PTERIGIUM
Oleh :
Harsya Luthfi Anshari
1110313052
1210313010
Mia EkaPutri
1210312042
Preseptor :
dr. Kemala Sayuti, SpM (K)
dr. Havriza Vitresia, SpM (K)
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................1
BAB 1. TINJAUAN PUSTAKA.............................................................................2
11. Definisi..................................................................................................2
1.2. Etiologi dan Faktor Resiko....................................................................2
1.3. Patofisiologi...........................................................................................3
1.4. Gambaran Klinis....................................................................................5
1.5. Diagnosis...............................................................................................6
1.6. Tatalaksana .........................................................................................10
1.7. Komplikasi..........................................................................................14
1.8. Prognosis.............................................................................................15
BAB 2.LAPORAN KASUS...................................................................................16
BAB 3. DISKUSI...................................................................................................20
DAFTAR PUSTAKA............................................................................................25
BAB I
TINJAUAN PUSTAKA
1. PTERIGIUM
1.1
Definisi
Pterigium merupakan pertumbuhan fibrovaskuler konjungtiva yang bersifat
Gambar 1. Pterigium
1.2
radiasi UV matahari, iritasi kronik dari bahan tertentu di udara, dan faktor
herediter.
a. Radiasi Ultraviolet
Paparan sinar matahari, waktu di luar ruangan, penggunaan kacamata
dan topi mempengaruhi resiko terjadinya pterigium. Sinar ultraviolet
diabsorbsi kornea dan konjungtiva mengakibatkan kerusakan sel dan
proliferasi sel.
b. Faktor Genetik
Berdasarkan penelitian case control menunjukkan riwayat keluarga
dengan pterigium, kemungkinan diturunkan secara autosomal dominan.
c. Faktor lain
Iritasi kronik atau inflamasi yang terjadi pada area limbus atau perifer
kornea merupakan pendukung terjadinya teori keratitis kronik dan
terjadinya limbal defisiensi, dan saat ini merupakan teori baru
patogenesis dari pterigium. Debu, kelembaban yang rendah, dan trauma
kecil dari bahan partikel tertentu, dry eyes, dan virus papiloma juga
diduga sebagai penyebab dari pterigium.3,7
Etiologi pterigium tidak diketahui dengan jelas. Namun, karena lebih sering
terjadi pada orang yang tinggal di daerah beriklim panas, maka gambaran yang
paling diterima tentang hal tersebut adalah respon terhadap faktor-faktor
lingkungan seperti paparan terhadap matahari (ultraviolet), daerah kering,
inflamasi, daerah angin kencang dan debu atau faktor iritan lainnya. Pengeringan
lokal dari kornea dan konjungtiva pada fisura interpalpebralis disebabkan oleh
karena kelainan tear film bisa menimbulkan pertumbuhan fibroblastik baru
merupakan salah satu teori. Tingginya insiden pterigium pada daerah dingin, iklim
kering mendukung teori ini.6,7
1.3
Patofisiologi
Insiden pterigium meningkat pada orang dan populasi yang terus menerus
terpapar radiasi matahari yang berlebihan. Dalam hal ini sinar UV memainkan
bagian yang penting dalam patogenesis penyakit ini. Sinar UV memulai rantai
debu,
kekeringan
mengakibatkan
terjadinya
penebalan
dan
Gambaran Klinis
Pterigium yang berkembang dengan sempurna memiliki tiga bagian7:
1.
2.
3.
2.
3.
4.
Pada pterigium yang lanjut (derajat 3 dan 4) dapat menutupi pupil dan
aksis visual sehingga tajam penglihatan menurun
1.5
Diagnosis pterigium
1. Anamnesis
Identitas pasien sangat perlu untuk ditanyakan. Selain sebagai data
administrasi dan data awal pasien, identitas tertentu juga sangat perlu untuk
mengetahui faktor resiko pterigium. Pterigium lebih sering pada kelompok
usia 20-30 tahun dan jenis kelamin laki-laki. Riwayat pekerjaan juga sangat
6
Gamba
r 3.Derajat pembuluh darah2
Secara klinis pterigium dapat dibedakan dengan pinguekula dan
pseudopterigium.
