Anda di halaman 1dari 54

LAPORAN TUTORIAL

SKENARIO A BLOK 16

Tutor : dr. Dwi Handayani, M.Kes


Disusun oleh: Kelompok B7
Kelas Beta 2016
Muhammad Iqbal Fadhilah (02011181621007)
Sisi Melansi (04011181621220)
Nendy Oktari (04011181621223)
Elsafani Faddiasya (04011281621076)
Siti Salimah Hanifah Novizar (04011281621086)
Ahmad Ghozian Adani (04011281621087)
Jason Adi Nugraha (04011281621093)
Debby Ariansyah (04011281621097)
Regita Salsabila (04011281621104)
Challis Malika Ravantara (04011281621126)

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
TAHUN AJARAN 2018/2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala
rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan tutorial yang
berjudul “Laporan Tutorial Skenario A Blok 16” sebagai tugas kompetensi
kelompok.
Kami menyadari bahwa laporan tutorial ini jauh dari sempurna. Oleh
karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna
perbaikan di masa mendatang.
Dalam penyelesaian laporan tutorial ini, kami banyak mendapat bantuan,
bimbingan dan saran. Pada kesempatan ini, kami ingin menyampaikan syukur,
hormat, dan terima kasih kepada :
1. Tuhan yang Maha Esa, yang telah merahmati kami dengan kelancaran
diskusi tutorial,
2. dr. Dwi Handayani, M.Kes selaku tutor kelompok B7
3. Teman-teman sejawat FK Unsri, terutama kelas PSPD Beta 2016
Semoga Tuhan memberikan balasan pahala atas segala amal yang
diberikan kepada semua orang yang telah mendukung kami dan semoga laporan
tutorial ini bermanfaat bagi kita dan perkembangan ilmu pengetahuan. Semoga
kita selalu dalam lindungan Tuhan.

Palembang, 1 Agustus 2018

Kelompok B7

ii
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ................................................................................................... ii


Daftar Isi ............................................................................................................iii
Kegiatan Diskusi ................................................................................................ 1
Skenario .............................................................................................................. 5
I. Klarifikasi Istilah ..................................................................................... 6
II. Identifikasi Masalah ................................................................................ 7
III. Analisis Masalah ..................................................................................... 7
IV. Keterbatasan Ilmu Pengetahuan ............................................................ 16
V. Sintesis .................................................................................................. 17
VI. Kerangka Konsep .................................................................................. 50
VII. Kesimpulan............................................................................................ 50
Daftar Pustaka ................................................................................................... 51

iii
KEGIATAN DISKUSI

Tutor : dr. Dwi Handayani, M.Kes


Moderator : Regita Salsabila
Sekretaris 1 : Elsafani Faddiasya & Sisi Melansi
Sekretaris 2 : Challis Malika Ravantara
Pelaksanaan : 30 Juli 2018 dan 1 Agustus 2018
10.20 – 12.00 WIB

Peraturan selama tutorial :


 Semua peserta wajib aktif dalam kegiatan diskusi
 Mengangkat tangan sebelum menyampaikan pendapat.
 Menjawab dan menyampaikan pendapat apabila telah diizinkan
oleh moderator.
 Tidak langsung menyanggah pendapat orang lain.
 Tidak diperbolehkan mengoperasikan hp setelah tahap klarifikasi
istilah.
 Meminta izin terlebih dahulu dari moderator jika hendak keluar

4
SKENARIO A BLOK 16 TAHUN 2018

Seorang mahasiswi usia 20 tahun datang ke IGD dengan keluhan badan


bertambah bengkak sejak 2 minggu sebelum masuk rumah sakit. Sebelumnya
pasien mengalami demam tidak terlalu tinggi, kadang-kadang dijumpai mual dan
muntah. BAB normal, BAK warna keruh sedikit sedikit, terasa panas. Kadang-
kadang berwarna merah. Riwayat bengkak sebelumnya tidak ada.

Pemeriksaan Fisik:
Tampak sakit sedang; sens compos
TD: 150/100 mmHg; N: 74x/menit; T: 36,6oC;
Kepala: edema palpebra (+)/(+);
Abdomen: cembung, lemas, turgor baik, hepar/lien tak teraba, shifting dullnes (+);
Ektremitas edema tungkai (+)/(+)

Pemeriksaan Laboratorium:
Hb 12,3 g/dL, Leukosit 9.000 mm3, ureum 128 mg/dL, Na 144 mEq/L, Kalium
4,2 mEq/L, Cholesterol Total 469 mg/dl, LDL 230 mg/dl, Trigliserida 657 mg/dl.
Urin rutin keruh, protein urin ++.
Eritrosit urin 100-200/LPB. Leukosit urin 5-8/ LPB

5
I. KLARIFIKASI ISTILAH

No. Istilah Klarifikasi


1. Mual Kecenderungan untuk muntah atau sebagai
perasaan di tenggorokan atau daerah epigastrium
yang memperingatkan seseorang bahwa muntah
akan terjadi
2. Muntah Sebagai ejeksi atau pengeluaran isi lambung
melalui mulut, seringkali membutuhkan
dorongan yang kuat
3. Edema palpebral Edema = kondisi bengkak pada jaringan lunak,
palpebral=pada palpebral dari kelopak mata
4. Turgor Tingkat kelenturan kulit untuk menentukan
apakah sesorang kekurangan cairan atau tidak
5. Shifting dullness Pemeriksaan yang digunakan untuk
mengkonfirmasi asites yang dilakukan dengan
perkusi bergeser
6. Urin rutin (tes urin rutin) = untuk mengidentifikasi urin
secara makroskopis, mikroskopis, sedimen,
maupun kimiawi
7. Edema tungkai Bengkak pada anggota gerak bagian bawah
8. Badan bengkak Pembengkakan pada seluruh tubuh, baik di
tangan, kaki, wajah, maupun bagian tubuh
lainnya akibat retensi air
9. Ureum Produk dari pemecahan protein dalam tubuh
yang disistensis di hati dan 95% dibuang oleh
ginjal dan 5% dibuang dalam feses
10. Kreatinin Hasil akhir metabolisme fosfokreatin yang
digunakan sebagai indicator diagnostic fungsi
ginjal dan massa otot

6
II. IDENTIFIKASI MASALAH
No Masalah Concern
1. Seorang mahasiswi usia 20 tahun datang ke IGD vvvv
dengan keluhan badan bertambah bengkak sejak 2
minggu sebelum masuk rumah sakit.
2. Sebelumnya pasien mengalami demam tidak terlalu vvv
tinggi, kadang-kadang dijumpai mual dan muntah.
BAB normal, BAK warna keruh sedikit sedikit, terasa
panas. Kadang-kadang berwarna merah.
3. Riwayat bengkak sebelumnya tidak ada. v
4. Pemeriksaan fisik: vv
Tampak sakit sedang; sens compos
TD: 150/100 mmHg; N: 74x/menit; T: 36,6oC;
Kepala: edema palpebra (+)/(+);
Abdomen: cembung, lemas, turgor baik, hepar/lien tak
teraba, shifting dullnes (+);
Ektremitas edema tungkai (+)/(+)

5. Pemeriksaan laboratorium: Vv
Hb 12,3 g/dL, Leukosit 9.000 mm3, ureum 128 mg/dL,
Na 144 mEq/L, Kalium 4,2 mEq/L, Cholesterol Total
469 mg/dl, LDL 230 mg/dl, Trigliserida 657 mg/dl.
Urin rutin keruh, protein urin ++.
Eritrosit urin 100-200/LPB. Leukosit urin 5-8/ LPB

III. ANALISIS MASALAH


1. Seorang mahasiswi usia 20 tahun datang ke IGD dengan keluhan
badan bertambah bengkak sejak 2 minggu sebelum masuk rumah
sakit.
a. Apa hubungan usia, jenis kelamin, pekerjaan dengan keluhan?
Jawab : Berdasarkan data epidemiologi, glomerulonefritis lebih
rentan terjadi pada usia 5-15 tahun , dan menurut jenis kelaminnya

7
rasio pada pria dibanding wanita adalah 2:1, kaitannya dengan
pekerjaan sendiri biasanya terjadi pada kelompok sosio-ekonomi
rendah, hal ini juga berkaitan dengan higiene yang kurang baik.

b. Apa penyebab bengkak yang bertambah sejak 2 minggu yang lalu


semenjak masuk rumah sakit?
Jawab : Peningkatan aldosteron dapat juga berperan pada retensi
air dan natrium. Penurunan aliran darah ginjal berdampak pada
Laju Filtrasi Ginjal (LFG) yang juga menurun. Hal ini berakibat
terjadinya oligouria dan terjadi retensi air dan garam akibat
kerusakan ginjal yang akan menyebabkan terjadinya edema.

c. Bagaimana tatalaksana awal pada kasus?


Jawab : Tatalaksana awal ialah secara suportif dengan melakukan
tirah baring, diet protein normal, diet rendah garam, pemberian
diuretik, serta pemberian antihipertensi bila disertai dengan
hipertensi.

2. Sebelumnya pasien mengalami demam tidak terlalu tinggi,


kadang-kadang dijumpai mual dan muntah. BAB normal, BAK
warna keruh sedikit sedikit, terasa panas. Kadang-kadang
berwarna merah.
a. Apa penyebab demam yang dialami pasien dalam kasus?
Jawab : Demam pada kasus kemungkinan disebabkan oleh infeksi
yang terjadi pada glomerulus akibat respon imun berupa reaksi
antigen antibodi yang dipicu oleh inflamasi dan proliferasi jaringan
glomerular, sehingga mengakibatkan kerusakan pada membran
basal, mesangium, atau endotel kapiler.

b. Bagaimana mekanisme demam berdasarkan kasus?


