Anda di halaman 1dari 18

Referat

ANTIHISTAMIN DALAM DERMATOLOGI

Oleh:

Oleh:

Eadiva Putri Prayuri Titalia, S.Ked

04084821820025

Pembimbing:

Dr. dr. Yulia Farida Yahya, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV

BAGIAN/DEPARTEMEN DERMATOLOGI DAN VENEREOLOGI

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA

RSUP DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG

2018
HALAMAN PENGESAHAN

Referat

Judul

ANTIHISTAMIN DALAM DERMATOLOGI

Oleh

Eadiva Putri Prayuri Titalia, S.Ked

04084821820025

Pembimbing

Dr. dr. Yulia Farida Yahya, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV

Telah diterima sebagai salah satu syarat mengikuti Kepaniteraan Klinik Senior di
Departemen Dermatologi dan Venereologi Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya /
Rumah Sakit Umum Pusat Dr. Mohammad Hoesin Palembang, periode 17 September – 21
Oktober 2018.

Palembang, Oktober
2018

Pembimbing

Dr. dr. Yulia Farida Yahya, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV


ANTIHISTAMIN DALAM DERMATOLOGI
Eadiva Putri Prayuri Titalia, S.Ked
Pembimbing: Dr. dr. Yulia Farida Yahya, Sp.KK(K), FINSDV, FAADV
Bagian/Departemen Dermatologi dan Venereologi
Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya
RSUP Dr. Moh. Hoesin Palembang
2018

PENDAHULUAN
Antihistamin dapat diberikan sebagai efek sedasi dan antipruritik (Margaret et al.,
2012). Antihistamin H1 (AH1) adalah inverse agonists yang berikatan secara reversibel
dan menstabilkan bentuk inaktif reseptor (Leurs et al., 2002). AH1 akan menurunkan
produksi dari sitokin pro-inflamasi, ekspresi molekul adhesi, kemotaksis eosinofil dan
sel lainnya (Simons, 2004). AH1 juga berperan dalam pelepasan mediator dari sel mast
dan basofil dengan menghambat saluran ion kalsium. Antihistamin generasi pertama H1
juga dapat bertindak pada reseptor muscarinik, α-adrenergik, serotonin dan saluran ion
jantung. AH1 digunakan untuk mengobati pruritus akibat berbagai penyebab, urtikaria,
dan angioedema (Wood, 2012).
Antihistamin H2 (AH2) serupa dengan AH1, yaitu inverse agonists yang berikatan
secara reversibel dan menstabilkan bentuk inaktif reseptor H2 yang berada di seluruh
tubuh, meliputi sel epitel dan sel endotel. AH2 digunakan untuk mengobati reaksi alergi
akut, urtikaria kronik, dan pruritus terkait dengan kondisi lain (Wood, 2012).
Berdasarkan penelitian Yuin-Chew Chan tahun 2006, sebesar 86% dokter spesialis
penyakit kulit dan kelamin di Asia Tenggara memberikan antihistamin oral untuk
tatalaksana dermatitis atopik. Selain itu, berdasarkan penelitian Asmahani Thohiroh
tahun 2015, sebesar 92,8% pasien dermatitis atopik di RSUD Dr. Soetomo Surabaya
diberikan antihistamin oral untuk tatalaksana dermatitis atopik.
Antihistamin secara luas telah digunakan sebagai terapi dalam dermatologi. Dengan
demikian, farmakologi dan penggunaan antihistamin untuk keperluan klinis sangat
penting untuk diketahui sehingga dapat menggunakan antihistamin dengan baik. Oleh
karena itu, tinjauan pustaka ini akan membahas mekanisme kerja, farmakokinetik,
indikasi dalam dermatologi, dosis penggunaan, dan efek samping dalam dermatologi.
ANTIHISTAMIN
Definisi
Antihistamin adalah inverse agonists yang berikatan secara reversibel dan
mengaktifkan bentuk inaktif reseptor histamin. Hal ini menjelaskan bahwa antihistamin
merupakan agen yang melawan kerja histamin, biasanya dengan cara menghambat kerja
reseptor histamin (Wood, 2012).

