Anda di halaman 1dari 13

NAMA : Akhmad Sulthan Faturrahman

NIM : 04011381823238
TRIKIASIS
TRIKIASIS
1. Definisi
Trikiasis adalah suatu kelainan dimana bulu mata mengarah ke dalam bola mata yang dapat
menggosok kornea atau konjunctiva yang dapat menyebabkan iritasi. Bulu mata dapat tumbuh
dalam posisi yang abnormal sementara palpebra tetap pada posisi normal. Trichiasis harus
dibedakan daripada entropion, dimana pada entropion terjadi pelipatan palpebra ke arah dalam.
Kemungkinan dimana terjadinya entropion dan trikiasis bersamaan dapat terjadi, dan dibutuhkan
terapi untuk keduanya (Ilyas, 2008).

Gambar 1. Bulu mata normal dan bulu mata dengan trikiasis

Gambar 2. Bulu mata dengan trikiasis

2. Klasifikasi
Pembagian trikiasis berdasarkan kelainan bulu mata yaitu sebagai berikut (Khooshabeh, 2002) :
a. Acquired metaplastic eyelashes.
Biasanya disebabkan peradangan kelopak mata seperti meibomitis atau trauma akibat
pembedahan, dimana epitel kelenjar meibom mengalami perubahan metaplastik menjadi
folikel rambut. Hal ini menyebabkan pertumbuhan bulu mata lebih posterior daripada
normal dimana dapat mengarah ke belakang.
b. Congenital metaplastic eyelashes.
Kelainan kongenital dimana kelenjar meibom menjadi multipoten berkembang menjadi
folikel-folikel rambut. Barisan kedua dari bulu mata tumbuh dari permukaan kelenjar
meibom.
c. Misdirected eyelashes.
Pertumbuhan bulu mata yang normal, namun akibat dari sedikit jaringan parut pada
margin kelopak mata menyebabkan perubahan arah dari bulu mata ke dalam.
d. Marginal entropion.
Pembalikan dari margin kelopak mata akibat dari proses parut dari lamela posterior
kelopak mata.
3. Epidemiologi
Trikiasis dapat terjadi pada semua usia, namun lebih sering ditemukan pada orang dewasa.
Trikiasis termasuk kelainan pada palpebra yang jarang berdiri sendiri. Biasanya terjadi bersama
penyakit lain seperti trakoma, sikatrisial pemfigoid, entropion, dan trauma lainnya yang mengenai
palpebra (Ilyas, 2008). Trakoma merupakan penyebab terpenting terjadinya trikiasis. Terdapat ± 50
negara yang termasuk negara endemik trakoma. Negara-negara tersebut tersebar di benua afrika,
timur tengah, asia tenggara, india, dan amerika selatan. Laporan terbaru WHO pada tahun 2013
menyebutkan bahwa terdapat ± 40 juta orang menderita trakoma, 8.2 juta orang diantaranya
menderita trikiasis. Belum ditemukan bukti adanya predileksi pada ras-ras tertentu ataupun jenis
kelamin (Graham, 2011).

4. Etiologi dan Patofisiologi


Trikiasis dapat disebabkan oleh infeksi pada mata, peradangan pada palpebra, kondisi
autoimun, dan trauma. Kelainan ini juga dihubungkan dengan penyakit sikatrik kronik seperti
sikatrisial pemphigoid, penyakit infeksi seperti trakoma serta sindrom steven johnson. Proses
inflamasi tersebut akan menyebabkan terbentuknya jaringan parut atau sikatrik. Sikatrik yang
terbentuk pada bagian lamella posterior palpebra, menyebabkan posisi silia mata tumbuh mengarah
ke bola mata. Proses penuaan juga merupakan penyebab umum terjadinya trikiasis, karena kulit
yang kehilangan elastisitas (Ilyas, 2008). Dan bila dikategorikan sebagai berikut:
1. Infeksi : Trachoma dan herpes zoster
2. Autoimun : Pemfigoid cicatricial okular
3. Inflamasi : Sindrom stevens-johnson dan keratoconjunctivitis Vernal
4. Trauma : Pascabedah dan pendekatan transconjunctival kelopak bawah untuk
perbaikan fraktur basal atau blepharoplasty, setelah enukleasi, dan
setelah perbaikan ektropion
5. Bahan kimia : Alkali membakar mata, tetes medis (mis., Tetes glaukoma), thermal burns
ke wajah / kelopak.