Jawab :

8
c. Apa penyebab mual dan muntah yang dialami pasien dalam kasus?
Jawab : Mual dan muntah yang dialami oleh pasien berkaitan
dengan adanya kelebihan volume cairan di ruang interstisial
sehingga menyebabkan tekanan abdomen akan meningkat dan
mendesak rongga lambung sehingga timbullah respon mual dan
muntah.

d. Bagaimana mekanisme mual dan muntah berdasarkan kasus?


Jawab : Kerusakan pada glomerulus  protein dalam darah tidak
tersaring  dikeluarkan melalui urin  hypoalbuminemia 
tekanan onkotik dalam plasma turun  cairan dalam plasma
tertarik ke ruang interstitial dan ke jaringan lain  edema pada
usus  reflex mual dan muntah.

e. Apa penyebab BAK warna keruh sedikit sedikit, terasa panas.


Kadang-kadang berwarna merah yang dialami pasien dalam
kasus?

9
Jawab : Kompleks imun atau anti Glomerular Basement Membrane
(GBM) antibodi yang mengendap/berlokasi pada glomeruli akan
mengaktivasi komplemen jalur klasik atau alternatif dari sistem
koagulasi dan mengakibatkan peradangan glomeruli. Sebagai
respon terhadap lesi yang terjadi, timbul proliferasi sel-sel endotel
yang diikuti sel-sel mesangium dan selanjutnya sel-sel epitel.
Semakin meningkatnya kebocoran kapiler gromelurus
menyebabkan protein dan eritrosit dapat keluar ke dalam urin
sehingga terjadi proteinuria dan hematuria.menyebabkan terjadinya
hematuria.

f. Bagaimana mekanisme BAK warna keruh sedikit sedikit, terasa


panas. Kadang-kadang berwarna merah berdasarkan kasus?
Jawab : Infeksi dari bakteri  tubuh memproduksi antibody 
terbentuk kompleks imun Ag-Ab  komplek imun akan
terdeposisi di glomerulus  kerusakan pada endotel dan
membrane basalis glomerulus  fungsi penyaringan terganggu 
eritrosit dan protein tidak tersaring  eritrosit dan protein keluar
melalui urin.

g. Bagaimana keterkaitan antargejala dalam kasus?


Jawab : Demam yang tidak terlalu tinggi, kadang-kadang dijumpai
mual dan muntah, BAK warna keruh sedikit sedikit, terasa panas
dan kadang-kadang berwarna merah merupakan manifestasi klinis
dari glomerulonephritis akut (GNA).

3. Riwayat bengkak sebelumnya tidak ada.


a. Apa makna klinis dari pernyataan “Riwayat bengkak sebelumnya
tidak ada”?
Jawab : Edema belum terjadi yang kemungkinan disebabkan belum
signifikannya perubahan pada membran dasar glomerular sehingga

10
ginjal masih dapat memfiltrasi protein, terutama albumin yang
menjadi protein kontrol tekanan onkotik vaskular.

b. Bagaimana mekanisme bengkak pada kasus?


Jawab : Perubahan sel pada membran dasar glomerular 
membran menjadi hiperpermeabel  banyak protein yang tidak
disaring dan masuk ke urin  terjadi hipoalbuminemia  tekanan
onkotik menurun  tekanan dalam jaringan seluruh tubuh menjadi
lebih tinggi dari kapiler  cairan berpindah ke berbagai jaringan
tubuh  tubuh mengalami bengkak (edema anasarka).

4. Pemeriksaan fisik:
Tampak sakit sedang; sens compos
TD: 150/100 mmHg; N: 74x/menit; T: 36,6oC;
Kepala: edema palpebra (+)/(+);
Abdomen: cembung, lemas, turgor baik, hepar/lien tak teraba,
shifting dullnes (+);
Ektremitas edema tungkai (+)/(+).

a. Apa interpretasi dari hasil pemeriksaan fisik di atas?


Jawab :

Hasil Pemeriksaan Nilai Normal Interpretasi


Sakit sedang, sens Tampak sehat, compos Pasien sadar namun tidak
compos mentis mentis dalam keadaan sehat
TD: 150/100 mmHg 120/80 mmHg Meningkat
Nadi 74x/menit 60-100x/menit Normal
RR 24x/menit 12-20 bpm Meningkat
Temperatur 36.6ᵒC 36,5-37,5oC Normal
Kepala: Edema Palpebral Tidak terdapat Edema Tidak Normal (Ada
(+)(+) pada palpebra penumpukan cairan di
jaringan palpebral)

11
Abdomen: cembung, Cembung, lemas, Tidak Normal (Ada asites
lemas, turgor baik, turgor baik, hepar/lien pada abdomen)
hepar/lien tak teraba tidak teraba, tidak
shifting dullness (+) terdapat shifting
dullness
Ekstremitas Edema Tidak terdapat edema Tidak Normal (Ada
tungkai (+)/(+) pada tungkai penumpukan cairan di
jaringan tungkai)

b. Bagaimana mekanisme abnormal dari hasil pemeriksaan fisik di


atas?
Jawab :
a. Hipertensi
Kerusakan yang terjadi di glomerolus menyebabkan
menurunnya laju filtrasi ginjal. Akibatnya ginjal akan
mengkompensasi dengan mengaktifkan system Renin
Angiotensin Aldosteron (RAAS) yang kana menyebabkan
adanya retensi air dan natrium yang akan meningkatkan
tekanan darah sehingga terjadi hipertensi
b. Edema Tungkai dan Edema Palpebral
Karena ada kerusakan pada ginjal yang menyebabkan retensi
natrium dan air, maka tekanan hidrostatik intravascular
meningkat, karena ada perbedaan gradient tekanan
menyebabkan air pindah ke bagian interstitium yang banyak
terdapat pada rongga tubuh atau jaringan ikat longgar
contohnya pada mata dan tungkai.
Jika terjadi hipoproteinemia, yang disebabkan adanya
proteinuria yang signifikan (lebih dari 3,5 g/hari), konsentrasi
protein dalam darah akan berkurang. Berkurangnya konsentrasi
protein dalam darah menyebabkan turunnya tekanan osmotic
sehingga cairan merembes ke luar pembuluh darah dan
menumpuk pada jaringan. Bagian tubuh pertama yang

12
membengkak biasanya adalah wajah, terutama di bagian
palpebral, kemudian edema makin parah dan terjadi di tungkai.
Pada tahap yang lebih lanjut, perubahan diurnal ini akan hilang
dan pasien akan merasakan bengkak di seluruh tubuh
sepanjang hari, cairan menumpuk di rongga abdomen menjadi
asites (Hasil (+) pada Shifting Dullness).

c. Bagaimana gambaran dari hasil pemeriksaan fisik di atas?


Jawab :

No. Hasil Pemeriksaan Fisik Gambar

1. Kepala: edema palpebra


(+)/(+)

Sumber : Slideshare/sindromenefrotik

13
2. Abdomen: cembung

Sumber :
slideshare/pemeriksaanfisikperutcembung

3. Ektremitas edema tungkai


(+)/(+)

Sumber :
https://nl.wikipedia.org/wiki/Oedeem

5. Pemeriksaan laboratorium:
Hb 12,3 g/dL, Leukosit 9.000 mm3, ureum 128 mg/dL, Na 144
mEq/L, Kalium 4,2 mEq/L, Cholesterol Total 469 mg/dl, LDL 230
mg/dl, Trigliserida 657 mg/dl. Urin rutin keruh, protein urin ++.
Eritrosit urin 100-200/LPB. Leukosit urin 5-8/ LPB.

14
a. Apa interpretasi dari hasil pemeriksaan laboratorium di atas?
Jawab :

Hasil Pemeriksaan Nilai Normal Interpretasi


Hb: 12,3 g/dl Wanita: 12-16 Normal
g/dl
Leukocytes: 9000/mm3 3200- Normal
10000/mm3
Ureum 128 mg/dl 0,6 – 1,3 mg/dL Meningkat
Kreatinin 3,46 mg/dl 0,6 – 1,3 mg/dL Meningkat
Na 144 mEq/L 135-145 mEq/L Normal
Kalium 4,2 mEq/L 3,5 - 5,0 mEq/L Normal
Cholesterol total 469 150 – 200 mg/dl Meningkat
mg/dl
LDL 30 mg/dL <130mg/dl Normal
Trigliserida 647 mg/dl 35-135 mg/dl Meningkat
Urin rutin keruh Putih jernih – Terdapat gangguan pada sistem
kuning muda – kemih
kuning
Protein urin ++ Negatif Tidak Normal (Ada gangguan
filtrasi pada ginjal)
Eritrosit urin 100- < 3/LPB Meningkat (Kemungkinan pasien
200/LPB mengalami Renal calculi
/Glomerulonephritis/Pyelonephritis
Leukosit urin 5-8/LPB < 5/LPB - Meningkat ( Indikasi infeksi atau
inflamasi sistem Genitourinary)

b. Bagaimana mekanisme abnormal dari hasil pemeriksaan


laboratorium di atas?
Jawab :
1) Hiperlipidemia
Peningkatan sintesis lipid dan lipoprotein terjadi akibat
tekanan onkotik plasma atau viskositas yang menurun. Kadar

15
kolesterol umumnya meningkat sedangkan trigliserid
bervariasi dari normal sampai sedikit meninggi. Penigkatan
kadar kolesterol disebabkan meningkatnya LDL, lipoprotein
utama pengangkut kolesterol.
2) Ureum dan Kreatinin tinggi
Hal ini terjadi karena adanya kerusakan di ginjal berupa
inflamasi yang menyebabkan pengeluaran kreatinin dan ureum
terhambat, sehingga kadarnya dalam darah meningkat.
3) Urin Keruh
Urin keruh pada kasus dikaitkan dengan adanya leukosit dan
eritrosit yang tercampur pada urin
4) Protein urin
Protein pada urin disebabkan karena adanya kerusakan pada
glomerolus sehingga protein lolos dari proses filtrasi dan
keluar bersama urin
5) Eritrosit pada urin
Eritrosit pada urin disebabkan adanya kerusakan pada ginjal
sehingga darah ikut lolos saat penyaringan dan menyebabkan
hematuria.

