Anda di halaman 1dari 28

Clinical Report Session

PTERIGIUM

Oleh :
Harsya Luthfi Anshari

1110313052

Dwiva Try Rakhmawati

1210313010

Mia EkaPutri

1210312042

Preseptor :
dr. Kemala Sayuti, SpM (K)
dr. Havriza Vitresia, SpM (K)

BAGIAN ILMU KESEHATAN MATA


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUP DR. M. DJAMIL PADANG
2017

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................1
BAB 1. TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................2
11. Definisi..................................................................................................2
1.2. Etiologi dan Faktor Resiko....................................................................2
1.3. Patofisiologi...........................................................................................3
1.4. Gambaran Klinis....................................................................................5
1.5. Diagnosis...............................................................................................6
1.6. Tatalaksana .........................................................................................10
1.7. Komplikasi..........................................................................................14
1.8. Prognosis.............................................................................................15
BAB 2.LAPORAN KASUS...................................................................................16
BAB 3. DISKUSI...................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................25

BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1. PTERIGIUM
1.1

Definisi
Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva yang bersifat

degeneratif dan invasif. Menurut Hamurwono, pterigium merupakan konjungtiva


bulbi patologik yang menunjukkan penebalan berupa lipatan berbentuk segitiga
yang tumbuh menjalar ke kornea dengan puncak segitiga di kornea. Pterigium
berasal dari bahasa Yunani, yaitu pteron yangartinya wing atau sayap.1,6

Gambar 1. Pterigium
1.2

Etiologi dan Faktor Risiko


Faktor risiko yang mempengaruhi pterigium adalah lingkungan yakni

radiasi UV matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara, dan faktor
herediter.
a. Radiasi Ultraviolet
Paparan sinar matahari, waktu di luar ruangan, penggunaan kacamata
dan topi mempengaruhi resiko terjadinya pterigium. Sinar ultraviolet
diabsorbsi kornea dan konjungtiva mengakibatkan kerusakan sel dan
proliferasi sel.

b. Faktor Genetik
Berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga
dengan pterigium, kemungkinan diturunkan secara autosomal dominan.
c. Faktor lain
Iritasi kronik atau inflamasi yang terjadi pada area limbus atau perifer
kornea merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan
terjadinya limbal defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru
patogenesis dari pterigium. Debu, kelembaban yang rendah, dan trauma
kecil dari bahan partikel tertentu, dry eyes, dan virus papiloma juga
diduga sebagai penyebab dari pterigium.3,7
Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas. Namun, karena lebih sering
terjadi pada orang yang tinggal di daerah beriklim panas, maka gambaran yang
paling diterima tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor
lingkungan seperti paparan terhadap matahari (ultraviolet), daerah kering,
inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor iritan lainnya. Pengeringan
lokal dari kornea dan konjungtiva pada fisura interpalpebralis disebabkan oleh
karena kelainan tear film bisa menimbulkan pertumbuhan fibroblastik baru
merupakan salah satu teori. Tingginya insiden pterigium pada daerah dingin, iklim
kering mendukung teori ini.6,7
1.3

Patofisiologi
Insiden pterigium meningkat pada orang dan populasi yang terus menerus

terpapar radiasi matahari yang berlebihan. Dalam hal ini sinar UV memainkan
bagian yang penting dalam patogenesis penyakit ini. Sinar UV memulai rantai

peristiwa terjadinya pterigium pada level intraselular dan ekstraselular yang


melibatkan DNA, RNA, dan komposisi matriks ekstraselular.7
Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak dengan
ultraviolet,

debu,

kekeringan

mengakibatkan

terjadinya

penebalan

dan

pertumbuhan konjungtiva bulbi yang menjalar ke kornea.1-8 Pterigium ini biasanya


bilateral, karena kedua mata mempunyai kemungkinan yang sama untuk kontak
dengan sinar ultraviolet, debu dan kekeringan. Semua kotoran pada konjungtiva
akan menuju ke bagian nasal, kemudian melalui pungtum lakrimalis dialirkan ke
meatus nasi inferior.3
Sebuah hipotesis mengatakan bahwa radiasi sinar UV menyebabkan
ekspresi abnormal Ki-67 (marker proliferasi) dan mutasi pada gen supresor tumor,
seperti p53 dan p63 yang menyebabkan proliferasi abnormal epitel. Epitel yang
melapisi mungkin menunjukkan metaplasia skuamosa ringan. Pterigium adalah
suatu degenerasi dan kondisi hiperplastik konjungtiva. Jaringan subkonjungtiva
mengalami degenerasi elastotic (basophilic degeneration) dan proliferasi
fibrovaskuler di bawah epitel, yang akhirnya dapat mengganggu kornea.
Histopatologi kolagen abnormal pada area degenerasi elastotik menunjukkan
basophil dengan hematoxylin dan eosin stain. Epitel kornea, membran Bowman
dan stroma superfisial akan mengalami kerusakan.8
Ultraviolet adalah mutagen untuk p53 tumor suppressor genepada limbal
basal stem cell. Tanpa apoptosis, transforming growth factor-beta overproduksi
dan menimbulkan kolagenase meningkat, sel-sel bermigrasi dan angiogenesis.
Akibatnya terjadi perubahan degenerasi kolagen dan terlihat jaringan subepitelial

