“Skenario 3”
Disusun Oleh:
Kelompok 5
Tutor:
dr. Johan B. Bension, M.MedEd
Maharani 2019-83-056
i
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, karena atas berkat
dan rahmat-Nya kami dapat menyelesaikan laporan ini.
Laporan ini merupakan hasil diskusi kami mengenai skenario 3 yang telah dibahas
pada PBL Skenario 3 tepatnya pada Tutorial 1 dan 2. Dalam menyelesaian laporan
ini, terdapat pihak-pihak yang membantu dalam kelancaran penyelesaian laporan ini,
karena itu kami ingin berterima kasih sebesar-besarnya untuk :
1. Tuhan yang Maha Esa, sebagai pembimbing kami dalam kegiatan PBL ini.
2. dr. Johan B. Bension, M.MedEd, selaku tutor yang telah mendampingi kami
selama diskusi PBL berlangsung.
3. Semua pihak lainnya yang tak dapat kami sebut masing-masing.
Akhir kata, kami menyadari sungguh, bahwa pembuatan laporan ini masih jauh
dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun sangat
kami perlukan demi perbaikan laporan kami ke depannnya.
Kelompok 5
ii
DAFTAR ISI
iii
DAFTAR GAMBAR
1. Gambar 1.1: Mind Mapping………………………………………………… 5
2. Gambar 3.1: Imunodefisiensi kongenital disebabkan defek genetik pada
maturasi limfosit…………………………………………………………… 11
3. Gambar 3.2: Imunodefisiensi kongenital disebabkan defek pada aktivasi dan
fungsi limfosit……………………………………………………………… 13
iv
DAFTAR TABEL
1. Tabel 5.1: Daftar tilik riwayat pasien………………………………………. 17
2. Tabel 5.2 Daftar tilik pemeriksaan fisik…………………………………… 18
3. Tabel 5.3 Stadium klinis HIV……………………………………………… 22
v
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Permasalahan
Skenario 3
Mr X, seorang lajang yang sebelumnya sehat walafiat, sejak 4 bulan lalu datang
ke Batam dan tinggal di rumah susun bersama dengan kawan-kawannya sesama
buruh kontrak satu pabrik perakitan elektronik.
Pada pemeriksaan fisik ditemukan bercak putih pada lidah, tampak tato pada
beberapa bagian tubuh dan pembesaran kelenjar di ketiak dan lipat paha. Pada batang
dan glands penis ditemukan beberapa luka yang dangkal dan nyeri tekan.
Pemeriksaan tanda-tanda vital dalam batas normal.
1
2. Ulkus : Defek local permukaan suatu organ atau jaringan akibat
pengelupasan jaringan radang. Luka pada kulit atau lender yang disertai
disintegrasi jaringan.
b. Identifikasi Kalimat Kunci
1. Mr X, laki-laki berusia 26 tahun datang ke Puskesmas dengan keluhan
papul merah disertai gatal di sela jari tangan dan kaki ,yang muncul 14
hari yang lalu.
2. Gatal dirasakan terutama malam hari.
3. Gatal dan papul merah ini juga diderita oleh ibu si Mr. X.
4. Sudah 3 bulah ini Mr X menderita BAB encer dan penurunan berat badan
lebih 10 Kg.
5. Mr X mengeluh sering batuk berlendir, kadang keluar darah dan disertai
sesak nafas.
6. Beberapa luka di alat kelamin yang berulang nyeri.
7. Mr X, seorang lajang yang sebelumnya sehat walafiat, sejak 4 bulan lalu
datang ke Batam dan tinggal di rumah susun bersama dengan kawan-
kawannya.
8. Pada pemeriksaan fisik ditemukan bercak putih pada lidah, tampak tato
pada beberapa bagian tubuh dan pembesaran kelenjar di ketiak dan lipat
paha.
9. Pada batang dan glands penis ditemukan beberapa luka yang dangkal dan
nyeri tekan.
1.2.2. Step II: Identifikasi Masalah
1. Mengapa gatal dialami lebih dirasa pada malam hari ?
2. Apa yang menyebabkan bercak putih pada lidah ?
3. Apakah yang menyebabkan penderita mengalami penurunan berat badan ?
4. Bagaimana peran system imun terkait dengan skenario ?
5. Apakah ada hubungan pemasangan tattoo dengan gejala yang diderita pasien ?
6. Apakah ada hubungan tempat tinggal pasien dengan penyakit yang diderita ?
2
7. Apa yang menyebabkan infeksi dapat berulang?
8. Apakah penyakit ini termasuk penyakit imunodefisiensi
1.2.3. Step III : Hipotesis Sementara.
1. Gatal terasa pada malam hari karena suhu udara pada malam hari lebih kering
yang mengakibatkan kulit pada malam hari menjadi kering sehingga gatal
lebih terasa pada malam hari karena kelenjar sebacea lebih diproduksi pada
siang hari. Karena pada malam hari kulit kehilangan banyak air pada malam
hari, gatal dapat muncul pada siang hari tetapi tidak terlalu diperhatikan
karena aktivitas terlalu banyak , dan juga sanitasi lingkungan yang dimana
tidak bersih.
