Anda di halaman 1dari 31

JURNAL

Ocular involvement and visual outcome of herpes zoster


ophthalmicus: review of 45 patients from Tunisia, North

Africa


Disusun Oleh :
Denie Rahmad
1102011074

Pembimbing :
Kolonel (Pur) dr. Dasril Dahar, Sp.M

Kepaniteraan Klinik
Departemen Ilmu Penyakit Mata
Periode 6 Agustus – 9 September 2018
Rumah Sakit TK. II Moh. Ridwan Meuraksa
Jakarta Timur
Keterlibatan okular dan hasil visual pada herpes zoster oftalmikus:
review 45 pasien dari Tunisia, Afrika Utara

Kata kunci pencarian :

herpes zoster ophthalmicus, visual outcome

Dipilih jurnal dengan judul asli :

Keterlibatan okular dan hasil visual pada herpes zoster oftalmikus: review 45 pasien
dari Tunisia, Afrika Utara

Authors :

Rim Kahloun, Sonia Attia, Bechir Jelliti, Ahmed Zakaria Attia, Sana Khochtali, Salim
Ben Yahia, Sonia Zaouali dan Moncef Khairallah

Dimuat di :

Journal of Ophthalmic Inflammation and Infection 2014, 4:25

Diunduh di :

https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4169054/

Pada tanggal 10 Agustus 2018. Pukul 19:54 WIB


Abstrak

Latar Belakang:

komplikasi okular dari herpes zoster oftalmikus (HZO) dapat menyebabkan


gangguan penglihatan yang cukup besar. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menggambarkan dan menganalisis keterlibatan okular dan hasil visual dari HZO
pada pasien dari Tunisia, Afrika Utara. Penelitian ini adalah review grafik secara
retrospektif pada 51 mata dari 45 pasien dengan HZO.

Hasil:

Usia rata-rata adalah 44,5 tahun. Tiga puluh pasien (66,7%) berusia di atas 50 tahun.
Dua puluh empat pasien (53,3%) adalah laki-laki dan dua puluh satu pasien (46,7%)
adalah perempuan. Secara statistik, tidak ada perbedaan yang signifikan dalam
distribusi gender. Rata rata pertama pada best corrected visual acuity (BCVA)
adalah 20/50. Manifestasi okular termasuk keterlibatan adneksa (58,8%), keratitis
(31,4%), keratouveitis (31,4%), isolated anterior uveitis (AU) (29,4%), peningkatan
tekanan intraokular (23,5%), kelumpuhan saraf oculomotor (5,8%), dan neuritis
optik (1,9%). Isolated anterior uveitis ( p < 0,001), isolated keratitis ( p = 0,001),
dan peningkatan tekanan intraokular ( p = 0,013) lebih sering terjadi secara
bersamaan dengan munculnya penyakit kulit HZO, sementara keratouveitis terjadi
lebih dari 1 bulan setelah terjadi erupsi pada HZO ( p < 0,001). AU dan
keratouveitis lebih banyak terjadi pada pasien usia ≥ 50 tahun ( p = 0,001 dan p =
0,02, masing-masing). komplikasi okular termasuk keratopati neurotropik (1,9%),
opacity kornea (5,9%), glaukoma sekunder (7,8%), atrofi optik (1,9%), dan
postherpetic neuralgia (13,3%). Rata rata follow-up adalah selama 12 bulan. Rata
rata akhir BCVA akhir adalah 20/32; sebelumnya ≥ 20/40 di 78,4% dari mata.

Kesimpulan:
Studi kami memberikan data epidemiologi dan klinis HZO pada populasi di
Tunisia. AU dan keratitis adalah komplikasi okular yang paling banyak terjadi.
Neurotropik keratopati sangat jarang terjadi sebagai koplikasi dari HZO. Hasil
visual secara keseluruhan baik, dengan sekitar tiga perempat dari pasien yang
melakukan pengobatan dapat mempertahankan VA dari 20/40 atau lebih baik.

Kata kunci :

Herpes zoster ophthalmicus; Varicella zoster virus; Uveitis; Keratouveitis;


Keratitis; Visual outcome; Epidemiology
Definisi Operasional

1. Herpes zoster oftalmikus : Infeksi virus herpes zoster yang menyerang bagian
ganglion gasseri yang menerima serabut saraf dari
cabang oftalmikus saraf trigeminus (N.V) yang
ditandai dengan erupsi herpetik unilateral pada kulit
METODE

1. Jenis Penelitian : Studi Retrospektif dengan chart review

2. Populasi : 45 pasien dengan HZO

3. Sampel : 51 mata dari 45 pasien yang didiagnosis dengan HZO

4. Jenis data : Kuantitatif

5. Prosedur Penelitian :

Studi ini merupakan studi Retrospektif dengan chart review. 45 pasien berturut-turut
(51 mata) dengan HZO ditangani di Departemen Ophthalmology di Fattouma
Bourguiba University Hospital of Monastir, Tunisia, ditinjau dari 1 Januari 2000
hingga 31 Januari 2012. Diagnosis HZO akut berdasarkan pada terdapatnya primary
vesiculomacular dan ruam kulit dysesthetic pada opthalmic dermatome. Semua pasien
menjalani pemeriksaan mata termasuk pemeriksaan adnexae, motilitas okular,
Snellen best corrected visual acuity (BCVA), pemeriksaan slit-lamp, dan uji
fluorescein. Pasien dibagi menjadi dua kelompok: kelompok I termasuk pasien tanpa
komplikasi okular terkait dengan HZO dan kelompok II termasuk pasien dengan
komplikasi okular terkait dengan HZO. Kelompok II juga dibagi menjadi dua sub
kelompok: kelompok II 1 termasuk pasien dengan komplikasi okular bersamaan saat
terjadi HZO dan kelompok II 2 termasuk pasien dengan komplikasi okular yang
terjadi 1 bulan setelah terjadi HZO. Semua pasien diobati dengan intravena asiklovir
10 mg / kg 3 kali sehari atau oral valacyclovir 3 g / hari selama 7 sampai 10 hari.
kortikosteroid topikal, cycloplegics, antibiotik topikal, topikal beta-blocker, oral
karbonat anhydrase inhibitor, dan analgesik. Pasien dengan uveitis anterior (AU)
menerima terapi antiviral selama 8 sampai 14 minggu bersama dengan kortikosteroid
topical dengan tapering off.