fibroveskular. Jaringan subkonjungtiva terjadi degenerasi elastoic dan proliferasi


jaringan granulasi vaskular di bawah epitelium yang akhirnya menembus kornea
dimanaterdapat pada lapisan membran bowman.7,8
Limbal stem cell adalah sumber regenerasi epitel kornea. Pada keadaan
defisiensi limbal terjadi pertumbuhan konjungtiva ke kornea, vaskularisasi,
inflamasi kronis, kerusakan membran basement, dan pertumbuhan jaringan
fibrotik. Tanda ini juga ditemukan pada pterigium dan karena itu banyak
penelitian menunjukkan bahwa perigium merupakan manifestasi dari defisiensi
atau disfungsi localized interpalpebral limbal stem cell. Kemungkinan akibat
sinar ultraviolet terjadi kerusakan stem cell di daerah interpalpebra.8,9
1.4

Gambaran Klinis
Pterigium yang berkembang dengan sempurna memiliki tiga bagian7:
1.
2.
3.

Kepala: bagian puncak yang terdapat pada kornea (apical part)


Leher: bagian yang terletak pada limbus (limbal part)
Badan: bagian yang berlanjut dari limbus menuju kantus (scleral
part)

Secara klinis, manifestasi pterigium lebih sering terjadi pada orangtua,


terutama yang sering bekerja di luar ruangan. Dapat timbul unilateral ataupun
bilateral. Pterigium bermanifestasi sebagai lipatan konjungtiva berbentuk segitiga,
yang merambat ke kornea. Pterigium biasanya timbul pada sisi nasal, namun ada
juga yang timbul pada sisi temporal. Deposisi besi kadang-kadang terlihat pada
epitel kornea di ujung puncak segitiga pada pterigium, yang disebut Stockers
line.7

Pada awal proses penyakit, pterigium biasanya asimptomatis, namun dapat


pula berupa mata yang kering (rasa panas, gatal, atau mata berair) akibat lesi yang
mulai berkembang pada permukaan okular. Seiring dengan progresi penyakit, lesi
bertambah besar dan mulai dapat dilihat dengan mata telanjang, serta dapat
mengganggu kosmetik bagi pasien. Pertumbuhan lebih lanjut akan menyebabkan
gejala pada visus ketika pterigium sudah menutupi daerah pupil atau akibat
astigmatisma kornea akibat fibrosis pada tahap regresif. Diplopia dapat timbul
sebagai akibat pembatasan gerak okular.
Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya ringan bahkan sering
tanpa keluhan sama sekali (asimptomatik). Beberapa keluhan yang sering dialami
pasien antara lain:1,3
1.

Mata sering berair dan tampak merah

2.

Merasa seperti ada benda asing

3.

Timbul astigmatisme akibat kornea tertarik oleh pertumbuhan pterigium


tersebut biasanya astigmatisme with the rule ataupun astigmatisme
irreguler sehingga mengganggu penglihatan

4.

Pada pterigium yang lanjut (derajat 3 dan 4) dapat menutupi pupil dan
aksis visual sehingga tajam penglihatan menurun

1.5

Diagnosis pterigium
1. Anamnesis
Identitas pasien sangat perlu untuk ditanyakan. Selain sebagai data
administrasi dan data awal pasien, identitas tertentu juga sangat perlu untuk
mengetahui faktor resiko pterigium. Pterigium lebih sering pada kelompok
usia 20-30 tahun dan jenis kelamin laki-laki. Riwayat pekerjaan juga sangat
6

