Anda di halaman 1dari 40

BLOK MEKANISME DASAR PENYAKIT LAPORAN PBL

Senin, 21 September 2020

“Kulit dan Mata Saya Kuning, Dok!”

Disusun Oleh:
Kelompok 3

Tutor:
dr. Nathalie E. Kailola, M.Kes.

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER


FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS PATTIMURA
AMBON
2020
DAFTAR NAMA ANGGOTA KELOMPOK 3

Ketua : Mardita Ambar Aviffah 2019-83-092


Sekretaris 1 : Yuan Ivani Rumengan 2019-83-089
Sekretaris 2 : Andrea Samantha Mahazayaka 2019-83-081

Anggota :
1. Anastasia Agnes Pattipelohy 2018-83-018
2. Lavenia Bertha Kaihatu 2018-83-040
3. Tri Puspa Dussung Kamoda 2019-83-003
4. Sofia Angel Haumahu 2019-83-006
5. Novita Arianty 2019-83-046
6. Maryam Zaidun Salamun 2019-83-131
7. Metha Rezkya Hardiyanti Rengur 2019-83-134

i
KATA PENGANTAR

Puji syukur senantiasa kami ucapkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa,
Karena berkat dan rahmat-Nya, kami dapat menyelesaikan laporan ini tepat waktu.
Laporan ini memuat hasil diskusi kami selama tutorial 1 dan tutorial 2 Problem
Based Learning (PBL). Skenario yang kami bahas, yaitu tentang “Kulit dan Mata
Saya Kunung, Dok!”. Laporan ini tidak mungkin dapat terselesaikan tanpa bantuan
dan dukungan dari berbagai pihak. Oleh sebab itu, pada kesempatan ini kami ingin
menyampaikan terima kasih kepada:
1. dr. Nathalie E. Kailola, M.Kes., selaku tutor yang telah mendampingi
kami selama diskusi PBL berlangsung.
2. Yosepina Mainase, S.Pd., M.Kes., dan Eka Astuty, S.Si., M.Si. selaku
Penanggung Jawab Blok Mekanisme Dasar Penyakit.
3. Semua pihak yang telah membantu yang tidak dapat kami sebutkan satu
per satu.

Akhir kata, kami menyadari bahwa pembuatan laporan ini masih jauh dari
kesempurnaan. Oleh sebab itu, kritik dan saran yang membangun sangat kami
perlukan untuk perbaikan laporan kami selanjutnya.

Ambon, 21 September 2020

Kelompok 3

ii
DAFTAR ISI

DAFTAR NAMA ANGGOTA KELOMPOK 3........................................... i


KATA PENGANTAR..................................................................................... ii
DAFTAR ISI.................................................................................................... iii
DAFTAR GAMBAR....................................................................................... v
DAFTAR TABEL........................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN................................................................................ 1
1.1 Permasalahan.......................................................................................... 1
1.2 Step Jumps.............................................................................................. 1
1.2.1 Step I. Identifikasi Kata Sukar dan Kalimat Kunci..................... 1
1.2.2 Step II. Identifikasi Masalah........................................................ 2
1.2.3 Step III. Hipotesis Sementara...................................................... 2
1.2.4 Step IV. Klarifikasi Masalah dan Mind Mapping....................... 6
1.2.5 Step V. Learning Objective........................................................ 6
1.2.6 Step VI. Belajar Mandiri............................................................. 7
1.2.7 Step VII. Presentasi Hasil Mandiri............................................... 7
BAB II PEMBAHASAN................................................................................. 8
2.1 Patofisiologi Icterus............................................................................... 8
2.2 Mekanisme Pembentukan Bilirubin....................................................... 11
2.3 Etiologi Icterus ...................................................................................... 12
2.4 Gejala-gejala yang Timbul Sesuai Skenario.......................................... 14
2.5 Anamnesis, Pemeriksaan Fisik, dan Pencegahan................................... 15
2.5.1 Anamnesis.................................................................................... 15
2.5.2 Pemeriksaan Fisik........................................................................ 15
2.5.3 Pencegahan.................................................................................. 23
2.6 Pemeriksaan Penunjang......................................................................... 25
2.7 Diagnosis Banding................................................................................. 27
2.4.1 Hepatitis....................................................................................... 27

iii
2.4.2 Kolestasis..................................................................................... 30
BAB III PENUTUP ........................................................................................ 31
3.1 Kesimpulan ........................................................................................... 31
DAFTAR PUSTAKA...................................................................................... 32

iv
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1.1 Mind Mapping............................................................................... 6


Gambar 2.1 Patofisiologi Icterus...................................................................... 10
Gambar 2.2 Terjadinya Demam........................................................................ 14
Gambar 2.3 Perkusi Rentang Hepar.................................................................. 15
Gambar 2.4 Rentang Hepar yang Normal......................................................... 16
Gambar 2.5 Palpasi Organ Hepar..................................................................... 18
Gambar 2.6 Teknik Pemeriksaan dan Contoh Abnormalitas Hepar................. 19
Gambar 2.7 Palpasi Organ Limpa..................................................................... 20
Gambar 2.8 Palpasi Organ Limpa, Pasien Berbaring ke Kanan....................... 21
Gambar 2.9 Urutan Pertanda Serologik Infeksi Hepatitis B Akut.................... 27
Gambar 2.10 Urutan Pertanda Serologik Untuk Hepatitis C............................ 28

v
DAFTAR TABEL

Tabel 2.1 Virus Hepatik.................................................................................... 25

vi
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Permasalahan
Skenario 3

“Kulit dan Mata Saya Kuning, Dok!”

Seorang laki-laki usia 25 tahun datang ke rumah sakit dengan keluhan


kulit dan mata berwarna kuning. Keadaan tersebut dialami sejak 1 minggu yang
lalu disertai demam dan badan terasa lemas. Mual dan tidak ada nafsu makan
(anoreksia), dan rasa sakit pada perut sebelah kanan. 3 hari terakhir ia mengalami
gatal-gatal dan buang air kecil seperti teh pekat. Pasien telah berobat ke
puskesmas tapi tidak ada perbaikan. Pemeriksaan fisis menunjukan suhu badan
37,5o C, tekanan darah 110/70 mmHg, denyut nadi 72x/menit, adanya nyeri pada
kuadran kanan atas, dan hepatosplenomegaly.

1.2 Seven Jumps


1.2.1 Step I: Identifikasi Kata Sukar dan Kalimat Kunci
1.2.1.1 Identifikasi Kata Sukar
1. Hepatosplenomegaly: gangguan yang menyebabkan
pembengkakan pada hepar dan limpa yang di mana kondisi ini
menyebabkan hepar dan limpa tidak bisa menjalankan
fungsinya dengan baik.
2 Anoreksia: Menurun atau menghilangnya nafsu makan.
1.2.1.2 Identifikasi Kalimat Kunci
1. Seorang laki-laki berusia 25 tahun.
2. Datang ke rumah sakit dengan keluhan kulit dan mata berwarna
kuning.

