Anda di halaman 1dari 45

Laporan Kasus

SINDROM NEFROTIK

Oleh:

Afifa Jasmon, S.Ked 040548216719078

Pembimbing:

dr. Aditiawati, Sp.A (K)

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS SRIWIJAYA
RUMAH SAKIT DR. MOHAMMAD HOESIN PALEMBANG
2018

i
HALAMAN PENGESAHAN

Laporan Kasus

Sindrom Nefrotik

Oleh:

Afifa Jasmon, S.Ked. 04054821719078

Telah diterima sebagai salah satu syarat dalam mengikuti Kepaniteraan Klinik di
Departemen Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya Rumah Sakit Dr.
Mohammad Hoesin Palembang Periode 22 Oktober 2018-31 Desember 2018.

Palembang, November 2018

Pembimbing

dr. Aditiawati, Sp.A (K)

ii
KATA PENGANTAR

Segala puji syukur kepada Allah swt, karena atas berkat dan rahmat-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan laporan kasus dengan topik “Sindrom Nefrotik”. Di kesempatan ini
penulis juga mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada dr. Aditiawati, Sp.A (K)
sebagai pembimbing yang telah membantu dalam penyelesaian laporan kasus ini. Laporan kasus
ini merupakan salah satu syarat dalam mengikuti kepaniteraan klinik di Departemen Ilmu
Kesehatan Anak FK UNSRI-RSUP Dr. Mohammad Hoesin Palembang.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman, dan semua pihak yang
telah membantu dalam menyelesaikan laporan kasus ini, sehingga laporan kasus ini dapat
diselesaikan dengan baik oleh penulis.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan laporan kasus ini masih banyak terdapat
kesalahan dan kekurangan. Oleh karena itu, segala saran dan kritik yang bersifat membangun
sangat penulis harapkan. Demikianlah penulisan laporan ini, semoga bermanfaat, aamiin.

Palembang, November 2018

Penulis

iii
DAFTAR ISI

HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………….. i

KATA PENGANTAR ……………………………………….. ii

DAFTAR ISI ……………………………………….. iii

BAB I PENDAHULUAN ……………………………………….. 1

BAB II STATUS PASIEN ……………………………………….. 3

BAB III TINJAUAN PUSTAKA ……………………………………….. 21

BAB IV ANALISIS KASUS ……………………………………….. 34

DAFTAR PUSTAKA ……………………………………….. 38

iv
BAB I
PENDAHULUAN

Sindrom Nefrotik (SN) merupakan salah satu manifestasi klinis


glomerulonefritis yang ditandai dengan proteinuria yang dikarenakan adanya
kerusakan pada glomerulus ditambah dengan edema dan hipoalbuminemia.
Penyakit ini lebih umum terjadi pada anak-anak dan memiliki penyebab baik
primer maupun sekunder. Pada dasarnya, sindrom nefrotik bukanlah penyakit
ginjal yang spesifik. Penyakit ini dapat muncul di berbagai penyakit ginjal
yang merusak unit penyaring dengan mekanisme tertentu yang mengakibatkan
bocornya protein ke dalam urin. Diagnosis pada penyakit ini juga berdasarkan
pada perbandingan protein urin/ kreatinin pada sampel urin, pemeriksaan
1,2,3
darah rutin, maupun biopsi.
Insiden sindrom nefrotik di Indonesia dilaporkan mencapai enam kasus
per 100.000 anak di Indonesia, sementara Divisi Nefrologi Ilmu Kesehatan
Anak (IKA) RS Cipto Mangunkusumo (RSCM) mencatat sekitar 130 kasus
4
baru selama tahun 2004-2008.
Penyebab utama dari sindrom nefrotik masih belum sepenuhnya
diketahui (idiopatik). Sindrom nefrotik pada anak umumnya disebabkan oleh
satu dari dua penyakit idiopatik seperti sindrom nefrotik perubahan minimal
dan glomerulosklerosis fokal segmental. Para peneliti mengaitkan penyakit ini
dengan beberapa perubahan genetik spesifik yang dapat merusak ginjal seperti
kelainan pada T-cell yang mengarah pada disfungsi podosit glomerular yang
disebabkan oleh mutasi genetik yang berkaitan dengan pembentukan protein
pada podosit. Sedangkan infeksi dan penyakit yang mendasari merupakan
1,5
penyebab sekunder yang dapat merusak fungsi ginjal.
Sindrom nefrotik pada anak memiliki insidensi relapse yang tinggi
yaitu hampir 60% sehingga dapat meningkatkan angka morbiditas dan
mortalitas, serta menimbulkan efek samping pengobatan yang lebih berat.
Keadaan tersebut sangat memengaruhi kualitas hidup seorang anak dengan

1
sindrom nefrotik. Sindrom Nefrotik Relaps ditandai dengan proteinuria yang
muncul kembali setidaknya selama 4 hari. Relapse biasanya muncul ketika
dosis prednisolon rendah atau sedang berhenti meminum obat dan jarang
4,6
terjadi pada dosis prednisolon yang tinggi.
Kompetensi dokter umum untuk kasus sindrom nefrotik adalah tingkat
kemampuan dua yang artinya dokter mampu membuat diagnosis dan merujuk
pasien secepatnya kepada spesialis yang relevan dan mampu menindaklanjuti
sesudahnya. Oleh karena itu, dibutuhkan pemahaman mengenai sindrom
nefrotik sehingga dapat mengenali secara dini sindrom nefrotik dengan
harapan dapat mencegah progresivitas dan komplikasi akibat keterlambatan
penatalaksanaan.

2
BAB II

STATUS PASIEN

2.1 IDENTIFIKASI
Nama : An. ALB
Tanggal Lahir/Umur : 9 Maret 2017 / 1 tahun 7 bulan
Jenis kelamin : Laki-laki
Berat Badan : 12.8 kg
Tinggi Badan : 83 cm
Agama : Islam
Alamat : Jl. I, Kecamatan S, Kota P
Bangsa : Sumatera
MRS : 12 November 2018 pukul 21.01 WIB
No.Rekam Medis : 1088591

2.2 ANAMNESA
(Alloanamnesis dari Ibu penderita tanggal 13 November 2018)
Keluhan Utama : Bengkak seluruh tubuh
Keluhan Tambahan : Batuk pilek

Riwayat Perjalanan Penyakit


Sejak ±7 hari SMRS, anak terlihat bengkak (+) pada kelopak mata
dan pipi, bengkak muncul saat bangun tidur di pagi hari dan menghilang
pada siang dan sore hari. BAK seperti air teh tua (+), frekuensi ±5 kali sehari
dengan jumlah sekitar ±1/4 gelas belimbing, nyeri BAK (-), BAK seperti
cucian daging (-), BAK berbusa (-), darah (-), berpasir (-). BAB biasa.
Keluhan disertai batuk (+), berdahak kental berwarna putih dengan darah (-),
pilek (+) sekret cair dan bening, demam (-), sesak (-), mual (-), muntah (-),
riwayat korengan (-). Anak dibawa berobat ke praktek dokter umum dan
diberi obat sirup satu macam, ibu lupa nama obat. Keluhan tidak berkurang
dan anak masih bengkak.

3
Sejak ±2 hari SMRS, bengkak pada kelopak mata menetap, perut
mulai membesar cembung, kedua tungkai dan kemaluan terlihat
membengkak. BAK seperti air teh tua (+), frekuensi dan jumlah BAK
semakin sedikit, BAK terakhir pada 1 malam sebelumnya, anak tampak
mengedan untuk membantu proses BAK. Nyeri BAK (-), BAK seperti
cucian daging (-), BAK berbusa (-), darah (-), berpasir (-), BAB biasa.
Keluhan disertai dengan batuk (+) berdahak kental sedikit kehijauan dengan
darah (-). Pilek (+) sekret putih kental, demam (-), sesak napas (-), nafsu
makan biasa, mual (-), muntah (-). Anak lalu dibawa ke RS Swasta dan
dilakukan pemeriksaan darah dan urine, didapatkan hasil kolesterol total
467 mg/dl, albumin 1,4 g/dl, dan protein urin positif 3 (+++), dan dikatakan
anak sakit bocor ginjal, anak kemudian dirawat selama dua hari dan diberi
terapi methylprednisolon tablet, jumlahnya ibu lupa, kemudian dirujuk ke
RSMH.