Pembeda
Definisi
Warna
Letak
6:
Progresif
Reaksi
kerusakan
permukaan
kornea
sebelumnya
Pembuluh
darah
konjungtiva
Pterigium
Jaringan
fibrovaskular
konjungtiva
bulbi berbentuk
segitiga
Putih
kekuningan
Celah kelopak
bagian
nasal
atau temporal
yang meluas ke
arah kornea
>
Sedang
Tidak ada
Pinguekula
Benjolan pada
konjungtiva
bulbi
Pseudopterigium
Perlengketan
konjungtiba bulbi
dengan kornea yang
cacat
Putih-kuning
keabu-abuan
Celah kelopak
mata terutama
bagian nasal
Putih kekuningan
=
Tidak
Tidak ada
Pada
daerah
konjungtiva yang
terdekat
dengan
proses
kornea
sebelumnya
=
Tidak
Ada
Lebih menonjol
Menonjol
Normal
10
Sonde
Tidak
dapat Tidak
dapat Dapat diselipkan di
diselipkan
diselipkan
bawah lesi karena
tidak melekat pada
limbus
Puncak
Ada
pulau- Tidak ada
Tidak ada (tidak ada
pulau Funchs
head, cap, body)
(bercak kelabu)
Histopatologi Epitel ireguler Degenerasi
Perlengketan
dan degenerasi hialin jaringan
hialin
dalam submukosa
stromanya
konjungtiva
Tabel 1. Diagnosis banding pterigium
1.6
Penatalaksanaan Pterigium
Prinsip penanganan pterigium dibagi 2, yaitu cukup dengan pemberian obat-
obatan jika pterigium masih derajat 1 dan 2, sedangkan tindakan bedah dilakukan
pada pterygium yang melebihi derajat 2. Tindakan bedah juga dipertimbangkan
pada pterigium derajat 1 atau 2 yang telah mengalami gangguan penglihatan.
Pengobatan tidak diperlukan karena bersifat rekuren, terutama pada pasien yang
masih muda. Bila pterigium meradang dapat diberikan steroid atau suatu tetes
mata dekongestan. Lindungi mata yang terkena pterigium dari sinar matahari,
debu dan udara kering dengan kacamata pelindung. Bila terdapat tanda radang
beri air mata buatan bila perlu dapat diberikan steroid. Bila terdapat delen
(lekukan kornea) beri air mata buatan dalam bentuk salep. Bila diberi
vasokonstriktor maka perlu control dalam 2 minggu dan bila telah terdapat
perbaikan pengobatan dihentikan.1
Pada saat ini telah dikembangkan suatu metode baru dalam pengobatan
pterigium untuk derajat 1 dan 2, yaitu dengan prinsip pemberian obat golongan
avastin yaitu obat yang menghambat dalam sistem vascular endothelial growth
factor (VEGF). Berdasarkan penelitian terbaru didapatkan bahwa VEGF ini
11
ditemukan pada pasien pterigium dimana biasanya VEGF ini ditemukan pada
pasien penderita age related macular degeneration (ARMD) dan pasien dengan
Diabetic macular edema. Bevacizummab (avastin) adalah human monoclonal
antibody VEGF yang bekerja menghambat dari perkembangan VEGF. Pemberian
avastin dapat menghambat perkembangan fibrovaskular pada pterigium derajat
awal.17
Indikasi untuk eksisi pterigium adalah ketidaknyamanan yang menetap
termasuk gangguan penglihatan, ukuran pterigium >3-4 mm, pertumbuhan yang
progresif menuju tengah kornea atau visual axis dan adanya gangguan pergerakan
bola mata.
Indikasi Operasi pterigium:
1. Pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus.
2. Pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi
pupil.
3. Pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan
silau karena astigmatismus.
4. Kosmetik, terutama untuk penderita wanita.6
Teknik Pembedahan1,7
Tantangan utama dari terapi pembedahan pterigium adalah kekambuhan,
dibuktikan dengan pertumbuhan fibrovascular di limbus ke kornea. Banyak teknik
bedah telah digunakan, meskipun tidak ada yang diterima secara universal karena
tingkat kekambuhan yang variabel. Terlepas dari teknik yang digunakan, eksisi
pterigium adalah langkah pertama untuk perbaikan. Keuntungan termasuk
epithelisasi yang lebih cepat, jaringan parut yang minimal dan halus dari
permukaan kornea.1
o Teknik Bare Sclera
12
13
telah
digunakan
sebagai
pengobatan
tambahan
karena
14
1.7
Komplikasi
Pterigium dapat menyebabkan komplikasi seperti scar (jaringan parut) pada
konjungtiva dan kornea, distorsi dan penglihatan sentral berkurang, scar pada
rektus medial dapat menyebabkan diplopia.11
Komplikasi post eksisi pterigium, yaitu:
1.8 Prognosis
Penglihatan dan kosmetik pasien setelah dieksisi biasanyamenjadi baik.