perlu ditanyakan untuk mengetahui kecenderungan pasien terpapar sinar


matahari.3
Pterigium umumnya asimptomatis atau akan memberikan keluhan
berupa mata sering berair dan tampak merah dan mungkin menimbulkan
astigmatisma yang memberikan keluhan gangguan penglihatan. Pada kasus
berat dapat menimbulkan diplopia. Biasanya penderita mengeluhkan adanya
sesuatu yang tumbuh di kornea dan khawatir akan adanya keganasan atau
alasan kosmetik. Keluhan subjektif dapat berupa rasa panas, gatal, ada yang
mengganjal.1,3
2. Pemeriksaan Fisik
Tajam penglihatan dapat normal atau menurun.Pterigium muncul
sebagai lipatan berbentuk segitiga pada konjungtiva yang meluas ke kornea
pada daerah fisura interpalpebralis. Deposit besi dapat dijumpai pada bagian
epitel kornea anterior dari kepala pterigium (stokers line). Kira-kira 90%
pterigium terletak di daerah nasal. Perluasan pterigium dapat sampai medial
dan lateral limbus sehingga menutupi visual axis, menyebabkan penglihatan
kabur. Gangguan penglihatan terjadi ketika pterigium mencapai pupil atau
menyebabkan kornea astigmatisme pada tahap regresif.
Pterigium dibagi menjadi tiga bagian yaitu: body, apex (head), dan cap.
Bagian segitiga yang meninggi pada pterigium dengan dasarnya ke arah
limbus disebut body, bagian atasnya disebut apex, dan bagian belakang
disebut cap. Subepitelial cap atau halo timbul pada tengah apex dan
membentuk batas pinggir pterigium.1,3,5,7

Dalam penegakan diagnosis pterigium, sangat penting ditentukan


derajat atau klasifikasi pterigium tersebut. Klasifikasi pterigium dibagi
menjadi beberapa kelompok yaitu:
a. Berdasarkan perjalanan penyakit
1). Progresif pterigium: tebal dan vaskular dengan beberapa infiltrat di
kornea di depan kepala pterigium (disebut cap dari pterigium)
2). Regresif pterigium: tipis, atrofi, sedikit vaskular. Akhirnya menjadi
bentuk membran tetapi tidak pernah hilang.
b. Berdasarkan luas pterigium
1). Derajat I : jika hanya terbatas pada limbus kornea.
2). Derajat II : jika sudah melewati limbus tetapi tidak melebihi dari 2
mm melewati kornea.
3). Derajat III : jika telah melebihi derajat 2 tetapi tidak melebihi pinggir
pupil mata dalam keadaan cahaya (pupil dalam keadaan normal
sekitar 3-4 mm).
4). Derajat IV : jika pertumbuhan pterigium sudah melewati pupil
sehingga mengganggu penglihatan.8

Gambar 2.Luas pterigium2


c. Berdasarkan pemeriksaan pembuluh darah dengan slitlamp
1). T1 (atrofi): pembuluh darah episkleral jelas terlihat
2). T2 (intermediate): pembuluh darah episkleral sebagian terlihat
3). T3 (fleshy, opaque): pembuluh darah tidak jelas

Gamba
r 3.Derajat pembuluh darah2
Secara klinis pterigium dapat dibedakan dengan pinguekula dan
pseudopterigium.
Pembeda
Definisi

Warna
Letak

6:
Progresif
Reaksi
kerusakan
permukaan
kornea
sebelumnya
Pembuluh
darah
konjungtiva

Pterigium
Jaringan
fibrovaskular
konjungtiva
bulbi berbentuk
segitiga
Putih
kekuningan
Celah kelopak
bagian
nasal
atau temporal
yang meluas ke
arah kornea
>
Sedang
Tidak ada

Pinguekula
Benjolan pada
konjungtiva
bulbi

Pseudopterigium
Perlengketan
konjungtiba bulbi
dengan kornea yang
cacat

Putih-kuning
keabu-abuan
Celah kelopak
mata terutama
bagian nasal

Putih kekuningan

=
Tidak
Tidak ada

Pada
daerah
konjungtiva yang
terdekat
dengan
proses
kornea
sebelumnya
=
Tidak
Ada

Lebih menonjol

Menonjol

Normal

10

Sonde

Tidak
dapat Tidak
dapat Dapat diselipkan di
diselipkan
diselipkan
bawah lesi karena
tidak melekat pada
limbus
Puncak
Ada
pulau- Tidak ada
Tidak ada (tidak ada
pulau Funchs
head, cap, body)
(bercak kelabu)
Histopatologi Epitel ireguler Degenerasi
Perlengketan
dan degenerasi hialin jaringan
hialin
dalam submukosa
stromanya
konjungtiva
Tabel 1. Diagnosis banding pterigium

