Anda di halaman 1dari 22

Case Report Session

PenyakitParuObstruktifKronik

DisusunOleh:

AlanMustaqim

1210311019

DwivaTryRakhmawati

1210313010

Preseptor:
dr.YessySusantySabri,Sp.P(K)
dr.SabrinaErmayanti,Sp.P(K)

BAGIANPARU
RSUPDR.M.DJAMILPADANG
FAKULTASKEDOKTERANUNIVERSITASANDALAS
2016

BAB I
PENDAHULUAN

1.1

Latar Belakang
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit dapat dicegah dan diobati,
ditandai dengan keterbatasan aliran udara yang terus-menerus yang biasanya progresif
dan berhubungan dengan respons inflamasi kronis pada saluran napas dan paru-paru
terhadap partikel atau gas yang beracun. Prevalensi kejadian PPOK di dunia rata-rata
berkisar 3-11%.
PPOK merupakan salah satu dari kelompok penyakit tidak menular yang menjadi
masalah kesehatan masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan oleh meningkatnya usia
harapan hidup dan semakin tingginya pajanan faktor resiko, seperti banyaknya jumlah
perokok, serta pencemaran udara didalam ruangan maupun diluar ruangan. Berdasarkan
sudut pandang epidemiologi, laki-laki lebih berisiko terkena PPOK dibandingkan dengan
wanita karena kebiasaan merokok.
Menurut Riset Kesehatan Dasar, pada tahun 2007 angka kematian akibat PPOK
menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab kematian di Indonesia dan prevalensi PPOK
rata-rata sebesar 3,7%. Propinsi Sumatra Barat berada pada urutan ke-23 berdasarkan
jumlah penderita PPOK di Indonesia, dengan prevalensi sebesar 3,0%.
Masalah utama dan alasan paling sering yang menyebabkan penderita PPOK mencari
pengobatan adalah sesak napas yang diderita yang bersifat persisten dan progresif.
Gambaran khas PPOK adalah adanya obstruksi saluran napas yang sangat bervariasi,
mulai dari tanpa gejala, gejala ringan, hingga berat. Sehingga menyababkan keterbatasan
dalam aktivitas sehari-hari penderita yang bergantung pada beratnya sesak, semakin berat
derajat sesak napas, maka semakin sulit penderita melakukan aktivitas. Akibat sesak
napas yang dirasakan, penderita PPOK cenderung menghindari aktivitas fisik dan
aktivitas sehari-hari, sehingga akan menyebabkan immobilisasi, hubungan pasien dengan

aktivitas sosial menurun dan akhirnya akan berpengaruh terhadap kualitas hidup
penderita.
1.2
Batasan Penulisan
Case Report Session ini membahas mengenai definisi, faktor resiko, patogenesis,
diagnosis, penatalaksanaan, komplikasi, serta prognosis PPOK.
1.3
Tujuan Penulisan
Penulisan Case Report Session ini bertujuan untuk menambah pengetahuan penulis
tentang PPOK.
1.4
Manfaat Penulisan
Makalah ini diharapkan dapat bermanfaat dalam memberikan informasi dan
pengetahuan tentang PPOK.
1.5
Metode Penulisan
Penulisan Case Report Session ini menggunakan metode tinjauan pustaka dengan
mengacu pada berbagai literatur.

BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1

Definisi
PPOK adalah suatu penyakit dapat dicegah dan diobati, ditandai dengan keterbatasan

