Anda di halaman 1dari 53

LAPORAN TUTORIAL

SKENARIO B BLOK 18

Oleh: KELOMPOK G3
Tutor: dr. Fitriani, SpKK

Nabila Nursadhrina 04011381722157


Fannysha Arrahma 04011381722159
Wildan Dwi Putra Widodo 04011381722165
Nanda Safira Alisa 04011381722192
Tasya Kamila Andiani 04011381722198
Prasetya Dwi Anugrah 04011381722210
Sarah Sania 04011381722211
Safira Smaradhana 04011381722214
Muhammad Bariq Taqi 04011381722215
Alyssa Marizki Diazura 04011381722220
Yuriza Martanisa 04011381722224
Vinil Kiran Kalaichelvan 04011381520193

FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
TAHUN 2018/2019
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan laporan tutorial yang berjudul
“Laporan Tutorial Skenario B Blok 18” sebagai tugas kompetensi kelompok.
Kami menyadari bahwa laporan tutorial ini jauh dari sempurna. Oleh karena itu kami
mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna perbaikan di masa
mendatang.
Dalam penyelesaian laporan tutorial ini, kami banyak mendapat bantuan, bimbingan dan
saran. Pada kesempatan ini, kami ingin menyampaikan syukur, hormat, dan terimakasih
kepada :

1. Tuhan yang Maha Esa, yang telah merahmati kami dengan kelancaran diskusi tutorial,
2. selaku tutor kelompok G3, dr. Fitriani, SpKK
3. Teman-teman sejawat FK Unsri, terutama kelas PSPD GAMMA 2017
Semoga Tuhan memberikan balasan pahala atas segala amal yang diberikan kepada
semua orang yang telah mendukung kami dan semoga laporan tutorial ini bermanfaat
bagi kita dan perkembangan ilmu pengetahuan. Semoga kita selalu dalam lindungan
Tuhan.

Palembang, 25 Oktober 2019

Penulis

2
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ....................................................................................................... 2


Daftar Isi ................................................................................................................ 3

Kegiatan Diskusi………………………………………………………………... 4

Skenario ................................................................................................................. 5
I. Klarifikasi Istilah ......................................................................................... 6
II. Identifikasi Masalah .................................................................................... 7
III.Analisis Masalah ......................................................................................... 8
IV.Keterbatasan Ilmu Pengetahuan .................................................................. 28
V.Kerangka Konsep ......................................................................................... 29
VI.Sintesis ........................................................................................................ 30
VII.Kesimpulan ................................................................................................ 52

Daftar Pustaka………………………………………………………………….... 53

3
KEGIATAN DISKUSI

Tutor : dr. Fitriani, SpKK


Moderator : Wildan Dwi Putra Widodo
Sekretaris 1 : Prasetya Dwi Anugrah
Sekretaris 2 : Alyssa Marizki Diazura
Presentan : Nabila Nursadhrina
Pelaksanaan : 21 Oktober 2019 (10.00 – 12.30 WIB)
23 Oktober 2019 (10.00 – 12.30 WIB)

Peraturan selama tutorial :


1. Jika bertanya atau mengajukan pendapat harus mengangkat tangan terlebih dahulu,
2. Jika ingin keluar dari ruangan izin dengan moderator terlebih dahulu,
3. Boleh minum,
4. Tidak boleh ada forum dalam forum,
5. Tidak memotong pembicaraan orang lain,
6. Menggunakan hp saat diperlukan.

4
SKENARIO B BLOK 18 Tahun 2019

Seorang ibu membawa anak laki-laki 2 tahun ke poliklinik DV, dengan keluhan bercak
kemerahan disertai bintil, bruntus bruntus dan sisik putih pada kedua pipi, lipat siku, dan lipat
lutut. Anak tampak gelisah dan ingin menggaruk. Ayah memiliki riwayat asma, ibu memiliki
alergi dengan udang dan sering bersin di pagi hari.