2. Bercak putih disebuah leukoplakia oral yang disebabkan adanya infeksi yang
bercampur candida albicans dan HPV , terkait sanitasi MR X karena tempat
tinggal kumuh sehingga semakin banyak virus dan parasite yang ada disekitar
dan juga faktor sistem imun difisiensi dimana tidak semua orang terkena
tetapi merupakan salah satu gejala Penyakit HIV. Kandidiasis merupakan
infeksi pada mulut akibat candia albicans yang dimana organisme normal.
3. Diakibatkan karena nafsu makan pasien yang berkurang sehingga mengalami
kekurangan gizi dan BAB encer menjadi penyebab lain penurunan berat
badan pada pasien yang dimana mengakibatkan gizi yang seharusnya diserap
tubuh terbuang.
4. Sistem imun yang bekerja pada skenario dianataranya ada imunitas inet yaitu
berupa suhu dikulit sebagai hambatan antigen masuk kedalam tubuh, selain
itu pada aliran pernapasan terdapat lendir yang peka terhadap antigen yang
menyebabkan seseorg batuk dan bersin dan adanya kelenjar sebasea sebagai
komponen kimia system pertahanan tubuh dikulit. Dan untuk peran imunitas
adaktif berupa membran interferon yg ketika virus masuk kedalam sel, maka
sel akan mengeluarkan interferon ke tempat terjadinya inlflamasi, selanjutnya
interferon tersebut akan beikatan dengan reseptorsel AI sehingga sel lain
yang sehat dilindungi dari virus.
3
5. Tatto merupakah salah satu media penyakit menular, jika digunakan jarum
suntik yang sama dengan orang berbeda akan menularkan penyakit contohnya
HIV AIDS. Tattoo dibuat dari bahan kimia yang apabila menderita
imunodefisiensi maka tubuh tidak maksimal saat terinfeksi bahan tattoo
tersebut.
6. Ada hubungan antara tenpat tinggal karena tinggal di tempat yang kurang
bersih karena orang orang disekitarnya sehingga penderita lebih mudah
terinfeksi penyakit tersebut. Berhubungan dengan tempat kerja yang dimana
pabrik mempunyai limbah yang mungkin penyebab infeksi MR X yang
bersifat imunosupresif .
7. Karena adanya imunodefisiensi merupakan gangguan system imun sehingga
system imun tidak normal sehingga individu lebih gampang terinfeksi
pathogen/sakit.
8. Ya, terkait dengan imunodefisiensi disebabkan HIV AIDS atau faktor gen.
karena terjadi infeksi berulang, banyak infeksi karena adanya infeksi
oportunistik disebabkan imunodefisiensi. Imunodefisiensi diperparah karena
faktor sanitasi jauh lebih buruk banyak bakteri dan virus. Ya, karena laki laki
tersebut mengalami gejala infeksi sekunder dari ketidaknormalan system imun
, imudefisensi terbagi 2 yaitu primer dan sekunder , untuk primer adalah sejak
lahir atau bersifat kongenital dan untuk sekunder adalah gangguan sistemn
imun yang didapat setelah lahir.
1.2.4. Step IV : Klarifikasi Masalah Dan Mind Mapping
Mind Mapping
4
Gambar 1.1: Mind Mapping
Sumber: Pertemuan PBL 3.1
1.2.5. Step V : Learning Objective
1. Mahasiswa/i mampu menjelaskan Jenis2 imunodefisiensi, Jenis2 sel
imunodefisiensi, dan jenis imunodefisiensi terkait scenario.
2. Mahasiswa/i mampu menjelaskan Etiologi HIV serta tanda dan gejalanya.
3. Mahasiswa/i mampu menjelaskan Patomekanisme Imunodefisiensi.
4. Mahasiswa/i mampu menjelaskan Patogenesis HIV.
5
5. Mahasiswa/i mampu menjelaskan Cara menegakkan diagnosis pada
imunodefisiensi pada HIV.
6. Mahasiswa/i mampu menjelaskan Pencegahan HIV.
1.2.6. Step VI : Belajar Mandiri
( hasil belajar mandiri dibahas pada step VII, yaitu jawaban dari learning
objective ).
6
BAB II
PEMBAHASAN
7
Imunodefisiensi pada sel B dapat menyebabkan gangguan
perkembangan pada sel B. Penderita dengan defisiensi sel T
kongenital sangat rentan terhadap infeksi virus, jamur, dan
protozoa. Sel T juga berpengaruh pada sel B, maka defisiensi sel T
juga disertai gangguan produksi Ig tidak adanya respons terhadap
vaksinasi dan infeksi berulang.1
B. Imunodefisiensi Imun Sekunder
Imunodefisiensi sekunder terjadi sebagai akibat dari penyakit lain,
umur, trauma, atau pengobatan. Terdapat beberapa faktor yang
dapat mempengaruhi terjadinya imunodefisiensi sekunder yaitu
malnutrisi, infeksi (AIDS, HTLV-1), obat, trauma, tindakan
katerisasi, penyinaran, penyakit berat, kehilangan
immunoglobulin/leukosit, stress, serta agamaglobulinemia dengan
timoma (disertai menghilangnya sel B total dari sirkulasi).1
8
2.2. Etiologi HIV serta Tanda dan Gejalanya.
A. Etiologi HIV
Etiologi HIV-AIDS adalah Human Immunodefisiensi virus
(HIV) yang meruakan virus sitopatik yang diklasifikasikan dalam
famili retroviridae, subfamili lentiviridae, genus lentivirus.
