Anda di halaman 1dari 26

Clinical Science Section

Infeksi Pada Kehamilan


TORCH

Oleh :

Doni Andika Putra 1210312121


Elva Lidya Salman 1210313103
Novdian Siska 1210313075

Preseptor :

dr. Syahrial Syukur, Sp.OG

BAGIAN ILMU OBSTETRI DAN GINEKOLOGI


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
RSUD SUNGAI DAREH
2017
BAB 1

1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


TORCH adalah singakatan dari beberapa mikroorganisme yang terdiri dari

Toksoplasma gondii, Rubella, Cytomegalovirus (CMV), dan Herpes simplex virus

(HSV).1 Infeksi maternal oleh mikroorganisme tersebut dapat menyebabkan kelainan

kongenital, persalinan preterm, IUFD, infeksi neonatal.2 Selain itu infeksi maternal juga

dapat menyebabkan pneumonia, kelainan mata, infeksi SSP pada neonatal, kelainan

jantung, serta tuli.3 Infeksi ini hanya bisa diketahui dengan mendeteksi zat kekebalan

tubuh (antibodi) yang terbentuk setelah terjadinya infeksi. Walaupun telah terdeteksi,

pengobatan terhadap infeksi TORCH kadang-kadang tidak memberikan hasil yang

memuaskan. Hal ini karena organ-organ tubuh janin terlanjur dirusak TORCH. Oleh

karena itu, jauh lebih baik dilakukan pencegahan terhadap infeksi TORCH daripada

mengobatinya.4
1.2 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan referat ini antara lain sebagai berikut:
1. Sebagai salah satu syarat dalam menjalani kepaniteraan klinik di bagian

Obstetri Ginekologi Fakultas Kedokteran Universitas Andalas


2. Menambah pengetahuan tentang infeksi pada kehamilan
1.3 Metode Penulisan
Penulisan referat ini menggunakan metode tinjauan kepustakaan yang

merujuk ke berbagai literatur.

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Toksoplasmosis

2
2.1.1. Definisi

Toksoplasmosis adalah penyakit yang disebabkan parasit Toxoplasmagondii.

Parasit ini merupakan suatu protozoa intraseluler yang temasuk kedalam phylum

Apicomplexa dan subklas Coccidian.6

Jika parasit ini menginfeksi wanita yang sedang hamil, maka parasit akan

menginfeksi janin melalui plasenta yang akan menyebabkan gangguan pada mata,

otak dan jaringan si janin.6

Gambar 1.Toxoplasma gondii

Survey tahun 1999 sampai 2004 oleh National Health and Nutrition

Examination di Amerika menunjukkan 11% wanita usia 15-44 tahun memiliki

Antibody IgG T. gondii, sedangkan 28.1% untuk daerah-daerah diluar Amerika.6

2.1.2. Patogenesis

Protozoa ini memiliki siklus hidup seksual dan aseksual. Hospes primer

(defenitif) dari protozoa ini adalah felidae (kucing), hanya pada hosper primer (true

hospes) bisa berlangsung siklus seksual. Sementara hospes kedua (secondary hospes)

3
yang bisa terjadi sikulus aseksual dari protozoa ini adalah seperti hewan pengerat,

burung dan manusia.5

Dalam sel epitel usus kecil kucing berlangsung daur aseksual (skizogoni) dan

daur seksual (gametogoni, sporogoni) yang menghasilkan ookista yang dikeluarkan

melalui tinja. Bila ookista tertelan oleh hospes perantara (secondary hospes) maka

pada berbagai jaringan akan terjadi pembelahan cepat menjadi takizoit

bereplikasi pada seluruh sel kecuali di eritrosit bradizoit (masa infeksi laten)

stadium istirahat (kista jaringan). 5

Gambar 2. Replikasi takizoid menjadi bradizoid

Bila kista jaringan yang mengandung bradizoit atau ookistayang mengandung

sporozoit terlelan oleh hospes, parasit akan bebas dari kista didalam eritrosit,

parasit transformasi, peningkatan invasif takizoit parasit menyebar ke jar.

Limfatik, otot lurik, miokardium, retina, plasenta, dan SSP terjadi infeksi

replikasi invasi sel sekitar kematian sel dan nekrosis fokal + inflamasi akut.5

4
Pada hospes imunokompromais atau pada janin, faktor-faktor imun yang

dbutuhkan untuk mengontrol penyebaran penyakit jumlahnya rendah. Akibatnya

takizoit menetap dan penghancuran progresif berlangsung dan terjadi kegagalan

organ. 5

Toxoplasma gondii dapat menular ke manusia melalui beberapa rute, yaitu:

1. Pada toksoplasmosis kongenital, transmisi terjadi in utero melalui plasenta bila ibu

mengalami infeksi primer saat hamil.

2. Pada infeksi akuisita infeksi dapat terjadi bila makan daging mentah atau kurang

matang.

3. Infeksi dapat terjadi dengan transplantasi organ dari donor yang menderita

toksoplasmosis primer.

4. Transmisi melalui ookista juga dapat menginfeksi, seekor kucing

yang terinfeksi dapat mengeluarkan sampai dengan 10 juta butir

ookista setiap hari selama 2 minggu. Ookista menjadi matang dalam

waktu 1-5hari dan dapat lebih dari 1tahun di tanah yang panas atau

lembab. Ookista mati pada suhu 450550C.

