Anda di halaman 1dari 13

Voneisha Tania

04011281823088

Alpha 2018

Nematoda STH:

1. Ceritakan dan jelaskan sistem imun tubuh (host) saat terinfeksi


(berkaitan dengan Nematoda Usus)?

Proses perkenalan antigen oleh Antigen Presenting Cell kepada sistem


imun spesifik ini terjadi pada mesenterik limfonodus atau pada limfonodus
terdekat. Sel Th0 yang telah teraktivasi akan mengalami proliferasi dan
diferensiasi menjadi sel Th1 dan Th2. Pada infeksi cacing respon ini
terpolarisasi ke arah sel Th2 dan produknya terutama interleukin-4 (IL-4)
akan menekan perkembangan sel Th1. Secara umum, respon imun sejak
awal infeksi hingga terjadi proses eliminasi pada infeksi cacing dapat
dibedakan atas respon imun non spesifik dan spesifik.

1. Non Specific Inflammatory Process

Proses inflamasi non spesifik ini terjadi pada masa awal infeksi cacing, di
mana sel Th2 akan mengeluarkan sitokin pro inflamasi (IL-4, IL-5, IL-9
dan IL-13) dan dibantu oleh Tumor Necrosis Factor dan beberapa sitokin
lain yang dihasilkan oleh Th1 sehingga terjadi reaksi fisiologis untuk
mengekspulsi (mengeluarkan) cacing dari lumen usus. Reaksi fisiologis
tersebut dapat berupa produksi mukus oleh sel goblet, hiperkontraksi otot
polos pada usus dan peningkatan aliran cairan usus.

2. Specific T- Dependent Process

Pada saat sel Th0 diperkenalkan dengan antigen cacing oleh Antigen
Presenting Cell, sel Th0 akan berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel
Th1 dan Th2. Proses proliferasi dan ekspresi sitokin oleh sel-sel
imunokompeten ini sangat tergantung pada kondisi infeksi (infeksi akut
atau infeksi kronik).

 Infeksi Akut

Pada infeksi akut, terjadi proliferasi dan diferensiasi sel Th0 menjadi Th1
dan Th2, dengan dominasi ke arah Th2. Sel Th1 yang terbentuk akan
mengekspresikan IFN-γ yang dapat menekan aktifitas sel B untuk
menghasilkan IgE. Sel Th2 akan mengekspresikan IL-4, IL-5, IL-9 dan IL-
13. IL-9 dan IL-13 berperan dalam Non Specific Inflammatory Process. IL-
4 dan IL-5 berperan dalam Non Specific Inflammatory Process dan
Specific T- Dependent Process. IL-4 yang dihasilkan oleh sel Th2 berperan
membantu sel B untuk memproduksi IgE. Dalam waktu yang bersamaan
IL-5 memicu terjadinya eosinofilia. Eosinofil dan IgE pada infeksi cacing
ini berperan dalam proses interaksi yang disebut antibody dependent cell
mediated cytotoxicity / cytolytic dimana sitolisis baru terjadi bila dibantu
oleh antibodi. Dalam hal ini antibodi berfungsi melapisi antigen sasaran
(opsonisasi) sehingga sel eosinofil dapat melekat pada sel atau antigen
sasaran. Opsonisasi ini terjadi karena fragmen Fab dari IgE dapat mengenal
epitop cacing sedangkan fragmen Fc dari IgE akan berikatan dengan Fc
reseptor pada eosinofil sehingga akan terjadi aktivasi eosinofil. Eosinofil
yang teraktivasi selanjutnya akan mengalami degranulasi (pengeluran
enzim protease lisosom) yang dapat menghancurkan sel sasaran dan
menimbulkan respon inflamasi untuk merekrut sel – sel fagosit.