Klasifikasi
Dengan menggunakan empat jenis reseptor yang diketahui, histamin mempengaruhi
pertumbuhan dan proliferasi sel, memodulasi inflamasi, dan bertindak sebagai
neurotransmitter. Reseptor H1 ditemukan pada neuron, otot polos, epitel dan endotelium,
dan beberapa jenis sel lainnya. Reseptor H2 terletak di sel parietal mukosa lambung, otot
polos, epitel dan endoselium, jantung, dan jenis sel lainnya juga. Reseptor H3 dan H4
memiliki limited expression. Reseptor H3 ditemukan terutama pada neuron
histaminergik, sedangkan reseptor H4 highly expressed dalam sumsum tulang dan pada
sel hematopoietik perifer (Wood, 2012). Dalam bidang dermatologi, tipe antihistamin
yang banyak digunakan yaitu:

Antihistamin H1
Antihistamin H1 generasi pertama dibagi menjadi enam kelompok berdasarkan
struktur kimianya yaitu: etilendiamin, etanolamin, alkilamin, fenotiazin, piperazin dan
piperidin (Xie, 2011).
Berbagai cincin aromatik, heterosiklik dan substitut alkil meningkatkan sifat lipofilik
dari antihistamin sehingga AH1 generasi pertama dapat masuk ke dalam sawar darah
otak. Beberapa AH1 generasi kedua merupakan derivat AH1 generasi pertama.
Antihistamin H1 generasi kedua berikatan non kompetitif dengan reseptor H1. Oleh
karena AH1 generasi kedua memiliki selektivitas tinggi dan sifat yang kurang lipofilik,
maka AH1 generasi kedua memiliki efek sedasi jauh lebih rendah dan keamanan yang
berbeda dibandingkan dengan obat generasi pertama (Wood, 2012).
Mekanisme Kerja
Antihistamin H1 merupakan inverse agonist yang secara reversibel mengikat dan
menstabilkan bentuk inaktif reseptor histamin, sehingga tetap pada bentuk inaktif.
Aktivasi reseptor H1 terdapat di endotel, sel otot polos dan ujung-ujung saraf, biasanya
menyebabkan peningkatan hidrolisis fosfoinositol dan peningkatan kadar kalsium
intrasel. AH1 menurunkan produksi sitokin proinflamasi, ekspresi molekul adhesi sel dan
kemotaksis eosinofil. Antihistamin H1 juga mengurangi pelepasan mediator dari sel mast
dan basofil melalui inhibisi kanal ion kalsium. Selain bekerja sebagai antihistamin, AH1
generasi pertama dapat bekerja pada reseptor muskarinik, α-adrenergik dan reseptor
serotonin serta kanal ion di otot jantung. Beberapa efek samping serius berhubungan
dengan AH1 generasi pertama, misalnya retensi urin, hipotensi, aritmia jantung.
Terdapatnya cincin aromatik atau heterosiklik multipel dan alkyl substituents
meningkatkan lipofilik sehingga dapat menembus sawar darah otak (Burkhalter, 2011).
Beberapa AH1 generasi kedua merupakan derivat AH1 generasi pertama, misalnya
cetirizin merupakan metabolit hidroksizin. Antihistamin H1 generasi kedua berikatan non
kompetitif dengan reseptor H1. Beberapa AH1 sedatif rendah bekerja melalui modulasi
pelepasan mediator inflamasi dan ekspresi molekul adhesi. Pemberian cetirizin
menurunkan influks eosinofil setelah pajanan terhadap alergen. Antihistamin H1 dapat
memodulasi molekul adhesi selular, misalnya molekul adhesi interseluler antigen-
induced pada keratinosit, sel langerhans, dan endotelium serta mempengaruhi pelepasan
mediator inflamasi dari leukosit (Wood, 2012).

