Anda di halaman 1dari 35

Case Report Session

ULKUS KORNEA OS EC SUSPEK JAMUR

Oleh :

Ivan Dwi Kurniawan 1840312423


Novi Syafrianti 1840312260
Siti Kholilah Sari Harahap 1840312261
Suci Estetika Sari 1840312635

Preseptor :
Dr. dr. Hendriati, Sp.M(K)

Bagian Ilmu Kesehatan Mata


RSUP Dr. M. Djamil Padang
Fakultas Kedokteran Universitas Andalas
2018
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT, berkat rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Ulkus
Kornea OS ec Suspek Jamur”. Shalawat beriring salam semoga disampaikan
kepada Rasulullah SAW beserta keluarga, sahabat dan umat beliau. Makalah ini
merupakan salah satu syarat mengikuti kepaniteraan klinik di bagian Ilmu
Kesehatan Mata Fakultas Kedokteran Universitas Andalas.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Dr. dr. Hendriati, Sp.M(K)
selaku pembimbing yang telah memberikan masukan dan bimbingan dalam
pembuatan makalah ini. Penulis mengucapkan terima kasih juga kepada semua
pihak yang telah membantu menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, oleh karena itu penulis mengharapkan saran dan kritik untuk
menyempurnakan makalah ini. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua.

Padang, November 2018

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
DAFTAR GAMBAR iv
BAB I PENDAHULUAN 1
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Batasan Masalah 1
1.3 Tujuan Penulisan 1
1.4 Metode Penulisan 2
1.5 Manfaat Penulisan 2

BAB II TINJAUAN PUSTAKA


2.1 Anatomi dan Fisiologi Kornea 3
2.2 Definisi 6
2.3 Epidemiologi 6
2.4 Klasifikasi 7
2.5 Etiologi dan Faktor Risiko 7
2.6 Patogenesis dan Patofisiologi 9
2.7 Manifestasi Klinis 11
2.8 Diagnosis 12
2.9 Pemeriksaan Penunjang 13
2.10 Diagnosis Diferensial 14
2.11 Tatalaksana 14
2.12 Komplikasi 20
2.13 Prognosis 20
BAB III LAPORAN KASUS 21

BAB IV DISKUSI 28

DAFTAR PUSTAKA 30

iii
BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Ulkus kornea adalah keadaan patologik kornea yang ditandai adanya
infiltrat supuratif, defek kornea bergaung, diskontinuitas jaringan kornea yang
dapat terjadi dari epitel sampai stroma. Insiden ulkus kornea di Indonesia tahun
1993 tercatat 5,3 per 100.000 penduduk, sedangkan predisposisi terjadinya ulkus
kornea antara lain infeksi, trauma, pemakaian lensa kontak dan kadang
idiopatik.1,2
Ulkus kornea yang luas memerlukan penanganan yang cepat dan tepat untuk
mencegah perluasan ulkus dan timbulnya komplikasi berupa descematokel,
perforasi, endoftalmitis, bahkan kebutaan. Ulkus kornea yang sembuh akan
menimbulkan kekeruhan kornea dan merupakan salah satu penyebab kebutaan.
Pembentukan parut akibat ulserasi kornea merupakan salah satu penyebab
kebutaan di seluruh dunia.3
Hasil survei di Jawa Barat tahun 2005 menunjukkan prevalensi kebutaan
sebesar 3,6% dengan kornea merupakan penyebab kebutaan ketiga (5,5%). 4
Gangguan penglihatan dan kebutaan tersebut dapat dicegah, namun hanya bila
diagnosis dan etiologi ditetapkan sejak dini dan diobati secara tepat dan memadai.

1.2 Batasan Masalah


Makalah ini membahas tentang anatomi dan fisiologi kornea, definisi,
epidemiologi, etiologi dan faktor risiko, klasifikasi, patogenesis dan patofisiologi,
manifestasi klinis, diagnosis, diagnosis diferensial, tatalaksana, komplikasi dan
prognosis ulkus kornea.

1.3 Tujuan Penulisan


Makalah ini bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman
mengenai ulkus kornea.

1
1.4 Metode Penulisan
Makalah ini ditulis dengan menggunakan metode tinjauan pustaka yang
merujuk dari berbagai literatur.

1.5 Manfaat Penulisan


Penulisan makalah ini diharapkan dapat bermanfaat untuk menambah
informasi dan pengetahuan tentang ulkus kornea.

2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi dan Fisiologi Kornea


Kornea adalah jaringan transparan, yang ukurannya sebanding
dengan kristal sebuah jam tangan kecil. Kornea ini disisipkan ke sklera di
limbus, lengkung melingkar pada persambungan ini disebut sulkus
skelaris. Kornea dewasa rata-rata mempunyai tebal 0,54 mm di tengah,
±0,65 di tepi dan diameter sekitar 11,5 mm dari anterior ke posterior.
Kornea mempunyai lima lapisan yang berbeda-beda: lapisan epitel
(yang bersambung dengan epitel konjungtiva bulbar), membran Bowman,
stroma, membran Descemet dan lapisan endotel. Batas antara sklera dan
kornea disebut limbus kornea. Kornea merupakan lensa cembung dengan
kekuatan refraksi sebesar +43 dioptri. Ketika kornea mengalami udem,
maka kornea juga bertindak sebagai prisma yang menguraikan sinar
sehingga penderita akan melihat halo.5,6

3
Gambar 2.1 Anatomi Mata
Kornea terdiri dari 5 lapisan dari luar kedalam:2,7
1. Lapisan epitel
 Tebalnya 50 µm, terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang
saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel poligonal dan sel
gepeng.
 Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong ke
depan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju ke depan menjadi sel
gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan
sel poligonal di depannya melalui desmosom dan makula okluden;
ikatan ini menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa yang
merupakan barrier.
 Sel basal menghasilkan membran basal yang melekat erat kepadanya.
Bila terjadi gangguan akan menghasilkan erosi rekuren.
 Epitel berasal dari ektoderm permukaan
2. Membran Bowman
 Terletak di bawah membran basal epitel kornea yang merupakan
kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari
bagian depan stroma.
 Lapisan ini tidak mempunyai daya regenerasi
3. Jaringan Stroma
Terdiri atas lamela yang merupakan susunan kolagen yang sejajar
satu dengan yang lainnya. Pada permukaan terlihat anyaman yang teratur
sedang di bagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya
kembali serat kolagen memakan waktu lama yang kadang-kadang sampai
15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang merupakan
fibroblas terletak diantara serat kolagen stroma. Diduga keratosit
membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam perkembangan embrio
atau sesudah trauma
4. Membran Descemet
 Merupakan membran aselular dan merupakan batas belakang stroma
kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membran basalnya.