VI. KETERBATASAN ILMU PENGETAHUAN

What I What I have How will


No. Pokok Bahasan What I Know
don’t know to prove I learn

Anatomi Fisiologi
1. Ginjal dan traktus Anatomi - Fisiologi Jurnal
urinaria

16
Textbook
Tatalaksana,
Patogenesis,
manifestasi
patofisiologi, Internet
klinis, etiologi,
Definisi, faktor algoritma
epidemiologi,
Glomerulonefritis risiko, SKDI, penegakan Pakar
2. anamnesis,
Akut edukasi & diagnosis,
pemeriksaan
pencegahan diagnosis
fisik,
banding,
pemeriksaan
komplikasi
penunjang

VII. SINTESIS
A. Anatomi Fisiologi Ginjal dan Saluran Kemih
Ginjal/ren merupakan organ utama pembentukan dan ekskresi urin. Ginjal
juga memiliki peran penting dalam mengatur hampir seluruh substansi di
cairan ekstraseluler(CES). Cairan ekstraseluler terdiri dari cairan plasma,
interstitial dan transeluler.
Dalam menjalankan fungsi, ginjal memiliki 3 mekanisme :
1. Menyaring cairan yang melewati glomerulus (filtrasi)
2. Menyimpan kembali substansi yg masih berguna bagi tubuh
dalam batas normal (reabsorbsi)
3. Mengeluarkan substansi sisa, substansi berbahaya, dan
substasni yang berlebihan dalam darah (eksresi)
Dapat dikatakan bahwa ginjal kita berfungsi sebagai pencuci darah/plasma
agar tetap bersih.

17
Manusia memiliki sepasang organ saluran kemih yang terletak di rongga
abdomen bagian retroperitoneal atas. Bentuknya menyerupai kacang
dengan sisi cekungnya menghadap ke medial, yang dikenal juga cekungan
ini sebagai hilus renalis, yang didalamnya terdapat apeks pelvis renalis dan
struktur lain yang merawat ginjal yakni pembuluh darah, sistem limfati,
dan sistem saraf. Ginjal memiliki sekitar 2 juta nefron. Nefron merupakan
satuan unit fungsional yang berfungsi membentuk darah. Nefron dapat
dibagi menjadi glomerulus dan tubulus.

18
Gambar Aliran Darah Ginjal
Sumber : Guyton and Hall Textbook of Medical Physiology 12th Ed
Glomerulus terdiri dari kumpulan pembuluh darah yang tumpang tindih/
anastomosis. Nagian luar glomerulus ditutupi oleh kapsula bowman.
Glomerulus berfungsi sebagai filter/ saringan. Cairan plasma/darah
tersaring keluar dari kapiler masuk ke dalam kapsula bowman kemudian
berjalalan ke tubulus proksimal. Selanjutnya cairan yang tersaring masuk
ke loop of henle dan selanjutnya ke tubulus distal. Setelah itu dari tubulus
distal melanjutkan diri ke tubulus kolektivus yang kemudian akhirnya ke
pelvis renalis. (LG)

19
Gambar Bagian-bagian dari Nefron
Sumber : Sherwood Introduction to Human Physiology 8th Ed

3 mekanisme yang terjadi pada setiap nefron, yaitu :


1. Filtrasi glomerulus
2. Reabsorbsi tubular
3. Sekresi tubular
1. Filtrasi Glomerulus
- Dinding kapiler glomerulus bersifat lebih permeabel
dibandingkan dinding kapiler lain
- Bersifat permelabel terhadap air an molekul kecil
- Tetap tidak permeabel terhadap protein plasma
- Dalam keadaan normal protein plasma (albumin) tidak dapat
menembus dinding kapiler glomerulus.

20
- Tekanan darah di kapiler glomerulus lebih tinggi daripada
kapiler lain
- Tekanan tinggi dan sifat dinding yang lebih permeabel ,
memungkinkan cairan lebih banyak keluar (filtrasi) dari dalam
kapiler glomerulus menuju tubulus.
- Proses filtrasi cairan dari kapiler glomerulus menuju kapiler
peritubulus bergantung pada perbedaan tekanan hidrostatik dan
osmotik di sekitar dinding kapiler.

Gambaran histologi dari Glomerulus


Sumber : Sherwood Introduction to Human Physiology 8th Ed

Membran glomerulus jauh lebih permeabel daripada


kapiler di tempat lain.
Lapisan ini ditembus oleh banyak pori besar yang
menyebabkannya 100 kali lebih permeabel terhadap H20 dan
zat terlarut daripada kapiler di bagian lain tubuh. Kapiler
glomerolus tidak hanya memiliki pori yang biasanya ditemukan

21
antara sel endotel yang membentuk dinding kapiler, tetapi sel
endotel sendiri juga dilubangi oleh lubang atau fenestrasi yang
besar. Membran basal adalah lapisan gelatinosa aselular (tidak
mengandung sel) yang terbentuk dari kolagen dan glikoprotein
yang tersisip di antara glomerulus dan kapsula Bowman.
Kolagen menghasilkan kekuatan struktural, dan glikoprotein
menghambat filtrasi protein plasma yang kecil. Protein plasma
yang lebih besar tidak dapat difiltrasi karena tidak dapat
melewati pori kapiler, tetapi pori ini masih dapat melewatkan
albumin, protein plasma terkecil. Namun, karena bermuatan
negatif, glikoprotein menolak albumin dan protein plasma lain,
yang juga bermuatan negatif. Karena itu, protein plasma
hampir tidak terdapat di dalam filtrat, dengan kurang dari 1%
molekul albumin berhasil lolos ke dalam kapsula Bowman.
Protein-protein kecil yang juga ikut terfiltrasi diangkut oleh
tubulus proksimal dengan endositosis, lalu didegradasi menjadi
konstituen asam amino yang akan dikembalikan ke dalam
darah. Karena itu, normalnya tidak terdapat protein dalam
urine. Sebagian penyakit ginjal yang ditandai oleh adanya
albumin berlebihan di dalam urine (albuminuria) disebabkan
oleh gangguan pada muatan negatif di membran basal, yang
menyebabkan membran glomerulus lebih permeabel terhadap
albumin meskipun ukuran pori kapiler tidak berubah. Lapisan
terakhir membran glomerulus adalah lapisan dalam kapsula
Bowman. Lapisan ini terdiri dari podosit, sel mirip gurita yang
mengelilingi kuntum glomerulus. Setiap podosit memiliki
banyak prosesus kaki (podo artinya "kaki"; prosesus adalah
tonjolan atau apendiks) memanjang yang saling menjalin
dengan prosesus kaki podosit sekitar, seperti Anda menjalinkan
jari-jari tangan Anda ketika Anda memegang bola dengan
kedua tangan. Celah sempit di antara prosesus-prosesus kaki
yang berdampingan, yang dikenal sebagai celah filtrasi,

22
membentuk jalur tempat cairan meninggalkan kapiler
glomerulus menuju lumen kapsula Bowman. Karena itu, rute
yang dilalui oleh bahan terfiltrasi melewati membran
glomerulus seluruhnya berada di luar sel-pertama melalui pori
kapiler, kemudian melalui membran basal aselular, dan
akhirnya melewati celah filtrasi kapiler
Glomerulo Filtration Rate
- Merupakan laju/banyaknya cairan yang mengalir dari darah di
dalam kapiler glomerulus -> kapsula bowman -> tubulus
- Bergantung pada tekanan hirostatik dan osmotik
- Keadaan normal, GFR ginjal berkisal 125ml/menit atau
180L/24jam.
- Bila tekanan darah meningkat, maka tekanan hidrostatik
kapiler glomerulus juga meningkat dan meningkatkan GFR
yang akhirnya meningkatkan jumlah urin. Begitu juga
sebaliknya
- Berasarkan GFR 24 jam, dapat dikatakan ginjal kita mampu
mencuci darah kita sebanyak 5x dalam 1 hari.
2. Reabsorbsi tubular
- Bila nefron dipotong melintang , maka akan terlihat bahwa
lumen tubulus berdampingan dengan pembuluh darah.
- Formasi anatomi ini berhubungan dengan mekanisme fisiologi
yang kedua dari nefron yaitu reabsorbsi tubulus.
- Kapiler yang berdampingan dengan tubulus bertujuan agar
cairan yang nantinya akan direabsorbsi kembali oleh tubulus
dapat kembali ke kapiler yang selanjutnya akan diantarkan
kembali ke seluruh tubuh.
- 2 mekanisme yang terjadi pada reabsorsi cairan yaitu transpor
aktif dan difusi osmosis.
- Ada beberapa substansi yang tidak dapat direabsorbsi kembali
ke kapiler peritubulus yaitu yang memiliki berat molekul yang
besar sehingga tidak dapat menembus membran tubulus.

23
- Substansi tersebut berupa : Urea, kreatinin , posfat , sulfat,
nitrat dan asam urat, fenol.
- Substansi-substansi ini akan dieksresikan bersama urin karena
bersifat racun.
Reabsorbsi secara transpor aktif
- Membutuhkan ATP sebagai sumber energi
- Substansi berupa Glukosa, Asam Amino/protein dan zat zat
elektrolit.
- Untuk dapat berpindah substansi harus memiliki protein karier
dan enzim yang spesifik.
Reabsorbsi secara difusi pasif
- Merupakan proses gerakan acak molekul secara pasif oleh
pengaruh energi kinetik
- Membran tubulus sangat permeabel terhadap air
- Dipengaruhi oleh tekanan osmotik
3. Sekresi Aktif Tubuler
- Mekanisme ini merupakan kebalikan dari reabsorbsi glukosa,
di mana tubulus secara aktif menggunakan ATP untuk
memindahkan zat-zat tersebut dari peritubulus masuk ke dalam
tubulus.
- Pengeluaran aktif metabolit obat-obatan karena zat tersebut
bersifat racun.
- Sekeresi aktif ion K+ dan ion H+ terjadi dalam keadaan tertentu
dengan tujuan untuk menjaga keseimbangan elektrolit dan
asam basa tubuh.
Regulasi Glomerular Filtration Rate
- GFR harus selalu imbang
- GFR terlalu besar, maka aliran cairan di tubuler akan
berlangsung cepat sehingga hanya sedikit substansi yang akan
direabsorbi kembali.