Dari beberapa penelitian terakhir diketahui bahwa IgE yang terbentuk pada
infeksi cacing selain berperan dalam respon perlawanan terhadap antigen
cacing juga berperan terhadap proteksi atopi. Hal ini disebabkan karena
infeksi cacing akan memodulasi respon imun untuk menghasilkan kadar
IgE yang tinggi (IgE poliklonal) yang akan menempel pada FcεRI sel mast
sehingga penempelan IgE spesifik alergen pada sel mast terhambat dan
tidak terjadi degranulasi sel mast. Proses tersebut mencegah terjadinya
atopi.
 Infeksi Kronis

Pada infeksi kronis terjadi Modified Th2 response. Pada Modified Th2
Response sel dendrit dan sel AAM (Alternatively Activated Macrophage)
bertindak sebagai Antigen Presenting Cell. Berbeda dengan infeksi akut,
pada infeksi kronik terdapat keterlibatan sel Treg. Sel Treg ini
menghasilkan IL-10 dan Transforming Growth Factor-β (TGF-β). IL-10
berperan dalam class switching antibody response dimana sel B yang
sebelumnya memproduksi IgE menjadi memproduksi IgG4. Antibodi IgG4
ini akan menghambat degranulasi sel efektor sehingga atopi tidak terjadi.
TGF-β berperan dalam menekan respon seluler baik sel Th1 maupun Th2.

2. Mekanisme obat cacing dari:

 Albendazole single dose

methyl-(5propylthio-I-H-benzimidazol-2-yl) carbamate yang merupakan


derivat terbaru dari Benzimidazole dengan aktivitas anthelmintik yang
besar. Albendazole telah terbukti mempunyaiaktivitas larvasidal
danovisidal. Obat ini secara selektif bekerja menghambat pengambilan
glukosa oleh usus cacing dan jaringan dimana larva bertempat tinggal.

Akibatnya terjadi pengosongan cadangan glikogen dalam tubuh parasit


yang mana akan mengakibatkan berkurangnya pembentukan adenosin tri
phospat (ATP). ATP ini penting untuk reproduksi dan mempertahankan
hidupnya, dan kemudian parasit akan mati.

 Pyrantel pamoat single dose

menargetkan aseptor asetilkolin sehingga cacing menjadi kejang.


Bertindak dengan menargetkan reseptor asetilkolin nikotinik pada
permukaan otot somatik nematoda, sehingga mendepolarisasi
persimpangan neuromuskuler nematoda, mengakibatkan kelumpuhan
ireversibel dan pengusiran alami cacing. Perlawanan dikaitkan dengan
modifikasi reseptor nikotinik. Pyrantel pamoate diserap dengan buruk
dari usus; lebih dari 85% dari dosis dilewatkan tidak berubah dalam
feses. Bagian yang diserap dimetabolisme dan diekskresikan dalam urin.
Biasanya efektif dalam dosis tunggal. Keamanan dalam kehamilan dan
anak-anak di bawah 2 tahun belum ditetapkan. Ini memiliki toksisitas
minimal pada dosis yang digunakan untuk mengobati infeksi cacing usus.

 Mebendazol

efektif untuk mengobati infeksi cacing gelang, cacing kremi, cacing


tambang dan T. trichiura, sehingga efektif untuk mengobati infestasi
campuran cacing-cacing tersebut. Mebendazol bekerja dengan
menyebabkan kerusakan struktur subselular dan menghambat sekresi
asetilkolinesterase cacing. Obat ini juga menghambat pengambilan glukosa
secara ireversibel sehingga akan terjadi pengosongan (deplesi) glikogen
pada cacing.

 Tiabendazol

Merupakan antelmintik derivat benzimidazol berspektrum luas dan efektif


untuk mengobati infestasi berbagai nematoda pada manusia.
Tiabendazol mempunyai daya antelmintik yang luas, efektivitasnya
tinggi terhadap strongiloidiasis, askariasis dan larva migrans kulit;
berguna untuk mengobati trikuriasis dan trikinosis akut. Cara kerjanya
sama dengan derivat benzimidazol lainnya, misalnya dengan
menghambat enzim fumarat reduktase cacing.