Rasa tidak nyaman pada hari pertama postoperasi dapat ditoleransi,
kebanyakan pasien setelah 24 jam postop dapat beraktivitas kembali. Pasien
dengan rekuren pterigium dapat dilakukan eksisi ulang dan graft dengan
autograft atau transplantasi membran amnion.11
15
BAB II
LAPORAN KASUS
2.1 Identitas Penderita
Nama
: Tn. M
MR
: 95 95 57
Umur
: 51 tahun
Jenis Kelamin
: Laki-laki
16
Alamat
Pekerjaan
: Petani
Agama
: Islam
Suku Bangsa
: Indonesia
2.2 Anamnesis
Seorang pria datang ke RSUP Dr.M.Djamil tanggal 29 Desember 2016 dengan
Keluhan utama
Bayangan ganda pada pandangan mata kanan arah temporal sejak kurang
lebih 2 minggu yang lalu.
Riwayat Penyakit Sekarang :
-
Riwayat trauma pada bola mata ada, yaitu corpus alienum intra orbita OD
Status Oftalmologi
17
Status Ophthalmikus
OD
OS
6/60
6/24
5/20
5/20
Refleks fundus
(+)
(+)
Silia / superlia
Palpebra superior
Palpebra inferior
Margo palpebra
Aparatus Lakrimalis
Normal
Normal
Konjungtiva tarsalis
Hiperemis (-)
Hiperemis (-)
Konjungtiva forniks
Konjungtiva bulbi
Injeksi konjungtiva
injeksi siliar (-)
Sklera
Putih
Putih
Cornea
Bening,
Jaringan
fibrovaskuler
dengan
puncak melewati limbus di
bagian nasal 2mm
Bening,
Jaringan
fibrovaskuler
dengan
puncak mengenai limbus
dibagian nasal 1mm
COA
Cukup dalam
Cukup dalam
Iris
Pupil
Lensa
Bening
Bening
Corpus Vitreus
Bening
Bening
(+),
18
Fundus :
- Media
Bening
Bening
- Papilla N.Optikus
- P.darah
aa:vv : 2:3
aa:vv : 2:3
- Retina
- Makula
Normal palpasi
Normal palpasi
Ortho
Ortho
Bebas
II
II
OS
DIAGNOSIS KERJA
-
DIAGNOSIS BANDING
19
Pseudopterigium
Pinguecula
TINDAKAN PENGOBATAN
-
Tear eye
Konsultasi ke Neuro Oftalmology untuk Diplopia Citicolin 1x1
ANJURAN EDUKASI
-
PROGNOSIS
Quo ad vitam
: bonam
20
BAB 3
DISKUSI
Berdasarkan anamnesis, pasien mengeluhkan adanya bayangan ganda pada
mata kanan pasien. Bayangan ganda saat melihat suatu benda (diplopia) dapat
disebabkan karena faktor neurologis atau oftammologis. Diplopia pada pasien ini
terjadi pada satu mata (diplopia monokuler). Penyebab diplopia monokuler dapat
disebabkan karena kesalahan refraksi, defek kornea (seperti astigmatisme
iregular), trauma iris, iridektomi, katarak, defek makular, opasitas media refraksi
dan gangguan korteks visual (biasanya diplopia monokuler bilateral). 12 Dari
anamnesis, riwayat kelainan refraksi sebelumnya disangkal, riwayat penglihatan
bayangan ganda sebelumnya disangkal, riwayat infeksi pada mata disangkal,
riwayat penggunaan lensa kontak juga disangkal. Hal ini dapat menyingkirkan
kemungkinan penyebab diplopia pada pasien ini diakibatkan oleh faktor diatas.
Namun, pada pasien didapatkan adanya riwayat trauma dan post ekstraksi corpus
alienum pada mata kanan lebih kurang 1 bulan yang lalu. Hal ini dapat kita
pikirkan sebagai penyebab timbulnya diplopia pada pasien ini, mungkin saja
terjadi gangguan pada nervus III, IV, dan VI akibat komplikasi tindakan operasi.
Diplopia juga dapat terjadi karena adanya pembatasan gerak okuler akibat adanya
suatu jaringan yang muncul pada mata.13
Selain penglihatan bayangan ganda, pasien juga mengeluhkan mata berair
dan merah. Mata merah dan berair dapat juga ditemui pada beberapa kasus seperti
infeksi (konjungtivitis, blefaritis), inflamasi (iritis, keratitis), pterigium, glaukoma,
dan lainnya. Nyeri yang memberat dapat mengindikasikan suatu keratitis atau
glaukoma akut, gatal atau iritasi ringan biasanya dikeluhkan pasien konjungtivitis
21
namun tidak nyeri hebat. Fotofobia merupakan keadaan mata yang sensitif pada
cahaya, keadaan ini memungkinkan adanya suatu iritis akibat inflamasi kornea.