Farmakokinetik
Setelah pemberian oral atau parenteral, antihistamin H1 (AH1) diabsorbsi secara baik.
Pemberian AH1 secara oral efeknya timbul 15-30 menit dan maksimal setelah 1-2 jam,
mencapai konsentrasi puncak plasma rata-rata dalam 2 jam. Pemberian oral antihistamin
H1 biasanya diberikan dengan dosis terbagi pada interval 4-8 jam. Pemberian topikal
untuk kulit bisa digunakan tetapi efektivitasnya berkurang dan sering dikaitkan dengan
terjadinya reaksi kontak tipe lambat (delayed contact reaction). Ikatan dengan protein
plasma kisaran antara 78-99%. Kadar tertinggi terdapat pada paru-paru sedangkan pada
limpa, ginjal, otak, otot, dan kulit kadarnya lebih rendah. Sebagian besar AH1
dimetabolisme melalui hepatic microsomal mixed-function oxygenase system, tetapi
dapat juga melalui paru-paru dan ginjal. Waktu paruh AH1 sangat bervariasi. Misalnya
pada orang dewasa, pemberian per-oral dosis tunggal bromfeniramin, klorfeniramin, dan
hidroksizin memiliki waktu paruh lebih dari 20 jam. Sebelum dieksresi melalui urin, AH1
dimetabolisme oleh sitokrom hepatik P450 (CYP) dan enzim 3A4 membentuk
glukoronida (Wood, 2012).
Secara umum obat AH1 generasi kedua mencapai konsentrasi lebih tinggi di kulit
dibandingkan obat generasi pertama, dan pemberian dosis tunggal dapat menekan reaksi
urtika dan eritema selama 1 sampai 24 jam. Penggunaan reguler memperpanjang efek ini,
misalnya penggunaan cetirizin setiap hari selama 6 hari menyebabkan supresi respon
urtika dan eritema. Terfenadin, astemizol, loratadin, akrivastin, mizolastin, ebastin, dan
oxatomid dimetabolisir di hati melalui enzim hepatik CYP 3A4. Cetirizin, fexofenadin,
levocetirizin, dan desloratadin mengalami metabolisme hepatik minimal sehingga
mengurangi kemungkinan interaksi dengan obat lain (Wood, 2012).
Pada orang dewasa sehat, cetirizin mencapai konsentrasi puncak kisaran 1 jam setelah
pemberian, dengan eliminasi waktu paruh kisaran 8 jam. Dosis lebih rendah digunakan
pada pasien gangguan fungsi ginjal atau hati. Fexofenadin umumnya mencapai
konsentrasi puncak 2 sampai 3 jam setelah pemberian, dengan eliminasi waktu paruh 14
jam. Penyesuaian dosis direkomendasikan pada pasien dengan penurunan klirens
kreatinin termasuk orang tua, namun pasien dengan penyakit hati tidak memerlukan
penyesuaian dosis karena fexofenadin hampir tidak mengalami metabolisme hepatik.
Waktu paruh loratadin kisaran 8 sampai 24 jam bergantung fungsi hepar. Pada beberapa
penelitian farmakokinetik obat ini, kisaran 20% orang ras Afrika Amerika mengalami
metabolisme desloratadin yang lambat (Wood, 2012).