 Piparazin
Piperazin merupakan obat alternatif dalam pengobatan askariasis, dengan
angka kesembuhan di atas 90%, bila dikonsumsi selama dua hari
(Katzung, 2004:280). Piperazin menyebabkan blokade respons otot cacing
terhadap asetilkolin, sehingga terjadi paralisis dan cacing mudah
dikeluarkan oleh peristaltik usus. Cacing biasanya keluar 1-3 hari setelah
pengobatan dan tidak diperlukan pencahar untuk mengeluarkan cacing itu.
Diduga cara kerja piperazin pada otot cacing dengan mengganggu
permeabilitas membran sel terhadap ion-ion yang berperan dalam
mempertahankan potensial istirahat, sehingga menyebabkan
hiperpolarisasi dan supresi impuls spontan, disertai paralisis (Sukarban
dan Santoso, 1995:529).
 Antelmintik
Antelmintik adalah obat yang bekerja secara lokal untuk mengeluarkan
cacing dari saluran gastrointestinal ataupun secara sistemik untuk
membasmi cacing dewasa atau bentuk berkembangnya yang menyerang
organ dan jaringan (Tracy dan Webster, 2008:1094). Sistem saraf pada
cacing mempunyai perbedaan yang penting dengan sistem saraf pada
vertebrata dan ini membentuk dasar toksisitas selektif pada sebagian besar
obat yang digunakan untuk mengobati infeksi cacing. Otot nematoda
mempunyai sambungan neuromuskular eksitasi ataupun inhibisi,
transmitornya masing-masing adalah asetilkolin (reseptor nikotinik tipe
ganglion) dan asam γ-aminobutirat (GABA) (Neal, 2005:88).

Teknik Pemeriksaan Tinja:

1. Carilah berbagai teknik pemeriksaan tinja yang lainnya dalam


melakukan pemeriksaan parasit dalam tinja.