24
- GFR terlalu kecil (aliran tubulus lambat) maka substansi sisa
racun yang seharusnya dibuang mungkin akan tereabsorbsi
kembali.
- Glomrulus memiliki mekanisme autoregulasi filtrasi, yaitu
kontraksi dan dilatasi arteriole.
- Kontrol GFR berdasarkan substansi solut di tubulus distal.
- Proses kontrol ini terjadi karena sebagian segmen tubulus distal
menempel di arteriole afferent.
- Dia membentuk sebagai macula densa.
- Macula densa berfungsi sebagai reseptor pendeteksi
konsentrasi di tubulus distal.
- Selanjutnya dia akan mengirimkan sinyal ke sel sel
juxtaglomerular di dinding arteriole aferen.
Ini lah yang menyebabkan vasokontriksi dan vasodilatasi.
Pembersihan Plasma Oleh Ginjal
- Cairan plasma dibersihkan dari unsur urea, kreatinin , asam
urat, sulfat, posfat, nitrat, dan fenol.
- Kadar urean dan kreatinin sering dijadikan untuk menilai
fungsi ginjal secara klinis.

Gambaran Besar Proses-Proses Dasar Ginjal


Filtrasi glomerulus umumnya adalah proses yang indiskriminatif. Kecuali sel
darah dan protein plasma, semua konstituen di dalam darah- H20, nutrien,
elektrolit, zat sisa, dan sebagainya-secara non-selektif masuk ke lumen tubulus
sebagai aliran masal selama filtrasi-yaitu, dari 20% plasma yang difiltrasi di
glomerulus, segala sesuatu yang ada di bagian plasma tersebut masuk ke kapsula
Bowman kecuali protein plasma. Proses-proses tubulus yang sangat diskriminatif
kemudian bekerja pada filtrat untuk mengembalikan ke darah suatu cairan dengan
komposisi dan volume yang diperlukan untuk mempertahankan stabilitas
lingkungan cairan internal. Bahan terfiltrasi yang tak-diinginkan dibiarkan
tertinggal di cairan tubulus untuk diekskresikan sebagai urine. Filtrasi glomerulus
dapat dianggap sebagai pemindahan sebagian dari plasma, dengan semua

25
komponen esensial serta komponen yang perlu dikeluarkan dari tubuh, ke "ban
berjalan" yang berakhir di pelvis ginjal, yaitu titik pengumpulan urine di dalam
ginjal. Semua konstituen plasma yang masuk ban berjalan ini dan kemudian tidak
dikembalikan ke plasma di ujung ban akan dikeluarkan dari ginjal sebagai urine.
Sistem tubulus yang menentukan bagaimana menyelamatkan bahan-bahan filtrasi
yang perlu dipertahankan di dalam tubuh melalui proses reabsorpsi sementara
membiarkan bahan-bahan yang harus diekskresi tetap dalam ban berjalan tersebut.
Selain itu, sebagian bahan tidak saja difiltrasi, tetapi juga disekresikan ke dalam
ban berjalan tubulus, sehingga jumlah bahan-bahan tersebut yang diekskresikan
dalam urine lebih besar daripada jumlah yang difiltrasi. Untuk banyak bahan,
proses-proses ginjal ini berada di bawah kontrol fisiologik. Karena itu, ginjal
menangani setiap konstituen plasma dengan kombinasi tertentu filtrasi,
reabsorpsi, dan sekresi.
Ginjal hanya bekerja pada plasma, tetapi CES terdiri dari plasma dan
cairan interstisium. Cairan interstisium adalah lingkungan cairan internal sejati di
tubuh karena merupakan satu-satunya komponen CES yang berkontak langsung
dengan sel. Namun, karena terjadi pertukaran bebas antara plasma dan cairan
interstisium melalui dinding kapiler (kecuali protein plasma), komposisi cairan
interstisium mencerminkan komposisi plasma. Karena itu, dengan melakukan
peran reguIatorik dan ekskretorikpada plasma, ginjal mempertahankan lingkungan
cairan internal yang sesuai agar fungsi sel optimal.

26
Gambar Proses filtrasi, reabsorpsi, dan sekresi tubulus
Sumber : Sherwood Introduction to Human Physiology 8th Ed

B. Glomerulonephritis:
a) Diagnosis banding
Penyakit glomerulonefritis berdasarkan etiologinya dapat dibedakan
dalam beberapa penyakit berikut:

27
b) Penegakan Diagnosis
Menegakkan diagnosis GN diperlukan anamnesis untuk
mengetahui riwayat penyakit, melakukan pemeriksaan jasmani dan
pemeriksaan penunjang untuk menyingkirkan penyakit non-glomerular
Informasi tentang riwayat GN dalam keluarga, penggunaan obat
antiinflcimasi nonsteroid, preparat emas organik, heroin,
imunosupresif seperti siklosporin atau takrolimus, dan riwayat infeksi
streptokokus, endokarditis atau infeksi virus diperlukan untuk
menelusuri penyebab GN. Berbagai keganasan misalnya paru,
payudara, gastrointestinal, ginjal, penyakit Hodgkin dan limfoma non-
Hodgkin, serta penyakit multisistem misalnya diabetes, amiloidosis,
lupus dan vaskulitis juga diasosiasikan dengan GN. Edema tungkai
disertai edema periorbita sering merupakan gejala klinik awal GN.
Edema periorbita sampai ke dinding perut dan genital disertai penump
jkan cairan di rongga abdomen (asites) atau pleura (e1usi pleura)
biasanya ditemukan pada sindrom nefrotik. Akibat hipoalbuminemia
kronik seringkali didapatkan tampilan kuku terlihat pucat dan

28
membentuk pita berwarna putih, dan ditemukannya xantelasma
dikaitkan dengan hiperlipidemia. Kemungkinan lain penyebab
timbulnya edema misalnya penyakit jantung atau siross hati juga perlu
disingkirkan. Pemeriksaan urinalisis sangat penting untuk menegakkan
diagnosis GN. Ditemukan hematuria dan silinder eritrosit membuat
kecurigaan kearah CM semakin besar Morfologi eritrosit dalam urin
dapat mencigambarkan darimana eritrosit berasal. Eritrosit urin
dismorfik lebih dari 60% menunjukkan eritrosit berasal dari
glomerulus. Proteinuria yang ditemukan lebih dari 1 g/24 jam dapat
disimpulkan juga berasal dari glomerulus. Pemeriksaan biokimiawi
misalnya gula darah, serum albumin, profil lemak, dan fungsi ginjal
diperlukan untuk membantj diagnosis GN. Pemeriksaan serologi
seperti ASTO, C3, C4, ANA dan anti-dsDNA, antibodi anti-GBM
(glomerula – basement membrane), ANCA diperlukan untuk
menegakkan diagnosis GN dan membedakan GN primer dan sekunder
Apabila ada kecurigaan, pemeriksaan untuk menegakkan inleksi
bakteri, HIV, virus hepatitis B dan C juga diperlukan. Ultrasonografi
ginjal diperlukan untuk menilai ukuran ginjal dan menyingkirkan
kelainan lain seperti obstruksi sistem pelvokalises oleh karena batu
ginjal. Biopsi ginjal diperlukan untuk menegakkan diagnosis
histopatologi yang dapat digunakan sebagai pedoman pengobatan.
Biopsi ginjal terbuka dilakukan dengan operasi dan memerlukan
anestesi umum sedangkan biopsi jarum perkutan dilakukan dengan
anestesi lokal. Biopsi ginjal tidak dilakukan apabila ukuran ginjal <
dari 9 cm yang menggambarkan proses kronik

c) Diagnosis kerja
Glomerulonefritis akut

d) Definisi
Glomerulonefritis adalah penyakit inflamasi atau noninflamasi
pada glomerulus yang menyebabkan perubahan permeabilitas,

29
perubahan struktur, dan fungsi glomerulus. Data imunopatologik dan
eksperimental menyokong bahwa kerusakan glomerulus pada GN
merupakan mekanisme imunologik.
Glomerulonefritis adalah suatu istilah umum yang dipakai untuk
menjelaskan berbagai macam penyakit ginjal yang mengalami
proliferasi dan inflamasi di glomerulus akibat suatu proses imunologis.
Istilah glomerulonefritis akut pasca infeksi termasuk grup yang besar
dari dari glomerulonefritis akut sebagai akibat dari bermacam-macam
agen infeksi. Pada glomerulonefritis pasca infeksi, proses inflamasi
terjadi dalam glomerulus yang dipicu oleh adanya reaksi antigen
antibodi, selanjutnya menyebabkan aktifasi lokal dari sistem
komplemen dan kaskade koagulasi. Kompleks imun dapat terjadi
dalam sirkulasi atau in situ pada membrane basalis glomerulus.

e) Etiologi
1. Faktor Infeksi
a. Nefritis yang timbul setelah infeksi Streptococcus Beta
Hemolyticus (Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus).
Sindroma nefritik akut bisa timbul setelah suatu infeksi oleh
streptokokus, misalnya strep throat (radang tenggorokan).
Kasus seperti ini disebut glomerulonefritis pasca
streptokokus. Glomeruli mengalami kerusakan akibat
penimbunan antigen dari gumpalan bakteri streptokokus
yang mati dan antibodi yang menetralisirnya. Gumpalan ini
membungkus selaput glomeruli dan mempengaruhi
fungsinya. Nefritis timbul dalam waktu 1-6 minggu (rata-
rata 2 minggu) setelah infeksi dan bakteri streptokokus telah
mati, sehingga pemberian antibiotik akan efektif.

b. Nefritis yang berhubungan dengan infeksi sistemik lain :


endokarditis bakterialis subakut dan Shunt Nephritis.
Penyebab post infeksi lainnya adalah virus dan parasit,

30
penyakit ginjal dan sistemik, endokarditis, pneumonia.
Bakteri : diplokokus, streptokokus, staphylokokus. Virus:
Cytomegalovirus, coxsackievirus, Epstein-Barr virus,
hepatitis B, rubella.Jamur dan parasit : Toxoplasma gondii,
filariasis, dll.

