Anda di halaman 1dari 22

JURNAL

Ocular involvement and visual outcome of herpes zoster


ophthalmicus: review of 45 patients from Tunisia, North

Africa


Disusun Oleh :
Dea Melinda Sabila 1102013072

Pembimbing :
Mayor CKM dr. Leidina R, Sp.M
Kolonel (Pur) dr. Dasril Dahar, Sp.M

Kepaniteraan Klinik
Departemen Ilmu Penyakit Mata
Periode 16 April – 20 Mei 2018
Rumah Sakit TK. II Moh. Ridwan Meuraksa
Jakarta Timur
Keterlibatan okular dan hasil visual pada herpes zoster oftalmikus:
review 45 pasien dari Tunisia, Afrika Utara

Kata kunci pencarian :

herpes zoster ophthalmicus, visual outcome

Dipilih jurnal dengan judul asli :

Keterlibatan okular dan hasil visual pada herpes zoster oftalmikus: review 45 pasien
dari Tunisia, Afrika Utara

Authors :

Rim Kahloun, Sonia Attia, Bechir Jelliti, Ahmed Zakaria Attia, Sana Khochtali, Salim
Ben Yahia, Sonia Zaouali dan Moncef Khairallah

Dimuat di :

Journal of Ophthalmic Inflammation and Infection 2014, 4:25

Diunduh di :

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4169054/

Pada tanggal 10 Agustus 2018. Pukul 19:54 WIB


Abstrak
Latar Belakang:
komplikasi okular dari herpes zoster oftalmikus (HZO) dapat menyebabkan
gangguan penglihatan yang cukup besar. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menggambarkan dan menganalisis keterlibatan okular dan hasil visual dari HZO
pada pasien dari Tunisia, Afrika Utara. Penelitian ini adalah review grafik secara
retrospektif pada 51 mata dari 45 pasien dengan HZO.

Hasil:
Usia rata-rata adalah 44,5 tahun. Tiga puluh pasien (66,7%) berusia di atas 50 tahun.
Dua puluh empat pasien (53,3%) adalah laki-laki dan dua puluh satu pasien (46,7%)
adalah perempuan. Secara statistik, tidak ada perbedaan yang signifikan dalam
distribusi gender. Rata rata pertama pada best corrected visual acuity (BCVA)
adalah 20/50. Manifestasi okular termasuk keterlibatan adneksa (58,8%), keratitis
(31,4%), keratouveitis (31,4%), isolated anterior uveitis (AU) (29,4%), peningkatan
tekanan intraokular (23,5%), kelumpuhan saraf oculomotor (5,8%), dan neuritis
optik (1,9%). Isolated anterior uveitis ( p < 0,001), isolated keratitis ( p = 0,001),
dan peningkatan tekanan intraokular ( p = 0,013) lebih sering terjadi secara
bersamaan dengan munculnya penyakit kulit HZO, sementara keratouveitis terjadi
lebih dari 1 bulan setelah terjadi erupsi pada HZO ( p < 0,001). AU dan
keratouveitis lebih banyak terjadi pada pasien usia ≥ 50 tahun ( p = 0,001 dan p =
0,02, masing-masing). komplikasi okular termasuk keratopati neurotropik (1,9%),
opacity kornea (5,9%), glaukoma sekunder (7,8%), atrofi optik (1,9%), dan
postherpetic neuralgia (13,3%). Rata rata follow-up adalah selama 12 bulan. Rata
rata akhir BCVA akhir adalah 20/32; sebelumnya ≥ 20/40 di 78,4% dari mata.

Kesimpulan:
Studi kami memberikan data epidemiologi dan klinis HZO pada populasi di
Tunisia. AU dan keratitis adalah komplikasi okular yang paling banyak terjadi.
Neurotropik keratopati sangat jarang terjadi sebagai koplikasi dari HZO. Hasil
visual secara keseluruhan baik, dengan sekitar tiga perempat dari pasien yang
melakukan pengobatan dapat mempertahankan VA dari 20/40 atau lebih baik.

Kata kunci :

Herpes zoster ophthalmicus; Varicella zoster virus; Uveitis; Keratouveitis;


Keratitis; Visual outcome; Epidemiology
Definisi Operasional

1. Herpes zoster oftalmikus : Infeksi virus herpes zoster yang menyerang bagian
ganglion gasseri yang menerima serabut saraf dari
cabang oftalmikus saraf trigeminus (N.V) yang
ditandai dengan erupsi herpetik unilateral pada kulit
METODE