Pemeriksaan Fisik:
Keadaan Umum : Aktif, tampak rewel
Tanda Vital : Nadi: 80 x/menit, RR: 24 x/menit, Suhu: 37,0oC
Keadaan Spesifik : Status dermatologikus: Papul, Patch eritema, vesikel, skuama
Keterangan Gambar :

5
I. Klarifikasi istilah
No. Istilah Pengertian
1. Papul Penonjolan di atas permukaan kulit,
sirkumskrip, berdiameter lebih kecil dari 0,5
cm, dan berisikan zat padat.
2. Patch eritema Perubahan warna kulit berwarna merah
dengan ukuran diameter lebih dari atau sama
dengan 1 cm.
3. Vesikel Gelembung berisi cairan serum, diameter
kurang dari 0,5 cm, memiliki dasar dan atap.
4. Skuama Lapisan stratum korneum yang terlepas dari
kulit.
5. Bruntus Istilah yang sering digunakan untuk bintil-
bintil kecil yang menyebar, berwarna
kemerahan, diseluruh permukaan kulit,
biasanya berdekatan atau merapat.
6 Bintil Bintul (bercak) kecil seperti bekas digigit
nyamuk.
7 Alergi Reaksi abnormal dari sistem imun saat
melawan zat asing yang masuk ke tubuh yang
pada dasarnya tidak berbahaya.

6
II. Identifikasi Masalah
No. Fakta Ketidaksesuaian Prioritas
1. Seorang ibu membawa anak
laki-laki 2 tahun ke poliklinik
DV, dengan keluhan bercak
kemerahan disertai bintil,
Tidak sesuai harapan VV
bruntus bruntus dan sisik putih
pada kedua pipi, lipat siku, dan
lipat lutut. Anak tampak gelisah
dan ingin menggaruk.
2. Ayah memiliki riwayat asma,
ibu memiliki alergi udang dan
Tidak sesuai harapan V
sering bersin di pagi hari.

3. Pemeriksaan Fisik:
Keadaan umum : Aktif,
tampak rewel

Tanda vital : Nadi: 80


x/menit, RR: 24 x/menit, Suhu:
Tidak sesuai harapan V
37,0oC

Keadaan Spesifik : Status


dermatologikus: Papul, Patch
eritema, vesikel, skuama

Alasan Prioritas:
Karena hal tersebut yang membuat pasien pergi ke Poliklinik Dermatologi dan
Venereologi.

7
III. Analisis Masalah

1. Seorang ibu membawa anak laki-laki 2 tahun ke poliklinik DV, dengan keluhan
bercak kemerahan disertai bintil, bruntus bruntus dan sisik putih pada kedua
pipi, lipat siku, dan lipat lutut. Anak tampak gelisah dan ingin menggaruk.
a. Apa hubungan usia dan jenis kelamin dengan keluhan yang dialami?
Jawaban:
Hubungan usia pada keluhan yang dialami pasien adalah lokasi lesi kulit yang
biasanya terjadi di muka dan kulit kepala pada bayi baru lahir sampai usia 2 tahun
dan predileksi pada permukaan flexor dari ekstremitas pada anak usia 2 tahun
sampai pubertas. Dengan keluhan dan gejala pasien yang khas mengarah pada
penyakit dermatitis atopik, jenis kelamin laki laki memiliki prevalensi yang lebih
sedikit dari pada perempuan untuk insidensi penyakit dermatitis atopik dengan rasi
1;1,3.