Toksoplasma menginfeksi hospes melalui mukosa saluran cerna, hal ini

akan merangsang sistem imun untuk membentuk IgA spesifik. T.gondii dengan

cepat akan merangsang IgM dan IgG. Immunoglobulin ini dapat membunuh

takizoit ekstraseluler. IgG dapat terdeteksi sejak dua sampai tiga minggu setelah

infeksi, mencapai puncak pada enam sampai delapan minggu dan kemudian

menurun perlahan sampai batas tertentu dan bertahan seumur hidup. IgM dapat

terdeteksi kurang lebih satu minggu setelah infeksi akut dan menetap selama

5
beberapa minggu atau bulan, bahkan antibody ini dapat masih terdeteksi sampai lebih

dari satu tahun. IgA terdeteksi segera setelah IgM, dan bertahan selama 6-7 bulan.5

Gambar 3. Infeksi janin oleh Toxoplasmagondii 6

2.1.3. Manifestasi Klinis Toksoplasmosis

Gejala yang dapat timbul pada toksoplsmosis adalah fatigue, nyeri otot dan

kadang-kadang limfadenopati, tetapi seringkali infeksi terjadi subklinis. Infeksi

toxoplasma berbahaya bila terjadi saat ibu sedang hamil atau pada orang dengan

sistem kekebalan tubuh terganggu (misalnya penderita AIDS, pasien transplantasi

organ yang mendapatkan obat penekan respon imun).5

6
Jika wanita hamil terinfeksi toxoplasma maka akibat yang dapat terjadi

adalah abortus spontan atau keguguran (4%), lahir mati (3%) atau bayi menderita

toxoplasmosis bawaan. Pada toxoplasmosis bawaan, gejala dapat muncul setelah

dewasa, misalnya kelainan mata dan telinga, retardasi mental, kejang-kejang dan

ensefalitis.5

Sedangkan bila janin lahir setelah ibu terinfeksi selama kehamilan, bayi

bisa lahir dalam keadaan hidrosefalus, berat bayi lahir rendah,

hepatosplenomegali, ikterus dan anemia. Gejala defisit neurologis seperti

kejang-kejang, kalsifikasi intrakranial, retardasi mental dan hidrosefalus atau

mikrosefalus.Pada kedua kelompok biasanya terjadi korioretinitis.5

2.1.4. Diagnosis Prenatal Toksoplasmosis

Diagnosis pranatal umumnya dilakukan pada usia kehamilan 14-27 minggu.

Aktivitas diagnosis meliputi ;5

1. Kordosentesis (pengambilan sampel darah janin melalui tali pusat) ataupun

amniosentesis (aspirasi cairan ketuban) dengan tuntunan ultrasonografi.

2. Pembiakan darah janin ataupun cairan ketuban dalam kultur sel fibroblast, ataupun

diinokulasi kedalam ruang peritoneum dan diikuti isolasi parasit. Pemeriksaan

dengan PCR untuk mendeteksi adanya DNA Toksoplasma gondii pada darah janin

ataupun cairan ketuban. Pemeriksaan dengan teknik ELISA pada darah janin guna

mendeteksi antibody IgM janin spesifik (antitoksoplasma).

2.1.6. Tatalaksana

Ketika terjadi infeksi akut pada ibu dilakukan terapi dengan pemberian

spiramycin 3 gr perhari (oral) dibagi dalam empat dosis.5

7
Dapat juga diberikan pyrimetahmin yang dikombinasikan dengan sulphonamide.

Namun terapi ini kontraindikasi jika diberikan pada trimester pertama karena

memiliki efek teratogenik, jadi hanya boleh diberikan setelah usia kehamilan lebih 12

minggu.5,6

Cara pemberiannya adalah sebagai berikut5:

1) Pyrimethamine 50 mg/hari + Sul-fadiazine 3 g/hari selama 3minggu.

2) Atau diganti dengan Spiramycin 3 g/hari selama 3minggu.

3) Terapi dilanjutkan sampai persalinan

4) Folinic acid 5 mg perminggu

2.2. RUBELA

2.2.1 Definisi

Rubella atau campak Jerman adalah penyakit yang disebabkan suatu virus

RNA dari golongan Togavirus.Penyakit ini relatif tidak berbahaya dengan morbiditas

dan mortalitas yang rendah pada manusia normal. Tetapi jika infeksi didapat saat

kehamilan, dapat menyebabkan gangguan pada pembentukan organ dan dapat

mengakibatkan kecacatan.7

2.2.2 Patogenesis

Penularan virus rubella adalah melalui udara dengan tempat masuk awal

melalui nasofaring dan orofaring. Setelah masuk akan mengalami masa inkubasi

antara 11 sampai 14 hari sampai timbulnya gejala. Hampir 60 % pasien akan timbul

ruam. Penyebaran virus rubella pada hasil konsepsi terutama secara hematogen.