Indikasi
Antihistamin H1 secara khusus efektif untuk terapi urtikaria fisik, dermatografisme dan
urtikaria idiopatik kronik. Antihistamin H1 tidak efektif untuk terapi sindrom angioedema
akuisita dan herediter serta urtikaria vaskulitis. Pada beberapa penelitian acak, dengan
kontrol plasebo atau paralel, AH1 generasi kedua terfenadin, astemizol, cetirizin,
loratadin, fexofenadin, desloratadin, akrivastin, mizolastin, azelastin, ebastin, dan
oxatomid lebih unggul dibandingkan plasebo untuk terapi urtikaria dan angioedema
(Wood, 2012).
Antihistamin H1, generasi pertama dan kedua digunakan untuk terapi pruritus pada
pasien dermatitis atopik, namun efikasinya belum dibuktikan melalui uji klinik yang
tepat. Penelitian tentang pegobatan awal selama 18 bulan terhadap anak dengan atopi,
melaporkan cetirizin bermanfaat sebagai steroid-sparing pada anak dengan dermatitis
atopik berat, namun tidak selalu bermanfaat pada anak dengan dermatitis atopik derajat
sedang (Wood, 2012).
Antihistamin H1 juga bermanfaat mengobati pruritus yang berhubungan dengan
kondisi lain seperti dermatitis kontak alergi dan dermatitis eksematosa lain, liken planus,
mastositosis sistemik, gigitan nyamuk, dan pruritus sekunder akibat penyakit medis yang
mendasari atau pruritus idiopatik. Pada kondisi ini, AH1 generasi pertama lebih
bermanfaat karena efek sedatifnya karena menyebabkan pasien dapat tidur lebih nyaman.
Antihistamin H1 juga digunakan sebagai tindakan awal sebelum tindakan tertentu pada
pasien dengan riwayat reaksi transfusi dan media radiokontras (Wood, 2012).
Antihistamin H1 merupakan terapi lini pertama pada pengobatan urtikaria idiopatik
kronik dan urtikaria fisik serta bermanfaat untuk terapi penyakit lain dengan gambaran
utama pruritus yang diinduksi histamin, terapi pruritus dengan berbagai etiologi (Tabel
1) (Wood, 2012).
Tabel 1. Indikasi Dermatologik Terapi Antihistamin H1
Indikasi AH1 dalam dermatologi
 Urtikaria akut
 Urtikaria idiopatik kronik
 Urtikaria fisik dan dermatografisme
 Dermatitis atopik
 Mastositosis sistemik
Dosis dan Sediaan
Terdapat perbedaan dosis dalam penggunaan AH1 antara dewasa dan anak-anak.
Regimen dosis AH1 (Tabel 2).5
Tabel 2. Regimen Dosis Antihistamin H1 (Wood, 2012)
Nama Obat Formulasi Dosis Kondisi yang
memerlukan
penyesuaian dosis
AH1 Generasi Pertama
Klorpeniramin 2,4, 8, 12 mg tablet Dewasa: 3-4x4 mg/hari Gangguan fungsi
Sirup 2mg/5ml Usia 6-11 th: 2 mg tiap 4-6 hati
jam
Siproheptadin Tablet 4 mg Dewasa: 3-4x4 mg/hari Gangguan Fungsi
Sirup 2 mg/5 ml Usia 7-14 th: 2-3x4 mg/hari hati
Usia 2-6 th: 2-3x2 mg/hari
Difenhidramin Tablet 25, 50 mg Dewasa: 25-50 mg tiap 4-6 Gangguan fungsi
Sirup 12,5 mg/5 ml jam hati
Sirup 50 mg/5 ml Usia 6-12 th: 12,5-25 mg
Sirup 6,25, 12,5 mg/5 tiap 4-6 jam
ml Usia <6 th: 6,25-12,5 mg
tiap 4-6 jam.
Hidroksizin Tablet 10, 25, 50, Usia >6 th: 25-50 mg tiap Gangguan fungsi
100 mg 6-8 jam/sebelum tidur hati
Sirup 10 mg/5 ml malam tiap hari
Usia <6 th: 25-50 mg/hari
Tripelennamin Tablet 25, 50, 100 Dewasa: 25-50 mg tiap 4-6 Gangguan fungsi
mg jam hati
AH1 Generasi Kedua
Akrivastin Tablet 8 mg Dewasa: 3x8 mg/ hari Gangguan fungsi
ginjal
Azelastin Tablet 2 mg Dewasa: 2x2-4 mg/hari Gangguan fungsi
Usia 6-12 th: 2x1-2 mg/hari ginjal dan hati
2x2 spray/nostril/hari
0,1% nasal spray
Cetirizin Tablet 5, 10 mg Usia >6 th: 5-10 mg/hari Gangguan fungsi
Sirup 5 mg/ml 2-6 th: 5 mg/hari ginjal dan hati
6 bl-2 th: 2,5 mg/hari
Desloratadin Tablet 2,5-5 mg >12 th: 5 mg/hari Gangguan fungsi
Sirup 5 mg/ml 6-12 th: 2,5 mg/hari ginjal dan hati
1-6 th: 1,25 mg/hari
6 bl-12 bl: 1 mg/hari
Ebastin Tablet 10 mg >12 th: 10-20 mg/hari Gangguan fungsi
6-12 th: 5 mg/hari ginjal
2-5 th: 2,5 mg/hari
Fexofenadin Tablet 30, 60, 120, >12 th: 60 mg 1-2x/hari, Gangguan fungsi
180 mg 120-180 mg/hari ginjal
6-12 th: 30 mg 1-2x/hari
Levocetirizin Tablet 5 mg >6 th: 5 mg/hari Gangguan fungsi
ginjal dan hati
Loratadin Tablet 10 mg >6 th: 10 mg/hari Gangguan fungsi
Suspensi 5 mg/ml 2-9 th: 5 mg/hari ginjal dan hati
Mizolastin Tablet 10 mg Dewasa: 10 mg/hari Gangguan fungsi
hati
Terapi Inisial
Dosis efektif terbaik dipilih berdasarkan dosis terendah dengan efek samping
minimal, misalnya efek sedasi. Setelah beberapa hari terapi, dosis dapat ditingkatkan.
Terkadang peningkatan dosis secara bertahap dapat menyebabkan toleransi terhadap
sedasi sehingga dosis lebih tinggi dapat digunakan untuk terapi pada kondisi tertentu,
misalnya urtikaria kronik refrakter. Pemberian obat secara oral bersama makanan dapat
mengurangi keluhan gastrointestinal, namun pasien disarankan untuk menghindari
penggunaan fexofenadin bersamaan dengan antasida karena dapat mempengaruhi
absorbsi obat. Individu dengan penyakit penyerta, misalnya penyakit hati dan ginjal
memerlukan dosis lebih rendah oleh karena gangguan metabolisme obat ini (Wood,
2012).

Terapi Evaluasi
Titik akhir terapi (Therapeutic endpoint) dievaluasi berdasarkan observasi dari tanda
dan gejala klinis, contohnya keparahan pruritus, jumlah lesi, ukuran dan frekuensi. Pada
sebagian besar kasus, toksisitas obat tidak memerlukan pengawasan khusus. Beberapa
individu dengan kelainan metabolisme atau penyakit komorbit lain harus dipantau dengan
ketat. Penggunaan siproheptadin pernah dilaporkan memiliki efek toksisitas terhadap hati
sehingga beberapa sumber menyarankan untuk dilakukan evaluasi enzim transaminase
hati secara berkala (Wood, 2012).