1. Jenis Penelitian : Studi Retrospektif dengan chart review

2. Populasi : 45 pasien dengan HZO

3. Sampel : 51 mata dari 45 pasien yang didiagnosis dengan HZO

4. Jenis data : Kuantitatif

5. Prosedur Penelitian :

Studi ini merupakan studi Retrospektif dengan chart review. 45 pasien berturut-turut
(51 mata) dengan HZO ditangani di Departemen Ophthalmology di Fattouma
Bourguiba University Hospital of Monastir, Tunisia, ditinjau dari 1 Januari 2000
hingga 31 Januari 2012. Diagnosis HZO akut berdasarkan pada terdapatnya primary
vesiculomacular dan ruam kulit dysesthetic pada opthalmic dermatome. Semua pasien
menjalani pemeriksaan mata termasuk pemeriksaan adnexae, motilitas okular,
Snellen best corrected visual acuity (BCVA), pemeriksaan slit-lamp, dan uji
fluorescein. Pasien dibagi menjadi dua kelompok: kelompok I termasuk pasien tanpa
komplikasi okular terkait dengan HZO dan kelompok II termasuk pasien dengan
komplikasi okular terkait dengan HZO. Kelompok II juga dibagi menjadi dua sub
kelompok: kelompok II 1 termasuk pasien dengan komplikasi okular bersamaan saat
terjadi HZO dan kelompok II 2 termasuk pasien dengan komplikasi okular yang
terjadi 1 bulan setelah terjadi HZO. Semua pasien diobati dengan intravena asiklovir
10 mg / kg 3 kali sehari atau oral valacyclovir 3 g / hari selama 7 sampai 10 hari.
kortikosteroid topikal, cycloplegics, antibiotik topikal, topikal beta-blocker, oral
karbonat anhydrase inhibitor, dan analgesik. Pasien dengan uveitis anterior (AU)
menerima terapi antiviral selama 8 sampai 14 minggu bersama dengan kortikosteroid
topical dengan tapering off.
6. Analisis Data:

Data entry dan analisis statistik dilakukan dengan menggunakan aplikasi statistik
SPSS berbasis Windows. Proporsi dibandingkan antara kelompok dengan
menggunakan chi-square atau uji Fisher. Hubungan antara variabel dianggap
signifikan secara statistik untuk confidence level 95% ( p ≤ 0,05).
HASIL
Data demografi pasien kami diberikan dalam Tabel 2. usia Berarti adalah 44,5 tahun (kisaran 12-77). Tiga puluh pasien (66,7%) berusia
di atas 50 tahun. Tidak ada signifikansi statistik pada distribusi jenis kelamin pada pasien berusia kurang atau lebih dari 50 tahun ( p =
0,214) atau dalam usia rata-rata antara jenis kelamin ( p = 0,615). HZO adalah unilateral pada 39 pasien (86,7%). HZO mempengaruhi
mata kanan di 21 pasien (46,6%), mata kiri pada 18 pasien (40%), dan kedua mata pada 6 pasien (13,3%). penyakit sistemik terkait
termasuk diabetes mellitus (9 pasien; 20%), hipertensi sistemik (8 pasien; 17,8%), dan dislipidemia (2 pasien; 4,4%). obat yang
digunakan termasuk terapi jangka panjang kortikosteroid untuk sakit punggung (1 pasien; 2,2%) dan terapi imunosupresif untuk
leukemia (1 pasien; 2,2%) atau transplantasi ginjal (1 pasien; 2,2%). pengujian serologi mengungkapkan infeksi HIV pada 2 pasien
(4,4%).

Dari 6 pasien dengan bilateral simultan HZO, 2 memiliki diabetes, 2 berada di bawah terapi imunosupresif dan 1 memiliki infeksi HIV,
dan riwayat medis masa lalu biasa-biasa saja pada pasien yang tersisa. gejala okular termasuk mata merah dan menyakitkan pada 42
pasien (93,3%), visi kabur di 44 mata (86,2%), dan diplopia pada 3 pasien (6,7%). BCVA awal berkisar antara 20/200 ke 20/20 (mean
20/50). Itu <20/200 di 7 mata (13,7%) dan ≥ 20/40 di 15 mata (29,4%). Kelompok I termasuk 4 mata (7,8%) dari 4 pasien dan kelompok
II 47 mata (92,2%) dari 41 pasien, dibagi menjadi kelompok II 1( 32 mata; 62,7%) dan kelompok II 2 ( 15 mata; 29,5%) (Tabel 1).
Manifestasi okular termasuk keterlibatan adneksa (30 mata; 58,8%), AU (31 mata; 60,7%), keratitis dengan hypoesthesia kornea (16
mata; 31,4%), palsy saraf okulomotor (3 mata; 5,8%), dan neuritis optik dengan optik disc edema (1 mata; 1,9%). Tidak ada kasus
keterlibatan retina tercatat pada pasien kami.