8
Infeksi kongenital biasanya terdiri dari 2 bagian : viremia maternal dan viremia fetal.

Viremia maternal terjadi saat replikasi virus dalam sel trofoblas. Kemudian

tergantung kemampuan virus untuk masuk dalam barier plasenta.Untuk dapat terjadi

viremia fetal, replikasi virus harus terjadi dalam sel endotel janin. Viremia fetal dapat

menyebabkan kelainan organ secara luas.7

2.2.3 Manifestasi Klinis

Gejala infeksi primer rubella pada maternal termasuk dalam gejala-gejala

seperti penyakit virus lainnya seperti demam ringan, sakit kepala, nyeri sendi, nyeri

menelan serta ruam makulopapular. Gejala-gejala tersebut memang merupakan gejala

yang non-spesifik dalam menegakkan diagnosis rubella.2

Masa inkubasi yaitu waktu yang diperlukan sejak masuknya virus rubella

kedalam tubuh sampai timbulnya gejala penyakit berkisar antara 14-21 hari. Biasanya

gejala bersifat ringan berupa demam. Tanda yang paling khas adalah pembesaran

kelenjar getah bening di daerah belakang kepala, belakang telinga, dan leher bagian

belakang. Umumnya pembesaran kelenjar getah bening ini disertai dengan rasa nyeri.

Keadaan ini kemudian diikuti dengan munculnya ruam yang dimulai pada daerah

muka dan menyebar dengan cepat ke seluruh tubuh dalam waktu 1 hari. Ruam dan

demam biasanya menghilang dalam waktu 3 hari.8

Pada janin, infeksi rubella dapat menyebabkan abortus bila terjadi pada

trimester I. Mula-mula replikasi virus terjadi dalam jaringan janin, dan menetap

dalam kehidupan janin, dan mempengaruhi pertumbuhan janin sehingga

menimbulkan kecacatan atau kelainan yang lain.8

9
Infeksi ibu pada trimester kedua juga dapat menyebabkan kelainan yang luas pada

organ. Menetapnya virus dan dan interaksi antara virus dan sel di dalam uterus dapat

menyebabkan kelainan yang luas pada periode neonatal, seperti anemia hemolitika

dengan hematopoiesis ekstra meduler, hepatitis, nefritis interstitial, ensefalitis,

pankreatitis interstitial dan osteomielitis. Infeksi rubella kongenital dapat

menyebabkan sindroma rubella kongenital yang terdiri dari:7

1. Sindroma rubella kongenital yang meliputi 4 defek utama yaitu :

a. Gangguan pendengaran tipe neurosensorik. Timbul bila infeksi terjadi sebelum

umur kehamilan 8 minggu. Gejala ini dapat merupakan satu-satunya gejala

yang timbul.

b. Gangguan jantung meliputi PDA, VSD dan stenosis katup pulmonal.

c. Gangguan mata : katarak dan glaukoma. Kelainan ini jarang berdiri sendiri.

d. Retardasi mental dan beberapa kelainan lain antara lain:

e. Purpura trombositopeni ( Blueberry muffin rash )

f. Hepatosplenomegali, meningoensefalitis, pneumonitis, dan lain-lain

2. Extended sindroma rubella kongenital. Meliputi cerebral palsy, retardasi mental,

keterlambatan pertumbuhan dan berbicara, kejang, ikterus dan gangguan

imunologi ( hipogamaglobulin ).

3. Delayed - sindroma rubella kongenital. Meliputi panensefalitis, dan Diabetes

Mellitus tipe-1, gangguan pada mata dan pendengaran yang baru muncul

bertahun-tahun kemudian.

2.2.4. Diagnosis

10
Diagnosis infeksi rubella sangat sulit karena gejalanya yang tidak khas.

Timbulnya ruam selama 2-3 hari dan adanya adenopati postaurikuler dapat sebagai

diagnosis awal kecurigaan infeksi rubella, tetapi untuk diagnosis pastinya diperlukan

konfirmasi serologi atau virologi. Virus rubella dapat ditemukan pada struktur

jaringan yang dapat diambil dari hapusan orofaring, tetapi tindakan ini sulit

dilakukan.8

Antibodi rubella biasanya lebih dahulu muncul saat timbul ruam. Diagnosis

rubella ditegakkan bila titer meningkat 4 kali saat fase akut, dan biasanya imunitas

menetap lama. Apabila pasien diperiksa beberapa hari setelah timbul ruam, diagnosis

dapat ditegakkan dengan analisis antibodi IgM anti rubella dengan menggunakan

sistem ELISA. IgM spesifik rubella dapat terlihat 1 2 minggu setelah infeksi primer

dan menetap selama 1 - 3 bulan. Adanya antibodi IgM menunjukkan adanya infeksi

primer, tetapi bila negatif belum tentu tidak terinfeksi.8

Diagnosis prenatal dilakukan dengan memeriksa adanya IgM dari darah janin

melalui CVS ( chorionoc villus sampling ) atau kordosentesis. Konfirmasi infeksi

fetus pada trimester I dilakukan dengan menemukan adanya antigen spesifik rubella

dan RNA pada CVS. Metode ini adalah yang terbaik untuk isolasi virus pada hasil

konsepsi.8

Diagnosis infeksi Rubella yang tepat perlu ditegakkan dengan bantuan

pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan Laboratorium yang dilakukan meliputi

pemeriksaan Anti-Rubella IgG dan IgM. Pemeriksaan Anti-rubella IgG dapat

digunakan untuk mendeteksi adanya kekebalan pada saat sebelum hamil. Jika

ternyata belum memiliki kekebalan, dianjurkan untuk divaksinasi. Pemeriksaan Anti-