Beberapa kondisi yang dapat meningkatkan resiko terjadinya trikiasis sebagai berikut:
a. Trakoma
Trakoma adalah suatu bentuk konjungtivitis folikular kronik yang
disebabkan oleh Chlamydia trachomatis. Penyakit ini dapat mengenai semua
umur tetapi lebih banyak ditemukan pada orang muda dan anak- anak.
Infeksi Chlamydia trachomatis ini menyebabkan reaksi inflamasi yang
predominan limfositik dan infiltrat monosit dengan plasma sel dan makrofag
dalam folikel. Infeksi konjungtiva yang rekuren menyebabkan inflamasi
yang kronik dan menyebabkan terbentuknya suatu jaringan parut pada
konjungtiva tarsus superior sehingga mengakibatkan perubahan bentuk pada
tarsus yang selanjutnya dapat mengubah bentuk palpebra superior berupa
membaliknya bulu mata ke arah bola mata (trikiasis) atau seluruh tepian
palpebra (entropion) sehingga bulu mata terus-menerus menggesek kornea.

Gambar 3. Palpebra superior: tampak trakoma dengan


jaringan sikatrik
Gambar 4. Palpebra superior : Trakomaatous trikiasis

b. Blefaritis ulseratif
Merupakan peradangan margo palpebra dengan tukak akibat infeksi
staphylococcus. Pada blefaritis olseratif terdapat krusta berwarna
kekuningan, serta skuama yang kering dan keras, yang bila keduanya
diangkat akan terlihat ulkus yang kecil dan mengeluarkan darah disekitar
bulu mata. Penyakit ini sangat infeksius. Ulserasi berjalan lanjut dan lebih
dalam sehingga merusak follikel rambut mengakibatkan rontok (madarosis),
dan apabila ulkus telah menyembuh akan membentuk jaringan parut atau
sikatrik. Sikatrik ini akan menimbulkan tarikan sehingga menyebabkan bulu
mata tumbuh mengarah ke bola mata (trikiasis).

Gambar 5. Blefaritis ulseratif. Tampak krusta dan eritema pada margo


palpebra

Gambar 6. Tampak madarosis pada bagian lateral palpebra inferior


c. Hordeolum eksterna
Hordeolum eksterna adalah inflamasi supuratif akut yang terjadi
pada glandula Zeis atau Moll.
Gambar 7. Hodeolum eksterna palpebra superior
Dapat disebabkan oleh kebiasaan menggaruk mata dan hidung,
blafaritis kronik dan diabetes mellitus. Dapat juga disebabkan oleh infeksi
Staphylococcus aureus. Hordeolum eksterna terbagi menjadi dua stadium
yaitu stadium sellulitis dan stadium abses. Pada stadium selulitis hanya
didapatkan tanda-tanda inflamasi seperti gambaran edema yang berbatas
tegas, kemerahan dan teraba keras. Sedangkan pada stadium abses, telah
tampak gambaran pus pada margo palpebra yang dapat mempengaruhi bulu
mata.
d. Konjungtivitis membranous
Konjungtivitis membranous adalah suatu penyakit inflamasi yang
terjadi pada konjungtiva yang disebabkan oleh infeksi Corynebacterium
diphtheriae, ditandai dengan terbentuknya membran pada konjungtiva.