Pemeriksaan makroskopis
Dalam pemeriksaan makroskopis feses, dinilai bentuk, warna, konsistensi, bau,
darah, lendir, dan parasit (Endarwati, 2012).
1. Bentuk
Sampel feses memiliki bentuk silindris tak beraturan. Bentuk ini
menggambarkan feses normal. Karena dari bentuk feses dapat dilihat bila
ada gangguan pada saat pengeluaran feses (Endarwati, 2012).
2. Warna
Sampel feses yang diperiksa berwarna cokelat tua. Warna feses yang
normal berkisar antara kuning cokelat dan cokelat tua. Warna feses dapat
mengalami perubahan karena pengaruh jenis makanan, obat-obatan, atau
perdarahan pada saluran cerna (Endarwati, 2012).
3. Konsistensi
Konsistensi feses pada sampel agak padat. Hal ini menunjukkan bahwa
konsistensi feses probandus masih dalam batas normal. Pada diare
konsistensi menjadi sangat lunak atau cair, sedangkan sebaliknya tinja
yang keras atau skibala didapatkan pada konstipasi. Peragian karbohidrat
dalam usus menghasilkan tinja yang lunak dan bercampur gas.
Konsistensi feses padat normal akan tetapi tidak menutup kemungkinan
ada kesalahan dalam pengambilan sampel dan proses penyimpanan
sebelum dibawa ke tempat pemeriksaan. Hal ini dikarenakan tempat
pemeriksaan cukup jauh, dan tidak ada wadah yang memadai untuk
penampungan feses. Tinja normal mempunyai konsistensi agak lunak dan
bebentuk. Pada diare konsistensi menjadi sangat lunak atau cair,
sedangkan sebaliknya tinja yang keras atau skibala didapatkan pada
konstipasi. Peragian karbohidrat dalam usus menghasilkan tinja yang
lunak dan bercampur gas. (Corwin, 2009).
4. Bau
Sampel feses memiliki bau yang khas. Bau normal fese dipengaruhi oleh
zat-zat seperti indol, skatol, dan asam butirat. Feses abnormal memiliki
bau tengik, asam, ataupun basi. Feses yang berbau tengik atau asam
disebabkan oleh fermentasi gula yang tidak sempurna seperti pada
keadaan diare (Endarwati, 2012).
5. Darah
Tidak didapatkan penampakan darah pada pemeriksaan makroskopis
feses. Feses normal tidak mengandung darah. Bila ada darah pada feses,
perlu diperhatikan warna darah tersebut dan apakah darah bercampur
dengan tinja atau hanya pada bagian luar feses saja (Gandasoebrata,
2008).
6. Lendir
Tidak didapatkan lendir pada sampel feses. Feses normal tidak
mengandung lender. Bila terdapat lendir pada feses, dapat disebabkan
oleh iritasi atau inflamasi pada dinding usus. Bila terdapat lendir pada
feses, perlu diperhatikan apakah lendir bercampur dengan deses atau
hanya pada permukaan luar feses saja. Lendir yang bercampur dengan
feses dapat berarti terjadi iritasi pada usus halus. Lendir yang hanya
dipermukaan, dapat berarti terjadi iritasi pada usus besar (Gandasoebrata,
2008).
7. Parasit
Tidak ditemukan parasit pada sampel feses. Hal ini menandakan bahwa
saluran pencernaan probandus masih normal tanpa ada infeksi dari parasit
(Gandasoebrata, 2008).
B. Pemeriksaan Mikroskopis
1. Pemeriksaan Kualitatif
a. Pemeriksaan secara natif (direct slide)
Metode ini dipergunakan untuk pemeriksaan secara cepat dan baik untuk
infeksi berat, tetapi untuk infeksi yang ringan sulit ditemukan telur-telurnya.
Cara pemeriksaan ini menggunakan larutan NaCl fisiologis (0,9%) atau eosin
2%. Penggunaa eosin 2% dimaksudkan untuk lebih jelas membedakan telur-
telur cacing dengan kotoran disekitarnya. Eosin memberikan latar belakang
merah terhadap telur yang berwarna kekuning-kuningan dan untuk lebih jelas
memisahkan feces dengan kotoran yang ada.
Alat dan Bahan
1. Gelas obyek
2. Pipet tetes
3. Lidi
4. Cover glass
5. Mikroskop
6. Tinja anak kecil
7. Eosin 2%
Cara kerja :
1. Gelas obyek yang bersih di teteskan 1-2 tetes NaCl fisiologi atau eosin
2%
2. Dengan lidi, di ambil sedikit tinja dan taruh pada larutan tersebut
3. Dengan lidi tadi, kita ratakan /larutkan, kemudian di tutup dengan gelas
beda/cover glass.
b. Pemeriksaan dengan Metode Apung (floatation methode)
Metode ini digunakan larutan NaCl jenuh atau larutan gula atau larutan
gula jenuh yang didasarkan atas BD (Berat Jenis) telur sehingga telur akan
mengapung dan mudah diamati. Metode ini digunakan untuk pemeriksaan
feses yang mengandung sedikit telur. Cara kerjanya didasarkan atas berat jenis
larutan yang digunakan, sehingga telur-telur terapung dipermukaan dan juga
untuk memisahkan partikel-partikel yang besar yang terdapat dalam tinja.
Pemeriksaan ini hanya berhasil untuk telur-telur Nematoda, Schistostoma,
Dibothriosephalus, telur yang berpori-pori dari famili Taenidae, telur-
telur Achantocephalaataupun telur Ascaris yang infertil.
Alat dan Bahan
1. Obyek glass
2. Mikroskop
3. Cover glass
4. Penyaring teh
5. Tabung reaksi
6. Pengaduk dan beker glass
7. Tinja
8. Larutan NaCl jenuh (33%)
9. Aquades
Cara kerja
1. 10 gram tinja di campur dengan 200 ml NaCl jenuh (33%), kemudian di
aduk sehingga larut. Bila terdapat serat-serat selulosa di saring
menggunakan penyaring teh.
2. Di diamkan selama 5-10 menit, kemudian dengan lidi di ambil larutan
permukaan dan di taruh di atas gelas obyek, kemudian di tutup dengan
cover glass. Di periksa di bawah mikroskop.
3. Di tuangkan ke dalam tabung reaksi sampai penuh, yaitu rata dengan
permukaan tabung, didiamkan selama 5-10 menit dan di tutup/di letakkan
gelas obyek dan segera angkat. Selanjutnya di letakkan di atas gelas
preparat dengan cairan berada di antara gelas preparat dan gelas penutup,
kemudian di periksadi bawah mikroskop.