Keterlibatan adneksa termasuk tutup edema (30 mata;


58,8%), subconjunctival perdarahan (23 mata; 45,1%), dan konjungtivitis vesikuler (8 mata; 25,8%). hypoesthesia kornea tercatat di 16
mata (31,4%). Keterlibatan kornea termasuk stroma keratitis di 8 mata
(15,6%), keratitis epitel di 5 mata (9,8%), dan bersamaan dangkal dan stroma keratitis di 3 mata (5,8%). Endotheliitis tidak dicatat dalam
mata yang terkena. Keratouveitis dan terisolasi AU diamati masing-masing di 16 mata (31,4%) dan dalam 15 mata (29,4%). AU adalah
akut pada 26 mata (83,8%), berulang dalam 2 mata (6,4%), dan kronis di 3 mata (6,9%). endapan keratic granulomatosa ditemukan di
18 mata (58,1%). Focal iris atrofi tercatat di 8 mata (25,8%), nodul Koeppe di 2 mata (6,5%), distorsi pupil dalam 2 mata (6,5%), dan
sinekia posterior di
5 mata (16,1%). TIO elevasi tercatat di 12 mata dari 31 mata dengan AU (23,5%) (Tabel 3). palsy saraf okulomotor termasuk saraf
keenam kranial di 2 mata (3,9%) dan saraf kranial ketiga dalam 1 mata (1,9%). Semua pasien menerima terapi antivirus 2 sampai 10 hari
(rata-rata 4 hari) setelah timbulnya gejala okular. Keratitis berangsur-angsur membaik pada semua pasien. Ada keratopati neurotropik
dalam 1 mata (1,9%) dari pasien berusia lebih dari 50 tahun dan opacity kornea di 3 mata (5,9%). TIO elevasi dikendalikan dengan
terapi medis di 8 (15. 7%) dari 12 mata dengan elevasi TIO. Empat mata (7,8%) yang dikembangkan glaukoma sekunder dengan bekam
optik disk dan defek lapang pandang.
kelumpuhan saraf oculomotor secara bertahap diselesaikan dalam waktu beberapa bulan di semua 3 mata awalnya terlibat. Kasus neuritis optik
dikembangkan atrofi disc optik dengan kehilangan VA mendalam.
Berarti BCVA akhir adalah 20/32 (kisaran 20/400 ke 20/20). Itu <20/200 di 4 mata (7,8%) dan ≥ 20/40 di 40 mata (78,4%).

analisis statistik kami menunjukkan bahwa pasien dari kelompok II 1 lebih mungkin untuk memiliki terisolasi AU ( p < 0,001), keratitis
terisolasi ( p = 0,001), dan elevasi TIO ( p = 0,013) dibandingkan pasien dengan komplikasi okular terjadi setidaknya 1 bulan setelah
HZO. Namun, keratouveitis terjadi lebih mungkin pada kelompok II 2 ( p < 0,001). AU dan keratouveitis lebih mungkin terkait dengan
usia ≥ 50 tahun ( p = 0,001 dan p = 0,02, masing-masing).
Tidak ada hubungan yang signifikan secara statistik antara komplikasi okular dari HZO dan jenis kelamin (Tabel 4). PHN tercatat
pada 6 pasien (13,3%).
DISKUSI
Perawatan standar untuk trichiasis adalah pencukuran bulu, ablasi frekuensi
radio, cryotherapy, laser argon, dan prosedur bedah. Namun, pengobatan yang diakui
secara luas dan efektif belum ditetapkan secara pasti. Ablasi frekuensi radio adalah
metode lain yang dapat dilakukan secepat pengobatan rawat jalan. Tingkat
keberhasilannya dilaporkan menjadi 60% hingga 67% dalam satu sesi ablasi
radiofrequency. Ablasi frekuensi radio dapat menimbulkan cedera panas, termasuk
perdarahan, edema, dan lain-lain, dan reaksi peradangan yang parah terjadi karena
limfosit, makrofag, dan giant cell benda asing. Reaksi inflamasi tersebut akhirnya
merusak matriks dan papilla rambut, folikel diganti dengan kolagen eosinofil, dan
karakteristik jaringan parut. Dalam proses ini, mitomycin C diantisipasi untuk
mempercepat penghancuran folikel dengan mengintensifkan reaksi inflamasi. Selain
itu, injeksi mitomycin C dianggap efektif dalam melarang pertumbuhan kembali
folikel dengan menginduksi kematian sel terprogram. Pada suatu penelitian trikiasis di
kedua kelopak mata terjadi pada dua pasien dalam kelompok 2 tanpa menggunakan
mitomycin C. Sebaliknya, tidak ada cedera trikiasis pada struktur kelopak mata yang
terdeteksi pada kelompok 1 dengan penggunaan mitomycin C. Pada temuan histologis
menunjukkan perubahan struktural pada folikel di kelompok 1 di mana jaringan
folikel yang tersedia. Namun, jaringan parut dan kerusakan di jaringan sekitarnya
tidak ditemukan menjadi parah. Mitomycin C diduga menghambat fibrosis dan efektif
dalam mencegah cedera struktural, termasuk kelopak mata pasca operasi, ectropion
kelopak mata, dan lain-lain. Selain itu, tetes mitomisin C secara lokal diterapkan pada
mata sebagai kelompok terapi adjuvan setelah operasi penyaringan glaukoma atau
prosedur pengangkatan pterygium. Dalam penelitian ini, tidak ada komplikasi yang
terdeteksi setelah menyuntikkan 0,02% mitomycin C. Dari penelitian tersebut
menggunakan suntikan tambahan mitomycin C, perawatan diantisipasi menjadi
efektif dalam mengurangi komplikasi pasca operasi yang terjadi karena cedera
kelopak mata setelah perawatan frekuensi radio. Injeksi lokal 0,02% mitomycin C
dapat diterapkan sebagai terapi adjuvan yang efektif, meningkatkan tingkat
keberhasilan ablasi frekuensi radio pada pasien dengan trichiasis. Mitomycin C dapat
membantu mencegah deformitas kelopak mata dengan memfasilitasi pemulihan luka
yang disebabkan oleh ablasi frekuensi radio.
Gambar. 1. Pasien dalam kelompok 1. (A) Gambar kelopak mata preoperatif. (B)
Tidak ada deformitas atau jaringan parut di kelopak mata pada enam bulan pasca
operasi. Pasien dalam kelompok 2. (C) Gambar kelopak mata preoperatif. (D)
Bentukan di kelopak mata pada enam bulan pasca operasi (panah hitam).
DISKUSI
I. Anatomi Palpebra