1
2

3. Sudah dialami sejak satu minggu yang lalu disertai demam dan
badan terasa lemas.
4. Mual dan tidak ada nafsu makan dan rasa sakit pada perut
sebelah kanan.
5. Tiga hari terakhir ia mengalami gatal-gatal dan buang air kecil
seperti teh pekat.
6. Pemeriksaan fisik menunjukkan suhu 37,5oC, tekanan darah
110/70 mmHg, denyut nadi 72x/menit, adanya nyeri pada
kuadran kanan atas dan hepatosplenomegaly.
1.2.2 Step II: Identifikasi Masalah
1. Apa yang menyebabkan kulit dan mata pasien berwarna kuning?
2. Apa saja jenis-jenis icterus?
3. Apa hubungan dari pasien yang merasa lemas dengan
hepatosplenomegaly?
4. Mengapa pasien merasa gatal-gatal?
5. Bagaimana metabolisme terbentuknnya bilirubin?
6. Apa yang menyebabkan terjadinya sedikit penurunan darah?
7. Apa yang menyebabkan pasien mengalami gejala-gejala seperti mual,
tidak nafsu makan, dan demam?
8. Apa hubungan rasa nyeri pada perut sebelah kanan atas dengan
hepatosplenomegaly?
1.2.3 Step III: Hipotesis Sementara
1. Kulit dan mata berwarna kuning diakibatkan adanya bilirubin yang
berlebihan dalam darah dan di dalam jaringan, atau dikenal sebagai
hiperbilirubinemia. Bilirubin adalah pigmen yang terbentuk dari sel
darah merah yang mati atau lisis. Normalnya hepar menghilangkan
bilirubin bersamaan dengan sel darah merah yang sudah tua. Semua
kondisi yang dapat mengganggu perpindahan bilirubin ke hepar atau
menghambat keluarnya bilirubin dari tubuh dapat menyebabkan
3

peningkatan bilirubin dalam darah sehingga dapat membuat warna


jaringan menjadi kuning (icterus). Icterus biasanya dideteksi pada
sclera, kulit, atau urin yang menjadi kuning pekat bila didapatkan
bilirubin serum mencapai 2-3mg/dL dalam tubuh, di mana kadar
normal bilirubin serum total dalam tubuh seharsnya berkisar antara 0,3-
1mg/dL.
2. Jenis-jenis icterus
a. Icterus prahepatik: penyebab terjadinya icterus berada tidak di
dalam hepar dan terjadi sebelum metabolisme oleh hepar, seperti
pada anemia hemolitik.
b. Icterus hepatic/intrahepatic: terdapat gangguan pada jaringan hepar
sehingga metabolism yang dilaksanakan terganggu. Contohnya
terjadinya hepatitis.
c. Icterus posthepatik : icterus yang terjadi karena adanya ganngguan
atau obstruksi pada CBD (common bile duct) sehingga bilirubin
yang seharusnya dikeluarkan ke duodenum tidak bisa diekskresikan
sehingga beredar dalam sirkulasi darah.
3. Hubungan antara lemah dengan hepatosplenomegaly ini dapat
dikatikan dengan tugas hepar dan limpa sendiri. Hepar kita ketahui
mempunyai fungsi utama yaitu untuk menjadi tempat detoksifikasi
racun serta tempat sekresi empedu. Jika dalam prosesnya terdapat
gangguan, tentu saja ini akan menyebabkan penyakit. Sama halnya
untuk limpa. Tugas utama limpa adalah untuk menyaring darah,
menjadi tempat degradasi erotrosit, serta sebagai salah satu organ
imun tubuh. Limpa ini dapat mengalami gangguan jika ada infeksi dari
virus, bakteri, ataupun bekerja terlalu keras. Pada icterus prehepatik,
penyakit yang berkenaan adalah anemia hemolitik, di mana eritrosit
mengalami degradasi dengan sangat cepat. Hal ini bisa mengakibatkan
pembengkakan limpa atau splenomegali. Ketika limpa dan hepar
4

bekerja terlalu keras, tentu saja dibutuhkan energi yang cukup banyak,
sehingga jika sumber energi itu tidak terpenuhi tubuh akan merasa
lemas.
4. Rasa gatal yang kita rasakan sebenarnya dipicu oleh rangsangan yang
disebut pruritogen. Contohnya adalah gigitan serangga atau iritan
bahan kimia. Otak kemudian menerjemahkannya sebagai sensasi gatal.
Sebagai respon dari rasa gatal, kita akan menggaruk atau mengusap
daerah tersebut untuk menghilangkan iritan tersebut. Bilirubin
terbentuk saat heme pada hemoglobin dipecah. Bilirubin yang dibawa
aliran darah menuju hepar dikenal sebagai bilirubin tidak terkonjugasi
yang kemudian akan dikonjugasikan di dalam hepatosit, jika sudah
akan terbentuk bilirubin terkonjugasi yang kemudian akan berikatan
dengan empedu. Dari situ bilirubin yang sudah berikatan dengan
empedu akan dikeluarkan melalui saluran empedu ke saluran
pencernaan sehingga bisa dibuang dari tubuh. Sebagian besar bilirubin
dibuang lewat feses, sementara sisanya lewat urin. Jika bilirubin
menumpuk terlalu banyak di hepar, bilirubin kemudian akan
menumpuk terus di dalam darah dan tersimpan di bawah kulit.
Hasilnya adalah badan terasa gatal.
5. Bilirubin merupakan pigmen kuning hasil dari degradasi eritrosit.
Metabolisme bilirubin dimulai ketika eritrosit yang sudah tua akan
dihancurkan seperti di spleen, dia akan dipecah menjadi heme dan
globin. Heme akan dipecah oleh hemeoksigenase menjadi biliverdin
yang kemudian direduksi oleh biliverdin reduktasi menjadi bilirubin 1
atau bilirubin indirect, atau bilirubin tak terkonjugasi. Selanjutnya dia
tidak larut dalam air dan pHnya tidak bagus untuk tubuh. Untuk bisa
masuk ke dalam hepar dia akan berikatan dengan albumin dalam
peredaran darah, dan kemudian akan berkonjugasi dengan molekul
asam glukoronat oleh UDP-glukoronil transferase. Bilirubin
5

terkonjugasi ini yang nanti akan menuju usus dan diubah menjadi
urobilinogen yang akan memberi warna pada urobilin feses dan urin.
Ada beberapa urobilin yang diserap kembali da nada juga di ekskresi
ke dalam vesica fellea.
6. Sebenarnya tekanan darah 110/70 mmHg tidak menunjukkan tekanan
darah rendah, karena itu masih termasuk rentang normal tekanan
darah. Di mana tekanan darah yang normal berkisar antara 90/60
mmHg sampai 120/80 mmHg. Namun, bisa saja jika tekanan darah
menurun itu dikarenakan adanya demam dan inflamasi, sehingga akan
terjadi vasodilatasi untuk mengeluarkan panas tubuh. Ada juga
mediator inflamasi, yaitu prostaglandin akan mengakibatkan
vasodilatasi sehingga tekana darah bisa menuruk akibat pelebaran
pembuluh darah.
7. Karena adanya hepatosplenomegaly yang dapat menyebabkan hepar
dan limpa tidak dapat menjalankan funggsinya dengan baik.
Kerusakan ini dapat mengakibatkan timbulnya gejala seperti yang
ditemukan pada skenario. Jadi, ketika bilirubin mengalami
peningkatan, maka hepar akan mengalami gangguan dan bisa saja
terjadi peradangan yang menyebabkan fungsi hepar terganggu. Apabila
terjadi gangguan, hepar akan menolak untuk bekerja secara maksimal,
yaitu dengan cara membuat tubuh tidak nafsu makan. Garam-garam
empedu dan bilirubin berfungsi dalam metabolisme lemak akan
terganggu. Apabila terjadi kerusakan pada hepar, maka akan membuat
pasien menjadi mual dan tidak nafsu makan atau anoreksia. Sel kupfer
akan mencoba melawan, maka akan timbul inflamasi yang
menyebabkan hipertermia sehingga pasien tersebut mengalami
demam. Karena demam, maka terjadi peningkatan hormone leptin
sehingga nafsu makan akan menurun.
6