Halo (warna seperti pelangi) yang terlihat pada sekitar titik cahaya biasanya
merupakan gejala dari udem kornea, bisa juga akibat peningkatan tekanan
intraokuler mendadak seperti pada glaukoma akut. Cairan mata yang bersifat
eksudat merupakan suatu gambaran inflamasi konjungtiva atau kelopak mata dan
biasanya dikeluhkan dengan kelopak mata terasa lengket. 14 Pada pasien ini tidak
ditemukan adanya keluhan seperti nyeri, gatal, fotofobia, halo, eksudat, maupun
riwayat atopi, sehingga dapat disingkirkan penyebab mata merah akibat infeksi,
galukoma, dan alergi. Namun, dari pemeriksaan inspeksi pada mata tampak suatu
jaringan pada konjungtiva yang mengarah ke sentral dan melewati limbus. Hal ini
dapat dicurigai sebagai suatu pterigium, yaitu suatu lesi fibrovaskular berbentuk
segitiga yang berasal dari konjungtiva dan tumbuh serta menginfiltrasi menuju
kornea.1,6,15
Gejala klinis pterigium pada tahap awal biasanya asimptomatik, namun
dapat pula berupa mata kering (rasa panas, gatal, atau mata berair) akibat lesi yang
mulai berkembang pada permukaan okular. Seiring dengan progresi penyakit, lesi
bertambah besar dan mulai dapat dilihat dengan mata telanjang, serta dapat
mengganggu kosmetik bagi pasien. Pertumbuhan lebih lanjut akan menyebabkan
gejala pada visus ketika pterigium sudah menutupi daerah pupil atau akibat
astigmatisma kornea akibat fibrosis pada tahap regresif. Diplopia (bayangan
ganda) dapat timbul sebagai akibat pembatasan gerak okular.13
Pterigium sering ditemukan pada petani, nelayan, dan orang-orang yang
tinggal di dekat khatulistiwa. Insiden pada laki-laki tiga kali lebih sering
22
dibanding perempuan.6,7,15 Pada kasus ini, pasien adalah seorang petani kelapa
sawit yang sehari-hari bekerja di kebun dan terpapar oleh sinar matahari. Paparan
sinar matahari dalam waktu lama, terutama ultraviolet (UV), iritasi mata kronis
oleh debu dan kekeringan diduga kuat sebagai penyebab utama terjadinya
pterigium. Konjungtiva bulbi selalu berhubungan dengan dunia luar. Kontak
dengan ultraviolet, debu, kekeringan mengakibatkan terjadinya penebalan dan
pertumbuhan konjungtiva bulbi yang menjalar ke kornea. Sinar ultraviolet
diabsorbsi kornea dan konjungtiva menghasilkan kerusakan sel dan proliferasi
sel.15 Sinar UV menyebabkan ekspresi abnormal Ki-67 (marker proliferasi) dan
mutasi pada gen supresor tumor, seperti p53 dan p63 yang menyebabkan
proliferasi abnormal epitel.13
Berdasarkan hasil pemeriksaan status oftalmikus, visus mata kanan pasien
tanpa koreksi 6/60 dan visus mata kiri tanpa koreksi 6/24. Visus mata kanan dan
kiri dengan koreksi 5/20. Penurunan visus pada mata pasien disebabkan adanya
kelainan pada refraksi. Refleks fundus (+) kiri dan kanan, palpebra tidak ada
kelainan, injeksi konjungtiva (+) pada mata kiri dan kanan disebabkan karena
pelebaran pembuluh darah konjungtiva bulbar akibat adanya suatu jaringan yang
tumbuh pada bagian nasal kedua mata. Sklera putih, COA cukup dalam, iris,
pupil, lensa, dan corpus vitreus tidak ada kelainan. Pemeriksaan funduskopi dalam
batas
normal,
pemeriksaan
tekanan
bola
mata
dalam
batas
normal,
23
sikatrik pada bekas trauma di bagian nasal mata kanan pasien sehingga
menyebabkan terhambatnya pergerakan otot mata kearah lateral.
Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan status oftalmikus pasien
diagnosis dengan Pterigium ODS stadium II (karena sudah melewati limbus dan
belum mencapai papil, tidak lebih dari 2 mm melewati kornea 8) dan Diplopia OD.