2. Penyakit multisistemik, antara lain :


a. Lupus Eritematosus Sistemik
b. Purpura Henoch Schonlein (PHS)

3. Penyakit Ginjal Primer, antara lain :


a. Nefropati IgA

f) Epidemiologi
Biasanya kasus terjadi pada kelompok sosioekonomi rendah,
berkaitan dengan higiene yang kurang baik dan jauh dari tempat
pelayanan kesehatan. Risiko terjadinya nefritis 5% dari infeksi kuman
streptokokus beta hemolitikus grup A yang menyerang tenggorokan
sampai 25% yang menyerang kulit (pioderma), sedangkan tanpa
melihat tempat infeksi risiko terjadinya nefritis 10-15%. Rasio
terjadinya GNAPS pada pria dibanding wanita adalah 2:1. Penyakit ini
terutama menyerang kelompok usia sekolah 5-15 tahun, pada anak < 2
tahun kejadiannya kurang dari 5%. Kejadian glomerulonefritis pasca
streptokokus sudah mulai menurun pada negara maju namun masih
terus berlanjut pada negara berkembang, penurunan kejadian GNAPS
berkaitan banyak faktor diantaranya penanganan infeksi streptokokus
lebih awal dan lebih mudah oleh pelayanan kesehatan yang kompeten.
Di beberapa negara berkembang, glomerulonefritis pasca streptokokus
tetap menjadi bentuk sindroma nefritik yang paling sering ditemui.
Attack rate dari glomerulonefritis akut terlihat memiliki pola siklus,
yaitu sekitar setiap 10 tahun. Data epidemiologi GN yang bersifat
nasional belum ada dan laporan dari berbagai pusat ginjal dan

31
hipertensi masih terbatas. Hal ini disebabkan biopsi ginjal tidak selalu
dapat dilakukan dalam menegakkan diagnosis etiologi GN. Data
Perhimpunan Nefrologi Indonesia (Pernefri) menunjukkan bahwa GN
sebagai penyebab PGTA yang menjalani hemodialisis mencapai 39%
pada tahun 2000. Data mengenai GN masih terbatas dan merupakan
laporan dari masing masing pusat ginjal dan hipertensi. Sidabutar RP
dan kawan melaporkan 177 kasus GN yang lengkap dengan biopsi
ginjal dari 459 kasus rawat inap yang dikumpulkan dari 5 rumah sakit
selama 5 tahun. Dari 177 yang dilakukan biopsi ginjal didapatkan
35,6% menunjukkan manifestasi klinik sindrom nefrotik, 19.2%
sindrom nefritik akut, 3.9% GN progresif cepat, 15.3% dengan
hematuria, 19.3% proteinuria, dan 6.8% hipertensi.

g) Faktor resiko
- Faktor host (genetik)
- Faktor kuman (strain nefritogenik)
- Faktor lingkungan (Negara berkembang, lingkungan yang padat)
-
h) Patofisiologi
Bakteri streptokokus tidak menyebabkan kerusakan pada ginjal,
terdapat suatu antibodi yang ditujukan terhadap suatu antigen khusus
yang merupakan unsur membran plasma sterptokokal spesifik.
GNAPS terjadi karena reaksi hipersensivitas tipe III. Pada reaksi
ini terjadi kompleks imun terhadap antigen nefritogenik streptokokus
yang mengendap di membran basalis glomerulus dan proses ini
melibatkan aktivasi komplemen. Aktivasi komplemen terjadi terutama
melalui jalur alternatif, tetapi ikatan protein imunoglobulin pada
permukaan streptokokus juga menyebabkan terjadinya aktivasi jalur
klasik. Aktivasi komplemen tersebut menyebabkan destruksi pada
membran basalis glomerulus. Selanjutnya komplemen akan terfiksasi
mengakibatkan lesi dan peradangan yang menarik leukosit
polimorfonuklear (PMN) dan trombosit menuju tempat lesi.

32
Fagositosis dan pelepasan enzim lisosom juga merusak endotel dan
membran basalis glomerulus (IGBM). Semakin meningkatnya
kebocoran kapiler gromelurus menyebabkan protein dan eritrosit dapat
keluar ke dalam urin sehingga terjadi proteinuria dan hematuria.
Pada glomerulonephritis akut terjadi perubahan structural dan
fungsional. Perubahan structural yang terjadi dapat bersifat fokal atau
global serta difus atau segmental.
1. Proliferasi sel (endotel, mesangial, dan epitel). Proliferasi dapat
terjadi endokapiler atau ekstrakapiler
2. Proliferasi leukosit, ditandai dengan adanya neutrophil dan monosit
dalam lumen glomerulus.
3. Penebalan membrane basal glomerulus
4. Hialinisasi atau sclerosis, menandakan jejas sudah irreversibel

i) Pathogenesis
Kerusakan yang terjadi pada glomerulus tidak hanya tergantung
respon imunologik awal tetapi juga ditentukan oleh seberapa besar
pengaruhnya terhadap timbulnya kelainan. Inflamasi juga berpengaruh
pada terjadinya kelainan pada glomerulus. Kelainan yang terjadi dapat
berupa fibrosis, kelainan destruktif atau mungkin berkembang menjadi
glomerulosklerosis dan fibrosis interstitial.
Secara garis besar dua mekanisme GN yaitu circulating immune
complex (CIC) dan terbentuknya kompleks imun in-situ. Pada CIC,
antigen (Ag) eksogen memicu terbentuknya antibody (Ab) spesifik,
kemudian membentuk kompleks imun (Ag-Ab) dalam sirkulasi.
Kompleks imun akan mengaktivasi system komplemen dan
selanjutnya system komplemen tersebut akan berikatan dengan
kompleks Ag-Ab. Normalnya, ikatan ini akan membersihkan
kompleks imun dari sirkulasi melalui reseptor C3b yang terdapat pada
eritrosit. Komplek imun akan terdegradasi dan dibersihkan dari
sirkulasi pada saat eritrosit melewati hati dan limpa. Apabila antigen
menetap dan bersihan kompleks imun terganggu maka kompleks imun

33
akan menetap dalam sirkulasi. Kemudian kompleks imun akan
terjebak pada glomerulus melalui ikatan dengan reseptor Fc pada sel
mesangial atau mengendap di daerah subendotel.
Pada in situ, Ab secara langsung berikatan dengan Ag yang
merupakan komponen dari membrane basal glomerulus (fixed-Ag) atau
Ag dari luar yang terjebak pada glomerulus. Ikatan dari kompleks
imun tersebut akan merusak glomerulus. Tapi kerusakan glomerulus
juga dipengaruhi oleh beberapa factor lain seperti: proses inflamasi, sel
inflamasi, mediator inflamasi, dan komplemen berperan pada
kerusakan glomerulus. Kerusakan glomerulus dapat terjadi dengan
melibatkan system komplemen dan sel inflamasi, melibatkan system
komplemen tanpa sel inflamasi, dan melibatkan sel inflamasi tanpa
system komplemen.
Pada sebagian GN, endapan komplek imun akan memicu proses
inflamasi dalam glomerulus dan menyebabkan proliferasi sel. Pada GN
non-proliferatif dan tipe sklerosing (GN membranosa atau
glomerulosklerosis fokal segmental) tidak melibatkan sel inflamasi.

j) Klasifikasi
1. Congenital (herediter)
i. Sindrom Alport
Suatu penyakit herediter yang ditandai oleh adanya glomerulonefritis
progresif familial yang seing disertai tuli syaraf dankelainan mata seperti
lentikonus anterior. Diperkirakan sindrom alport merupakan penyebab dari
3% anak dengan gagal ginjal kronik dan 2,3% dari semua pasien yang
mendapatkan cangkok ginjal. Dalam suatu penelitian terhadap anak dengan
hematuria yang dilakukan pemeriksaan biopsi ginjal, 11% diantaranya
ternyata penderita sindrom alport.Gejala klinis yang utama adalah hematuria,
umumnya berupa hematuria mikroskopik dengan eksasarbasi hematuria nyata
timbul pada saat menderita infeksi saluran nafas atas.Hilangnya pendengaran
secara bilateral dari sensorineural, dan biasanya tidak terdeteksi pada saat
lahir, umumnya baru tampak pada awal umur sepuluh tahunan.
ii. Sindrom Nefrotik
Kongenital Sindroma nefrotik yang telah terlihat sejak atau bahkan sebelum