Berdasarkan strukturnya HIV termasuk famili retrovirus yang
merupakan kelompok virus RNA yang mempunyai berat molekul
0,7 kb (kilobase). Virus ini terdiri dari 3 bagian, yaitu external
envelop,internal envelop dan capsid/inti serta virus ini terdiri dari 2
grup, yaitu HIV-1 dan HIV-2. Masing-masing grup mempunyai
berbagai subtipe. Diantara kedua grup tersebut, yang paling
banyak menimbulkan kelainan dan lebih ganas di seluruh dunia
adalah grup HIV-1.2
HIV terdiri dari suatu bagian inti yang berbentuk silindris yang
dikelilingi oleh lipid bilayer envelope. Pada lipid bilayer tersebut
terdapat dua jenis glikoprotein yaitu gp120 dan gp41. Fungsi
utama protein ini adalah untuk memediasi pengenalan sel CD4 dan
reseptor kemokin dan memungkinkan virus untuk melekat pada sel
CD4 yang terinfeksi.Bagian dalam terdapat dua kopi RNA juga
berbagai protein dan enzim-enzim yang penting untuk replikasi
dan maturase HIV antara lain p24,p17,p9/p7,reverse
transkriptase,integrase dan protease.3
B. Tanda dan Gejala HIV
1) Keadaan umum :
a. Kehilangan berat badan > 10% dari berat badan dasar
b. Demam (terus menerus atau intermitten, temperatur
oral > 37,5oC) yang lebih dari satu bulan,
c. Diare (terus menerus atau intermitten) yang lebih dari
satu bulan.
9
d. Limfadenopati meluas.2
2) Kulit :
Post exposure prophylaxis (PPP) dan kulit kering yang
luas merupakan dugaan kuat infeksi HIV. Beberapa
kelainan seperti kulit genital (genital warts), folikulitis dan
psoriasis sering terjadi pada orang dengan
HIV/AIDS(ODHA) tapi tidak selalu terkait dengan HIV.2
3) Infeksi :
a. Infeksi Jamur : Kandidiasis oral, dermatitis
seboroik,kandidiasis vagina berulang.
b. Infeksi viral : Herpes zoster
c. herpes genital (berulang), moluskum
kotangiosum,kondiloma.
d. Gangguan pernafasan : batuk lebih dari 1 bulan, sesak
nafas, tuberkulosis, pneumonia berulang, sinusitis
kronis atau berulang.3
2.3. Patomekanisme Imunodefisiensi.
A. Imunodefisiensi Primer/kongenital
Imunodefisiensi primer/kongenital merupakan suatu keadaan
defisiensi imun pada seseorang yang diakibatkan karena faktor genetik
pada satu atau lebih komponen sistem imun. mekanisme
imunodefisiensi primer terjadi akibat defek pada maturasi limfosit dan
defek pada aktivasi serta fungsi limfosit.4
10
gangguan komplemen). Gangguan Kekebalan Sistem Imunitas Adaptif
yakni Sel T dan sel B adalah sel utama dari sistem kekebalan adaptif
tubuh. Sel B memediasi produksi antibodi dan oleh karena itu memainkan
peran utama dalam antibodi-mediated (humoral) imunitas. Di sisi lain, sel
T mengatur respon sel yang dimediasi sistem imun. Cacat yang terjadi
pada setiap pengembangan, diferensiasi dan pematangan sel T mengarah
pada gangguan immunodefisiensi sel T, sedangkan cacat yang berkaitan
dengan sel B mengarah pada pengembagan sel B dan/atau gangguan hasil
pematangan sel B (defisiensi antibodi), karena produksi antibodi sel B
yang diperantarai sel B membutuhkan fungsi sel T. Oleh karenanya
gabungan gangguan sel T dan sel B akan menyebabkan gangguan
immunodefisiensi sel B dan sel Gangguan yang terjadi pada rangkaian
proses perkembangan sel limfosit T yang dapat / tidak akan berdampak
pada pematangan sel B sebagaimana terlihat pada gambar 1 di bawah ini:4
11
combined immunodeficiency (SCID) Penyakit ini dikarakteristikan
dengan defisiensi dari sel B maupun sel T atau hanya sel T. Kasus ini
dampak pada sistem humoral terjadi karenan tidak adanya bantuan dari sel
T. Anak-anak dengan SCID biasanya memiliki infeksi selama satu tahun
masa kehidupannya dan akan terus berulang kecuali bila mereka diterapi.