b. Apa saja yang dapat menyebabkan keluhan bercak kemerahan disertai bintil,
bruntus bruntus dan sisik putih?
Jawaban:
1) Bisul
Bisul (boils) adalah infeksi kulit dalam folikel rambut atau kelenjar minyak
yang disebabkan oleh bakteri Staphylococcus. Penyakit ini ditandai dengan
perubahan warna kulit menjadi merah dan muncul benjolan lunak di daerah
yang terinfeksi. Setelah 4-7 hari, benjolan tersebut mulai berubah warna
menjadi putih, dan terbentuk nanah di bawahnya. Bisul lebih sering terjadi
pada orang yang tidak menjaga kebersihan tubuh, kurang gizi, memiliki
kekebalan tubuh yang lemah, atau menderita diabetes.
2) Impetigo
Impetigo adalah infeksi kulit yang sangat menular, lebih sering terjadi pada
bayi dan anak-anak. Kondisi ini disebabkan oleh bakteri Staphylococcus
aureus. Impetigo menyebabkan luka lecet atau bintik merah pada kulit wajah
terutama di sekitar hidung dan mulut, serta tangan dan kaki. Dari luka ini akan
keluar cairan berwarna kuning, yang dapat mengering dan berkerak. Impetigo
bisa diobati dengan mengoleskan krim atau tablet antibiotik yang diresepkan
oleh dokter.
3) Selulitis

8
Selulitis adalah infeksi pada kulit dan jaringan lunak di bawahnya akibat
bakteri. Selulitis dapat menyebabkan kulit bengkak, merah, terasa panas atau
perih, dan bernanah. Penyakit ini paling sering terjadi di kaki, namun tidak
menutup kemungkinan muncul di bagian tubuh manapun. Selulitis perlu segera
diobati, karena jika tidak, infeksi dapat menyebar dengan cepat dan
mengancam nyawa.
4) Jerawat
Sebagian besar orang pasti pernah berjerawat, entah itu di wajah, punggung,
atau dada. Jerawat ringan awalnya dapat berupa bintik-bintik hitam atau putih,
sedangkan yang parah dapat menimbulkan bintik merah meradang berisi nanah
dan menyebabkan jaringan parut.
5) Furunkulosis
Furunkulosis adalah infeksi bakteri pada kulit yang membentuk benjolan
bernanah dan terasa nyeri. Benjolan ini disebut furunkel. Furunkel biasanya
berupa benjolan merah kecil di area kulit yang berbulu, terutama pada area
yang sering mengalami gesekan atau muncul keringat, misalnya di leher,
ketiak, paha, bokong, dan sekitar anus. Jika furunkel berkumpul, maka dapat
menjadi bisul besar yang disebut carbuncle.
6) Carbuncle
Carbuncle sering kali disebabkan oleh bakteri Staphylococcus aureus yang
tinggal di permukaan kulit, tenggorokan, dan saluran hidung. Bakteri ini dapat
menyebabkan infeksi atau bisul merah yang nyeri serta bernanah, yang
terhubung satu sama lain di bawah kulit. Carbuncle biasanya terjadi pada
daerah tubuh yang berbulu, tapi bisa juga muncul di bokong, paha,
selangkangan, dan ketiak. Penyakit ini lebih sering dialami oleh pria setengah
baya atau lebih tua, yang kesehatannya memburuk atau memiliki kekebalan
tubuh yang lemah.
7) Folikulitis
Folikulitis adalah radang pada folikel rambut yang disebabkan oleh bakteri
atau jamur. Folikulitis biasanya terlihat seperti jerawat merah dengan rambut di
tengahnya. Kondisi ini bisa menyebabkan benjolan yang terasa gatal atau
perih, dan mungkin berisi nanah atau darah.
8) Cacar air
Cacar air adalah penyakit akibat infeksi virus varicella-zoster yang
menimbulkan ruam atau bintik merah pada kulit yang disertai rasa gatal dan
9
munculnya bintil berisi cairan bening, namun bisa menjadi bernanah jika
ditumpangi oleh infeksi bakteri. Penyakit yang disebabkan oleh virus ini bisa
menjangkiti anak kecil dan orang dewasa, serta sangat mudah menular. Bahkan
berada dalam satu ruangan dengan penderita cacar air sudah memungkinkan
seseorang untuk tertular. Begitu juga jika menyentuh barang-barang yang
terkena nanah cacar air.
9) Dermatitis
Dermatitis adalah peradangan kulit yang ditandai oleh kulit merah, kering, dan
gatal. Jika serius, dermatitis dapat mengakibatkan kerak atau luka melepuh
yang berisi cairan. Kondisi ini umum terjadi, tidak menular, dan biasanya tidak
mengancam jiwa. Dermatitis dapat disebabkan oleh gangguan pada sistem
kekebalan tubuh, kontak langsung dengan zat penyebab iritasi, bahan pemicu
alergi, atau karena faktor genetik. Gatal dan luka pada kulit akibat garukan
atau paparan bakteri pada dermatitis dapat menimbulkan bintik merah yang
bernanah.
10) Kudis
Kudis disebabkan oleh tungau kecil yang tinggal di dalam kulit. Akibatnya,
kulit terasa sangat gatal (terutama pada malam hari) dan muncul ruam dengan
lepuhan kecil atau luka. Jika terinfeksi bakteri, maka lepuhan dapat menjadi
bernanah.