34
lahir.Gejala proteinuria massif, sembab dan hipoalbuminemia kadang kala
baru terdeteksi beberapa minggu sampai beberapa bulan kemudian.
Proteinuria terdapat pada hamper semua bayi pada saat lahir, juga sering
dijumpai hematuria mikroskopis. Beberapa kelainan laboratories sindrom
nefrotik (hipoproteinemia, hiperlipidemia) tampak sesuai dengan sembab dan
tidak berbeda dengan sindrom nefrotik jenis lainnya.
2. Glomerulonefritis Primer
i. Glomerulonefritis membrano proliferasif
Suatu glomerulonefritis kronik yang tidak diketahui etiologinya dengan
gejala yang tidak spesifik, bervariasi dari hematuria asimtomatik sampai
glomerulonefitis progresif. 20-30% pasien menunjukkan hematuria
mikroskopik dan proteinuria, 30 % berikutnya menunjukkan gejala
glomerulonefritis akut dengan hematuria nyata dan sembab, sedangkan
sisanya 40-45% menunjukkan gejala-gejala sindrom nefrotik. Tidak jarang
ditemukan 25-45% mempunyai riwayat infeksi saluran pernafasan bagian
atas, sehingga penyakit tersebut dikira glomerulonefritis akut pasca
streptococcus atau nefropati IgA.

ii. Glomerulonefritis membranosa


Glomerulonefritis membranosa sering terjadi pada keadaan tertentu atau
setelah pengobatan dengan obat tertentu. Glomerulopati membranosa paling
sering dijumpai pada hepatitis B dan lupus eritematosus
sistemik.Glomerulopati membranosa jarang dijumpai pada anak, didapatkan
insiden 2-6% pada anak dengan sindrom nefrotik.Umur rata-rata pasien pada
berbagai penelitian berkisar antara 10-12 tahun, meskipun pernah dilaporkan
awitan pada anak dengan umur kurang dari 1 tahun.Tidak ada perbedaan
jenis kelamin. Proteinuria didapatkan pada semua pasien dan sindrom
nefrotik merupakan 80% sampai lebih 95% anak pada saat awitan, sedangkan
hematuria terdapat pada 50-60%, dan hipertensi 30%.

iii. Nefropati IgA (penyakit berger)


Nefropati IgA biasanya dijumpai pada pasien dengan glomerulonefritis akut,
sindroma nefrotik, hipertensi dan gagal ginjal kronik.Nefropati IgA juga
sering dijumpai pada kasus dengan gangguan hepar, saluran cerna atau
kelainan sendi.Gejala nefropati IgA asimtomatis dan terdiagnosis karena

35
kebetulan ditemukan hematuria mikroskopik. Adanya episode hematuria
makroskopik biasanya didahului infeksi saluran nafas atas atau infeksi lain
atau non infeksi misalnya olahraga dan imunisasi.
3. Glomerulonefritis sekunder
Glomerulonefritis sekunder yang banyak ditemukan dalam klinik yaitu
glomerulonefritis pasca streptococcus, dimana kuman penyebab tersering adalah
streptococcus beta hemolitikus grup A yang nefritogenik terutama menyerang anak
pada masa awal usia sekolah. Glomerulonefritis pasca streptococcus datang dengan
keluhan hematuria nyata, kadang-kadang disertai sembab mata atau sembab anasarka
dan hipertensi.
k) Manifestasi klinis
i. Hematuria (urine berwarna merah kecoklat-coklatan)
ii. Proteinuria (protein dalam urine)
iii. Oliguria (keluaran urine berukurang)
iv. Silinderuria
v. Nyeri panggul
vi. Edema
vii. Demam
viii. Hipertensi
ix. Gejala gastrointestinal seperti muntah, tidak nafsu makan, dan
diare
x. Fatigue

l) Tatalaksana farmakologi dan non farmakologi


 Suportif :
- Tirah baring pada kasus edema ansarka
- Diet protein normal
- Diet rendah garam
- Diuretik
- Pemberian antihipertensi bila disertai dengan hipertensi

36
 Medikamentosa :
- Prednison dengan dosis awal 2mg/KgBB/hari selama 4
minggu. Apabila terjadi remisi (proteinuria negatif 3 hari
berturut-turut) maka pemberian dilanjutkan dengan 2/3 dosis
awal selama 4 minggu. Total pengobatan 8 minggu
- Bila terjadi relaps, berikan prednison 2mg/kgBB/hari sampai
remisi dengan maksimum 4 minggu, kemudian dilanjutkan
dengan 2/3 dosis awal secara alternating selama 4 minggu.
Pemberian prednison jangka panjang dapat menyebabkan
hipertensi.
- Apabila sampai 4 minggu pengobatan steroid dosis penuh
belum juga terjadi remisi maka disebut steroid resisten. Kasus
steroid resisten diterapi dengan imunosupresan seperti
siklofosfamid per oral dengan dosis 2-3 mg/kgBB/hari dalam
dosis tunggal. Dosis dihitung dengan berat badan normal tanpa
edema.

Gambar Resep pada Kasus

37
m) Edukasi dan pencegahan
Penderita dan keluarganya perlu dijelaskan mengenai perjalanan
dan prognosis penyakitnya. Keluarga perlu memahami bahwa
meskipun kesembuhan yang sempurna diharapkan (95%), masih ada
kemungkinan kecil terjadinya kelainan yang menetap dan bahkan
memburuk (5%). Perlu dielaskan rencana pemantauan selanjutnya,
pengukuran tekanan darah dan pemeriksaan urine untuk protein dan
hematuria dilakukan dengan interval 4-6 minggu untuk 6 bulan
pertama, kemudian tiap 3-6 bulan sampai hematuria dan proteinuria
menghilang dan tekanan darah normal untuk selama 1 tahun. Kadar C3
yang telah kembali normal setelah 8-10 minggu menggambarkan
prognosis yang baik.

n) Komplikasi
- Infeksi : selulitis, peritonitis bakterialis spontan
- Tromboemboli
- Oligouria
- Anuria
- Gagal ginjal

o) Prognosis
Sebagian besar pasien akan sembuh, tetapi 5% di antaranya
mengalami perjalanan penyakit yang memburuk dengan cepat
pembentukan kresen pada epitel glomerulus. Diuresis akan menjadi
normal kembali pada hari ke 7-10 setelah awal penyakit, dengan
menghilangnya sembab dan secara bertahap tekanan darah menjadi
normal kembali. Fungsi ginjal (ureum, kreatinin) membaik dalam 1
minggu dan menjadi normal dalam waktu 3-4 minggu. Komplemen
serum menjadi normal dalam waktu 6-8 minggu. Tetapi kelainan
sedimen urin akan tetap terlihat selama berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun pada sebagian besar pasien. Beberapa penelitian lain

38
menunjukkan adanya perubahan histologis penyakit ginjal yang secara
cepat terjadi pada orang dewasa. Selama komplemen C3 belum pulih
dan hematuria mikroskopis belum menghilang, pasien hendaknya
diikuti secara seksama oleh karena masih ada kemungkinan terjadinya
pembentukan glomerulosklerosis kresentik ekstra-kapiler dan gagal
ginjal kronik.

p) SKDI
3A
Mampu membuat diagnosis klinik berdasarkan pemeriksaan fisik
dan pemeriksaan-pemeriksaan tambahan yang diminta oleh dokter
misalnya pemeriksaan lab atau x-ray. Dokter dapat memutuskan
dan memberi terapi pendahuluan, serta merujuk ke spesialis yang
relevan.

C. Pemeriksaan fisik dan pemeriksaan laboratorium


Pemeriksaan Fisik
i. Pemeriksaan Fisik Umum
Untuk menegakkan diagnosis, setelah dilakukan anamnesis
berikutnya adalah pemeriksaan fisik. Pemeriksaan fisik dimulai
dengan pemeriksaan kesan umum, tanda vital (pemeriksaan
tekanan darah, nadi, laju pernafasan (respiratory rate) dan suhu)
dan kemudian pemeriksaan lainnya seperti memeriksa keadaan gizi
pasien, pemeriksaan Glasgow Coma Scale, dan analisis sistem
organ secara sistematis. Pemeriksaan ini sangat penting dalam
menilai sistem berbagai organ yang bekerja dalam tubuh
seseorang. Pemeriksaan fisik tambahan dilakukan sesuai dengan
kasus yang dialami pasien untuk mendapat hasil diagnosis yang
lebih tepat. Hasil yang didapat dari pemeriksaan fisik dapat
mengarahkan dokter dalam melakukan pemeriksaan lebih lanjut,
guna menegakkan diagnosis pada seseorang pasien.

39
ii. Pemeriksaan Edema
Edema/ Oedema terjadi karena penumpukan cairan ekstraseluler
dan di dalam ruangan-ruangan tubuh. Patogenesis oedem dapat
karena transudasi plasma akibat peningkatan tekanan hidrostatis
atau penurunan tekanan osmotik koloid plasma, inflamasi atau
infeksi dan obstruksi vena atau saluran limfe. Oedema dapat
lokalisata atau generalisata (anasarka), pitting dan non-pitting.
Disebut sebagai pitting edema adalah bila terdapat lekukan ke
dalam setelah penekanan. pitting edema dapat ditemukan pada
gagal jantung kanan, sirosis hati, dan sindrom nefrotik. Keadaan
sebaliknya disebut non-pitting edema, kondisi ini dapat ditemukan
misalnya pada miksedema.

Gambar 1: Kiri : limfedema tangan kiri karena metastase karsinoma


mammae ke limfonodi axilla regional, kanan : elephantiasis / limfedema
kaki kanan karena filariasis

Gambar 2: Dari kiri ke kanan : oedema periorbital; moon face pada pengobatan
kortikosteroid
jangka panjang; oedema anasarka pada sindrom nefrotik; ascites pada sirosis
hepatis

40
Gambar 3: Oedema pitting (kiri) dan non-pitting (kanan)

Tahap Pemeriksaan
1) Pertama dilakukan Informed Consent dan memberi tahu
pasien tujuan pengambilan pemeriksaan yaitu untuk
mengetahui penyebab yang mendasari timbulnya edema
sehingga dapat diberikan terapi yang sesuai. Cuci tangan
dan pasien diminta berbaring dan membebaskan kedua
tungkai dari pakaian/kaos kaki.
2) Inspeksi: edema dapat ditemukan pada palpebra,
ekstremitas, atau pada vulva (wanita) atau skrotum (pria).
3) Palpasi pada regio tibia bagian anterior, diberi tekanan
ringan dengan ibu jari selama kurang lebih 10 detik lalu
dilepaskan. Pada pitting edema akan timbul indentasi kulit
yang ditekan, dan akan kembali secara perlahan-lahan.
Pada non-pitting edema tidak akan terjadi indentasi. Pada
pasien yang sudah berbaring lama maka cairan akan
berkumpul di bagian terendah, biasanya pada daerah
punggung dan sakrum. Pasien dapat dimiringkan atau
didudukkan, lalu dilakukan penekanan ringan sama seperti
pada ekstremitas.