Proses perkembangan sel T dan sel B dari hematopoietic stem cell hingga
limfosit kompetent fungsional yang matang melibatkan progenitor
lymphosit awal, penataulang (rearragement) lokus yang mengkoding satu
rantai dari reseptor antigen diikuti dengan seleksi sel yang telah dibuat
dalam tatanan produksi penataan titik antigen reseptor, ekspresi pada
kedua rantai dari reseptor antigen dan seleksi spesifikasi sel yang
dibutuhkan. Gangguan dari setiap tahap ini akan berdampak pada bentuk
SCID.4
Defek pada Aktivasi dan Fungsi Limfosit
Pembahasan berikut menjelaskan beberapa penyakit di mana proses
maturasi limfosit masih normal, namun aktivasi dan fungsi efektornya
mengalami gangguan. Gangguan pada Respons Sel B Gangguan produksi
antibodi dapat terjadi karena kelainan sel B atau sel T helper.Sindrom
hyper-lgM. Sindrom X-linked hyper-IgM ditandai oleh adanya gangguan
dalam perubahan isotipe (kelas) rantai berat sel B, sehingga IgM
merupakan antibodi serum yang paling banyak, dan juga oleh defisiensi
berat imunitas seluler terhadap mikroba intraseluler. Penyakit ini
disebabkan oleh mutasi pada gen kromosom X yang menyandi ligan
CD40 (CD40L), protein sel T helper yang berikatan dengan CD40 pada
sel B, sel dendritik, dan makrofag sehingga memerantarai aktivasi sel-sel
tersebut yang tergantung sel T. Kegagalan mengekspresikan CD40L yang
fungsional mengakibatkan respons sel B yang tergantung sel T menjadi
terganggu, seperti perubahan isotipe dan maturasi afinitas pada imunitas
humoral, serta gangguan dalam aktivasi makrofag yang tergantung sel T
12
pada imunitas seluler. Common variable immunodeficiency (CVID)
merupakan suatu kelompok heterogen dari kelainan yang mewakili bentuk
umum imunodefisiensi primer. Kelainan ini ditandai oleh respons antibodi
yang sangat buruk terhadap infeksi dan penurunan kadar IgG, IgA, dan
seringkali IgM serum. Penyebab CVID meliputi defek pada beberapa gen
yang berperan dalam proses maturasi dan aktivasi sel B. Beberapa pasien
mengalami mutasi pada lmunodefisiensi Kongenital dan Didapat gen yang
menyandi reseptor untuk faktor pertumbuhan sel B atau kostimulator yang
terlibat dalam interaksi sel T-sel B. Pasien mengalami infeksi berulang,
penyakit autoimun, dan limfom.5
Gambar 3.2: Imunodefisiensi kongenital disebabkan defek pada aktivasi dan fungsi
limfosit
Sumber : Abbas AK, Lichtman AH, Pillai S. Basic Immunology: Functions and
Disorders of the Immune System. 6th ed. Philadelphia: Elsevier; 2019. 218 p.
B. Imunodefisiensi Sekunder
Imunodefisiensi Sekunder merupakan suatu keadaan defisien
imun pada seseorang yang diakibatkan bukan karena faktor genetik,
13
melainkan faktor eksternal yang memicu terjadinya kejadian
imunodefisiensi itu sendiri. Imunodefisiensi sekunder dapat dijumpai
pada penderita malnutrisi, infeksi, kanker, penyakit ginjal atau bisa
juga pada seseorang dengan sarkoidosis. Namun, penyebab
imunodefisiensi sekunder yang paling sering adalah terapi yang
menginduksi supresi sumsum tulang atau fungsi limfosit. Salah satu
penyakit yang berkaitan dengan imunodefisiensi sekunder ini adalah
AIDS.1
AIDS adalah penyakit retrovirus yang disebabkan oleh virus
imunodefisiensi manusia (Human Immunodeficiency Virus/HIV).