c. Modifikasi Metode Merthiolat Iodine Formaldehyde (MIF)


Metode ini menyerupai metode sedimentasi. Metode ini digunakan untuk
menemukan telur cacing nematoda, trematoda, cestoda dan amoeba di dalam
tinja (Rusmatini, 2009).
d. Metode Selotip (cellotape methode)
Metode ini digunakan untuk identifikasi cacing E. vermicularis.
Pemeriksaan dilakukan pada pagi hari sebelum anak berkontak dengan air dan
usia anak yang diperiksa berkisar 1-10 tahun. Metode ini menggunakkan
plester plastik yang bening dan tipis dan dipotong dengan ukuran 2 x 1,5 cm.
Plester plastik lalu ditempelkan pada lubang anus dan ditekan dengan ujung
jari. Hasil diplester kemudian ditempelkan ke objek glass dan dilihat dibawah
mikroskop untuk melihat telur cacing (Rusmatini, 2009; Swierczynski, 2010).
e. Metode Konsentrasi
Metode ini sangat praktis dan sederhana. Prosedur pemeriksaan ini yaitu 1
gr tinja dimasukkkan kedalam tabung reaksi lalu tambahkan akuadest dan
diaduk sampai homogen. Masukkan ke tabung sentrifusi dan sentrifusi dengan
kecepatan 3000 rpm selama 1 menit. Larutan dibuang, sedimennya diambil
dengan menggunakkan pipet pasteur lalu diletakkan di atas kaca objek
kemudian ditutup dengan cover glass dan dilihat di bawah di mikroskop.
Pemeriksaan ini dapat dilakukan sampai 2-3 kali (Rusmatini, 2009; Tiemey,
2002).
f. Metode Sedimentasi Formol Ether (ritchie)
Metode sedimentasi menggunakan larutan yang mempunyai berat jenis
lebih rendah dari organisme parasit, sehingga parasit dapat mengendap di
bawah. Metode ini terdiri dari metode sedimentasi biasa yang memanfaatkan
gaya gravitasi, dan metode sedimentasi Formol-Ether (Ritchie) yang
menggunakan gaya sentrifugal dan larutan formalin-eter pada cara kerjanya.
Metode ini merupakan metode yang baik untuk memeriksa sampel feses yang
sudah lama. Prinsip dari metode ini adalah dengan adanya gaya sentrifugal
dapat memisahkan antara suspensi dan supernatannya sehingga telur cacing
dapat terendapkan.
Alat dan bahan:
1. Tabung reaksi
2. Objek glass
3. Mikroskop
4. Aquadest
5. Sentrifugasi
6. Pipet
7. Tinja

Cara Kerja:
1. Buatlah larutan emulsi tinja dengan menggunakan aquadest didalam gelas
piala volume 100 cc, homogenkan
2. Pipet larutan emulsi tinja ke dalam tabung sentrifuge sampai 2/3 tabung
3. Dilakukan sentrifuge dengan alat sentrifuge larutan dengan kecepatan 2000
rpm selama 5 menit
4. Kemudian larutan supernatant dibuang dan endapan ditambahkan aquadest,
homogenkan
5. Dilakuakan pemusingan seperti cara diatas
6. Pencucian dilakukan sampai larutan supernatant kelihatan jernih lalu
dibuang
7. Endapan atau sendimen yang tersisa, dipipet dan diletakkan diatas objek
glass yang bersih dan kering
8. Ditambahkan zat warna dan emulsikan diatas objek glass bersama dengan
endapan tinja tersebut
9. Diperiksa dibawah mikroskop dengan pembesaran 10 x 10