1.6

Penatalaksanaan Pterigium
Prinsip penanganan pterigium dibagi 2, yaitu cukup dengan pemberian obat-

obatan jika pterigium masih derajat 1 dan 2, sedangkan tindakan bedah dilakukan
pada pterygium yang melebihi derajat 2. Tindakan bedah juga dipertimbangkan
pada pterigium derajat 1 atau 2 yang telah mengalami gangguan penglihatan.
Pengobatan tidak diperlukan karena bersifat rekuren, terutama pada pasien yang
masih muda. Bila pterigium meradang dapat diberikan steroid atau suatu tetes
mata dekongestan. Lindungi mata yang terkena pterigium dari sinar matahari,
debu dan udara kering dengan kacamata pelindung. Bila terdapat tanda radang
beri air mata buatan bila perlu dapat diberikan steroid. Bila terdapat delen
(lekukan kornea) beri air mata buatan dalam bentuk salep. Bila diberi
vasokonstriktor maka perlu control dalam 2 minggu dan bila telah terdapat
perbaikan pengobatan dihentikan.1
Pada saat ini telah dikembangkan suatu metode baru dalam pengobatan
pterigium untuk derajat 1 dan 2, yaitu dengan prinsip pemberian obat golongan
avastin yaitu obat yang menghambat dalam sistem vascular endothelial growth
factor (VEGF). Berdasarkan penelitian terbaru didapatkan bahwa VEGF ini

11

ditemukan pada pasien pterigium dimana biasanya VEGF ini ditemukan pada
pasien penderita age related macular degeneration (ARMD) dan pasien dengan
Diabetic macular edema. Bevacizummab (avastin) adalah human monoclonal
antibody VEGF yang bekerja menghambat dari perkembangan VEGF. Pemberian
avastin dapat menghambat perkembangan fibrovaskular pada pterigium derajat
awal.17
Indikasi untuk eksisi pterigium adalah ketidaknyamanan yang menetap
termasuk gangguan penglihatan, ukuran pterigium >3-4 mm, pertumbuhan yang
progresif menuju tengah kornea atau visual axis dan adanya gangguan pergerakan
bola mata.
Indikasi Operasi pterigium:
1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus.
2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi
pupil.
3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan
silau karena astigmatismus.
4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.6
Teknik Pembedahan1,7
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan,
dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak teknik
bedah telah digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena
tingkat kekambuhan yang variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi
pterigium adalah langkah pertama untuk perbaikan. Keuntungan termasuk
epithelisasi yang lebih cepat, jaringan parut yang minimal dan halus dari
permukaan kornea.1
o Teknik Bare Sclera

12

Melibatkan eksisi kepala dan tubuh pterigium, dan memungkinkansklera


untuk epitelisasi. Tingkat kekambuhan tinggi, antara 24% dan 89%, telah
didokumentasikan dalam berbagai laporan.7
o Teknik Autograft Konjungtiva
Prosedur ini melibatkan pengambilan autograft, biasanya dari konjungtiva
bulbi superotemporal, dan dijahit di atas sklera yang telah dieksisi pterigium
tersebut. Komplikasi jarang terjadi dan untuk hasil yang optimal ditekankan
pentingnya pembedahan secara hati-hati jaringan Tenon's darigraft konjungtiva d,
manipulasi minimal jaringan dan orientasi akurat dari graft tersebut. Lawrence W.
Hirst, MBBS, dari Australia merekomendasikan menggunakan sayatan besar
untuk eksisi pterigium dan telah dilaporkan angka kekambuhan sangat rendah
dengan teknik ini.7
o Cangkok Membran Amnion
Mencangkok membran amnion juga telah digunakan untuk mencegah
kekambuhan pterigium.Sebagian besar peneliti telah menyatakan bahwa membran
amnion merupakan faktor penting untuk menghambat peradangan, fibrosis dan
epithelialisai.Biasanyateknikinidigunakanpadapterigium yang luas2,7
o Simple Closure
Pinggir dari konjungtiva yang bebas dijahit bersama (efektif jika hanya
defek konjungtiva sangat kecil).
o Sliding Flap
Suatu insisi bentuk L dibuat sekitar luka untuk membentuk flap konjungtiva
untuk menutup luka.
o Rotational Flap

13

Insisi bentuk U dibuat di sekitar luka untuk membentuk lidah dari


konjungtiva yang diputar untuk menutup luka.
o Lamellar Keratoplasty
Excimerlaser fototerapi keratektomi dan yang terbaru denganmengunakan
gabungan steroidangiostatik.
Terapi Tambahan
Tingkat kekambuhan yang tinggi terkait dengan operasi terus menjadi
masalah, karena itu terapi tambahan telah dimasukkan ke dalam pengelolaan
pterigium. Studi telah menunjukkan bahwa tingkat kekambuhan telah berkurang
dengan penambahan terapi ini,tetapi ada komplikasi dari terapi tambahan ini.2
MMC

telah

digunakan

sebagai

pengobatan

tambahan

karena

kemampuannya untuk menghambat fibroblast. Efeknya mirip dengan iradiasi


beta. Namun, dosis minimal yang aman dan efektif belum ditemukan. Ada dua
bentuk MMC yang saat ini digunakan,yaitu aplikasi intraoperatif MMC langsung
ke sklera setelah eksisi pterigium, dan penggunaan obat tetes mata MMC topikal
setelah operasi. Beberapa penelitian sekarang menganjurkan penggunaan MMC
hanya intraoperatif untuk mengurangi toksisitas.2
Sehingga, untuk mencegah kekambuhan setelah operasi, dikombinasikan
pemberian:
-

Mitomycin C 0,02% tetes mata (sitostatika) 2x1 tetes/hari selama 5


hari,bersamaan dengan pemberian dexamethasone 0,1% 4x1 tetes/hari

kemudian tappering offsampai 6 minggu.