Gambar 1. Kelopak mata dan anterior bola mata. 1. Pupil, 2. Plica semilunaris, 3.
Lacrimal caruncle, 4. Kantus medial, 5. Konjunctiva, 6. Kelopak mata atas, 7. Bulu
mata, 8. Kantus lateral, 9. Margin kelopak mata, 10. Iris, 11. Kelopak mata bawah.
Palpebra adalah lipatan tipis kulit, otot, dan jaringan fibrosa yang
berfungsi melindungi struktur-struktur mata yang rentan. Palpebra superior dan
inferior adalah modifikasi lipatan kulit yang dapat menutup dan melindungi bola mata
bagian inferior. Pada pelpebra terdapat rambut halus, yang hanya tampak dengan
pembesaran.
Kelopak mata atas lebih lebar dan mobile dibandingkan dengan kelopak
mata bawah, dan mempunyai otot penggerak yaitu otot levator palpebra. Fisura
palpebra, terletak pada tepi bebas kelopak mata dan bergabung pada kantus lateral dan
medial. Kantus lateral relatif tidak mempunyai keistimewaan khusus. Kantus medial
sekitar 2 mm di bawah kantus lateral (jarak ini relatif lebih lebar pada orang Asia).
Kantus medial yang merupakan area kecil berbentuk segitiga yang memisahkan kedua
bola mata, dimana lacrimal caruncle terletak.
Papila lakrimal, terletak pada margin palpebra jaraknya sekitar 1/6 dari
kantus medial mata. Punctum lakrimal, terletak di tengah papila yang membentuk
muara dari sistem drainase lakrimal. Dari margin lateral kelopak mata menuju ke
papila lakrimal terdapat beberapa bulu mata yang disebut bagian siliaris kelopak
mata. Dari margin medial menuju ke papila yang tidak memiliki bulu mata
membentuk bagian lakrimal bulu mata.
Ketika melihat lurus ke depan, kelopak mata atas menutupi bagian atas
dari kornea sekitar 2 sampai 3 mm, dimana kelopak mata bawah hanya menutupi
sampai di limbus. Ketika mata ditutup, kelopak mata atas menutupi seluruh bagian
kornea. Malposisi pada kelopak mata bawah adalah umum, terutama pada orang tua.
Ektropion adalah bergulir keluarnya kelopak mata bawah sehingga tidak lagi kontak
dengan kornea. Sedangkan entropion menggambarkan inversi kelopak mata yang
dapat menyebabkan bulu mata mengarah ke dalam (trikiasis) yang dapat
menyebabkan iritasi kornea.
Setiap margin kelopak mata tebalnya 2 sampai 3 mm. 2/3 anterior dari
kelopak mata merupakan kulit dan 1/3 posterior merupakan mukosa konjunctiva.
Sebuah garis abu-abu yang tajam terletak anterior dari mucocutaneous junction,
berhubungan dengan lokasi dari bagian siliaris dari orbicularis oculi dan merupakan
surgical landmark, karena insisi pada titik ini menyebabkan kelopak mata terpisah
menjadi lamela anterior dan posterior. Bulu mata terletak di depan garis abu-abu dan
muara sirkular kelenjar tarsal (kelenjar meibom) terletak di belakangnya.
Kelopak mata terdiri atas tujuh lapisan. Dari superficial ke dalam terdapat
lapisan kulit dan jaringan subkutan, lapisan otot orbikularis okuli, septum orbita,
lemak orbita, lapisan otot retraktor, jaringan fibrosa (tarsus), dan lapisan membrane
mukosa (konjungtiva palpebrae).

Gambar 2. Anatomi palpebra


Berikut merupakan ketujuh lapisan dari palpebra :
- Lapisan kulit dan jaringan subkutan
Lapisan kulit palpebra merupakan lapisan paling tipis pada
tubuh, longgar, elastik dan tanpa jaringan lemak subkutan.
- Lapisan otot orbikularis okuli
Fungsi m. orbicularis oculi adalah menutup palpebra. Serat-serat
ototnya mengelilingi fissure palpebrae secara konsentris dan meluas
sedikit melewati tepian orbita. Sebagian serat berjalan ke pipi dan dahi.
Bagian otot yang terdapat di dalam palpebra dikenal sebagai bagian
pratarsal,, bagian di atas septum orbital adalah bagian praseptal. Segmen
di luar palpebra disebut bagian orbita. M. orbicularis oculi dipersarafi oleh
nervus facialis (N. VII).