aliran udara yang ireversibel, biasanya progresif dan berhubungan dengan respons inflamasi
kronis pada saluran napas dan paru-paru terhadap partikel atau gas yang beracun, disertai
efek ekstra paru yang berkontribusi terhadap derajat sesak (GOLD 2015).
PPOK stabil adalah keadaan PPOK yang tidak dalam kondisi gagal napas akut, hasil
analisa gas darah menunjukkan PCO2 <45mmHg dan PO2 > 60 mmHg, sputum tidak
berwarna atau jernih, aktivitas terbatas tidak disertai sesak sesuai derajat berat PPOK
berdasarkan hasil spirometry, penggunaan bronkodilator sesuai rencana pengobatan dan tidak
ada penggunaan bronkodilator tambahan (PDPI, 2011).
2.2
Faktor Resiko
Berdasarkan Faktor resiko penyebab terjadinya Penyakit Paru Obstruktif Kronik
antara lain, yaitu :
1. Asap Rokok
Kebiasaan merokok merupakan penyebab utama yang terpenting. Angka kematian
pada perokok mempunyai nilai yang bermakna dibandingkan dengan bukan perokok.
Risiko PPOK pada perokok tergantung dari dosis rokok yang dihisap, usia mulai
merokok, jumlah batang rokok pertahun dan lamanya merokok (Indeks Brinkman). Tidak
semua perokok berkembang menjadi PPOK secara klinis, karena dipengaruhi oleh faktor
resiko genetik pada individu. Perokok pasif atau dikenal sebagai enviromental tobacco
smoke (ETS) dapat juga memberi kontribusi terjadinya gejala respirasi dan PPOK,
karena terjadi peningkatan jumlah inhalasi partikel dan gas (PDPI, 2011).

2. Polusi Udara

Berbagai macam partikel dan gas di udara sekitar dapat menjadi penyebab terjadinya
polusi udara. Agar mempermudah mengidentifikasi partikel penyebab, polusi udara
terbagi menjadi;
- Polusi udara di luar ruangan
Mekanisme kontribusi polusi udara luar ruangan seperti polutan di atmosfer
dengan terjadinya PPOK belum jelas, tetapi prevalensinya lebih kecil dibandingkan
dengan asap rokok (PDPI, 2011)
-

Polusi udara di dalam ruangan


Pembakaran biomassa yang biasanya melibatkan kayu bakar, sisa tanaman, dan
kotoran hewan sebagai bahan bakar untuk memasak dapat menghasilkan berbagai
polutan ke udara yang bersifat racun bagi tubuh. Di daerah pedesaan di negara-negara
berkembang, pembakaran bahan bakar biomassa sering dilakukan di dalam ruangan,
dengan fasilitas ventilasi yang terbatas. Sehingga efek lebih terlihat pada wanita,
karena wanita lebih banyak menghabiskan waktu untuk memasak. Dengan
karakteristik klinis, gangguan kualitas hidup dan peningkatan mortalitas yang sama
luasnya dengan mereka yang perokok tembakau (Orozco et al., 2006).

3. Genetik
Merokok merupakan faktor risiko yang paling penting, namun tidak semua perokok
berkembang menjadi PPOK, sehingga menegaskan bahwa faktor genetik mungkin
terlibat (Molfino & Coyle, 2008). Faktor genetik dan PPOK dapat muncul jika ada
interaksi antara suatu genetik tertentu yang berinteraksi dengan lingkungan, yaitu antara
merokok dan gen yang rentan. Faktor genetik pada PPOK berkembang secara luas sejak
ditemukannya defisiensi berat dari -1 antitrypsin pada tahun 1963 yang kemudian
dikenal sebagai faktor genetik terpenting sebagai penyebab PPOK (Eisner et al., 2010).
4. Infeksi saluran napas bawah berulang

Infeksi saluran napas berat pada anak akan menyebabkan penurunan fungsi paru dan
meningkatkan gejala respirasi saat dewasa (GOLD, 2015). Penyebabnya adalah karena
seringnya kejadian infeksi berat pada anak sebagai penyebab dasar timbulnya
hiperesponsif jalan napas yang merupakan faktor resiko PPOK (PDPI, 2011).
Infeksi virus dan bakteri berperan dalam patogenesis dan progresifitas PPOK.
Kolonisasi bakteri menyebabkan inflamasi jalan napas, secara bermakna berperan
penting dalam menimbulkan eksaserbasi (PDPI, 2011).
5. Usia dan Jenis Kelamin
Prevalensi PPOK meningkat dengan usia. Seiring bertambahnya usia, terjadi
penurunan fisiologis fungsi pernapasan yang dimulai sekitar usia 30-40 tahun, karena
peningkatan harapan hidup di negara-negara maju, proporsi subjek yang lebih tua dengan
PPOK juga semakin meningkat (Raherison & Girodet, 2009).
Berdasarkan sudut pandang epidemiologi, laki-laki lebih berisiko terkena PPOK
dibandingkan dengan wanita karena kebiasaan merokok. Tetapi pada negara dimana
perempuan yang merokok sebanyak laki-laki tampaknya memiliki risiko yang setara.
6. Asma
Asma berkemungkinan menjadi faktor resiko terjadinya PPOK, walaupun belum
dapat disimpulkan secara pasti. Pada laporan Tucson Epidemiological Study didapatkan
bahwa orang dengan asma 12 kali lebih tinggi resiko terkena PPOK daripada bukan
asma, meskipun telah berhenti merokok. Penelitian lain menyebutkan bahwa 20% dari
asma akan berkembang menjadi PPOK dengan ditemukannya obstruksi jalan napas
ireversibel (PDPI, 2011).
2.3