11
rubella IgG dan IgM terutama sangat berguna untuk diagnosis infeksi akut pada

kehamilan < 18 minggu dan risiko infeksi rubella bawaan.2

Deteksi IgM mencapai puncak pada 7-10 hari setelah onset dan perlahan-lahan

menurun selama 4-8 minggu. Infeksi janin dapat dideteksi degan memeriksa IgM

dalam darah janin setelah usia kehamilan 22 minggu.7

2.2.5 Tatalaksana

Jika tidak terjadi komplikasi bakteri, pengobatan adalah simptomatis.

Adamantanamin hidrokhlorida (amantadin) telah dilaporkan efektif in vitro dalam

menghambat stadium awal infeksi rubella pada sel yang dibiakkan. Upaya untuk

mengobati anak yang sedang menderita rubela kongenital dengan obat ini tidak

berhasil. Karena amantadin tidak dianjurkan pada wanita hamil, penggunaannya amat

terbatas. Interferon dan isoprinosin telah digunakan dengan hasil yang terbatas.

2.2.6. Pencegahan

Cara yang paling efektif adalah dengan pemberian imunisasi. Saat ini

imunisasi yang dapat diberikan untuk mencegah rubella adalah dengan pemberian

vaksin MMR (Measles, Mumps, Rubella).

Pemberian imunisasi MMR pada wanita usia reproduktif yang belum

mempunyai antibody terhadap virus rubella amatlah penting untuk mencegah

terjadinya infeksi rubella kongenital pada janin. Setelah pemberian imunisasi MMR,

penundaan kehamilan harus dilakukan selama 3 bulan.

2.3. Cytomegalovirus (CMV)

2.3.1. Definisi

12
Infeksi sitomegalovirus adalah penyakit yang disebabkan oleh

Cytomegalovirus.9 Virus ini menyebabkan pembengkakan sel yang karakteristik

sehingga terlihat sel membesar (sitomegali) dan tampak sebagai gambaran mata

burung hantu. Di Amerika CMV merupakan penyebab utama infeksi perinatal

(diperkirakan 0,5 - 2 % dari seluruh bayi neonatal). Yow dan Demmler (1992) dengan

pengamatannya selama 20 tahun atas morbiditas yang disebabkan CMV perinatal

menjelaskan bahwa dari 800.000 janin yang terinfeksi oleh CMV diperoleh 50.000

bersifat simtomatis dengan kelainan retardasi mental, kebutaan dan tuli sedangkan

120 ribu janin yang bersifat asimtomatis mempunyai keluhan neurologis.10

Di negara-negara maju cytomegalovirus (CMV) adalah penyebab infeksi

kongenital yang paling utama dengan angka kejadian 0,3 2 % dari kelahiran hidup.

Dilaporkan pula bahwa 10 15 % bayi lahir yang terinfeksi secara kongenital adalah

simptomatis yakni dengan manifestasi klinis akibat terserangnya susunan saraf pusat

dan berbagai organ lainnya (multiple organ). Hal ini menyebabkan kematian perinatal

20 30% serta timbulnya cacat neurologik berat lebih dari 90% pada kelahiran.

Manifestasi klinis dapat berupa hepatosplenomegali, mikrosefali, retardasi mental,

gangguan psikomotor, ikterus, petechiae, korioretinitis dan kalsifikasi serebral.10

Sedangkan 10 15 % bayi yang terinfeksi bersifat tanpa gejala (asimtomatis)

serta nampak normal pada waktu lahir. Kemungkinan bayi ini akan memperoleh cacat

neurologis seperti retardasi mental atau gangguan pendengaran dan penglihatan di

perkirakan 1 2 tahun kemudian. Dengan alasan ini sebenarnya infeksi CMV adalah

penyebab utama kerusakan sistem susunan saraf pusat pada anak-anak.10

2.3.2. Patogenesis

13
Penularan atau transmisi CMV ini berlangsung secara horisontal, vertikal dan

hubungan seksual. Transmisi horisontal terjadi melalui droplet infection dan

kontak dengan air ludah dan air seni. Sedangkan transmisi vertikal adalah penularan

proses infeksi maternal ke janin. Infeksi CMV kongenital umumnya terjadi karena

transmisi transplasenta selama kehamilan diperkirakan 0,5% - 2,5% dari populasi

neonatal. Sedangkan di masa peripartum infeksi CMV timbul akibat pemaparan

terhadap sekresi servik yang telah terinfeksi, melalui air susu ibu dan tindakan

transfusi darah. Dengan cara ini prevalensi diperkirakan 3-5%.10

Infeksi CMV yang terjadi karena pemaparan pertama kali atas individu

disebut infeksi primer. Infeksi primer berlangsung simptomatis ataupun asimptomatis

serta virus akan menetap dalam jaringan hospes dalam waktu yang tak terbatas.