Dimana virus HIV ini akan menyebabkan infeksi dan musnahnya
limfosit T CD4+. Yang mana hal ini dapat berakibat buruk yakni,
memperbesar peluang untuk dapat terjadi infeksi oppotunistik,
neoplasma sekunder, dan manifestasi neurologik.1
Mekanisme terjadinya imunodefisiensi sekunder dimulai ketika
tubuh kita mengalami infeksi, salah satu contohnya adalah mengalami
infeksi yang disebabkan masuknya virus HIV kedalam tubuh kita,
virus ini kemudian akan berikatan dengan reseptor CD4+ dan
kemudian berikatan dengan reseptor kemokin seperti CCR5 & CXCR4
pada CD4+ ataupun pada CCD5 pada makrofag. Menempelnya virus
ini pada reseptor kemudian akan membuka jalan masuk untuk virus ini
dapat masuk ke dalam sel tubuh kita dan kemudian menginfeksi,
melakukan lisis pada sel-sel imun kita seperti dalam kasus ini adalah
sel T CD4+, sel dendritik dan juga sel makrofag. Ketika proses ini
terjadi terus menerus maka perlahan tubuh kita akan mengalami
keadaan defisien imun yang cukup parah dimana kadar sel imun
didalam tubuh kita sudah turun drastis dari batas normal. Keadaan
inilah yang disebut sebagai imunodefisiensi, dalam hal ini adalah
iminodefisiensi sekunder (didapat).1
14
2.4. Patogenesis HIV.
Patogenesis Infeksi HIV dan AIDS Infeksi HIV di jaringan memiliki
dua target utama yaitu sistem imun dan sistem saraf pusat. Gangguan pada
sistem imun mengakibatkan kondisi imunodefisiensi pada cell mediated
immunity yang mengakibatkan kehilangan sel T CD4+ dan
ketidakseimbangan fungsiketahanan selT helper.6,7
Selain sel tersebut, makrofag dan sel dendrit juga menjadi target. HIV
masuk ke dalam tubuh melalui jaringan mukosa dan darah selanjutnya sel
akan menginfeksi sel T, sel dendritik da makrofag. Infeksi kemudian
berlangsung di jaringan limfoid dimana virus akan menjadi laten pada
periode yang lama 6,7
Patogenesis HIV/AIDS HIV menempel pada limfosit sel induk
melalui gp 120 sehingga akan terjadi fusi membran HIV dengan sel
induk. Inti HIV akan masuk dalam sitoplasma sel induk. Di dalam sel
induk, HIV akan membentuk DNA HIV dari RNA HIV melaui enzim
polimerase. Enzin integrasi kemudian akan membantu DNA HIV untuk
berintegrasi dengan DNA sel induk. HIV/AIDS pada Anak sebagian besar
infeksi HIV pada anak terjadi akibat penularan dari ibu pada waktu
kehamilan dan persalinan.6,7
2.5. Cara menegakkan diagnosis pada imunodefisiensi pada HIV.
Diagnosis Imunodefisiensi HIV.8
A. Anamnesis
Anamnesis yang lengkap termasuk risiko pajanan HIV,
pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, dan konseling perlu
dilakukan pada setiap odha saat kunjungan pertama kali ke sarana
kesehatan. Hal ini dimaksudkan untuk menegakkan diagnosis,
diperolehnya data dasar mengenai pemeriksaan fisik dan laboratorium,
memastikan pasien memahami tentang infeksi HIV, dan untuk
menentukan tata laksana selanjutnya. Dari Anamnesis, perlu digali
15
faktor resiko HIV AIDS.8 Berikut ini mencantumkan, daftar tilik
riwayat penyakit pasien:8
a. Penjaja seks laki-laki atau perempuan.
b. Pengguna napza suntik (dahulu atau sekarang).
c. Laki-laki yang berhubungan seks dengan sesama laki-laki (LSL)
dan transgender (waria).
d. Pernah berhubungan seks tanpa pelindung dengan penjaja seks.
komersial.
e. Pernah atau sedang mengidap penyakit infeksi menular seksual
(IMS).
f. Pernah mendapatkan transfusi darah atau resipient produk darah.
g. Suntikan, tato, tindik, dengan menggunakan alat non steril.8
16
Tabel 5.1: Daftar tilik riwayat pasien
Sumber: A. B. B. Gita Dewita, Pendekatan Diagnostik dan Penatalaksanaan Pada
Pasien Diagnostic and Treatment Approaches in Patients with HIV. J Medula Unila.
2016:6(2).
B. Pemeriksaan Fisik
Daftar tilik pemeriksaan fisik pada pasien dengan kecurigaan infeksi
HIV dapat dilihat pada table di bawah ini:8
17
Tabel 5.2 Daftar tilik pemeriksaan fisik
Sumber: A. B. B. Gita Dewita, Pendekatan Diagnostik dan Penatalaksanaan Pada
Pasien Diagnostic and Treatment Approaches in Patients with HIV. J Medula Unila.
2016:6(2).
C. Pemeriksaan Penunjang
18
Untuk memastikan diagnosis terinfeksi HIV, dilakukan dengan
pemeriksaan laboratorium yang tepat. Pemeriksaan dapat dilakukan
antara lain dengan pemeriksaan antibodi terhadap HIV, deteksi virus
atau komponen virus HIV (umumnya DNA atau RNA virus) di dalam
tubuh yakni melalui pemeriksaan PCR untuk menentukan viral load,
dan tes hitung jumlah limfosit Sedangkan untuk kepentingan
surveilans, diagnosis HIV ditegakkan apabila terdapat infeksi
oportunistik atau limfosit CD4+ kurang dari 200 sel/mm3. Anjuran
pemeriksaan laboratorium yang perlu dilakukan, yaitu:8
1. Tes antibodi terhadap HIV (AI)
2. Tes Hitung jumlah sel T CD4 T (AI)
3. HIV RNA plasma (viral load) (AI)
4. Pemeriksaan darah perifer lengkap, profil kimia, SGOT,
SGPT, BUN dan kreatinin, urinalisis, tes mantux, serologi
hepatitis A, B, dan C, anti-Toxoplasma gondii IgG, dan
pemeriksaan Pap-smear pada perempuan (AIII)
5. Pemeriksaan kadar gula darah puasa dan profil lipid pada
pasien dengan risiko penyakit kardiovaskular dan sebagai
penilaian awal sebelum inisasi kombinasi terapi (AIII).8
Pemeriksaan anti HIV dilakukan setelah dilakukan konseling pra-
tes dan biasanya dilakukan jika ada riwayat perilaku risiko (terutama
hubungan seks yang tidak aman atau penggunaan narkotika suntikan).