c. Bagaimana mekanisme bercak kemerahan disertai bintil, bruntus-bruntus dan sisik


putih?
Jawaban:
Keluhan-keluhan ini terjadi akibat reaksi hipersensitivitas yang pada kasus ini
adalah reaksi hipersensitivitas tipe I. Jika penderita terpajan alergen tertentu, IgE
yang terikat pada sel mast akan mengikat alergen tersebut yang kemudian
menyebabkan degranulasi sel sehingga mengeluarkan mediator-mediator inflamasi
seperti histamin dan leukotrin. Senyawa ini merangsang vasodilatasi pembuluh
darah yang tampak sebagai eritema. Selain itu juga terjadi peningkatan
permeabilitas pembuluh darah sehingga terjadi kebocoran plasma dan infiltrasi sel-
sel radang pada jaringan yang tampak sebagai papul. Proses inflamasi ini juga
menyebabkan trans epidermal water loss sehingga kulit menjadi kering dan
bersisik. Hal ini dapat terjadi akibat proses turn over kulit yang terganggu yaitu

10
proses diferensiasi dari sel-sel basal pada stratum basalis yang menjadi lebih cepat
bergerak ke stratum korneum sehingga terjadi sisik putih pada kulit.

d. Mengapa keluhan hanya terdapat di kedua pipi, lipat siku, dan lipat lutut?
Jawaban:
Lesi muncul di kedua pipi karena wajah mudah terpapar dengan alergen. Dengan
bertambahnya usia, fungsi motorik bertambah sempurna, anak mulai merangkak
dan belajar berjalan, sehingga lesi kulit dapat ditemukan di bagian ekstensor,
misalnya lutut, siku, atau di tempat yang mudah mengalami trauma.

e. Apa makna anak tampak gelisah?


Jawaban:
Anak tampak gelisah karena gejala yang ditimbulkan oleh penyakit berupa kulit
mengering dan bersisik yang menyebabkan rasa gatal sehingga anak gelisah ingin
menggaruk lokasi kulit tersebut.

f. Mengapa keluhan pasien disertai gatal?


Jawaban:
Staphylococcus aureus ditemukan lebih dari 90% pada kulit penderita dermatitis
atopik, sedangkan orang normal hanya 5%. Bakteri ini membentuk koloni pada
kulit penderita dermatitis atopik, dan eksotosin yang dikeluarkannya merupakan
superantigen yang diduga memiliki peran patogenik dengan cara menstimulasi
aktivitas sel T dan makrofag. Apabila ada superantigen menembus sawar kulit
yang terganggu akan menginduksi IgE spesifik, dan degranulasi sel mas, kejadian
ini memicu siklus gatal garuk yang akan menimbulkan lesi.