Riwayat Penyakit Dahulu

- Riwayat bengkak sebelumnya disangkal.


- Riwayat darah tinggi disangkal.
- Riwayat sakit jantung bawaan sebelumnya disangkal.
- Riwayat sakit kuning sebelumnya disangkal.
- Riwayat batuk pilek ada, sejak 7 hari yang lalu, sering hilang timbul.

Riwayat Penyakit Dalam Keluarga

- Penyakit yang sama dalam keluarga disangkal.


- Riwayat penyakit darah tinggi dalam keluarga disangkal.
- Riwayat penyakit kencing manis dalam keluarga disangkal.

4
Riwayat Kehamilan dan Kelahiran
Masa kehamilan : Aterm (9 bulan 4 hari)
Partus : Pervaginam
Tempat : RS Swasta
Ditolong oleh : Dokter
Tanggal : 9 Maret 2017
Berat badan : 3500 gram
Panjang badan : 48 cm
Lingkar kepala : Ibu lupa

Riwayat Makan
ASI : Lahir - 1 tahun 7 bulan lamanya @±20 menit tiap 3 jam
Susu Formula : 1 tahun 5 bulan – sekarang;
Bubur Nasi : 6 - 10 bulan, 3x/hari, 8 sendok makan
Nasi Tim : 10 - 15 bulan, 3x/hari, 8 sendok makan
Nasi Biasa : 15 bulan – sekarang, 3x/hari, banyaknya @±1/2 porsi
(10-12 sendok makan)
Daging : 15 bulan – sekarang, 3x/hari, anak biasa diberi lauk
berupa daging ikan (paling sering), daging ayam, atau
sesekali daging sapi. Potongan daging kecil.
Tempe : 15 bulan – sekarang, 3-4x/minggu, banyaknya 1 potong
kecil dan biasa diberikan bersama dengan lauk daging.
Tahu : 15 bulan – sekarang, 3-4x/minggu, banyaknya 1 potong
kecil dan biasa diberikan bersama dengan lauk daging.
Sayuran : 12 bulan – sekarang; setiap makan dalam porsi sedikit,
anak hanya mau makan daun kangkung dan bayam.
Buah : Sejak usia 8 bulan frekuensi jarang, anak hanya mau
makan apel, dan pisang.
Kesan : Kuantitas cukup, Kualitas cukup.

5
Riwayat Imunisasi
IMUNISASI
Usia Usia Usia
Pemberian pemberian Pemberian
BCG √ 1 bulan
DPT 1 √ 2 bulan DPT 2 √ 3 bulan DPT 3 √ 4 bulan
HEPATITIS √ Saat lahir HEPATITIS √ 1 bulan HEPATITIS √ 6 bulan
B1 B2 B3
Hib 1 √ 2 bulan Hib 2 √ 3 bulan Hib 3 √ 4 bulan
HiB 4 √ 15 bulan POLIO 1 √ Saat lahir POLIO 2 √ 2 bulan
(booster)
POLIO 3 √ 3 bulan POLIO 4 √ 4 bulan POLIO 5 √ 18 bulan
(booster)
DPT 4 √ 18 bulan CAMPAK √ 9 bulan MMR √ 12 bulan
(booster)
PCV 1 - Seharusnya PCV 2 - Seharusnya PCV 3 - Seharusnya
usia 2 bulan usia 4 bulan usia 6 bulan
Rotavirus 1 - Seharusnya Rotavirus 2 - Seharusnya Rotavirus 3 - Seharusnya
usia 2 bulan usia 4 bulan usia 6 bulan

Kesan : Imunisasi dasar lengkap hingga usia 18 bulan


Iminusasi anjuran : Tidak dilakukan
Imunisasi booster : Imunisasi booster lengkap hingga usia 18 bulan

Riwayat Keluarga
Perkawinan : Pertama
Umur Perkawinan : 3 tahun
Pendidikan orag tua : Ibu SMA, Ayah SMA
Usia orang tua : Ibu 27 tahun, Ayah 29 tahun
Pekerjaan orang tua : Ayah wiraswasta, Ibu IRT

Riwayat Perkembangan
Gigi Pertama : 7 bulan
Berbalik : 4 bulan
Tengkurap : 5 bulan
Merangkak : 6 bulan
Duduk : 8 bulan
Berdiri : 11 bulan

6
Berjalan : 12 bulan
Berbicara : 13 bulan
Kesan : Perkembangan anak sesuai usia.

Riwayat Perkembangan Mental

Isap Jempol :-
Ngompol : 0 tahun – sekarang, frekuensi ±1x saat tidur malam
Sering Mimpi : mengigau (-)
Aktivitas : aktif, anak bermain bersama anak lain seusianya.
Membangkang :-
Ketakutan :-
Kesan : Perkembangan mental anak baik

2.3 PEMERIKSAAN FISIK


Keadaan Umum
Kesadaran : compos mentis
BB aktual : 12.8 kg (dengan edema)
BB kering : 12,4 kg
TB : 83 cm
Lingkar Kepala : 48,5 cm (normocephali)
BB/U : 0 – (+2) SD kesan: normoweight
TB(PB)/U : 0 SD kesan: normoheight
BB/TB(PB) : (+1) – (+2) SD kesan : Normal
˚
Suhu : 36,8 C
Respirasi : 26 x/menit Tipe Pernapasan : abdominotorakal
Tekanan Darah : 90/60 mmHg
Nadi : 120x/ menit; reguler, isi dan tegangan cukup.
Persentil Tekanan Darah
Usia BP Persentil SBP Persentil 25th DBP Persentil 25th
th
1 50 8 41
th
90 100 56
th
95 104 60
99th 111 68
Kesan: Normotensi

7
Lingkar Kepala
Kesan
: 48,5 cm (antara 0 – (+1) SD)
: Normocephaly

BB/U : 12.8 kg = 0 – (+2) SD)


Kesan : Normoweight

8
TB/U
Kesan

: 83 cm = 0 SD
: Normoheight

BB/TB : (+1) – (+2) SD


Kesan : Normal (dengan edema)

9
Keadaan Spesifik
 Kepala
Bentuk : Normocephali, simetris
Rambut : tebal, hitam, tidak mudah dicabut
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), edema
palpebra (+/+)
Hidung : sekret(+) berwarna putih kental,napas cuping hidung (-),
konkha hiperemis (+)
Telinga : sekret (-), hiperemis (-)
Mulut : Mukosa mulut dan bibir kering (-), sianosis (-), bercak
keputihan (-)
Lidah : pucat (-), hiperemis (-), atrofi papil (-)
Faring : simetris, uvula di tengah, faring hiperemis (+), tonsil
T1/T1 tenang, tonsil hiperemis (-)
Leher
Inspeksi : Massa (-), JVP (5-2) cmH20
Palpasi : Pembesaran KGB (-)
 Thorak
Inspeksi : Simetris, retraksi (-)
Palpasi : Stem fremitus kanan = kiri
a. Paru-paru
- Perkusi : Sonor pada kedua lapangan paru
- Auskultasi : Vesikuler (+) normal, ronki (-), wheezing (-).
b. Jantung
- Perkusi : Batas jantung dalam batas normal
- Auskultasi : BJ I-II normal, murmur (-), gallop (-)
 Abdomen
Inspeksi : cembung, venektasi (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Palpasi : lemas, nyeri tekan (-), hepar dan lien tidak teraba
Perkusi : Timpani, shifting dullness (+)

10
Lingkar perut maksimal : 55 cm
Lingkar perut umbilicus : 51 cm

 Ekstremitas: akral hangat, CRT <3”, edema pretibia (+/+)


 Inguinal : pembesaran KGB (-)
 Genitalia : edema scrotum (-)

Pemeriksaan Neurologis
Pemeriksaan Tungkai Tungkai Kiri Lengan Lengan
Fungsi Motorik Kanan Kanan Kiri
Gerakan Cukup Cukup Cukup Cukup
Kekuatan 5 5 5 5
Tonus Eutoni Eutoni Eutoni Eutoni
Klonus - -
Reflek Fisiologis Normal Normal Normal Normal
Reflek Patologis - - - -