2. Pemeriksaan kuantitatif
a. Metode Stoll
Pemeriksaan ini menggunakan NaOH 0,1 N sebagai pelarut tinja. Cara ini
cocok untuk pemeriksaan infeksi berat dan sedang (Rusmatini, 2009; Tiemey,
2002). Pemeriksaan ini kurang baik untuk infeksi ringan (Rusmatini, 2009).

b. Metode Katokatz
Teknik sediaan tebal (cellaphane covered thick smear tecnique) atau disebut
teknik Kato. Metode ini digunakan untuk menemukan adanya telur cacing
parasit dan menghitung jumlah telur cacing yang terdapat pada feses.
Pengganti kaca tutup seperti teknik digunakan sepotong “cellahane tape”.
Teknik ini lebih banyak telur cacing dapat diperiksa sebab digunakan lebih
banyak tinja. Teknik ini dianjurkan untuk Pemeriksaan secara massal karena
lebih sederhana dan murah. Morfologi telur cacing cukup jelas untuk membuat
diagnosa. Pada metode ini diadakan penambahan melachite green untuk
memberi latar belakang hijau.
Anak-anak mengeluarkan tinja kurang lebih 100 gram/hari, dewasa
mengeluarkan tinja kurang lebih 150 gram/hari. Jadi, misalnya dalam 1 gram
feces mengandung 100 telur maka 150 gram tinja mengandung 150.000 telur.
Alat
1. Selophane
2. Gelas preparat
3. Karton berlubang
4. Soket bambu
5. Kawat saring
6. Kertas minyak
Bahan
1. Bahan yang di gunakan adalah larutan untuk memulas selophane terdiri
dari 100 bagian aquades (6%), 100 bagian gliserin, 1 bagian melachite
green 3% dan tinja 30mg.
Cara kerja
1. Sebelum pemakaian, pita selophane di masukkan ke dalam larutan
melachite green selam kurang lebih 24 jam.
2. Di atas kertas minyak, di taruh tinja sebesar butir kacang, selanjutnya di
atas tinja tersebut di tumpangi dengan kawat saringan dan ditekan-tekan
sehingga di dapatkan tinja yang kasar tertinggal di bawah kawat dan tinja
yang halus keluar di atas penyaring.
3. Dengan lidi, tinja yang sudah halus tersebut di ambil di atas kawat
penyaring kurang lebih 30mg, dengan menggunakan cetakan karton yang
berlubang di taruh gelas preparat yang bersih.
4. Selanjutnya ditutup dengan pita selophane dengan meratakan tinja di
seluruh permukaan pita sampai sama tebal, dengan bantuan gelas preparat
yang lain.
5. Di biarkan dengan temperatur kamar selama 30-60 menit supaya menjadi
transparan.
6. Seluruh permukaan di periksa dengan menghitung jumlah semua telur
yang ditemukan dengan perbesaran lemah.

DAFTAR PUSTAKA
Renita, Selfi. 2015. Respon Th2 Pada Infeksi Cacing Usus. 33(2): 94-100
Rusjdi, S. R., 2009. Respon Th2 Pada Infeksi Cacing Usus. Majalah Kedokteran
Andalas, 33(2), pp. 94-100.

Rahmadhini, N. S., 2016. Uji Diagnostik Kecacingan Pada Pemeriksaan Feses.


Bandar Lampung: Universitas Lampung.

Marieta P.R., Ryan H., Saekhol B. 2018. Perbandingan Pemeriksaan Tinja


Antara Metode
Sedimentasi Biasa dan Metode Sedimentasi Formolether dalam Mendeteksi Soil-
Transmitted Helminth. Semarang : Jurnal Kedokteran Diponegoro.

Anda mungkin juga menyukai