Gambar 8. Konjungtivitis membranous

Saat ini, penyakit ini sudah sangat jarang dijumpai oleh karena
menurunnya angka kejadian difteri. Hal ini disebabkan karena immunisasi
difteri berjalan sangat efektif. Corynebacterium diphtheriae menyebabkan
inflamasi hebat pada konjungtiva dan menyebbkan deposisi eksudat fibrin
pada permukaan dan bagian yang lebih dalam pada konjungtiva sehingga
akhirnya terbentukmembran. Membran biasanya terbentuk pada
konjungtiva palpebra. Pengelupasan membran dihubungkan dengan adanya
nekrosis koagulatif. Akhirnya penyembuhan berlangsung dengan
terbentuknya jaringan granulasi. Penyakit ini terbagi menjadi tiga stadium
yaitu stadium infiltrasi, supurasi, dan sikatrisasi. Pada stadium sikatrisasi,
permukaan konjungtiva yang telah tertutup oleh jaringan granulasi
mengalami epitelisasi. Penyembuhan luka terjadi melalui pembentukan
jaringan parut atau sikatrik yang dapat menyebabkan terjadinya trikiasis
dan xerosis konjungtiva.
e. Sikatrisial pemphigoid
Sikatrik Okuler Pemphigoid (SOP) atau mucous membrane
pemphigoid adalah kelainan autoimun kronik yang ditandai dengan adanya
bullae pada konjungtiva. SOP merupakan kelainan yang bersifat bilateral,
mengenai kedua mata dan lebih sering ditemukan pada wanita lanjut usia.
Gejalanya dapat berupa rasa nyeri dan sensai benda asing pada mata disertai
kotoran mata. Salah satu tanda SOP adalah simblefaron, yaitu adhesi antara
konjungtiva palpebra dan konjungtiva bulbi. Hal ini menunjukkan terjadinya
proses pembentukan sikatrik subepitelial yang progresif. Keadaan ini dapat
menyebabkan terjadinya trikiasis apabila terbentuk sikatrik yang tebal.
Trikiasis ini dapat menyebabkan keratinisasi pada permukaan kornea dan
konjungtiva.

Gambar 9 . Sikatriasial pemphigoid


f. Entropion
Entropion adalah suatu keadaan melipatnya kelopak mata bagian tepi
atau margo palpebra kearah dalam. Hal ini menyebabkan 'trichiasis' dimana
bulu mata yang biasanya mengarah keluar kini menggosok pada permukaan
mata.
Entropion bisa ditemukan pada semua lapisan umur namun entropion
khususnya entropion involusional lebih sering ditemukan pada orangtua.
Entropion lebih sering terjadi pada wanita dibandingkan pria. Hal ini
mungkin disebabkan lempeng tarsal pada wanita rata-rata lebih kecil
dibandingkan pada pria. Entropion involusional biasanya ditemukan lebih
sering pada palpebra inferior sedangkan entropion sikatrik lebih sering pada
palpebra superior dan paling sering didahului oleh trakhoma.

Gambar 10. Sikatrikal entropion

g. Distikiasis
Distikiasis adalah terdapatnya pertumbuhan bulu mata abnormal atau
terdapatnya duplikasi bulu mata daerah tempat keluarnya saluran meibom.
Berbentuk lebih halus, tipis dan pendek dibanding bulu mata normal.

Gambar 11. Distikiasis

Dapat tumbuh ke dalam sehingga mengakibatkan bulu mata menusuk ke jaringan bola mata atau
trikiasis. Bersifat kongenital dominan. Biasanya disertai kelainan kongenital lainnya

5. Gambaran Klinis
Pasien dapat mengeluhkan sensasi benda asing, iritasi pada permukaan bola mata yang kronik,
lesi pada kelopak mata, gatal, nyeri pada mata, dan mata bengkak. Abrasi kornea sampai dapat
terjadi ulkus kornea, injeksi konjungtiva, keluarnya cairan mucus, dan pandangan menjadi kabur
dapat menyertai penyakit ini (Ruth, 2011). Pada kasus yang lebih berat dapat ditemukan ulkus
kornea.