Gejala rangsang meningeal : Tidak ada


Fungsi sensorik : Dalam batas normal
Nervi craniales : Dalam batas normal

Hasil Pemeriksaan Laboratorium (12 November 2018)


Darah: Urinalisis :
Hb : 10,3 g/dL Warna : Kuning muda
Eritrosit : 6,40 x 106/mm3 Kejernihan: jernih
Leukosit : 15,1 x 103/mm3 Berat Jenis: 1,015
Hematokrit : 37% pH: 8,0
Trombosit : 291 x 103/mm3 Protein: +++
Hitung Jenis : 0/1/47/47/5 Bilirubin : -
Kolesterol total : 467 mg/dL Keton : -
Albumin : 1,4 g/dL Nitrit : -
Globulin : 2,1 g/dL Epitel: 1-2
Kreatinin : 0,32 Leukosit: 3-5
Ureum : 33 Silinder: -
Bakteri: -

11
2.4 RESUME
Pasien An. ALB, laki-laki, 1 tahun 7 bulan datang dengan keluhan
bengkak seluruh tubuh. Ibu mengeluh mata anaknya sembab pada pagi hari
sejak ±7 hari SMRS, dan menghilang pada siang dan sore hari. BAK seperti
air teh tua (+), jumlah lebih sedikit dari biasa. Keluhan disertai batuk (+)
berdahak, warna putih kental dan pilek (+) cair bening. Anak dibawa ke
praktek dokter umum dan diberi obat sirup satu macam, ibu lupa nama obat.
Keluhan tidak berkurang, anak masih bengkak. Sejak ±2 hari SMRS,
sembab pada kelopak mata menetap, perut mulai membesar dan kedua
tungkai dan kemaluan membengkak. Anak lalu dibawa ke RS Swasta dan
dilakukan pemeriksaan darah dan urine, didapatkan hasil kolesterol total
467 mg/dl, albumin 1,4 g/dl, dan protein urin positif 3 (+++), dan dikatakan
anak sakit bocor ginjal. Anak kemudian dirawat selama dua hari dan diberi
terapi methylprednisolone tablet, jumlahnya ibu lupa, kemudian dirujuk ke
RS Umum.

2.5 DAFTAR MASALAH


1. Edema anasarka
2. Hiperkolesterolnemia
3. Hipoalbuminemia
4. Proteinuria masif

2.6 DIAGNOSIS BANDING


Sindrom Nefrotik + Faringitis Akut

Sindroma Nefritik Akut + Faringitis Akut

2.7 DIAGNOSIS KERJA


Sindrom Nefrotik + Faringitis Akut

12
2.8 PENATALAKSANAAN
Pemeriksaan Anjuran

 Pemeriksaan laboratorium: darah rutin, kimia darah, urinalisis, fungsi


ginjal, fungsi hati, profil lipid, elektrolit, protein darah

a. Terapi
1. Non-Farmakologis
- Pengaturan diet rendah garam (1-2 gr/hari) selama edema atau selama
mendapat terapi steroid.
- Diet protein sesuai kebutuhan RDA (2 gr/kgBB/hari)
- Pengaturan intake dan output cairan
Sesuai kebutuhan cairan maintenance  BB 12.8 kg = 1140 cc per hari

2. Farmakologis
- Furosemid (1 mg/kgBB/kali)  12 mg bolus (iv), pantau BD
- Albumin 20% (1 g/kgBB/hari)  12 g/hari = 70cc (iv)
- Rencana pemberian steroid Fulldose (2mg/kgBB = 24 mg dibagi 3
dosis) Methylprednisolon tablet (@ 4 mg) = 6 tablet dibagi 3 dosis
(8mg-8mg-8mg)
- Antibiotik oral : Amoxicilin syrup (50 mg/kgBB/hari, dibagi 3 dosis)
 250 mg/kali tiap 8 jam = 3 x 2 sendok makan (10 cc)
b. Diet
- Rendah garam  1 g/hari
- Diet protein normal sesuai RDA  1x12 = 12 gr/hari
- Kebutuhan energi = BB x RDA  11 kg x 100 = 1100 kkal
- Diberikan dalam bentuk: (anak tidak ada gangguan makan)
Nasi Biasa (NB)  kalori 1 porsi = 500 kkal, ½ porsi = 250 kkal
 NB = 3 x ½ porsi (250 kkal) = 750 kkal
Susu = 3 x 150 cc (F-100) = 450 kkal
1200 kkal
c. Monitoring
- Tanda vital (Tekanan darah, nadi, laju pernapasan, dan suhu tubuh)
- Asupan nutrisi (jumlah yang habis dan toleransi anak)
- Diet rendah garam

3
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad bonam

XII. FOLLOW UP
Tanggal – CATATAN KEMAJUAN (S/O/A) RENCANA
Jam TATALAKSANA
09-01-2019 S : demam (-), bengkak di kelopak mata dan P:
pipi berkurang, bengkak di kaki (+), - Furosemid 2 x 12 mg (IV)
bengkak di kemaluan (-). - Albumin 20% 70 cc (IV)
O: - Amoxicilin syrup 3 x 2
Keadaan Umum : sendok makan (10 cc)
Sens: compos mentis
- Diet setara ±1300 kkal
TD: 80/50 mmHg
per hari, dalam bentuk
T: 36,7 C.
nasi Biasa (rendah
Nadi: 94x/menit
garam) sebanyak 3x1/2
RR: 24x/menit
porsi dan susu 3x200 cc
Keadaan Spesifik:
Kepala: Normocephali, konjungtiva anemis - Balance diuresis per 6

(-/-), sklera ikterik (-/-), edema palpebra jam


(+/+)

14
Leher: Pembesaran KGB (-)
Thoraks: simetris, retraksi (-).
Cor : Bunyi Jantung I-II normal, murmur (-),
gallop (-)
Pulmo : vesikuler (+) normal, rhonki (-),
wheezing (-)
Abdomen: cembung, lemas, hepar dan lien
tidak teraba, bising usus (+) normal, shifting
dullness (+).
Lingkar perut max: 52 cm
Lingkar perut umbilicus : 48 cm
Ekstremitas: akral hangat, edema pretibia(+)
Genetalia : edema skrotum (-)

A: Sindrom Nefrotik + ISPA

15
10-01-2019 S : bengkak berkurang, BAK (+),
nyeri
BAK (-), demam (-). P:
O : Keadaan Umum : - Furosemid 2 x 12 mg
(IV)
Sens: compos mentis
TD: 80/50 mmHg - Methylprednisolon 4
T: 36,8 C. mg sebanyak 6 tablet
Nadi: 115 x/menit dibagi 3 dosis (8mg-
RR: 24x/menit 8mg-8mg)
Keadaan Spesifik: - Amoxicilin syrup 3 x
Kepala: normocephali, konjungtiva 2 sendok makan (10
anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), edema cc)
palpebra (+/+) minimal - Diet setara ±1300 kkal
Leher: Pembesaran KGB (-) per hari, dalam bentuk
Thoraks: simetris, retraksi (-).
nasi biasa (rendah
Cor : Bunyi Jantung I-II normal,
garam) sebanyak
murmur (-), gallop (-)
3x1/2 porsi dan susu
Pulmo : vesikuler (+) normal, rhonki
3x200 cc
(-), wheezing (-)
- Balans diuresis per 6
Abdomen: cembung, lemas, hepar dan jam
lien tidak teraba, bising usus (+)
normal Ekstremitas: akral hangat,
edema pretibia
(+) minimal
Genitalia : Edema skrotum berkurang
Hasil Pemeriksaan Laboratorium
RSMH (10 Januari 2019)
Darah:
Hb : 11,3 g/dL
6 3
Eritrosit : 5,42 x 10 /mm
Retikulosit : 1,0%
3 3
Leukosit : 17,8 x 10 /mm
Hematokrit : 37%
3 3
Trombosit : 326 x 10 /mm
Hitung Jenis : 0/1/25/70/4