8. Kuadaran kanan atas terdiri dari beberapa organ, salah satunya adalah
hepar. Tentu saja jika ditemukan masalah pada organ-oragan tersebut,
atau sesuai dalam skenario terjadi pembengkakan hepar, maka hal
tersebut bisa merangsang nosiseptor dan mentransmisikan ke medulla
spinalis, yang kemudian akan terjadi persepsi rasa sakit pada
hipothalamus.

1.2.4 Step IV: Klarifikasi Masalah dan Mind Mapping

Mind Mapping

Gambar 1.1 Mind Mapping


7

1.2.5 Step V: Learning Objectives


1. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan patofisiologi icterus.
2. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan mekanisme
pembentukan bilirubin.
3. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan etiologi icterus.
4. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan gejala-gejala yang
timbul dalam skenario.
5. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pemeriksaan fisik dan
pencegahan icterus.
6. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan pemeriksaan
penunjang.
7. Mahasiswa mampu memahami dan menjelaskan diagnosis banding.

1.2.6 Step VI: Belajar Mandiri

(mencari jawaban dari learning objective yang sudah ditentukan)

1.2.7 Step VII: Presentasi Hasil Belajar Mandiri


(mempresentasikan jawaban dari hasil belajar mandiri)
8
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Patofisiologi Icterus
Icterus adalah warna kekuningan pada jaringan tubuh, termasuk warna
kekuningan pada kulit dan jaringan dalam. umum icterus adalah adanya sejumlah
besar bilirubin dalam cairan ekstraselular, baik bilirubin tidak terkonjugasi
maupun bilirubin terkonjugasi. Konsentrasi normal bilirubin plasma, yang hampir
seluruhnya berbentuk tidak terkonjugasi, rata-rata 0,5 mg/dl plasma. Pada
keadaan abnormal tertentu, nilainya dapat meningkat sampai 40 mg/dl, dan
banyak dari bilirubin ini dapat menjadi tipe konjugasi. Kulit biasanya mulai
tampak kuning bila konsentrasinya meningkat kira-kira tiga kali normal yaitu, di
atas 1,5 mg/dl. Penyebab icterus yang umum adalah meningkatnya pemecahan sel
darah merah, dengan pelepasan bilirubin yang cepat ke dalam darah, dan
sumbatan duktus biliaris atau kerusakan sel hepar sehingga jumlah bilirubin yang
biasa sekalipun tidak dapat diekskresi ke dalam saluran pencernaan.1
1. Over production
Peningkatan jumlah hemoglobin yang dilepas dari sel darah merah
yang sudah tua atau yang mengalami hemolisis akan meningkatkan produksi
bilirubin. Penghancuran eritrosit yang menimbulkan hiperbilirubinemia paling
sering akibat hemolisis intravaskular (kelainan autoimun, mikroangiopati atau
hemoglobinopati) atau akibat resorbsi hematom yang besar. Icterus yang
timbul sering disebut icterus hemolitik. Konjugasi dan transfer bilirubin
berlangsung normal, tetapi suplai bilirubin tak terkonjugasi melampaui
kemampuan sel hepar.
Pada keadaan ini peningkatan terjadi pada bilirubin tidak terkonjugasi
dalam plasma, sebagai usaha tubuh untuk mengurangi kadar bilirubin tidak
terkonjugasi ini, dilakukan penyerapan ke dalam sel hepar, begitu pula
ekskresi bilirubin oleh sel hepar meningkat. Hal ini mengakibatkan

8
9

pembentukkan urobilinogen meningkat sehingga peningkatan ekskresi dalam


urine dan feces (warna gelap). Beberapa penyebab icterus hemolitik:
Hemoglobin abnormal (sickle sel anemia hemoglobin), kelainan eritrosit
(sferositosis heriditer), antibodi serum (Rh. inkompatibilitas transfusi), obat-
obatan.2
2. Penurunan kecepatan penyerapan bilirubin oleh sel hepar.
Pengambilan bilirubin tak terkonjugasi dilakukan dengan
memisahkannya dari albumin dan berikatan dengan protein penerima. Pada
keadaan ini kadar bilirubin tidak terkonjugasi dalam plasma meningkat tetapi
tidak terjadi peningkatan kadar urobilinogen dalam urin. Beberapa kelainan
genetik seperti sindrom Gilbert dan berbagai jenis obat-obatan seperti asam
flavaspidat, novobiosin dapat mempengaruhi uptake ini.2
3. Gangguan konjugasi bilirubin.
Terjadi gangguan konjugasi bilirubin sehingga terjadi peningkatan
bilirubin tak terkonjugasi. Hal ini disebabkan karena defisiensi enzim
glukoronil transferase. Apabila enzim glukoronil transferase sama sekali
tidak terdapat, maka konsentrasi bilirubin tidak terkonjugasi dalam darah akan
sangat tinggi. Selanjutnya karena bilirubin terkonjugasi tidak terbentuk, maka
tidak terdapat bilirubin terkonjugasi dalam empedu. Empedu menjadi tidak
berwarna, tinja berwarna pucat, tidak terdapat urobilinogen dalam urin.
Terjadi pada: Sindroma Crigler Najjar I, Sindroma Crigler Najjar II.2
4. Gangguan eksresi bilirubin ke dalam empedu
Gangguan ekskresi bilirubin dapat disebabkan oleh kelainan
intrahepatik dan ekstrahepatik, tergantung ekskresi bilirubin terkonjugasi oleh
hepatosit akan menimbulkan masuknya kembali bilirubin terkonjugasi ke
dalam sirkulasi sistemik sehingga timbul hiperbilirubinemia. Bilirubin
terkonjugasi larut dalam air dan akan dikeluarkan ke dalam urin sehingga urin
akan berwarna gelap. Sebaliknya tinja berwarna pucat dan kadar urobilinogen
dalam urin menurun. Kelainan hepatoseluler dapat berkaitan dengan: reaksi
10

obat, hepatitis alkoholik serta perlemakan hepar oleh alkohol. Icterus pada
trimester terakhir kehamilan hepatitis virus, sindroma Dubin Johnson dan
Rotor, icterus pasca bedah. Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik akan
menimbulkan hiperbilirubinemia terkonjugasi yang disertai bilirubinuria.
Obstruksi saluran bilier ekstrahepatik dapat total maupun parsial. Obstruksi
total dapat disertai tinja yang alkoholik. Penyebab tersering obstruksi bilier
ekstrahepatik adalah: sumbatan batu empedu pada ujung bawah ductus
koledokus, karsinoma kaput pancreas, karsinoma ampula vateri, striktura
pasca peradangan atau operasi.2
Ditinjau dari sudut terjadinya, icterus dapat dibagi menjadi 2 golongan besar:
Icterus patologik yang dapat terjadi pada anak dan dewasa, dan dapat
disebabkan oleh banyak faktor seperti ketidaksesuaian golongan darah,
kelainan genetik, hepatitis, sirosis hepar, sumbatan empedu, infeksi atau obat-
obatan, dan icterus neonatorum. Keadaan icterus yang secara fisiologis terjadi
pada saat bayi baru dilahirkan.2