4
 Sangat elastis dan berkembang terus seumur hidup, tebal 40 µm.
5. Endotel
 Berasal dari mesotelium, satu lapis, heksagonal, tebal 20-40 m.
Endotel melekat pada membran descemet melalui hemidosom dan
zonula okluden.
 Befungsi sebagai jalur penyerapan nutrisi kornea dan pembuangan
sisa metabolisme serta mengatur hidrasi dan mempertahankan
transparansi kornea.

Gambar 2.2 Corneal Cross Section

Secara klinis kornea dibagi dalam beberapa zona seperti pada


gambar berikut:

Gambar 2.3 Zona-zona Kornea


Kornea berfungsi sebagai pelindung dan jendela yang dilalui berkas
cahaya menuju retina. Sifat tembus cahaya pada kornea disebabkan oleh
struktur yang uniform, avaskular dan deturgesens. Deturgesens atau
keadaan dehidrasi relatif kornea ini dipertahankan oleh pompa bikarbonat
aktif pada endotel dan fungsi sawar epitel dan endotel. Endotel memegang

5
peran lebih penting dalam mekanisme dehidrasi sehingga cedera fisik atau
kimiawi pada endotel lebih berat.
Sumber nutrisi kornea adalah pembuluh darah limbus, aquous
humour, dan air mata. Kornea superfisial juga mendapat oksigen sebagian
besar dari atmosfer. Transparansi kornea dipertahankan oleh strukturnya
seragam, avaskularits dan deturgensinya.8

2.2 Definisi Ulkus Kornea


Ulkus kornea adalah keadaan patologik hilangnya sebagian
permukaan kornea akibat kematian jaringan kornea.1 Ulkus kornea ditandai
dengan infiltrat supuratif yang disertai defek kornea bergaung dan
diskontinuitas jaringan kornea yang dapat terjadi pada epitel sampai
stroma yang memiliki batas, dinding dan dasar. Ulkus kornea merupakan
salah satu keadaan yang berpotensi menyebabkan kebutaan sehingga
membutuhkan penatalaksanaan yang cepat dan tepat.2

2.3 Epidemiologi Ulkus Kornea


Penyakit kornea seperti kekeruhan kornea dan pembentukan parut
merupakan penyebab kebutaan keempat di seluruh dunia pada tahun
2002.3 Berdasarkan data National Programme for Control of Blindness
(NPCB) di India, insiden kebutaan kornea sebesar 120.000 penduduk
dengan estimasi kenaikan 25.000-30.000 kasus per tahun.9 Hasil survei di
Jawa Barat tahun 2005 menunjukkan prevalensi kebutaan sebesar 3,6%
dengan kornea merupakan penyebab kebutaan ketiga (5,5%) setelah lensa
(80,6%) dan retina (5,5%).4 Insiden ulkus kornea di Indonesia tahun 1993
tercatat 5,3 per 100.000 penduduk, sedangkan predisposisi terjadinya
ulkus kornea antara lain trauma, pemakaian lensa kontak dan kadang
idiopatik.1
Ulkus kornea dapat mengenai semua umur. Kelompok usia dengan
prevalensi tinggi merupakan kelompok usia dibawah 30 tahun (risiko
pemakaian lensa kontak dan trauma okular) dan diatas 50 tahun (risiko
menjalani operasi mata). Studi di Inggris menunjukkan risiko ulkus kornea
meningkat pada pria dengan riwayat pemakaian lensa kontak.10

6
2.4 Klasifikasi Ulkus Kornea7
Ulkus kornea dapat diklasifikasikan sebagai berikut :
Morfologi :
 Lokasi, yaitu ulkus kornea sentral dan perifer
 Purulensi, yaitu ulkus kornea purulen dan non-purulen
 Hipopion, yaitu ulkus kornea sederhana dan hipopion
 Kedalaman ulkus, yaitu ulkus kornea superfisial, profunda, impending
perforation dan perforasi
 Pembentukan slough, yaitu ulkus kornea non-sloughing dan sloughing

Etiologi :
 Infeksi, yaitu disebabkan bakterial, viral, fungal, chlamydial, potozoal dan
spirochaetal.
 Non-infeksi, termasuk alergi, tropik, terkait penyakit kulit dan membran
mukosa, terkait kelainan sistemik kolagen vaskular, traumatik dan
idiopatik.