Etiologi
Pneumonia komuniti
Klebsiella pneumoniae 45,18%,

Pneumonia nosokomial
Bukan multi drug resistance (MDR)

Streptococcus pneumoniae 14,04%,

misalnya S.pneumoniae, H. Influenzae,

Streptococcus viridans 9,21%,

Methicillin Sensitive Staphylococcus

Staphylococcus aureus 9%, Pseudomonas

aureus (MSSA).

aeruginosa 8,56%, Steptococcus


hemolyticus 7,89%, Enterobacter 5,26%
Pseudomonas spp 0,9%
MDR

Pseudomonas

Escherichia

coli,

aeruginosa,
Klebsiella

pneumoniae, Acinetobacter spp dan


Gram

positif

seperti

Methicillin

Resistance Staphylococcus aureus.


2.4

Patogenesis
Inflamasi dari saluran napas pasien PPOK merupakan interaksi dari faktor resiko
yang telah dibahas sebelumnya. Inflamasi tersebut melibatkan sel-sel seperti neutrofil,
makrofag, dan limfosit yang akan melepaskan mediator inflamasi dan berinteraksi
dengan sel-sel struktural dalam saluran napas dan parenkim paru. Mediator inflamasi
dapat menarik sel-sel inflamasi lain dari sirkulasi ke jaringan (faktor kemotaktik),
menguatkan proses inflamasi (sitokin pro inflamasi) dan mendorong perubahan
struktural (faktor pertumbuhan) (PDPI, 2011; GOLD, 2015).
Stress oksidatif yang dihasilkan asap rokok, polusi udara dan yang dilepaskan sel
inflamasi memiliki akibat yang merugikan di paru, diantaranya yaitu aktivasi proses
inflamasi, stimulasi ekskresi mukus, stimulasi eksudasi plasma dan inaktivasi
antiprotease. Protease pada paru berfungsi memecah komponen jaringan ikat dan
antiprotease melindunginya. Peningkatan protease tanpa diikuti dengan perlindungan
oleh antiprotease akan menyebabkan inflamasi pada paru. Perubahan patologik pada

PPOK ditemukan di saluran napas perifer, parenkim dan vaskuler (PDPI, 2012; GOLD,
2015).
Tingkat peradangan, fibrosis dan cairan eksudat di lumen saluran napas kecil
berkolerasi dengan penuruna VEP1 dan rasio VEP1/KVP. Adanya obstruksi pada saluran
napas perifer akan menyebabkan udara terperangkap dan mengakibatkan inflasi
timbulnya sesak napas pada aktivitas (PDPI, 2012; GOLD, 2015).

Gambar 2.1 Patogenesis PPOK (GOLD, 2015)

2.5

Diagnosis
Untuk menegakkan diagnosis PPOK secara rinci diuraikan sebagai berikut:

1.

Anamnesis

Dari anamnesis akan diketahui perkembangan dan gejala-gejala yang dijumpai.


