BLOK 6
DISUSUN OLEH :
KELOMPOK A1
Anjeli Primeisa (04011181823004)
Fithinia Mafti (04011181823031)
Jirana (04011181823061)
Muhammad Farhan Aziz (04011181823046)
Ayu Pemata Dewi (04011381823229)
Muhammad Fitra Romadhon (04011281823175)
Muhammad Hafizh Arrafi (04011181823007)
Muhammad Iqbal Kuncoro (04011281823178)
Muhammad Rayhansyah Irawan (04011281823157)
Putri Mahirah A (04011381823223)
Tutor :
Moderator:
Sekertaris:
Anjeli Primeisa (04011181823004)
Muhammad Fitra Romadhon (04011281823175)
Fithinia Mafti (04011181823031)
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
TAHUN 2019
1
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan karunia-
Nya yang menyertai kami sehingga kami dapat menyelesaikan laporan tutorial untuk pleno dari
skenario C pada blok 6 ini tentang fisiologi tubuh. Laporan ini bertujuan untuk memenuhi tugas
tutorial yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran
Universitas Sriwijaya.
Tidak lupa kami mengucapkan terima kasih kepada tutor kami yang telah mengarahkan
dan membimbing kami dalam menyelesaikan laporan tutorial ini. Kami juga mengucapkan
terima kasih kepada teman-teman seperjuangan yang juga sudah memberi kontribusi baik
langsung maupun tidak langsung dalam pembuatan laporan serta menjaga keharmonisan saat
menjalani proses tutorial yang lalu. kami mengucapkan pula rasa terimakasih yang paling dalam
kepada orangtua kami yang selalu mendukung segala hal yang kami kerjakan berkenaan dengan
pengembangan diri kami.
Kiranya laporan pleno ini dapat bermanfaat bagi semua yang membacanya. Dalam
penyusunan laporan pleno ini, kami menyadari masih banyak kekurangan dari laporan ini,
mengingat pengetahuan dan pengalaman kami masih sangat terbatas. Oleh karena itu, kritik dan
saran yang membangun sangat kami harapkan. Terimakasih.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR........................................................................................................... ii
DAFTAR ISI.......................................................................................................................... iii
SKENARIO C....................................................................................................................... 1
I. Klarifikasi Istilah....................................................................................................... 1
II. Identifikasi Masalah................................................................................................... 2
III. Analisis Masalah….................................................................................................... 3
IV. Merumuskan Keterbatasan dan Learning Issues .......................................................10
V. Sintesis Masalah …....................................................................................................11
V.1.Fisiologi Cairan tubuh.......................................................................11
V.2.Fisiologi Sistem Pencernaan Pada Bayi….......................................... 21
V.3.Diare dan dehidrasi.............................................................................25
V.4. Susu Formula, ASI dan Alergi susu sapi.................................................... 33
VI. Kerangka Konsep ...................................................................................................... 40
VII. Kesimpulan ............................................................................................................... 41
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................................... 42
iii
SKENARIO C BLOK 6 TAHUN 2019
CAIRAN TUBUH DAN GASTROINTESTINAL
Seorang anak perempuan, DN, berusia 9 bulan dibawa ke UGD sebuah rumah sakit
dalam keadaan lemas. Setelah dilakukan tindakan resusitasi, dokter melakukan anamnesis
terhadap ibu anak tersebut. Dari hasil anamnesis didapatkan informasi bahwa sejak ibu mulai
bekerja, ibu memberikan susu formula tambahan dengan alasan ibu merasa ASI-nya tidak cukup,
sedangkan si anak sulit makan dan berat badannya menurun.
Sejak diberikan susu formula tambhan, buang air besar(BAB) sang anak terkadang encer
dan terkadang sulit, dan terdapat kemerahan pada pipi anak, sehingga ibu mengganti merk susu
anaknya 3 hari lalu.
Satu hari sebelum masuk rumah sakit, si anak menjadi sangat rewel dan BAB cair kurang
lebih 10 kali, cairan berwarna kekuningan dan didapatkan serat darah ( cairan yang keluar rerata
80-100 cc setiap defekasi). Setiap diberi susu selalu dimuntahkan (kurang lebih 3 kali
muntah,setiap kali muntah 50 cc). Anak menjadi tampak rewel dan lemas.
Dari hasil pemeriksaan fisik didapatkan ubun ubun cekung, mukosa bibir kering, ruam
pada kedua pipi, turgor kulit kembali lambat, serta didapatkan perianal rash.
Dari hasil pemeriksaan laboratorium didapatkan kesan hipoglikemia, hiponatremia dan
hypokalemia ringan. Dari analisis feses didapatkan dugaan alergi susu sapi.
Dokter kemudian menginformasikan kepada ibu bahwa sang anak mengalami dehidrasi
akibat diare serta kemungkinan mengalami alergi susu sapi.
I. Klasifikasi Istilah
1. Resusitasi : Menghidupkan kembali seseorang yang tampaknya
meninggal (Dorland)
2. Anamnesis : Riwayat penyakit pasien khususnya berdasarkan ingatan
pasien (Dorland)
3. Defekasi : Pembuangan tinja dari rectum (Dorland)
4. Ruam pada kedua pipi : Bintil bintil merah pada kulit ( KBBI)
5. Turgor : Keadaan menjadi turgit(membengkak); Sensasi penuh
yang normal /yang lain (Dorland)
6. Perineal rash : Perianal: sekitar anal; rash: erupsi sementara pada kulit.
Erupsi pada kulit disekitar anal.(Dorland)
1
7. Hipoglikemia : Defisiensi konsentrasi glukosa dalam darah dapat
menyebabkan hipotermia, nyeri kepala, dan gejala-gejala neurologic yang lebih
serius (Dorland)
8. Hiponatremia : Defisiensi Natrium dalam darah. (Dorland)
9. Hipokalemia : Defisiensi Kalium yang abnormal rendah dalam darah,
menyebabkan gangguan neuromuskuler. (Dorland)
10. Dehidrasi : Keadaan yang diakibatkan kehilangan cairan tubuh yang
berlebihan (Dorland)
MOTILITAS
Kata motilitas merujuk kepada kontraksi otot yang mencampur dan
mendorong maju isi saluran cerna. Pada aktivitas tonus yang terus-menerus
terjadi ini terdapat dua tipe dasar motilitas fasik saluran cerna: gerakan
propulsif dan gerakan mencampur. Gerakan propulsif mendorong isi maju
melalui saluran cerna, dengan kecepatan pergerakan bervariasi bergantung
pada fungsi yang dilakukan oleh berbagai bagian saluran cerna. Sebagai
contoh, transit makanan melalui esofagus berlangsung cepat, yang sesuai
karena struktur ini hanya berfungsi sebagai saluran dari mulut ke lambung.