16
LED : 45 mm/jam
Protein Total : 4,3 g/dL
Kolesterol total : 424 mg/dL
Albumin : 2,0 g/dL
Globulin : 2,3 g/dL
Kreatinin : 0,32 mg/dL
Ureum : 36 mg/dL
Asam Urat : 3,9 mg/dL
2+
Ca : 8,0 mg/dL
+
Na : 137 mg/L
+
K : 4,4 mg/L
CRP < 5 mg/L
Urinalisis :
Warna : Kuning muda
Kejernihan : jernih
Berat Jenis : 1,010
pH : 7,0
Protein : +++
Bilirubin : -
Keton : -
Darah : -
Nitrit : -
Leukosit esterase : -
Epitel : -
Leukosit : 0-2/lpb
Eritrosit : 0-1/lpb
Silinder: -
Bakteri: -
Mukus : +++
Jamur : -

17
A: Sindrom Nefrotik + ISPA

S : Edema berkurang
O : Keadaan Umum :
Sens: compos mentis
TD: 80/50 mmHg
T: 36,5 C.
Nadi: 106x/menit
RR: 32x/menit
Keadaan Spesifik:
Kepala: normocephali, konjungtiva
anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), edema
palpebra(-/-). Leher: Pembesaran KGB
11-01- (-)
2019 Thoraks: simetris, retraksi (-). P:
Cor : Bunyi Jantung I-II normal, - Furosemid 2 x 12 mg
murmur (-), gallop (-) (IV)
Pulmo : vesikuler (+) normal, rhonki - Methylprednisolon 4
(-),
mg sebanyak 6 tablet
dibagi 3 dosis (8mg-
8mg-8mg)
- Amoxicilin syrup 3 x
2 sendok makan (10
cc)
- Diet setara ±1300 kkal
per hari, dalam bentuk
nasi biasa (rendah
garam) sebanyak
3x1/2 porsi dan susu
3x200 cc
- Balans diuresis per 6
jam
18
wheezing (-)
Abdomen: datar, lemas, hepar dan lien tidak
teraba, bising usus (+) normal
Ekstremitas: akral hangat
Genitalia : Edema skrotum (-)

A: Sindrom Nefrotik + ISPA

19
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
1
Sindrom nefrotik merupakan suatu penyakit ginjal yang terbanyak pada anak. Penyakit
tersebut ditandai dengan sindrom klinik yang terdiri dari beberapa gejala yaitu proteinuria
2
masif (>40 mg/m LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu >2 mg/mg atau
2
dipstick ≥ 2+), hipoalbuminemia ≤ 2,5 g/dL, edema, dan hiperkolesterolemia.

2.2 Etiologi
Berdasarkan etiologinya, sindrom nefrotik dibagi menjadi tiga, yaitu kongenital, primer
2
atau idiopatik, dan sekunder.
2.2.1 Kongenital
3
Penyebab dari sindrom nefrotik kongenital atau genetik adalah :
 Finnish-type congenital nephrotic syndrome (NPHS1, nephrin)
 Denys-Drash syndrome (WT1)
 Frasier syndrome (WT1)
 Diffuse mesangial sclerosis (WT1, PLCE1)
 Autosomal recessive, familial FSGS (NPHS2, podocin)
 Autosomal dominant, familial FSGS (ACTN4, α-actinin-4;TRPC6)
 Nail-patella syndrome (LMX1B)
 Pierson syndrome (LAMB2)
 Schimke immuno-osseous dysplasia (SMARCAL1)

2.2.2 Primer
Berdasarkan gambaran patologi anatomi, sindrom nefrotik primer atau idiopatik adalah
sebagai berikut:
 Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM)
 Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
 Mesangial Proliferative Difuse (MPD)
 Glomerulonefritis Membranoproliferatif (GNMP)
 Nefropati Membranosa (GNM)

21
2.2.3 Sekunder
Sindrom nefrotik sekunder mengikuti penyakit sistemik, antara lain sebagai berikut :
 lupus erimatosus sistemik (LES)
 keganasan, seperti limfoma dan leukemia
 vaskulitis, seperti granulomatosis Wegener (granulomatosis dengan poliangitis),
sindrom Churg-Strauss (granulomatosis eosinofilik dengan poliangitis), poliartritis
nodosa, poliangitis mikroskopik, purpura Henoch Schonlein
 Immune complex mediated, seperti post streptococcal (postinfectious)
glomerulonephritis

2.3 Batasan
Berikut ini adalah beberapa batasan yang dipakai pada sindromnefrotik2:
1. Remisi
Apabila proteinuri negatif atau trace (proteinuria < 4 mg/m2LPB/jam) 3 hari berturut-
turut dalam satu minggu, maka disebut remisi.
2. Relaps
Apabila proteinuri ≥ 2+ ( >40 mg/m2LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin
sewaktu >2 mg/mg) 3 hari berturut-turut dalam satu minggu, maka disebut relaps.
3. Sindrom nefrotik sensitif steroid (SNSS)
Sindrom nefrotik yang apabila dengan pemberian prednison dosis penuh (2mg/kg/hari)
selama 4 minggu mengalami remisi.
4. Sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS)
Sindrom nefrotik yang apabila dengan pemberian prednison dosis penuh (2mg/kg/hari)
selama 4 minggu tidak mengalami remisi.
5. Sindrom nefrotik relaps jarang
Sindrom nefrotik yang mengalami relaps < 2 kali dalam 6 bulan sejak respons awal
atau < 4 kali dalam 1 tahun.
6. Sindrom nefrotik relaps sering
Sindrom nefrotik yang mengalami relaps ≥ 2 kali dalam 6 bulan sejak respons awal
atau ≥ 4 kali dalam 1 tahun.
7. Sindrom nefrotik dependen steroid
Sindrom nefrotik yang mengalami relaps dalam 14 hari setelah dosis prednison
diturunkan menjadi 2/3 dosis penuh atau dihentikan dan terjadi 2 kali berturut-turut.

22
2.4 Klasifikasi
Ada beberapa macam pembagian klasifikasi pada sindrom nefrotik. Menurut berbagai
penelitian, respon terhadap pengobatan steroid lebih sering dipakai untuk menentukan
2
prognosis dibandingkan gambaran patologi anatomi. Berdasarkan hal tersebut, saat ini
klasifikasi SN lebih sering didasarkan pada respon klinik, yaitu sindrom nefrotik sensitif
steroid (SNSS) dan sindrom nefrotik resisten steroid (SNRS)

2.5 Manifestasi Klinis dan Patofisiologi


Kelainan pokok pada sindrom nefrotik adalah peningkatan permeabilitas dinding kapiler
glomerulus yang menyebabkan proteinuria masif dan hipoalbuminemia. Pada biopsi,
penipisan yang luas dari prosesus kaki podosit (tanda sindrom nefrotik idiopatik)
menunjukkan peran penting podosit. Sindrom nefrotik idiopatik berkaitan pula dengan
gangguan kompleks pada sistem imun, terutama imun yang dimediasi oleh sel T. Pada focal
segmentalglomerulosclerosis (FSGS), faktor plasma, diproduksi oleh bagian dari limfosityang
teraktivasi, bertanggung jawab terhadap kenaikan permeabilitas dinding kapiler. Selain itu,
mutasi pada protein podosit (podocin, α-actinin 4) dan MYH9 (gen podosit) dikaitkan dengan
focal segmental glomerulosclerosis (FSGS).Sindrom nefrotik resisten steroid dapat dikaitkan
dengan mutasi NPHS2 (podocin) dan gen WT1, serta komponen lain dari aparatus filtrasi
glomerulus, seperti celah pori, dan termasuk nephrin, NEPH1, dan CD-2 yang terkait
1
protein.

1. Proteinuria
Protenuria merupakan kelainan utama pada sindrom nefrotik.Apabila ekskresi protein
2
≥ 40 mg/jam/m luas permukaan badan disebut dengan protenuria berat. Hal ini
digunakan untuk membedakan dengan protenuria pada pasien bukan sindrom
4
nefrotik.