Efek Samping
Antihistamin H1 generasi pertama dan kedua berbeda dalam dua hal yang signifikan.
Generasi pertama lebih menyebabkan sedasi dan menimbulkan efek antikolinergik yang
lebih nyata. Hal ini dikarenakan generasi pertama kurang selektif dan mampu
berpenetrasi pada sistem saraf pusat (SSP) lebih besar dibandingkan generasi kedua.
Sementara itu, generasi kedua lebih banyak dan lebih kuat terikat dengan protein plasma,
sehingga mengurangi kemampuannya melintasi otak. Efek sedasi lebih menonjol pada
kelompok yang menggunakan etanolamin serta fenotiazin dan lebih sedikit pada
kelompok yang menggunakan alkilamin (Church, 2013). Efek sedasi dapat berkurang
setelah beberapa hari penggunaan AH1 secara terus menerus akibat dari efek adiktif.
Penggunaan AH1 berhubungan dengan peningkatan insiden kecelakaan kerja dan
kecelakaan saat berkendara. Efek SSP lain meliputi pusing, tinitus, gangguan koordinasi,
tidak mampu berkonsentrasi, pandangan kabur, dan diplopia. Efek SSP yang distimulasi
terutama oleh kelompok alkilamin meliputi gelisah, iritabilitas, insomnia dan tremor
(Wood, 2012).
Keluhan gastrointestinal yaitu anoreksia, nausea, vomitus, nyeri epigastrik, diare dan
konstipasi merupakan efek samping tersering dikeluhkan, terutama pada kelompok
etilenediamin. Keluhan dapat dikurangi dengan pemberian obat bersama makanan
(Simons, 2004). Efek antikolinergik meliputi membran mukosa kering, retensi urin dan
hipotensi postural, pusing, disfungsi ereksi dan konstipasi. Efek ini sering berhubungan
dengan kelompok etanolamin, fenotiazin, dan piperazin sehingga tidak boleh digunakan
pada pasien glaukoma sudut sempit dan harus dipantau ketat pada pasien dengan
hipertrofi prostat. Aritmia terutama pemanjangan interval QT dan torsades de pointes
merupakan efek toksik terhadap jantung yang paling serius. Efek ini bergantung dosis
dan dimediasi oleh blokade kanal ion potasium yang tidak berhubungan dengan reseptor
H1. Hipotensi transien dapat terjadi setelah terapi intravena, terutama bila obat diberikan
secara cepat (Wood, 2012).
Kejadian reaksi kutan setelah pemberian oral AH1 jarang terjadi. Reaksi yang
dilaporkan meliputi dermatitis eksematosa, dermatitis kontak alergi, urtikaria, petekiae,
fixed drug eruptions, dan fotosensitivitas. Beberapa reaksi ini mungkin akibat sekunder
dari excipients in the drug. Oleh karena selektivitas terhadap reseptor H1 perifer cukup
rendah, maka AH1 generasi pertama memiliki efek samping sedatif maupun kolinergik
biasanya lebih menonjol daripada obat AH1 generasi kedua. Pada Kelompok AH1
generasi kedua, sedasi paling sering dilaporkan pada pasien yang menggunakan cetirizin
dan akrivastin. Walaupun efek sedasi jauh lebih rendah, hidroksizin, certirizin
menyebabkan sedasi pada kisaran 10% sampai 15% pengguna obat. Efek ini bergantung
dosis dan biasanya dapat dikurangi dengan penyesuaian dosis. Penggunaan akrivastin
dilaporkan 15% sampai 35% menyebabkan somnolen. Berbeda dengan penggunaan
fexofenidin, loratadin, dan desloratadin menyebabkan sedasi yang tidak begitu berarti
(Wood, 2012).
Interaksi Obat
Antihistamin H1 dapat berinteraksi dengan golongan obat lain yang dimetabolisme
oleh sistem sitokrom P450 di hati, seperti obat antijamur imidazol, simetidin, antibiotik
golongan makrolid. Pemberian AH1 kontraindikasi pada pasien yang sedang dalam
pengobatan dengan golongan monoamine oxidase inhibitors. Efek sedasi lebih menonjol
pada pemberian AH1 bila dikombinasikan dengan antidepresan seperti benzodiazepin,
sedangkan interaksi ini tidak ditemukan pada pemberian kombinasi dengan AH1 generasi
kedua (Wood, 2012).

Antihistamin H2
Antihistamin H2 serupa dengan AH1, yaitu inverse agonist yang berikatan secara
reversibel dan menstabilkan bentuk inaktif reseptor H2 yang berada di seluruh tubuh,
meliputi sel epitel dan endotel (Wood, 2012).