Gerakan mencampur memiliki fungsi ganda. Pertama, dengan mencampur
makanan dengan getah pencernaan, gerakan ini meningkatkan pencernaan
makanan. Kedua, gerakan ini mempermudah penyerapan dengan
memajankan semua bagian isi saluran cerna ke permukaan serap saluran
cerna Pergerakan bahan melalui sebagian besar saluran cerna terjadi berkat
kontraksi otot polos di dinding organ-organ pencernaan
SEKRESI
Sistem pencernaan menghasilkan sekresi endokrin dan eksokrin. Sel
kelenjar eksokrin pencernaan adalah sel epitel khusus yang ditemukan pada
permukaan saluran cerna dan di dalam organ pencernaan tambahan seperti
kelenjar eksokrin pankreas yang menyekresikan getah pencernaan ke dalam
lumen saluran cerna melalui stimulasi hormonal atau neural yang spesifik.
Dalam keadaan normal, sekresi pencernaan direabsorpsi dalam suatu bentuk
atau bentuk lain kembali ke darah setelah ikut serta dalam proses
pencernaan.
DIGESTI
Molekul-molekul besar yang dikonsumsi manusia (karbohidrat, protein, dan
lemak) tidak dapat melewati membran plasma secara utuh untuk diserap dari
lumen saluran cerna ke dalam darah atau limfe. Oleh sebab itu, tujuan
digesti adalah untuk menguraikan struktur kompleks makanan secara
kimiawi menjadi satuan-satuan yang lebih kecil dan dapat diserap melalui
prosesproses.
ABSORPSI
Di usus halus, pencernaan telah tuntas dan terjadi sebagian besar
penyerapan. Melalui proses absorpsi, unit-unit kecil makanan yang dapat
diserap yang dihasilkan oleh pencernaan, bersama dengan air, vitamin, dan
elektrolit, dipindahkan dari lumen saluran cerna ke dalam darah atau limfe.
2. Fisiologi Kalium
Sekitar 98% jumlah kalium dalam tubuh berada di dalam cairan
intrasel. Konsentrasi kalium intrasel sekitar 145 mEq/L dan
konsentrasi kalium ekstrasel 4-5 mEq/L (sekitar 2%). Jumlah
konsentrasi kalium pada orang dewasa berkisar 50-60 per kilogram
berat badan (3000-4000 mEq). Jumlah kalium ini dipengaruhi
oleh umur dan jenis kelamin. Jumlah kalium pada wanita 25%
lebih kecil dibanding pada laki-laki dan jumlah kalium pada
orang dewasa lebih kecil 20% dibandingkan pada anak -anak.
Kalium merupakan kation utama di intra sel. Sekitar 89% kalium
beerada di dalam sel. Jumlah total Kalium dalam tubuh sekitar 50
meq/kg. Kadar Kalium tergantung pada efek mekanisme aldostreon
bila kadar Kalium didaerah meningkat maka akan memacu ginjak
untuk memicu aldosterone. Aldosterone akan memacu ginjal untuk
melngeluarkan kalium dalam jumlah yang banyak sehingga kadar
kalium turun. Kalium dan Natrium sangat penting dalam menjaga
keseimbangan osmotic di dalam dan luar sel
3. Fisiologi Klorida
Klorida merupakan anion utama dalam cairan ekstrasel.
Pemeriksaan konsentrasi klorida dalam plasma berguna sebagai
diagnosis banding padagangguan keseimbangan asam-basa, dan
menghitung anion gap.Jumlah klorida pada orang dewasa normal
sekitar 30 mEq per kilogram berat badan. Sekitar 88% klorida
berada dalam cairan ekstraseluler dan 12% dalam cairan intrasel.
Konsentrasi klorida pada bayi lebih tinggi dibandingkan pada
anak -anak dan dewasa.
Pada reaksi alergi yang diperantarai IgE, saat pertama kali memasuki tubuh,
sel dendritik sebagai salah satu APC yang terdapat di epitel akan memproses
alergen pada lokasi terjadinya kontak. Selanjutnya, alergen yang telah
diproses ini akan ditranspor ke kelenjar limfe dan mempresentasikan Major
Histocompatibility Complex (MHC) kelas II ke sel T helper naif (TH0). Sel
T selanjutnya akan berdiferensiasi menjadi T helper 2 (TH2) dan sel T
helper folikular (TFH) yang berperan dalam produksi sitokin-sitokin,
khususnya IL-4 yang menginduksi diferensiasi lebih lanjut ke arah TH2.
Melalui IL-4, TH2 dan TFH selanjutnya akan menginduksi limfosit B untuk
menukar produksi isotipe antibodi dari IgM menjadi IgE. IgE yang
dihasilkan akan menempel pada reseptor-reseptor IgE berafinitas tinggi
(FϲεRI) pada sel mast, basofil dan eosinofil yang menandai terjadinya proses
sensitisasi. Sel mast, basofil dan eosinofil merupakan sel efektor dari reaksi
hipersensitivitas tipe cepat (immediate hypersensitivity reactions) yang
mengandung granula berisi mediator-mediator reaksi alergi seperti histamin,
heparin dan serotonin. Hiistamin memiliki peranan penting pada fase awal
setelah kontak dengan alergen. Histamin dapat menyebabkan hidung
tersumbat, berair, sesak nafas, dan kulit gatal. Pada traktus gastointestinal,
histamin menaikkan sekresi mukosa lambung dan apabila pelepasan
histamin terjadi secara sitemik, aktivitas otot polos usus dapat meningkat
dan menyebabkan diare dan hipermotilitas.
Pada beberapa individu dengan ASS, tidak ditemukan kenaikan kadar IgE
yang spesifik terhadap protein susu sapi di sirkulasi darah dan tidak
menunjukkan hasil yang positif pula pada uji tusuk kulit. Karena tidak
melibatkan kenaikan kadar IgE seperti pada hipersensitivitas tipe I, reaksi
ini disebut alergi yang tidak diperantarai IgE (non IgE-mediated allergy)
atau sering juga disebut sebagai delayed-type allergic reaction. Mekanisme
alergi ini belum diketahui secara pasti, namun berdasarkan beberapa studi
diperkirakan ada dua mekanisme yang dapat mendasari respon alergi ini.