Gambar 2.1 Patofisiologi Icterus


11

Sumber: Silbernagl S, Lang F. Color atlas of pathophysiology. 3rd Ed. New York: Thieme;
2013. 183p.3

2.2 Mekanisme Pembentukan Bilirubin


Bilirubin berasal dari sel eritrosit yang telah usang. Sel tersebut berumur
sekitar 120 hari. Pada saat itu, kekuatan ikatan pada eritrosit berangsur
menurun.sehingga terjadi pelepasan hemoglobin. Hemoglobin yang telah lepas
ini, akan difagosit oleh sel jaringan makrofag dalam sistem retikuloendotelial.
Lalu hemoglobin terpecah menjadi heme dan globin. Globin akan diurai menjadi
asam amino dan akan didaur ulang untuk digunakan kembali. Heme akan
mengalami oksidasi oleh heme oksigenase. Heme memiliki struktur berbentuk
cincin yang akan dilepas oleh heme oksigenase. Pada saat pelepasan ikatan
tersebut, disaat yang bersamaan terjadi pelepasan Fe3+ bebas dan fero heme. Fero
heme akan berikatan dengan O2 dengan bantuan 7e- yang kemudian menghasilkan
biliverdin.4
Fe3+-heme + 3O2 + 7e- → Biliverdin + CO + Fe3+
Elektron yang digunakan, diperoleh dari NADH dan NADPH sitokrom
P450 reduktase. Biliverdin yang terbentuk akan mengalami reduksi kemudian
menjadi bilirubin unconjugated. 4
Biliverdin + NADPH + H+ → Bilirubin + NADP+
Bilirubin yang telah terbentuk akan membentuk ikatan yang kuat dengan
albumin plasma. Fungsi dari albumin plasma ini adalah membuat bilirubin
unconjugated mampu menembus sel hepar. Selanjutnya bilirubin unconjugated
dan palbumin plasma ini akan beredar dalam darah, lalu kemudian diabsorpsi
oleh hepar. Bilirubin unconjugared tersebut akan diserap pada permukaan
sinusoid hepatosit. Disana, bilirubin unconjugated akan berikatan dengan ligandin
yang berfungsi untuk menjaga agar bilirubin tidak kembali ke kapiler darah.
Bilirubin unconjugated yang sudah berada dalam sel hepatosit, akan mengalami
konjugasi oleh asam glukuronat, asam sulfat dan zat lainnya. Sebanyak 80% dari
bilirubin unconjugated akan berikatan dengan asam glukuronat, 10% akan
12

berikatan dengan asam sulfat dan 10% akan berikatan dengan zat lainnya dalam
hepatosit. Bilirubin unconjugated berikatan dengan asam glukuronat, bertujuan
untuk mengubah sifat dari bilirubin nonpolar menjadi polar. Pada proses ikatan
ini, UDP bilirubin glukosil transferase akan mengkatalisis perpindahan bilirubin
secara bertahap dari dua gugus glukosil UDP glukuronat.4

Bilirubin + UDP-Glukuronat → Bilirubin Monoglukuronida + UDP


Bilirubin Monoglukuronida + UDP → Bilirubin Diglukuronida + UDP

Selanjutnya bilirubin conjugated akan disekresikan ke empedu lewat


kanalikuli empedu. Sekresi ini akan dibantu oleh transport atif oleh MOAT
(multispesifik arganik anion transporter).4

2.3 Etiologi Icterus


Icterus yang timbul pada hari kedua dan hari ketiga yang tidak
mempunyai dasar patologis, kadarnya tidak melewati kadar yang membahayakan
atau yang mempunyai potensi melewati dan tidak menyebabkan suatu morbiditas
pada sesorang. Etiologi icterus sendiri disebabkan oleh beberapa faktor, secara
garis besar etiologi itu dapat dibagi menjadi hiperbilirubinemia bentuk tak-
terkonjugasi dan hiperbilirubinemia bentuk terkonjugasi. Hiperbilirubin adalah
meningkatnya kadar bilirubin dalam darah yang kadar nilainya lebih normal,
biasanya terjadi pada bayi baru lahir.5
1. Hiperbilirubinemia terutama bentuk tak-terkonjugasi
Pada keadaan hiperbilirubinemia bentuk tak-terkonjugasi apabila
memproduksi bilirubin yang berlebihan dapat menyebabkan keadaan seperti:
a) Anemia hemolitik, dimana terjadi resorpsi darah perdarahan internal
misalnya perdarahan saluran cerna dan hemotom.
b) Sindrom eritropoiesis inefektif misalnya anemia pernisiosa dan talasemia.
13

Penurunan penyerapan oleh hepar, terjadi gangguan sistem pembawa


dalam membran oleh obat beberapa kasus singrom Gilbert. Gangguan
konjugasi bilirubin sendiri dapat menyebabkan
a) Icterus fisiologis pada neonatus (penurunan aktivitas UGT1A1, penurunan
ekskresi).
b) Sindrom Gilbert, merupakan penurunan ekspresi UGT1A1.
c) Penyakit hepatoseluler difus, misalnya hepatitis virus atau akibat obat dan
sirosis.
2. Hiperbilirubinemia terutama bentuk terkonjugasi
Penurunan ekskresi bilirubin glukoronida oleh hepar dapat
menyebabkan gangguan seperti:
a) Defisiensi pengangkut di membran kanalikulus misalnya sindrom Dubin-
Johson dan sindrom Rotor.
b) Disfungsi membran kanalikulus akibat obat misalnya kontrasepsi oral dan
siklosporin.
c) Kerusakan atau toksisitas hepatoselular misalnya hepatitis virus, akibat
obat, nutrisi parenteral total dan infeksi sistemik.
Penurunan aliran empedu intrahepar, juga dapat menyebabkan
gangguan aliran empedu melalui kanalikulus biliaris misalnya disfungsi
mikrofilamen akibat obat dan destruksi peradangan saluran empedu intrahepar
misalnya sirosis biliaris primer, kolangitis sklerotikans primer, penyakit graft-
versus-host dan transplantasi hepar.5
Obstruksi empedu ekstrahepar juga dapat menyebabkan obstruksi
saluran empedu oleh batu empedu, karsinoma kaput pancreas, duktus biliaris
ekstra hepar, ampula vateri, atresia biliaris ekstrahepar, kista koledokus dan
infestasi cacing pita di hepar.5