Selanjutnya virus memasuki kedalam sel-sel dari berbagai macam jaringan. Proses ini

disebut infeksi laten.10

Pada keadaan tertentu eksaserbasi terjadi dari infeksi laten disertai

multiplikasi virus. Keadaan tersebut misalnya terjadi pada individu yang mengalami

supresi imun karena infeksi HIV, atau obat-obatan yang dikonsumsi penderita

transplan-resipien ataupun penderita dengan keganasan. 10

Infeksi rekuren (reaktivasi/reinfeksi) yang dimungkinkan karena penyakit

tertentu serta keadaan supresi imun yang bersifat iatrogenik dapat diterangkan

sebagai berikut bahwa kedua keadaan tersebut menekan respon sel limfosit T

sehingga timbul stimulasi antigenik yang kronis. Dengan demikian terjadi reaktivasi

virus dari periode laten disertai berbagai sindroma.

14
Transmisi CMV dari ibu ke janin dapat terjadi selama kehamilan, dan infeksi

pada umur kehamilan kurang sampai 16 minggu menyebabkan kerusakan yang serius.

Infeksi CMV kongenital berasal dari infeksi maternal eksogenus ataupun endogenus.

Infeksi eksogenus dapat bersifat primer yaitu terjadi pada ibu hamil dengan pola

imunologis seronegatif dan non primer bila ibu hamil dalam keadaan seropositif.

Sedangkan infeksi endogenus adalah hasil suatu reaktivasi virus yang sebelumnya

dalam keadaan paten. Infeksi maternal primer akan memberikan akibat klinis yang

jauh lebih buruk pada janin dibandingkan infeksi rekuren (reinfeksi).10

2.3.3. Manifestasi Klinis

Mononukleos sitomegalovirus disertai dengan demam tinggi yang tidak teratur

selama 3 minggu atau lebih (orang dewasa).Infeksi CMV terdisemisasi bisa

menyebabkan koriorenitis (kebutaan), koloitis atau ensafilitis (jika pasien juga

mengalami acquired immunedeficiency syndrome). Infeksi virus CMV pada bayi yang

berusia 3 - 6 bulan, biasanya terinfeksi , seperti : asimtomati/disfungsi hepatitik,

hepatosplenomegali, angioma laba - laba, pneumonitis, limfadenotenopati, kerusakan

otak.9

2.3.4. Diagnosis

Infeksi primer pada kehamilan dapat ditegakkan baik dengan metode serologis

maupun virologis. Dengan metode serologis, diagnosa infeksi maternal primer dapat

ditunjukkan dengan adanya perubahan dari seronegatif menjadi seropositif (tampak

adanya IgM dan IgG anti CMV) sebagai hasil pemeriksaan serial dengan interval

kira-kira 3 minggu. Dalam metode serologis infeksi primer dapat pula ditentukan

dengan Low IgG Avidity, yaitu antibodi klas IgG menunjukkan fungsional

15
afinitasnya yang rendah serta berlangsung selama kurang lebih 20 minggu setelah

infeksi primer. Dalam hal ini lebih dari 90% kasus-kasus infeksi primer menunjukkan

IgG aviditas rendah (Low Avidity IgG) terhadap CMV.10

Sedangkan dengan metode virologis, viremia maternal dapat ditegakkan

dengan menggunakan uji immuno fluoresen. Uji ini menggunakan monoklonal

antibodi yang mengikat antigen Pp 65, suatu protein (polipeptida dengan berat

molekul 65 kilo dalton) dari CMV di-dalam sel lekosit dalam darah ibu.10

Diagnosis prenatal harus dikerjakan terhadap ibu dengan kehamilan yang

menunjukkan infeksi primer pada umur kehamilan sampai 20 minggu. Hal ini karena

diperkirakan 70% dari kasus menunjukkan janin tidak terinfeksi. Dengan demikian

diagnosis prenatal dapat mencegah terminasi kehamilan yang tidak perlu terhadap

janin yang sebenarnya tidak terinfeksi sehingga kehamilan tersebut dapat

berlangsung. Saat ini terminasi kehamilan merupakan satu-satunya terapi intervensi

karena pengobatan dengan anti virus (ganciclovir) tidak memberi hasil yang efektif

serta memuaskan.10

Diagnosis prenatal dilakukan dengan mengerjakan metode PCR dan isolasi

virus pada cairan ketuban yang diperoleh setelah amniosentesis. Amniosentesis dalam

hubungan ini paling baik dikerjakan pada umur kehamilan 21 23 minggu karena

tiga hal:

1. Mencegah hasil negatif palsu sebab diuresis janin belum sempurna sebelum

umur kehamilan 20 minggu sehingga janin belum optimal mengekskresi virus

cytomegalo melalui urine kedalam cairan ketuban.

16
2. Dibutuhkan waktu 6 9 minggu setelah terjadinya infeksi maternal agar virus

dapat ditemukan dalam cairan ketuban.

3. Infeksi janin yang berat karena transmisi CMV pada umumnya bila infeksi

maternal terjadi pada umur kehamilan 12 minggu.