Yang pertama adalah reaksi yang diperantarai TH1, dimana kompleks imun
yang terbentuk akan mengaktivasi komplemenkomplemen. Mekanisme
kedua adalah reaksi yang melibatkan interaksi sel limfosit T, sel mast atau
neuron, dimana interaksi ini menimbulkan perubahan fungsional pada
motilitas usus dan aktivitas otot polos saluran cerna. Sel limfosit T
V. SINTESIS
1. FISIOLOGI CAIRAN TUBUH
Kata motilitas merujuk kepada kontraksi otot yang mencampur dan mendorong maju isi
saluran cerna. Meskipun otot polos di dinding saluran cerna merupakan otot polos fasik yang
tnemperlihatkan lonjakan kontraksi yang terinduksi oleh potensial aksi, otot ini juga
mempertahankan kontraksi berkadar rendah dan konstan yang dikenal sebagai tonus. Tonus
penting untuk mempertahankan tekanan tetap pada isi saluran cerna serta untuk mencegah
dindingnya teregang permanen setelah mengalami distensi. Pada aktivitas tonus yang terus-
menerus terjadi ini terdapat dua tipe dasar motilitas fasik saluran cerna: gerakan propulsif dan
gerakan mencampur.
Gerakan propulsif mendorong isi maju melalui saluran cerna, dengan kecepatan
pergerakan bervariasi bergantung pada fungsi yang dilakukan oleh berbagai bagian saluran
cerna. Sebagai contoh, transit makanan melalui esofagus berlangsung cepat, yang sesuai karena
struktur ini hanya berfungsi sebagai saluran dari mulut ke lambung. Sebagai perhandingan, di
usus halus—tempat utama pencernaan dan penyerapan—isi bergerak maju dengan lambat,
menyediakan waktu untuk penguraian dan penyerapan makanan.
Gerakan mencampur memiliki fungsi ganda. Pertama, dengan mencampur makanan
dengan getah pencernaan, gerakan ini meningkatkan pencernaan makanan. Kedua, gerakan ini
mempermudah penyerapan dengan memajankan semua bagian isi saluran cerna ke permukaan
serap saluran cerna Pergerakan bahan melalui sebagian besar saluran cerna terjadi berkat
kontraksi otot polos di dinding organ-organ pencernaan. Pengecualiannya adalah di ujung-ujung
saluran: mulut melalui bagian pangkal esofagus di awal saluran dan sfingter anus eksternus di
akhir saluran. Pada daerah ini, motilitas lebih melibatkan otot rangka daripada aktivitas otot
polos. Karena itu, tindakan mengunyah, menelan, dan defekasi memiliki komponen volunter
karena otot rangka berada di bawah kontrol sadar. Sebaliknya, motilitas di seluruh saluran
lainnya dilaksanakan oleh otot polos yang dikontrol oleh mekanisme involunter kompleks.
2. SEKRESI
Sistem pencernaan menghasilkan sekresi endokrin dan eksokrin. Sel kelenjar eksokrin
pencernaan adalah sel epitel khusus yang ditemukan pada permukaan saluran cerna dan di dalam
organ pencernaan tambahan seperti kelenjar eksokrin pankreas yang menyekresikan getah
pencernaan ke dalam lumen saluran cerna melalui stimulasi hormonal atau neural yang spesifik.
Setiap sekresi pencernaan terdiri dari air, elektrolit, dan konstituen organik spesifik yang
penting daIam proses pencernaan, misalnva enzim, garam empedu, atau mukus. Sel-sel
sekretorik mengekstraksi dari plasma sejumlah besar air dan bahan mentah yang diperlukan
untuk menghasilkan sekresi tertentu mereka. Sekresi semua getah pencernaan memerlukan
energi, baik untuk transpor aktif sebagian bahan mentah ke dalam sel (yang lain berdifusi secara
pasif) maupun untuk sintesis produk sekretorik.
Dalam keadaan normal, sekresi pencernaan direabsorpsi dalam suatu bentuk atau bentuk
lain kembali ke darah setelah ikut serta dalam proses pencernaan. Kegagalan reabsorpsi ini
(misalnya karena muntah atau diare) menyebabkan hilangnya cairan yang "dipinjam" dari plasma
ini. Sistem pencernaan dianggap merupakan organ endokrin yang terbesar di tubuh. Sementara
jaringan endokrin perifer biasanya disusun menjadi kelenjar-kelenjar yang berbeda, jaringan
endokrin saluran cerna disusun sebagai sel tunggal individual yang tersebar di sepanjang saluran
pencernaan. Sel epitel khusus ini menghasilkan satu kisaran protein sinyal, yang diklasifikasikan
sebagai hormon GI atau peptida GI, yang memasuki darah dan dihaiva ke target di dalam saluran
cerna dan di luar saluran cerna. Terlepas dari klasifikasinya, berbagai sekresi endokrin ini
mengatur fungsi digestif.
3. DIGESTI
Manusia mengonsumsi tiga kategori utama bahan makanan kaya-energi: karbohidrat, protein,
dan lemak . Molekul-molekul besar ini tidak dapat melewati membran plasma secara utuh untuk
diserap dari lumen saluran cerna ke dalam darah atau limfe. Oleh sebab itu, tujuan digesti adalah
untuk menguraikan struktur kompleks makanan secara kimiawi menjadi satuan-satuan yang lebih
kecil dan dapat diserap melalui prosesproses.
Sebagian besar lemak dalam makanan berada dalam bentuk trigliserida, yaitu lemak netral
yang terdiri dari satu Semua nutrien, molekul gliserol dengan tiga asam lemak yang melekat (tri
artinya"tiga"). Pencernaan enzimatik lemak netral memisahkan dua molekul asam lemak dari
trigliserida sehingga meninggakan satu monogliserida, yaitu satu molekul gliserol dengan satu
molekul asam lemak melekat padanya (mono artinya "satu"). Karena itu, produk akhir
pencernaan lemak adalah monogliserida dan asam lemak bebas, yaitu satuan lemak yang dapat
diserap.
4. ABSORPSI
Di usus halus, pencernaan telah tuntas dan terjadi sebagian besar penyerapan. Melalui proses
absorpsi, unit-unit kecil makanan yang dapat diserap yang dihasilkan oleh pencernaan, bersama
dengan air, vitatnin, dan elektrolit, dipindahkan dari lumen saluran cerna ke dalam darali atau
limfe.