2.4 Gejala-gejala yang Timbul Sesuai Skenario


14

Rasa gatal atau pruritus dapat terjadi disebabkan adanya garam empedu di
daerah subkutan. Garam empedu merupakan zat yang bersifat pruritogenik. Zat
pruritogenik akan merangsang nosiseptor sehingga menstimulus munculnya
impuls. Impuls ini akan ditransmisi lebih lanjut menuju daerah persepsi seperti
thalamus, hipotalamus, formation retikularis, dll. Adanya kemungkinan inflamasi
pada hepatosplenomegali dapat memicu pengeluaran mediator prostaglandin yang
juga berperan dalam regulasi dari demam. Sehingga dapat dikatakan demam
merupakan kompensasi tubuh terhadap inflamasi yang terjadi. Selain itu
terjadinya inflamasi juga dapat menimbulkan respons anoreksia dan lemas. Hal
ini dikarenakan aktifnya mediator sitokin seperti IL-1 dan TNF yang
mempengaruhi sel otak. Inflamasi dapat menstimulasi impuls saraf afferen yang
selanjutnya dapat diterima oleh CTZ (Chemoreceptor trigger zone). CTZ akan
mentransmisikan impuls melalui saraf efferen menuju nervus vagus dan memicu
rasa mual. Lalu terjadi spasme otot diaphragma dan otot abdomen sehingga
terjadi kompresi dan berakibat muntah.6,7
15

Gambar 2.2Terjadinya Demam


Sumber: Sherwood L. Fisiologi Manusia : Dari Sel ke Sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC; 2013.
Halaman 692.6

2.5 Anamnesis, Pemeriksaan Fisik, dan Pencegahan


2.5.1 Anamnesis
Anamnesis ditunjukan untuk mengetahui bagaimana riwayat
timbulnya dari icterus. Ketika memeriksa pasien dengan icterus, berikan
perheparan khusus pada gejala yang menyertai dan lingkungan ketika
sakit itu terjadi. Bagaimana warna urin ketika pasien sakit. Ketika kadar
bilirubin terkonjugasi meningkat di dalam darah, bilirubin ini dapat
diekskresikan ke dalam urin sehingga wama urin berubah menjadi cokelat
kekuningan yang gelap atau menjadi seperti wama teh. Bilirubin yang
tidak terkonjugasi tidak bersifat larut dalam air sehingga tidak
diekskresikan ke dalam urin. Tanyakan pula tentang warna feses. Ketika
16

ekskresi empedu ke dalam usus halus sama sekali tersumbat, wama feses
berubah menjadi abu-abu atau warna cerah, atau akolik-feses tanpa
empedu, apakah kulit terasa gatal tanpa penyebab yang jelas, apakah
disertai rasa nyeri, bagaimana polanya, apakah bersifat kambuhan di masa
lalu, dan hal yang terkait lainnya dengan icterus.8
2.5.2 Pemeriksaan fisik
Untuk melaksanakan pemeriksaan abdomen yang baik, Anda
memerlukan diantaranya p enerangan yang baik, kondisi pasien yang
rileks, dan pajanan abdomen yang penuh dari daerah di atas prosesus
sifoideus hingga simfisis pubis. Genitalia harus tetap ditutupi. Otot-otot
abdomen harus lemas untuk memudahkan pelaksanaan semua aspek
pemeriksaan, khususnya palpasi.8
a. Inspeksi
Pada pemeriksaan fisik inspeksi dengan memperheparkan
apakah mukosa kulit icterus, sklera mata berwarna kuning yang bisa
mengindikasikan meningkatnya kadar bilirubin di dalam darah.
Memperheparkan kontur abdomen, apakah rata, bulat, buncit
(protuberan) atau skafoid-yaitu sangat cekung atau konkaf. Apakah
bagian pinggang terlihat membenjol ataukah terdapat benjolan
setempat, apakah abdomennya simetris.8
b. Perkusi
Karena sebagian besar hepar (hepar) dilindungi oleh dinding
iga pemeriksaannya sulit dilakukan. Namun, besar serta bentuk hepar
dapat diperkirakan melalui perkusi dan mungkin pula palpasi, dan
dengan tangan yang melakukan palpasi ini, Anda dapat mengevaluasi
permukaan hepar, konsistensinya, serta nyeri tekan pada hepar. Ukur
rentang vertikal pekak hepar pada linea midklavikularis kanan.
Dimulai pada ketinggian di bawah umbilikus (pada daerah timpani,
bukan pada daerah redup), lakukan perkusi ringan ke arah atas
17

menuju daerah hepar. Pastikan lokasi bunyi redup yang menunjukkan


tepi bawah hepar (margo inferior hepar) pada linea midklavikularis
tersebut. Selanjutnya kenali tepi atas daerah pekak hepar pada linea
midklavikularis. Lakukan perkusi ringan mulai dari daerah sonor
Paru ke bawah menuju daerah pekak hepar. Jika perlu, sisihkan
payudara pada pasien wanita secara hepar-hepar agar Anda merasa
yakin bahwa perkusi benar-benar dimulai di daerah sonor. Lintasan
gerakan perkusi diperlihatkan di bawah ini.8

Gambar 2.3 Perkusi Rentang Hepar


Sumber: Lynn SB. Buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan. Edisi ke-11.
Jakarta: EGC; 20158

Kini, ukur dalam satuan sentimeter jarak antara dua titik yang Anda temu-
kan-jarak ini merupakan rentang vertikal pekak-hepar (Iiaer dullness).
Rentang hepar yang normal seperti terlihat di bawah, umumnya
berukuran lebih besar pada pria dibandingkan pada wanita dan pada orang
yang bertubuh tinggi dibandingkan pada orang yang pendek. Jika hepar
tampak membesar, tentukan tepi bawah hepar dengan melakukan perkusi
pada daerah lainnya.8
18

Gambar 2.4. Rentang Hepar yang Normal


Sumber: Lynn SB. Buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan. Edisi ke-11.
Jakarta: EGC; 20158

Selanjutnya, untuk perkusi pada limpa, terdapat dua teknik perkusi yang
dapat membantu Anda untuk menemukam splenomegali atau pembesaran
limpa:8
1) Lakukan perkusi dinding dada bagian anteriar bawah yang berada di
antara bunyi sonor paru di sebelah atas dan margo kostalis (daerah
yang dinamakan ruang traube). Ketika melakukan perkusi di
sepanjang lintasan yang ditunjukkan oleh anak panah pada gambar di
bawah, perheparkan bentangan bunyi timpani ke lateral. Bentangan ini
bervariasi, tetapi jika bunyi timpaninya menonjol, khususnya di
sebelah lateral, kemungkinan splenomegali sangat kecil. Bunyi redup
yang timbul pada perkusi limpa yang normal biasanya tersembunyi di
balik bunyi redup jaringan posterior lainnya.8
2) Lakukan perkusi pada ruang sela iga paling bawah pada linea aksilaris
anterior kiri seperti terlihat di bawah ini. Biasanya daerah ini akan
rnenghasilkan bunyi timpani. Kemudian, minta pasien untuk menarik
napas yang dalam, dan sekali lagi lakukan perkusi. Jika ukuran
lirnpanya normal, liasanya bunyi perkusi tetap. jika salah satu atau
19