Tes HIV juga dapat ditawarkan pada mereka dengan infeksi menular
seksual, hamil, mengalami tuberkulosis aktif, serta gejala dan tanda
yang mengarah adanya infeksi HIV. Hasil pemeriksaan pada akhirnya
akan diberitahukan, untuk itu, konseling pasca tes juga diperlukan.
Jadi, pemeriksaan HIV sebaiknya dilakukan dengan memenuhi 3C
yakni confidential (rahasia), disertai dengan counselling (konseling),
dan hanya dilakukan dengan informed consent.8
19
Tes penyaring standar anti-HIV menggunakan metode ELISA
yang memiliki sensitivitas tinggi (> 99%). Jika pemeriksaan penyaring
ini menyatakan hasil yang reaktif, maka pemeriksaan dapat dilanjutkan
dengan pemeriksaan konfirmasi untuk memastikan adanya infeksi oleh
HIV. Uji konfirmasi yang sering dilakukan saat ini adalah dengan
teknik western blot (WB). Hasil tes positif palsu dapat disebabkan
adanya antibodi, penerima vaksin HIV, dan kesalahan teknik
pemeriksaan. Hasil tes positif pada bayi yang lahir dari ibu HIV positif
belum tentu berarti tertular mengingat adanya IgG terhadap HIV yang
berasal dari darah ibu. IgG ini dapat bertahan selama 18 bulan
sehingga pada kondisi ini, tes perlu diulang pada usia anak > 18
bulan.8
Hasil tes dinyatakan positif bila tes penyaring dua kali positif
ditambah dengan tes konfirmasi dengan WB positif. Di negara-negara
berkembang termasuk Indonesia, pemeriksaan WB masih relatif mahal
sehingga tidak mungkin dilakukan secara rutin. WHO menganjurkan
strategi pemeriksaan dengan kombinasi dari pemeriksaan penyaring
yang tidak melibatkan pemeriksaan WB sebagai konfirmasi. Di
Indonesia, kombinasi yang digunakan adalah tiga kali positif
pemeriksaan penyaring dengan menggunakan strategi 3. Bila hasil tes
tidak sama missal hasil tes pertama reaktif, tes kedua reaktif, dan yang
ketiga non-reaktif atau apabila hasil tes pertama reaktif, kedua dan
ketiga non-reaktif, maka keadaan ini disebut sebagai indeterminate
dengan catatan orang tersebut memiliki riwayat pajanan atau berisiko
tinggi tertular HIV. Bila orang tersebut tanpa riwayat pajanan atau
tidak memiliki risiko tertular, maka hasil pemeriksaan dilaporkan
sebagai non-reaktif.8
D. Penilaian Imunologi
20
Tes hitung jumlah sel T CD4 merupakan cara yang terpercaya
dalam menilai status imunitas dan memudahkan kita untuk mengambil
keputusan dalam memberikan pengobatan ARV. Tes CD4 ini juga
digunakan sebagai pemantau respon terapi ARV. Namun yang penting
diingat bahwa meski tes CD4 dianjurkan, bilamana tidak tersedia, hal
ini tidak boleh menjadi penghalang atau menunda pemberian terapi
ARV. CD4 juga digunakan sebagai pemantau respon terapi ARV.
Pemeriksaan jumlah limfosit total (total lymphocyte count) dapat
digunakan sebagai indikator fungsi imunitas jika tes CD4 tidak
tersedia namun TLC tidak dianjurkan untuk menilai respon terapi
ARV atau sebagai dasar menentukan kegagalan terapi ARV.8
Stadium 1 Asimptomatik
Tidak ada penurunan berat badan
Tidak ada gejala atau hanya : Limfadenopati Generalisata Persisten
21
Sindroma wasting HIV
Pneumonia pnemosistis, Pnemoni bakterial yang berat berulang
Herpes Simpleks ulseratif lebih dari satu bulan.
Kandidosis esophageal
TB Extraparu
Sarkoma kaposi
Retinitis CMV
Abses otak Toksoplasmosis
Encefalopati HIV
Meningitis Kriptokokus
Infeksi mikobakteria non-TB meluas
22
untuk membuat tato atau memotong rambut juga dapat menularkan
HIV, serta penggunaan narkoba. 9,11
2. Cara pencegahan penularan HIV
a. Pencegahan penularan melalui hubungan seksual yang dapat
dilakukan dengan menerapkan ABC :
Abstinence : pantang melakukan hubungan seksual sebelum
menikah dan hanya melakukan dengan pasangan yang sah. 9,11
Be faithful : setia pada pasangan, hanya melakukan hubungan
seksual dengan pasangan yang sah.