5. DEFEKASI
Bila feses sampai ke rectum akan menimbulkan distensi dinding rectum. Distensi akan
menstimulasi reflek defekasi dengan tahapan sebagai berikut:
Sinyal aferen melewati pleksus myentrikus menimbulkan gelombang mass movement di
kolon descendens, sigmoid, dan rectum yang mendorong feses ke anus. Sinyal juga akan
menstimulasi anus untuk berelaksasi
Distensi rectum juga memacu sinyal parasimpatis pada kolon dan rectum untuk
meningkatkan kontraksi dinding usus sehingga memperkuat proses defekasi
Sinyal afferent sampai di medulla spinalis menimbulkan gerak reflex berupa inspirasi
(Tarik nafas) dalam, glottis menutup, kontraksi otot diafragma dan abdomen (reflex
mengejan)
Defekasi baru terjadi bila muskulus sfingter anus eksternus berelaksasi. Jika defekasi tidak
memungkinkan, maka muskulus tersebut akan selalu berkontraksi secara sadar sehingga feses
tidak keluar (gerak otot menahan BAB). Bila otot sfingter berkontraksi lama, maka reflex
defekasi akan hilang setelah beberapa menit dan baru akan timbul lagi bila ada tambahan feses
ke rectum. Ko ntraksi menahan defekasi tidak terjadi pada bayi, penderita gangguan mental dan
gangguan saraf spinal.
Susunan feses
Air (75%)
Substansi padat (25%): bakteri mati (7,5%), lemak (2,5-5%), anorganik (2,5-5%), protein
(0,5%), sisa nutrisi, empedu, sel epitel (7,5%)
Pencernaan Susu pada Sistem Digestif Bayi
Sebagian besar lemak di makanan berbentuk trigliserida, suatu lemak netral yang terdiri
dari 1 inti gliserol ditambah 3 unsur asam lemak. Bentuk lemak yang lain adalah fosfolipid,
kolestrol, dan ester kolestrol. Unsur lemak yang dicerna hanyalah trigliserida menjadi gliserol
dan asam lemak, sedangkan 3 bentuk lainnya tidak lagi dicerna tapi langsung di reabsorbsi.
Proses digesti lemak pertama kali digaster dengan lipase gaster. Akan tetapi, digesti tersebut
tidak bermakna. Tempat utama digesti lemak adalah di intestinal oleh lipase intestinal. Proses
digesti lemak dibantu oleh emulsifikasi asam empedu. Asam empedu memiliki sifat deterjen
yang mampu mememcah butir-butir lemak menjadi halus. Asam empedu akan menurunkan
tegangan permukaan lemak sehingga mudah ditembus oleh enzim lipase untuk proses hidrolisis.
Lemak trigliserida akan pecah menjadi bentuk monogliserida berupa asam lemak dan gliserol.
Ester-kolestrol akan pecah oleh kolestrol-estrase menjadi kolestrol bebas sebelum diabsorbsi.
Selain berperan dalam emulsifikasi, garam empedu juga akan membentuk diri menjadi misel
(butiran-butiran) sebagai media transpot monogliserida dan asam lemak bebas ke brush border
sel epitel intestinal untuk diabsorbsi.
Berbeda dengan zat lain, lemak diabsorbsi di usus halus dan masuk ke lacteal sentral
menuju pembuluh limfe setelah itu dibawa ke duktus torakikus dan akhirnya masuk ke vena
porta. Absorbsi dilakukan melaui mekanisme transport aktif dalam bentuk monogliserida, asam
lemak bebas, dan kolestrol.
Monogliserida dan asam lemak dibawa misel ke brush border dan masuk ke epitel usus. Di epitel
usus monogliserida bergabung kembali dengan asam lemak menjadi trigliserida. Trigliserida
bersama-sama fosfolipid, kolestrol, dan protein membentuk diri menjadi kilimikron dan masuk
ke dalam pembuluh limfe.
1. Definisi Diare
Secara klinis diare didefinisikan sebagai bertambahnya defekasi (buang air besar) lebih
dari biasanya/lebih dari tiga kali sehari, disertai dengan perubahan konsisten tinja (menjadi cair)
dengan atau tanpa darah. Secara klinik dibedakan tiga macam sindroma diare yaitu diare cair
akut, disentri, dan diare persisten(WHO 1999).
Diare adalah suatu penyakit dengan tanda-tanda adanya perubahan bentuk dan
konsistensi dari tinja, yang melembek sampai mencair dan bertambahnya frekuensi buang air
besar biasanya tiga kali atau lebih dalam sehari(Depkes RI 2005)
2. Etiologi
Sebagian besar penyebab infeksi diare adalah Rotavirus, disamping virus lainnya seperti
Norwalk Like Virus, Enteric Adenovirus, Astovirus, dan Calicivirus. Beberapa patogen bakteri
seperti Salmonella, Shigella, Yersinia, Campylobacter, dan beberapa strain khusus E.Coli.
Beberapa parasit yang sering menyebabkan diare meliputi Giardia, Crytosporidium, dan
Entamoeba Histolytica. ( Latief, 2002)
Etiologi diare dapat dibagi dalam beberapa faktor, yaitu :
a. Faktor infeksi
Infeksi pada saluran pencernaan merupakan penyebab utama diare pada anak.Jenis jenis
infeksi antara lain :
1) Infeksi bakteri: Shigella, Salmonela, E. Coli, golongan vibrio, bacillus cereus,
Clostridium perfringens, Staphyiccoccus aureus, Campylobacter dan aeromonas
4) Infeksi parental, yaitu infeksi dibagian tubuh lain di luar alat pencernaan, seperti otitis
media akut, Tonsilopharingitis dan sebagainya. Keadaan ini terutama pada bayi dan anak di
bawah 2 tahun (Nurhidayah 2007)
a) Malabsorbsi karbohidrat
Pada bayi, kepekaan terhadap lactoglobulis dala susu formula menyebabkan diare.
Gejala berupa diare berat, tinja berbau sangat asam, sakit di daerah perut. Jika sering
terkena diare ini, maka pertumbuhan anak akan terganggu.
b) Malabsorsi lemak
Dalam lemak terdapat lemak yang disebut triglyserida, dengan bantuan kelenjar
lipase, mengubah lemak menjadi micelles siap diabsorbsi usus. Jika tidak ada lipase
dan terjadi kerusakan mukosa usus, diare dapat muncul karena lemak tidak terserap
dengan baik. Gejalanya adalah tinja mengandung lemak.
