis sel ganglion yang merupakan lapis badan sel daripada neuron
kedua,

5
9. Lapis serabut saraf, merupakan lapis akson sel ganglion menuju
kearah saraf optik.
10. Membran limitan interna, merupakan membrane hialin antara retina
dan badan kecil.

6
Retina mendapatkan suplai darah dari dua sumber yaitu koriokapiler
yang berada tepat di luar membrana Bruch, yang mensuplai sepertiga luar
retina, termasuk lapisan pleksiformis luar dan lapisan inti luar, fotoreseptor,
dan lapisan epitel pigmen retina, serta cabang-cabang dari arteri retina
sentralis yang mensuplai dua per tiga sebelah dalam.
Mata berfungsi sebagai suatu alat optis, sebagai suatu reseptor
kompleks, dan sebagai suatu transduser yang efektif. Sel-sel batang dan
kerucut di lapisan fotoreseptor mampu mengubah rangsangan cahaya
menjadi suatu impuls saraf yang dihantarkan oleh lapisan serat saraf retina
melalui saraf optikus dan akhirnya ke korteks penglihatan ossipital. Makula
bertanggung jawab untuk ketajaman penglihatan yang terbaik dan untuk
penglihatan warna, dan sebagian besar selnya adalah sel kerucut. Di fovea
sentralis, terdapat hubungan hampir 1:1 antara fotoreseptor kerucut, sel
ganglionnya, dan serat saraf yang keluar, dan hal ini menjamin penglihatan
yang paling tajam. Di retina perifer, banyak fotoreseptor dihubungkan ke sel
ganglion yang sama, dan diperlukan sistem pemancar yang lebih kompleks.
Akibat dari susunan seperti itu adalah bahwa makula terutama digunakan
untuk penglihatan sentral dan warna (penglihatan fototopik) sedangkan
bagian retina lainnya, yang sebagian besar terdiri dari fotoreseptor
batang,digunakan terutama untuk penglihatan perifer dan malam (skotopik).

2.2 Defnisi
Ablasio retina merupakan suatu kelainan pada mata di mana lapisan
sensori retina, sel kerucut dan sel batang terlepas dari lapisan epitel
pigmen retina.9,10,11 Pada keadaan ini sel epitel pigmen retina masih
melekat erat dengan membran Bruch.11
Terdapat 2 tipe utama ablasio retina, yaitu:
1. Ablasio retina regmatogenosa: terjadi akibat adanya robekan pada retina
sehingga cairan masuk ke dalam rongga subretina, di antara lapisan
sensori retina dan sel epitel pigmen retina.9,10,11,12
2. Ablasio retina non regmatogenosa: tidak terjadi robekan.
Dibagi menjadi 2 tipe, yaitu:

7
 Traksional: lapisan sensori retina tertarik keluar dari sel epitel pigmen
retina oleh kontraksi membran vitreoretina dan tidak diketahui asal
dari cairan subretina.
 Eksudatif: cairan subretina berasal dari koroid melalui sel epitel pigmen
retina yang rusak.9

2.3 Epidemiologi
Ablasio retina regmatogenosa mengenai sekitar 1 dari 10.000 populasi
setiap tahun dan keterlibatan kedua mata sekitar 10 % kasus. 9,13 Di
Amerika Serikat sekitar 6 % dari populasi menderita ablasio retina
regmatogenosa, dengan insiden 1 dari 15000 populasi, prevalensi 0,3 %.
Laki-laki lebih sering terkena dibandingkan perempuan. Sekitar 15 %
penderita ablasio retina pada satu mata, akan berkembang pula pada mata
yang lain. Lebih sering pada etnis yahudi dan rendah pada orang kulit
hitam, dan biasanya pada orang berusia 40-70 tahun. Insiden ablasio retina
idiopatik yang berkaitan dengan usia sekitar 12,5 kasus dari 100000 setiap
tahun, atau sekitar 28000 kasus setiap tahun di Amerika Serikat.12

2.4 Etiologi
Kelompok orang tertentu memiliki faktor risiko lebih tinggi
dibandingkan dengan orang lain, seperti miopia berat, afakia (misal pada
pasien katarak setelah dioperasi tanpa lensa intraokular), usia lanjut, dan
trauma.10,11,12,13 Ablasio retina yang disebabkan oleh trauma lebih sering
terjadi pada individu berusia 25-45 tahun. Hal yang tidak terlalu
berhubungan dengan ablasio retina regmatogenosa, antara lain riwayat
keluarga, riwayat kelainan kongenital mata seperti glaukoma, vitreopati
herediter dengan abnormal badan vitreus, dan riwayat retinopati
prematuritas.13
Miopia tinggi, di atas 5-6 dioptri, berhubungan dengan 67 % kasus
ablasio retina dan cenderung terjadi lebih muda dari pasien non miopia.
Diperkirakan terjadi pada 5-16 dari 1000 setelah operasi katarak dengan
metode ICCE. Risiko ini menjadi lebih tinggi pada pasien dengan miopi

8
tinggi. Walaupun ablasio retina terjadi pada satu mata tetapi 15 %
kemungkinan akan berkembang pada mata yang lainnya, dan risiko ini
lebih tinggi, sekitar 25-30 % pada pasien yang telah menjalani operasi
katarak pada kedua mata.10

2.5 Klasifikasi
Ablasio retina regmatogenosa dapat diklasifikasikan berdasarkan
patogenesis, morfologi dan lokasi.
Berdasarkan patogenesisnya, dibagi menjadi
 Tears: disebabkan oleh traksi vitreoretina dinamik dan memiliki
predileksi di superior dan lebih sering di temporal daripada nasal.
 Holes: disebabkan oleh atrofi kronik dari lapisan sensori retina, dengan
predileksi di daerah temporal dan lebih sering di superior daripada
inferior, dan lebih berbahaya dari tears.
Berdasarkan morfologi, ablasi retina regmatogenosa dibagi menjadi :
 U-tears: terdapat flap yang menempel pada retina di bagian dasarnya,
 incomplete U-tears: dapat berbentuk L atau J,
 operculated tears: seluruh flap robek dari retina,
 dialyses: robekan sirkumferensial sepanjang ora serata
 giant tears.
Berdasarkan lokasi, dibagi menjadi :
 oral: berlokasi pada vitreous base,
 post oral: berlokasi di antara batas posterior dari vitreous base dan
equator,
 equatorial
 post equatorial: di belakang equator
 macular: di fovea.9