Gambar 3. M. orbicularis oculi dan m. frontalis (a) bagian pretarsal, (b) bagian
preseptal, (c) bagian orbital, (d) m. frontalis
- Septum orbita
Merupakan lapisan tipis, terdiri dari jaringan fibrosa, muncul dari
periosteum di atas orbital rim bagian superior dan inferior pada arcus
marginalis. Pada palpebra superior, septum orbita bergabung dengan
levator aponeurosis 2-5 mm di atas tarsal superior. Pada palpebra inferior,
septum orbita bergabung dengan fascia kapsulopalpebra di bawah tarsal
inferior.
- Lemak orbita
Lemak orbita terletak pada posterior dari septum orbita dan
anterior dari levator aponeurosis (palpebra superior) atau fascia
kapsulopalpebra (palpebra inferior). Pada palpebra superior, terdapat 2
kantong lemak; nasal dan sentral. Pada palpebra inferior, terdapat 3
kantong lemak; nasal, sentral, dan temporal. Kantong-kantong lemak ini
dikelilingi oleh lapisan tipis fibrosa yang merupakan kelanjutan dari
anterior septum orbita.
- Otot-otot retraktor
Otot retraktor palpebra superior adalah otot levator dengan
aponeurosis dan otot tarsal superior (M. Muller). Pada palpebra inferior
adalah fascia kapsulopalpebra dan otot tarsal inferior.
- Tarsus
Struktur penyokong utama dari palpebra adalah lapisan jaringan
fibrosa padat yang bersama sedikit jaringan elastic disebut tarsus superior
dan inferior. Sudut lateral dan medial dan juluran tarsus tertambat pada
tepian orbita oleh ligament palpebra lateralis dan medialis. Tarsus
superior dan inferior juga tertambat oleh fascia tipis dan padat pada tepi
atas dan bawah orbita.
- Konjunctiva
Konjunctiva tersusun oleh epitel squamous non keratin,
membentuk lapisan di posterior dari palpebra dan terdiri dari sel-sel
goblet, kelenjar lakrimal Wolfring dan Krause. Kelenjar lakrimal terletak
di jaringan subkonjunctiva palpebra superior dan inferior. Kelenjar
Wolfring terletak di sepanjang tarsal, sedangkan kelenjar Krause terletak
pada forniks.

II. Anatomi Bulu Mata


Bulu mata (dalam bahasa Yunani : blepharo) adalah rambut-rambut
pendek, halus dan melengkung yang terdiri dari 2 sampai 3 lapisan yang tumbuh pada
tepi kelopak mata. Bulu mata berfungsi melindungi bola mata dari debris dan benda
asing. Bulu mata kelopak mata bagian atas lebih panjang, lebih banyak, dan
melengkung keatas dimana bulu mata kelopak mata bagian bawah lebih pendek, lebih
sedikit dan melengkung ke bawah sehingga tidak saling bertemu dan mengganggu
ketika kedua kelopak mata ditutup.
Pada fase embryo, bulu mata tumbuh dari jaringan ektoderm pada umur
kehamilan 22 sampai 26 minggu. Bulu mata membutuhkan waktu 7 sampai 8 minggu
untuk tumbuh kembali setelah dicabut tetapi penyabutan bulu mata secara terus-
menerus dan konstan dapat menyebabkan kerusakan permanen. Warna bulu mata
dapat berbeda dari rambut pada umumnya, walaupun mereka dapat berwarna lebih
gelap pada seseorang dengan rambut warna gelap dan berwarna lebih terang pada
orang dengan rambut warna terang.
Beberapa penyakit dan kelainan pada bulu mata yaitu:
- Madarosis, adalah kehilangan bulu mata dapat merupakan kelainan
kongenital atau akibat infeksi seperti leprosy, alopecia totalis dll.
- Blepharitis, adalah peradangan kronik pada kelopak mata dengan
tingkat keparahan yang bervariasi. Kelopak mata menjadi merah dan
gatal, kulit kelopak mata menjadi menebal dan dapat menyebabkan
bulu mata rontok.
- Distichiasis, adalah pertumbuhan abnormal dari bulu mata pada
beberapa area dari kelopak mata.
- Trichiasis, adalah pertumbuhan bulu mata ke dalam yang dapat
menggosok kornea dan konjunctiva dapat menyebabkan iritasi.
- Hordeolum eksterna, adalah peradangan purulen folikel bulu mata,
kelenjar Zeis dan kelenjar Moll sekitar pada kelopak mata.
- Trikotilomania, adalah kelainan berupa keinginan untuk mencabut
rambut kepala, bulu mata, dll.
- Demodex folliculorum, adalah sejenis tungau yang hidup di bulu mata
dan folikel rambut, dan sekitar 98 % orang mempunyai tungau ini.
Terkadang, tungau ini dapat menyebabkan blepharitis.