Mekanisme Kerja
Salah satu stimulus yang merangsang pengeluaran asam lambung oleh sel parietal
adalah histamin. Reseptor histamin disini adalah histamin H2, untuk menghambat sekresi
asam lambung oleh histamin digunakanlah obat-obat yang merupakan inverse agonist
dari histamin H2. Antihistamin H2 merupakan inverse agonist yang mengikat reseptor
H2 di seluruh tubuh meliputi sel epitel dan endotel. Terdapat bukti terbaru bahwa
reseptor H2 diekspresikan pada sel mast dan dendritik dermal. Melalui ikatan dengan
reseptor ini, AH2 dapat memediasi permeabilitas vaskuler kulit, pelepasan lokal mediator
inflamasi dan cellular recruitment, serta presentasi antigen (Wood, 2012).

Farmakokinetik
Antihistamin H2 diabsorbsi cepat di traktus gastrointestinal dengan kadar puncak
terjadi pada kisaran 1 sampai 2 jam setelah pemberian. Obat ini mengalami metabolisme
hepatik dengan klirens di ginjal. Hanya sebagian kecil simetidin yang diabsorbsi di
lambung, sebagian besar diabsorbsi di usus halus. Waktu paruh simetidin dalam plasma
adalah 2 jam. Kisaran 69% diekskresikan di urin. Pada orang dewasa sehat, waktu paruh
ranitidin dalam plasma adalah 2 sampai 3 jam, lebih lama pada individu dengan
gangguan ginjal, hati dan orang lanjut usia. Obat dan metabolitnya terutama diekskresi di
urin. Waktu paruh famotidin dalam plasma adalah 3 sampai 8 jam. Pada pasien gagal
ginjal, waktu paruh dapat lebih dari 20 jam. Waktu paruh nizatidin dalam plasma adalah
1 sampai 2 jam dan lama kerja lebih dari 10 jam. Nizatidin terutama dieliminasi melalui
ginjal dalam waktu 16 jam. Bioavailabilitas nizatidin peroral tidak dipengaruhi makanan.
Obat ini relatif lipofilik dengan penetrasi terbatas pada sawar darah otak (Wood, 2012).

Indikasi
Dalam dermatologi, AH2 umumnya digunakan bersama dengan AH1 dan biasanya
diberikan setelah dengan terapi AH1 saja tidak berhasil (Burkhalter, 2011). Obat ini lebih
sering digunakan sebagai tambahan AH1 pada kasus urtikaria kronik dan angioderma
(Kar, 2011). Pada penelitian cross-sectional, ukuran, jumlah dan keparahan urtika lebih
banyak berkurang pada penggunaan kombinasi hidroksizin dan simetidin dibandingkan
dengan hidroksizin tunggal. Tetapi kombinasi AH1 dan AH2 juga mengurangi pruritus
dan urtika yang berhubungan dengan mastositosis sistemik dan urtikaria pigmentosa.
Penelitian cross-sectional terhadap klorfeniramin dan simetidin menunjukan bahwa
kombinasi tersebut efektif mengurangi pruritus dan urtika.
Terdapat beberapa data penelitian terkontrol yang mendukung penggunaan AH2
untuk terapi dermatologi (Tabel 4). (Wood, 2012)
Tabel 4. Indikasi Dermatologik Terapi Antihistamin H2
Indikasi AH2 Dalam Dermatologi
 Reaksi alergi akut
 Urtikaria kronik
 Urtikaria pigmentosa dan mestositosis sistemik
 Pruritus yang berhubungan dengan kondisi lain
Dosis dan Sediaan
Ada perbedaan dosis dalam penggunaan antihistamin H2 antara dewasa dan anak-
anak. Regimen dosis untuk AH2.(Wood, 2012)
Tabel 5. Regimen Dosis Antihistamin H2 (Wood, 2012)
Nama Obat Sediaan Dosis Kondisi.yang memerlukan
penyesuaian dosis
Simetidin Tablet 100, 200, 300, 400, Dewasa:2x400-800 mg/hari Gangguan fungsi ginjal dan hati.
800 mg
Sirup 300 mg/5 ml
Sirup 200 mg/20ml
Ranitidin Tablet 75, 150, 300 mg Dewasa: 2x75-150 mg/hari Gangguan fungsi ginjal
Sirup 15 mg/5ml Anak: 5-10 mg/kg/hari
terbagi dalam 2 dosis
Granul 150 mg
Famotidin Tablet 10,20, 40 mg Dewasa: 2x20-50 mg/hari Gangguan fungsi ginjal
Sirup 40 mg/5 ml Usia1-16 th: 1 mg/kb/hari
Nizatidin Kapsul 150, 300 mg Usia diatas 12 th: 1-2 x 150 Gangguan fungsi ginjal
Sirup 15 mg/5 mg mg/hari

Terapi Inisiasi
Pada umumnya penggunaan AH2 dapat dimulai tanpa melakukan pemeriksaan
laboratorium. Inhibisi pada sistem CYP di hati oleh obat ini dan interaksi antar
merupakan perhatian utama sebelum memulai terapi. Oleh karena itu diperlukan
pencatatan dan penjabaran obat-obat yang digunakan oleh individu. Ranitidin tidak
terlalu mempengaruhi sistem CYP di hati dibandingkan simetidin. Pasien dengan
penurunan creatinin clearance harus mendapatkan dosis penyesuaian (Wood, 2012).

Terapi Evaluasi
Titik akhir terapi (Therapeutic endpoint) dievaluasi berdasarkan observasi dari tanda
dan gejala klinis, contohnya keparahan pruritus, jumlah lesi, ukuran dan frekuensi.
Sedangkan toksisitas obat tidak memerlukan pengawasan khusus diluar dari evaluasi efek
samping yang biasa dilakukan pada sebagian besar kasus. Pada pasien dengan riwayat
trombositopenia, pemeriksaan darah lengkap mungkin dibutuhkan ketika inisiasi terapi
AH2, karena trombositopenia telah dilaporkan sebagai efek idiosinkratik dari obat ini
pada beberapa individu (Wood, 2012).
Efek Samping
Antihistamin H2 juga memiliki efek samping (Tabel 6). Efek samping ini tampaknya
berhubungan dengan pemakaian dosis. Antihistamin H2 dapat memfasilitasi infeksi oral
dan meningkatkan risiko pneumonia pada individu dengan daya tahan tubuh rendah,
termasuk pasien diabetes, lanjut usia, dan imunodefisiensi. Hal ini dikarenakan
supresinya terhadap sekresi asam lambung. Obat ini dapat menutupi gejala kanker
lambung (Laheij, 2004).
Ranitidin dan simetidin menghambat aktivitas dehidrogenase alkohol, sehingga
menyebabkan peningkatan kadar alkohol dalam darah. Efek samping simetidin yang
jarang terjadi, meliputi ginekomastia dengan atau tanpa peningkatan kadar prolaktin pada
pria, galaktore dengan peningkatan kadar prolaktin pada wanita dan hilangnya libido,
impotensi serta penurunan jumlah sperma pada pria muda. Dilaporkan peningkatan
moderat kadar kreatinin serum dan transaminase hepatik, peningkatan ini bersifat
reversibel setelah penggunaan obat dihentikan. Dilaporkan pula efek samping
dermatologis yang jarang, yaitu alopesia dan urtikaria vaskulitis. Ranitidin tidak
berikatan dengan reseptor androgen dan tidak meningkatkan Cell Mediated Immune
Responses (CMI). Ranitidin dapat mempengaruhi kontrol otonom fisiologis sistem
kardiovaskuler melalui perubahan fungsi kontrol parasimpatis dan simpatis. Famotidin
dan nizatidin berhubugan dengan sedikit efek samping, obat ini juga sedikit menghambat
sistem CYP sehingga lebih sedikit terlibat dalam interaksi obat (Wood, 2012).
Tabel 6. Efek samping Antihistamin H2 (Wood, 2012)
Efek Samping AH2
 Gangguan sistem saraf pusat
o Kebingungan
o Sakit kepala
o Pusing
o Mengantuk
 Efek gastrointestinal
o Mual dan muntah
o Diare atau konstipasi
o Nyeri perut
o Peningkatan transaminase dan hepatitis (jarang)
 Ginekomastia
 Peningkatan kerentanan terjadinya pneumonia
 Hematologi (jarang)
o Trombositopenia
o Anemia
 Efek jantung (dengan pemberian bersama dofetilide, sehingga merupakan kontraindikasi)
Interaksi Obat
Simetidin menghambat sitokrom P450 sehingga menurunkan aktivitas enzim
mikrosom hati, jadi obat lain merupakan substrat enzim tersebut akan terakumilasi bila
diberikan bersama simetidin. Obat yang metabolismenya dipengaruhi simetidin adalah
warfarin, fenitoin, kafein, teofilin, fenobarbital, karbamazepin, diazepam, propanolol,
metoprolol, dan imipramin. Pada penggunaan simetidin bersama dengan warfarin dapat
meningkatkan protrombin time sehingga akan mengakibatkan risiko perdarahan (Xie,
2011).
Ranitidin lebih jarang berinteraksi dengan obat lain dibandingkan simetidin, tetapi
makin banyak obat dilaporkan berinteraksi dengan ranitidin yaitu nifedipin, warfarin,
teofilin, dan metoprolol. Selain penghambatan terhadap sitokrom P450 diduga ada
mekanisme lain yang berperan dalam interaksi obat. Ranitidin dapat menghambat
absorpsi diazepam dan mengurangi kadar plasmanya sejumlah 25% (Wood, 2012).
KESIMPULAN
Untuk mengurangi atau menghambat efek histamin terhadap tubuh maka digunakan
antihistamin, yaitu suatu zat yang dapat mengurangi atau menghambat efek histamin
terhadap tubuh dengan jalan memblok reseptor histamin.
Terdapat dua jenis antihistamin yang tersedia dalam penggunaan klinis, yaitu AH1
dan AH2. Antihistamin H1 generasi pertama bersifat lipofilik dan dapat menimbulkan
efek sedasi sedangkan antihistamin H1 generasi kedua lebih selektif terhadap reseptor H1
dan menyebabkan efek sistem saraf pusat yang minimal. Antihistamin H1 generasi kedua
lebih disarankan penggunaannya walaupun harus tetap digunakan sesuai dengan indikasi.
Antihistamin H1 merupakan terapi lini pertama pada pengobatan urtikaria idiopatik
kronik dan urtikaria fisik serta bermanfaat untuk terapi penyakit lain dengan gambaran
utama pruritus yang diinduksi histamin. Dalam dermatologi, AH2 umumnya digunakan
bersama dengan AH1 dan biasanya diberikan setelah dengan terapi AH1 saja tidak
berhasil.
Para ahli dermatologi sering menggunakan antihistamin untuk mengobati kelainan
kronik maupun rekuren. Dengan demikian dokter harus teliti dengan pemakaian
antihistamin dan efek samping potensial pada kelompok-kelompok antihistamin yang
berbeda untuk keperluan klinis sehingga dapat menggunakan antihistamin dengan baik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Margaret JG, Fedeles F, Rothe MJ. Exfoliative Dermatitis. Dalam: Wolff K,