Mitomycin C 0,04% (0,4 mg/ml) 4x1 tetes/hari selama 14 hari,
diberikan bersamaan dengan salep matadexamethasone.

14

1.7

Komplikasi
Pterigium dapat menyebabkan komplikasi seperti scar (jaringan parut) pada

konjungtiva dan kornea, distorsi dan penglihatan sentral berkurang, scar pada
rektus medial dapat menyebabkan diplopia.11
Komplikasi post eksisi pterigium, yaitu:

Infeksi, reaksi benang, diplopia, scar kornea, conjungtiva graft longgar,


dan komplikasi yang jarang termasuk perforasi bola mata, vitreous
hemorrhage atau retinal detachment

Penggunaan mytomicin C post dapat menyebabkan ectasia atau melting


pada sklera dan kornea

Komplikasi yang terbanyak pada eksisi pterigium adalah rekuren


pterigium post operasi. Simple eksisi mempunyai tingkat rekuren yang
tinggi kira-kira 50-80 %. Dapat dikurangi dengan teknik conjungtiva
autograft atau amnion graft.

Komplikasi yang jarang adalah malignant degenerasi pada jaringan


epitel di atas pterigium.11

1.8 Prognosis
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi biasanyamenjadi baik.
Rasa tidak nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi,
kebanyakan pasien setelah 24 jam postop dapat beraktivitas kembali. Pasien
dengan rekuren pterigium dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan
autograft atau transplantasi membran amnion.11

15

BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Penderita
Nama

: Tn. M

MR

: 95 95 57

Umur

: 51 tahun

Jenis Kelamin

: Laki-laki
16

Alamat

: Karya Makmur Pasaman Barat

Pekerjaan

: Petani

Agama

: Islam

Suku Bangsa

: Indonesia

2.2 Anamnesis
Seorang pria datang ke RSUP Dr.M.Djamil tanggal 29 Desember 2016 dengan
Keluhan utama

Bayangan ganda pada pandangan mata kanan arah temporal sejak kurang
lebih 2 minggu yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang :
-

Pasien mengeluhkan bayangan ganda pada pandangan mata kanan arah

temporal sejak kurang lebih 2 minggu yang lalu


Pasien sering mengeluhkan mata berair dan sering tampak merah
Pasien mengeluhkan seperti ada benda asing
Pasien post ekstraksi corpus alienum intra orbita OD 1 bulan yang lalu
Riwayat pemakaian lensa kontak disangkal
Riwayat infeksi pada mata disangkal

Riwayat Penyakit Dahulu :


-

Riwayat trauma pada bola mata ada, yaitu corpus alienum intra orbita OD

1 bulan yang lalu


Pasien tidak memiliki riwayat Hipertensi
Pasien tidak memiliki riwayat diabetes mellitus, maupun penyakit sistemik
lainnya.

Riwayat Penyakit Keluarga :

Keluarga tidak ada yang menderita penyakit serupa

Status Oftalmologi
17

Status Ophthalmikus

OD

OS

Visus tanpa koreksi

6/60

6/24

Visus dengan koreksi

5/20

5/20

Refleks fundus

(+)

(+)

Silia / superlia

Trikiasis (-), Madarosis (-)

Trikiasis (-), Madarosis (-)

Palpebra superior

Edem (-), ekimosis (-),


ektropion (-), entropion (-),
lagoftalmus, pseudoptosis
(-), ptosis (-)

Edem (-), ekimosis (-),


ektropion (-), entropion (-),
lagoftalmus, pseudoptosis
(-), ptosis (-)

Palpebra inferior

Edem (-), ekimosis (-),


ektropion (-), entropion (-),
lagoftalmus, pseudoptosis
(-), ptosis (-)

Edem (-), ekimosis (-),


ektropion (-), entropion (-),
lagoftalmus, pseudoptosis
(-), ptosis (-)

Margo palpebra

Ektropion (-), Entropion (-) Ektropion (-), Entropion (-)

Aparatus Lakrimalis

Normal

Normal

Konjungtiva tarsalis

Hiperemis (-)

Hiperemis (-)

Konjungtiva forniks

Hiperemis (+), pelebaran Hiperemis (+)


pembuluh darah (+)