2.6 Patogenesis
Terjadinya robekan retina disebabkan ketidakseimbangan dari gaya.
Terdapat gaya yang mempertahankan perlekatan retina dengan sel epitel
pigmen retina, juga terdapat gaya lain yang mencetuskan robekan. Ablasio

9
retina regmatogenosa terjadi ketika gaya yang mencetuskan lepasnya
perlekatan retina melebihi gaya yang mempertahankan perlekatan retina.
Tekanan yang mempertahankan perlekatan retina, antara lain tekanan
hidrostatik, tekanan onkotik, dan transpor aktif. Tekanan intraokular
memiliki tekanan hidrostatik yang lebih tinggi pada vitreus dibandingkan
koroid. Selain itu, koroid mengandung substansi yang lebih dissolved
dibandingkan vitreus sehingga memiliki tekanan onkotik yang lebih tinggi.
Kemudian, pompa pada sel epitel pigmen retina secara aktif mentranspor
larutan dari ruang subretina ke koroid. Hasil dari aktivitas ketiga hal
tersebut yang mempertahankan perlekatan retina. 14
Robekan retina terjadi sebagai akibat dari interaksi traksi dinamik
vitreoretina dan adanya kelemahan di retina perifer dengan predisposisi
degenerasi. Pada traksi vitreoretina dinamik terjadi synchysis, yaitu
likuefaksi dari badan vitreus yang akan berkembang menjadi suatu lubang
pada korteks vitreus posterior yang tipis pada fovea. Cairan synchytic dari
tengah badan vitreus masuk melalui lubang tersebut ke ruang retrohialoid
yang baru terbentuk. Proses ini mengakibatkan terlepasnya secara paksa
permukaan vitreus posterior dari lapisan sensori retina. Badan vitreus
lainnya kolaps ke inferior dan ruang retrohialoid terisi oleh cairan
synchitic. Proses ini dinamakan acute rhegmatogenous PVD with collapse
atau dikenal dengan acute PVD henceforth.
Selain itu juga dapat terjadi sebagai akibat dari komplikasi akut PVD
(posterior vitreal detachment). Hal ini tergantung dari kekuatan dan
lebarnya sisa adhesi vitreoretina. Robekan yang disebabkan oleh PVD
cenderung berbentuk seperti huruf U, berlokasi di superior fundus dan
sering berhubungan dengan perdarahan vitreus sebagai hasil dari ruptur
pembuluh darah retina perifer.9

2.7 Gejala Klinis


Gejala yang sering ditemukan adalah fotopsia. Fotopsia ini terjadi
sebagai hasil dari stimulasi mekanik pada retina. Hal ini diinduksi oleh
gerakan bola mata dan lebih jelas pada keadaan gelap. Sekitar 60 % pasien
mengalami fotopsia. Ketika retina robek, darah dan sel epitel pigmen

10
retina dapat masuk ke badan vitreus dan terlihat sebagai floaters, yaitu
keopakan/bayangan gelap pada vitreus.9,13 Kedua gejala tersebut
merupakan hal yang sering dikeluhkan oleh pasien.
Setelah beberapa waktu tertentu, pasien menyadari adanya defek
lapang penglihatan mulai dari perifer dan akan progresif ke sentral. Hal
tersebut digambarkan pasien sebagai black curtain. Kuadran dari defek
membantu dalam menentukan lokasi dari robekan retina. Hilangnya
penglihatan sentral mungkin dikarenakan keterlibatan fovea. Selain itu
juga dapat terjadi karena tertutupnya oleh bulosa yang besar di depan
makula.
Pada pemeriksaan oftalmologis dapat ditemukan adanya defek relatif
pupil aferen (Marcus Gunn pupil), tekanan intraokular yang menurun, iritis
ringan, adanya gambaran tobacco dust atau Schaffer sign, robekan retina
pada funduskopi.9,15 Pada pemeriksaan funduskopi akan terlihat retina
yang terangkat berwarna pucat dengan pembuluh darah di atasnya dan
terlihat adanya robekan retina berwarna merah. Bila bola mata bergerak
akan terlihat retina yang terlepas bergoyang.11

2.8 Diagnosis
Anamnesis
Pasien biasanya datang dengan keluhan berupa 16,17:
• Peningkatan jumlah dan ukuran floaters, mengindikasikan robekan
retina
• Tampak kilatan cahaya, sebagai stadium pertama dari robetkan
retina atau ablasio retina
• Muncul bayangan di tepi lapang pandang
• Kesan tampilan tirai abu-abu pada lapangan pandang
• Penurunan penglihatan mendadak
Pada pasien, perlu digali keterangan tentang riwayat trauma, riwayat
operasi mata, riwayat kesehatan mata (misalnya uveitis dan perdarahan
vitreus), durasi gejala dan gangguan penglihatan. 17