3) Keracunan yang dapat disebabkan; keracunan bahan kimiawi, keracunan oleh bahan yang
dikandung dan diproduksi: jasat renik, ikan, buah-buahan dan sayur-sayuran.
5) Faktor psikologis.
Rasa takut, cemas, dan tegang, jika terjadi pada anak dapat menyebabkaan diare kronis.
(Nurhidayah 2007)
3. Patofisiologi
a. Gangguan osmotik
Makanan atau zat yang tidak dapat diserap menyebabkan tekanan osmotik dalam rongga
usus meninggi sehingga terjadi pergesesaran air dan elektrolit kedalam rongga usus, hal ini
menyebabkan isi rongga usus berlebihan sehingga merangsang usus mengeluarkan( diare).
b. Gangguan sekresi
Akibat rangsangan tertentu ( misal oleh toksin) pada dinding usus akan terjadi peningkatan
sekresi air dan elektrolit ke dalam rongga usus dan selanjutnya diare timbul karena terdapat
peningkatan isi rongga usus.( Latief 2002).
c. Gangguan motalitas usus
Hipokalemia
Disebut hipokalemia bila kadar kalium dalam plasma kurang dari 3.5 meq/L. Hipokalemia
merupakan kejadian yang sering ditemukan dalam klinik. Penyebab hipokalemi dapat berupa
asupan kalium yang kurang, pengeluaran kalium yang berlebihan melalui saluran cerna atau
ginjal atau keringat, serta kalium yang masuk ke dalam sel. Pengeluaran kalium yang berlebihan
dari saluran cerna antara lain muntah, selang naso-gastrik, diare, atau pemakaian pencahar. 1
Pada keadaan muntah atau pemakaian selang naso-gastrik, pengeluaran kalium bukan
melalui saluran cerna atas karena kadar kalium dalam cairan gastric hanya sedikit (5-10 meq/L).
Akan tetapi kalium banyak keluar melalui ginjal. Akibat muntah atau selang naso-gastrik, terjadi
alkalosis metabolic sehingga banyak bikarbonat yang difiltrasi di glomerolus yang akan
mengikat kalium di tubulus distal (duktus koligentes) yang juga dibantu dengan adanya
hiperaldosteron sekunder dari hipovalemia akibat muntah. 1
Kesemuanya ini akan meningkatkan ekskresi kalium melalui urin dan terjadi
hipokalemia. Pada saluran cerna bawah, kalium keluar bersama bikarbonat (asidosis metabolik).
Kalium dalam saluran cerna bawah jumlahnya lebih banyak (20-50 meq/L).1
Pada keadaan normal, hipokalemia akan menyebabkan ekskresi kalium melalui ginjal
turun hingga kurang dari 25 meq per hari sedang ekskresi kalium dalam urin lebih dari 40 meq
per hari menandakan adanya pembuangan kalium berlebihan melalui ginjal. Ekskresi kalium
yang rendah melalui ginjal dengan disertai asidosis metabolik merupakan pertanda adanya
pembuangan kalium berlebihan melalui saluran cerna seperti diare akibat infeksi atau
penggunaan pencahar.1
Tambahan netto basa atau kehilangan netto asam menimbulkan alkalosis metabolik.
Namun, jika tidak ada perubahan pada mekanisme ginjal normal untuk mereabsorpsi bikarbonat
atau menyekresi ion hidrogen, alkalosis tidak akan menetap. Pada keadaan penurunan volume
ekstrasel menetap (terutama dengan kehilangan klorida), penurunan kalium tubuh total, sekresi
aldosteron persisten, atau kombinasi gangguan di atas, terjadi peningkatan reabsorpsi bikarbonat
tubulus proksimal dan alkalosis metabolic tetap bertahan. Kebanyakan pasien dengan alkalosis
metabolic mengalami penuruan simpanan kalium tubuh total dan hipokalemia, yang
menyebabkan peningkatan sekresi ion hidrogen melalui tubulus distal, peningkatan reabsorpsi
bikarbonat di sepanjang seluruh tubulus dan menyebabkan asiduria parodoksikal.11
Penyebab utama asidosis metabolik adalah kehilangan bikarbonat (misalnya melalui diare
atau urine), produksi endogen dan retensi asam (misalnya kelainan metabolisme bawaan atau
uremia), dan pemberian asam eksogen (misalnya salisilat atau etilen glikol). Celah anion dapat
membantu membedakan kehilangan bikarbonat dari tambahan netto asam sebagai etiologi
asidosis. Pada asidosis anion yang tidak tentu di atas kisaran celah anion normal (10-14 meq/L)
dianggap sebagai tambahan netto asam. Jika celah anion normal, kehilangan bikarbonat melalui
sistem gastrointesitinal atau ginjal merupakan kemungkinan penyebab.11
Hipoglikemia
Hipoglikemia terjadi pada 2-3% dari anak-anak yang menderita diare Shigellosis. Pada
anak-anak dengan gizi cukup atau baik, hipoglikemia ini jarang terjadi, lebih sering terjadi pada
anak yang sebelumnya sudah menderita KKP (kekurangan kalori protein). Hal ini terjadi karena
penyimpanan atau persediaan glikogen dalam hati terganggu dan adanya gangguan absorpsi
glukosa. Gejala hipoglikemia akan muncul jika kadar glukosa darah menurun sampai 40% pada
bayi dan 50% pada anak-anak.
Gejala hipoglikemia tersebut dapat berupa : lemas, apatis, peka rangsangan, tremor,
berkeringat dingin, pucat, syok, kejang sampai koma (Nelson, 2000).
Hiponatremia
Hiponatremia juga banyak terjadi pada Shigellosis. Hiponatremia muncul karena gangguan
reabsorpsi natrium di usus. Manifestasi klinik dari hiponatremia adalah hipotonia, apati, dan jika
berat dapat menimbulkan kejang (Sastromiharjo, 1985).
Tanda dan gejala
Menurut Widjaja (2002) tanda dan gejala diare adalah sebagai berikut:
1) Bayi atau anak menjadi cengeng, gelisah dan suhu badan tinggi
2) Tinja bayi encer, berlendir atau berdarah
3) Warna tinja kehijauan akibat bercampur dengan cairan empedu
4) Lecet pada anus
5) Gangguan gizi akibat intake (asupan) makanan yang kurang
6) Muntah sebelum dan sesudah diare
7) Hipoglikemia (penurunan kadar gula darah)
8) Dehidrasi (kekurangan cairan).