Goldsmith I.A, Kaatz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s
Dermatology in General Medicine. 8th Ed. San Fransisco: McGraw-Hill Company;
2012. hal.278.
2. Leurs R, Church MK, Taglialatela M. H1-antihistamines: inverse agonism, anti-
inflammatory actions and cardiac effects. Clin Exp Allergy: 2002; 32(4): 489–98.
3. Simons FE. Advances in H1-antihistamines. N Engl J Med: 2004; 351: 2203.
4. Wood RA. Antihistamines. Dalam: Wolff K, Goldsmith I.A, Kaatz SI, Gilchrest
BA, Paller AS, Leffell DJ, editors. Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine.
8th Ed. San Fransisco: McGraw-Hill Company; 2012. hal.2769-73.
5. Chan YC, Tay YK, Sugito TL, Boediardja SA, Chau DD, Nguyen KV, Yee KC,
Alias M, Hussein S, Dizon MV, Roa F, Chan YH, Wananukul S, Kullavanijaya P,
Singalavanija S, Cheong WK. A study on the knowledge, attitudes and practices of
southeast asian dermatologists in the management of atopic dermatitis. Ann Acad
Med Singapore: 2006; 35: 794-803.
6. Thohiroh A, Zulkarnain I. Penelitian retrospektif: pengobatan oral pada pasien
dermatitis atopik anak. BIKKK: 2015; 27: 192.
7. Xie H. Roles of histamine and its receptors in allergic and inflammatory bowel
diseases. Shanghai: World J Gastroenterol: 2011; 11(19): 2851-7.
8. Burkhalter A, Julius D, Frick OL. Histamine, Serotonin, and The Ergot Alkaloids.
Dalam: Katzung, Bertran G, editors. Basic and Clinical Pharmacology. 11th ed. San
Francisco: McGraw Hill Lange; 2011. hal.271-92.
9. Church, Diana S. Pharmacology of Antihistamines. World Allergy Organ J:
BioMed Central Ltd: 2013; 58(3): 219-24.
10. Kar S, Krishnan A, Preetha A, Mohankar A. A review of antihistamines used
during pregnancy. J Pharmacol Pharmacother: 2011; 3(2): 105-8.
11. Laheij RJ, Sturkenboom MC, Hassing RJ, Dieleman J, Stricker BH, Jansen JB.
Risk of community-acquired pneumonia and use of gastric acid-suppressive drugs.
JAMA: 2004; 292(16): 1955-60.

Anda mungkin juga menyukai