Condom : menggunakan kondom agar apabila salah satu ada
yang terinfeksi HIV tidak menularkan. 9,11
b. Pencegahan penularan dari ibu kepada janinnya :
Bagi perempuan yang berstatus ODHA (orang dengan
HIV/AIDS) harus mempertimbangkan lagi kehamilannya dan
tidak menyusui bayinya nanti.
Bagi ODHA yang hamil untuk menghubungi layanan
PPTCT terdekat (Prevention from Parent to Child
Transmission) yang merupakan pelayanan yang dikhususkan
kepada ibu yang terinfeksi HIV. Pelayanan yang diperoleh
antara lain konseling, pemeriksaan rutin kehamilan, terapi
ARV, proses kelahiran dan penanganan ibu dan anak dari
pasca kelahiran. Termasuk di dalam penanganan ibu dan anak
tersebut yaitu penanganan gizi dan nutrisi bayi dan
pemeriksaan untuk kepentingan status HIV bayi. 9,11
c. Pencegahan melalui darah :
Pastikan untuk menerima transfusi darah ataupun
transplantasi organ tubuh dari donor yang tidak terinfeksi HIV.
ODHA sangat tidak disarankan untuk menjadi pendonor darah
maupun organ tubuh, dan pastikan hanya menggunakan alat-
23
alat kesehatan maupun alat-alat yang menusuk kulit merupakan
alat baru atau sudah disterilkan, serta tidak menggunakan
narkoba. 9,11
d. Kurangi Penggunaan Obat Suntik
Kurangilah penggunaan obat suntik ketika
mengkonsumsi obat-obatan untuk kesehatan. 12
e. Berhati-hati ketika melakukan transfusi darah dan selalu
pergunakan jarum suntik yang steril. Sangat perlu untuk
menanyakan jarum suntik yang akan digunakan, atau cari tahu
mengenai donor darah yang akan diterima, untuk mencegah
anda terinfeksi sebuah virus dari darah tersebut.12
f. Menghindari konsumsi minuman keras
Minuman keras atau minuman berakohol karena akan
berdampak pada sel-sel yang dapat berpotensi mengaktifkan
virus dalam tubuh. Selain karena ketergantungan yang nantinya
sangat sulit untuk melepaskannya, konsumsi minuman keras
atau minuman beralkohol yang berlebihan dapat berpotensi
anda terinfeksi virus HIV.12
B. Pencegahan sekunder
Upaya pencegahan ini ditujukan pada mereka yang baru
terkena atau yang terancam akan menderita penyakit akibat
HIVmelalui diagnosis dini serta pemberian terapi yang cepat dan tepat.
Tujuan utama pencegahan tingkat kedua ini, antara lain untuk
mencegah meluasnya penyakit atau terjadinya wabah pada penyakit
menular dan untuk menghentikan proses penyakit lebih lanjut serta
mencegah komplikasi. 9,10,11
Upaya yang dapat dilakukan antara lain :
1. Konsuling dan tes HIV sukarela atau VCT (Voluntary counseling
& testing). 9,10,11
24
2. Terapi ARV (Antiretroviral)
Untuk menurunkan jumlah RNA virus hingga tidak terdeteksi,
mencegah komplikasi HIV, menurunkan transmisi HIV, dan
menurunkan angka mortalitas. 9,10,11
C. Pencegahan tersier
Pencegahan Tersier dilakukan untuk mengurangi komplikasi
penyakit yang sudah terjadi. Upaya yang dilakukan dalam pencegahan
ini dapat dilakukan dengan upaya rehabilitasi atau penggunaan obat
ARV untuk menjaga kondisi penderita agar tidak menjadi semakin
memburuk. Upaya pencegahan ini ditujukan pada penderita HIV untuk
mencegah bertambah beratnya penyakit atau mengurangi jumlah dan
dampak komplikasi serta program rehabilitasi. Upaya yang dapat
dilakukan antara lain pemberian dukungan secara moral,
menghilangkan perilaku stigmatisasi atau diskriminasi terhadap
ODHA, memberikan terapi yang cepat dan tepat dengan pemberian
ARV (Antiretroviral) dan melakukan pencegahan infeksi oportunistik
dengan pemberian kortimoksasol sebagai profilaksis primer maupu
sekunder. 9,10,11,13
25
BAB III
PENUTUP
3.1. KESIMPULAN
Imunodefisiensi adalah keadaan yang terjadi saat respon imun yang
terlalu lemah dan kurang aktif yang menyebabkan komponen sistem imun
tidak dapat berfungsi secara normal. Imunodefisiensi Primer adalah gangguan
sistem imunitas terjadi akibat kelainan genetik, bawaan lahir, sedangkan
imunodefiensi sekunder adalah gangguan sistem imunitas yang didapatkan
setelah lahir dan merupakan dampak dari penyakit lain, efek obat-obatan,
maupun gaya hidup. Pada skenario, Mr x menderita imunodefisiensi sekunder
karena penggunaan tatoo. Penggunaan jarum yang tidak steril pada proses
pembuatan tatoo menyebabkan beberapa penyakit seperti HIV. Etiologi HIV
( Human Immunodeficiency Virus). Virus ini dahulu disebut virus limfotrofik
sel T manusia tipe III atau virus limfadenopati, adalah suatu retrovirus
manusia dari famili lentivirus .