6. Analisis Data:

Data entry dan analisis statistik dilakukan dengan menggunakan aplikasi statistik
SPSS berbasis Windows. Proporsi dibandingkan antara kelompok dengan
menggunakan chi-square atau uji Fisher. Hubungan antara variabel dianggap
signifikan secara statistik untuk confidence level 95% ( p ≤ 0,05).
HASIL

Data demografi pasien kami diberikan dalam Tabel 2. Usia rata rata adalah 44,5 tahun
(kisaran 12-77 tahun). Tiga puluh pasien (66,7%) berusia di atas 50 tahun. Tidak ada
data statistik yang signifikan pada distribusi jenis kelamin pada pasien berusia kurang
atau lebih dari 50 tahun ( p = 0,214) atau dalam usia rata-rata ( p = 0,615). HZO
unilateral pada 39 pasien (86,7%). HZO mempengaruhi mata kanan pada 21 pasien
(46,6%), mata kiri pada 18 pasien (40%), dan kedua mata pada 6 pasien (13,3%).
Penyakit sistemik yang terkait pada pasien termasuk diabetes mellitus (9 pasien;
20%), hipertensi sistemik (8 pasien; 17,8%), dan dislipidemia (2 pasien; 4,4%). Obat
yang digunakan yaitu terapi jangka panjang kortikosteroid untuk sakit punggung (1
pasien; 2,2%) dan terapi imunosupresif untuk leukemia (1 pasien; 2,2%) atau
transplantasi ginjal (1 pasien; 2,2%). pengujian serologi mengungkapkan infeksi HIV
pada 2 pasien (4,4%).

Dari 6 pasien dengan bilateral simultan HZO, 2 memiliki diabetes, 2 menggunakan


terapi imunosupresif dan 1 memiliki infeksi HIV, dan sisa pasien tidak memiliki
riwayat medis sebelumnya. gejala okular termasuk mata merah dan nyeri pada 42
pasien (93,3%), pandangan kabur pada 44 mata (86,2%), dan diplopia pada 3 pasien
(6,7%). BCVA awal berkisar antara 20/200 sampai 20/20 (mean 20/50). Pada 7 mata
<20/200 (13,7%) dan ≥ 20/40 di 15 mata (29,4%). Kelompok I terdapat 4 mata (7,8%)
dari 4 pasien dan kelompok II terdapat 47 mata (92,2%) dari 41 pasien, dibagi
menjadi kelompok II 1 ( 32 mata; 62,7%) dan kelompok II 2 ( 15 mata; 29,5%) (Tabel
1). Manifestasi okular termasuk keterlibatan adneksa (30 mata; 58,8%), AU (31 mata;
60,7%), keratitis dengan hypoesthesia kornea (16 mata; 31,4%), Oculomotor nerve
palsy (3 mata; 5,8%), dan neuritis optik dengan optik disc edema (1 mata; 1,9%).
Tidak ada kasus keterlibatan retina tercatat pada pasien kami.
Keterlibatan adneksa termasuk lid edema (30 mata; 58,8%), perdarahan
subconjunctival (23 mata; 45,1%), dan konjungtivitis vesikuler (8 mata; 25,8%).
hypoesthesia kornea tercatat di 16 mata (31,4%). Keterlibatan kornea termasuk
stroma keratitis di 8 mata (15,6%), keratitis epitel di 5 mata (9,8%), dan stroma
keratitis di 3 mata (5,8%). Endothelitis tidak dicatat pada mata yang terkena.
Keratouveitis dan isolated AU diamati masing-masing pada 16 mata (31,4%) dan
dalam 15 mata (29,4%). AU akut pada 26 mata (83,8%), berulang dalam 2 mata
(6,4%), dan kronis di 3 mata (6,9%). Granulomatosa keratic precipitate ditemukan di
18 mata (58,1%). Atrofi fokal iris tercatat di 8 mata (25,8%), nodul Koeppe di 2 mata
(6,5%), distorsi pupil dalam 2 mata (6,5%), dan sinekia posterior di 5 mata (16,1%).
Peningkatan TIO tercatat di 12 mata dari 31 mata dengan AU (23,5%) (Tabel 3).
Oculomotor nerve palsy, termasuk saraf keenam kranial di temukan pada 2 mata
(3,9%) dan saraf kranial ketiga pada 1 mata (1,9%).

Semua pasien menerima terapi antivirus 2 sampai 10 hari (rata-rata 4 hari) setelah
timbulnya gejala okular. Keratitis berangsur-angsur membaik pada semua pasien.
Terdapat keratopati neurotropik pada 1 mata (1,9%) dari pasien berusia lebih dari 50
tahun dan opacity kornea di 3 mata (5,9%). Peningkatan TIO yang di control dengan
terapi medis sebanyak 8 mata (15. 7%) dari 12 mata dengan peningkatan TIO. Empat
mata (7,8%) berkembang menjadi glaukoma sekunder dengan optic disc cupping dan
visual field defect.
Kelumpuhan saraf oculomotor secara bertahap dapat diperbaiki dalam waktu
beberapa bulan di 3 mata sejak pertama terlibat. Kasus neuritis optik berkembang
menjadi optic disc atrphy atrofi disc optik dengan hilangnya VA yang mendalam.

Rata rata akhir BCVA adalah 20/32 (kisaran 20/400 ke 20/20). Berarti <20/200 di
4 mata (7,8%) dan ≥ 20/40 di 40 mata (78,4%). Analisis statistik kami
menunjukkan bahwa pasien dari kelompok II 1 lebih mungkin untuk memiliki
isolated AU ( p < 0,001), isolated keratitis ( p = 0,001), dan peningkatan TIO (p =
0,013) dibandingkan dengan pasien dengan komplikasi okular terjadi setidaknya 1
bulan setelah HZO. Namun, keratouveitis mungkin terjadi lebih banyak pada
kelompok II 2 ( p < 0,001). AU dan keratouveitis lebih mungkin terkait dengan
usia ≥ 50 tahun ( p = 0,001 dan p = 0,02, masing-masing).
Tidak ada hubungan yang signifikan secara statistik antara komplikasi okular
dari HZO dan jenis kelamin (Tabel 4). PHN tercatat pada 6 pasien (13,3%).
DISKUSI

Perkiraan herpes zoster berkisar antara 320 dan 410 per 100.000 orang per tahun.
Sebuah studi terbaru dari wilayah Pasifik memperkirakan tingkat kejadian
keseluruhan HZO yaitu 30,9 per 100.000 orang-tahun, yang kira-kira 10% dari
semua perkiraan dari herpes zoster keseluruhan. Dalam penelitian kami, 66,7%
pasien berusia di atas 50 tahun, dan 53,3% pasien berusia antara 50 dan 70 tahun.
Studi sebelumnya menunjukkan bahwa kejadian HZO meningkat secara signifikan
bergantung dengan usia. Serangkaian kasus baru melaporkan bahwa HZO
mempengaruhi semua individu yang berusia lebih muda dari atau lebih tua dari 60
tahun, dengan dekade yang paling umum dari onset antara usia 50 dan 59 tahun.
Dalam penelitian terbaru, tingkat kejadian untuk sub-kelompok populasi yang
lebih tua dari 65 tahun adalah sekitar lima kali dari seluruh penduduk. Peningkatan
usia telah dikaitkan dengan penurunan imunitas sel, yang merupakan faktor
penting untuk menghindari reaktivasi virus varicella zoster laten.
Dalam penelitian kami, terapi imunosupresif dan infeksi HIV dicatat dalam 3 (20%)
dari 15 pasien yang berusia kurang dari 50 tahun.

Hasil penelitian kami, sesuai dengan data dari laporan sebelumnya, menunjukkan
tidak ada perbedaan yang signifikan dalam insiden HZO antara pria dan wanita
secara keseluruhan dan antara kelompok usia tertentu. Namun, beberapa penelitian
lain menemukan perbedaan yang signifikan antara tingkat kejadian untuk pria dan
wanita dalam kelompok usia tertentu, tetapi tidak ada bukti yang pasti mengenai
tingkat insiden untuk pria dan wanita. Dalam studi saat ini, tingginya insiden
keterlibatan okular karena HZO ditemukan sebanyak 92,2%. Hal ini dapat dijelaskan
oleh seleksi yang bias, karena di rumah sakit kami sebagian besar kasus HZO tanpa
keluhan mata biasanya dirujuk ke spesialis penyakit menular atau dermatologists.
AU, dengan atau tanpa keratitis terkait, merupakan manifestasi okular yang paling
umum dari HZO dalam penelitian yang kami lakukan, terjadi pada 60,8% dari
semua mata yang kami teliti, diikuti oleh epitel dan / atau stroma keratitis sebanyak
31,4% dari semua mata yang kami teliti. Demikian pula, dalam studi termasuk 73
pasien imunokompeten dari Belanda selama periode 6 bulan follow-up, AU
dilaporkan di 43,8% dari mata di pemeriksaan awal, diikuti oleh stroma keratitis di
30,1% dari semua mata yang kami teliti.Dalam studi lain, AU tercatat di 46,6%
kasus dan keratitis di 76,2% kasus. Dalam usia 18 tahun HZO, AU tercatat pada
50% kasus dan stroma keratitis di 22% kasus. Dalam penelitian terbaru dari
Kepulauan Pasifik, tarif yang lebih rendah dari AU tercatat sebanyak 6% kasus;
Namun, keratitis tercatat di 28,3% dari kasus. Dalam studi terakhir, semua pasien,
dengan atau tanpa keterlibatan okular, dimasukkan; ini mungkin menjelaskan
proporsi yang lebih rendah dari AU.

Dalam studi saat ini, isolated AU dan isolated keratitis lebih cenderung muncul
bersamaan dengan erupsi HZO ( p < 0,001 dan p = 0,001, masing-masing); Namun,
keratouveitis lebih mungkin terjadi setidaknya 1 bulan setelah HZO muncul ( p <
0,001). Sebuah penelitian baru menunjukkan risiko AU meningkat secara signifikan
pada tahun berikutnya diagnosis HZO. Selain itu, kami menemukan bahwa kedua
isolated AU dan isolated keratouveitis lebih mungkin terjadi pada pasien ≥ 50 tahun (
p = 0,001 dan p = 0,02, masing-masing), dan tidak ada hubungan statistik yang
signifikan antara usia dan terjadinya keratitis. Sebaliknya, penelitian terbaru
membandingkan HZO pada pasien lebih muda dengan usia lebih dari 60 tahun
ditemukan bahwa pasien yang lebih muda memiliki lebih banyak keratitis
pseudodendritiform dan AU dibandingkan dengan pasien yang lebih tua. Namun,
prevalensi perforasi kornea, penipisan kornea, pembentukan katarak, dan glaukoma
sama antara kedua kelompok.

Terlepas dari kenyataan bahwa sekitar sepertiga dari pasien kami mengembangkan
keratitis, hanya satu pasien berusia lebih dari 50 tahun keratopati neurotropic
lanjutan. Hal ini dapat dijelaskan oleh terapi antivirus dini pada pasien kami dengan
rata-rata 4 hari setelah timbulnya HZO. Sementara Ghaznawi et al. menemukan
bahwa neurotropik keratopati dipengaruhi 19,6% dari semua pasien dan lebih sering
pada pasien yang lebih tua. Demikian pula, Liesegang et al. melaporkan prevalensi
25% dari keratitis neurotropik.

Dalam penelitian kami, Oculomotor nerve palsy tercatat di 5,8% dari mata dengan
resolusi lengkap selama masa tindak lanjut. Insiden yang dilaporkan terdapat
kelumpuhan otot ekstraokuler di HZO berkisar antara 7% dan 31%, tetapi banyak
kasus yang tidak menunjukkan gejala dan biasanya bersifat sementara. Saraf
oculomotor ketiga yang paling sering terkena, diikuti oleh saraf abdusens dan saraf
trochlear. Dalam penelitian kami, neuritis optik tercatat hanya terdapat satu mata. Hal
ini merupakan gejala yang sangat langka HZO, yang mungkin terjadi secara
bersamaan dengan ruam vesikuler akut atau, lebih sering, sebagai komplikasi
postherpetic, hingga 10 minggu setelah onset penyakit. Neuritis optik ditandai dengan
low vision dan defek lapang pandang sentral, dengan saraf optik yang terlihat normal
atau edema, dan yang lama kelamaan menjadi atrofi optik yang menyebabkan
hilangnya penglihatan seperti pada pasien kami. Pengobatan yang baik dari HZO
optik neuritis dengan asiklovir sistemik dan steroid juga telah dilaporkan. Hasil visual
secara keseluruhan relatif baik pada penelitian kami, dengan 78,4% dari mata
memiliki BCVA akhir ≥ 20/40, dan hanya 7,8% dari mata terpengaruh adalah dengan
BCVA akhir <20 / 200 Penyebab low vision termasuk atrofi disc optik yang terkait
dengan neuritis optik, keratopati neurotropik, dan opacity kornea. Zaal et al.
melaporkan VA akhir > 20/25 di 90,4% kasus pada 6 bulan follow-up. Gupta et al.
melaporkan BCVA akhir dari 20/40 atau lebih baik di 90% dari subyek
imunokompeten berusia lebih muda dari 40 tahun. Pada sepuluh anak yang sehat
dengan HZO, BCVA terakhir adalah 20/20 dalam 80% kasus. Dalam sebuah studi
prospektif, 56,3% pasien memiliki VA dari 6/6 atau lebih baik dan kehilangan
penglihatan dikaitkan dengan bertambahnya usia, tanda positif Hutchinson, sensasi
kornea absen, lesi epitel kornea, dan uveitis.
Dalam studi ini, penilaian yang lebih rendah dari PHN (13,3%) ditemukan daripada
studi sebelumnya. Sebuah insiden yang lebih tinggi (17,8%) dilaporkan oleh
Ghaznawi et al. dalam seri Amerika termasuk 112 pasien dan secara statistik
signifikan lebih tinggi pada kelompok usia lebih dari 60 tahun. Juga, dalam sebuah
penelitian Pasifik, PHN tercatat di 20,9% dari pasien, dengan 64,3% dari pasien yang
lebih tua dari 65 tahun. Faktor risiko utama untuk PHN lanjut usia; Faktor risiko lain
termasuk tingkat keparahan nyeri zoster akut dan ruam, gejala yang menyakitkan, dan
keterlibatan okular . Terdapat penelitian bahwa pasien dengan keratitis,
konjungtivitis, atau uveitis memiliki risiko lebih tinggi terkena PHN dibandingkan
dengan pasien yang tidak memiliki fitur okular. Penelitian kami menyediakan
beberapa keterbatasan, terkait dengan pemilihan desain retrospektif, bias, dan
berbagai tindak. Kami mengakui bahwa penggunaan VA akhir memperkenalkan
potensi bias karena penyakit mungkin berulang dan terus menyebabkan hilangnya VA
luar waktu hasilnya dilaporkan. Selain batas-batas ini, kelemahan utama adalah
potensi bias pada seleksi.
TINJAUAN PUSTAKA

HERPES ZOSTER OFTALMIKUS

1. Definisi
Herpes zoster merupakan infeksi umum yang disebabkan oleh Human
Herpes Virus 3 (Varisela Zoster Virus), virus yang sama menyebabkan varisela
(chicken pox). Virus ini termasuk dalam famili Herpes viridae, seperti Herpes
Simplex, Epstein Barr Virus, dan Cytomegalovirus.4
Herpes Zoster Oftalmikus (HZO) adalah kelainan pada mata yang
merupakan hasil reaktivasi dari Varisela Zoster Virus (VZV) pada Nervus
Trigeminal (N.V). Semua cabang dari nervus tersebut bisa terpengaruh, dan
cabang frontal divisi pertama N.V merupakan yang paling umum terlibat. Cabang
ini menginervasi hampir semua struktur okular dan periokular.4

2. Etiologi
Herpes zoster disebabkan oleh Varisela Zoster Virus (VZV). VZV
mempunyai kapsid yang tersusun dari 162 sub unit protein dan berbentuk simetri
isohedral dengan diameter 100 nm. Virion lengkapnya berdiameter 150-200 nm,
dan hanya virion yang berselubung yang bersifat infeksius. Infeksiositas virus ini
dengan cepat dapat dihancurkan oleh bahan organik, deterjen, enzim proteolitik,
panas, dan lingkungan dengan pH yang tinggi. HZO merupakan reaktivasi dari
VZV di N.V divisi oftalmik (N.V1).5

3. Epidemiologi
Lebih dari 90% dari dewasa di Amerika Serikat mempunyai bukti
serologik mengenai infeksi VZV dan merupakan resiko untuk HZ. Laporan
tahunan insidens HZ bervariasi daripada 1.5 – 3.4 kasus per 1000 orang. 6,7 Faktor
resiko untuk perkembangan HZ ini ialah kekebalan imun sistem yang rendah
berasosiasi juga dengan proses penuaan yang normal. Bagaimanapun, insidens ini
terjadi pada individu berusia di atas 75 tahun rata – ratanya iaitu 10 kasus per
1000 orang. 6,7
HZO khas mempengaruhi 10-20 % populasi. HZO biasanya berpengaruh
pada usia tua dengan meningkatnya pertambahan usia. Dari data insiden
terjadinya HZO pada populasi Caucasian adalah 131 : 100.000.9 Populasi
American-Afrika mempunyai insiden 50 % dari Caucasian. Alasan untuk
perbedaan ini tidak sepenuhnya dipahami. Kebanyakan kasus HZO disebabkan
reaktivasi dari virus laten.
Lebih dari 90 % dewasa di Amerika terbukti mempunyai serologi yang
terinfeksi VZV. Dari hasil tahunan, insiden dari herpes zoster bervariasi, dari 1,5
– 3, 4 kasus per 1000 orang. Faktor resiko dari perkembangan oleh herpes zoster
adalah menyusutnya sel mediated dari sistem imun yang berhubungan dengan
perkembangan usia. Insiden HZO pada usia 75 tahun ke atas melebihi 10 kasus
per 1.000 orang per tahun, dan risiko seumur hidup diperkirakan 10-20 %.10
Faktor risiko lain untuk herpes zoster diperoleh dari hambatan respon sel
mediated imun, seperti pada pasien dengan obat imunosupresif dan HIV, dan yang
lebih spesifik dengan AIDS. Pada kenyataannya, risiko relatif dari herper zoster
sedikitnya 15x lebih besar dengan HIV dibandingkan tanpa HIV. HZO terdapat
10-25 % dari semua kasus herpes zoster. Resiko komplikasi oftalmik pada pasien
herpes zoster tidak terlihat berhubungan dengan umur, jenis kelamin, atau
keganasan dari ruam kulit.10

4. Faktor Predisposisi
Faktor predisposisi timbulnya herpes zoster oftalmikus ini adalah :
a. Kondisi imunocompromise (penurunan imunitas sel T)
- Usia tua
- HIV
- Kanker
- Kemoterapi
b. Faktor reaktivasi
- Trauma lokal
- Demam
- Sinar UV
- Udara dingin
- Penyakit sistemik
- Menstruasi
- Stres dan emosi

5. Patogenesis
Penyebab penyakit herpes zoster oftalmika adalah virus Varicella-zoster.
Periode inkubasi Varicella-zoster sampai menimbulkan penyakit yang khas adalah
10-21 hari. Varicella-zoster masuk ke dalam tubuh manusia melalui mukosa
saluran napas bagian atas, orofaring atau konjungtiva. Siklus replikasi virus
pertama terjadi pada hari ke 2-4 yang berlokasi pada nodus limfe regional yang
kemudian diikuti penyebaran virus dalam jumlah yang sedikit melalui darah dan
kelenjar limfe yang menyebabkan terjadinya viremia primer (biasanya terjadi pada
hari ke 4-6 setelah infeksi pertama). Pada sebagian besar penderita yang
terinfeksi, replikasi virus tersebut dapat mengalahkan mekanisme pertahanan
tubuh sehingga akan berlanjut pada siklus replikasi viru kedua yang terjadi di
hepar dan limpa, yang mengakibatkan terjadinya viremia sekunder. Pada fase ini,
partikel virus akan menyebar ke seluruh tubuh dan mencapai epidermis pada hari
ke 14-16, yang menyebabkan timbul lesi kulit yang khas.11,12
Kerusakan jaringan yang terlihat pada wajah disebabkan oleh infeksi yang
menghasilkan inflamasi kronik dan iskemik pembuluh darah pada cabang N. V.
Hal ini terjadi sebagai respon langsung terhadap invasi virus pada berbagai
jaringan. Walaupun sulit dimengerti, penyebaran dermatom pada N. V dan daerah
torak paling banyak terkena.6,7
Tanda-tanda dan gejala HZO terjadi ketika N.V1 diserang virus, dan akhirnya
akan mengakibatkan ruam, vesikel pada ujung hidung (dikenal sebagai tanda
Hutchinson), yang merupakan indikasi untuk resiko lebih tinggi terkena gannguan
penglihatan. Dalam suatu studi, 76% pasien dengan tanda Hutchinson mempunyai
gangguan penglihatan.
Pada herpes zoster oftalmika, patogenesisnya belum sepenuhnya diketahui.
Selama terjadinya varisela, virus varicella-zoster berpindah tempat dari lesi kulit
dan permukaan mukosa ke ujung syaraf sensorik dan ditransportasikan secara
centripetal melalui serabut syaraf sensorik ke ganglion sensoris. Pada ganglion
tersebut terjadi infeksi laten (dorman), dimana virus tersebut tidak lagi menular
dan tidak bermultiplikasi, tetapi tetap mempunyai kemampuan untuk berubah
menjadi infeksius apabila terjadi reaktivasi virus. Reaktivasi virus tersebut dapat
diakibatkan oleh suatu keadaan yang menurunkan imunitas seluler sehingga virus
kembali bermultiplikasi menyebabkan peradangan dan merusak ganglion sensoris.
Kemudian virus akan menyebar ke sumsum tulang serta batang otak, jika
mengenai N.trigeminus dapat menyebar ke N. oftalmikus melalui serabut syaraf
sensoris sehingga menyebabkan timbulnya manifestasi klinis.11,12

Gambar 1. Tanda Hutchinson. Gambar dikutip dari C. Stephen Foster, MD,


Massachusetts Eye Research and Surgery Institute, Harvard Medical School.

Mekanisme dari keterlibatan okular adalah sebagai berikut :


1. Infeksi virus langsung dapat menyebabkan konjungtivitis dan keratitis
epitelial
2. Infeksi sekunder dan vaskulitis oklusif dapat menyebabkan episkleritis,
skleritis, keratitis, uveitis, neuritis optik, dan kelumpuhan saraf kranial.
Inflamasi dan kerusakan nervus perifer dan ganglia sentral, atau
pemrosesan sinyal yang diubah dalam SSP mungkin bertanggung jawab
untuk postherpetic neuralgia.
3. Reaktivasi menyebabkan nekrosis dan peradangan pada ganglia sensoris
yang terkena, menyebabkan anestesi kornea yang dapat mengakibatkan
keratitis neurotropik.13
6. Manifestasi Klinis
Adapun manifestasi klinis HZO ini, antara lain:
a. Prodormal (didahului ruam sampai beberapa hari)13
Gejala-gejala prodormal terjadi pada 5 % penderita, terutama pada anak-anak,
dan timbul 1 - 2 hari sebelum terjadi erupsi.
- Nyeri lateral sampai mengenai mata
- Demam
- Malaise
- Sakit kepala
- Kuduk terasa kaku
b. Dermatitis
c. Nyeri mata
d. Lakrimasi
e. Perubahan visual
f. Mata merah unilateral

Gambar 2. Defek epitel dan infeksi sekunder varicella-zoster virus. Gambar dikutip
daripada C. Stephen Foster, MD, Massachusetts Eye Research and Surgery Institute,
Harvard Medical School.

Kelainan pada mata


Kelainan mata akut :
1. Keratitis epitelia akut
Keratitis epitel akut berkembang di lebih dari 50% dari pasien dalam
waktu 2 hari dari timbulnya ruam dan biasanya sembuh secara spontan
dalam beberapa hari. Hal ini ditandai dengan lesi dendritik yang lebih
kecil dan lebih halus dari herpes simplex dendrit, multipel, lesi vocal
dengan fluoresen atau rose Bengal. Pengobatan, jika diperlukan, adalah
dengan antivirus topikal.
2. Konjungtivitis
Konjungtivitis adalah salah satu komplikasi terbanyak pada HZO. Pada
konjungtiva sering terdapat injeksi konjungtiva dan edema, dan kadang
disertai timbulnya petechie. Ini biasanya terjadi 1 minggu. Infeksi
sekunder akibat S. aureus bisa berkembang di kemudian hari.
3. Episkleritis
Episkleritis terjadi pada awal ruam dan biasanya sembuh secara spontan.
Steroid anti inflamasi non ringan dapat digunakan jika diperlukan.
4. Skleritis dan sklerokeratitis
Skleritis dan sclerokeratitis jarang terjadi dan dapat berkembang pada
akhir minggu pertama. Pengobatan lesi adalah dengan flurbiprofen oral
(Froben) 100mg. Kadang-kadang, steroid oral dengan antivirus mungkin
diperlukan untuk keterlibatan parah
5. Keratitis numularis
Keratitis numular biasanya berkembang di lokasi lesi epitel sekitar 10 hari
setelah onset ruam. Hal ini ditandai dengan deposit subepitel granular
halus dikelilingi oleh lingkaran stroma kabut. Lesi memudar jika diberikan
steroid topikal tetapi kambuh jika pengobatan dihentikan secara prematur
6. Keratitis stromal (intersisial)
Keratitis stroma berkembang pada sekitar 5% kasus, terjadi tiga minggu
setelah timbulnya ruam.
7. Keratitis Diciform
Keratitis disciform kurang umum daripada dengan herpes simpleks infeksi,
tetapi dapat menyebabkan dekompensasi kornea. Pengobatan dengan
steroid topikal
8. Uveitis anterior
Uveitis anterior mempengaruhi setidaknya sepertiga dari pasien dan dapat
dikaitkan dengan sektoral iris iskemia dan atrofi.
9. IOP
TIO harus dipantau sebagai elevasi umum, termasuk steroid diinduksi.
Sering menyebabkan peningkatan TIO. Tanpa perawatan yang baik
penyakit ini bisa menyebabkan glaukoma dan katarak. Derivatif
prostaglandin harus dihindari jika pengobatan diperlukan.
10. Komplikasi neurologik
Komplikasi neurologis mungkin memerlukan antivirus intravena dan
steroid sistemik.
− Kelumpuhan saraf kranial yang mempengaruhi saraf ketiga (paling
umum), 4 dan 6 biasanya sembuh dalam waktu 6 bulan
− Neuritis optik jarang
− Manifestasi SSP jarang terjadi tetapi termasuk ensefalitis, arteritis
kranial, dan sindrom Guillain barre.13

Gambar 3. Herpes zoster oftalmika mengenai cabang nervus oftalmikus


(http://medicalera.com/3/26866/komplikasi-mata-pada-herpes-
zoster#.Ul1zFlN3qus)

Kelainan mata kronik


1. Keratitis neurotropik
Neurotropik keratitis berkembang pada sekitar 50% kasus, meskipun
biasanya relatif ringan dan mengendap selama beberapa bulan.
2. Skleritis
Skleritis dapat menjadi kronis dan menyebabkan athropy scleral
3. Mucous plaque keratitis
Mucous plaque keratitis berkembang pada sekitar 50% pasien, paling
sering antara 3 dan bulan ke-6. Hal ini ditandai dengan kemunculan tiba-
tiba plak mukosa tinggi yang diwarnai dengan Bengal Rose. Pengobatan
melibatkan kombinasi steroid topikal dan asetilsistein. Setelah diobati,
plak sembuh setelah beberapa bulan, meninggalkan kabut kornea.
4. Degenerasi lipid
Degenerasi lipid dapat berkembang pada mata dengan nummular persisten
berat atau keratitis disciform.
5. Lipid-filled granulomata
Lipid-filled granulomata dapat berkembang di bawah konjungtiva tarsal,
bersama-sama dengan jaringan parut subconjunctival.
6. Sikatrik palpebra
Jaringan parut kelopak mata dapat mengakibatkan ptosis, entropion
cicatricial dan kadang-kadang ektropion, trichiasis, lid notching dan
madarosis.13

Kelainan mata relaps


Tahap lesi dapat muncul kembali beberapa tahun setelah episode akut, yang
mungkin telah sembuh, jaringan parut kelopak mata mungkin satu-satunya
petunjuk diagnostik. Reaktivasi keratitis, episkleritis, skleritis atau iritis dapat
terjadi.13

7. Penegakan Diagnosis
Anamnesis
- Fase prodormal pada herpes zoster oftalmikus biasanya terdapat influenza –
like illness seperti lemah, malaise, demam derajat rendah yang mungkin
berakhir sehingga 1 minggu sebelum perkembangan rash unilateral
menyelubungi daerah kepala, atas kening dan hidung (divisi dermatome
pertama daripada nervus trigeminus).5,7
- Kira – kira 60% pasien mempunyai variasi derajat gejala nyeri dermatom
sebelum erupsi kemerahan. Akibatnya, makula eritematosus muncul keliatan
yang lama kelamaan akan membentuk kluster yang terdiri daripada papula dan
vesikel. Lesi ini akan membentuk pustula dan seterusnya lisis dan membentuk
krusta dalam masa 5 – 7 hari.

Pemeriksaan Fisik
- Periksa struktur eksternal/superfisial dahulu secara sistematik mengikut urutan
daripada bulu mata, kunjungtiva dan pembengkakan sklera.
- Periksa keadaan integritas motorik ekstraokular dan defisiensi lapang
pandang.8
- Lakukan pemeriksaan funduskopi dan coba untuk mengeradikasi fotofobia
untuk menetapkan kemungkinan terdapatnya iritis. Pengurangan sensitivitas
kornea dapat dilihat dengan apabila dicoba dengan serat cotton.
- Lesi epitel kornea dapat dilihat setelah diberikan fluorescein. Defek epitel dan
ulkus kornea akan jelas terlihat dengan pemeriksaan ini.
- Pemeriksaan slit lamp seharusnya dilakukan untuk melihat sel dalam segmen
anterior dan kewujudan infiltrat stroma
- Setelah ditetes anestesi mata, ukur tekanan intraokular (tekanan normal ialah
dibawah 12 – 15 mmHg).

Pemeriksaan Laboratorium
Diagnosis laboratorium terdiri dari beberapa pemeriksaan, iaitu:6
a. Pemeriksaaan langsung secara mikroskopik
- Kerokan palpebra diwarnai dengan Giemsa, untuk melihat adanya sel-sel
raksasa berinti banyak (Tzanck) yang khas dengan badan inklusi
intranukleus asidofil
b. Pemeriksaaan serologik.
- HZ dapat terjadi pada individu yang terinfeksi dengan HIV yang
kadangkala asimtomatik, pemeriksaan serologik untuk mendeteksi
retrovirus sesuai untuk pasien dengan faktor resiko untuk HZ (individu
muda daripada 50 tahun yang nonimunosupres).
c. Isolasi dan identifikasi virus dengan teknik Polymerase Chain Reaction.

8. Diagnosis Banding
a. Kondisi yang memperlihatkan penampakan luar yang sama
− Herpes simplek
− Ulkus blefaritis
b. Kondisi yang menyebabkan penyebaran nyeri
− Tic Douloureux3
− Migrain
− Pseudotumor orbita
− Selulitis orbita
− Nyeri akibat sakit gigi
c. Kondisi yang menyebabkan inflamasi stromal kornea
− Epstein-Barr Virus
− Sifilis

9. Penatalaksanaan
Sebagian besar kasus herpes zoster dapat didiagnosis dari anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Cara terbaru dalam mendiagnosis herpes zoster adalah dengan
tes DFA (Direct Immunofluorence with Fluorescein-tagged Antibody) dan PCR
(jika ada), terbukti lebih efektif dan spesifik dalam membedakan infeksi akibat
VZV dengan HSV. Tes bisa dilanjutkan dengan kultur virus.13
Pasien dengan herpes zoster oftalmikus dapat diterapi dengan Acyclovir (5
x 800 mg sehari) selama 7-10 hari. Penelitian menunjukkan pemakaian Acyclovir,
terutama dalam 3 hari setelah gejala muncul, dapat mengurangi nyeri pada herpes
zoster oftalmikus. Onset Acyclovir dalam 72 jam pertama menunjukkan mampu
mempercepat penyembuhan lesi kulit, menekan jumlah virus, dan mengurangi
kemungkinan terjadinya dendritis, stromal keratitis, serta uveitis anterior.13
Terapi lain dengan menggunakan Valacyclovir yang memiliki
bioavaibilitas yang lebih tinggi, menunjukkan efektivitas yang sama terhadap
herpes zoster oftalmikus pada dosis 3 x 1000 mg sehari. Pemakaian Valacyclovir
dalam 7 hari menunjukkan mampu mencegah komplikasi herpes zoster
oftalmikus, seperti konjungtivitis, keratitis, dan nyeri. Pada pasien
imunocompromise dapat digunakan Valacyclovir intravena. Untuk mengurangi
nyeri akut pada pasien herpes zoster oftalmikus dapat digunakan analgetik
oral.13,14
Untuk mengobati berbagai komplikasi yang ditimbulkan oleh herpes
zoster oftalmikus disesuaikan dengan gejala yang ditimbulkan. Pada
blefarokonjungtivitis, untuk blefaritis dan konjungtivitisnya, diterapi secara
paliatif, yaitu dengan kompres dingin dan topikal lubrikasi, serta pada indikasi
infeksi sekunder oleh bakteri (biasanya S. aureus). Pada keratitis, jika hanya
mengenai epitel bisa didebridemant, jika mengenai stromal dapat digunakan
topikal steroid, pada neurotropik keratitis diterapi dengan lubrikasi topikal, serta
dapat digunakan antibiotik jika terdapat infeksi sekunder bakteri.9
Untuk neuralgia pasca herpetik obat yang direkomendasikan di antaranya
Gabapentin dosisnya 1,800 mg - 2,400 mg sehari. Hari pertama dosisnya 300 mg
sehari diberikan sebelum tidur, setiap 3 hari dosis dinaikkan 300 mg sehari
sehingga mencapai 1,800 mg sehari.10
Antibiotik sebaiknya digunakan jika terdapat infeksi bakterial. Antibiotik
pada kasus ini ialah ampicillin dan tetes mata gentamisin, merupakan antibakteri
spektrum luas. Isprinol yang diberikan oleh spesialis kulit pada penderita di atas
termasuk obat imunomodulator yang bekerja memperbaiki sistem imun.
Vitamin neurotropik berupa neurodex digunakan sebagai vitamin untuk
saraf. Pada umumnya direkomendasikan pemberian NSAID topikal 4 kali sehari
dan ibuprofen sebagai analgetik oral. Ahli THT memberikan obat kumur tantum
verde yang berisi benzydamine hydrochloride,8 merupakan anti inflamasi non
steroid lokal pada mulut dan tengggorokan. Penderita di atas juga mendapatkan
antioksidan berupa asthin force dari ahli penyakit dalam untuk perlindungan
kesehatan kulit.
Sindrom Ramsay Hunt dapat diberikan Prednison dengan dosis 3 x 20 mg
sehari, setelah seminggu dosis diturunkan secara bertahap. Dengan dosis pred-
nison setinggi itu imunitas akan tertekan sehingga lebih baik digabung dengan
obat antiviral. Dikatakan kegunaannya untuk mencegah fibrosis ganglion.8

10. Follow up
Jika keterlibatan okular hadir, memeriksa pasien setiap 1 sampai 7 hari,
tergantung pada keparahan. Pasien tanpa keterlibatan okular dapat diikuti setiap 1
sampai 4 minggu. Setelah penyembuhan episode akut, periksa pasien setiap 3
sampai 6 bulan (3 jika pada steroid) karena angka kekambuh dapat terjadi dalam
waktu bulan sampai tahun kemudian, terutama karena steroi. Penggunaan steroid
sistemik masih kontroversial dan membutuhkan kerjasama dengan internis
pasien.14

11. Komplikasi
Hampir semua pasien akan pulih sempurna dalam beberapa minggu, meskipun
ada beberapa yang mengalami komplikasi. Hal ini tidak berhubungan dengan
umur dan luasnya ruam, tetapi bergantung pada daya tahan tubuh penderita. Ini
akan terjadi beberapa bulan atau beberapa tahun setelah serangan awal.7
- Komplikasi mata terjadi pada 50 % kasus. Nyeri terjadi pada 93% dari pasien
tersebut, 31% nya masih ada sampai 6 bulan berikutnya. Pengaruh itu semua,
terjadi anterior uveitis pada 92% dan keratitis 52%. Pada 6 bulan, 28%
mengenai mata dengan uveitis kronik, keratitis, dan ulkus neuropatik.
- Komplikasi mata yang jarang, termasuk optik neuritis, retinitis, dan
kelumpuhan nervus kranial okuler. Ancaman ganguan penglihatan oleh
keratitis neuropatik, perforasi, glaukoma sekunder, posterior skleritis, optik
neuritis, dan nekrosis retina akut.
- Komplikasi jangka panjang, bisa berhubungan dengan lemahnya sensasi dari
kornea dan fungsi motor palpebra. Ini beresiko pada ulkus neuropati dan
keratopati. Resiko jangka panjang ini juga terjadi pada pasien yang memiliki
riwayat HZO, 6-14% rekuren.
- Infeksi permanen zoster oftalmik bisa termasuk inflamasi okuler kronik dan
kehilangan penglihatan.5

Komplikasi yang dapat terjadi, yaitu :


− Myelitis. Merupakan komplikasi di luar mata yang pernah dilaporkan oleh
Gordon dan Tucker, demikian juga encephalitis dan hemiplegi walaupun
jarang ditemukan tetapi pernah dilaporkan. Hal ini diperkirakan karena
penjalaran virus ke otak.
− Konjungtiva. Pada mata komplikasi yang dapat timbul adalah kemosis yang
ada hubungannya dengan pembengkakan palpebra. Pada saat ini biasanya
disertai dengan penurunan sensibilitas kornea dan kadang-kadang oedema
kornea yang ringan. Dapat juga timbul vesikel-vesikel di conjunctiva tetapi
jarang terjadi ulserasi. Pernah dilaporkan adanya kanaliculitis yang ada
hubungannya dengan zoster.
− Kornea. Bila comea terkena maka akan timbul infiltrat yang berbentuk tidak
khas dengan batas yang tidak tegas , tetapi kadang-kadang infiltratnya dapat
menyerupai herpes simplex. Proses yang terjadi pada dasamya berupa keratitis
profunda yang bersifat khronis dan dapat bertahan beberapa minggu setelah
kelainan kulit sembuh. Akibat kekeruhan kornea yang terjadi maka visus akan
menurun.
− Iris. Adanya laesi diujung hidung sangat penting untuk diperhatikan karena
kemungkinan besar iris akan ikut terkena mengingat n. nasociliaris merupakan
cabang dari n.ophthalmicus yang juga menginervasi daerah iris, corpus ciliaze
dan cornea. Iritis/iridocyclitis dapat merupakan penjalaran dari keratitis
ataupun berdiri sendiri. Iritis biasanya ringan,jarang menimbulkan eksudat,
pada yang berat kadang-kadang disertai dengan hypopion atau secundair
glaucoma. Akibat dari iritis ini sering timbul sequele berupa iris atropi yang
biasanya sektoral. Pada beberapa kasus dapat disertai massive iris atropi
dengan kerusakan sphincter pupillae.
− Sklera. Skleritis merupakan komplikasi yang jarang ditemukan, biasanya
merupakan lanjutan dari iridocyclitis. Pada sclera akan terlihat nodulus dengan
injeksi lokal yang dapat timbul beberapa bulan sesudah sembuhnya laesi di
kulit. Nodulusnya bersifat khronis, dapat bertahan beberapa bulan, bila
sembuh akan meninggalkan sikatrik dengan hyperpigmentasi. Skleritis ini
dapat kambuh lagi.
− Ocular palsy. Dapat timbul bila mengenai N III, N IV, N V1, N III dan N IV
dapat sekaligus terkena. Pernah pula dilaporkan timbulnya ophthalmoplegi
totalis dua bulan setelah menderita herpes zoster ophthalmicus. Paralyse dari
otot-otot extra-oculer ini mungkin karena perluasan peradangan dari N
Trigeminus di daerah sinus cavemosus. Timbulnya paralyse biasanya dua
sampai tiga minggu setelah gejala permulaan dari zoster dirasakan, walaupun
ada juga yang timbul sebelumnya. Prognosa otot-otot yang pazalyse pada
umumnya baik dan akan kembali normal kira-kira dua bulan kemudian.
− Retina. Kelainan retina yang ada hubungannya dengan zoster jarang
ditemukan. Kelainan tersebut berupa choroiditis dan perdazahan retina, yang
umumnya disebabkan adanya retinal vasculitis.
− Neuritis optik. Neuritis optik juga jarang ditemukan; tetapi bila ada dapat
menyebabkan kebutaan karena timbulnya atropi n. opticus. Gejalanya berupa
skotoma sentral yang dalam beberapa minggu akan terjadi penurunan visus
sampai menjadi buta. 3,8,10

12. Pencegahan
Tindakan preventif yang harus dilakukan penderita ialah tidak mengusap-
usap mata, menyentuh lesi kulit, dan menggaruk luka untuk menghindari
penyebaran gejala. Bagi orang sekitar hendaknya menghindari kontak langsung
dengan penderita terutama anak-anak. Obat-obatan antiviral seperti asiklovir,
valasiklovir, dan famsiklovir merupakan terapi utama yang lebih efektif dalam
mencegah keterlibatan okuler terutama jika obat diberikan tiga hari pertama
munculnya gejala. Berdasarkan rekomendasi dari National Guidelines
Clearinghouse, dosis asiklovir oral untuk dewasa ialah 800 mg 5 kali sehari
selama 7 sampai 10 hari.8 Sedangkan antiviral topikal tidak dianjurkan karena
tidak efektif. Antiviral digunakan untuk mempercepat resolusi lesi kulit,
mencegah replikasi virus, dan menurunkan insiden keratitis stroma dan uveitis
anterior.

13. Prognosis
Umumnya baik, pada herpes zoster oftalmikus prognosis bergantung pada
tindakan perawatan secara dini. Prognosis dari segi visus penderita baik karena
asiklovir dapat mencegah penyakit-penyakit mata yang menurunkan visus.
Kesembuhan penyakit ini umunya baik pada dewasa dan anak-anak dengan
perawatan secara dini. Prognosis ke arah fungsi vital diperkirakan ke arah baik
dengan pencegahan paralisis motorik dan menghindari komplikasi ke mata sampai
kehilangan penglihatan. Prognosis kosmetikam pada mata penderita tersebut baik
karena bengkak dan merah pada mata dapat hilang. Pada kulit dapat menimbulkan
makula hiperpigmentasi atau sikatrik.7,8
KESIMPULAN

Herpes zoster oftalmikus adalah infeksi virus herpes zoster yang menyerang bagian
ganglion gasseri yang menerima serabut saraf dari cabang oftalmikus saraf
trigeminus (N.V) yang ditandai dengan erupsi herpetik unilateral pada kulit.
Herpes zoster oftalmik merupakan bentuk manifestasi lanjut setelah serangan
varicella.Virus ini dapat menyerang saraf cranial V. Pada nervus trigeminus, bila yang
terserang antara pons dan ganglion gasseri, maka akan terjadi gangguan pada ketiga
cabang nervus V (cabang oftalmik, maksilar, mandibular) akan tetapi yang biasa
terkena adalah ganglion gasseri dan yang terganggu adalah cabang oftalmik. Studi
kami memberikan data epidemiologi dan klinis HZO pada populasi di Tunisia. AU
dan keratitis adalah komplikasi okular yang paling banyak terjadi. Neurotropik
keratopati sangat jarang terjadi sebagai koplikasi dari HZO. Hasil visual secara
keseluruhan baik, dengan sekitar tiga perempat dari pasien yang melakukan
pengobatan dapat mempertahankan VA dari 20/40 atau lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Herpes zoster from http://www.emedicine.com/oph[disc257.htm,2006


2. Herpes zoster from www.optometry.co.uk
3. Ilyas, Sidarta. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia, 2000.
4. American Academy of Ophtalmology. External cornea and disease. Section 8.
2005-2006.
5. Vaughan. Oftamologi Umum.Edisi 17. Jakarta: EGC. 2014.
6. Suwarji H. Infeksi viral dan strategi pengobatan anti viral pada penyakit mata.
Diakses dari http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/08InfeksiViral087.pdf. Oktober
2006.
7. Moses S. Herpes zoster ophtalmicus. Diakses dari www.fpnotebook.com. January
13, 2008.
8. Gurwood AS. Herpes zoster ophthalmicus. Diakses dari www.optometry.co.uk.
November 16, 2001.
9. Maria M Diaz. Herpes zoster ophthalmicus. Diakses dari
http://emedicine.medscape.com/article. Disember 10, 2009.
10. Web MD. Herpes of the eye. Diakses dari
http://www.medicinenet.com/herpeseye/. November 2009.
11. Shaikh S. Evaluation and management of herpes zoster. Diakses dari:
www.aafp.org. November 1, 2002.
12. Jawetz at all. Mikrobiologi Kedokteran. Edisi 23. Jakarta : EGC ; 2008. Hal. 458-
450.
13. Kansky, Jack J. Clinical Opthalmology : a systemic approach. 7th ed. Elsevier.
2011
14. Gerstenblith, Adam T. The Wills Eye Manual. 6th ed. Lippincott Williams and
Wilkins. 2012
15. Kahloun, rim et all. 2014. Ocular involvement and visual outcome of herpes
zoster ophthalmicus: review of 45 patients from Tunisia, North Africa. Journal of
Ophthalmic Inflammation and Infection
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC4169054/ Pada tanggal 10
Agustus 2018. Pukul 19:54 WIB

Anda mungkin juga menyukai