6. Diagnosis
a. Anamnesis
Pada anamnesis dapat ditanyakan mengenai riwayat penyakit sebelumnya yang pernah diderita
oleh pasien. Misalnya :
1. Apakah pasien pernah menderita infeksi mata berat atau pernah berada di negara
endemik trakoma seperti di Afrika dan negara-negara timur tengah?
2. Apakah pasien memiliki riwayat penyakit autoimmune seperti pemphigoid sikatrik?
3. Apakah ada riwayat trauma pada mata?
4. Apakah pasien pernah menjalani operasi mata sebelumnya?
Pasien dengan trikiasis dapat mengeluhkan sensasi benda asing dan iritasi permukaan bola
mata kronik. Apabila lebih berat hingga menimbulkan ulkus kornea , maka akan timbul
keluhan mata merah, sakit pada mata, fotofobia, dan penglihatan menurun.
b. Pemeriksaan fisik
1. Inspeksi
Pada pemeriksaan inspeksi dengan menggunakan slit lamp didapatkan satu atau lebih silia
tumbuh ke arah kornea atau konjungtiva bulbi. Tanda dan gejala penyakit penyerta
seperti trakoma, blefaritis, dan lain-lain, dapat ditemukan.
2. Eversi kelopak mata
Eversi kelopak dilakukan dengan mata pasien melihat jauh ke bawah. Pasien diminta jangan
mencoba memejamkan mata. Tarsus ditarik ke arah orbita. Pada konjungtiva dapat
dicari adanya folikel, perdarahan, sikatriks dan kemungkinan benda asing.
3. Fluoresein
Fluoresin adalah bahan yang berwarna jingga merah yang bila disinari gelombang biru akan
memberikan gelombang hijau.
Kertas fluoresein yang dibasahi terlebih dahulu dengan garam fisiologik diletakkan pada
sakus konjungtiva inferior. Penderita diminta untuk menutup matanya selama 20 detik,
beberapa saat kemudia kertas ini diangkat. Dilakukan irigasi konjungtiva dengan garam
fisiologik. Dilihat permukaan kornea bila terlihat warna hijau dengan sinar biru berarti
ada kerusakan epitel kornea. Defek kornea terlihat berwarna hijau karena pada bagian
defek tersebut bersifat basa. Pada keadaan ini disebut uji fluoresein positif. Pemeriksaan
ini dipakai untuk melihat terdapatnya defek epitel kornea akibat gesekan dari silia bulu
mata yang mengalami trikiasis.

7. Diagnosis Banding
Trikiasis dapat didiagnosis banding dengan entropion. Entropion adalah pelipatan kelopak
mata ke arah dalam yang dapat disebabkan oleh involusi, sikatrik, atau congenital. Gangguan
ini selalu mengenai kelopak mata bawah dan merupakan akibat gabungan kelumpuhan otot-otot
retractor kelopak mata , mikrasi ke atas muskulus orbikularis preseptal, dan melipatnya tarsus
ke atas (Ilyas, 2008).

8. Penatalaksanaan
a. Jika hanya sedikit bulu mata yang terlibat, trikiasis dapat diterapi dengan mechanical
epilation, yaitu membuang bulu mata yang tumbuh ke dalam dengan forcep pada slit lamp.
Karena pertumbuhan kembali dapat terjadi, epilasi berulang diperlukan setelah 6-8 minggu
(Ilyas,2008).
b. Electrolysis dapat digunakan untuk menatalaksana trikiasis. Akan tetapi tingkat
rekurensinya tinggi, selain itu kekurangan metode elektrolisis yaitu sulitnya menempatkan
jarum tepat pada folikel rambut yang akan dirusak sehingga berisiko untuk menyebabkan
kerusakan mukosa dan struktur sekitarnya yang akhirnya akan menyebabkan terbentuknya
sikatrik yang lebih luas dan trikiasis yang lebih hebat (Collin dan Rose, 2001)