2.5 Etiologi dan Faktor Risiko Ulkus Kornea


Infeksi
a. Ulkus Kornea Bakterialis5,6,7
Pembentukan ulkus kornea dipengaruhi oleh dua hal, yaitu adanya
kerusakan epitel kornea (abrasi, kering, nekrosis dan deskuamasi) dan infeksi
bakteri patogen pada area kornea yang mengalami kerusakan. Faktor predisposisi
ulkus kornea bakterialis berupa pemakaian lensa kontak, trauma, obat mata yang
terkontaminasi, dan lainnya. Studi epidemiologi di Amerika Serikat menunjukan
19-42% kasus keratitis bakterial disebabkan riwayat pemakaian lensa kontak.
Bakteri yang sering menimbulkan ulkus kornea seperti Staphylococcus aureus,
Staphylococcus epidermidis, Streptococcus pneumoniae, Pseudomonas
aeruginosa, Enterobacteriaceae, Neisseria spp dan Corynebacterium spp.
b. Ulkus Kornea Viral7,11
Insiden ulkus kornea viral meningkat dipengaruhi oleh meluasnya
penggunaan antibiotik untuk eliminasi bakteri patogen. Virus yang sering

7
menimbulkan ulkus kornea yaitu Herpes Simplex Virus, Varicella Zoster Virus
dan Adenovirus.
c. Ulkus Kornea Protozoal6,7
Acanthamoeba, salah satu protozoa yang sering menyebabkan ulkus kornea,
merupakan protozoa yang hidup bebas dan terdapat dalam air tercemar yang
mengandung bakteri dan materi organik. Infeksi Acanthamoeba biasanya
dihubungkan dengan penggunaan lensa kontak lunak yang dipakai semalaman.
Selain itu, infeksi Acanthamoeba juga dapat ditemukan pada individu yang bukan
pemakai lensa kontak setelah terpapar air atau tanah yang tercemar.
d. Ulkus Kornea Fungal5,6,7,10
Ulkus kornea fungal secara epidemiologi lebih jarang daripada ulkus kornea
bakterial, sekitar 5-10% dari kasus infeksi kornea di Amerika
Serikat. Aspergillus, Fusarium dan Candida merupakan jamur yang sering
menyebabkan ulkus kornea. Infeksi pada ulkus kornea dapat disebabkan oleh
trauma material vegetatif (daun, ranting dan jerami), sekunder akibat kondisi
imunodefisiensi dan penggunaan antibiotik dan steroid yang berlebihan. Faktor
risiko lainnya berupa pemakaian lensa kontak, operasi kornea dan keratitis kronik.

Non-infeksi6,7
a. Autoimun
Kornea bagian perifer mendapat nutrisi dari kapiler limbus. Pada jalinan
kapiler limbus terdapat endapan kompleks imun yang dapat menimbulkan
penyakit imunologik sehingga kornea perifer sering terlibat penyakit autoimun.
b. Keratokunjungtivitis fliktenular
Keratokonjungtivitis fliktenular merupakan reaksi hipersensitivitas lambat
terhadap S. aureus atau bakteri lain yang berproliferasi di tepi palpebra pada
blefaritis.
c. Defisiensi vitamin A
Ulserasi terjadi karena kekurangan vitamin A dari makanan atau gangguan
absorpsi di saluran cerna dan gangguan pemanfaatan oleh tubuh.

8
d. Keratitis neurotropik
Disfungsi nervus trigeminus karena trauma, tindakan bedah, tumor atau
peradangan dapat menimbulkan anestesi kornea disertai hilangnya refleks kedip
(salah satu mekanisme pertahanan kornea) serta hilangnya faktor-faktor tropik
yang penting untuk fungsi epitel. Pada tahap awal keratitis neurotropik, terdapat
edema epitel bebercak difus. Kemudian terdapat daerah-daerah tanpa epitel (ulkus
neurotropik) yang dapat meluas mencakup sebagian besar kornea.
e. Pajanan (exposure)
Keratitis pajanan dapat timbul pada keadaan kornea yang tidak
cukup dibasahi dan dilindungi oleh palpebra. Kornea yang terbuka mudah
mengering selama waktu tidur. Keadaan ini dapat terjadi pada
eksoftalmus, ektropion, hilangnya sebagian palpebra akibat trauma dan
pada kedaan dimana palpebra tidak dapat menutup dengan baik. Faktor
penyebab terjadinya keratitis ini adalah karena kekeeringan kornea dan
pajanan terhadap trauma minor. Ulkus yang timbul umumnya terjadi
setelah trauma minor.

2.6 Patogenesis dan Patofisiologi Ulkus Kornea7


Ulkus kornea terlokalisir secara patogenesis terbagi menjadi 4
stadium, yaitu:
 Infiltrasi Progresif
Stadium ini ditandai dengan infiltrasi polimorfonuklear dan/atau limfosit
ke epitel dari sirkulasi perifer. Nekrosis jaringan dapat terjadi tergantung
virulensi agen dan daya tahan tubuh seseorang.
 Ulserasi Aktif
Ulserasi aktif merupakan hasil dari nekrosis dan pelepasan epitel,
membran Bowman dan stroma. Dinding dari ulkus aktif membengkak
pada lamela dengan mengimbibisi cairan dan sel leukosit yang terdapat
diantara membran Bowman dan stroma. Zona infiltrasi tersebut
memberikan jarak antara tepi ulkus dengan jaringan sekitar. Pada stadium
ini, sisi dan dasar ulkus tampak infiltrasi keabu-abuan dan pengelupasan.
Lalu timbul hiperemia pada pembuluh darah jaringan circumcorneal yang

9
menimbulkan eksudat purulen pada kornea. Eksudasi akan menuju COA
melalui pembuluh darah iris dan korpus siliar dan menimbulkan hipopion.
 Regresi
Regresi dipicu oleh produksi antibodi dan imunitas seluler serta respon
terapi yang baik. Di sekeliling ulkus terdapat garis demarkasi yang terdiri
dari leukosit dan fagosit yang menghambat perkembangan organisme dan
debris sel nekrotik. Proses tersebut didukung oleh vaskularisasi superfisial
yang meningkatkan imunitas humoral dan seluler. Ulkus mulai membaik
dan epitel mulai tumbuh pada sekeliling ulkus.
 Sikatrik
Proses penyembuhan pada stadium ini mulai berlanjut dengan membentuk
epitelisasi lapisan terluar secara permanen. Jaringan fibrous juga
membentuk fibroblas pada kornea dan sel endotel membentuk pembuluh
darah baru. Stroma akan menebal dan mengisi lapisan bawah epitel dan
mendorong epitel ke anterior. Bila ulkus hanya mengenai epitel saja, maka
ulkus tersebut akan sembuh tanpa ada kekaburan pada kornea. Apabila
ulkus mencapai membran Bowman dan sebagian lamela stroma, maka
jaringan parut akan terbentuk yang disebut dengan nebula. Jika ulkus
mengenai lebih dari 1/3 stroma, maka terbentuk makula dan leukoma.

Gambar 2.4 Stadium Patogensis Ulkus Kornea

10
2.7 Manifestasi Klinis1,7,12
Gejala :
a. Merah pada kelopak mata dan konjungtiva disertai nyeri
b. Sekret mukopurulen
c. Merasa ada benda asing di mata
d. Pandangan kabur dan fotofobia
e. Mata berair
f. Bintik putih pada kornea, sesuai lokasi ulkus
Tanda :
a. Edema palpebra
b. Injeksi siliar dan konjungtiva
c. Hilangnya sebagian jaringan kornea, dan adanya infiltrat
d. Hipopion
e. Edema stromal dan inflamasi sekitar infiltrat
f. Peningkatan tekanan intraokuler pada kasus berat
Pasien dengan keratitis jamur cenderung muncul dengan gejala
inflamasi yang ringan selama periode inisial dibandingkan dengan pasien
keratitis bakteri. Manifestasi dari ulkusnya berupa infiltrat kelabu dengan
batas ireguler yang halus. Terkadang juga ditemukan infiltrat multifokal
atau satelit. Perluasan infeksi jamur ke COA sering ditemukan pada kasus
dengan inflamasi COA yang progresif. Jamur juga dapat menginvasi iris
dan COP sehingga dapat terjadi glaukoma sudut tertutup akibat blok pupil.

Gambar 2.5 Ulkus Kornea Jamur; Fusarium solani

11
2.8 Diagnosis8,10,12
Diagnosis dapat ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan
fisik dan pemeriksaan oftalmologi menggunakan slit lamp serta
pemeriksaan laboratorium.
Anamnesis
a. Pemakaian lensa kontak, terutama ketika berenang, kontaminasi cairan lensa
kontak.
b. Riwayat trauma, riwayat benda asing masuk mata, seperti kelilipan.
c. Penggunaan kortikosteroid mata dalam jangka panjang.
d. Riwayat penyakit mata sebelumnya.
e. Riwayat sakit cacar atau herpes zoster, terutama lesi yang terdapat di sekitar
mata.
f. Riwayat penyakit sistemik seperti Diabetes Mellitus, AIDS, keganasan,
terapi imunosupresi khusus.
g. Semua obat dan bahan pengawet juga dapat menimbulkan dermatitis kontak
atau toksisitas kornea.
Pemeriksaan Oftalmologi
Pasien dengan gangguan kornea dan penurunan visus memerlukan
pemeriksaan khusus untuk menentukan apakah kehilangan pandangan
berasal dari astigmatisme iregular atau kerusakan stromal.
a. Pemeriksaan eksternal, dilakukan pemeriksaan luar pada adneksa okular
untuk melihat adanya lesi kulit, tanda-tanda inflamasi seperti edema, eritem,
dan panas. Selain itu juga dinilai posisi kelopak mata, siliar dan supersiliar.
b. Ketajaman penglihatan, pada ulkus kornea terjadi gangguan media refraksi
ditandai dengan penurunan ketajaman penglihatan.
c. Tes refraksi
d. Tes air mata, salah satu cara mengevaluasi produksi air mata yaitu basic
secretion test, dengan meletakkan strip thin filter-paper (lebar 5 mm,
panjang 30 mm) jika kurang dari 3 mm kertas yang basah setelah 5 menit
dengan anestesi tergolong Aqueous Tear Deficiency (ATD).
e. Pemeriksaan slitlamp, untuk memeriksa ulkus kornea diperlukan
pemeriksaan slitlamp dengan memperhatikan pantulan cahaya yang

12
bergerak ke arah kornea, jika terdapat kerusakan pada epitel, terlihat daerah
yang kasar.
f. Keratometri, pemeriksaan mata yang bertujuan untuk mengukur radius
kelengkungan kornea dan kekuatan sentral kornea. Terdapat 4 titik pada
daerah dari 2.8 – 4.0 mm. Perkiraan kekuatan sentral kornea berguna untuk
perhitungan tekanan intraocular lens.
g. Refleks pupil, pada ulkus kornea bisa terjadi iritis yang ditandai dengan
miosis pada pupil dan fotofobia.
h. Tes fluoresensi, dengan meneteskan fluoresensi topikal yang bersifat non-
toksik, water-soluble hydroxycxanthene yang pewarnaannya akan terdeteksi
cepat dengan filter cobalt-blue. Fluoresensi yang terkumpul pada defek
epitel akan berdifusi kedalam stroma kornea dan menyebabkan pewarnaan
hijau pada kamera okuli anterior. Tes fluoresensi dapat membuktikan
karakteristik ulkus dendritik pada infeksi HSV.

2.9 Pemeriksaan Laboratorium


a. Untuk pemeriksaan rutin pada ulkus kornea dilakukan pemeriksaan agar
darah, sabouraud’s dextrose agar tanpa cyclohexamide untuk fungi,
trigikolat untuk bakteri aerob atau anaerob, dan agar coklat untuk melihat
haemophilus species dan Neisseria gonorrhoeae.
b. Goresan ulkus untuk yang disebabkan jamur, dilakukan pemeriksaan
kerokan kornea dengan spatula kimura dari dasar dan tepi ulkus dengan
biomikroskop dilakukan pewarnaan KOH.
c. Biopsi jaringan kornea dan diwarnai dengan periodik acid Schiff untuk
melihat acanthamoeba.

13
2.10 Diagnosis Diferensial6,8
Diagnosis diferensial ulkus kornea bisa di lihat di tabel 1:
Tabel 1 Diagnosis Diferensial Ulkus Kornea

Keratitis/ulkus Glaukoma
Penyakit Konjungtivitis Iritis akut
kornea akut
Sedang
Hebat dan
Sakit Kesat Sedang sampai
menyebar
hebat
Hanya refleks
Kotoran Sering purulen Ringan Tidak ada
epifora
Fotofobia Ringan Hebat Sedang
Kornea Jernih Fluoresen (+++) Presipitat Edema
Abu-abu
Iris Normal Muddy
kehijauan
Penglihatan N <N <N <N
Sekret (+) (-) (-) (-)
Tekanan N N <N >N
Injeksi Konjungtiva Siliaris Siliaris Episklera
Infeksi
Uji Bakteri Sensibilitas Tonometri
lokal

2.11 Tatalaksana1,8,10,13
Pengobatan pada ulkus kornea tergantung penyebabnya, diberikan
obat tetes mata yang mengandung antibiotik, antivirus, anti jamur,
sikloplegik dan mengurangi reaksi peradangan dengann steroid. Pasien
dirawat bila mengancam perforasi, pasien tidak dapat memberi obat
sendiri, tidak terdapat reaksi obat dan perlunya obat sistemik. Benda asing
dan bahan yang merangsang harus segera dihilangkan. Lesi kornea sekecil
apapun harus diperhatikan dan diobati sebaik-baiknya. Konjungtivitis,
dakriosistitis harus diobati dengan baik. Infeksi lokal pada hidung, telinga,
tenggorok, gigi atau tempat lain harus segera dihilangkan.

Terapi Medikamentosa
a. Midriatik dan sikloplegik
Bertujuan melebarkan pupil dan melumpuhkan otot akomodasi.

14
1. Sulfas atropine
 Sediaan : larutan 0,5 – 3 %; salep 0,5% dan 1 %
 Dosis : untuk refraksi anak, teteskan 1 tetes larutan 0,25 % - 0,5%
pada masing-masing mata dua kali sehari, 1-2 hari sebelum
pemeriksaan dan kemudian sejam sebelum pemeriksaan dan
ekmudian sejam sebelum pemeriksaan; salep, ¼ inci dua kali
sehari, sejak 2 hari sebelum pemeriksaan
 Mulai dan lama kerja : mulai kerja dalam 30 -40 menit. Efek
maksimum tercapai kira-kira dalam 2jam. Efek obat bertahan
sampai 2 minggu pada mata normal, pada radang akut, obat harus
diteteskan dua atau tiga kali sehari untuk mempertahankan efeknya
 Toksisitas : tetesan atropine harus dipakai dengan hati-hati untuk
menghindari reaksi toksik akibat absorpsi sistemik. Gelisah dan
perilaku penuh gairah, kulit muka kering dan kemerahan, mulut
kering, demam, kurang berkeringat, dan takikardi adalah gejala-
gejala toksik, khususnya pada anak
 Catatan : atropine adalah sikloplegik yang efektif dan bekerja lama.
Selain sebagai sikloplegik pada anak, atropine dipakai secara
topical dua atau tiga kali sehari untuk mempertahankan pupil agar
tetap lebar setelah tindkaan operasi intraokular.

2. Anti jamur
 Jenis jamur yang belum diidentifikasi penyebabnya : topikal
amphotericin B 1, 2, 5 mg/ml, Thiomerosal 10 mg/ml, Natamycin
> 10 mg/ml, golongan imidazole.
 Jamur berfilamen : topikal amphotericin B, thiomerosal,
Natamicin, Imidazol.
 Ragi (yeast) : amphotericin B, Natamicin, Imidazol.
 Actinomyces yang bukan jamur sejati : golongan sulfa, berbagai
jenis antibiotik

3. Antibiotik topikal berdasarkan algoritma berikut :

15
Low risk for visual loss : antibiotik spektrum luas seperti
fluoroquinolon eyedrops selama 2 sampai 6 jam, tobramycin atau
ciprofloxacin salap mata 4 kali sehari.
Borderline risk : ulkus medium (diameter 1-1,5 mm) infiltrat perifer,
atau semua infiltrate kecil yang berhubungan dengan defek epitel,
discharge sedang : fluoroquinolone eyedrops setiap jam, tobramycin
atau ciprofloxacin salap mata 4 kali sehari
Vision threatening : ulkus besar (diameter > 1,5 mm ), infiltrat
perifer, infiltrat, discharge purulent, melibatkan visual axis :
tobramycin atau gentamicin fortified (15 mg/ml) setiap jam

Terapi Bedah
a. Flap Konjungtiva
Merupakan prosedur yang efektif untuk menangani inflamasi dan penyakit
kornea struktural ketika pengembalian penglihatan bukanlah suatu perhatian yang
utama. Saat ini telah jarang digunakan karena telah luasnya indikasi dari
penetrating keratoplasti, antibiotik yang lebih efektif, ketersediaan dari lensa
kontak dan kemajuan dari manajemen penyakit inflamasi kornea. Prosedur ini
tidak digunakan pada keratitis infeksi yang aktif atau perforasi kornea karena sisa
jaringan yang terinfeksi dapat berproliferasi di bawah flap. Penglihatan yang
berkurang dan terbentuknya barrier terhadap masuknya obat merupakan
kelemahan dari prosedur ini.
Indikasi :
 Ulserasi kronik dari epitel dan stromal yang steril seperti HSV keratitis,
keratokonjungtivitis sicca, dan lain-lain.
 Luka kornea yang tertutup tetapi tidak stabil.
 Bullous keratopathy pada pasien yang tidak bisa dilakukan PK

b. Keratektomi superfisial
Merupakan eksisi dari lapisan superfisial dari kornea (epitel, lapisan
Bowman, atau stroma superfisial)l tanpa penggantian jaringan.
Indikasi:

16
 Pembuangan dari jaringan yang hiperplastik atau nekrosis
 Eksisi dari material asing di kornea
 Eksisi jaringan kornea superfisial yang dysthropic

c. Transplantasi Kornea
Bedah penggantian dari kornea baik yang seluruhnya (Penetrating
Keratoplasty) ataupun bagian lamellar (Lamelar Keratoplasty). Penetrating
keratoplasty merupakan penggantian kornea seutuhnya sedangkan lamelar
keratoplasty merupakan penggantian sebagian ketebalan kornea untuk
mengganti kornea anterior dengan tebal stroma yang bervariasi. PK
mempunyai indikasi yang lebih luas daripada LK dikarenakan LK tidak
menggunakan penggantian endotel, hal inilah yang menyebabkan PK
masih digunakan sampai sekarang. Sementara itu LK mempunyai
beberapa keuntungan seperti rehabilitasi penglihatan yang lebih cepat,
persyaratan yang minimal untuk pendonor, mengurangi resiko penolakan
graft serta mengurangi resiko masuk ke dalam kamar anterior (mengurangi
resiko terjadinya glaucoma, katarak, perdarahan, endoftalmitis).

Manajemen Ulkus Kornea di Pelayanan Kesehatan Primer dan Sekunder13


Manajemen di Layanan Primer
a. Anamnesis dan pemeriksaaan dilakukan pada pasien untuk menilai:
 Apakah terdapat riwayat trauma kornea superfisial
 Apakah terdapat abrasi kornea pada pemeriksaan
b. Tatalaksana:
 Chloramphenicol eye ointment (0,5-1%) 3x/hari sekurang-kurangnya
dalam waktu tiga hari
 Jangan gunakan obat-obatan yang mengandung steroid
 Jangan gunakan obat-obatan tradisional
c. Rujuk pada dokter spesialis mata apabila:
 Mata merah dan terasa nyeri yang tidak hilang dalam waktu tiga hari
 Terdapat bercak putik pada kornea dan mata merah (ulkus kornea)

17
 Jangan pernah menunda untuk merujuk pasien ke dokter spesialis mata
apabila pasien didiagnosis mengalami ulkus kornea

Gambar 2.6 Abrasi Kornea

Gambar 2.7 Ulkus Kornea


Manajemen di layanan sekunder
a. Anamnesis dan pemeriksaan:
Menilai gambaran klinis yang spesifik pada ulkus kornea pasien
b. Pemeriksaan laboratorium:
Lakukan corneal smear untuk pemeriksaan jamur (fungal hyphae)
c. Anjuran rawat:
 Jika ada ancaman terhadap visus atau fungsi penglihatan
 Agar pengobatan adekuat
 Mempermudah follow up pasien

No Fungal Hyphae Seen on Smear Fungal Hyphae Seen on Smear


Cafazolin 5% and Natamycin 5% drops hourly
Gentamycin 1.4% drops hourly alone (no antibiotics)
Ciprofloxacin may be used instead of or Amphotericin 0.15% drops

18
gentamycin hourly
 If hourly drops is not possible, then a sub-
conjunctival injection can be considered.

Treatmet frequency, duration and follow up:

No Fungal Hyphae Seen on Smear Fungal Hyphae Seen on Smear


Daily examination until the ulcer starts Examination every 2 days until
improving the ulcer starts improving
Then gradually reduce the frequency of drops Then continue drops at least 3
and follow up over 2 weeks hourly for at least 2 weeks after
healing of the ulcer
d. Rujuk pasien apabila:
 Tidak ada perubahan setelah 3 hari pengobatan (pada ulkus yang tidak
ditemui hifa pada pemeriksaan smear).
 Tidak ada perubahan setelah 7 hari pengobatan (pada ulkus yang
ditemukan hifa pada pemeriksaan smear)
e. Terapi tambahan (adjunctive therapy):
 Sikloplegik, analgetik, obat-obat anti glaukoma jika dibutuhkan
 Jangan gunakan obat-obatan yang mengandung steroid
 Tanyakan apakah pasien menderita diabetes mellitus

19
Gambar 2.8 Early and Late Bacterial Ulcer

Gambar 2.9 Early and


Late
Fungal Ulcer

2.12 Komplikasi10
Kebutaan parsial atau komplit dalam waktu sangat singkat, kornea perforasi
dapat berlanjut menjadi endoftalmitis dan panoftalmitis, prolaps iris, sikatrik
kornea, katarak, glaukoma sekunder.

2.13 Prognosis8,10
Prognosis ulkus kornea tergantung pada tingkat keparahan dan cepat
lambatnya mendapat pertolongan, jenis mikroorganisme penyebabnya, dan
ada tidaknya komplikasi yang timbul. Ulkus kornea yang luas memerlukan
waktu penyembuhan yang lama, karena jaringan kornea bersifat avaskular.
Semakin tinggi tingkat keparahan dan lambatnya mendapat pertolongan
serta timbulnya komplikasi, maka prognosisnya menjadi lebih buruk.
Penyembuhan yang lama mungkin juga dipengaruhi ketaatan penggunaan
obat. Dalam hal ini, apabila tidak ada ketaatan penggunaan obat terjadi
pada penggunaan antibiotika, maka dapat menimbulkan resistensi.

20
BAB 3
ILUSTRASI KASUS

3.1 Identitas Pasien


Nama : Mr. IJ
Umur : 62 tahun
Jenis kelamin : Laki-laki
Pekerjaan : Petani
Alamat : Pesisir
Tanggal pemeriksaan : 9 November 2018

3.2 Anamnesis
Keluhan Utama
Telah diperiksa di poli RSUP M Djamil Padang pada tanggal 9
November 2018 seorang pasien dengan keluhan utama yaitu bagian hitam
mata kiri tampak memutih sejak 1 minggu yang lalu.