Pemeriksaan ultrasonografi yang merupakan bagian dari perawatan antenatal

amat membantu dalam mengindentifikasi janin yang beresiko tinggi /diduga

terinfeksi CMV. Klinisi harus memikirkan adanya kemungkinan infeksi CMV

intrauterin bila didapatkan hal-hal dibawah ini pada janin sebagai berikut:

oligohidramnion, polihidramnion, hidrops non imun, asites janin, gangguan

pertumbuhan janin, mikrosefali, ventrikulomegali serebral (hidrosefalus), kalsifikasi

intrakranial, hepatosplenomegali dan kalsifikasi intrahepatik.10

2.4. Tatalaksana

Tidak ada terapi yang memuaskan dapat diterapkan khususnya pada

pengobatan infeksi kongenital. Dengan demikian dalam konseling, infeksi primer

yang terjadi pada umur kehamilan 20 minggu setelah memperhatikan hasil diagnosis

prenatal kemungkinan dapat dipertimbangkan adanya terminasi kehamilan. Terapi

diberikan guna mengobati infeksi CMV yang serius seperti retinitis, esophagitis pada

penderita dengan AIDS (Acquired Immunodeficiency Syndrome) serta tindakan

propilaksis untuk mencegah infeksi CMV setelah transplantasi organ. Obat yang

digunakan untuk anti CMV untuk saat ini adalah Ganciclovir, Foscarnet, Cidofivir

dan Valaciclovir. Pengembangan vaksin perlu diusulkan guna mencegah morbiditas

dan mortalitas akibat infeksi kongenital.9

17
2.4. Herpes Simplex Virus

2.4.1. Defenisi

Infeksi ini disebabkan Virus Herpes Simpleks (herpes simpleks virus, HSV),

HSV ada dua jenis: HSV-1 dan HSV-2. HSV-1 biasanya dikaitkan dengan herpes

oral; dan HSV-2 biasanya dikaitkan dengan herpes genital. Virus Herpes Simpleks

tipe II (HSV II) ini dapat berada dalam bentuk laten, menjalar melalui serabut syaraf

sensorik dan berdiam diganglion sistem syaraf otonom.11

2.4.2. Patogenesis

HSV berinteraksi dengan sel-sel epithelial atau nueroepithelial dan syaraf.

Masa inkubasi antara 2-4 minggu.selama infeksi awal, HSV berpindah ke satu atau

lebih syaraf sensory ganglia, dimana tetap bersifat laten dan terhenti untuk jangka

waktu yang tidak terbatas. Sistem kekebalan yang utuh menyembuhkan infeksi pada

pintu (tempat masuk). 12

Rute penularan HSV dari ibu ke bayi adalah melalui saluran kelahiran yang

terinfeksi selama melahirkan. Resiko penularan ibu-anak lebih tinggi selama infeksi

HSV-2 yang bagi semua ibu yang menderita HSV karena infeksi transplassental

dapat terjadi. Hanya para ibu dengan bukti klinis luka aktif yang sebaiknya

melahirkan melalui sectio.12

HSV ditularkan ke bayi sekitar 50% pelahiran oleh ibu dengan infeksi aktif.

Penularan infeksi selama pelahiran dapat menyebabkan kematian janin (sekitar 60%

dari mereka yang terinfeksi) atau kerusakan system saraf pusat atau mata. Bayi juga

akan mengalami peningkatan HSV akibat infeksi yang menyebar jika ketuban pecah

18
atau melalui kontak lekat dengan ibu yang terinfeksi atau dari pemberi perawatan

setelah kelahiran.12

Episode pertama primer yang simptomatik berlangsung selama tiga minggu.

Setelah masa inkubasi selama 3 sampai 6 hari, sejumlah besar vesikel berdinding tipis

tunggal atau berkelompok muncul di area genital, terjadi ulserasi pengerasan

permukaan, dan mengalami repitalisasi. Episode tersebut dapat menjadi infeksi

sekunder. Ulserasi spesifik, peradangan yang menyebar, dan mudah hancur dapat

terlihat pada dinding vagina dan dinding serviks. Mungkin juga dapat ditemukan

rabas vagina atau uretra. Lesi vulva terasa sangat nyeri, dan juga mungkin terdapat

pruritus dan edema berat. Gejala sistemik berupa demam, malaise, sakit kepala, dan

mialgia dapat terjadilebih dulu setelah awitan lesi dan akan berlangsung selama

seminggu. Biasanya akan terjadi nyeri pada limfadenopati inguinalis. 12

Episode berulang memiliki panjang waktu setengah dari episode primer,

dengan vesikel yang lebih sedikit, tanpa gejala sistemik, dan tidak terdapat

limfadenopati inguinalis, tetapi menghasilkan pelepasan virus. Episode berulang

biasanya disebabkan oleh reaktivasi virus laten bukan oleh infeksi baru. Virus laten

yang dapat menyebabkan erupsi episode berulang dapat berasal dari ganglion tunggal,

yang pada umumnya akan memasok distribusi lesi unilateral. Nyeri dan gatal-gatal

yang terjadi biasanya tidak begitu berat. Kekambuhan kemungkinan lebih parah dari

episode pertama primer dengan HSV-2. Tidak terdapat pola kekambuhan baik secara

umum maupun individual. Pemicu terjadinya kekambuhan tidak diketahui tetapi

dapat dikaitkan dengan stress emosional; trauma; anesthesia; perubahan hormone

menstruasi, kehamilan, atau penggunaan kontrasepsi oral; panas; lembab; demam;