2. Ayah memiliki riwayat asma, ibu memiliki alergi udang dan sering bersin di pagi
hari.
a. Apa hubungan riwayat asma pada ayah dengan keluhan pasien?
Jawaban:
Dermatitis atopik lebih banyak ditemukan pada penderita yang mempunyai
riwayat atopi dalam keluarganya. Walaupun begitu sejumlah bukti menunjukkan
bahwa kelainan atopik lebih banyak diturunkan dari garis keturunan ibu daripada
garis keturunan ayah. Namun apabila kedua orang tua yang terkena, risiko
penyakit DA meningkat.
11
b. Apa hubungan riwayat alergi udang dan sering bersin di pagi hari pada ibu dengan
keluhan pasien?
Jawaban:
Etiologi dari penyakit ini salah satunya faktor genetic, dimana baik ayah atau ibu
yang menderita penyakit asma dan rhinitis alergi. sering bersin di pagi hari
menandakan ibu mengalami penyakit rhinitis alergi. Banyak penelitian
epidemiologi telah membuktikan bahwa faktor genetik mempunyai peranan dalam
menimbulkan penyakit atopi. Anak yang lahir dari keluarga yang mempunyai
riwayat penyakit atopi, kemungkinan besar akan menderita penyakit atopi di
kemudian hari. Bila salah satu orang tua mempunyai riwayat penyakit atopi, maka
kemungkinan anaknya menjadi atopi juga adalah 19,8%. Bila atopi mengenai
kedua orang tua, maka frekuensi kemungkinan anaknya menderita atopi menjadi
42,9%., dan 72,2% menjadi atopi bila kedua orang tua mempunyai riwayat atopi
yang sama, serta 85% menjadi atopi jika baik kedua orang tua maupun saudara
kandung mempunyai riwayat atopi.

3. Pemeriksaan Fisik:
Keadaan umum : Aktif, tampak rewel
Tanda vital : Nadi: 80 x/menit, RR: 24 x/menit, Suhu: 37,0oC
Keadaan Spesifik : Status dermatologikus: Papul, Patch eritema, vesikel, skuama
a. Bagaimana interpretasi pemeriksaan fisik?
Jawaban:
Pemeriksaan Hasil Nilai normal Interpretasi
Sadar dan
Keadaan umum: Aktif, tampak rewel Normal
kooperatif
Nadi: 80x/menit 60-100 x/menit Normal
Vital sign: RR: 24x/menit 16-24 x/menit Normal
Suhu: 37,0oC 36,5-37,5 oC Normal
Status Status
Keadaan dermatologikus: dermatologikus:
Spesifik: Papul, Patch eritema, Abnormal
Tidak ditemukan
vesikel, skuama efloresensi kulit

12
b. Bagaimana mekanisme abnormalitas dari pemeriksaan fisik?
Jawaban:
1) Papul dan vesikel
Permeabilitas pembuluh darah mengakibatkan terjadinya kebocoran plasma
dan infiltrasi sel-sel radang pada jaringan yang tampak sebagai papul dan
vesikel.
2) Patch eritema
Penderita yang terpajan alergen tertentu akan menyebabkan IgE yang terikat
pada sel mast untuk mengikat alergen tersebut yang kemudian menyebabkan
degranulasi sel sehingga mengeluarkan mediator-mediator inflamasi seperti
histamin dan leukotrin. Senyawa ini merangsang vasodilatasi pembuluh darah
yang tampak sebagai eritema.
3) Skuama
Faktor risiko mengakibatkan hiperaktivitas glandula sebasea sehingga sekresi
sebum meingkat. Asam lemak bebas dan radikal oksigen reaktif yang
dihasilkan memiliki aktivitas antibacterial dan antifungal yang merubah flora
kulit normal menjadi abnormal serta menjadi pertumbuhan yang baik untuk
mikroorganisme. Hal ini menyebabkan reaksi inflamasi. Apabila inflamasi
berlangsung terus menerus, akan terjadi peningkatan poliferasi epidermis dan
akhirnya terbentuk skuama.