Riwayat Penyakit Sekarang


 Awalnya mata kiri terkena daun nipah 2 minggu yang lalu, lalu mata pasien
tampak merah dan perih, kemudian1 hari setelah kejadian pasien berobat ke
bidan desa dan diberi obat mata, karena tidak ada perubahan pasien
kemudian berobat ke dokter umum, kemudian pasien dirujuk ke dokter
spesialis mata dan diberi obat tetes mata. Seminggu kemudian pasien datang
kontrol kembali ke dokter spesialis mata dan pasien dirujuk ke RSUP Dr.
M. Djamil Padang untuk penatalaksanaan lebih lanjut.
 Pasien mengeluhkan mata kiri yang sangat pedih dan berair serta disertai
mata kemerahan sejak 2 minggu yang lalu.
 Pasien mulai merasakan penglihatan yang kabur dan telihat bercak putih di
mata kiri sejak 1 minggu yang lalu. Pasien takut melihat cahaya dan mata
terasa nyeri.
 Demam ada, tapi tidak tinggi

21
 Sakit kepala ada
 Mual dan muntal ada.
 Riwayat trauma mata sebelumnya tidak ada
 Riwayat memakai kontak lensa dan kaca mata tidak ada
 Riwayat menetes air daun-daun tidak ada.

Riwayat Penyakit Dahulu


 DM tidak ada
 Hipertensi tidak ada
 Sebelumnya tidak ada mengalami keluhan yang sama seperti saat ini

Riwayat Penyakit Keluarga


Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan yang sama seperti
yang dialami pasien.

Riwayat Pengobatan
 Pasien sudah dapat obat tetes mata dari dokter Spesialis Mata.
 Riwayat pemakaian steroid lama ada untuk pengobatan sakit pinggang.

3.3 Pemeriksaan Fisik


 Keadaan umum : Sedang
 Kesadaran : Komposmentis kooperatif
 Tekanan darah : 130/70 mmHg
 Pernapasan : 20x/ menit
 Nadi : 88x/ menit
 Suhu : 36,7ºC
 Kulit : Tidak ditemukan kelainan
 KGB : Tidak ada pembesaran KGB
 Mata : Sesuai status oftalmologi
 Thoraks : Dalam batas normal
 Abdomen : Dalam batas normal

22
 Ekstremitas : Dalam batas normal
3.4 Status Oftalmikus

Status Opthalmikus OD OS

Visus tanpa koreksi 20/30 ½ / 60

Refleks fundus (+) (+)↓


Madarosis (-) Madarosis (-)
Silia/ supersilia Trikiasis (-) Trikiasis (-)
Poliosis (-) Poliosis (-)
Palpebra superior Edema (-) Edema (-)
Palpebra inferior Edema (-) Edema (-)
Ektropion (-) Ektropion (-)
Margo palpebral
Entropion (-) Entropion (-)
Normal Normal
Aparatus lakrimalis
Epifora (-) Epifora (-)
Hiperemis (-)
Inj. Konjungtiva (+), Inj.
Konjungtiva tarsalis Folikel (-)
Siliar (+)
Papil (-)
Hiperemis (-)
Inj. Konjungtiva (+), Inj.
Konjungtiva forniks Folikel (-)
Siliar (+)
Papil (-)
Hiperemis (-)
Inj. Konjungtiva (+), Inj.
Konjungtiva bulbi Folikel (-)
Siliar (+)
Papil (-)
Sklera Putih Putih
Ulkus (+) di sentral ukuran
Bening 3-4 mm, kedalaman sampai
Kornea
dengan endotel, endothelial
flad (+), infiltrate (+)
Kamera okuli
Cukup dalam Hipopion (+) 2 mm
anterior

23
Coklat Coklat
Iris
Rugae (+) Rugae (+)
Bulat
Bulat
Pupil Refleks pupil +/+
Membayang bulat
Diameter 3 mm
Korpus vitreum Jernih Jernih
Lensa Keruh subkapsul post Keruh
Funduskopi :
Media Agak keruh
Papil optik Bulat, batas tegas,
c/d, 0,3-0,4
Pembuluh darah Aa : Vv = 2 : 3 Tidak dilakukan
Retina Perdarahan (-),
Eksudat (-)
Makula Refleks fovea (+)

Tekanan bulbus
Normal (palpasi) Normal (palpasi)
okuli
Posisi bulbus okuli Ortho Ortho
Gerakan bulbus
Bebas Bebas
okuli

3.5 Pemeriksaan Penunjang :


Gram : Tidak ditemukan bakteri gram positif atau gram negatif
Giemsa : PMN > MN
KOH : Hifa (-) Spora (-)

3.6 Diagnosis Kerja : Ulkus kornea sentral OS EC Susp Jamur.

24
3.7 Diagnosis Banding : Ulkus kornea sentral OS EC Susp Bakteri

3.8 Terapi :

 Inj Ceftriaxone 2 x 1 gr (IV)


 Ceftriaxone fortified ed OS
 Fluconazole ed OS
 Fluconazole 1 x 150 mg
 SA ed 3 x 1 OS
 Rencana graft AMT OS hari senin (12-11-2018)

3.9 Dokumentasi Kasus

25
26
27
28
BAB 4
DISKUSI

Telah dilaporkan seorang pasien laki-laki berusia 62 tahun datang


ke RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 7 November 2018 dengan
diagnosis ulkus kornea ec susp jamur. Diagnosis ditegakkan berdasarkan
anamnesis dan pemeriksaan fisik pada mata serta dibantu dengan
pemeriksaan penunjang.
Dari anamnesis didapatkan pasien mengeluhkan Pasien
mengeluhkan mata kiri yang sangat pedih dan berair serta disertai mata
kemerahan sejak 2 minggu yang lalu. Kemudian pasien mulai merasakan
penglihatan yang kabur dan telihat bercak putih di mata kiri sejak 1
minggu yang lalu. Pasien takut melihat cahaya dan mata terasa nyeri.
Pasien juga mengeluhkan demam tapi tidak tinggi, mual muntah, dan sakit
kepala. tidak ada penggunaan kacamata, dan tidak ada penyakit mata
sebelumnya. Tidak ada riwayat DM dan hipertensi, penggunaan obat
kortikosteroid ada untuk mengobati nyeri pinggang.
Dari pemeriksaan fisik mata kiri ditemukan visus tanpa koreksi ½ / 60,
Refleks fundus positif menurun, injeksi siliar dan konjungtiva positif, terdapat
ulkus di zona sentral kornea dengan diameter ± 3-4 mm, kedalaman sampai
endotel, endothelial flad (+), infiltrat (+), ulserasi (+), kamera okuli hipopion (+)
2 mm.
Berdasarkan literatur gejala dan tanda ulkus kornea antara lain
nyeri pada mata, fotofobia, mata berair, dan bersekret. Terdapat injeksi
siliar dan konjungtiva, terdapat lesi pada kornea, terdapat hipopion yang
mencembung pada kornea menunjukkan ulkus kornea disebabkan oleh
jamur. Pada laporan kasus ini gejala dan tanda yang ditemukan pada
pasien sesuai dengan yang ada diliteratur. Ulkus kornea karena jamur
dapat disebabkan akibat luka dari bahan-bahan vegetative seperti tanaman
dan daun. Hal ini dapat dikaitkan dengan riwayat pasien yang terkena daun
nipah 2 minggu yang lalu.