III. Trikiasis
3.1 Definisi
Trikiasis adalah suatu kelainan dimana bulu mata mengarah ke dalam bola
mata yang dapat menggosok kornea atau konjunctiva yang dapat menyebabkan iritasi.
Trichiasis harus dibedakan daripada entropion, dimana pada entropion terjadi
pelipatan palpebra ke arah dalam. Kemungkinan dimana terjadinya entropion dan
trikiasis bersamaan dapat terjadi, dan dibutuhkan terapi untuk keduanya.
3.2 Epidemiologi
Trikiasis dapat terjadi pada semua usia, namun lebih sering ditemukan
pada orang dewasa. Belum ditemukan bukti adanya predileksi pada ras-ras tertentu
ataupun jenis kelamin.
3.3 Etiologi dan Patofisiologi
Setiap orang dapat terjadi trikiasis, namun umumnya lebih sering terjadi
pada orang dewasa. Trikiasis dapat disebabkan oleh infeksi pada mata, peradangan
pada palpebra, kondisi autoimun, dan trauma. Proses penuaan juga merupakan
penyebab umum terjadinya trikiasis, karena kulit yang kehilangan elastisitas.
Beberapa kondisi yang dapat meningkatkan resiko terjadinya trikiasis
sebagai berikut:
- Idiopatik
- Blefaritis kronik : Margo palpebra meradang, menebal,
berkrusta, erythem dengan secret ringan dan telangiektasis
pembuluh darah
- Sikatriks : Dapat diakibatkan oleh luka palpebra oleh trauma.
- Epiblepharon, penyakit kongenital yang terjadi dimana jaringan
longgar di sekitar mata membentuk lipatan yang abnormal kulit
dan otot pretarsal, menyebabkan bulu mata mengarah ke dalam.
- Trachoma, suatu konjunctivitis folikular kronik yang
berkembang hingga terbentuknya jaringan parut. Pada kasus
yang berat, trikiasis dapat terjadi akibat jaringan parut yang
berat.
- Penyakit-penyakit lainnya yang dapat mengenai kulit dan
membran mukosa seperti Steven Johnson Syndrome dan
cicatrical pemphigoid.
Selain dari penyakit-penyakit diatas, pentingnya membedakan tipe-tipe
kelainan dari bulu mata yang dapat menyebabkan trikiasis, dimana
penatalaksanaannya dapat berbeda tergantung dari penyebabnya. Pembagian trikiasis
berdasarkan kelainan bulu mata yaitu sebagai berikut:
- Acquired metaplastic eyelashes. Biasanya disebabkan peradangan
kelopak mata seperti meibomitis atau trauma akibat pembedahan,
dimana epitel kelenjar meibom mengalami perubahan metaplastik
menjadi folikel rambut. Hal ini menyebabkan pertumbuhan bulu mata
lebih posterior daripada normal dimana dapat mengarah ke belakang.
- Congenital metaplastic eyelashes. Kelainan kongenital dimana
kelenjar meibom menjadi multipoten berkembang menjadi folikel-
folikel rambut. Barisan kedua dari bulu mata tumbuh dari permukaan
kelenjar meibom. Bulu mata yang tumbuh tersebut mengarah secara
vertikel, dan pada anak-anak dapat ditoleransi dikarenakan oleh
adanya tear film yang bagus dan sedikit mengurangi sensasi kornea.
- Misdirected eyelashes. Pertumbuhan bulu mata yang normal, namun
akibat dari sedikit jaringan parut pada margin kelopak mata
menyebabkan perubahan arah dari bulu mata ke dalam.
- Marginal entropion. Pembalikan dari margin kelopak mata akibat dari
proses parut dari lamela posterior kelopak mata.