Sesak nafas
Sesak nafas yang berkembang perlahan ialah gejala kardinal PPOK, juga
penyebab disabilitas dan kesehatan utama (GOLD, 2015). Pasien biasanya
mengeluhkan sesak nafas sebagai kesulitan bernafas, dada terasa berat, air hunger,
atau tergagap saat bernafas, adanya purse lip breathinhg (Alfred & Jack, 2008).
Batuk

Batuk kronik biasanya dianggap semata-mata akibat merokok dan atau paparan
polusi. Awalnya batuk hanya kadang-kadang, hingga kemudian berlangsung setiap
hari. Batuk kronik dapat berlangsung tanpa produksi sputum. Pada beberapa kasus,
pembatasan aliran udara yang signifikan dapat terjadi tanpa adanya batuk (GOLD,
2015.)
Produksi sputum
Produksi sputum umumnya bermula setelah batuk berlangsung selama waktu
tertentu. Namun pada penderita PPOK produksi sputum sulit untuk dievaluasi
karena pasien cenderung menelan sputum dan bukannya mengeluarkannya
(GOLD, 2015).

Mengi dan chest thigtness


Kedua gejala ini tidak spesifik untuk PPOK (tidak harus dijumpai) dan
bervariasi dalam keseharian) (GOLD, 2015).

Gejala lain
Rasa lelah, penurunan berat badan dan anoreksia umum dijumpai pada PPOK
berat dan sangat berat. Gejala mempengaruhi prognosis dan bisa juga menandakan
adanya penyakit lain (misalnya tuberkulosis, kanker paru) (GOLD, 2015).
Riwayat kesehatan
Perlu diketahui mengenai paparan faktor resiko, adakah kebiasaan merokok,
lingkungsn kerja, riwayat penyakit terdahulu (asma, alergi, sinusitis, polip nasal,
infeksi paru pada masa kanak-kanak, ataupun penyakit pernafasan lain), riwayat
PPOK dalam keluarga, pola perkembangan gejala, riwayat eksaserbasi, riwayat
rawat inap akibat masalah pernafasan, adanya komorbiditas (penyakit jantung,
gangguan muskuloskeletal, keganasan, dll), dampak PPOK terhadap kehidupan
pasien (keterbatasan aktivitas, beban ekonomi, efek terhadap rutinitas dalam

keluarga, kecemasan atau depresi, aktivitas seksual), dukungan sosial dan keluarga
terhadap pasien (GOLD 2015).
2. Pemeriksaan Fisis (PDPI, 2011)
PPOK dini umumnya tidak ada kelainan,
a.

Inspeksi
-

Pursed-lips breathing (mulut setengah terkatup/mencucu)

Barrel chest (diameter antero-posterior dan transversal sebanding)

Penggunaan otot bantu napas

Hiperttopi otot bantu napas

Pelebaran sela iga

Bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di
leher dan edema tungkai

b.

Palpasi
-

c.

Penampilan pink puffer atau blue bloeter

Pada emfisema fremitus melemah, sela iga melebar

Perkusi
-

Pada enfisema hipersonor dan batas jantung mengecil, letak diafragma

rendah, hepar terdorong kebawah


d.

Auskultasi
-

Suara napas vesikuler normal, atau melemah

Terdapat ronki dan mengi pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi
paksa

Ekspirasi memanjang

Bunyi jantung terdengar jauh

3. Penilaian berat penyakit

Tujuan dari penilaian PPOK adalah untuk menentukan beratnya penyakit,


dampaknya terhadap status kesehatan pasien dan keadan yang menjadi resiko
dikemudian hari ( seperti eksaserbasi, rawat inap atau kematian ) dan panduan terapi
(GOLD, 2015). Untuk mencapai tujuan ini, penilaian PPOK harus mempertimbangkan
aspek-aspek penyakit secara terpisah, berupa:
a. Spirometry
Spirometry adalah alat untuk menilai fungsi paru dengan mengukur volume udara
yang dapat keluar dari paru setelah inspirasi maksimal. Spirometry merupakan baku
emas untuk mendiagnosis PPOK. Pada PPOK terjadi obstruksi sehingga pada spirometry
didapatkan VEP1 <80% nilai prediksi dan VEP1/KVP <0,70 (70%). Spirometry dapat
menentukan derajat sumbatan aliran udara (tabel 2.2) (PDPI, 2011).
Klasifikasi Hambatan Aliran Udara pada PPOK (GOLD) (Berdasarkan VEP1
setelah pemberian bronkodilator)
Pada pasien dengan VEP1/KVP <0,70:
Derajat I

Ringan

VEP1 80% dari yang diprediksi

Derajat II

Sedang

50% VEP1 < 80% dari yang diprediksi

Derajat III

Berat

30% VEP1< 50% dari yang diprediksi

Derajat IV

Sangat Berat

VEP1 < 30% dari yang diprediksi

b. Penilaian Gejala
Gejala pada PPOK dinilai dengan kuesioner yang divalidasi. GOLD
merekomendasikan penggunaan Modified Medical Research Council (mMRC) kuesioner
atau COPD assessment Test (CAT). Kusioner mMRC adalah kuesioner yang digunakan
untuk menilai diabilitas berdasarkan beratnya sesak dan berhubungan dengan

pengukuran kualitas hidup dan memprediksi risiko mortalitas kedepannya (GOLD,


2015).
Modified MRC Dyspnea Scale
0

Sesak nafas bila hanya berolahraga berat

Nafas pendek bila terburu-buru dijalan yang menanjak

Berjalan lebih lambat dari orang seusia karena sesak nafas ataupun harus
berhenti untuk bernafas saat berjalan dengan kecepatan sendiri

Berhenti untukbernafas setelah berjalan sekitar 100 meter atau setelah


beberapamenit dengan kecepatan sendiri

Terlalu sesak untuk keluar rumah ataupun sesak nafas saat berpakaian

Kuesioner CAT merupakan kuesioner yang terdiri dari 8 pertanyaan yang dapat
menilai aspek kualitas hidup penderita PPOK. Dimana setiap nilai pertanyaan memiliki
bobot 0-5 dan setiap pertanyaan dijumlahkan dan dibuat kategori, yaitu; kategori ringan
<10, sedang 10-20, berat 20-30 dan sangat berat >30. Kuesioner CAT tersebut dapat
dilihat pada tabel 2.4.
COPD Assesment Test
Skor
Saya tidak pernah batuk
Tidak ada dahak sama sekali
Tidak ada rasa berat di dada
Ketika saya jalan mendaki atau
naik tangga saya tidak sesak
Aktivitas sehari-hari saya di
rumah tidak terbatas
Saya tidak hawatir keluar
rumah meskipun saya
menderita penyakit paru
Saya dapat tidur dengan
nyenyak

12345
12345
12345
12345

12345

Saya tidak dapat tidur


dengan nyenyak karena
kondisi paru saya

Saya sangat bertenaga

12345

Saya tidak punya tenaga sama sekali

c. Penilaian risiko eksaserbasi

12345
12345

Saya selalu batuk


Dada saya penuh
Dada saya terasa berat sekali
Ketika saya jalan mendaki
atau naik tangga saya sangat sesak
Aktivitas sehari-hari saya di rumah
sangat terbatas
Saya sangat khawatir keluar rumah
karna saya menderita penyakit paru

Eksaserbasi diartikan sebagai fase akut yang ditandai perburukan gejala saluran
pernafasan pasien, diluar dari batas normal variasi harian dan menyebabkan perubahan
dalam pengobatan. Kerentanan eksaserbasi sangat bervariasi antar individu. Seringnya
eksaserbasi akan menyebabkan meningkatnya morbiditas dan mortalitas pada penderita
PPOK. Cara penilaian frekuensi eksaserbasi dibagi atas risiko rendah jika 1 per tahun
dan risiko tinggi jika 2 per tahun (GOLD, 2015).
Berdasarkan ketiga aspek penilaian tersebut, maka pasien PPOK
diklasifikasikan menjadi:

Gambar 2.2 Penilaian PPOK Terpadu (GOLD, 2015)