c. Apa saja pemeriksaan tambahan yang diperlukan untuk menegakkan diagnosis


pada kasus?
Jawaban:
1) Laboratorium: Tidak ada hasil laboratorium yang spesifik yang dapat
dipergunakan untuk menegakkan diagnosis dermatitis atopik. Hasil yang
dapat ditemukan pada dermatitis atopik, misalnya kenaikkan kadar IgE dalam
serum, mengurangnya jumlah sel-T (terutama T-supresor) dan imunitas
seluler, jumlah eosinofil dalah darah relatif meningkat.
2) Dermatografisme putih: Penggoresan pada kulit normal akan menimbulkan
tiga respon yakni berturut- turut akan terlihat: Garis merah ditempat
penggoresan selama 15 detik, warna merah disekitarnya selama beberapa
detik, edema timbul setelah beberapa menit. Penggoresan pada penderita yang
atopi akan bereaksi belainan. Garis merah tidak disusul warna kemerahan,
13
tetapi kepucatan selama 2 detik sampai 5 menit, sedangkan edema tidak
timbul. Keadaan ini disebut dermatografisme putih.
3) Percobaan asetilkolin: Suntikan secara intra kutan solusio asetilkolin 1/5000
akan menyebabkan hyperemia pada orang normal. Pada orang dengan
dermatitis atopi akan timbul vasokonstriksi terlihat kepucatan selama satu
jam.
4) Percobaan histamine: Jika histamin fosfat disuntikkan pada lesi penderita
dermatitis atopi eritema akan berkurang dibandingkan orang lain sebagai
kontrol. Kalau obat tersebut disuntikkan parenteral, tampak eritema
bertambah pada kulit orang normal.

14
Hipotesis:
Seorang Anak laki-laki, 2 tahun dengan keluhan bercak kemerahan disertai bintil bruntus
bruntus dan sisik putih pada kedua pipi, lipat siku, dan lipat lutut disertai rasa gatal diduga
menderita dermatitis atopik.

1. Apa saja algoritma penegakkan diagnosis pada kasus?


Jawaban:
1. Kriteria William
a. Harus ada: kulit yang gatal atau tanda garukan pada anak kecil
b. Ditambah 3 atau lebih tanda berikut:
i. Riwayat perubahan kulit/kering di fosa kubiti, fosa poplitea, bagian
anterior dorsum pedis, atau seputar leher (termasuk kedua pipi pada
anak <10 tahun)
ii. Riwayat asma atau hay fever pada anak (riwayat atopi pada anak < 4
tahu pada generasi 1 dalam keluarga)
iii. Riwayat kulit kering sepanjang akhir tahun
iv. Dermatitis fleksural (pipi, dahi, da aha bagian lateral pada anak < 4
tahun)
v. Awitan di bawah usia 2 tahun (tidak dinyatakan pada anak < 4 tahun)
2. Kriteria Hanifin-Rajka
Diagnosis dermatitis atopik dapat ditegakkan secara klinis dengan gejala utama
gatal, penyebaran simetris di tempat predileksi (sesuai usia), terdapat dermatitis
yang kronik-residif, riwayat atopi pada pasien atau keluarga, yang ditambah
dengan 3 tanda minor untuk memastikan diagnosis.
Tabel 1. Diagnosis dermatitis atopik berdasarkan kriteria Hanifin-Rajka
(Boediardja, 2015)
Kriteria major (harus terdapat 3) Kriteria minor (harus ≥ 3)

1. History of flexural 1. Dry skin


dermatitis 2. Ichthyosis
2. Onset under the age of 2 3. Palmar hyperlinearity
years 4. Keratosis pilaris
3. Presence of an itchy skin 5. Type I allergy and increased serum
4. History of dry skin IgE
5. Visible flexural dermatitis 6. Hand and foot dermatitis

15
7. Chealitis
8. Nipple eczema
9. Increased presence of
Staphylococcus aureus and Herpes
simplex
10. Perifollicular alba
11. Early age of onset
12. Reccurent conjuntivitis
13. Dennie-Morgan infraorbital fold
14. Keratoconus
15. Cataract
16. Orbital darkening
17. Facial pallor/facial erythema
18. Anterior neck folds
19. Itch when sweating
20. Intolerance to wool and lipid
solvents
21. Perifollicular accentuation
22. Food intolerance
23. Course influenced by environmental
and emotional factors
24. White dermographism or delayed
blanch