Konjungtiva bulbi

Injeksi konjungtiva
injeksi siliar (-)

Sklera

Putih

Putih

Cornea

Bening,
Jaringan
fibrovaskuler
dengan
puncak melewati limbus di
bagian nasal 2mm

Bening,
Jaringan
fibrovaskuler
dengan
puncak mengenai limbus
dibagian nasal 1mm

COA

Cukup dalam

Cukup dalam

Iris

Coklat , rugae (+)

Coklat, rugae (+)

Pupil

Bulat, Rf +/+, diameter Bulat, Rf +/+, diameter


4mm
3mm

Lensa

Bening

Bening

Corpus Vitreus

Bening

Bening

(+), Injeksi konjungtiva


injeksi siliar (-)

(+),

18

Fundus :
- Media

Bening

Bening

- Papilla N.Optikus

Bulat batas tegas c/d 0,3 0,4

Bulat batas tegas c/d 0,30,4

- P.darah

aa:vv : 2:3

aa:vv : 2:3

- Retina

Perdarahan (-), eksudat (-)

Perdarahan (-), eksudat (-)

- Makula

Reflek fovea (+)

Reflek fovea (+)

Tekanan bulbus oculi

Normal palpasi

Normal palpasi

Posisi bulbus okuli

Ortho

Ortho

Gerakan bulbus oculi

diplopia kea rah kanan

Bebas

Pemeriksaan gerak mata


II

II

II

Kondisi Mata Pasien


OD

OS

DIAGNOSIS KERJA
-

Pterigium ODS stadium II


Diplopia OD

DIAGNOSIS BANDING

19

Pseudopterigium
Pinguecula

TINDAKAN PENGOBATAN
-

Tear eye
Konsultasi ke Neuro Oftalmology untuk Diplopia Citicolin 1x1

ANJURAN EDUKASI
-

Edukasi pasien untuk menggunakan pelindung seperti: kacamata, topi, dll

guna mengurangi kontak dengan sinar UV


Apabila muncul keluhan terkait pterigium seperti penurunan visus segera
ke dokter

PROGNOSIS
Quo ad vitam

: bonam

Quo ad fungsionam: bonam


Quo ad sanationam: dubia ad bonam

20

BAB 3
DISKUSI
Berdasarkan anamnesis, pasien mengeluhkan adanya bayangan ganda pada
mata kanan pasien. Bayangan ganda saat melihat suatu benda (diplopia) dapat
disebabkan karena faktor neurologis atau oftammologis. Diplopia pada pasien ini
terjadi pada satu mata (diplopia monokuler). Penyebab diplopia monokuler dapat
disebabkan karena kesalahan refraksi, defek kornea (seperti astigmatisme
iregular), trauma iris, iridektomi, katarak, defek makular, opasitas media refraksi
dan gangguan korteks visual (biasanya diplopia monokuler bilateral). 12 Dari
anamnesis, riwayat kelainan refraksi sebelumnya disangkal, riwayat penglihatan
bayangan ganda sebelumnya disangkal, riwayat infeksi pada mata disangkal,
riwayat penggunaan lensa kontak juga disangkal. Hal ini dapat menyingkirkan
kemungkinan penyebab diplopia pada pasien ini diakibatkan oleh faktor diatas.
Namun, pada pasien didapatkan adanya riwayat trauma dan post ekstraksi corpus
alienum pada mata kanan lebih kurang 1 bulan yang lalu. Hal ini dapat kita
pikirkan sebagai penyebab timbulnya diplopia pada pasien ini, mungkin saja
terjadi gangguan pada nervus III, IV, dan VI akibat komplikasi tindakan operasi.
Diplopia juga dapat terjadi karena adanya pembatasan gerak okuler akibat adanya
suatu jaringan yang muncul pada mata.13
Selain penglihatan bayangan ganda, pasien juga mengeluhkan mata berair
dan merah. Mata merah dan berair dapat juga ditemui pada beberapa kasus seperti
infeksi (konjungtivitis, blefaritis), inflamasi (iritis, keratitis), pterigium, glaukoma,
dan lainnya. Nyeri yang memberat dapat mengindikasikan suatu keratitis atau
glaukoma akut, gatal atau iritasi ringan biasanya dikeluhkan pasien konjungtivitis
21