kedua tes ini memberikan hasil yang perheparan tambahan pada


pemeriksaan palpasi limpa.8
c. Palpasi
Palpasi bertujuan untuk mengetahui apakah saat dilakukannya
penekanan pada bagian abdomen apakah dirasakan nyeri atau tidak,
selain itu bertujuan juga untuk mengetahui apakah terdapat kelainan
pada organ tertentu yang berhubungan dengan timbulnya icterus
seperti hepar, limpa.8
Untuk pemerikasaan palpasi pada hepar, letakkan tangan kiri
Anda di belakang tubuh pasien dalam posisi sejajar dengan dan
menyangga iga ke-11 dan ke-12 kanan serta jaringan lunak di
bawahnya. Jika perlu, ingatkan kepada pasien untuk melemaskan
tubuhnya pada tangan Anda. Dengan menggunakan tangan kiri untuk
mengangkat bagian tubuh tersebut ke atas, hepar pasien dapat diraba
dengan lebih mudah oleh tangan yang lain. Tempatkan tangan kanan
Anda pada sisi kanan abdomen pasien di sebelah lateral muskulus
rektus sementara ujung jari-jari tangan Anda berada di sebelah
inferior tepi bawah pekak hepar.8
Minta pasien untuk menarik napas dalam. Coba untuk meraba bagian
tepi hepar ketika struktur ini bergerak menyentuh ujung jari-jari
tangan Anda. Jika Anda merasakannya, kendurkan sedikit tekanan
yang dilakukan oleh tangan Anda agar hepar dapat menyusup di
bawah permukaan ventral jari tangan Anda dan dengan demikian
Anda dapat meraba permukaan anteriornya. Perheparkan setiap nyeri
tekan yang terjadi. jika hepar pasien dapat diraba sepenuhnya, bagian
tepi hepar yang normal akan terasa lunak, tajam, serta teratur dengan
permukaan hepar yang licin. Hepar yang normal mungkin memberi
rasa sedikit nyeri ketika ditekan. Pada saat inspirasi, hepar (pada
20

halaman berikutnya) dapat diraba sekitar 3 cm di bawah margo


kostalis kanan pada linea midklavikularis.8

Gambar 2.5 Palpasi Pada Organ Hepar


Sumber: Lynn SB. Buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan. Edisi ke-11.
Jakarta: EGC; 20158

Sebagian orang bernapas dengan lebih menggunakan dadanya


daripada diafragma. Barangkali kita harus melatih mereka untuk
bernapas dengan perutnya yang akan membawa hepar-di samping
lien dan ginjal-ke dalam posisi yang bisa diraba pada saat inspirasi.
Coba untuk menelusuri tepi hepar ke arah lateral dan medial. Untuk
meraba hepar, Anda dapat mengubah-ubah tekanan menurut
ketebalan dan resistensi dinding abdomen pasien. Nyeri tekan pada
hepar menunjukkan inflamasi seperti pada hepatitis, atau kongesti,
seperti gagal jantung.8
21

Gambar 2.6 Teknik Pemeriksaan, dan Contoh Abnormalitas Hepar


Sumber: Lynn SB. Buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan. Edisi ke-11.
Jakarta: EGC; 20158

Palpasi pada organ limpa, dengan tangan kiri Anda, jangkau dan
lingkari tubuh pasien untuk menyangga serta mengangkat dinding iga
kiri bawah dan jaringan lunak di dekatnya ke atas. Dengan tangan
kanan diletakkan di bawah margo kosta, lakukan penekanan ke dalam
ke arah limpa. Mulailah palpasi pada daerah yang cukup rendah
sehingga tangan Anda berada di sebelah bawah limpa yang mngkin
membesar. Minta pasien untuk menarik napas dalam. Coba untuk
meraba bagian tepi limpa ketika struktur ini bergerak menyentuh
ujung jari-jari tangan Anda. Perheparkan setiap nyeri tekan yang
terjadi,lakukan penilaian terhadap kontur limpa dan ukur jarak antara
titik terendah limpa dan margo kostalis kiri. Pada sebagian kecil
orang dewasa yang normal, ujung limpa dapat diraba. Penyebabnya
meliputi diafragrna yang letaknya rendah dan rnendatar seperti pada
penyakit paru obstruktif kronik, dan penurunan diafragma yang
terjadi karena inspirasi yang dalam.8

Gambar 2.7 Palpasi Pada Organ Limpa


22

Sumber : Lynn SB. Buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan. Edisi ke-11.
Jakarta: EGC; 20158

Ulangi pemeriksaan di atas dengan pasien berbaring pada sisi


kanannya dan kedua tungkai yang sedikit difleksikan pada sendi paha
dan lutut. Dalamposisi ini, gaya tarik bumi membawa limpa ke depan
dan ke kanan ke dalam posisi yang dapat diraba. Limpa yang
membesar dapatdiraba sekitar 2 cm di bawah margo kostalis kiri saat
pasien melakukan inspirasi yang dalam.8

Gambar 2.8 Palpasi Pada Organ Limpa, Pasien Berbaring Pada Sisi Kanan Tubuhnya
Sumber: Lynn SB. Buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan. Edisi ke-11.
Jakarta: EGC; 2015. 8

2.5.3 Pencegahan
Adapun upaya dalam pencegahan pada icterus yaitu pengenalan
yang cepat terhadap gejala dan tanda guna menurunkan resiko lebih jauh
dari icterus. Adapun sebagai berikut cara yang dapat dilakukan untuk
pencegahan dan edukasi bagi pasien icterus.8
a. Pendeteksian dini
23

Pendeteksian dini dengan melakukan pemeriksaan kadar


bilirubin dalam darah pasien, kemudian melakukan beberapa tes
tambahan seperti tes darah, tes urine, tes pemindaian, dan biopsi hepar
untuk mencari tahu penyebab penyakit kuning tersebut. Pengobatan
penyakit kuning tergantung kepada penyebab yang mendasarinya.
Pengobatan penyakit kuning dibagi menjadi tiga, yaitu:8
1) Pengobatan pre-hepatic, untuk mencegah sel darah merah hancur
terlalu banyak atau cepat, sehingga penumpukan bilirubin dapat
dihindari.
2) Pengobatan intra-hepatic, untuk memperbaiki kerusakan hepar,
dan mencegah meluasnya kerusakan pada organ tersebut.
3) Pengobatan post hepatic, untuk menghilangkan sumbatan di dalam
saluran empedu dan pankreas.
b. Melakukan vaksinasi hepatitis
Baik dengan mendapatkan vaksinasi hepatitis A dan B, hepatitis
A adalah penyakit yang menyerang hepar, akibat adanya infeksi virus
hepatitis A (HAV). Tidak seperti jenis hepatitis lainnya, yaitu hepatitis
B dan hepatitis C, infeksi akibat hepatitis A ini tidak menyebabkan
gangguan hepar jangka panjang (kronis), dan jarang berakibat fatal.
Namun, hepatitis A tetap dapat menyebabkan munculnya gejala
kerusakan hepar akut, yang cukup berbahaya dan berpotensi
mengancam nyawa. Terjadinya gangguan pada organ hepar tentunya
juga akan berdampak pada fungsi hepar itu sendiri, sehingga
melakukan vaksinasi hepatitis juga merupakan salah satu upaya
pencegahan guna menghindari icterus.8
c. Menjalankan pola makan yang sehat
Pola makan merupakan salah satu faktor yang menentukan
kesehatan organ tubuh termasuk hepar. Agar terhindar dari berbagai
penyakit hepar yang berbahaya, maka Anda harus membiasakan diri
24