3. Indeks SCORAD
a. Penilaian luas penyakit: dihitung menggunakan rules of nine. Pada anak
dibawah usia 2 tahun, wajah dan kepala masing-masing dihitung 8,5% dan
kedua ekstremitas masing-masing 6%. Sedangkan pada orang dewasa, wajah
dan kepala masing-masing 4,5% dan kedua ekstremitas bawah masing-
masing dinilai 9%
b. Penilaian intensitas: paramete yang dinilai adalah morfologi pada kulit
dengan dermatiti, yaitu eritema, edema atau papul, eksudat atau krusta,
ekskoriasi, likenifikasi. Steiap lesi dinilai sebagai berikut: 0 bila tidak ada, 1
bila ringan, 2 bila sedang, 3 bila berat. Tidak ada nilai 0,5. Sedangkan untuk
kulit kering yang dinilai adalah kulit di luar kelima lesi. Intensitas morfologi
16
dinilai oleh 2 orang pengamat dengan variasi/perbedaan penilaian yang tidak
bermakna. Standar penilaian intensitas pada SCORA adalah foto atau slide
foto pasien.
c. Penilaian subjektif: dilakukan terhadap rasa gatal dan gangguan tidur. Untuk
kedua parameter tersebut pasien diminta menilai dengan menggunakan visual
analog scales dari 0-10. Penilaian berdasarkan kesimpulan analogi derajat
rasa gatal dan tidak bisa tidur selama 3 hari atau 3 malam terakhir. Untuk
anak usia di bawah 7 tahun pemberian nilai tidak dapat dipercaya, sehingga
tidak ikut dinilai.
d. Total nilai indeks SCORAD: ditetapkan dengan menggunakan rumus: A/5 +
7B/2 + C

17
2. Apa saja diagnosis banding pada kasus?
Jawaban:

3. Apa diagnosis kerja pada kasus?


Jawaban:
Dermatitis atopik fase anak

4. Apa definisi penyakit pada kasus?


Jawaban:
Dermatitis Atopik (DA) adalah keadaan radang kulit kronis dan residif, disertai gatal, dan
mengenai daerah tertentu terutama di wajah pada bayi (fase infantil) dan bagian fleksural
ekstremitas (pada fase anak). DA sering berhubungan dengan peningkatan kadar IgE
dalam serum dan riwayat atopi pada keluarga atau penderita (Dermatitis Atopik, Rhinitis
Alergik, atau Asma Bronkhial).

5. Bagaimana etiologi penyakit pada kasus?


Jawaban:
Etiologi dermatitis atopik masih belum diketahui dan patogenesisnya sangat komplek,
tetapi terdapat beberapa faktor yang dianggap berperan sebagai faktor pencetus kelainan
ini misalnya faktor genetik, imunologik, lingkungan dan gaya hidup, dan psikologi.

18
6. Bagaimana epidemiologi penyakit pada kasus?
Jawaban:
Berbagai penenilitian menyatakan bahwa data prevalensi D.A. semakin meningkat
sehingga merupakan masalah kesehatan besar. Di Amerika Serikat, Eropa, Jepang,
Australia dan negara industri lainnya, prevalensi D.A. pada anak mencapai 10-20%,
sedangkan pada dewasa kira-kira 1-3%. Di negara agraris, misalnya Cina, Eropa Timur,
Asia tengah, prevalensinya jauh lebih rendah. Wanita lebih banyak menderita D.A. dari
pada pria dengan rasio 1,3;1. Di Indonesia, menurut Kelompok Studi Dermatologi Anak
(KSDAI), angka prevalensi kasus DA mencapai sekitar 23,67%, dimana DA menempati
peringkat pertama dari 10 besar penyakit kulit anak.