2. Hipoalbuminemia
Abnormalitas sistemik yang paling berkaitan langsung dengan proteinuria adalah
hipoalbuminemia. Salah satu manifestasi pada pasien sindrom nefrotik pada anak
terjadi hipoalbuminemia apabila kadar albumin kurang dari 2,5 g/dL.Pada keadaan
normal, produksi albumin di hati adalah 12-14 g/hari (130-200 mg/kg) dan jumlah
yang diproduksi sama dengan jumlah yang dikatabolisme. Katabolisme secara
dominan terjadi pada ekstrarenal, sedangkan 10% di katabolisme terjadi pada tubulus
proksimal ginjal setelah resorpsi albumin yang telah difiltrasi. Pada pasien sindrom
nefrotik, hipoalbuminemia merupakan manifestasi dari hilangnya protein dalam urin
yang berlebihan
23
dan peningkatan katabolisme albumin. Hilangnya albumin melalui urin merupakan
konstributor yang penting pada kejadian hipoalbuminemia. Meskipun demikian, hal
tersebut bukan merupakan satu-satunya penyebab pada pasien sindromnefrotik karena
laju sintesis albumin dapat meningkat setidaknya tiga kali lipat dan dengan begitu
dapat mengompensasi hilangnya albumin melalui urin. Peningkatan hilangnya
albumin dalam saluran gastrointestinal juga diperkirakan mempunyai kontribusi
terhadap keadaan hipoalbuminemia, tetapi hipotesis ini hanya mempunyai sedikit
bukti. Oleh karena itu, terjadinya hipoalbuminemia harus ada korelasi yang cukup
antara penurunan laju sintesis albumin di hepar dan peningkatan katabolisme
5
albumin.

3. Edema
Terdapat beberapa teori yang menjelaskan tentang timbulnya edema pada sindrom
nefrotik. Underfilled theory merupakan teori klasik tentang pembentukan edema.
Teori ini berisi bahwa adanya edema disebabkan oleh menurunnya tekanan onkotik
intravaskuler dan menyebabkan cairan merembes ke ruang interstisial. Adanya
peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus menyebabkan albumin keluar sehingga
terjadi albuminuria dan hipoalbuminemia. Sebagaimana diketahui bahwa salah satu
fungsi vital dari albumin adalah sebagai penentu tekanan onkotik. Maka kondisi
hipoalbuminemia ini menyebabkan tekanan onkotik koloid plasma intravaskular
menurun. Sebagai akibatnya, cairan transudat melewati dinding kapiler dari ruang
6
intravaskular ke ruang interstisial kemudian timbul edema.

24
Menurut teori lain yaitu teori overfilled, retensi natrium renal dan air tidak bergantung pada
stimulasi sistemik perifer tetapi padamekanisme intrarenal primer. Retensi natrium renal
primer mengakibatkan ekspansi volume plasma dan cairan ekstraseluler.Overfilling cairan ke
6
dalam ruang interstisial menyebabkanterbentuknya edema.

4. Hiperkolesterolemia
Hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein serum meningkat
pada sindrom nefrosis. Hal ini dapat dijelaskan dengan penjelasan antara lain yaitu adanya
kondisi hipoproteinemia yang merangsang sintesis protein menyeluruh dalam hati, termasuk
lipoprotein. Selain itu katabolisme lemak menurun karena terdapat penurunan kadar
6
lipoprotein lipase plasma, sistem enzim utama yang mengambil lemak dari plasma.

2.6 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang untuk mendukung diagnosis sindromnefrotik, antara lain7 :
1. Urinalisis dan bila perlu biakan urin
Biakan urin dilakukan apabila terdapat gejala klinik yang mengarah pada infeksi
saluran kemih (ISK).
2. Protein urin kuantitatif
Pemeriksaan dilakukan dengan menggunakan urin 24 jam atau rasio protein/kreatinin
pada urin pertama pagi hari.
3. Pemeriksaan darah
- Darah tepi lengkap (hemoglobin, leukosit, hitung jenis leukosit, trombosit,
hematokrit, LED)

25
- Albumin dan kolesterol serum
- Ureum, kreatinin, dan klirens kreatinin
Pengukuran dapat dilakukan dengan cara klasik ataupun dengan rumus Schwartz. Rumus
8
Schwartz digunakan untuk memperkirakanlaju filtrasi glomerulus (LFG).
eLFG = k x L/Scr
eLF : estimated LFG (ml/menit/1,73 m2)
G
: tinggi badan (cm)
L
: serum kreatinin (mg/dL)
Scr
k : konstanta (bayi aterm:0,45; anak dan remaja putri:0,55; remaja
putra:0,7)

2.7 Komplikasi
Komplikasi mayor dari sindrom nefrotik adalah infeksi. Anak dengan sindrom nefrotik
yang relaps mempunyai kerentanan yang lebih tinggi untuk menderita infeksi bakterial karena
hilangnya imunoglobulin dan faktor B properdin melalui urin, kecacatan sel yang dimediasi
imunitas, terapi imuosupresif, malnutrisi, dan edema atau ascites. Spontaneus bacterial
peritonitis adalah infeksi yang biasa terjadi, walaupun sepsis, pneumonia, selulitis, dan infeksi
traktus urinarius mungkin terjadi. Meskipun Streptococcus pneumonia merupakan organisme
tersering penyebab peritonitis, bakteri gram negatif sepertiEscherichia coli, mungkin juga
1
ditemukan sebagai penyebab.

2.8 Penatalaksanaan umum


1. Pengukuran berat badan dan tinggi badan
2. Pengukuran tekanan darah
3. Pemeriksaan fisik
Pemeriksaan dilakukan untuk mencari tanda atau gejala penyakit sistemik, seperti
lupus eritematosus sistemik dan purpura Henoch-Schonlein.
4. Pencarian fokus infeksi
Sebelum melakukan terapi dengan steroid perlu dilakukan eradikasi pada setiap
infeksi, seperti infeksi di gigi-geligi, telinga, ataupun infeksi karena kecacingan.
5. Pemeriksaan uji Mantoux
Apabila hasil uji Mantoux positif perlu diberikan profilaksis dengan isoniazid (INH)
selama 6 bulan bersama steroid dan apabila ditemukan tuberkulosis diberikan obat

26
antituberkulosis (OAT).

2.9 Pengobatan Kontikosteroid

1. Terapi Inisial7
Berdasarkan International Study of Kidney Disease in Children (ISKDC), terapi inisial
untuk anak dengan sindrom nefrotik idiopatik tanpa kontraindikasi steroid adalah prednison
dosis 60mg/m2LPB/hari atau 2 mg/kgBB/hari (maksimal 80 mg/hari) dalam dosis terbagi.
Terapi inisial diberikan dengan dosis penuh selama 4 minggu. Apabila dalam empat minggu
pertama telah terjadi remisi, dosis prednison diturunkan menjadi 40 mg/m2LPB/hari atau 1,5
mg/kgBB/hari, diberikan selang satu hari, dan diberikan satu hari sekali setelah makan pagi.
Apabila setelah dilakukan pengobatan dosis penuh tidak juga terjadi remisi, maka pasien
dinyatakan resisten steroid.

Gambar 3. Terapi inisial kortikosteroid16

2. Terapi Sindrom Nefrotik Relaps7


Pada pasien sindrom nefrotik relaps diberikan pengobatan prednison dosis penuh hingga
terjadi remisi (maksimal 4 minggu) dan dilanjutkan dengan pemberian dosis alternating
selama 4 minggu. Apabila pasien terjadi remisi tetapi terjadi proteinuria lebih dari sama
dengan positif 2 dan tanpa edema, terlebih dahulu dicari penyebab timbulnya proteinuria,
yang biasanya disebabkan oleh karena infeksi saluran nafas atas, sebelum diberikan
prednison. Apabila ditemukan infeksi, diberikan antibiotik 5-7 hari, dan bila kemudian
protenuria menghilang maka pengobatan relaps tidak perlu diberikan. Namun, apabila terjadi
proteinuria sejak awal yang disertai dengan edema, diagnosis relaps dapat ditegakkan, dan
diberikan prednison pada pasien.