19
atau perubahan iklim. Sekitar separuh dari wanita yang terinfeksi memiliki tanda-

tanda prodromal dari kekambuhan yang akan terjadi antara lain gatal-gatal , sensasi

kesemutan, neuralgia, nyeri atau rasa terbakar pada vulva, atau peningkatan rabas

pada vagina (banyak, jernih, lengket, tidak berbau) apabila serviks atau dinding

vagina terkena, beberapa jam sampai beberapa hari sebelum erupsi. Beberapa wanita

memiliki gejala prodromal tanpa erupsi lesi.12

2.4.3. Manifestasi klinis

Infeksi HSV dapat melibatkan genital eksterna, vagina, serviks. Gejala-gejala

lebih ditimbulkan pada infeksi HSV pertama. Pelepuhan yang sakit, burut, dan

kemudian kering meninggalkan borok yang mengering setelah 2 atau 6

minggu.pelepasan vaginal terlihat jika serviks atau mukosa vagina ikut terlibat. Si

wanita mungkin menderita demam, tidak enak badan, anorexis, inguinal

lymphadenophaty, dysuria, dan dysparenia.12

Bayi yang dilahirkan dari ibu yang terinfeksi HSV II biasanya

memperlihatkan lepuh pada kulit, tetapi hal ini tidak selalu muncul sehingga mungkin

tidak diketahui. Infeksi HSV II pada bayi yang baru lahir dapat berakibat fatal (Pada

lebih dari 50 kasus).12

Infeksi virus biasanya menyerang akar ganglion dorsalis, kemudian sepanjang

saraf kulit timbul lepuh-lepuh menyerupai cacar air.Infeksi selanjutnya biasanya

merupakan kambuhan dari virus yang ada di akar ganglion dorsalis saraf pada infeksi

pertama.Karena mengenai ganglion saraf, rasa nyeri timbul sepanjang saraf kulit

tersebut.

Pengaruh pengaruh herpes simplek12

20
Efek pada kehamilan

Pengaruh kehamilan pada infeksi herves genital utama mencakup keguguran,

kelahiran prematur, dan keterlambatan pertumbuhan intrauteri (IUGR). Kemungkinan

terjadinya akibat yang buruk bertambah seiring dengan usia kehamilan.12

Frekuensi dan keparahan infeksi yang kambuh juga muncul dan meningkat

bersama kehamilan.12

Pada 20 minggu pertama, dapat mengakibatkan :

a. Abortus

b. Lahir mati

c. Cacat congenital (pada usia kehamilan lebih lanjut)

Infeksi pada trimester 3, hanya beresiko 10 % terhadap janin.

a. Mono-nuclear chorionitis

b. Severe necrotizing amnionitis

Manifestasi klinis dari infeksi HSV pada neonatal atau kongenital

diklasifikasikan menjadi tiga, yaitu9:

1. Infeksi pada kulit, mata, serta mulut (30% dapat berkembang menjadi penyakit

sistem saraf pusat);

2. Penyakit sistem saraf pusat (dimanifestasikan sebagai ensefalitis dengan atau tanpa

ninfeksi pada kulit, mata, serta mulut; dan

3. (infeksi yang paling serius, dengan angka kematian sebesar 90%)

2.4.4. Diagnosis

Diagnosis klinis herpes genital sebaiknya diperkuat dengan pemeriksaan

laboraotorium, karena gambaran klinisnya sangat bervariasi. Lesi dibuka dan dikultur

21
dengan media spesifik yang dijual bebas. Sensitifitas dari uji kultur sel virology

tersebut memiliki penurunan yang sangat cepat jika lesi sudah mulai sembuh dan

sering kali akan menimbulkan hasil negative palsu. Pemeriksaan Pap Smear servikal,

bahkan memiliki hasil yang kurang sensitive dan pemeriksaan ini ataupun kultur tidak

bergantung pada diagnosis yang muncul. Hasil pemeriksaan kultur yang negative atau

hasil pemeriksaan smears yang negative, tidak dapat menyingkirkan penyakit. Uji

serologi jenis-spesifik, walaupun tidak 100% sensitive atau spesifik, merupakan

pemeriksaan yang sangat berguna dalam menentukan diagnosis klinis terhadap herpes

genital atau mendiagnosis wanita yang asimptomatik. Uji yang paling akurat adalah

uji yang berdasarkan glikoprotein G1 dan G2 yang spesifik terhadap HSV, untuk

mendiagnosis adanya HSV-1 dan HSV-2, secara berturut-turut. Uji kadar tipe spesifik

berdasarkan IgG, harus melalui permintaan khusus terhadap uji serologi.11

2.4.5. Penatalaksanaan

Saat ini tidak ada pengobatan untuk HSV dan terapi antivirus bukan

pengubatan yang disarankan bagi wanita yang tidak memiliki manifestasi klinis

infeksi. Asiklotir sistemik (Zovirax) (200mg per oral lima kali sehari dalam 7 sampai