melakukan pola makan sehat dan juga bergizi. Dengan adanya pola
makan sehat, maka kerja hepar akan semakin ringan karena lalu lintas
metabolisme dalam tubuh dapat diatur dengan baik. Sedangkan
makanan bergizi yang dapat membantu pencegahan penyakit hepar bisa
didapat dari berbagai sumber. Beberapa jenis makanan seperti sayuran
dan kacang-kacangan yang kaya akan antioksidan sangat bagus
dikonsumsi setiap hari karena dapat membantu mencegah serangan
penyakit hepar.8

d. Membatasi konsumsi alkohol


Para ahli hanya mengetahui bahwa kerusakan sel hepar
disebabkan oleh alkohol, dan zat kimia yang beracun seperti
acetaldehyde akan diproduksi di alkohol ethanol. Zat-zat kimia ini akan
menyebabkan peradangan dan kerusakan sel-sel hepar. Lambat laun
sirosis akan terbentuk dan mengurangi aktivitas hepar. Sirosis adalah
tahap terakhir dari hepatitis yang disebabkan oleh alkohol. Terjadinya
kerusakan pada sel hepar tentunya akan berpengaruh pada fungsi dari
sel hepar dalam ambilan bilirubin indirect (bilirubin belum
terkonjungasi), karena ambilan dari sel hepar yang berkurang hal
tersebut akan berpengaruh pada jumlah bilirubin indirect yang terdapat
di dalam darah. Hal tersebut bisa menimbulkan terjadinya
hiperbilirubinemia indirect.8

2.6 Pemeriksaan Penunjang


Pemeriksaan penunjang pada icterus terdiri dari:
1. Pemeriksaan laboratorium
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan antara lain pemeriksaan kadar
bilirubin serum (total) untuk menentukan kadar dan apakah bilirubin tidak
terkonjugasi atau terkonjugasi. Pemeriksaan serum bilirubin total harus
25

diulang setiap 4-24 jam tergantung usia bayi dan tingginya kadar bilirubin.
Kadar serum albumin juga perlu diukur untuk menentukan pilihan terapi sinar
ataukah tranfusi tukar. Selain itu, ada juga pemeriksaan darah tepi lengkap
untuk melihat adanya sel abnormal. Pemeriksaan lain yaitu uji Coombs direct
(untuk mendeteksi adanya antibodi maternal) dan uji coombs indirect (untuk
mendeteksi adanya hemolisis), pemeriksaan taksiran hemoglobin/hematokrit
untuk mengkaji anemia, menghitung sel darah putih untuk mendeteksi infeksi.
Sementara pemeriksaan khusus seperti hormon tiroid, asam amino serum dan
urin, kultur darah dan urin, zat reduktor dalam urin, galaktosa-1 fosfat uridil-
transferase, uji klorida keringat dan pemeriksaan kromosom dilakukan atas
indikasi, yaitu bila ada gejala klinis lainnya yang mendukung ke arah
penyakit.9,10
2. Ultrasonografi
Ultrasonografi (USG) mempunyai peran yang sangat penting untuk
skrining kolestasis. Pemeriksaan ini sebaiknya dikerjakan pada semua
penderita kolestasis karena tekniknya sederhana dan non invasif. Melalui
USG ini kista (duktus koledokus atau intrahepatik), batu kandung empedu
atau biliary sludge akibat nutrisi parenteral atau penyakit hemolitik serta
tumor dapat dideteksi. Untuk kista duktus koledokus dan batu, akurasi
pemeriksaan ini mencapai 90−95%. Tetapi untuk biliary sludge atau
inspissated bile akurasinya buruk. Pada pemeriksaan USG juga dapat diukur
panjang dan kontraktilitas gall bladder. Pada atresia biliaris dapat ditemukan
panjang gall bladder <1,5 cm, kolaps, tidak berlumen, atau bahkan gall
bladder tidak terlihat sama sekali. Selain itu, pada atresia biliaris didapatkan
nilai kontraktilitas gall bladder rendah atau tidak terdapat kontraktilitas sama
sekali. Akurasi diagnostik pemeriksaan USG ini untuk kolestasis hanya 80%.
Namun dengan USG dapat ditemukan gambaran Triangular cord sign
(gambaran masa fibrotik membentuk kerucut atau tubular pada bagian cranial
dan bifurkasio vena porta) yang sangat membantu untuk mendiagnosis atresia
26

biliaris. Triangular cord sign dengan ketebalan > 4 mm dengan memberikan


kepastian diagnosa atresia biliaris dengan sensitivitas 80% dan spesifisitas
100%.10
3. Biopsi hepar
Terdapat beberapa parameter yang dapat membedakan cholestasis
jaundice antara intrahepatik dan ekstrahepatik. Parameter yang merupakan
tanda cholestasis ekstrahepatik walaupun tidak terdapat patognomoni, tetapi
spesifik terhadap atresia biliaris yaitu proliferasi duktus pada porta hepatis,
thrombus di daerah porta hepatis, proses inflamasi dan fibrosis pada porta
hepatis, dan lymphedema. Biopsi hepar memiliki sensitivitas 85% dan
spesifisitas 95%.10

2.7 Diagnosis Banding


2.7.1 Hepatitis
Hepatitis merupakan sebuah kondisi patologis kerusakan sel hepar
dengan gambaran histologis yang spesifik ditandai dengan adanya
inflamasi, apabila bersifat kronik ditemukan jaringan parut. Hepatitis
terbagi atas hepatitis akut dan kronik yang mana kedua hal tersebut
dibedakan atas lamanya penyakit dan pola kerusakan hepar yang
ditimbulkannya. Dalam klasifikasinya, hepatitis virus dibedahlan oleh ).
Jenis virus tersebut, cara dan bentuk infeksinya. Hepatitis virus disebabkan
terutama oleh virus hepatitis A (VHA), B (VHB), C (VHC), D (VHD) dan
E (VHE).5
27

Tabel 2.1 Virus Hepatik


Sumber : Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Robins Buku Ajar Patologi. 9th ed. Muhammad
Asroruddin, Hariawati Hartanti ND, editor. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2012. 614
p.5

a. Hepatitis virus A
Hepatitis A measuk kedalam kaategori hepatitis akut. Pada
umumnya hepatitis A bersifat jinak, penyakit yang dalam waktu tertentu
sembuh dengan sendirinya,waktu inkubasi 2-6 minggu (rata-rata 28
hari). Hepatitis virus A merupakan virus RNA yang berdiameter 27
nm,virus ini dapat dideteksi di dalam feses pada akhir masa inkubari
dan fase paikterik. Sewaktu timbul ikterik ,maka antibody terhadap
HAV telah dapat diukur dalam serum.Mula-mula kadar antibody IgM
anti HAV meningkat dengan tajam, sehinggga memudahkan untuk
mendiagnosis adanya infeksi HAV. Setelah masa akut anti body IgG
menjadi dominant dan bertahan untuk seterusnya.keadaan ini
menunjukkan bahwa pasien pernah mengalami infeksi HAV di masa
lampau , dan saat ini ledih kebal.5
Manifestasi klinis hepatitis terbagi atas beberapa fase. Pertama,
fase pre-ikterik (1-2 minggu sebelum fase ikterik) terjadi anoreksia,
28