ASI
1. Pengertian
ASI (Air susu Ibu) adalah makanan terbaik dan alamiah untuk bayi. Air susu Ibu (ASI)
adalah makanan terbaik bayi pada awal usia kehidupan, hal ini tidak hanya karena ASI
mengandung cukup zat gizi tetapi karena ASI mengandung zat imunologik yang melindungi bayi
dari infeksi praktek menyusui di negara berkembang telah berhasil menyelamatkan sekitar 1,5
juta bayi pertahun, atas dasar tersebut WHO merekomendasikan hanya untuk memberikan ASI
sampai bayi berusia 4 sampai 5 bulan ( Depkes RI, 2008 ). Menurut para ahli, Air Susu Ibu (ASI)
adalah sumber nutrisi terpenting yang dibutuhkan oleh setiap bayi idealnya diberikan secara
eksklusif selama 6 bulan dan dilanjutkan makanan pendamping sampai usia 2 tahun (IDAI,
2010).
4. Kandungan ASI
ASI mengandung banyak nutrisi, antar lain albumin, lemak, karbohidrat, vitamin,
mineral, faktor pertumbuhan, hormon, enzim, zat kekebalan, dan sel darah putih, dengan porsi
yang tepat dan seimbang. Komposisi ASI bersifat spesifik pada tiap ibu, berubah dan berbeda
dari waktu ke waktu yang disesuaikan dengan kebutuhan bayi saat itu (Roesli, 2005).
Komposiso ASI dibedakan menjadi 3 macam :
a. Kolostrum
Cairan yang dihasilkan oleh kelenjar payudara setelah melahirkan (2-4 hari) yang cairan
encer dan sering berwarna kuning atau dapat pula jernih yang kaya zat anti-infeksi (10-17
kali lebih banyak dari susu matang) dengan volume 150-300 ml/hari. Kolostrum
mempunyai kandungan yang tinggi protein, vitamin yang terlarut dalam lemak, mineral-
mineral dan imunoglobin. Imunoglobin ini merupakan antibodi dari ibu untuk bayi yang
juga berfungsi sebagai imunitas pasif untuk bayi.
Imunitas pasif akan melindungi bayi dengan berbagai virus dan bakteri yang merugikan.
Kolostrum juga merupakan pembersih usus bayi yang membersihkan mekonium sehingga
mukosa usus bayi yang baru lahir segera bersih dan siap menerima ASI (Depkes
RI,2005).
b. ASI peralihan
ASI yang dihasilkan setelah kolostrum (8-20 hari) dimana kadar lemak, laktosa, dan
vitamin larut air lebih tinggi dan kadar protein, mineral lebih rendah, serta megandung
lebih banyak kalori daripada kolostrum (Depkes RI,2005).
c. ASI matur
ASI yang dihasilkan 21 hari setelah melahirkan dengan volume bervariasi yaitu 300-850
ml/hari tergantung pada besarnya stimulasi saat laktasi 90% adalah air karbohidrat,
protein dan lemak yang diperlukan untuk kebutuhan hidup dan perkembangan bayi. ASI
matur merupakan nutrisi bayi yang terus berubah disesuaikan dengan perkembangan bayi
tapi komposisinya relative konstan.
6. Lemak
Lemak ASI mudah dicerna dan diserap bayi karena mengandung enzim lipase yang
mencerna lemak. Susu formula tidak mengandung enzim, sehingga bayi kesulitan
menyerap lemak susu formula. Lemak utama ASI adalah lemak ikatan panjang (omega-3,
omega-6, DHA, dan asam arakhidonat) suatu asam lemak esensial untuk myelinisasi
saraf yang penting untuk pertumbuhan otak. Lemak ini sedikit pada susu sapi. Kolesterol
ASI tinggi sehingga dapat memenuhi kebutuhan pertumbuhan otak.
7. Karbohidrat
Karbohidrat utama dalam ASI adalah laktose, mempunyai kadar paling tinggi dibanding
susu mamalia lain. Laktose mempunyai manfaat lain yaitu mempertinggi absorbsi
kalsium dan merangsang pertumbuhan Lactobacillus bifidus. Laktobasilus bifidus
berfungsi mengubah laktosa menjadi asam laktat dan asam asetat. Kedua asam ini
menjadikan saluran pencernaan bersifat asam sehingga menghambat pertumbuhan
mikroorganisme seperti bakteri E.coli yang sering menyebabkan diare pada bayi.
Laktobasilus mudah tumbuh cepat dalam usus bayi yang mendapat ASI.
8. Protein
Protein dalam ASI terdiri dari casein (protein yang sulit dicerna) dan whey (protein yang
mudah dicerna). ASI lebih banyak mengandung whey daripada casein sehingga protein
ASI mudah dicerna sedangkan pada susu sapi kebalikannya.
9. Garam dan Mineral
ASI mengandung garam dan mineral lebih rendah dibanding susu sapi, bayi yang
mendapatkan susu sapi yang tidak dimodifikasi dapat menderita tetani karena
hipokalsemia. Ginjal neonatus belum dapat mengkonsentrasikan air kemih dengan baik,
sehingga diperlukan susu dengan kadar garam dan mineral yang rendah.
10. Vitamin, mineral dan zat besi
ASI ASI mengandung vitamin, mineral dan zat besi yang lengkap dan mudah diserap
oleh bayi.
SUSU FORMULA
Susu formula menurut WHO (2004) yaitu susu yang diproduksi oleh industri untuk
keperluan asupan gizi yang diperlukan bayi. Susu formula kebanyakan tersedia dalam bentuk
bubuk. Perlu dipahami susu cair steril sedangkan susu formula tidak steril. Susu formula
biasanya diberikan jika karena alasan tertentu kondisi ibu tidak bisa memenuhi kebutuhan susu si
bayi, misalnya karena bekerja, karena air susu ibu yang keluar sedikit dan lain-lain. Tidak semua
anak atau bayi mau minum susu formula, oleh sebab itu susu tersebut diberikan dengan
memperhatikan aspek dan kondisi bayi atau anak yang bersangkutan. Penggunaan susu formula
ini sebaiknya meminta nasehat kepada petugas kesehatan agar penggunaannya tepat (Nasar, dkk,
2005).