27
Gambar 4. Pengobatan sindrom nefrotik relaps16
3. Pengobatan sindrom nefrotik relaps sering atau dependen steroid7
Rerdapat 4 opsi pengobatan SN relaps sering atau dependen steroid:
a. Pemberian steroid jangka panjang
b. Pemberian levamisol
c. Pengobatan dengan sitostatika
d. Pengobatan dengan siklosporin atau mikofenolat mofetil (opsi terakhir)
Perlu dicari pula adanya fokus infeksi seperti tuberkulosis, infeksi di gigi, radang telinga
tengah atau kecacingan.Penjelasan mengenai empat opsi di atas adalah sebagai berikut:

a. Steroid jangka panjang


Untuk pengobatan sindrom nefrotik relaps sering atau dependen steroid pada anak,
setelah remisi dengan prednison dosis penuh, pengobatan dilanjutkan dengan pemberian
steroid dosis 1,5 mg/kgBB secara alternating. Dosis lalu diturunkan perlahan atau secara
bertahap 0,2 mg/kgBB setiap 2 minggu hingga dosis terkecil yang tidak menimbulkan
relaps yaitu antara 0,1-0,5 mg/kgBB alternating. Dosis tersebut merupakan dosis
threshold dan dapat dipertahankanselama 6-12 bulan. Setelah pemberian 6-12 bulan, lalu
dicoba untuk dihentikan. Pada anak usia sekolah umumnya dapat menoleransi prednison
dengan dosis 0,5 mg/kgBB dan pada anak usia pra sekolah dapat menoleransi hingga
dosis 1 mg/kgBB secara alternating.
Bila relaps terjadi pada dosis prednison antara 0,1 – 0,5 mg/ kgbb alternating, maka
relaps tersebut diterapi dengan prednison 1 mg/ kgbb dalam dosis terbagi, diberikan setiap
hari sampai terjadi remisi. Setelah remisi maka prednison diturunkan menjadi 0,8 mg/kgbb di-
berikan secara alternating, kemudian diturunkan 0,2 mg/kgbb setiap 2 minggu, sampai satu
tahap (0,2 mg/kgbb) di atas dosis prednison pada saat terjadi relaps yang sebelumnya atau
relaps yang terakhir.

28
Bila relaps terjadi pada dosis prednison rumat > 0,5 mg/kgbb al-ternating, tetapi < 1,0
mg/kgbb alternating tanpa efek samping yangberat, dapat dicoba dikombinasikan dengan
levamisol selang sehari 2,5 mg/kgbb selama 4-12 bulan, atau langsung diberikan
siklofosfamid (CPA).
b. Levamisol
4
Levamisol terbukti efektif sebagai steroid sparing agent. Levamisol diberikan dengan
dosis 2,5 mg/kgbb dosis tunggal, selang sehari, selama 4-12 bulan. Efek samping levamisol
adalah mual, muntah, hepatotoksik, vasculitic rash, dan neutropenia yang reversibel.
c. Sitostatika
Obat sitostatika yang paling sering digunakan pada pengobatan SN anak adalah
siklofosfamid (CPA) atau klorambusil.Siklofosfamid dapat diberikan peroral dengan
dosis 2-3 mg/kgbb/ hari dalam dosis tunggal, maupun secara intravena atau puls. CPA
puls diberikan dengan dosis 500 – 750 mg/ m2 LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml
larutan NaCL 0,9%, diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan sebanyak 7 dosis,
dengan interval 1 bulan (total durasi pemberian CPA puls adalah 6 bulan). Efek samping
CPA adalah mual, muntah, depresi sumsum tulang, alopesia, sistitis hemoragik,
azospermia, dan dalam jangka panjang dapat menyebabkan keganasan. Oleh karena itu
perlu pemantauan pemeriksaan darah tepi yaitu kadar hemoglobin, leukosit, trombosit,
setiap 1-2 x seminggu. Bila jumlah leukosit <3000/uL, hemoglobin <8 g/dL, hitung
trombosit <100.000/uL, obat dihentikan sementara dan diteruskan kembali setelah
leukosit >5.000/uL, hemoglobin >8 g/dL, trombosit >100.000/uL.
Efek toksisitas CPA pada gonad dan keganasan terjadi bila dosis total kumulatif
mencapai ≥200-300 mg/kgbb. Pemberian CPA oral se-lama 3 bulan mempunyai dosis
total 180 mg/kgbb, dan dosis ini aman bagi anak.14
Klorambusil diberikan dengan dosis 0,2 – 0,3 mg/kg bb/hari selama 8 minggu.
Pengobatan klorambusil pada SNSS sangat terbatas karena efek toksik berupa kejang dan
infeksi.
d. Siklosporin (CyA)
Pada SN idiopatik yang tidak responsif dengan pengobatan steroid atau sitostatik
dianjurkan untuk pemberian siklosporin dengan dosis 4-5 mg/kgbb/hari (100 -150 mg/m 2
LPB). 15 Dosis tersebut dapat mempertahankan kadar siklosporin darah berkisar antara
150-250 ng/mL. Pada SN relaps sering atau dependen steroid, CyA dapat menimbulkan

29
dan mempertahankan remisi, sehingga pemberian steroid dapat dikurangi atau dihentikan,
tetapi bila CyA dihentikan, biasanya akan relaps kembali (dependen siklosporin). Efek
samping dan pemantauan pemberian CyA dapat dilihat pada bagian penjelasan SN
resisten steroid.
e. Mikofenolat mofetil (mycophenolate mofetil = MMF)
Pada SNSS yang tidak memberikan respons dengan levamisol atau sitostatik dapat
diberikan MMF. MMF diberikan dengan dosis 800 – 1200 mg/m2 LPB atau 25-30
7
mg/kgbb bersamaan dengan penurunan dosis steroid selama 12 - 24 bulan. Efek samping
MMF adalah nyeri abdomen, diare, leukopenia.

4. Pengobatan sindrom nefrotik relaps sering atau dependen steroid


Apabila terdapat geajala atau tanda yang menjadi kontraindikasi steroid, seperti
tekanan darah tinggi, peningkatan ureum, dan atau kreatinin, infeksi berat, dapat
diberikan sitostatik CPA oral maupun CPA puls. Pemberian siklofosfamid per oral
diberikan dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari dosis tunggal. Untuk pemberian CPA puls
dosisnya adalah 500-750 mg/m2LPB, yang dilarutkan dalam 250 ml larutan NaCl 0,9%,
diberikan selama 2 jam. CPA puls diberikan dalam 7 dosis dengan interval 1 bulan.

5. Pengobatan sindrom nefrotik relaps sering atau dependen steroid


Sampai saat ini belum ditemukan pengobatan SN resisten steroid yang memuaskan.
Sebelum dimulai pengobatan pada SN resisten steroid sebaiknya dilakukan biopsi ginjal
untuk melihat gambaran patologi anatomi. Hal ini karena gambaran patologi anatomi
akan mempengaruhi prognosis. Pengobatan pada SNRS adalah:
a. Siklofosfamid (CPA)
b. Siklosporin (CyA)
c. Metilprednisolon puls

2.10 Tatalaksana komplikasi sindrom nefrotik 7


1. Infeksi
Pasien sindrom nefrotik sangat rentan terhadap infeksi, bila terdapat infeksi perlu segera
diobati dengan pemberian antibiotik. Infeksi yang terutama adalah selulitis dan peritonitis
primer. Bila terjadi peritonitis primer (biasanya disebabkan oleh kuman Gram negatif dan
Streptococcus pneumoniae) perlu diberikan pengobatan penisilin parenteral dikombinasi

30
dengan sefalosporin generasi ketiga yaitu sefotaksim atau seftriakson selama 10-14
hari.Infeksi lain yang sering ditemukan pada anak dengan SN adalah pnemonia dan infeksi
saluran napas atas karena virus.
Pada orangtua dipesankan untuk menghindari kontak dengan pasien varisela. Bila terjadi
kontak diberikan profilaksis dengan imu-noglobulin varicella-zoster, dalam waktu kurang dari 96
jam. Bila tidak memungkinkan dapat diberikan suntikan dosis tunggal imunoglobulin intravena
28 2
(400mg/kgbb). Bila sudah terjadi infeksi perlu diberi obat asiklovir intravena (1500 mg/m /hari
dibagi 3 dosis) atau asiklovir oral dengan dosis 80 mg/kgbb/hari dibagi 4 dosis selama 7 – 10
9
hari, dan pengobatan steroid sebaiknya dihentikan sementara.