mual dan muntah, malaise, mudah lelah, atralgia, mialgia, nyeri kepala,
fotofobia, faringitis, atau batuk, demam yanng. Perubahan warna urin
menjadi lebih gelap dan feses menjadi lebih pucat dapat ditemukan 1-5
hari sebelum fase ikterik. Kemudia Fase ikterik jaundice, nyeri perut
kuadran kanan atas (akibat hepatomegali), serta penurunan berat badan
ringan. Pada 10-20% kasus, dapat ditemukan splenomegali dan
adenopati servikal. Fase ini berlangsung antara 2-12 minggu.5
b. Hepatitis virus B
Hepatitis B (VHB) merupakan penyakit hepar yang kronik
karena infeksi VHB merupakan pemicu terjadinya karsinoma sel hepar.
Penyakit hepar oleh VHB merupakan masalah besar di dunia,
diperkirakan 400 juta manusia sebagai pembawa virus ini, sehingga
diperhitungkan bahwa VHB akan menginfeksi lebih dari 2 milyar
populasi saat ini. Hepatitis B merupakan virus DNA bercangkang ganda
yang memiliki ukuran 42 nm. Virus ini memiliki lapisan permukan dan
bagian inti. Pertanda serologis yang pertama yang dipakai untuk infeksi
VHB adalah antigen permukaan, yang positif kira-kira 2 minggu
sebelum timbulnya gejala klinis, dan biasanya menghilang pada masa
konvalesen dini tetapi dapat pula bertahan selama 2-6 bulan.5

Gambar 2.9 Urutan Petanda Serologik Infeksi Hepatitis B Akut. A, Resolusi Infeksi
Aktif. B, Perkembangan Menjadi Infeksi Kronik
29

Sumber : Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Robins Buku Ajar Patologi. 9th ed.
Muhammad Asroruddin, Hariawati Hartanti ND, editor. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2012. 616 p.5

c. Hepatitis virus C
VHC adalah virus RNA rantai tunggal yang termasuk dalam
family Flaviviridae. Struktur ini mengandungi region terminal 5'- dan
3'- yang sangat hemat yang mengapit sebuah rantai baca terbuka
tunggal dari hampir 9500 nukleotida, yang mengkode protein struktural
dan nonstruktural. VHC memiliki 6 subklas genotype yang didasari
pada sekuen genetiknya. Seianjutnya karena lemahnya ketepatan
replikasi RNA maka seseorang yang terinfeksi virus bisa membawa
banyak varian VHC; keadaan ini disebut sebagai spesies pura-pura
(quasispecies).5

Gambar 2.9 Urutan petanda serologik untuk hepatitis C. A, Infeksi akut dengan resolusi.
B, Perkembangan menjadi infeksi kronik.
Sumber : Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Robins Buku Ajar Patologi. 7th ed.
Muhammad Asroruddin, Hariawati Hartanti ND, editor. Jakarta: Penerbit Buku
Kedokteran EGC; 2012. 618 p.5
2.7.2 Kolestasis
Pada bayi normal yang baru lahir sering ditemukan peningkatan
bilirubin tak terkonjugasi yang ringan dan sementara dalam serum.
Hiperbilirubinernia terkonjugasi yang berlangsung lama lebih (dari 14 hari)
pada bayi baru lahir disebut sebagai kolestasis neonatal. Penyebab utama
adalah atresia bilier ekstrahepatik (akan didiskusikan kemudian) dan
30

berbagai kelainan lain dikelompokkan sebagai hepatitis neonatal. Hepatitis


neonatal tidak merupakan entitas yang spesifik dan juga tidak selalu berupa
inflamasi. Pada kelainan kolestasis neonatal perlu diteliti lebih lanjut untuk
mengetahui penyebabnya apakah zat toksik, kelainan metabolit atau
penyakit hepar karena infeksi. Dengan pemahaman akan Iuasnya etiologi
dan penguasaan alat diagnostik yang baik maka prosentasi hepatitis
neonatal yang idiopatik hanya 10%-15% dari seluruh bentuk hepatitis
neonatal.5
Manifestasi klinis kolestasis yaitu bisa seperti adanya icterus, feses
berwarna dempul atau pucat (analisis feses3 porsi), urin berwarna hitam
atau gelap, tanda-tanda perdarahan (defisiensi vitamin K), hepatomegali
atau hepatosplenomegali, asites dan gagal tumbuh.5
BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Sesuai dengan skenario, seorang laki-laki yang berusia 25 tahun yang
datang ke rumah sakit dengan kondisi kulit dan mata yang berwarna kuning.
Ketika dilakkukan pemeriksaan fisik, ditemukan untuk tanda-tanda vitalnya yang
normal dan juga ditemukan adanya pembesaran hepar dan limpa.
Selain icterus, juga ditemukan gejala-gejala yang lain seperti, gatal,
demam, mual, tidak ada nafsu makan, dan nyeri pada perut bagian kanan atas.
Gejala-gejala yang timbul diperkirakan merupakan gejala karena adanya
hepatosplenomegaly ini. Untuk mengetahui kemungkinan penyakit yang dialami
oleh penderita, juga dilaksanakan diagnosis banding. Diagnosis banding
dilakukan berdasarkan penyakit-penyakit yang sesuai dengan tiga jenis icterus,
yaitu penyakit yang menyebabkan icterus prehepatik, intrahepatic, dan
posthepatik.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Hall E J. Guyton and hall textbook of medical physiology. 13th Ed. US:
Saunders;2016.841p.
2. Cooper, R. A., & Jandl, J. H. (1968). Bile salts and cholesterol in the
pathogenesis of target cells in obstructive jaundice. Journal of Clinical
Investigation, 47(4), 809.
3. Silbernagl S, Lang F. Color atlas of pathophysiology. 3 rd Ed. New York:
Thieme; 2013. 183p.
4. Harper’s Illustrated Biochemistry. 30th Ed. New York: Mc Graw Hill; 2015.
330-332p
5. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Robins Buku Ajar Patologi. 9th ed.
Muhammad Asroruddin, Hariawati Hartanti ND, editor. Jakarta: Penerbit
Buku Kedokteran EGC; 2014. 603-644p. 668 p.
6. Sherwood L. Fisiologi Manusia : Dari Sel ke Sistem. Edisi 8. Jakarta: EGC;
2013.
7. Netter FH. Atlas Anatomi Manusia. Edisi 6. Philadelphia: Saunders; 2014.
8. Lynn SB. Buku ajar pemeriksaan fisik dan riwayat kesehatan. Edisi ke-11.
Jakarta: EGC; 2015. 373-323p.
9. Septiyanti F. Asuhan Kebidanan Bayi Baru Lahir Dengan Ikterus Patologis
Pada Bayi Ny. R Umur 3 Hari Di Ruang Perinatologi Rsud Krt Setjonegoro
Wonosobo. Universitas Muhammadiyah Semarang. 2012.
10. Prasetyo D. Update Diagostik Dan Tatalaksana Ikterik Pada Bayi [Internet].
Vol. 1, PhD Proposal. 2015. Available from: http://pustaka.unpad.ac.id/wp-
content/uploads/2016/06/14-Update-diagnostik-dan-tatalaksana-ikterik-pada-
bayi_opt.pdf.

32

Anda mungkin juga menyukai