41
Gambar 4: Pemeriksaan Edema pada Tungkai

iii. Pemeriksaan Asites


Karena cairan ascites secara alamiah sesuai dengan gravitasi,
sementara gas atau usus yang berisi udara terapung keatas, maka
perkusi akan menghasilkan bunyi pekak di abdomen.

Gambar 5: Peta antara suara timpani dan pekak pada abdomen

o Tes untuk Shifting Dullness


Setelah menandai batas timpani dan pekak, suruh pasien
untuk bergerak ke salah satu sisi abdomen. Perkusi lagi
diatas batas antara timpani dan pekak tadi. Pada pasien
yang tidak ada ascites, batasnya relative tetap.

42
Gambar 6: Test Shifting Dullness
o Tes untuk adanya gelombang cairan
Suruh pasien atau asisten menekankan pinggir kedua
tangannya kearah dalam perut digaris tengah abdomen.
Ketuklah dinding abdomen dengan ujung jari dan rasakan
adanya impuls yang dirambatkan melalui cairan pada
bagian yang berlawanan /berseberangan.

Gambar 7: Tes Undulasi

Pemeriksaan Laboratorium
i. Sel Darah
o Hemoglobin
Nilai normal : Pria : 13 - 18 g/dL SI unit : 8,1 - 11,2 mmol/L,
Wanita: 12 - 16 g/dL, SI unit : 7,4 – 9,9 mmol/L
Hemoglobin adalah komponen yang berfungsi sebagai alat
transportasi oksigen (O2) dan karbon dioksida (CO2). Hb
tersusun dari globin (empat rantai protein yang terdiri dari dua
unit alfa dan dua unit beta) dan heme (mengandung atom besi

43
dan porphyrin: suatu pigmen merah). Pigmen besi hemoglobin
bergabung dengan oksigen. Hemoglobin yang mengangkut
oksigen darah (dalam arteri) berwarna merah terang
sedangkan hemoglobin yang kehilangan oksigen (dalam vena)
berwarna merah tua. Satu gram hemoglobin mengangkut 1,34
mL oksigen. Kapasitas angkut ini berhubungan dengan kadar
Hb bukan jumlah sel darah merah.
Penetapan anemia didasarkan pada nilai hemoglobin yang
berbeda secara individual karena berbagai adaptasi tubuh
(misalnya ketinggian, penyakit paru-paru, olahraga). Secara
umum, jumlah hemoglobin kurang dari 12 gm/dL
menunjukkan anemia. Pada penentuan status anemia, jumlah
total hemoglobin lebih penting daripada jumlah eritrosit.

o Leukosit
Nilai normal : 3200 – 10.000/mm3 SI : 3,2 – 10,0 x 109/L
Fungsi utama leukosit adalah melawan infeksi, melindungi
tubuh dengan memfagosit organisme asing dan memproduksi
atau mengangkut/ mendistribusikan antibodi. Ada dua tipe
utama sel darah putih:Granulosit: neutrofil, eosinofil dan
basofil, Agranulosit: limfosit dan monosit

ii. Pemeriksaan Elektrolit


o Natrium (Na+)
Nilai normal : 135 – 144 mEq/L SI unit : 135 – 144 mmol/L
Natrium merupakan kation yang banyak terdapat di dalam
cairan ekstraseluler. Berperan dalam memelihara tekanan
osmotik, keseimbangan asam-basa dan membantu rangkaian
transmisi impuls saraf. Konsentrasi serum natrium diatur oleh
ginjal, sistem saraf pusat (SSP) dan sistem endokrin.
Hiponatremia dapat terjadi pada kondisi hipovolemia
(kekurangan cairan tubuh), euvolemia atau hipervolemia

44
(kelebihan cairan tubuh). Hipovolemia terjadi pada
penggunaan diuretik, defi siensi mineralokortikoid,
hipoaldosteronism, luka bakar, muntah, diare, pankreatitis.
Euvolemia terjadi pada defisiensi glukokortikoid, SIADH,
hipotirodism, dan penggunaan manitol. Sedangkan
hypervolemia merupakan kondisi yang sering terjadi pada
gagal jantung, penurunan fungsi ginjal, sirosis, dan sindrom
nefrotik.
o Kalium
Nilai normal: 0 - 17 tahun : 3,6 - 5,2 mEq/L SI unit : 3,6 - 5,2
mmol/L : ≥ 18 tahun : 3,6 – 4,8 mEq/L SI unit :3,6 – 4,8
mmol/L
Kalium merupakan kation utama yang terdapat di dalam
cairan intraseluler, (bersama bikarbonat) berfungsi sebagai
buffer utama. Lebih kurang 80% - 90% kalium dikeluarkan
dalam urin melalui ginjal. Aktivitas mineralokortikoid dari
adrenokortikosteroid juga mengatur konsentrasi kalium dalam
tubuh. Hanya sekitar 10% dari total konsentrasi kalium di
dalam tubuh berada di ekstraseluler dan 50 mmoL berada
dalam cairan intraseluler, karena konsentrasi kalium dalam
serum darah sangat kecil maka tidak memadai untuk
mengukur kalium serum. Konsentrasi kalium dalam serum
berkolerasi langsung dengan kondisi fisiologi pada konduksi
saraf, fungsi otot, keseimbangan asam-basa dan kontraksi otot
jantung. sirkulasi.

iii. Pemeriksaan Ureum dan Kreatinin


o Ureum
Ureum adalah salah satu produk dari pemecaha protein dalam
tubuh yang disintesis di hati dan 95% dibuang oleh ginjal.
Sisanya 5% dalam feses. Secara normal kadar ureum dalam
darah adalah 7-25 mg dalam 100ml darah. Pada pengukuran

45
konsentrasi urea darah, bila ginjal tidak cukup mengeluarkan
ureum maka ureum darah meningkat di atas kadar normal 20-
40 mg per 100 cc darah karena filtrasi glomerulus harus turun
sampai 50% sebelum kenaikan kadar darah urea terjadi.
Meningkatnya kadar urea darah dan kreatinin merupakan
salah satu indikasi kerusakan pada ginjal. Semakin buruk
fungsi ginjal, semakin tinggi kadar ureum darah.
o Kreatinin
Nilai normal : 0,6 – 1,3 mg/dL SI : 62-115 μmol/L. Tes ini
untuk mengukur jumlah kreatinin dalam darah. Kreatinin
dihasilkan selama kontraksi otot skeletal melalui pemecahan
kreatinin fosfat. Kreatinin diekskresi oleh ginjal dan
konsentrasinya dalam darah sebagai indikator fungsi ginjal.
Pada kondisi fungsi ginjal normal, kreatinin dalam darah ada
dalam jumlah konstan. Nilainya akan meningkat pada
penurunan fungsi ginjal.Serum kreatinin berasal dari masa
otot, tidak dipengaruhi oleh diet, atau aktivitas dan diekskresi
seluruhnya melalui glomerulus. Tes kreatinin berguna untuk
mendiagnosa fungsi ginjal karena nilainya mendekati
glomerular filtration rate (GFR).
Kreatinin adalah produk antara hasil peruraian kreatinin otot
dan fosfokreatinin
yang diekskresikan melalui ginjal. Produksi kreatinin konstan
selama masa otot
konstan. Penurunan fungsi ginjal akan menurunkan ekskresi
kreatinin. Konsentrasi kreatinin serum meningkat pada
gangguan fungsi ginjal baik karena gangguan fungsi ginjal
disebabkan oleh nefritis, penyumbatan saluran urin, penyakit
otot atau dehidrasi akut.

46
iv. Urinalisis
o Urinalisis dapat digunakan untuk evaluasi gangguan fungsi
ginjal, gangguan fungsi hati, gangguan hematologi, infeksi
saluran kemih dan diabetes mellitus. Tes pemeriksaan faal
ginjal adalah untuk mengidentifikasi adanya gangguan fungsi
ginjal, ntuk mendiagnosa penyakit ginjal, dan untuk
memantau perkembangan penyakit, untuk memantau respon
terapi

Gambar 8: Nilai normal urinalisis


o Protein
Jumlah protein dapat dilacak pada pasien yang berdiri dalam
periode waktu yang panjang. Protein urin dihitung dari urin
yang dikumpulkan selama 24 jam. Proteinuria (dengan metode
dipstick) : +1 = 100 mg/dL, +2 = 300 mg/dL, +4 = 1000
mg/dL. Dikatakan proteinuria bila lebih dari 300 mg/hari.
Hasil positif palsu dapat terjadi pada pemakaian obat penisilin
dosis tinggi, klorpromazin, tolbutamid dan golongan sulfa.
Dapat memberikan hasil positif palsu bagi pasien dengan urin
alkali. Protein dalam urin dapat: (i) normal, menunjukkan
peningkatan permeabilitas glomerular atau gangguan tubular
ginjal, atau (ii) abnormal, disebabkan multiple myeloma dan
protein Bence-Jones.