2. Trombosis
Suatu studi prospektif mendapatkan 15% pasien SN relaps menunjukkan bukti
defek ventilasi-perfusi pada pemeriksaan skintigrafi yang berarti terdapat trombosis
pembuluh vaskular paru yang asimtomatik. Bila diagnosis trombosis telah ditegakkan
dengan pemeriksaan fisis dan radiologis, diberikan heparin secara subkutan, dilanjutkan
dengan warfarin selama 6 bulan atau lebih. Pencegahan tromboemboli dengan pemberian
aspirin dosis rendah, saat ini tidak dianjurkan.

3. Hiperlipidemia
Pada SN relaps atau resisten steroid terjadi peningkatan kadar LDL dan VLDL
kolesterol, trigliserida dan lipoprotein (a) (Lpa) sedangkan kolesterol HDL menurun atau
normal. Zat-zat tersebut bersifat aterogenik dan trombogenik, sehingga meningkatkan
morbiditas kardiovaskular dan progresivitas glomerulosklerosis.
Pada SN sensitif steroid, karena peningkatan zat-zat tersebut bersifat sementara dan
tidak memberikan implikasi jangka panjang, maka cukup dengan pengurangan diit lemak.
Pada SN resisten ste-roid, dianjurkan untuk mempertahankan berat badan normal untuk
tinggi badannya, dan diit rendah lemak jenuh. Dapat dipertimbangan pemberian obat
penurun lipid seperti inhibitor HMgCoA reduktase (statin).

4. Hipokalsemia
Pada SN dapat terjadi hipokalsemia karena:
1. Penggunaan steroid jangka panjang yang menimbulkan osteoporosis dan osteopenia
2. Kebocoran metabolit vitamin D

31
Oleh karena itu pada pasien SN yang mendapat terapi steroid jangka lama (lebih dari 3 bulan)
32
dianjurkan pemberian suplementasi kalsium 250-500 mg/hari dan vitamin D (125- 250 IU).
Bila telah terjadi tetani, diobati dengan kalsium glukonas 10% sebanyak 0,5 mL/kgbb
intravena.
5. Hipovolemia
Pemberian diuretik yang berlebihan atau dalam keadaan SN relaps dapat terjadi
hipovolemia dengan gejala hipotensi, takikardia, ekstremitas dingin, dan sering disertai
sakit perut. Pasien harus segera diberi infus.
NaCl fisiologis dengan cepat sebanyak 15-20 mL/kgbb dalam 20-30 menit, dan
disusul dengan albumin 1 g/kgbb atau plasma 20 mL/kgbb (tetesan lambat 10 tetes per
menit). Bila hipovolemia telah teratasi dan pasien tetap oliguria, diberikan furosemid 1-2
mg/kgbb intravena.

6. Hipertensi
Hipertensi dapat ditemukan pada awitan penyakit atau dalam perjalanan penyakit
SN akibat toksisitas steroid. Pengobatan hipertensi diawali dengan inhibitor ACE
(angiotensin converting enzyme), ARB (angiotensinreceptor blocker) calcium channel
blockers, atau antagonis β adrenergik,sampai tekanan darah di bawah persentil 90.

7. Efek samping steroid


Pemberian steroid jangka lama akan menimbulkan efek samping yang signifikan,
karenanya hal tersebut harus dijelaskan kepada pasien dan orangtuanya. Efek samping
tersebut meliputi peningkatan napsu makan, gangguan pertumbuhan, perubahan
perilaku, peningkatan risiko infeksi, retensi air dan garam, hipertensi, dan
demineralisasi tulang. Pada semua pasien SN harus dilakukan pemantauan terhadap
gejala-gejala cushingoid, pengukuran tekanan darah, pengukuran berat badan dan tinggi
badan setiap 6 bulan sekali, dan evaluasi timbulnya katarak setiap tahun sekali.

7
2.11 Indikasi Biopsi Ginjal
1. Pada presentasi awal
 Awitan sindrom nefrotik pada usia <1 tahun atau lebih dari 16 tahun
 Terdapat hematuria nyata, hematuria mikroskopik persisten, atau kadar komplemen
C3 serum yang rendah

32
 Hipertensi menetap
 Penurunan fungsi ginjal yang tidak disebabkan oleh hipovolemia
 Tersangka sindrom nefrotik sekunder

2. Setelah pengobatan inisial


 SN resisten steroid
 Sebelum memulai terapi siklosporin

7
2.12 Indikasi melakukan rujukan kepada ahli nefrologi anak
 Awitan sindrom nefrotik pada usia di bawah 1 tahun, riwayat penyakit sindrom nefrotik
di dalam keluarga
 Sindrom nefrotik dengan hipertensi, hematuria nyata persisten, penurunan fungsi ginjal,
atau disertai gejala ekstrarenal, seperti artritis, serositis, atau lesi di kulit
 Sindrom nefrotik dengan komplikasi edema refrakter, trombosis, infeksi berat, toksik
steroid
 Sindrom nefrotik resisten steroid
 Sindrom nefrotik relaps sering atau dependen steroid .