11
Pemeriksaan Fisik dan Penunjang
Pemeriksaan menyeluruh diindikasikan pada kedua mata.
Pemeriksaan pada mata yang tidak bergejala dapat memberikan
petunjuk mengenai penyebab dari ablasio retina pada mata yang
lainnya. 18
1. Pemeriksaan segmen luar untuk menilai tanda-tanda trauma
2. Periksa pupil dan tentukan defek pupil aferen
3. Periksa ketajaman penglihatan
4. Periksa konfrontasi lapangan pandang
5. Periksa metamorfopsia dengan tes Amsler grid
6. Pemeriksaan slit lamp untuk melihat ada atau tidaknya pigmen pada
vitreus (Shafer’s sign)
7. Periksa tekanan bola mata
8. Pemeriksaan fundus dengan oftalmoskopi (pupil harus dalam
keadaan dilatasi)
9. Pemeriksaan laboratorium untuk mengetahui adanya penyakit penyerta
Pada oftalmoskopi, retina yang terlepas akan terlihat putih dan
edema dan kehilangan sifat transparansinya. Pada ablasio regmatogen,
robekan retina berwarna merah terang dapat terlihat. Biasanya muncul
pada setengah bagian atas retina pada regio degenerasi ekuator. Pada
ablasio tipe traksi, ablasio bullosa akan terlihat bersamaan dengan
untaian retina berwarna abu-abu. Pada tipe eksudatif akan terlihat
adanya deposit lemak massif dan biasanya disertai dengan perdarahan
intraretina. 19
Pada pemeriksaan Ultrasound mata, jika retina tidak dapat
tervisualisasi karena katarak atau perdarahan, maka ultrasound A dan B-
scan dapat membantu mendiagnosis ablasio retina dan membedakannya
dengan ablasio vitreus posterior. USG dapat membantu membedakan
regmatogen dari non regmatogen. Pemeriksaan ini sensitif dan spesifik
untuk ablasio retina tetapi tidak dapat membantu untuk menentukan
lokasi robekan retina yang tersembunyi.18

12
Pemeriksaan oftamologikus
Pada funduskopi tampak bulae pada retina yang lepas dengan posisi
bergantung pada posisi dari pasien, cairan akan terakumulasi pada
daerah yang paling bebas. Karakteristik retina halus tanpa lipatan
seperti pada ablasio retina regmantogenosa. Pada segmen anterior dapat
terlihat tanda radang seperti injeksi episklera, iridosiklitis, atau bahkan
rubeosis bergantung pada penyebab. Pada kasus kronik eksudat keras
dapat terlihat. Pembuluh darah teleangiektasis yang berdilatasi dapat
terlihat. 20
1. Pemeriksaan tajam penglihatan
2. Pemeriksaan lapangan pandang
3. Memeriksa apakah ada tanda-tanda trauma
4. Periksa reaksi pupil. Dilatasi pupil yang menetap mengindikasikan
adanya trauma.
5. Pemeriksaan slit lamp; anterior segmen biasanya normal,
pemeriksaan vitreous untuk mencari tanda pigmen atau “tobacco
dust”, ini merupakan patognomonis dari ablasio retina pada 75 %
kasus.
6. Periksa tekanan bola mata.
7. Pemeriksaan fundus dengan oftalmoskop (pupil harus dalam keadaan
berdilatasi)

Pemeriksaan penunjang
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan gejla klinis, namun
etiologi penyebab dari ablasio retina sangat sulit ditentukan hanya
berdasarkan gejala klinis semata. Oleh karena itu diperlukan
pemeriksaan penunjang laboratorium. Tes venereal disease research
laboratory (VDRL) dan tes fluorescein treponema antibody (FTA)
untuk mengetahui adanya sifilis. Antibodi antineutrofil sitoplasma,
LED, dan faktor reumatoid untuk mengetahui adanya reumatoid artritis.
Ultrasonografi sangat berguna untuk melihat keadaan media. Dapat
melihat ketebalan koroid, massa dalam koroid, lokasi dan ukuran massa
koroid, ketebalan sklera. Pelepasan koroid perifer anular dapat dilihat

13
pada nanophthalmos dan sindrom efusi uvea.Angiografi fluresen sangat
berguna dalam mengidentifikasi daerah yang mengalami kebocoran di
daerah korioretinopati sentral. Hasil temuan histologis memberikan
gambaran yang serupa ablasio retina regmantogenosa ditandai
hilangnya lapisan fotoreseptor bagian luar secara cepat dan perubahan
kronik dicontohkan dengan retinoskisis, kista, dan proliferasi epitel
pigmen retina. Temuan lainnya adalah kebocoran masif ke dalam retina
dan ruang subretina. 20

2.8 Diagnosis
Banding
1) Retinoskisis
Retinoskisis degeneratif adalah kelainan retina perifer didapat yang
sering ditemukan dan diyakini terbentuk dari gabungan degenerasi
kistoid perifer yang sudah ada. Elevasi kistik tersebut paling sering
ditemukan di kuadran inferotemporal, diikuti dengan kuadran
superotemporal. Degenerasi kistoid berkembang menjadi salah satu dari
dua bentuk retinoskisis, tipikal atau retikular. 21
Retinoskisis degeneratif tipikal membentuk daerah bundar atau
oval yang merupakan retina yang terlepas pada lapisan pleksiform-luar.
Pada lapisan retina bagian luar, perluasan ke posterior dan pembentukan
lubang jarang terjadi sehingga retinoskisis bentuk ini berisiko rendah
menyebabkan ablatio retina. 21
Retinoskisis degeneratif retikular ditandai oleh daerah-daerah retina
terlepas berbentuk bundar atau oval di lapisan serat saraf dan
membentuk suatu elevasi bulosa lapisan retina bagian dalam yang
sangat tipis. Lubang retina terbentuk pada 23% kasus, dan mungkin
terjadi perluasan posterior atau perburukan menjadi ablation retinae
regmatogenosa yang memerlukan terapi.21
Retinoskisis menyebabkan suatu skotoma absolut dalam lapangan
pandang, sedangkan ablatio retinae menimbulkan suatu skotoma relatif.
Elevasi kistik pada retinoskisis biasanya halus tanpa disertai sel-sel

14
pigmen vitreus. Permukaan ablatioretinae biasanya berombak-ombak
dengan sel-sel pigmen di dalam vitreus (“debutembakau”). 21
Ablatio retinae yang berlangsung lama menyebabkan atrofi epitel
pigmenretina di bawahnya, menimbulkan suatu garis demarkasi
berpigmen. Karena epitel pigmen retina pada pada retinoskisis baik-
baik saja, tidak ada garis demarkasi yang terbentuk. Diagnosis
retinoskisis dipikirkan bila fotokoagulasi laser argon pada lapisan retina
bagian luar, yang diarahkan melalui robekan lapisan bagian dalam,
menghasilkan suatu respons abu-abu yang sama dengan yang terdapat
pada daerah retina normal di dekatnya.21

2.9 Tatalaksana
Penatalaksanaan ablasio retina saat ini hanya dapat dilakukan
denganoperasi, penatalaksanaan medika mentosa biasa tidak dapat
mengobati penyakit ini.Tujuan utama bedah ablasi adalah untuk
menemukan dan memeperbaiki semuarobekan retina, digunakan krioterapi
atau laser untuk menimbulkan adhesi antaraepitel pigmen dan retina
sensorik sehingga mencegah influks cairan lebih lanjutkedalam ruang
subretina, mengalirkan cairan subretina ke dalam ke luar, danmeredakan
traksi vitreoretina.20,22
Penatalaksanaan pada ablasio retina adalah pembedahan. Prinsip
bedah pada ablasio retina yaitu :23
1. Menemukan semua bagian yang terlepas
2. Membuat iritasi korioretinal pada sepanjang masing-masing daerah
retinayang terlepas.
3. Menguhubungkan koroid dan retina dalam waktu yang cukup
untukmenghasilkan adhesi dinding korioretinal yang permanen pada
daerah subretinal.
Metode operasi yang digunkan bergantung pada lokasi robekan, usia
pasien,gambaran fundus, dan pengalaman ahli bedah.
1. Scleral buckling :
Metode ini paling banyak digunakan pada ablasio retina
rematogenosaterutama tanpa disertai komplikasi lainnya. Prosedur

15
meliputi lokalisasi posisirobekan retina,menangani robekan dengan
cryoprobe, dan selanjutnya denganscleral buckle (sabuk). Sabuk ini
biasanya terbuat dari spons silikon atau silikonpadat. Ukuran dan bentuk
sabuk yang digunakan tergantung posisi lokasi danjumlah robekan retina.
Pertama – tama dilakukan cryoprobe atau laser untukmemperkuat
perlengketan antara retina sekitar dan epitel pigmen retina. Sabukdijahit
mengelilingi sklera sehingga terjadi tekanan pada robekan retina
sehinggaterjadi penutupan pada robekan tersebut. Penutupan retina ini
akan menyebabkancairan subretinal menghilang secara spontan dalam
waktu 1-2 hari.20,22
Keuntungan dari tehnik ini adalah menggunakan peralatan dasar,
waktu rehabilitasi pendek, resiko iatrogenic yang menyebabkan kekeruhan
lensa rendah, mencegah komplikasi intraocular seperti perdarahan dan
inflamasi.

Spons silikon dijahit pada bola mata untuk menekan sklera di atas
robekan retina setelah drainase cairan sub retina dan dilakukan
crioterapi .

16
Penekanan yang didapatkan dari spons silikon, retina sekarang
melekat kembali dan traksi pada robekan retina oleh vitreus dihilangkan

Setelah pengangkatan gel vitreus pada drainase cairan sub retina,


gas fluorokarbon inert disuntikan ke dalam rongga vitreus .

2.Pars Plana Vitrektomy :


Merupakan cara yang paling banyak digunakan pada ablasio
akibatdiabetes, dan juga pada ablasio regmatogenosa yang disertai
traksi vitreus atau perdarahan vitreus. Cara pelaksanaannya yaitu
dengan membuat insisi kecil pada dinding bola mata kemudian
memasukkan instruyen ingá cavum vitreous melalui pars plana. Setelah
itu dilakukan vitrektomi dengan vitreus cutre untuk menghilangkan
berkas badan kaca (viteuos stands), membran, dan perleketan –
perleketan. Teknik dan instruyen yang digunakan tergantung tipe dan
penyebab ablasio. Lebih dari 90% lepasnya retina dapat direkatkan
kembali dengan teknik-teknik bedah mata modern, meskipun kadang-
kadang diperlukan lebih dari satu kali operasi.20,22
Keuntungan PPV:
1. Dapat menentukan lokasi defek secara tepat
2. Dapat mengeliminasi media yang mengalami kekeruhan karena
teknik ini dapat dikombinasikan dengan ekstraksi katarak.
3. Dapat langsung menghilangkan penarikan dari vitreous.
Kerugian PPV:
1. Membutuhkan tim yang berpengalaman dan peralatan yang mahal.
2. Dapat menyebabkan katarak.

17
3. Kemungkinan diperlukan operasi kedua untuk mengeluarkan silicon
oil
4. Perlu follow up segera (terjadinya reaksi fibrin pada kamera okuli
anterior yang dapat meningkatkan tekanan intraokuler.

2.10 Komplikasi
Ablasio retina dapat berkembang menjadi detachment total dari
retina dan kehilangan pengelihatan total. Selain itu, terdapat beberapa
komplikasi yang dapat terjadi, terutama pada kasus-kasus lama. Pada
retina yang tidak segera dilekatkan kembali (yaitu sekitar seminggu
setelah lepasnya makula), maka pemulihan visual akan secara progresif
terpengaruh. Pada kasus lama, dapat berkembang jaringan parut yang
disebut ‘proliferative vitreoretinopathy’ (PVR) atau vitreoretinopati
proliferatif yang dapat mencegah perlekatan kembali, yang merupakan
penyebab utama kegagalan dari operasi perlekatan retina modern. PVR
ditandai dengan terbentuknya skar yang berlebihan setelah operasi
perlekatan retina dilakukan, dengan adanya formasimembran traksi
fibrosa dalam mata yang menyebabkan ablasio retina. Selain perubahan
PVR, lepasnya retina kronik juga dapat menyebabkan komplikasi-
komplikasi lain seperti hipotoni, glaukoma pigmentasi, pembuluh iris
baru, katarak, dan uveitis, dimana kesemuanya dapat memengaruhi
pengelihatan. 23
Komplikasi pada ablasio retina dapat terjadi karena perjalanan
penyakitnya sendiri, ataupun sebagai komplikasi dari prosedur operasi
yang dilakukan. Komplikasi tersebut tergantung daripada prosedur yang
digunakan, tetapi dapat mencakup:23
- Katarak
- Glaukoma
- Infeksi
- Perdarahan ke ruang vitreus
- Kehilangan penglihatan

18
2.11 Prognosis
Prognosis dari penyakit ini berdasarkan pada keadaan makula
sebelum dansesudah operasi serta ketajaman visualnya. Jika,
keadaannya sudah melibatkan makula maka akan sulit menghasilkan
hasil operasi yang baik, tetapi dari data yang ada sekitar 87 % dari
operasi yang melibatkan makula dapat mengembalikan fungsi visual
sekitar 20/50 lebih kasus diman makula yang terlibat hanya sepertiga
atau setengah dari makula tersebut. 14 Pasien dengan ablasio retina
yang melibatkan makula dan perlangsungannya kurang dari 1 minggu,
memiliki kemungkinan sembuh post operasi sekitar 75 % sedangkan
yang perlangsungannya 1-8 minggu memiliki kemungkinan 50 %. 6
Dalam 10-15 % kasus yang dilakukan pembedahan dengan ablasio
retina yang melibatkan makula, kemampuan visualnya tidak akan
kembali sampai levelsebelumnya dilakukannya operasi. Hal ini
disebabkan adanya beberpa faktor seperti irreguler astigmat akibat
pergeseran pada saat operasi, katarak progresif, dan edema makula.
Komplikasi dari pembedahan misalnya adanya perdarahan dapat
menyebabkan kemampuan visual lebih menurun.22

19
BAB III
LAPORAN KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Tn. M
Jenis Kelamin : Laki-laki
No RM : 01040024
Usia : 54 tahun
Alamat : Tabing
Pekerjaan : Pedagang
Tanggal Pemeriksaan : 19 Maret 2019
3.2 Anamnesa
Seorang pasien laki-laki berumur 54 tahun datang ke Poliklinik Mata RSUP
Dr. M. Djamil Padang tanggal 19 Maret 2019 dengan:

Keluhan Utama :
Penglihatan mata kiri menurun sejak + 2 bulan yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang :


- Penglihatan kiri menurun sejak + 2 bulan yang lalu, seperti ada yang
menghalangi. muncul perlahan-lahan dan semakin lama dirasakan semakin
bertambah buruk sehingga tidak bisa melihat.
- Penglihatan seperti ditutup tirai (+)
- Sensasi seperti melihat debu-debu berterbangan (+)
- Sensasi seperti melihat kilatan cahaya (+)
- Benda yang dilihat seperti bergelombang (+)
- Mata terasa gatal (-)
- Mata berair (-)
- Mata merah (-)
- Riwayat trauma pada mata kiri (-)
- Riwayat tindakan operasi pada mata kiri (-)
- Mual (-), muntah (-)

20
- Pasien sebelumnya telah berobat ke spesialis mata, diberikan kacamata
koreksi,. Pasien merasa visusnya tidak membaik. Setelah itu pasien berobat
di RS Yos Sudarso, lalu di rujuk ke RSUP DR. M. Djamil Padang.

Riwayat Penyakit Dahulu


- Riwayat penggunaan kacamata sejak 5 tahun yang lalu, dengan dioptri
+1,5
- Riwayat hipertensi (+) sejak 1 bulan yang lalu
- Riwayat CHF (+) sejak 4 bulan yang lalu
- Riwayat DM (-)
Riwayat Penyakit Keluarga
- Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit yang sama seperti
pasien.
Riwayat Kebiasaan dan Sosioekonomi
- Pasien seorang pedagang
- Kebiasaan merokok (+), konsumsi alkohol (-)
3.3 Pemeriksaan Fisik :
Vital Sign
- Keadaan Umum : Sakit Sedang
- Kesadaran : Komposmentis tidak kooperatif
- Tekanan darah : 130/80 mmHg
- Frekuensi Nadi : 66x/menit
- Frekuensi Nafas : 16x/menit
- Suhu : afebris
Kulit : teraba hangat, turgor baik
Kelenjar Getah Bening : tidak ada pembesaran KGB
Kepala : normocephal
Mata : Status oftalmologis
Telinga : tidak ada kelainan
Hidung : tidak ada kelainan
Tenggorokan : tidak ada kelainan
Gigi dan Mulut : caries dentis (-)
Leher : JVP 5-2 cmH2O

21
Toraks :
Jantung:
Inspeksi: Iktus kordis tidak terlihat
Palpasi: Iktus kordis teraba 1 jari lateral LMCS RIC VI
Perkusi:
Batas jantung atas: RIC II
Batas jantung bawah: 1 jari lateral LMCS RIC VI
Batas jantung kanan: LSD
Batas jantung kiri: 1 jari lateral LMCS RIC VI
Auskultasi
S1-S2 reguler, murmur (-), gallop (+)
Paru:
Inspeksi:
Statis: Dinding dada kiri dan kanan simetris
Dinamis: Pergerakan dinding dada kiri dan kanan simetris
Palpasi: fremitus kiri dan kanan sama
Perkusi
Kanan: suara napas bronkovesikular, rh -/-, wh -/-
Kiri: suara napas bronkovesikular, rh -/-, wh -/-
Abdomen :
Inspeksi: Tidak tampak membuncit
Palpasi: Hepar dan lien tidak teraba
Perkusi: Timpani
Auskultasi: Bising usus (+) normal
Punggung : dalam batas normal
Genitalia : tidak diperiksa
Ekstremitas : akral hangat, CRT < 2 detik
Status Oftalmikus
STATUS
OD OS
OFTALMIKUS
Visus tanpa koreksi 20/20 1/60
Visus dengan koreksi - -

22
Refleks fundus + +
Bulu mata hitam, Bulu mata hitam,
Silia / supersilia trikiasis tidak ada, trikiasis tidak ada,
madarosis tidak ada madarosis tidak ada
Edema (-) Edema (-)
Palpebra superior Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Massa (-) Massa (-)
Edema (-) Edema (-)
Palpebra inferior Hiperemis (-) Hiperemis (-)
Massa (-) Massa (-)
Secret (-) Secret (-)
Margo Palpebra
Krusta (-) Krusta (-)
Aparat lakrimalis Dalam batas normal Dalam batas normal
Hiperemis (-), edema(-), Hiperemis (-), Edema (-),
Konjungtiva Tarsalis
Sekret (-) Sekret (-)
Hiperemis (-), Papil (-), Hiperemis (-), Papil (-),
Konjungtiva Forniks
folikel (-), Sikatrik (-) folikel (-), sikatrik (-)
Hiperemis (-), Injeksi siliar Hiperemis (-), Injeksi siliar
Konjungtiva Bulbii
(-) Injeksi konjungtiva (-), (-) Injeksi konjungtiva (-),
Sklera Warna putih Warna putih
Kornea Bening Bening
Kamera Okuli Anterior Cukup dalam Cukup dalam
Iris Coklat, rugae (+) Coklat, rugae (+)
Bulat, RP +/+, diameter 3 Bulat, RP +/+, diameter 3
Pupil
mm mm
Lensa Bening Bening
Korpus vitreum Jernih Jernih
Fundus :
- Media Bening Bening
Bulat, batas tegas, C/D Bulat, batas tegas, C/D
- Papil optikus
0,3-0,4 0,3-0,4

23
- Pembuluh darah
Aa:Vv 2:3 Aa:Vv 2:3
aa:vv
Perdarahan (-), eksudat (-),
- Retina Perdarahan (-), eksudat (-)
ablasio (+)
- Makula Reflek fovea (+) Reflek fovea (+)
Tekanan bulbus okuli 18 mmHg 15 mmHg
Posisi bulbus okuli Ortho Ortho
Gerakan bulbus okuli Bebas ke segala arah Bebas ke segala arah

Gambar

1.4 Pemeriksaan Funduskopi

1.5 Pemeriksaan penunjang


a. Ro thoraks : Cardiomegali
b. Echocardiografi : EF=42%, Global hipokinetik, LVH eksentrik hipertrofi
dengan disfungsi diastolic, LV yg relaksasi, AR mild, AR mild ec kalsifikasi
degenerative, MR mild ec restriktif PML
c. Laboratorium :
Pemeriksaan Lab darah : 21/02/19

24
Lab Rutin :
Hb : 15 gr/dl
Ht : 43 %
Eritrosit : 5,01 juta
Trombosit :312.000/mm3
LED : 3 mm
Leukosit : 8.390/mm3
Retikulosit : 2,1 %
Hitung Jenis : 0/6/0/45/42/7
PT/APTT : 10,0/32,8
GDP : 93 mg/dl
Ureum darah : 17 mg/dl
Kreatinin darah : 0,9 mg/dl
Natrium : 140 Mmol/L
Kalium : 4,0 Mmol/L
Klorida serum : 102 Mmol/L
SGOT/SGPT : 27/29 u/l
Kesan ; Eosinofilia, limfositosis relatif, retikulositosis
2.5 Diagnosis Kerja : - Ablasio retina rhegmatogen OS
- CHF LVH fc II ec CAD
- Hipertensi stage I

2.6 Diagnosis banding :-


2.7 Terapi :
- Bed rest
- Vitrektomi + Endolaser + Silicon oil OS
- Posop ed 6x1 OS
- LFX ed 6x1 OS
- Ciprofloxacin 2 x 500 mg
- Asam mefenamat 3 x 500 mg bila perlu
- Furosemid 1 x 40 mg
- Spironolakton 1 x 25 mg

25
2.8 Prognosis :
Quo ad vitam : Dubia ad bonam
Quo ad sanationam : Dubia
Quo ad functionam : OS: Dubia ad malam

FOLLOW UP
Hari rawatan kedua (20-3-2019)
S/ Penglihatan mata kiri menurun sejak ± 2 bulan yang lalu

O/
STATUS
OD OS
OFTALMIKUS
Visus 20/20 1/60
Palpebra Edem (-) Edem (-)
CoA Cukup dalam Cukup dalam
Bulat, RP +/+, diameter 3 Bulat, RP +/+, diameter 3
Pupil
mm mm,
Lensa Bening Bening
Tekanan bulbus okuli 14 mmHg 15 mmHg
Fundus :
- Media Bening Bening
Bulat, batas tegas, C/D Bulat, batas tegas, C/D
- Papil optikus
0,3-0,4 0,3-0,4
- Pembuluh darah
Aa:Vv 2:3 Aa:Vv 2:3
aa:vv
Perdarahan (-), eksudat (-),
- Retina Perdarahan (-), eksudat (-)
ablasio (+)
- Makula Reflek fovea (+) Reflek fovea (+)

A/ Ablasio retina rhegmatogen OS


P/ Rencana vitrektomi + endolaser + silicon oil OS hari ini

26
FOLLOW UP
Hari rawatan ketiga (21-3-2019)
S/ Post vitrektomi + endolaser + silicon oil OS
O/
STATUS
OD OS
OFTALMIKUS
Visus 20/20
Palpebra Edem (-)
CoA Cukup dalam
Bulat, RP +/+, diameter 3
Pupil
mm
Lensa Bening
Tekanan bulbus okuli Normal palpasi
Fundus :
- Media Bening
Bulat, batas tegas, C/D
- Papil optikus
0,3-0,4
- Pembuluh darah
Aa:Vv 2:3
aa:vv
- Retina Perdarahan (-), eksudat (-)
- Makula Reflek fovea (+)

A/ Post vitrektomi + endolaser + silicon oil OS


P/ - Posop ed 6x1 OS
- LFX ed 6x1 OS

27
BAB IV
DISKUSI

Telah datang seorang pasien laki-laki usia 54 tahun ke poliklinik mata


RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 19 Maret 2019 dengan diagnosis
ablasio retina rhegmatogen OS. Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Dari anamnesis didapatkan keluhan utama berupa penglihatan mata kiri
menurun sejak + 2 bulan yang lalu. Keluhan ini sudah dirasakan pasien sejak + 2
bulan yang lalu, muncul perlahan-lahan dan semakin lama dirasakan semakin
kabur. Pasien mengeluhkan penglihatan menurun seperti melihat tirai ditutup,
terdapat sensasi seperti debu beterbangan dan kilatan cahaya. Tidak ada keluhan
mata merah, mata berair, serta mata gatal dan nyeri. Riwayat trauma pada mata
kiri disangkal. Pasien sebelumnya berobat ke spesialis mata dan diberikan
kacamata koreksi, namun karena pasien merasa visusnya tidak membaik pasien
berobat ke RS Yos Sudarso Padang dan kemudian dirujuk ke RSUP dr. M. Djamil
Padang untuk penatalaksanaan lebih lanjut. Pasien sebelumnya menggunakan
kacamata baca dengan kekuatan +1,5D sejak 5 tahun yang lalu.
Berdasarkan keluhan pasien, penyakit pasien ini termasuk ke dalam mata
tenang dengan penurunan penglihatan mendadak. Beberapa penyakit yang dapat
menyebabkan hal tersebut diantaranya yaitu neuritis optik, ablasio retina, oklusi
arteri retina sentral, oklusi vena retina sentral, perdarahan dan kekeruhan korpus
vitreum, dan lain-lain. Penurunan penglihatan pada pasien ini disertai dengan
kesan tampilan tirai abu-abu pada lapangan pandang. Hal ini disebabkan oleh
terlepasnya lapisan neurosensori retina dari lapisan retinal pigment epithelium
(RPE) yang mengakibatkan pasien melihat kesan tirai abu-abu pada lapangan
pandang. Terdapat sensasi seperti melihat kilatan cahaya yang disebut sebagai
photopsia yang disebabkan oleh tarikan pada vitreo retina di daerah perifer.
Pasien melihat benda seperti bergelombang hal ini berkaitan dengan keterlibatan
ablasio yang sudang mengenai makula. Pasien juga mengeluhkan sensasi seperti
melihat debu berterbangan disebabkan oleh adanya gerakan kekeruhan vitreous

28
yang memberikan bayangan pada retina, sering disebut sebagai floaters. Oleh
karena itu, diagnosis pasien ini mengarah kepada ablasio retina.
Terdapat tiga jenis utama ablasio retina yang masing-masing mempunyai
patogenesis yang berbeda yaitu ablasio retina regmatogenosa, ablasio retina traksi,
dan ablasio retinopati eksudatif. Ablasio retina regmatogenosa merupakan bentuk
tersering dari ketiga jenis ablasio retina dengan karakteristik pemutusan total (full-
thickness) berbentuk tapal kuda lubang atropi bundar atau robekan
sirkumferensial anterior (dialisis retina). Berasal dari bahasa Yunani “regma”
yang berarti robek. Robekan retina pada ablasio retina jenis ini disebabkan
pengaruh antara traksi antara vitreo retina dan retina perifer yang dipredisposisi
oleh faktor degenerasi. Ablasio retina akibat traksi adalah jenis tersering kedua
yang terutama disebabkan oleh beberapa kelainan seperti retinopati diabetik
proliferative, retinopati prematurity, dan trauma tembus segmen posterior. Ablasio
retina eksudatif paling jarang terjadi dibandingkan Ablasio Retina Traksi dan
regmatogenosa. Penyebabnya adalah gangguan pada pigmen epitel retina sehingga
cairan dari koroid masuk ke dalam ruang sub retina. Hal ini disebabkan berbagai
keadaan seperti tumor koroid (melanoma, haemangioma) dan metastasenya,
inflamasi intraokuler seperti penyakit Harada dan Skleritis posterior, iatrogenik
termasuk operasi pada ablasio retina sebelumnya, fotokoagulasi pan retinal.
Pada pasien ini terdapat faktor risiko berupa usia yaitu usia diatas 40,
dimana ablasio retina karena proses degenerasi sering terjadi antara usia 40-70
tahun. Faktor predisposisi lain seperti riwayat trauma pada mata, diabetes
mellitus, riwayat operasi mata sebelumnya disangkal. Pada 90%-97% kasus
ablasio regmatogen ditemukan robekan retina dan 50% kasus ditemukan floaters
atau photopsia seperti yang dikeluhkan oleh pasien sehingga diagnosis mengarah
pada ablasio retina jenis reegmatogen akibat proses degenerasi.
Pada pemeriksaan fisik didapatkan visus tanpa koreksi mata kiri 1/60
Penurunan visus pada pasien ablasio
retina dapat terjadi apabila ablasio mengenai makula. Pada ablasio retina
total visus pasien dapat menurun total (0). Berdasarkan hasil funduskopi pada
pasien ini didapatkan adanya ablasio pada bagian inferior retina. Ablasio pada
bagian inferior retina dapat menyebabkan defek lapangan pandang pada bagian
superior.

29
Pada pasien ini dilakukan tindakan vitrektomi, endolaser, dan pemberian
silicon oil OS. Vitrektomi adalah suatu prosedur operasi mikro yang dilakukan
dengan cara memotong vitreus dan melakukan penghisapan serta pemasukkan
cairan ke dalam intraokuler serta memanipulasi intraokuler lainnya. Tindakan ini
biasanya dilakukan pada ablasio retina karena tarikan, ablasio retina dengan PVR
stadium D dan robekan retina yang lebar. Injeksi intravitreal dengan silikon dapat
dilakukan pada Ablasio retina dengan robekan yang sangat besar, lubang pada
makula dan PVR D.
Manajemen post operasi :
 Mobilisasi pasien secepat mungkin seperti menyisir rambut sendiri,
mandi, bercukur akan tetapi apabila operasi dilakukan dengan
memasukkan gas atau udara ke dalam vitreus maka pasien harus tirah
baring total.
 Pengukuran tekanan intraokuler dengan tonometer aplanasi karena bila
operasi yang digunakan skleral buckling maka rigiditas sclera akan
menurun.
 Posop ed 6x1 OS diberikan sebagai pengobatan inflamasi setelah operasi
 LFX ed 6x1 OS dan ciprofloxacin 2x500mg diberikan sebagai
pencegahan infeksi post operasi.
 Pasien dipulangkan sehari setelah operasi (21 Maret 2019) dan disuruh
kontrol kembali setelah 1 minggu.

Prognosis pada pasien ini bonam (baik) jika tidak adanya kelainan yang
lain pada mata, karena operasi vitrektomi biasanya akan memberikan hasil yang
memuaskan, terutama bila ablasio tidak mengenai pusat retina (makula).

30
BAB V
PENUTUP

Kesimpulan
Ablasio retina merupakan lepasnya bagian sensoris retina dari
Retinal Pigment Epithelium (RPE). Ablasio retina dapat
diklasifikasikan menjadi tiga berdasarkan patogenesisnya, yaitu
regmatogenosa, traksional, dan eksudatif.
Adapun ablasio retina dapat terjadi akibat berbagai faktor, seperti
trauma, miopia, dan sebagai komplikasi dari pembedahan removal
katarak, serta komplikasi dari penyakit-penyakit seperti diabetes
melitus. Ablasio retina dapat menyebabkan tanda-tanda dan gejala
seperti fotopsia (light flashes atau kilatan cahaya), floaters (bercak-
bercak gelap di lapangan pandang), dan defek lapangan padang yang
biasanya dideskripsikan sebagai lapang pandang yang seperti tertutup
tirai gelap.
Tujuan dari tatalaksana ablasio retina adalah mengembalikan
kontak antara neurosensorik retina yang terlepas dengan RPE dan
eliminasi kekuatan traksi. Metode operasi yang digunkan bergantung
pada lokasi robekan, usia pasien, gambaran fundus, dan pengalaman
ahli bedah. Beberapa metode yang dapat dipilih yaitu scleral buckling,
pneumatic retinopexy, dan pars plana vitrectomy.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Feltgen N, Walter P. Rhegmatogenous Retinal Detachment - an


Ophthalmologic Emergency. Deutsches Ärzteblatt International. 2014;
111(1-2): p. 12-22.
2. Bowling B. Retinal Detachment. In Kanski's Clinical Ophthalmology.:
Elsevier; 2016. p. 681-718.
3. Chang Huan J. In : Retinal Detachment. The Journal Of The American
Medical Association. 2012. JAMA. 2012;307(13):1447.
4. Riordan-Eva P, Augsburger J, editors. Retinal Detachment and Related
Retinal Degenerations. In Vaughan & Asbury's General
Ophthalmology 19th ed.: McGraw-Hill Education, Inc.; 2018. p. 462-
466.
5. Nemet A, Moshiri A, Yiu G, Loeweinstein A, Moisseive E. A Review
of Innovations in Rhegmatogenous Retinal Detachment Surgical
Techniques. Journal of Ophthalmolo: 2017.
6. National Eye Institute. Retinal Detachment. [Online].; 2018 diakses
maret 2019 -- https://nei.nih.gov/health/retinaldetach/retinaldetach.
7. Okunuki Y, Mukai R, Pearsall EA, KLokman G, Husain D, Park Dh, et
al. Microglia inhibit photoreceptor cell death and regulate immune cell
infiltration in response to retinal detachment. PNAS Latest Articles.
2018 May 21.
8. Vaughan DG, Asbury T, Eva PR. Ablasi retina. Oftalmologi Umum.
edisi 17, Alih Bahasa Tambajong J, Pndit UB. Widya Medika Jakarta :
2006 hal.196-8.
9. Kanski JJ. Clinical Ophthalmology. 4 th ed. Oxford: Butterworth
Heinemann; 1999. p. 353-94.
10. Anonim. Retinal Detachment. [series online] 2007 July 23 [cited on
2007 August 29]. Available from URL:
http://en.wikipedia.org/wiki/Retinal_detachment.
11. Ilyas HS. Ilmu Penyakit Mata. Edisi ke-3. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI; 2004.

32
12. Larkin GL. Retinal Detachment. [series online] 2006 April 11 [cited on
2007 August 29]. Available from URL:
http://www.emedicine.com/emerg/topic504.htm.
13. Gariano RF, Kim CH. Evaluation and Management of Suspected Retinal
Detachment. American Academy of Family Physicians. [series online]
2004 April 1 [cited on 2007 August 29]; vol. 69, no. 7. Available from
URL: http://www.aafp.org/afp/20040401/1691.html.
14. Schwartz SG, Mieler WF. Management of Primary Rhegmatogenous
Retinal Detachment. Comprehensive Ophtalmology Update. [series
online] 2004 [cited on 2007 August 29]; 5(6): 285-294. Available from
URL: http://www.medscape.com/viewarticle/496835_6
15. Anonim. Retinal Detachment. In: Anonim. Handbook of Ocular Disease
Management. [series online] [cited on 2007 August 29]. Available from
URL: http://www.revoptom.com/HANDBOOK/SECT5R.HTM.
16. American Academy of Ophthalmology. American Academy
ofOphthalmology. [Online].; 2016. Diakses maret 2019--
https://www.aao.org/eye-health/diseases/detached-torn-retina-
symptoms
17. Pandya HK. Medscape. [Online].; 2018 diakses maret 2019 --
https://emedicine.medscape.com/article/798501-overview
18. Chern KC. Emergency Ophthalmology: a Rapid Treatment Guide New
York:McGraw-Hill; 2002.
19. Lang GK. Ophthalmology, A Pocket Textbook Atlas. 2nd ed. 2006 ,
editor.Germany: Thieme; 2006.
20. James B, Bron A. Anatomy of The Eye. In Lecture Notes –
Ophthalmology :Blackwell Publishing; 2011. p. 1-5.
21. Riordan-Eva P, Augsburger J, editors. Retinal Detachment and Related
RetinalDegenerations. In Vaughan & Asbury's General Ophthalmology
19th ed.:McGraw-Hill Education, Inc.; 2018. p. 462-466.
22. Khurana. Disease of retina. In Comprehensive ophthalmology 4th
edition.India: New Age International Limied Publisher p. 249-279.

33
23. Kanski JJ, Bowling B, editors. Clinical Ophthalmology: a ystemic
approach.7th ed.: Elsevier; 2011.

34

Anda mungkin juga menyukai