Gambar 3. Elektrolisis. Sebuah jarum di insersikan ke dalam folikel rambut dengan bantuan slit lamp atau
dengan mikroskop.
c. Trikiasis segmental dapat diperbaiki dengan cryotherapy. Cryotherapy yaitu suatu teknik
pengrusakan folikel rambut dengan menggunakan suhu yang sangat dingin (nitrogen
oksida). Cryotherapy hanya membutuhkan anestesia lokal infiltratif. Folikel dari bulu mata
sangat sensitif terhadap dingin dan dapat dihancurkan pada suhu -20o C. Area yang terlibat
dibekukan kurang lebih selama 25 detik dan kemudian dibiarkan mencair. Kemudian
dibekukan kembali selama 20 detik (double freeze-thaw technique). Beberapa sumber
menyebutkan, membutuhkan 45 detik membekukan dengan 4 menit mencairkan secara
lambat untuk double freeze-thaw technique. Bulu mata yang abnormal dapat diangkat
dengan forcep. Kekurangan dari cryotherapy adalah edema yang dapat bertahan selama
beberapa hari, kehilangan pigmen kulit melanosit yang dapat hancur pada suhu -10o C
sehingga dapat hancur terlebih dahulu sebelum folikel rambut dihancurkan, penebalan
margin palpebra, dan kemungkinan gangguan fungsi sel goblet. Metode ini dapat
dikombinasi dengan berbagai prosedur pembedahan dan dapat diulangi jika persisten atau
berulang. Prosedur bedah yang dilakukan sama dengan prosedur yang dilakukan pada
entropion sikatrik, salah satunya yaitu dengan teknik modifikasi Ketssey’s (Collin dan
Rose, 2001).

Gambar 4. Cryotherapy
d. Pada teknis modifikasi ketssey’s (Transposition of tarsoconjunctival wedge), sebuah insisi
horizontal dibuat sepanjang sulkus subtarsalis, (2-3 mm diatas margo palpebra) termasuk
konjungtiva dan tarsal plate. Bagian terbawah dari tarsal plate di tempel pada margo
kelopak mata. Penjahitan matras dilakukan setelah pemotongan bagian atas dari tarsal plate
dan jahitan tersebut timbul pada kulit 1 mm di atas margo kelopak mata.
Gambar 5. Teknik modifikasi Ketssey’s
e. Terapi medikamentosa dengan menggunakan kloramphenikol ointment dapat membantu
mencegah terjadinya kerusakan kornea. Pada trachomatous trichiasis, dapat pula digunakan
doxycycline sebagai terapi untuk mencegah terjadinya proses sikatrisasi yang lebih luas
sehingga secara tidak langsung mencegah terjadinya trikiasis.

9. Komplikasi
Apabila tidak ditangani dengan segera trikiasis dapat menyebabkan komplikasi seperti iritasi
pada permukaan bola mata yang kronik, abrasi kornea, terjadi ulkus kornea, perforasi, sampai
terjadinya infeksi bola mata. Komplikasi lebih lanjut dapat menyebabkan kebutaan.

1. Keratitis
Suatu kondisi dimana kornea meradang. Masuknya bulu mata dan
tepi kelopak ke kornea dapat menimbulkan iritasi dan rasa sakit. Bila ini
berlanjut terus dapat mengakibatkan terjadinya ulserasi kornea, kemudian
sembuh dengan sikatrik kornea.
Jaringan parut yang terbentuk dapat menyebabkan kehilangan
penglihatan. Komplikasi lebih lanjut dapat menyebabkan ulkus kornea
menetap.
2. Vaskularisasi kornea

Gambar 16. Trikiasis dengan vaskularisasi kornea

10. Prognosis
Prognosis umumnya baik. Tindak lanjut perawatan berkala dan perhatian terhadap komplikasi,
kekambuhan, atau komplikasi kornea dapat meningkatkankan prognosis jangka panjang.

11. SKDI : 4A (mendiagnosis, melakukan penatalaksanaan secara mandiri dan tuntas)


Lulusan dokter mampu membuat diagnosis klinik dan melakukan penatalaksanaan penyakit
tersebut secara mandiri dan tuntas. 4A (Kompetensi yang dicapai pada saat lulus dokter).
DAFTAR PUSTAKA

Ilyas Sidarta.2012. Ilmu Penyakit Mata. Edisi IV Cetakan ke-2. Jakarta: Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia

Linda J. Vorvick, MD, Clinical Associate Professor, Department of Family Medicine, UW


Medicine, School of Medicine, University of Washington, Seattle, WA. Also reviewed by
David Zieve, MD, MHA, Medical Director, Brenda Conaway, Editorial Director, and the
A.D.A.M. Editorial team.

Anda mungkin juga menyukai