33
BAB IV
ANALISIS KASUS

Pasien An.ALB, laki-laki, 1 tahun 7 bulan datang dengan keluhan


bengkak pada seluruh tubuh. Ibu mengakui anak menderita batuk pilek yang
hilang timbul sejak 7 hari yang lalu. Telah dilakukan pemeriksaan urin dan darah
dengan hasil warna urin teh tua, jernih, protein +3, leukosit 3-5, kolesterol total
467 mg/dl dan kadar albumin darah 1,4 g/dl. Penderita belum pernah mengalami
gejala seperti ini sebelumnya. Hasil pemeriksaan fisik menunjukkan adanya
edema pada palpebra, ektremitas, dan asites.
Dari anamnesis didapatkan keluhan bengkak (edema). Edema dapat
disebabkan karena kelainan jantung, hepar, gizi metabolik dan ginjal. Kelainan
jantung dan hepar dapat disingkirkan karena pada anamnesis tidak didapatkan
sesak, dan pada pemeriksaan fisik tidak didapatkan adanya pembesaran jantung
dan hepar serta pada saat auskultasi tidak didapatkan bunyi jantung tambahan.
Edema pada kelainan jantung mempunyai ciri khas muncul pertama kali pada
ekstremitas dan tidak hilang pada sore hari serta dipengaruhi oleh perubahan
posisi. Sedangkan edema pada kelainan hepar mulncul pertama kali pada perut
(ascites) dan pada kaki. Kelainan gizi metabolik juga dapat disingkirkan
berdasarkan perhitungan antropometri pasien dalam status gizi baik dan tidak
mengalami gangguan dalam intake makanan. Pada kasus ini, edema terjadi akibat
adanya kelainan pada ginjal. Hal ini dibuktikan dari hasil anamnesis, ibu penderita
mengatakan bahwa sembab pada anaknya sudah terjadi selama ±2 minggu yang
dimulai dengan sembab pada kelopak mata pada pagi hari dan hilang pada siang
hari, lalu perut yang membesar, dan sembab pada kedua ektremitas bawah.
Pada pasien ini ditemukan oliguria karena ditemukan BAK dengan
frekuensi 5 kali sehari sebanyak ±1/4 gelas belimbing. Oliguria pada Sindrom
Nefrotik (SN) berdasarkan teori overfill dan underfill merupakan salah satu
bentuk kompensasi tubuh dalam regulasi cairan. Pada SN terjadi kerusakan pada
membrana basalis glomerulus menyebabkan terjadinya kebocoran protein
(proteinuria masif). Proteinuria masif menyebabkan menurunnya tekanan onkotik
plasma sehingga terjadi peningkatan reabsorpsi dan katabolisme albumin di
tubulus proksimal. Cairan bergeser dari intravaskuler ke
34
interstisial sehingga tekanan onkotik plasma menurun dan sebagai kompensasinya
ginjal meretensi natrium dan air. Retensi yang terjadi menyebabkan cairan
ekstraseluler meningkat yang memperberat terjadinya edema, sehingga laju filtrasi
glomerulus (LFG) ikut menurun.
Pasien SN biasanya datang dengan gambaran klinis berupa gejala infeksi,
nafsu makan berkurang, dan diare. Hal ini dapat disebabkan oleh adanya fokal
infeksi, namun pada kasus ini infeksi yang terjadi yaitu berupa batuk dan pilek
bukan merupakan etiologi dari SN melainkan hanya sebagai faktor predisposisi.
Pada kasus ini tidak ditemukan adanya hematuria. Menurut teori,
sindrom nefrotik (SN) merupakan suatu kumpulan gejala-gejala klinis yang terdiri
dari proteinuria masif, hipoalbuminemia, hiperkolesteronemia serta edema.
Berdasarkan gejala klinisnya SN terbagi menjadi sindroma nefrotik primer dan
sekunder. Jenis primer merupakan yang tersering terjadi pada anak-anak, karena
tidak diketahui penyebabnya. Diagnosis banding SN yaitu Sindroma Nefritik Akut
(SNA).
Pada kasus, hasil pemeriksaan fisik didapatkan adanya edema pada
palpebra, asites, dan edema pretibia (+/+). Hasil pemeriksaan penunjang
menunjukkan adanya proteinuria (+++), kolesterol total 467 mg/dL dan albumin
1,4 g/dL. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang
yang telah dilakukan, dapat ditegakkan diagnosis kasus ini adalah sindrom
nefrotik.
Tatalaksana pasien SN terdiri dari nonfarmakologis dan farmakologis.
Terapi nonfarmakologis yaitu dengan pembatasan aktivitas berupa tirah baring
pada edema yang berat, dispnoe, dan hipertensi. Selain itu, diberikan dietetik
berupa diet rendah garam. Diet rendah garam pada pasien SN sebanyak 1-2 g/hari
selama edema atau selama mendapatkan terapi steroid. Untuk konsumsi protein
dianjurkan sesuai RDA sebanyak 2 g/kgBB/hari. Bila ditemukan edema berat dan
oliguria, dilakukan retriksi cairan 30 ml/kgBB/hari (bila belum dapat dihitung
output cairan). Bila dijumpai edema berat tanpa oliguria, retriksi cairan sebanyak
¾ dari berat badan pertama kali dirawat. Pada pasien ini tidak dilakukan retriksi
cairan karena hanya terjadi edema minimal.
Terapi farmakologis SN berupa diuretik, steroid, dan antibiotik. Diuretik
yang diberikan pada pasien SN yaitu Loop Diuretik (furosemid) dengan dosis 1-2
mg/kgBB/hari. Namun, penggunaan diuretik dapat menyebabkan hipokalemia.
Jika pemberian diuretik lebih dari 1 minggu, periksa ulang kadar natrium dan
kalium plasma. Bila kadar kalium rendah (<3,5 mEq/L) maka dapat dikombinasi
dengan spironolakton dengan dosis 1-2 mg/kgBB/hari.
35
Pemberian albumin dibutuhkan bila SN disertai dengan hipovolemia atau
hipoalbuminemia berat (kadar albumin <1,5 mg/dL). Pemberiannya melalui infus
albumin 20-25% 1 gr/kgBB, 15-30 menit setelah infus albumin selesai diberikan
dilanjutkan pemberiaan furosemid intravena. Bila albumin tidak tersedia diberikan
plasma sebanyak 15-20 ml/kgBB dalam 1-2 jam. Pemberian albumin dapat
diulang hingga hipoalbuminemia berat dan hipovolemia teratasi.
Kortikosteroid merupakan obat yang harus diberikan pada penderita SN.
Namun harus dipastikan kemungkinan pasien resisten atau dependen dengan obat
ini. Lini pertama penggunaan steroid pada SN adalah prednison dengan dosis
inisial/ full dose sebanyak 2 mg/kgBB/hari. Jika terjadi remisi setelah penggunaan
steroid selama 4 minggu, dilanjutkan dengan alternating dose sebanyak 2/3 dosis
full dose dengan cara minum obat selang sehari sesudah makan selama 4 minggu
lalu stop. Bila remisi tidak terjadi akhir minggu ke-4 maka dianggap resisten
steroid. Sebagian besar anak-anak dengan SN yang berespon terhadap steroid
akan sembuh pada dekade kedua kehidupan. Sangat penting untuk mendeteksi
adanya disfungsi renal baik yang bersifat herediter maupun didapat. Adanya
disfungsi renal menyebabkan prognosis menjadi lebih jelek dibanding tanpa
disfungsi renal.
Antibiotik diberikan untuk mengatasi kemungkinan adanya infeksi.
Antibiotik yang digunakan yaitu antibiotik spektrum luas yaitu amoksisilin
sebagai profilaksis. Dosis amoksisilin 50 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis.
Terapi yang diberikan pada kasus ini adalah:
- Transfusi albumin 20% 70 cc (iv)
- Furosemid 12 mg bolus (iv)
- Methilprednisolon tablet (24 mg, dibagi 3 dosis)  6 tablet (2-2-1)
- Amoxicillin sirup 250 mg tiap 8 jam = 3x 2 sendok makan (10 cc)
- Diet rendah garam dalam bentuk :
o NB = 3 x ½ porsi (250 kkal) = 750 kkal
o Susu = 3 x 150 cc (F-100) = 450 kkal
1200 kkal
36
DAFTAR PUSTAKA

1. Gipson, D., S., Massengill S., F., Yao L., Nagaraj S., Soyer W., E., Mahan J.,
D., dkk. Management of childhood onset nephrotic syndrome. Pediatrics
2009;124:747-57.
2. Jaipaul, Navin. 2016. Overview of Nephrotic Syndrome.
(http://www.merckmanuals.com/professional/genitourinary-
disorders/glomerular-disorders/overview-of-nephrotic-syndrome, Diakses 19
Januari 2016).
3. National Kidney Foundation, Inc. 2016. NephroticSyndrome.
(https://www.kidney.org/atoz/content/nephrotic, Diakses 18 Januari 2016).
4. Wigati, R., Laksmi E. 2010. Alternatif Terapi Inisial Sindrom Nefrotik untuk
Menurunkan Kejadian Relaps. Sari Pediatri 2010; 11 (6): 415-419.
5. Allison A., E., jordan, M., S. 2003. Nephrotic Syndrome in Childhood. The
Lancet (362): 629-639.
6. The Royal Children’s Hospital Melbourne. 2013. Nephrotic Syndrome.
Australia: 50 Flemington Road Parkville.
7. Kliegman RM, Stanton BF, Schor NF, III JWSG, Behrman RE. Nelson
Textbook of Pediatrics. 19 ed. Philadelphia: Elsevier Saunders; 2011. p.
1801-7.
8. Widajat HRR, Muryawan MH, Mellyana O. Sindrom Nefrotik Sensitif
Steroid. In: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak. Semarang: Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Universitas Diponegoro; 2011.p. 252-9.
9. Lane JC. Pediatric nephrotic syndrome 2013 [cited 2013 27 November].
Available from: http://emedicine.medscape.com/article/982920-
overview#aw2aab6b2b3aa.

10. Wirya IW. Sindrom Nefrotik. In: Buku Ajar Nefrologi: Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2004.p. 383.

38
11. Perico N, Remuzzi A, Remuzzi G. Mechanism and Consequences of
Proteinuria. In: Brenner and Rector’s The Kidney [Internet]. 2013 [cited 26
November 2013]. Available from: http://www.mdconsult.com/books/page.
12. Wirya IW. Sindrom Nefrotik. In: Buku Ajar Nefrologi: Ikatan Dokter Anak
Indonesia; 2004.p. 385-9.
13. Trihono PP, Alatas H, Tambunan T, Pardede SO. Konsensus Tata Laksana
Sindrom Nefrotik Idiopatik pada Anak. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter
Anak Indonesia; 2012.
14. Schwartz GJ, Work DF. Measurement and estimation of GFR in children and
adolescents. Clin J Am Soc Nephrol [Internet]. 2009 [cited 2013 Nov
27];4(11):1832-43. Available from:Pubmed.

39

Anda mungkin juga menyukai