3.4 Manifestasi Klinik


Pasien dapat mengeluhkan sensasi benda asing, iritasi pada permukaan
bola mata yang kronik, lesi pada kelopak mata, gatal, nyeri pada mata, dan mata
bengkak. Abrasi kornea sampai dapat terjadi ulkus kornea, injeksi konjungtiva,
keluarnya cairan mucus, dan pandangan menjadi kabur dapat menyertai penyakit ini.
3.5 Diagnosis dan Diagnosis Banding
Anamnesis : Pada anamnesis dapat ditanyakan mengenai riwayat penyakit
sebelumnya yang pernah diderita oleh pasien.
- Apakah pasien pernah menderita infeksi mata berat atau pernah berada
di negara endemik trakoma seperti di Afrika dan negaranegara timur
tengah?
- Apakah pasien memiliki riwayat penyakit autoimmune seperti
pemphigoid sikatrik?
- Apakah ada riwayat mengalami sindrom steven johnson sebelumnya?
- Apakah ada riwayat trauma pada mata?
- Apakah pasien pernah menjalani operasi mata sebelumnya?
Pasien dengan trikiasis dapat mengeluhkan sensasi benda asing dan iritasi
permukaan bola mata kronik. Apabila lebih berat hingga menimbulkan ulkus kornea ,
maka akan timbul keluhan mata merah, sakit pada mata, fotofobia, dan penglihatan
menurun.
Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi : Pada pemeriksaan inspeksi dengan menggunakan slit lamp
didapatkan satu atau lebih silia tumbuh ke arah kornea atau konjungtiva bulbi. Refleks
blefarospasme, kongestif konjungtiva, dan fotofobia dapat terjadi apabila kornea telah
mengalami abrasi. Tanda dan gejala penyakit penyerta seperti trakoma, blefaritis, dan
lain-lain, dapat ditemukan.
b. Eversi kelopak mata : Eversi kelopak dilakukan dengan mata pasien melihat
jauh ke bawah. Pasien diminta jangan mencoba memejamkan mata. Tarsus ditarik ke
arah orbita. Pada konjungtiva dapat dicari adanya folikel, perdarahan, sikatriks dan
kemungkinan benda asing.
c. Fluoresein : Fluoresin adalah bahan yang berwarna jingga merah yang bila
disinari gelombang biru akan memberikan gelombang hijau. Kertas fluoresein yang
dibasahi terlebih dahulu dengan garam fisiologik diletakkan pada sakus konjungtiva
inferior. Penderita diminta untuk menutup matanya selama 20 detik, beberapa saat
kemudia kertas ini diangkat. Dilakukan irigasi konjungtiva dengan garam fisiologik.
Dilihat permukaan kornea bila terlihat warna hijau dengan sinar biru berarti ada
kerusakan epitel kornea. Defek kornea terlihat berwarna hijau karena pada bagian
defek tersebut bersifat basa. Pada keadaan ini disebut uji fluoresein positif.
Pemeriksaan ini dipakai untuk melihat terdapatnya defek epitel kornea akibat gesekan
dari silia bulu mata yang mengalami trikiasis
Trikiasis dapat didiagnosis banding dengan entropion. Entropion adalah
pelipatan kelopak mata ke arah dalam yang dapat disebabkan oleh involusi, sikatrik,
atau congenital. Gangguan ini selalu mengenai kelopak mata bawah dan merupakan
akibat gabungan kelumpuhan otot-otot retractor kelopak mata , mikrasi ke atas
muskulus orbikularis preseptal, dan melipatnya tarsus ke atas.
3.6 Penatalaksanaan
Beberapa penelitian telah meneliti pengobatan trichiasis menggunakan
pencukuran bulu, ablasi frekuensi radio, cryotherapy, laser argon, dan prosedur bedah.
Dalam penelitian terbaru terapi peran Mitomycin C menghambat proliferasi
fibroblast, dan telah umum digunakan dalam oftalmologi untuk menghambat jaringan
parut pada area bedah dengan menginduksi apoptosis. Mitomycin C meningkatkan IL-
8 (kemokin makrofag dan atraktan kimia) dan MCP-1 (aktivator limfosit dan neutrofil
dan atraktan kimia) di fibroblast kornea dan menghasilkan reaksi inflamasi. Pada
keadaan ablasi frekuensi radio menimbulkan cedera panas, termasuk perdarahan,
edema, dan lain-lain, dan reaksi peradangan yang parah terjadi karena limfosit,
makrofag, dan sel-sel raksasa benda asing. Reaksi inflamasi tersebut akhirnya
merusak matriks dan papilla rambut, dan folikel diganti dengan kolagen eosinofil,
karakteristik jaringan parut. Dalam proses ini, mitomycin C diantisipasi untuk
mempercepat penghancuran folikel dengan mengintensifkan reaksi inflamasi. Selain
itu, injeksi mitomycin C dianggap efektif dalam melarang pertumbuhan kembali
folikel dengan menginduksi kematian sel terprogram. Injeksi lokal 0,02% mitomycin
C dapat diterapkan sebagai terapi adjuvan yang efektif, meningkatkan tingkat
keberhasilan ablasi frekuensi radio pada pasien dengan trichiasis. Mitomycin C dapat
membantu mencegah deformitas kelopak mata dengan memfasilitasi pemulihan luka
yang disebabkan oleh ablasi frekuensi radio.
Jika hanya sedikit bulu mata yang terlibat, trikiasis dapat diterapi dengan
mechanical epilation, yaitu membuang bulu mata yang tumbuh ke dalam dengan
forcep pada slit lamp. Karena pertumbuhan kembali dapat terjadi, epilasi berulang