2.6

Tatalaksana
Objektif penatalaksanaan dibagi dua, yakni yang diarahkan kepada gejala
(meringankan dan mengurangi dampak PPOK) dan objektif yang lain difokuskan pada
usaha memperkecil resiko eksaserbasi (GOLD, 2015).
Tujuan penatalaksanaan PPOK mencakup beberapa komponen yaitu:
a. Mengurangi gejala
- Meringankan gejala
- Meningkatkan toleransi latihan
- Meningkatkan status kesehatan
b. Mengurangi resiko
- Mencegah progrefitas penyakit
- Mencegah dan menangani eksaserbasi
- Menurunkan kematian

1. Tatalakasana Farmakologi
Tatalaksana awal pada PPOK
Grup
Pilihan Pertama
Pasien
A
Antikolinergik
short-acting
Atau
Beta2-Agonis
short-acting prn
B

Antikolinergik
long-acting
atau
Beta2-Agonis
long-acting prn

Pilihan Alternatif

Terapi lain

Antikolinergik long-acting atau


Teofilin
Beta2-Agonis long-acting
atau
Beta2-Agonis short-acting dan
Antikolinergik short-acting
Antikolinergik long-acting atau
Beta2-Agonis long-acting

Beta2-Agonis
short-acting
dan/atau
Antikolinergik
short-acting

Teofilin
Kortikosteroid
Antikolinergik long-acting dan Beta2-Agonis
inhalasi
+ Beta2-Agonis
short-acting
Antikolinergik
long-acting
dan/atau
long-acting
atau
Antikolinergik
atau
Antikolinergik
long-acting short-acting
Beta2-Agonis
fosfodiesterase-4 inhibitor
long-acting
atau
Teofilin
Beta2-Agonis
long-acting dan fosfodiesterase-4
inhibitor
Kortikosteroid
Kortikosteroid
inhalasi
+ Karbosistein
inhalasi
+ Antikolinergik long-acting dan
Antikolinergik
Beta2-Agonis
Beta2-Agonis
long-acting
Long-acting
short-acting
atau
atau
dan/atau
Beta2-Agonis
Kortikosteroid inhalasi +
Antikolinergik
long-acting
Beta2-Agonis
short-acting
Long-acting dan fosfodiesterase-4
inhibitor
Teofilin
atau
Antikolinergik long-acting dan
Beta2-Agonis
Long-acting
atau
Antikolinergik long-acting dan
fosfodiesterase-4 inhibitor
(Sumber: GOLD, 2015)

2. Penatalaksanaan Non-Farmakologi
- Rehabilitasi
- Latihan Olahraga
- Edukasi

Berhenti merokok
Dukungan Nutrisi

Komplikasi
Komplikasi pada PPOK merupakan bentuk perjalanan penyakit yang progresif dan
tidak sepenuhnya reversible seperti:
-

Gagal napas

Gagal

Prognosis
Pada umumnya prognosis adalah baik, tergantung dari faktor penderita, bakteri
penyebab dan penggunaan antibiotik yang tepat serta adekuat. Perawatan yang baik dan
intensif sangat mempengaruhi prognosis penyakit pada penderita yang dirawat. Angka
kematian penderita pneumonia komuniti kurang dari 5% pada penderita rawat jalan ,
sedangkan penderita yang dirawat di rumah sakit menjadi 20%. Menurut Infectious
Disease Society Of America ( IDSA ) angka kematian pneumonia komuniti pada rawat
jalan berdasarkan kelas yaitu kelas I 0,1% dan kelas II 0,6% dan pada rawat inap kelas III
sebesar 2,8%, kelas IV 8,2% dan kelas V 29,2%. Hal ini menunjukkan bahwa
meningkatnya risiko kematian penderita pneumonia komuniti dengan peningkatan risiko
kelas.

BAB III
LAPORAN KASUS
IDENTITAS PASIEN :
Nama

: Tn. M

Jenis kelamin : Laki-laki


Umur

: 73 Tahun

Suku bangsa : Minangkabau


Alamat

: Padang

Pekerjaan

: Pensiunan PNS Departemen Penerangan

Anamnesis :
Seorang pasien, Tn M, laki-laki, umur 73 tahun dirawat di bangsal Paru RSUP Dr. M.
Djamil Padang pada tanggal 27 Agustus 2016 dengan:
Keluhan Utama :
Sesak napas meningkat sejak 5 jam sebelum masuk rumah sakit.
Riwayat Penyakit Sekarang :

Sesak napas meningkat sejak satu hari yang lalu, sesak tidak menciut dirasakan saat
beraktivitas. Sesak napas sudah dirasakan sejak dua bulan yang lalu. Pasien lebih

nyaman tidur miring ke kiri. Pasien sudah dikenal penderita PPOK.


Batuk (+) sejak 1 bulan yang lalu. Akhir-akhir ini batuk disertai dahak berwarna putih

kental. Bersifat hilang timbul. Riwayat batuk darah (+)


Nyeri dada (-)
Demam (-)
Keringat malam (-)
Nafsu makan menurun. Penurunan berat badan (+) 1 kg
Mual (-) Muntah (-)
Nyeri ulu hati (-)
BAB dan BAK tidak ada keluhan

Riwayat Penyakit Dahulu

Riwayat minum OAT (+) tahun 1969 dan 1990, selama 6 bulan terus-menerus.
Riwayat DM (+) dan Riwayat Hipertensi (+), pasien kontrol teratur ke Interne RS

Dr.M.Djamil Padang.
Riwayat pengobatan sebelumnya:
Riwayat minum OAT (+) tahun 1969 dan 1990, selama 6 bulan terus-menerus.
Riwayat konsumsi Metformin dan Amblodipin (+)
Riwayat Penyakit Keluarga :

Tidak ada anggota keluarga yang menderita TB


Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit hipertensi, stroke, DM, jantung

dan keganasan
Riwayat Pribadi dan Sosial :
Pensiunan PNS Departemen Penerangan
Pasien merokok 40 batang per hari selama 45 tahun (IB = berat), sudah berhenti sejak
14 tahun yang lalu.
PEMERIKSAAN FISIK
Umum
Keadaan umum : Sakit sedang
Kesadaran
: CMC
Nadi/ irama
: 136x/menit, teratur, kuat angkat
Pernafasan
: 28x/menit
Tekanan darah : 140/70 mmHg
Suhu
: 36 oC
Kepala
Tidak ada kelainan
Mata
Konjungtiva tidak anemis, sclera tidak ikterik
Leher
JVP 5+2 cmH2O
Tidak terdapat pembesaran KGB
Torak
Paru Depan
Inspeksi : Simetris kiri sama dengan kanan (statis)
Pergerakan kiri sama dengan kanan (dinamis)
Palpasi
: Fremitus kiri sama dengan kanan
Perkusi
: Sonor
Auskultasi : Suara napas ekspirasi memanjang, ronkhi +/+, wheezing +/+
Paru Belakang
Inspeksi : Simetris kiri sama dengan kanan (statis)
Pergerakan kiri sama dengan kanan (dinamis)
Palpasi
: Fremitus kiri sama dengan kanan
Perkusi
: Sonor

Auskultasi : Suara napas ekspirasi memanjang, ronkhi +/+, wheezing +/+


Jantung
Inspeksi : ictus cordis tak terlihat
Palpasi
: ictus cordis teraba 1 jari medial LMCS RIC V
Perkusi
: batas jantung dalam batas normal
Auskultasi : irama teratur, bising (-)
Abdomen
Inspeksi : perut tidak tampak membuncit
Palpasi
: tidak teraba massa
Perkusi
: timpani
Auskultasi : bising usus (+) N
Genitalia
Tidak diperiksa
Ekstremitas
Udem -/-, sianosis -/Pemeriksaan laboratorium
Darah :
Rutin

Kimia darah

: Hb
Leukosit
Trombosit
Hematokrit
: Ureum
Kreatinin
GDS

: 11,2 gr/dl
: 12.500/mm3
: 280.000/mm3
: 34%
: 37 mg/dl
: 01,3 mg/dl
: 155 mg/dl

Pemeriksaan tambahan

Rontgen : tampak gambaran multicavitas dan infiltrate di lapangan bawah paru kanan

dan kiri. Kesan Bronkiektasis kiri dan Pneumonia.