namun tidak nyeri hebat. Fotofobia merupakan keadaan mata yang sensitif pada
cahaya, keadaan ini memungkinkan adanya suatu iritis akibat inflamasi kornea.
Halo (warna seperti pelangi) yang terlihat pada sekitar titik cahaya biasanya
merupakan gejala dari udem kornea, bisa juga akibat peningkatan tekanan
intraokuler mendadak seperti pada glaukoma akut. Cairan mata yang bersifat
eksudat merupakan suatu gambaran inflamasi konjungtiva atau kelopak mata dan
biasanya dikeluhkan dengan kelopak mata terasa lengket. 14 Pada pasien ini tidak
ditemukan adanya keluhan seperti nyeri, gatal, fotofobia, halo, eksudat, maupun
riwayat atopi, sehingga dapat disingkirkan penyebab mata merah akibat infeksi,
galukoma, dan alergi. Namun, dari pemeriksaan inspeksi pada mata tampak suatu
jaringan pada konjungtiva yang mengarah ke sentral dan melewati limbus. Hal ini
dapat dicurigai sebagai suatu pterigium, yaitu suatu lesi fibrovaskular berbentuk
segitiga yang berasal dari konjungtiva dan tumbuh serta menginfiltrasi menuju
kornea.1,6,15
Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya asimptomatik, namun
dapat pula berupa mata kering (rasa panas, gatal, atau mata berair) akibat lesi yang
mulai berkembang pada permukaan okular. Seiring dengan progresi penyakit, lesi
bertambah besar dan mulai dapat dilihat dengan mata telanjang, serta dapat
mengganggu kosmetik bagi pasien. Pertumbuhan lebih lanjut akan menyebabkan
gejala pada visus ketika pterigium sudah menutupi daerah pupil atau akibat
astigmatisma kornea akibat fibrosis pada tahap regresif. Diplopia (bayangan
ganda) dapat timbul sebagai akibat pembatasan gerak okular.13
Pterigium sering ditemukan pada petani, nelayan, dan orang-orang yang
tinggal di dekat khatulistiwa. Insiden pada laki-laki tiga kali lebih sering
22

dibanding perempuan.6,7,15 Pada kasus ini, pasien adalah seorang petani kelapa
sawit yang sehari-hari bekerja di kebun dan terpapar oleh sinar matahari. Paparan
sinar matahari dalam waktu lama, terutama ultraviolet (UV), iritasi mata kronis
oleh debu dan kekeringan diduga kuat sebagai penyebab utama terjadinya
pterigium. Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak
dengan ultraviolet, debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan
pertumbuhan konjungtiva bulbi yang menjalar ke kornea. Sinar ultraviolet
diabsorbsi kornea dan konjungtiva menghasilkan kerusakan sel dan proliferasi
sel.15 Sinar UV menyebabkan ekspresi abnormal Ki-67 (marker proliferasi) dan
mutasi pada gen supresor tumor, seperti p53 dan p63 yang menyebabkan
proliferasi abnormal epitel.13
Berdasarkan hasil pemeriksaan status oftalmikus, visus mata kanan pasien
tanpa koreksi 6/60 dan visus mata kiri tanpa koreksi 6/24. Visus mata kanan dan
kiri dengan koreksi 5/20. Penurunan visus pada mata pasien disebabkan adanya
kelainan pada refraksi. Refleks fundus (+) kiri dan kanan, palpebra tidak ada
kelainan, injeksi konjungtiva (+) pada mata kiri dan kanan disebabkan karena
pelebaran pembuluh darah konjungtiva bulbar akibat adanya suatu jaringan yang
tumbuh pada bagian nasal kedua mata. Sklera putih, COA cukup dalam, iris,
pupil, lensa, dan corpus vitreus tidak ada kelainan. Pemeriksaan funduskopi dalam
batas

normal,

pemeriksaan

tekanan

bola

mata

dalam

batas

normal,

mengindikasikan tidak adanya gangguan pada mata bagian posterior. Pemeriksaan


gerak bola mata bagian kanan terdapat diplopia ke arah kanan sedangkan mata kiri
normal. Terjadinya diplopia kearah kanan kemungkinan disebabkan oleh adanya

23

sikatrik pada bekas trauma di bagian nasal mata kanan pasien sehingga
menyebabkan terhambatnya pergerakan otot mata kearah lateral.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan status oftalmikus pasien
diagnosis dengan Pterigium ODS stadium II (karena sudah melewati limbus dan
belum mencapai papil, tidak lebih dari 2 mm melewati kornea 8) dan Diplopia OD.
Terapi yang diberikan pada pasien ini adalah pemberian tear eye dan konsultasi ke
Neuro Oftalmology. Dari hasil konsultasi ke bagian Neuro Oftalmology pasien
ditatalaksana dengan pemberian Citicolin 1x1 untuk diplopia. Terapi pada
pterigium derajat 1-2 yang mengalami inflamasi biasanya diberikan terapi
konservatif, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan
steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari. Namun harus diingat bahwa penggunaan
kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi
atau mengalami kelainan pada kornea.1,4,13
Citicolin merupakan obat neuroproteksi diberikan untuk melindungi
kerusakan mata akibat degenerasi saraf optik.16 Terapi pembedahan terhadap
pasien ini belum diperlukan, sebab indikasi tindakan pembedahan pada pterigium
adalah pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus,
pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil,
pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena
astigmatisma, serta alasan kosmetik (terutama untuk penderita wanita).6
Secara umum prognosis untuk kesembuhan akibat pterigium adalah baik,
dengan prognosis terhadap kehidupan adalah bonam (baik) sebab pterigium tidak
mengancam jiwa. Biasanya selama tidak menimbulkan gejala dan setelah
ditatalaksana dengan baik, prognosis dari fungsi mata pada pasien pterigium
24