Fase infeksi HIV terdiri dari Periode masa jenderla, yaitu periode di
mana pemeriksaan tes antibody HIV masih menunjukkan hasil negatif
walaupun virus sudah masuk ke dalam darah pasien dengan jumlah yang
banyak. Fase kedua, Fase infeksi akut, setelah HIV menginfeksi sel target,
terjadi proses replikasi yang menghasilkan virus-virus baru (virion) dengan
jumlah hingga berjuta-juta virion. Fase ketiga, Fase infeksi laten berlangsung
rata-rata sekitar 8-10 tahun setelah terinfeksi HIV, penderita mungkin akan
mengalami berbagai gejala klinis. Fase keempat, fase infeksi kronis, dimana
respons imum tidak mampu meredam jumlah virion dan limfosit semakin
tertekan. Penurunan limfosit ini mengakibatkan sistem imun menurun dan
penderita semakin rentan terhadap berbagai penyakit infeksi sekunder.
26
Penegakkan diagnosis HIV dilakukan berdasarkan Konseling yaitu
Pemeriksaan HIV dapat dilakukan secara VCT (Voluntary Counseling and
Testing). Pola dalam pemeriksaan HIV berisi konseling pra-pemeriksaan,
anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostik dan Pemeriksaan
Penunjang. Pencegahan penularan HIVdapat dilakukan dengan beberapa hal
seperti, menggunakan alat kontrasepsi saat melakukan hubungan seks, tidak
berganti-ganti pasangan dalam berhubungan seks, memgurangi penggunaan
obat suntik, Selalu menggunakan Jarum Suntik Steril, waspada ketika
melakukan transfusi darah, mengindari konsumsi minuman keras dan obat-
obatan terlarang, sunat pada laki-laki dan melakukan test hiv pada diri sendiri.
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Abbas AK, Aster JC, Kumar V. Buku ajar patologi robbins. Edisi 9.
Singapura :Elsevier;2015.138-41p.
2. Gunawan YT, Prasetyowati I, Ririanty M. Hubungan Karakteristik ODHA
Dengan Kejadian Loss To Follow Up Terapi ARV Di Kabupaten Jember.
Jurnal IKESMA. 2016;12(1):53-64p.
3. Yuliyanasari N. GLOBAL BURDEN DESEASE – HUMAN
IMMUNODEFICIENCY VIRUS– ACQUIRED IMMUNE DEFICIENCY
SYNDROME (HIV-AIDS). Qanun. 2017;1(1):65-77p.
4. Kusumo, P. D. (2012). Gangguan Imunodefisiensi Primer (PID). Widya
Kedokteran, 29(324), 14–22.
5. Abbas AK, Lichtman AH, Pillai S. Basic Immunology: Functions and
Disorders of the Immune System. 6th ed. Philadelphia: Elsevier; 2019. 218 p.
6. Triana Ayu Hapsari , Muhammad Azinar.PRAKTIK TERAPI
ANTIRETROVIRAL PADA ANAK PENDERITA HIV/AIDS.Journal
Unnes.2017;1(2):40-1p.
7. Munfaridah, Diah Indriani.Analisis Kecenderungan Survival Penderita HIV
(+) dengan Terapi ARV Menggunakan Aplikasi Life Table.Jurnal Biometrika
dan Kependudukan.2016;5(2):99-100p.
8. A. B. B. Gita Dewita, Pendekatan Diagnostik dan Penatalaksanaan Pada
Pasien Diagnostic and Treatment Approaches in Patients with HIV. J Medula
Unila. 2016:6(2):6-61p.
9. International Labour Organization (ILO). Flipchart pencegahan dan
penanggulangan HIV dan AIDS [Internet]. International Labour Organization
(ILO). 2011. Available from: https://www.ilo.org/wcmsp5/groups/public/---
asia/---ro-bangkok/---ilo-jakarta/documents/publication/wcms_249791.pdf
10. Herbawani Ck, Erwandi D. Faktor-Faktor Yang Berhubungan Dengan
Perilaku Pencegahan Penularan Human Immunodeficiency Virus (Hiv) Oleh
28
Ibu Rumah Tangga Di Nganjuk, Jawa Timur. J Kesehat Reproduksi.
2019;10(2):89–99p.
11. Kapita Selekta Kedokteran. 4th ed. Jakarta: Media Aesculapius; 2018. 573,
577p.
12. Marlinda Y, Azinar M. Perilaku Pencegahan Penularan Hiv/Aids. JHE
(Journal Heal Educatio)~ [Internet]. 2017;2(2):185–93. Available from:
https://journal.unnes.ac.id/sju/index.php/jhealthedu/article/view/22620
13. Yuhan Wirahayu A, Satyabakti P. Pencegahan hiv/aids pada anggota tni-al
dilihat dari pengetahuan sikap dan tindakan. 2017:161–70p. Available from:
https://ejournal.unair.ac.id/index.php/JBE/article/download/172/42.
29