Susu sapi (susu formula) dan ASI mengandung dua macam protein utama, yaitu whey
dan kasein (casein). Whey adalah protein halus, lembut, dan mudah dicerna. Kasein adalah
protein yang bentuknya kasar, bergumpal, dan sukar dicerna oleh usus bayi. Protein susu yang
utama adalah whey, sedangkan susu sapi yang utama adalah casein, ASI mengandung alfa-
laktalbumin, sedangkan susu sapi mengandung lactoglubin dan bovine serum albumin yang
sering menyebabkan alergi. Susu sapi tidak mengandung taurin, taurin adalah protein otak,
susunan saraf juga penting untuk pertumbuhan retina, mengandung kalsium, sedikit mengandung
zat besi, mengandung natrium, kalium, fosfor, dan chlor dan susu formula tidak terdapat sel
darah putih, zat pembuluh bakteri anti bodi, mengandung enzim,hormon dan juga tidak
mengandung faktor pertumbuhan (Afifah, 2007).
Berbagi dampak negatif yang terjadi pada bayi akibat dari pemberian susu formula, antara lain:
1. Pencemaran
Susu buatan sering tercemar bakteri, terutama bila ibu menggunakan botol dan tidak
merebusnya setiap selesai memberi minum. Bakteri tumbuh sangat cepat pada minuman
buatan.
2. Infeksi
Susu formula tidak mengandung antibody untuk melindungi tubuh bayi terhadap infeksi.
Bayi yang diberi susu formula lebih sering sakit diare dan infeksi saluran nafas.
3. Pemborosan
Ibu dari kelompok ekonomi rendah mungkin tidak mampu membeli cukup susu formula
untuk bayinya.
4. Kekurangan vitamin
Susu formula tidak mengandung vitamin yang cukup untuk bayi.
5. Tidak bisa dicerna
Susu formula lebih sulit dicerna karena tidak mengandung enzim lipase untuk mencerna
lemak. Karena susu formula lambat dicerna maka lebih lama untuk mengisi lambung bayi
dari pada ASI, akibatnya bayi tidak cepat lapar. Bayi yang diberi susu formula bisa dapat
menderita sembelit, yaitu tinja menjadi lebih keras dan tebal (Nelson, 2000).
6. Alergi
Bayi yang diberi susu formula terlalu dini kemungkinan menderita lebih banyak masalah
alergi. Pengguna susu formula yang tidak tepat dapat menimbulkan bahaya. Menurut
Nursalam (2005), ada tiga macam bahaya yang ditimbulkan akibat pemberian susu
formula pada bayi:
Infeksi: dapat menyebabkan bayi menderita diare. Bayi dengan susu formula 4 kali lebih
banyak terkena diare dibandingkan dengan yang diberi ASI. Infeksi umumnya
disebabkan karena bakteri.
Oral moniliasis: infeksi yang disebabkan amur pada susu yang juga menimbulkan diare,
pada bayi yang mengkonsumsi susu formula 6 kali lebih banyak terkena moniliasis pada
mulut bayi.
Marasmus gizi: suatu keadaan gizi buruk yang disebabkan kekurangan kalori dan protein.
Pengenceran susu dengan air yang melebihi ketentuan bukan saja menurunkan kadar
kalori tetapi juga kadar protein, sehingga kebutuhan bayi akan kedua zat gizi utama
tersebut tidak terpenuhi.
Di negara berkembang, lebih dari 10 juta bayi meninggal dunia per tahun, 2/3 dari
kematian tersebut terkait dengan masalah gizi yang sebenarnya dapat dihindarkan. Penelitian di
42 negara berkembang menunjukkan bahwa pemberian ASI secara eksklusif selama 6 bulan
merupakan intervensi kesehatan masyarakat yang mempunyai dampak positif terbesar untuk
menurunkan angka kematian balita, yaitu sekitar 13%.
Kurangnya informasi yang ibu dapat dan pengaruh kemajuan teknologi dalam perubahan
sosial budaya juga menyebabkan ibu di perkotaan pada umumnya memberikan susu formula hal
ini disebabkan karena susu formula merupakan alternatif tercepat yang mereka pilih untuk
mengatasi kebutuhan bayi selama mereka bekerja, hal ini menjadi kendala tersendiri bagi
kelangsungan pemberian ASI eksklusif (Depkes RI, 2002).
ASS (Alergi Susu Sapi) merupakan reaksi hipersensitivitas akibat respon imunologis
spesifik yang berulang setiap mengonsumsi protein susu sapi atau makanan yang mengandung
protein susu sapi. Prevalensi ASS di dunia berkisar antara 2% hingga 3% dimana angka
kejadiannya lebih tinggi pada anak-anak dibanding dewasa.
Alergi merupakan suatu reaksi hipersensitivitas akibat induksi oleh imunoglobulin E
(IgE) yang spesifik terhadap alergen tertentu yang berikatan dengan sel mast atau sel basofil.
Ketika antigen terikat, terjadi silang molekul IgE, sel mast manusia dirangsang untuk
berdegranulasi dan melepaskan histamin, leukotrein, kinin, Plateletes Activating Factor (PAF),
dan mediator lain dari hipersensitivitas, dimana histamin merupakan penyebab utama berbagai
macam alergi. Reaksi hipersensitivitas terjadi akibat aktivitas berlebihan oleh antigen atau
gangguan mekanisme yang akan menimbulkan suatu keadaan imunopatologik. Reaksi timbul
akibat paparan terhadap bahan yang pada umumnya tidak berbahaya dan banyak ditemukan
dalam lingkungan. Menurut Gell dan Coombs, reaksi hipersensitivitas dibagi dalam 4 tipe, yaitu
tipe I, II, III, dan IV, dimana hipersensitivitas tipe I merupakan reaksi hipersensitivitas
anafilaktik atau reaksi alergi.
Patofisiologis
Respon imunologis spesifik yang terbentuk pada pasien alergi dipicu oleh adanya
interaksi antara epitop, yaitu suatu sekuens asam amino di permukaan antigen, dengan sistem
imun dalam tubuh yang dapat diperantarai oleh IgE. Namun, reaksi hipersensitivitas yang paling
umum terjadi adalah hipersensitivitas tipe I dimana sistem imun melepaskan mediator-mediator
spesifik setelah antigen berikatan dengan IgE. Antigen yang dapat memicu terjadinya alergi
disebut alergen.
Alergen umumnya adalah komponen dari protein dengan berat molekul 10- 70 kDa.