47
o Sedimen
Tes ini memberikan gambaran adanya infeksi saluran kemih,
batu ginjal atau saluran kemih, nefritis, keganasan atau
penyakit hati. Tidak ada tipe urin cast tertentu yang
patognomonik bagi gangguan penyakit ginjal yang khusus,
walaupun terdapat cast sel darah cast sel darah putih. Sedimen
urin dapat normal pada kondisi preginjal atau postginjal
dengan minimal atau tanpa proteinuria.
Implikasi klinik : Cell cast : Menunjukkan acute tubular
necrosis., White cell cast biasanya terjadi pada acute
pyelonephritis atau interstitial nephritis, Red cell cast timbul
pada glomerulonefritis akut, RBC : Peningkatan nilai
menunjukkan glomerulonefritis, vaskulitis, obstruksi ginjal
atau penyakit mikroemboli, atau proteinuria, WBC :
peningkatan nilai menunjukkan penyakit ginjal dengan infl
amasi, Bakteri : jumlah bakteri > 105/mL menunjukkan
adanya infeksi saluran kemih., Kristal : meliputi kristal
kalsium oksalat, asam urat, amorf, triple fosfat. Adanya kristal
menunjukkan peningkatan asam urat dan asam amino.

Gambar 9: Nilai normal sedimen urin

v. Pemeriksaan Lemak
o LDL (Low Density Lipoprotein)

48
Nilai normal : <130 mg/dL SI: < 3,36 mmol/L, Nilai batas :
130 - 159 mg/dL SI: 3,36 - 4,11 mmol/L, Risiko tinggi: ≥160
mg/dL SI: ≥ 4,13 mmol/L
LDL adalah B kolesterol, nilai LDL tinggi dapat terjadi pada
penyakit pembuluh darah koroner atau hiperlipidemia bawaan.
Peninggian kadar dapat terjadi pada sampel yang diambil
segera. Hal serupa terjadi pula pada hiperlipoproteinemia tipe
Ha dan Hb, DM, hipotiroidism, sakit kuning yang parah,
sindrom nefrotik, hiperlipidemia bawaan dan idiopatik serta
penggunaan kontrasepsi oral yang mengandung estrogen.
Penurunan LDL dapat terjadi pada pasien dengan
hipoproteinemia atau alfa-beta-lipoproteinemia.
o HDL (High Density Lipoprotein)
Nilai normal : Dewasa: 30 - 70 mg/dL SI = 0,78 - 1,81
mmol/L. HDL merupakan produk sintetis oleh hati dan
saluran cerna serta katabolisme trigliserida. Terdapat
hubungan antara HDL – kolesterol dan penyakit arteri koroner
o Trigliserida
Nilai normal : Dewasa yang diharapkan Pria : 40 - 160 mg/dL
SI: 0,45 - 1,80 mmol/L, Wanita : 35 - 135 mg/dL SI: 0,4 - 1,53
mmol/L. Trigliserida ditemukan dalam plasma lipid dalam
bentuk kilomikron dan VLDL (very low density lipoproteins).

49
VIII. KERANGKA KONSEP

Mahasiswi 20 tahun terinfeksi


bakteri Streptococcus beta
hemolyticus

Terbentuk kompleks imun Ag-Ab

Komplek imun terdeposisi di glomerulus

Terjadi kerusakan pada endotel Kadar ureum dan kreatinin


Demam Inflamasi dan membrane basalis meningkat karena
glomerulus pengeluarannya terhambat

Laju filtrasi ginjal dan Protein tidak Hipoalbuminemia


Fungsi penyaringan
volume cairan tersaring dan
ginjal terganggu
ekstraseluler menurun keluar melalui
urin Tekanan onkotik
Eritrosit tidak menurun
Kompensasi pada tersaring dan keluar
Renin Angiotengsin melalui urin Urin keruh
Tekanan dalam
Aldosterone System
jaringan seluruh
Edema palpebral (+)/(+) tubuh > kapiler
Shifting dullness (+)
Hipertensi

Cairan dalam plasma tertarik ke ruang


Penumpukan interstitial dan ke jaringan lain
Menekan abdomen
cairan di rongga
sehingga memicu
abdomen
mual dan muntah Edema tungkai (+)/(+)

50
IX. KESIMPULAN
Seorang Mahasiswi, 20 tahun, mengalami bengkak pada tubuh, demam
tidak terlalu tinggi, BAK sedikit-sedikit, keruh kadang merah dan panas
sejak 2 minggu yang lalu akibat Glomerulonefritis Akut (GNA).

51
DAFTAR PUSTAKA

Enday, Sukandar.; 1997.; Infeksi (nonspesifik dan spesifik) saluran kemih dan ginjal.
dalam.;Nefrologi klinik.; Bandung.; ITB
Glomerulonefritis. In: Syaifullah, Muhammad, editors. Buku Ajar Nefrologi Anak.
2002. Edisi 2. Jakarta: Balai Penerbit FKUI pp. 323
Guyton and Hall. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran Edisi II. Penerbit EGC.
Jakarta.2007
Guyton, A. C., Hall, J. E., 2014. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 12. Jakarta :
EGC

Hay, William W, MD. Pediatric Diagnosis and Treatment Edisi keenambelas.


Penerbit McGraw-Hill (Asia). Singapura. 2003. H 698 – 699
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000495.htm (diakses pada 31 Juli
2018)

Husein, A, dkk. Buku Ajar Nefrologi Anak. Edisi kedua. Penerbit Ikatan Dokter
Anak Indonesia. Jakarta. 2002. h 345-353
Ilmu Kesehatan Nelson, 2000, vol 3, ed Wahab, A. Samik, Ed 15, Glomerulonefritis
akut Pasca Streptokokus,1813-1814, EGC, Jakarta.

Irfanuddin. 2017. Fungsi Tubuh Manusia. Cetakan VIII. Palembang : Nurul Fikri

Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. Pedoman Interpretasi Data Klinik.


diakses dari http://farmalkes.kemkes.go.id/2014/12/pedoman-interpretasi-data-
klinik/ pada 31 Juli 2018.

Khasanah, Uswatun. 2013. Nyeri Akut pada An. A dengan Glomerulonefritis Akut
(GNA) di Ruang Kanthil RSUD Banyumas diakses dari
http://repository.ump.ac.id/2460/3/USWATUN%20KHASANAH%20BAB%2
0II.pdf pada 31 Juli 2018.

52
Kliegman, R.M., et al., 2011, Nelson Textbook of Pediatrics, ed. 19th, Philadelphia:
Elsevier Saunders.

Konsensus IDAI Glomerulonefritis Akut Pasca Streptokokus. 2012. Jakarta.

Lewy JE. Acute Poststreptococal Glomerulonephritis. Pediatr Clin North Am 1976;


23:751

Lyttle, John D. The Treatment of Acute Glomerulonephritis in Children. The Bulletin.


Hlm : 212 – 221.
Nelson, Behrman, Kliegman, dkk. 2000. Ilmu Kesehatan Anak Nelson edisi 15 vol 1.
Jakarta : EGC.
Paramita, K. 2014. Lampiran Harga Normal Data Laboratorium dan Data Klinik.
Diakses dari http://repository.wima.ac.id/3188/8/Lampiran.pdf. pada 31 Juli
2018.

Perhimpunan Dokter Spesialis Penyakit Dalam Indonesia. 2017. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta: Interna Publishing.
Price S.A & Wilson L.M. 1995. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit.
EGC. Jakarta.
Purnomo, Basuki B. 2016. Dasar-dasar Urologi, edisi ketiga. Cetakan VI. Jakarta :

Putz, R. (2006). Sobotta Atlas of Human Anatomy (14th ed.). Stuttgart: Elsevier
Urban & Fischer.

Rachmadi, Dedi.2012. Diagnosis dan Penatalaksanaan Glomerelonefritis Akut.


Bandung: Pustaka UNPAD

Rauf, S., Albar, A., et al., 2012, Konsensus Glumerulonefritis Akut Pasca Infeksi
Streptokokus, Jakarta: Unit Kerja Nefrologi Ikatan Dokter Anak Indonesia.

Rodriguez B, Mezzano S. Acute postinfectious glomerulonephritis. Dalam: Avner


ED, Harmon WE, Niaudet P, Yashikawa N, penyunting. Pediatric nephrology.
edisi ke-6. Berlin: Springer; 2009. h. 743-55.

53
Rohen, J.W., & Yokochi Chihiro (2002). Anatomi Manusia. Jakarta: EGC

Rull, Gurvinder. 2018. Glomerulonephritis. Diakses dari


https://patient.info/health/glomerulonephritis-leaflet pada 31 Juli 2018.

Sagung Seto Sanjad, Sami. Acute Glomerulonephritis in Children : A review of 153


cases. Southern Medical Journal. 1977. Hlm : 1202 – 1206.

Sherwood, L. 2014. Fisiologi manusia : dari sel ke sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC

Smith JM, Faizan MK, Eddy AA. The child with acute nephritis syndrome. Dalam:
Webb N, Postlethwaite R, penyunting. Clinical paediatric nephrology. edisi ke-
3. New York: Oxford; 2003. h. 367-80.
Mansjoer dkk.2000. Kapita Selekta Kedokteran Jilid 2, Jakarta

Tanto, Chris. dkk. 2016. Kapita Selekta Kedokteran Jilid II. Jakarta: Media
Aesculapius.
Universitas Hasanuddin. 2018. Penuntun Pembelajaran Keterampilan Klinik Sistem
Urogenital. Diakses dari https://med.unhas.ac.id/kedokteran/wp-
content/uploads/2018/03/MANUAL-CSL-3-Pemeriksaan-Fisik-Edema.pdf.
pada 31 Juli 2018.

Universitas Muhammadiyah Semarang. Diakses online pada 31 Agustus 2018 di


http://digilib.unimus.ac.id/files/disk1/124/jtptunimus-gdl-anikcahyan-6195-2-
babii.pdf

Univesitas Andalas. 2011. Penuntun Skillslab Blok 2.6 Gangguan Sistem Pencernaan.
Diakses dari http://repository.unand.ac.id/14265/3/skills_lab_blok_2.pdf pada
31 Juli 2018.

54

Anda mungkin juga menyukai