adalah bonam. Meskipun begitu tidak menutup kemungkinan dapat terjadi


pterigium berulang bila faktor risikonya tidak dihindari. Sehingga prognosis
terhadap kesembuhan dari pterigium ini adalah dubia ad bonam.
Selain memberikan terapi kita juga harus memberikan edukasi kepada pasien
agar dapat menghindari faktor risiko yang dapat mencetuskan kembali
pterigiumnya. Oleh karena pterigium sering ditemukan pada daerah-daerah tropis
maka edukasi yang dapat diberikan yaitu penggunaan kacamata atau pelindung
mata serta penggunaan topi saat bekerja di bawah terik matahari dan selalu
menjaga hygiene kedua mata. Apabila muncul keluhan terkait pterigium seperti
penurunan visus, mata merah berair dan keluhan lainnya segera ke dokter.

DAFTAR PUSTAKA

25

1. Sidarta Ilyas. Ilmu Penyakit Mata edisi keempat. 2013. Jakarta: FK UI.
2. Benitez JM et al. Ocular Surface Disorders. 2013. London :JP Medical
Publishers
3. Gazzard G, Saw S-M, Farook M, Koh D, Wijaya D, et all. Pterygium in
Indonesia: prevalence, severity and risk factors. British Journal of
Ophthalmology.

2002;86(12):

13411346.

Available

at:

http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1771435/
4. Vaughan, Daniel G., Asbury Taylor, Riordan Eva-Paul. Oftalmologi Umum.
Edisi 14. Jakarta:Widya Medika. 2000. hal 5-6.
5. Sidarta Ilyas, dkk. Ilmu Penyakit Mata edisi ke-2. 2002. Jakarta: Sagung Seto.
6. Hamurwono GD, Nainggolan SH, Soekraningsih. Buku Pedoman Kesehatan
Mata dan Pencegahan Kebutaan Untuk Puskesmas. Jakarta: Direktorat Bina
Upaya Kesehatan Puskesmas Ditjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat
Departemen Kesehatan, 1984. 14-17
7. American Academy of Ophtalmology. Basic and Clinical Science Course
section 8 External Disease and Cornea. 2011-2012. p: 332&391
8. T H Tan Donald et all. Pterygium clinical Ophtalmology An Asian
Perspective, Chapter 3.2.Saunders Elsevier. Singapore. 2005. p:207-214.
9. Khurana A. K. Community Ophtalmology in Comprehensive Ophtalmologi.
Fourth Edition. Chapter 20. New Delhi. New Age International Limited
Publisher. 2007. p: 443-457
10. D Gondhowiardjo Tjahjono, Simanjuntak WS Gilbert. Pterygium: Panduan
Manajemen Klinis Perdami. CV Ondo. Jakarta. 2006. p: 56-58
11. Jerome

Fisher.

Pterygium.

2009.

available

at:

http://emedicine.medscape.com/article/1192527-followup
12. Danchaivijitr C, Kennard C. Diplopia and eye movement disorders. J Neurol
Neurosurg Psychiatry. 2004. p:iv24-iv31.
13. American Academy of Ophthalmology. Clinical Approach to Depositions and
Degenerations of the Conjunctiva, Cornea, and Sclera Chapter 17. In External
Disease and Cornea. 2012. Singapore: Lifelong Education Ophthalmologist.
14. Artini W, Hutauruk JA, Yudisianil. 2011. Pemeriksaan dasar mata.
Departemen Ilmu Kesehatan Mata RS. Cipto Mangunkusumo. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
26

15. Detorakis T, Spandidos Demetrios. 2009. Pathogenetic mechanisms and


treatment options for ophthalmic pterygium: Trends and perspectives
(Review).

Department

Of

Opthalmology,

University

Hospital

of

Heraklion,Crete, Greece
16. Suyatna, Frans. 2010. Farmakologi klinik citicoline. Available from:
www.kalbemed.com/portals [Diakses 1 Januari 2017].
17. Besharati MR, Manaviat MR, Souzani A. Subconjuctival Bevacizumab
Injection in Treatment of Pterygium. 2011. Tehran: Acta Medica Iranica.

27

Anda mungkin juga menyukai