Terapi yang diberikan pada pasien ini adalah pemberian tear eye dan konsultasi ke
Neuro Oftalmology. Dari hasil konsultasi ke bagian Neuro Oftalmology pasien
ditatalaksana dengan pemberian Citicolin 1x1 untuk diplopia. Terapi pada
pterigium derajat 1-2 yang mengalami inflamasi biasanya diberikan terapi
konservatif, pasien dapat diberikan obat tetes mata kombinasi antibiotik dan
steroid 3 kali sehari selama 5-7 hari. Namun harus diingat bahwa penggunaan
kortikosteroid tidak dibenarkan pada penderita dengan tekanan intraokular tinggi
atau mengalami kelainan pada kornea.1,4,13
Citicolin merupakan obat neuroproteksi diberikan untuk melindungi
kerusakan mata akibat degenerasi saraf optik.16 Terapi pembedahan terhadap
pasien ini belum diperlukan, sebab indikasi tindakan pembedahan pada pterigium
adalah pterigium yang menjalar ke kornea sampai lebih 3 mm dari limbus,
pterigium mencapai jarak lebih dari separuh antara limbus dan tepi pupil,
pterigium yang sering memberikan keluhan mata merah, berair dan silau karena
astigmatisma, serta alasan kosmetik (terutama untuk penderita wanita).6
Secara umum prognosis untuk kesembuhan akibat pterigium adalah baik,
dengan prognosis terhadap kehidupan adalah bonam (baik) sebab pterigium tidak
mengancam jiwa. Biasanya selama tidak menimbulkan gejala dan setelah
ditatalaksana dengan baik, prognosis dari fungsi mata pada pasien pterigium
24
DAFTAR PUSTAKA
25
1. Sidarta Ilyas. Ilmu Penyakit Mata edisi keempat. 2013. Jakarta: FK UI.
2. Benitez JM et al. Ocular Surface Disorders. 2013. London :JP Medical
Publishers
3. Gazzard G, Saw S-M, Farook M, Koh D, Wijaya D, et all. Pterygium in
Indonesia: prevalence, severity and risk factors. British Journal of
Ophthalmology.
2002;86(12):
13411346.
Available
at:
http://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC1771435/
4. Vaughan, Daniel G., Asbury Taylor, Riordan Eva-Paul. Oftalmologi Umum.
Edisi 14. Jakarta:Widya Medika. 2000. hal 5-6.
5. Sidarta Ilyas, dkk. Ilmu Penyakit Mata edisi ke-2. 2002. Jakarta: Sagung Seto.
6. Hamurwono GD, Nainggolan SH, Soekraningsih. Buku Pedoman Kesehatan
Mata dan Pencegahan Kebutaan Untuk Puskesmas. Jakarta: Direktorat Bina
Upaya Kesehatan Puskesmas Ditjen Pembinaan Kesehatan Masyarakat
Departemen Kesehatan, 1984. 14-17
7. American Academy of Ophtalmology. Basic and Clinical Science Course
section 8 External Disease and Cornea. 2011-2012. p: 332&391
8. T H Tan Donald et all. Pterygium clinical Ophtalmology An Asian
Perspective, Chapter 3.2.Saunders Elsevier. Singapore. 2005. p:207-214.
9. Khurana A. K. Community Ophtalmology in Comprehensive Ophtalmologi.
Fourth Edition. Chapter 20. New Delhi. New Age International Limited
Publisher. 2007. p: 443-457
10. D Gondhowiardjo Tjahjono, Simanjuntak WS Gilbert. Pterygium: Panduan
Manajemen Klinis Perdami. CV Ondo. Jakarta. 2006. p: 56-58
11. Jerome
Fisher.
Pterygium.
2009.
available
at:
http://emedicine.medscape.com/article/1192527-followup
12. Danchaivijitr C, Kennard C. Diplopia and eye movement disorders. J Neurol
Neurosurg Psychiatry. 2004. p:iv24-iv31.
13. American Academy of Ophthalmology. Clinical Approach to Depositions and
Degenerations of the Conjunctiva, Cornea, and Sclera Chapter 17. In External
Disease and Cornea. 2012. Singapore: Lifelong Education Ophthalmologist.
14. Artini W, Hutauruk JA, Yudisianil. 2011. Pemeriksaan dasar mata.
Departemen Ilmu Kesehatan Mata RS. Cipto Mangunkusumo. Jakarta: Badan
Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.
26
Department
Of
Opthalmology,
University
Hospital
of
Heraklion,Crete, Greece
16. Suyatna, Frans. 2010. Farmakologi klinik citicoline. Available from:
www.kalbemed.com/portals [Diakses 1 Januari 2017].
17. Besharati MR, Manaviat MR, Souzani A. Subconjuctival Bevacizumab
Injection in Treatment of Pterygium. 2011. Tehran: Acta Medica Iranica.
27