Diagnosis :
Diagnosis : PPOK eksaserbasi akut tipe I + HCAP + GERD + HT stages I + DM tipe II
Diagnosis Banding : SOPT eksaserasi
Terapi :
Oksigen 3L/1 menit
IVFD RL + aminofilin 1 ampul dalam 12 jam/kolf
Injeksi Flumicyl 2x1 ampul
Combivent 3x
Naret 3x0,3 cc
Injeksi Ranitidin 2x1 amp
Metformin 2x1 tablet
Amblodipin 1x5 gram
Injeksi Cefotaxim 2x1 gram
Injeksi Gentamicin 2x160 mg

BAB IV
DISKUSI
Telah dirawat seorang pasien, Tn.M, laki-laki, umur 73 tahun dirawat di bangsal Paru
RSUP Dr. M. Djamil Padang pada tanggal 27 Agustus 2016 dengan diagnosis klinis PPOK
eksaserbasi akut tipe I + HCAP + GERD + HT stages I + DM tipe II. Diagnosis ini
ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang.
Berdasarkan anamnesis diketahui bahwa pasien datang dengan sesak napas yang
meningkat 5 jam sebelum masuk rumahsakit. Sesak tidak menciut dan meningkat dengan
aktivitas. Pasien telah mengeluhkan sesak sejak dua bulan yang lalu dan telah dirawat selama
3 hari (21-24 agustus 2016) di RS M. Zein Painan karena sesaknya.
Pasien seorang pensiunan PNS Departemen Penerbangan dengan aktivitas fisik ringan
dan merokok dengan IB berat. Memiliki riwayat konsumsi OAT pada tahun 1969 dan 1990
selama 6 bulan dan memiliki riwayat DM serta hipertensi yang terkontrol. Tidak ada riwayat
keganasan. Dari pemeriksaan fisik thoraks depan dan belakang didapatkan dada kiri simetris
dengan dada kanan dan pergerakan dinding dada kiri sama dengan dada kanan. Fremitus kiri
sama dengan kanan. Perkusi dinding dada kiri dan kanan sonor. Dari auskultasi ditemukan
suara napas ekspirasi memanjang rhongki + , wheezing +.
Pemeriksaan rontgen thoraks menunjukkan gambaran multicavitas dan infiltrat di
lapangan bawah paru kiri dan kanan. Pasien didiagnosa dengan PPOK eksaserbasi akut tipe I
+ HCAP + GERD + HT stages I + DM tipe II.
Pasien ditegakkan HCAP karena dari pemeriksaan fisik ditemukan gejala klinis
berupa demam (38,5C) batuk berdahak dan terjadi leukositosis (20.470/mm). Sebelum
dirawat di RSUD M Zein Painan, pasien tidak ada demam sebelumnya. Pemeriksaan rontgen
thoraks menunjukkan adanya infiltrat di lapangan atas paru kanan.

Penatalaksanaan pneumonia pada pasien ini sudah tepat, dikarenakan pasien langsung
diberikan antibiotik spectrum luas dengan menimbang belum jelasnya kuman penyebab
HCAP pada pasien ini. Pada kasus ini penggunaan levofloksasin harus hati hati karena
pasien ada riwayat batuk lama (2 bulan), dicurigai pasien terinfeksi TB, dan bisa
menyebabkan BTA (-) dan resistensi jika penggunaan levofloksasin yang tidak sesuai
indikasi.

DAFTAR PUSTAKA
1. Global initiative for obstructive lung disease (2015). Global strategy for the
diagnosis, management, and prevention of chronic obstructive pulmonary disease.
Diunduh pada tanggal 5 Februari 2015 dari www.goldcopd.org.
2. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia, 2011. Penyakit Paru Obstruktif Kronik
(PPOK). Jakarta
3. Riset Kesehatan Dasar (2013). Jakarta : Badan penelitian dan Pengembangan
Kesehatan Kementrian Kesehatan RI.
4. Mannino DM, Buist AS (2007). Global burden of COPD : Risk factors,
prevalence, and future trends. Lancet, 370(9589) : 765-773.

Anda mungkin juga menyukai