Alergen harus dapat melakukan penetrasi ke jaringan tubuh host untuk dapat berikatan dengan
antigen presenting cells (APC). Beberapa alergen diketahui memiliki enzim protease untuk
meningkatkan daya penetrasi ke dalam jaringan dan menginduksi terjadinya respon imunologis.
Alergen penting yang terkandung di susu sapi adalah α-laktalbumin, β-laktoglobulin dan αs-
kasein.
Alergi yang diperantarai oleh IgE merupakan jenis reaksi alergi yang paling diketahui
mekanismenya. Pada reaksi alergi yang diperantarai IgE, saat pertama kali memasuki tubuh, sel
dendritik sebagai salah satu APC yang terdapat di epitel akan memproses alergen pada lokasi
terjadinya kontak. Selanjutnya, alergen yang telah diproses ini akan ditranspor ke kelenjar limfe
dan mempresentasikan Major Histocompatibility Complex (MHC) kelas II ke sel T helper naif
(TH0). Sel T selanjutnya akan berdiferensiasi menjadi T helper 2 (TH2) dan sel T helper
folikular (TFH) yang berperan dalam produksi sitokin-sitokin, khususnya IL-4 yang
menginduksi diferensiasi lebih lanjut ke arah TH2. Melalui IL-4, TH2 dan TFH selanjutnya akan
menginduksi limfosit B untuk menukar produksi isotipe antibodi dari IgM menjadi IgE. IgE yang
dihasilkan akan menempel pada reseptor-reseptor IgE berafinitas tinggi (FϲεRI) pada sel mast,
basofil dan eosinofil yang menandai terjadinya proses sensitisasi. Sel mast, basofil dan eosinofil
merupakan sel efektor dari reaksi hipersensitivitas tipe cepat (immediate hypersensitivity
reactions) yang mengandung granula berisi mediator-mediator reaksi alergi seperti histamin,
heparin dan serotonin.
Pada beberapa individu dengan ASS, tidak ditemukan kenaikan kadar IgE yang spesifik
terhadap protein susu sapi di sirkulasi darah dan tidak menunjukkan hasil yang positif pula pada
uji tusuk kulit. Karena tidak melibatkan kenaikan kadar IgE seperti pada hipersensitivitas tipe I,
reaksi ini disebut alergi yang tidak diperantarai IgE (non IgE-mediated allergy) atau sering juga
disebut sebagai delayed-type allergic reaction. Mekanisme alergi ini belum diketahui secara
pasti, namun berdasarkan beberapa studi diperkirakan ada dua mekanisme yang dapat mendasari
respon alergi ini. Yang pertama adalah reaksi yang diperantarai TH1, dimana kompleks imun
yang terbentuk akan mengaktivasi komplemenkomplemen. Mekanisme kedua adalah reaksi yang
melibatkan interaksi sel limfosit T, sel mast atau neuron, dimana interaksi ini menimbulkan
perubahan fungsional pada motilitas usus dan aktivitas otot polos saluran cerna. Sel limfosit T
akan menginduksi sekresi sitokin-sitokin seperti IL-3, IL-4, IL-5 dan IL-13 yang akan
mengaktivasi eosinofil, sel mast, basofil dan makrofag untuk melepaskan mediator-mediator
inflamasi yang pada akhirnya akan menyebabkan inflamasi kronis dan manifestasi ASS.
VII. Kesimpulan
DN perempuan berusia 9 bulan diberikan susu formula tambahan dengan alasan ibu
merasa ASInya tidak cukup. Sejak diberika susu formula tambahan, didapatkan reaksi
alergi dari tubuh DN. Susu formula mengandung alfa laktalbumin dan beta laktoglobulin
dan protein susu lain yang bertindak sbg alergen. Setelah memasuki saluran pencernaan
DN, alergeb tsb berikatan dgn sel dendritik, lalu ditranspor ke kel limfe dan
mempresentasikan MHC II ke sel T Helper. Sel T Helper berdiferensiasi mnjdi TH2 dan
THF. TH2 dan THF akan produksi sitokin (IL-4) yang akan menginduksi limfosit B
untuk merubah Igm ke IgE. IgE akan berafinitas ke sel mast. Sel mast akan teraktivasi
dan mengeluarkan mediator-mediator alergen yang akan menimbulkan reaksi alergi pada
sistem tubuhnya. Pada integumen, DN akan merasa gatal-gatal dan timbul ruam pada
pipinya. Pada gastrointestinal, terjadi malabsorbsi usus yang menyebabkan diare. Saat
diare, terjadi bab dengan frekuensi sering yang akan menyebabkan perianal rash dan
dehidrasi. Dehidrasi akan menyebabkan syok sehingga mengganggu oksigenasi dalam
sirkulasi darah DN dan DN tampak lemas. Dampak lainnya adalah berkurangnya cairan
di kulit sehingga daya elastisitas kulit menurun dan cairan di belakang kelopak mata
berkurang menyebabkan mata DN cekung, serta cairan di mukosa bibir akan berkurang
menyebakan mukosa bibir kering. DN didiagnosis alergi susu sapi dan dehidrasi akibat
diare sehingga DN perlu diberikan tindakan resusitasi cairan intravena dan larutan oralit
jika DN bisa minum.
Daftar Pustaka
Guyton A.C, dan Hall, J.E. 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12. Penterjemah: Ermita
I, Ibrahim I. Singapura: Elsevier
Irfanuddin, 2008. Fungsi tubuh manusia. 1 ed. Palembang: FK Unsri.
Imani, FHN. 2016. Pengaruh Pemberian Formula Hidrolisa Esktensif dan Isolat Protein
Kedelai terhadap Status Perkembangan Anak dengan Alergi Susu Sapi di Kota
Semarang. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro.
Rahmah, JA. 2015. Hubungan Penggunaan Antibiotik Ibu pada Trimester II dan III
Kehamilan dengan Angka Kejadian Alergi pada Bayi 0-3 Bulan. Universitas Diponegoro.
Siregar, SP dan Z Munasir. 2016. Pentingnya Pencegahan Dini dan Tata Laksana Alergi
Susu Sapi. Universitas Syiah Kuala.
Sherwood, L., 2004. Human Physiology : From Cells to System. 5th ed. California:
Silverthorn, D., 2004. Human Physiology : An Integrated approach.. 3rd ed. San Fransisco:
Pearson Education.
Yusuf, Sulaiman. Diare Akibat Alergi Susu Sapi. Divisi Gastroentero-Hepatologi Bagian Ilmu
Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Universitas Syiah Kuala/RSU Dr. Zainoel
Abidin, Banda Aceh