10 hari atau sampai mencapai kesembuhan secara klinis) akan mengurangi gejala

episode klinis yang pertama, tetapi tidak memiliki dampak terhadap kambuhnya

infeksi atau pada sering dan beratnya kekambuhan saat obat dihentikan. Asiklovir

topical sebenarnya kurang efektif dibandingkan pengobatan sistemik. Asiklovir oral

dan intravena dapat melewati plasenta, mengalami penumpukan di dalam cairan

amnion dan ASI, serta akan mencapai kadar teurapeutik pada janin. 12

22
Meskipun asimtomatik pada wanita tetap dapat terjadi pelepasan virus dan

transmisi. Oleh karena sekitar 70% infeksi bayi baru lahir terjadi tanpa adanya

riwayat ibu terinfeksi HSV dan HSV terjadi pada sekitar 10% bayi yang dilahirkan

melalui seksio sesaria dengan ketuban utuh, pemeriksaan setiap minggu pada wanita

yang diketahui menderita infeksi HSV tidak dibenarkan. Penatalaksanaan berikut ini

merupakan tindakan yang dianjurkan untuk berbagai macam situasi selama

kehamilan, persalinan, dan kelahiran.12

Wanita yang tertular herpes genital saat pertengahan pertama kehamilan:

Resiko penularan herpes yang lebih tinggi pada bayi ; hindari prosedur trans-servikal

invasive sampai lesi tersebut sembuh; atasi dengan asiklovir; beberapa ahli

menyarankan untuk melanjutkan terapi suresi selama kehamilan; periksa dengan

cermat adanya lesi berulang atau mengalami gejala prodromal saat kelahiran; dapat

melahirkan pervaginam apabila tidak terdapat lesi ataupun gejala prodromal.

Wanita yang tertular herpes genital pada kehamilan akhir: Bayi yang

dikandung beresiko tinggi terhadap penularan herpes; hindari prosedur invasive trans-

servikal; dapat diatasi dengan asiklovir; persalinan dengan operasi seksio sesaria.

Wanita yang memiliki riwayat mengidap herpes genitalia: beberapa ahli

menganjurkan untuk terapi supresi asiklovir yang dimulai pada usia gestasi 36

minggu untuk mengurangi resiko infeksi berulang pada saat cukup bulan; apabila

tidak terdapat lesi atau prodromal saat persalinan atau kelahiran, wanita dapat

melahirkan pervaginam-seksio sesaria tidak diperlukan.12

Wanita cukup bulan memiliki lesi herpes genitalia yang aktif atau adanya

tanda-tanda prodromal: kelahiran dengan seksio sesaria. Wanita cukup bulan

23
memiliki herpes genitalia yang aktif dan adanya ketuban pecah: secepatnya lakukan

seksio sesaria. Wanita cukup bulan yang mengalami pecah ketuban sebelum

waktunya dan herpes genitalia aktif: beberapa ahli menyarankan penatalaksanaan dan

pengobatan pada wanita hamil dengan asiklovir akan menghemat waktu dan

glukokortikoid; hindari prosedur invasive trans-servikal; jenis kelahiran bergantung

pada adanya prodromal saat kelahiran.12

BAB 3

KESIMPULAN

1. TORCH adalah singakatan dari beberapa mikroorganisme yang terdiri dari

Toksoplasma gondii, Rubella, Cytomegalovirus (CMV), dan Herpes simplex virus

(HSV). Infeksi maternal oleh mikroorganisme tersebut dapat menyebabkan berbagai

kelaianan kelainan kongenital, persalinan preterm, IUFD, infeksi neonatal

2. Manifestasi klinis dari infeksi TORCH bergantung kepada etiologinya. Begitu juga

dengan penatalaksanaannya.

24
DAFTAR PUSTAKA

1. S. van der Weiden et al. Is routine TORCH screening and urine CMV culture
warranted in small for gestational age neonates?.Early Human Development 87
(2011) 103107.
2. Sarah Logan & Laura Price. Infectious disease in pregnancy. Obstetrics,
Gynaecology And Reproductive Medicine 21:12. 2011.
3. Catherine O'Keefe et al.Viral Infections in the Neonate. Division of Pediatric
Infectious Diseases and School of Nursing, Creighton University, Omaha, 2010.
4. Calvin Tjong. Infeksi TORCH (artikel). Pondok indah health care group. 2010.
5. Sylvia MD. TOXOPLASMOSIS. 2001. Elsevier Science Inc., all rights
reserved.
6. Alyson K.Toxoplasmosis: Diagnosis, Treatment, and Prevention in Congenitally
Exposed Infants. National Association of Pediatric Nurse Practitioners.
Published by Elsevier Inc. 2011.
7. Jennifer M.Rubella. Seminars in Fetal & Neonatal Medicine (2007) 12,
182e192. Elseiver Journal.
8. American Academy of Pediatrics: Reviewed article of Rubella. 2006
9. Gail J. Congenital cytomegalovirus: Public health action towards
awareness,prevention, and treatment. Journal of Clinical Virology 46S (2009)
S1S5.
10. Sarwono P. Ilmu Kebidanan. Jakarta:Bina Pustaka. 2008

25
11. SOGC CLINICAL PRACTICE GUIDELINEGuidelines for the management of
herpes simplex virus in pregnancy.No. 208, June 2008.
12. Helen Varney. Dkk. 2004. Buku Ajar Asuhan Kebidanan. Jakarta: EGC

26

Anda mungkin juga menyukai