diperlukan setelah 3-8 minggu.
Electrolysis dapat digunakan untuk menatalaksana trikiasis. Akan tetapi
tingkat rekurensinya tinggi, selain itu bulu mata normal yang berdekatan dapat
menjadi rusak dan jaringan parut pada jaringan margin palpebra dapat menyebabkan
trikiasis lebih lanjut.
Radiosurgery dapat memperbaiki bulu mata yang abnormal dengan
menggunakan ujung jarum yang dimasukkan dari ujung silia ke basis silia. Sinyal
radiosurgery dikirimkan kurang lebih selama 1 detik dengan tenaga yang lemah untuk
menghancurkan folikel rambut. Ketika ujung jarum dipindahkan, maka bulu mata
dapat diangkat dengan mudah.
Trikiasis segmental dapat diperbaiki dengan cryotherapy. Cryotherapy
hanya membutuhkan anestesia lokal infiltratif. Folikel dari bulu mata sangat sensitif
terhadap dingin dan dapat dihancurkan pada suhu -20o C. Area yang terlibat
dibekukan kurang lebih selama 25 detik dan kemudian dibiarkan mencair. Kemudian
dibekukan kembali selama 20 detik (double freeze-thaw technique). Beberapa sumber
menyebutkan, membutuhkan 45 detik membekukan dengan 4 menit mencairkan
secara lambat untuk double freeze-thaw technique. Bulu mata yang abnormal dapat
diangkat dengan forcep. Kekurangan dari cryotherapy adalah edema yang dapat
bertahan selama beberapa hari, kehilangan pigmen kulit melanosit yang dapat hancur
pada suhu -10o C sehingga dapat hancur terlebih dahulu sebelum folikel rambut
dihancurkan, penebalan margin palpebra, dan kemungkinan gangguan fungsi sel
goblet. Metode ini dapat dikombinasi dengan berbagai tehnik pembedahan dan dapat
diulangi jika persisten atau berulang.
Penggunaan Argon Laser pada trikiasis tidak se-efektif seperti
menggunakan cryotherapy, tetapi dapat sangat berguna ketika hanya sedikit dari bulu
mata yang tersebar membutuhkan ablasi atau ketika stimulasi dari area peradangan
yang lebih besar tidak dibutuhkan. Beberapa pigmen dibutuhkan pada dasar bulu mata
untuk menyerap energi laser dan mengablasi bulu mata, menyebabkan tehnik ini
sensitif terhadap warna rambut. Ablasi menggunakan argon laser membutuhkan sinar
dengan lebar 200_m untuk kelopak mata bawah, dan 250 _m untuk kelopak mata atas,
untuk kedalaman yang sama dengan electrolysis.
Dari semua tehnik yang telah disebutkan, tingkat keberhasilan dapat
bervariasi, dan penatalaksanaan tambahan biasanya diperlukan. Full thickness
pentagonal resection dengan penutupan primer dapat dipertimbangkan ketika trikiasis
terbatas pada segmen palpebra.
Tingkat keberhasilan ablasi bulu mata dapat ditingkatkan dengan
transconjunctival eyelash bulb extirpation di bawah mikroskop. Hal ini dapat
digunakan sebagai prosedur primer atau ketika upaya elektrolisis atau modalitas
ablasi lainnya telah gagal dan pengobatan lebih lanjut berisiko terbentuknya jaringan
parut.
3.7 Komplikasi
Apabila tidak ditangani dengan segera trikiasis dapat menyebabkan
komplikasi seperti iritasi pada permukaan bola mata yang kronik, abrasi kornea,
terjadi ulkus kornea, perforasi, sampai terjadinya infeksi bola mata. Komplikasi lebih
lanjut dapat menyebabkan kebutaan.
3.8 Prognosis
Prognosis umumnya baik. Tindak lanjut perawatan berkala dan perhatian
terhadap komplikasi, kekambuhan, atau komplikasi kornea dapat meningkatkankan
prognosis jangka panjang.
KESIMPULAN
Trikiasis merupakan kondisi dimana silia bulu mata melengkung ke arah
bola mata. Trikiasis biasanya terjadi akibat inflamasi atau jaringan parut pada
palpebra setelah operasi palpebra, trauma, kalasion, atau blefaritis kronik yang berat.
Trikiasis sering dikaitkan dengan penyakit sikatriks kronik seperti pemphigoid ocular,
trakoma, dan Steven Johnson Syndrome. Pasien mengeluhkan sensasi benda asing
dan iritasi permukaan bola mata kronik. Abrasi kornea, injeksi konjungtiva, keluarnya
cairan mukus, dan reflex epifora merupakan gambaran yang sering ditemukan.
Penanganan trikiasis dengan penggunaan 0,02% mitomycin C bersamaan dengan
ablasi frekuensi radio dapat membantu meningkatkan tingkat keberhasilan
pengobatan ablasi radiofrekuensi pada pasien trichiasis.

DAFTAR PUSTAKA
1. Kim, Gyu-Nam at all. 2014. The Effect of 0.02% Mitomycin C Injection into
the Hair Follicle with Radiofrequency Ablation in Trichiasis Patients. Korean
J Ophthalmol, South Korea.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3913977/pdf/kjo-28-12.pdf.
[Di unduh pada tanggal 23 April 2018].
2. AAO. 2007. Orbit, Eyelid, and Lacrimal System.American Academy of
Ophtalmology.
3. Ilyas, Sidharta. 2008. Ilmu Penyakit Mata Edisi Ketiga. Jakarta : Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia.
4. Vaughan dan Asbury., Riordan, Paul-Eva., Whitcher, JP. 2009. Oftalmologi
Umum Edisi 17. Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai