Anda di halaman 1dari 19

TRIKIASIS

1. Definisi
Trikiasis adalah suatu keadaan dimana bulu mata tumbuh mengarah pada bola
mata yang akan menggosok kornea atau konjungtiva. Bulu mata dapat tumbuh dalam
posisi yang abnormal sementara palpebra tetap pada posisi normal. Pertumbuhan bulu
mata ke arah bola mata yang disertai dengan keadaan melipatnya margo palpebra ke
arah dalam (entropion) disebut pseudotrikiasis.

Gambar 5. Bulu mata dengan trikiasis

2. Etiologi
Berikut ini adalah beberapa penyakit yang sering menjadi penyebab trikiasis:

1. Trakoma
Trakoma adalah suatu bentuk konjungtivitis folikular kronik yang
disebabkan oleh Chlamydia trachomatis. Penyakit ini dapat mengenai
semua umur tetapi lebih banyak ditemukan pada orang muda dan anak-
anak. Infeksi Chlamydia trachomatis ini menyebabkan reaksi inflamasi
yang predominan limfositik dan infiltrat monosit dengan plasma sel dan
makrofag dalam folikel. Infeksi konjungtiva yang rekuren menyebabkan
inflamasi yang kronik dan menyebabkan terbentuknya suatu jaringan
parut pada konjungtiva tarsus superior sehingga mengakibatkan
perubahan bentuk pada tarsus yang selanjutnya dapat mengubah bentuk
palpebra superior berupa membaliknya bulu mata ke arah bola mata
(trikiasis) atau seluruh tepian palpebra (entropion) sehingga bulu mata
terus-menerus menggesek kornea.

2. Blefaritis ulseratif
Merupakan peradangan margo palpebra dengan tukak akibat infeksi
staphylococcus. Pada blefaritis olseratif terdapat krusta berwarna
kekuningan, serta skuama yang kering dan keras, yang bila keduanya
diangkat akan terlihat ulkus yang kecil dan mengeluarkan darah disekitar
bulu mata. Penyakit ini sangat infeksius. Ulserasi berjalan lanjut dan
lebih dalam sehingga merusak follikel rambut mengakibatkan rontok
(madarosis), dan apabila ulkus telah menyembuh akan membentuk
jaringan parut atau sikatrik. Sikatrik ini akan menimbulkan tarikan
sehingga menyebabkan bulu mata tumbuh mengarah ke bola mata
(trikiasis).
3. Hordeolum eksterna
Hordeolum eksterna adalah inflamasi supuratif akut yang terjadi pada
glandula Zeis atau Moll. Dapat disebabkan oleh kebiasaan menggaruk
mata dan hidung, blafaritis kronik dan diabetes mellitus. Dapat juga
disebabkan oleh infeksi Staphylococcus aureus. Hordeolum eksterna
terbagi menjadi dua stadium yaitu stadium sellulitis dan stadium abses.
Pada stadium selulitis hanya didapatkan tanda-tanda inflamasi seperti
gambaran edema yang berbatas tegas, kemerahan dan teraba keras.
Sedangkan pada stadium abses, telah tampak gambaran pus pada margo
palpebra yang dapat mempengaruhi bulu mata.

Gambar 10. Hodeolum eksterna palpebra superior2


4. Konjungtivitis membranous
Konjungtivitis membranous adalah suatu penyakit inflamasi yang terjadi
pada konjungtiva yang disebabkan oleh infeksi Corynebacterium
diphtheriae, ditandai dengan terbentuknya membran pada konjungtiva.

Gambar 11. Konjungtivitis membranous2

Corynebacterium diphtheriae menyebabkan inflamasi hebat pada


konjungtiva dan menyebbkan deposisi eksudat fibrin pada permukaan
dan bagian yang lebih dalam pada konjungtiva sehingga akhirnya
terbentukmembran. Membran biasanya terbentuk pada konjungtiva
palpebra. Pengelupasan membran dihubungkan dengan adanya nekrosis
koagulatif. Akhirnya penyembuhan berlangsung dengan terbentuknya
jaringan granulasi. Penyakit ini terbagi menjadi tiga stadium yaitu
stadium infiltrasi, supurasi, dan sikatrisasi. Pada stadium sikatrisasi,
permukaan konjungtiva yang telah tertutup oleh jaringan granulasi
mengalami epitelisasi. Penyembuhan luka terjadi melalui pembentukan
jaringan parut atau sikatrik yang dapat menyebabkan terjadinya trikiasis
dan xerosis konjungtiva.

5. Sikatrisial pemphigoid
Sikatrik Okuler Pemphigoid (SOP) atau mucous membrane pemphigoid adalah
kelainan autoimun kronik yang ditandai dengan adanya bullae pada
konjungtiva. SOP merupakan kelainan yang bersifat bilateral, mengenai kedua
mata dan lebih sering ditemukan pada wanita lanjut usia. Gejalanya dapat
berupa rasa nyeri dan sensai benda asing pada mata disertai kotoran mata. Salah
satu tanda SOP adalah simblefaron, yaitu adhesi antara konjungtiva palpebra
dan konjungtiva bulbi. Hal ini menunjukkan terjadinya proses pembentukan
sikatrik subepitelial yang progresif. Keadaan ini dapat menyebabkan terjadinya
trikiasis apabila terbentuk sikatrik yang tebal. Trikiasis ini dapat menyebabkan
keratinisasi pada permukaan kornea dan konjungtiva.

Gambar 12 . Sikatriasial pemphigoid

6. Entropion
Entropion adalah suatu keadaan melipatnya kelopak mata bagian tepi
atau margo palpebra kearah dalam. Hal ini menyebabkan 'trichiasis'
dimana bulu mata yang biasanya mengarah keluar kini menggosok pada
permukaan mata. Entropion bisa ditemukan pada semua lapisan umur
namun entropion khususnya entropion involusional lebih sering
ditemukan pada orangtua. Entropion lebih sering terjadi pada wanita
dibandingkan pria. Hal ini mungkin disebabkan lempeng tarsal pada
wanita rata-rata lebih kecil dibandingkan pada pria. Entropion
involusional biasanya ditemukan lebih sering pada palpebra inferior
sedangkan entropion sikatrik lebih sering pada palpebra superior dan
paling sering didahului oleh trakhoma.
7. Distikiasis
Distikiasis adalah terdapatnya pertumbuhan bulu mata abnormal atau
terdapatnya duplikasi bulu mata daerah tempat keluarnya saluran
meibom. Berbentuk lebih halus, tipis dan pendek dibanding bulu mata
normal.

Gambar 14. Distikiasis

Dapat tumbuh ke dalam sehingga mengakibatkan bulu mata menusuk


ke jaringan bola mata atau trikiasis. Bersifat kongenital dominan.
Biasanya disertai kelainan kongenital lainnya.

3. Anamnesis
Pada anamnesis dapat ditanyakan mengenai riwayat penyakit sebelumnya yang
pernah diderita oleh pasien. Misalnya:
a. Apakah pasien pernah menderita infeksi mata berat atau pernah berada di
negara endemik trakoma seperti di Afrika dan negara-negara timur tengah?
b. Apakah pasien memiliki riwayat penyakit autoimmune seperti pemphigoid
sikatrik?
c. Apakah ada riwayat mengalami sindrom steven johnson sebelumnya?
d. Apakah ada riwayat trauma pada mata?
e. Apakah pasien pernah menjalani operasi mata sebelumnya?
Pasien dengan trikiasis dapat mengeluhkan sensasi benda asing dan iritasi permukaan
bola mata kronik. Apabila lebih berat hingga menimbulkan ulkus kornea , maka akan
timbul keluhan mata merah, sakit pada mata, fotofobia, dan penglihatan menurun.
4. Pemeriksaan
Pemeriksaan fisik
a. Inspeksi
Pada pemeriksaan inspeksi dengan menggunakan slit lamp didapatkan satu atau
lebih silia tumbuh ke arah kornea atau konjungtiva bulbi. Refleks
blefarospasme, kongestif konjungtiva, dan fotofobia dapat terjadi apabila
kornea telah mengalami abrasi. Tanda dan gejala penyakit penyerta seperti
trakoma, blefaritis, dan lain-lain, dapat ditemukan.
b. Eversi kelopak mata
Eversi kelopak dilakukan dengan mata pasien melihat jauh ke bawah. Pasien
diminta jangan mencoba memejamkan mata. Tarsus ditarik ke arah orbita. Pada
konjungtiva dapat dicari adanya folikel, perdarahan, sikatriks dan kemungkinan
benda asing.
c. Fluoresein
Fluoresin adalah bahan yang berwarna jingga merah yang bila disinari
gelombang biru akan memberikan gelombang hijau. Kertas fluoresein yang
dibasahi terlebih dahulu dengan garam fisiologik diletakkan pada sakus
konjungtiva inferior. Penderita diminta untuk menutup matanya selama 20
detik, beberapa saat kemudia kertas ini diangkat. Dilakukan irigasi konjungtiva
dengan garam fisiologik. Dilihat permukaan kornea bila terlihat warna hijau
dengan sinar biru berarti ada kerusakan epitel kornea. Defek kornea terlihat
berwarna hijau karena pada bagian defek tersebut bersifat basa. Pada keadaan
ini disebut uji fluoresein positif. Pemeriksaan ini dipakai untuk melihat
terdapatnya defek epitel kornea akibat gesekan dari silia bulu mata yang
mengalami trikiasis.

5. Komplikasi
1. Keratitis
Suatu kondisi dimana kornea meradang. Masuknya bulu mata dan tepi
kelopak ke kornea dapat menimbulkan iritasi dan rasa sakit. Bila ini
berlanjut terus dapat mengakibatkan terjadinya ulserasi kornea,
kemudian sembuh dengan sikatrik kornea.
Jaringan parut yang terbentuk dapat menyebabkan kehilangan
penglihatan. Komplikasi lebih lanjut dapat menyebabkan ulkus
kornea menetap.

2. Vaskularisasi kornea

Gambar 16. Trikiasis dengan vaskularisasi kornea

6. Tatalaksana
Jika hanya sedikit bulu mata yang terlibat, epilasi mekanik dapat menangani
sementara. Pertumbuhan baru biasanya dalam tiga hingga empat minggu. Penanganan
permanen merusak folikel bulu mata yang terlibat. Hal ini dilakukan dengan
elektrolisis atau cryotherapy.

Gambar 17. Elektrolisis. Sebuah jarum di insersikan ke dalam folikel rambut dengan
bantuan slit lamp atau dengan mikroskop.
Kekurangan metode elektrolisis yaitu sulitnya menempatkan jarum tepat
pada folikel rambut yang akan dirusak sehingga berisiko untuk menyebabkan
kerusakan mukosa dan struktur sekitarnya yang akhirnya akan menyebabkan
terbentuknya sikatrik yang lebih luas dan trikiasis yang lebih hebat.

Gambar 18. Cryotherapy11

Pada teknis modifikasi ketssey’s (Transposition of tarsoconjunctival wedge),


sebuah insisi horizontal dibuat sepanjang sulkus subtarsalis, (2-3mm diatas
margo palpebra) termasuk konjungtiva dan tarsal plate. Bagian terbawah dari
tarsal plate di tempel pada margo kelopak mata. Penjahitan matras dilakukan
setelah pemotongan bagian atas dari tarsal plate dan jahitan tersebut timbul
pada kulit 1 mm di atas margo kelopak mata.
Gambar 19. Teknik modifikasi Ketssey’s

Terapi medikamentosa dengan menggunakan kloramphenikol ointment dapat membantu


mencegah terjadinya kerusakan kornea. Pada trachomatous trichiasis, dapat pula digunakan
doxycycline sebagai terapi untuk mencegah terjadinya proses sikatrisasi yang lebih luas
sehingga secara tidak langsung mencegah terjadinya trikiasis.

7. Prognosis
 Quo ad vitam : dubia
 Quo ad functionam : dubia
 Quo ad sanationam : dubia
8. Pembahasan
Trikiasis merupakan kondisi dimana silia bulu mata melengkung ke arah bola
mata. Trikiasis biasanya terjadi akibat inflamasi atau terbentuknya sikatrik pada
palpebra setelah operasi palpebra, trauma, kalasion, atau blefaris ulseratif. Trikiasis
sering dikaitkan dengan penyakit sikatriks kronik seperti pemphigoid ocular, trakoma,
dan sindrom Steven Johnson. Pasien mengeluhkan sensasi benda asing dan iritasi
permukaan bola mata kronik. Abrasi kornea, injeksi konjungtiva, keluarnya cairan
mucus, dan reflex epifora merupakan gambaran yang sering ditemukan. Tanda dan
gejala penyakit penyebab seperti trakoma, blefaritis, dan lain-lain dapat pula
ditemukan. Pemeriksaan yang diperlukan untunk menegakkan diagnosis trikiasis
yaitu dengan anamnesis mengenai gejala dan riwayat penyakit penyebab, pemeriksaan
fisis dengan cara inspeksi yang dibantu dengan slitlamp, serta dapat pula dengan uji
floresein apabila dicurigai telah terjadi aberasi atau ulkus kornea. Penanganan trikiasis
dapat berupa epilasi, elektrolisis, atau cryotherapy.
CORPUS ALENUM KONJUNGTIVA

a. Definisi
Korpus alienum kornea adalah benda asing yang terdapat pada kornea seperti
serpihan logam, serpihan kaca, atau serpihan benda-benda organik.
b. Anatomi dan fisiologi kornea
Kornea adalah selaput bening mata yang menutupi mata bagian depan berupa
jaringan transparan dan avaskuler yang berbentuk seperti kaca arloji. Ketebalan
bagian sentral pada dewasa sekita 550 mikrometer, diameter horizontal 11,75
mm, vertikal 10,6 mm.
Lapisan kornea dari luar ke dalam dapat dibagi menjadi:
1. Lapisan epitel
Tebalnya 50 µm , terdiri atas 5 lapis sel epitel tidak bertanduk yang
saling tumpang tindih; satu lapis sel basal, sel polygonal dan sel gepeng.
Pada sel basal sering terlihat mitosis sel, dan sel muda ini terdorong
kedepan menjadi lapis sel sayap dan semakin maju kedepan menjadi sel
gepeng, sel basal berikatan erat dengan sel basal di sampingnya dan sel
polygonal di depannya melalui desmosom dan macula okluden; ikatan
ini menghambat pengaliran air, elektrolit dan glukosa yang merupakan
barrier.
Sel basal menghasilkan membrane basal yang melekat erat kepadanya.
Bila terjadi gangguan akan menghasilkan erosi rekuren.
Epitel berasal dari ectoderm permukaan.
2. Membran Bowman
Terletak dibawah membrana basal epitel kornea yang merupakan
kolagen yang tersusun tidak teratur seperti stroma dan berasal dari
bagian depan stroma.
Lapis ini tidak mempunyai daya regenerasi.
3. Jaringan Stroma
Terdiri atas lamel yang merupakan sususnan kolagen yang sejajar satu
dengan yang lainnya, Pada permukaan terlihat anyaman yang teratur
sedang dibagian perifer serat kolagen ini bercabang; terbentuknya
kembali serat kolagen memakan waktu lama yang kadang-kadang
sampai 15 bulan. Keratosit merupakan sel stroma kornea yang
merupakan fibroblast terletak diantara serat kolagen stroma. Diduga
keratosit membentuk bahan dasar dan serat kolagen dalam
perkembangan embrio atau sesudah trauma.
4. Membran Descement
Merupakan membrana aselular dan merupakan batas belakang stroma
kornea dihasilkan sel endotel dan merupakan membrane basalnya.
Bersifat sangat elastis dan berkembang terus seumur hidup, mempunyai
tebal 40 µm.
5. Endotel
Berasal dari mesotelium, berlapis satu, bentuk heksagonal, besar 20-40
m. Endotel melekat pada membran descement melalui hemidosom dan
zonula okluden.

Kornea dipersarafi banyak saraf sensoris terutama berasal dari saraf siliar longus,
saraf nasosiliar. Seluruh lapis epitel dipersarafi sampai pada kedua lapis terdepan
tanpa ada akhir saraf. Kornea merupakan lensa cembung dengan kekuatan
refraksi ±43 dioptri.

c. Patogenesis
Benda asing pada kornea dapat terjadi dimana saja, biasanya tanpa disengaja.
Mekanisme trauma dapat membantu membedakan trauma superfisial atau dalam
(intraokular). Beberapa benda yang dapat mengenai seperti serpihan kayu, logam,
plastik, serpihan daun, atau pasir. Trauma biasanya terjadi pada cuaca berangin atau
bekerja dengan benda yang dapat menimbulkan angin.
Untuk benda asing yang berasal dari serangga atau tumbuh-tumbuhan, memerlukan
perhatian khusus karena dapat meningkatkan risiko infeksi serta bersifat antigenik yang
dapat menimbulkan reaksi inflamasi kornea. Oleh sebab itu pada pasien seperti ini
harus dilakukan follow up ketat untuk komplikasi infeksi.
Benda asing pada kornea biasanya terdapat pada lapisan epiel atau stroma. Keadaan ini
dapat menyebabkan reaksi inflamasi sehingga terjadi dilatasi pembuluh darah di
sekitarnya, serta udem palpebra, konjungtiva, dan kornea. Jika tidak segera dikeluarkan
hal ini akan menyebabkan infeksi dan atau nekrosis jaringan.
Defek pada epitel kornea merupakan tempat masuknya mikroorganisme ke dalam
lapisan stroma kornea yang akan menyebabkan ulserasi. Selama fase inisial, sel epitel
dan stroma pada area defek akan terjadi udem dan nekrosis. Sel-sel neutrofil
mengelilingi ulkus dan menyebabkan nekrosis lamela stroma. Difusi sitokin ke
posterior (kamera okuli anterior) menyebabkan terbentuknya hipopion. Toksin dan
enzim yang dihasilkan bakteri dapat merusak substansi kornea. Bakteri yang pada
umumnya dijumpai adalah streptococcus, pseudomonas, enterobactericeae, dan
staphylococcus sp.

d. Diagnosis
1) Anamnesis

Aktivitas pasien, keadaan lingkungan, waktu dan mekanisme trauma. Gejala


klinis yang mungkin dikeluhkan pasien seperti nyeri, sensasi mengganjal,
fotofobia, air mata yang mengalir terus, dan mata merah

2) Pemeriksaan fisik
Tajam penglihatan normal atau menurun, injeksi konjungtiva, injeksi silier,
tampak benda saing di mata, rust ring (terutama jika logam tertanam sudah
beberapa jam atau hari), defek epitel yang jelas dengan penggunaan fluoresens,
udem kornea.
3) Pemeriksaan laboratorium
Diperlukan jika ada infeksi/ulkus kornea atau curiga adaya benda asing
intraokular. Kultur dan sensitivitas tes digunakan pada kasus infeksi atau ulkus.
CT scan, B-scan ultrasound, dan ultrasound biomicroscopy dapat digunakan
jika ada kecurigaan benda asing intraokular.
e. Komplikasi
 Rust ring :
Biasanya terjadi jika benda asing tersebut adalah besi, onsetnya 2-4 jam pertama
dan komplit dalam 8 jam. Dapat dibuang dengan bantuan slit lamp
menggunakan jarum halus ataupun burr.
 Infeksi kornea
 Terjadi jika dibiarkan lebih 2-4 hari, menyebabkan terbentuk ulkus dan jaringan
parut. Hal ini memerlukan terapi antibiotik topikal yang agresif dan penanganan
dokter mata lebih lanjut.
 Perforasi bola mata pada trauma yang disebabkan logam atau kecepatan tinggi
bisa juga telah terjadi ulkus yang tidak ditangani, hal ini memerlukan terapi
pembedahan.

f. Penatalaksanaan
Tujuan dari penatalaksanaan adalah mengurangi nyeri, mencegah infeksi, dan
mencegah kerusakan fungsi yang permanen. Benda asing yang terletak di permukaan
kornea dapat dihilangkan dengan berbagai cara seperti usapan cotton bud secara halus,
menggunakan jarum spuit 1 cc atau menggunakan magnet. Setiap pasien dengan benda
asing di kornea dilakukan dengan langkah-langkah penatalaksanaan awal sebagai
berikut :
1. Periksa tajam penglihatan sebelum dan sesudah pengangkatan.
2. Berikan anestesi topikal pada mata yang terkena.
3. Cobalah mengeluarkan benda asing dengan irigasi NaCl 0,9% steril.
4. Cobalah menggunakan cotton bud secara halus.
5. Cobalah menggunakan jarum halus.
6. Pengangkatan benda asing harus dilakukan dengan bantuan slit lamp.
7. Jika tidak berhasil segera rujuk ke dokter mata.
8. Berikan antibiotik topikal untuk profilaksis 4x1 hari sampai regenerasi epitel.
9. Berikan analgetik topikal.
10. Reevaluasi dalam 24 jam untuk melihat tanda-tanda infeksi dan ulkus kornea.
Indikasi rujuk
1. Benda asing sulit dikeluarkan
2. Terbentuk formasi rust ring pada kornea
3. Ada tanda-tanda perforasi bola mata
4. Ada tanda pembentukan ulkus kornea seperti kabur pada dasar defek, noda pada
tes fluorosensi bertahan >72 jam
5. Defek pada bagian sentral kornea
6. Hifema
7. Kerusakan kornea difus
8. Laserasi kornea atau sklera
9. Udem kelopak mata
10. Perdarahan subkonjungtiva yang difus
11. Bentuk pupil yang abnormal
12. Kamera okuli anterior yang dalam

Pada kasus tanpa komplikasi dimana benda asing dapat dikeluarkan, dapat diberikan antibiotik
spektrum luas dan obat-obatan cycloplegic. Jika terjadi komplikasi ulkus maka penanganannya
seperti ulkus kornea.

Penanganan lebih lanjut pada benda asing yang sulit dikeluarkan harus dilakukan oleh dokter
spesialis mata. Sebelum mengeluarkan benda asing, seorang klinisi harus menilai seberapa
dalam penetasi kornea, jika mencapai kamera okuli anterior pengangkatan harus dilakukan di
kamar operasi dengan alat pembesar yang cukup, penerangan, anestesi dan peralatan yang
cukup.
HIPERMETROPIA

1. DEFINISI
Hiperopia hipermetropia, penglihatan jauh/farsighteness adalah keadaan mata yang
tidak berakomodasi memfokuskan bayangan di belakang retina. Hipermetropi
merupakan gangguan kekuatan pembiasan sehingga titik fokusnya terletak dibelakang
retina.,
Hipermetropi dapat dibagi menjadi :
a. Hipermetropia manifes adalah hipermetropia yang dapat dikoreksi dengan
kacamata positif maksimal yang dapat memberikan tajam penglihatan normal.
Hipermetropia ini terdiri atas:
 Hipermetropia absolut, dimana kelainan refraksi tidak diimbangi
dengan akomodasi dan memerlukan kacamata positif untuk melihat
jauh.
 Hipermetropia fakultatif, dimana kelainan hipermetropia dapat
diimbangi dengan akomodasi ataupun kacamata positif.
b. Hipermetropia laten, dimana kelainan hipermetropia tanpa sikloplegia
diimbangi seluruhnya dengan akomodasi.
c. Hipermetropia total adalah hipermetropia yang ukurannya didapatkan sesudah
diberikan sikloplegia.

2. ETIOLOGI
Hipermetropi dapat disebabkan karena axial, kurvatur, indeks, posisi dan karena tidak
adanya lensa.
1) Hipermetropia sumbu atau hipermetropia aksial merupakan kelainan refraksi
akibat bola mata pendek atau sumbu anteroposterior yang pendek.
2) Hipermetropia kurvatur, dimana kelengkungan kornea atau lensa kurang
sehingga bayangan difokuskan di belakang retina.
3) Hipermetropia indeks refraktif, dimana terdapat indeks bias yang kurang pada
sistem optik mata, misalnya pada usia lanjut lensa mempunyai indeks refraksi
yang berkurang. Hal ini juga dapat terjadi pada penderita diabetes.
4) Positional hypermetropia sebagai akibat ditempatkannya lensa kristalina lebih
ke posterior.
Tidak adanya lensa kristal baik kongenital maupun didapat operasi pengangkatan
lensa atau dislokasi posterior mengarah ke aphakia - suatu kondisi hypermetropia
tinggi

3. PATOMEKANISME
Diameter anterior posterior bola mata yang lebih pendek, kurvatura kornea dan lensa
yang lebih lemah, dan perubahan indeks refraktif menyebabkan sinar sejajar yang
datang dari objek terletak jauh tak terhingga di biaskan di belakang retina.

4. GEJALA KLINIS
A Gejala
a) Asimtomatik. Sejumlah kecil kesalahan bias pada pasien muda
biasanya dikoreksi oleh upaya akomodatif tanpa menghasilkan apapun
gejala.
b) Penderita hipermetropia sukar untuk melihat dekat dan tidak sukar
melihat jauh
c) Gejala astenopia seperti kelelahan mata, nyeri kepala bagian frontal
atau fronto-temporal, fotofobia ringan. Gejala astenopia ini terutama
terkait dengan pekerjaan yang mebutuhkan penglihatan dekat.
d) Penglihatan kabur dengan gejala astenopia. Ketika hipermetropi tidak
dapat dikoreksi sepenuhnya oleh upaya akomodatif, maka pasien
mengeluh penglihatan kabur untuk melihat jarak dekat dan
berhubungan dengan gejala astenopia karena usaha akomodatif yang
terus menerus.
B Tanda
a. Ukuran bola mata mungkin tampak kecil secara keseluruhan.
b. Kornea mungkin sedikit lebih kecil dari normal.
c. Ruang anterior relatif dangkal.
5. DIAGNOSIS KLINIS DAN PEMERIKSAAN PENUNJANG,
1) Refraksi Subyektif
Dalam hal ini penderita aktif menyatakan lebih tegas atau lebih kabur huruf-
huruf pada kartu uji snellen, baik secara coba-coba atau pengabutan
2) Refraksi Obyektif
1 Pemeriksaan fundus memperlihatkan optik disk yang kecil yang
mungkin terlihat lebih banyak vaskular dengan margin yang tidak jelas
dan bahkan mungkin mensimulasikan papillitis meskipun tidak ada
pembengkakan disk, karena itu disebut pseudopapillitis. Retina secara
keseluruhan tampak bersinar lebih dari refleksi cahaya.
2 A-scan ultrasonografi biometri dapat memperlihatkan panjang antero-
posterior bola mata yang pendek.

6. PENATALAKSANAAN
A. Koreksi Refraksi
1 Kacamata
Untuk memperbaiki kelainan refraksi adalah dengan mengubah
sistem pembiasan dalam mata. Pada hipermetropia diperlukan lensa
cembung atau konveks untuk mematahkan sinar lebih kuat ke dalam
lensa. Pengobatan hipermetropia adalah diberikan koreksi
hipermetropia manifes dimana tanpa siklopegia didapatkan ukuran
lensa positif maksimal yang memberiakan tajam penglihatan normal.,
Pada pasien di mana akomodasi masih sangat kuat atau pada
anak-anak, maka sebaiknya dilakukan dengan memberikan siklopegik
atau melumpuhkan otot akomodasi. Dengan melumpuhkan otot
akomodasi, maka pasien akan mendapatkan koreksi kacamatanya
dengan mata yang istirahat.
2 Lensa kontak
Untuk : Anisometropia, Hipermetropia tinggi. Lensa kontak
dapat mengurangi masalah dalam hal koreksi visus penderita
hipermetropia akan tetapi perlu diperhatikan kebersihan dan ketelitian
pemakaiannya. Selain itu, perlu diperhatikan juga masalah lama
pemakaian, infeksi, dan alergi terhadap bahan yang dipakai.,
B. Tindakan Operatif
Pada umumnya operasi pada hipermetropi tidak efektif seperti pada miopia.
Prosedur yang digunakan adalah sebagai berikut :
a) Holmium laser thermoplasty telah digunakan untuk hipermetropi
derajat rendah.
b) Hyperopic PRK menggunakan excimer laser juga telah dicoba. Efek
regresi dan penyembuhan epitel yang lama adalah masalah utama yang
dihadapi.
c) Hyperopic LASIK efektif dalam mengoreksi hipermetropi sampai 4 D.

Anda mungkin juga menyukai