29
Kornea mempunyai banyak serabut saraf maka kebanyakan lesi
pada kornea baik superfisial maupun profunda dapat menimbulkan rasa
sakit/ nyeri dan fotofobia. Rasa sakit juga diperberat dengan adanaya
gesekan palpebra (terutama palbebra superior) pada kornea. Penurunan
visus pada pasien ulkus kornea akibat perubahan bentuk dan kejernihan
kornea sehingga mengganggu pembentukan bayangan di retina.
Kelainan sekecil apapun di kornea dapat menimbulkan gangguan
penglihatan terutama jika letaknya didaerah pupil. Kornea bersifat
avaskuler, sehingga pertahanan pada saat peradangan tidak segera datang.
Badan kornea, wandering cell dan sel lainnya di dalam stroma kornea,
segera bekerja sebagai makrofag, disusul dengan dilatasi pembuluh darah
dan tampak sebagai injeksi perikornea, konjungtiva dan siliar. Sesudahnya
baru terjadi infiltrasi dari sel-sel mononuclear, sel plasma, leukosit
polimorfonuklear (PMN), yang mengakibatkan timbulnya infiltrat, yang
tampak sebagai bercak berwarna kelabu, keruh dengan batas-batas tak
jelas dan permukaan tidak licin, kemudian dapat terjadi kerusakan epitel
dan timbullah ulkus kornea.
Pengobatan pada pasien ini adalah inj Ceftriaxone 2 x 1 gr (IV),
Ceftriaxone fortified ed OS, Fluconazole ed OS, Fluconazole 1 x 150 mg,
SA ed 3 x 1 OS dan direncana graft AMT OS hari senin (12-11-2018).
Pasien diberikan antibiotik (Ceftriaxon dan Tetrasiklin) sistemik
berspektrum luas sebagai terapi empirik. Pasien juga diberikan antifungal
(Fluconazole) oral dan topikal karena kecurigaan jamur sebagai penyebab
ulkus berdasarkan riwayat trauma akibat bahan vegetative pada pasien.
Ceftriaxon dan LFX (mengandung levofloxacin) juga diberikan sebagai
antibiotik topikal (tetes mata). SA berperan dalam mengurangi nyeri dan
mencegah sinekia. Terapi definitive pada pasien ini adalah graft AMT
(Amniotic Membrane Transplant), AMT ini dapat memacu epitelisasi serta
mengurangi reaksi radang.

30
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas S. Tukak (Ulkus) Kornea. Dalam Ilmu Penyakit Mata. Edisi 5. Balai
Penerbit FKUI. Jakarta. 2014. 159-167.
2. Perhimpunan Dokter Spesialis Mata Indonesia. Ulkus Kornea. Dalam Ilmu
Penyakit Mata untuk Dokter Umum dan Mahasiswa Kedokteran. Edisi 2.
Penerbit Sagung Seto. Jakarta. 2002.
3. WHO. Prevention of Blindness and Visual Impairment. 2017. Dari:
http://www.who.int/blindness/causes/en/. Diakses tanggal 11 November
2018.
4. Sirlan F, Agustian D, Rifada M. Survei kebutaan dan morbiditas mata di
Jawa Barat. 2015. Bandung. Dari:
http://www.dokumen.tips/documents/survei-kebutaan-dan-morbiditas-
mata. Diakses tanggal 11 November 2018.
5. American Academy of Ophthalmology. Basic and Clinical Science Course
Section 2: Fundamentals and Principles of Ophthalmology. 2014-2015.
6. American Academy of Ophthalmology. Basic and Clinical Science Course
Section 8: External Disease and Cornea. 2014-2015.
7. Khurana AK. Glaucoma in Ophthalmology. 4th ed. The Disease of Cornea.
New Age International Limited Publisher. New Delhi. 2007.
8. Biswell R. Ulserasi Kornea. Dalam: Riordan-Eva P, Whitcher JP, eds.
Vaughan and Asbury Oftalmologi Umum. Edisi 17. Jakarta: EGC. 2011:
126-138.

31
9. Gupta N, Tandon R, Vashist P. Burden of corneal blindness in India. 2017.
New Delhi. Dari:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3831688/. Diakses tanggal
11 November 2018.
10. Borke J. Corneal ulcer and ulcerative keratitis in emergency medicine.
2017. Dari: http://www.emedicine.medscape.com/article/798100-
overview#a4. Diakses tanggal 11 November 2018.
11. Turbert D. Who is at risk for corneal ulcers? 2017. Dari:
http://www.aao.org/eye-health/diseases/corneal-ulcer-risk. Diakses tanggal
11 November 2018.
12. Getry S. 2011. Bahan Kuliah Kornea. FK Unand: Padang.
13. WHO. Guidelines for the Management of Corneal Ulcer at Primary,
Secondary, and Tertiary Care health facilities in the South-East Asian
Region. 2004.

32

Anda mungkin juga menyukai