7. Bagaimana klasifikasi penyakit pada kasus?


Jawaban:
Secara klinis dermatitis atopik dibagi menjadi 3 fase yaitu :
1) Fase infatil (0-2 tahun)
Dermatitis atopik paling sering muncul pada tahun pertama kehidupan,biasanya
setelah usia 2 bulan.Lesi mulai di muka (dahi, pipi) berupa eritema, papulo-vesikel
yang halus, karena gatal digosok, pecah, eksudatif, akhirnya terbentuk krusta dan
dapat menjadi infeksi sekunder.
Sekitar usia 18 bulan mulai tampak likenifikasi.Pada sebagian besar penderita
sembuh setelah usia 2 tahun,mungkin juga sebelumnya, sebagian lagi akan
berlanjut menjadi bentuk anak.Pada saat itu penderita tidak lagi mengalami
eksaserbasi, bila makan makanan yang sebelumnya menyebabkan kambuhnya
penyakit itu.
2) Fase anak (usia 2 - 12 tahun)
Merupakan kelanjutan bentuk infatil atau timbul sendriri (de novo). Lesi pada
dermatitis atopik anak berjalan kronis akan berlanjut sampai usia sekolah dan
predileksi biasanya terdapat pada lipat siku, lipat lutut, leher dan pergelangan
tangan. Jari-jari tangan sering terkena dengan lesi eksudatif dan kadang-kadang
terjadi kelainan kuku.Pada umumnya kelainan kulit pada dermatitis atopik anak
tampak kering, dibanding usia bayi dan sering terjadi likenifikasi.Perubahan
pigmen kulit bisa terjadi dengan berlanjutnya lesi, menjadi hiperpigmentasi dan
kadang hipopigmentasi.
3) Fase Dewasa ( > 12 tahun)

19
Pada dermatitis atopik bentuk dewasa mirip dengan lesi anak usia lanjut (8-12
tahun),didapatkan likenifikasi terutama pada daerah lipatan-lipatan tangan. Lesi
kering, agak menimbul, papul datar dan cenderung bergabung menjadi plak
likenifikasi dengan sedikit skuama, sering terjadi eksoriasi dan eksudasi karena
garukan, lambat laun terjadi hiperpigmentasi.Selain gejala utama yang telah
diterangkan, juga ada gejala lain yang tidak selalu terdapat.

8. Bagaimana patofisiologi penyakit pada kasus?


Jawaban:
Dermatitis atopik erat kaitannya dengan gangguan fungsi sawar kulit akibat menurunnya
fungsi gen yang meregulasi amplop keratin (filagrin dan lorikrin), berkurangnya volume
seramid serta meningkatnya enzim proteolitik dan trans-epidermal-water loss (TEWL).
TEWL pada pasien dermatitis atopik meningkat 2-5 kali orang normal. Sawar kulit dapat
juga menurun akibat terpajan protease eksogen yang berasal dari tungai debu rumah
(house dust mite).

Perubahan sawar kulit mengakibatkan peningkatan absorpsi dan hipersensitivitas


terhadap alergen. Peningkatan TEWL dan penurunan kapasitas kemampuan menyimpan
air (skin capacitance), serta perubahan komposisi lipid esensial kulit, menyebabkan kulit
dermatitis atopik lebih kering dan sensitivitas gatal terhadap berbagai rangsangan
bertambah. Garukan akibat gatal menimbulkan erosi atau ekskoriasi yang mungkin dapat
meningkatkan penetrasi mikroba dan kolonisasi mikroba di kulit. Peningkatan
hipersensitivitas tersebut berdampak pula pada meningkatnya sensitivitas respirasi pasien
dermatitis atopik terhadap alergen di kemudian hari.

20
Pada kulit pasien dermatitis atopik terjadi perubahan sistem imun yang erat hubungannya
dengan faktor genetik, sehingga manifestasi fenotip dermatitis atopik bervariasi.
Penelitian genetik terhadap pasien asma memperlihatkan gen yang sama dengan pasien
dermatitis atopik, yaitu gen pada 11q13 sebagai gen kode reseptor IgE. Ekspresi reseptor
IgE tersebut pada sel penyaji antigen dapat memicu terjadinya rangkaian peristiwa
imunologi pada dermatitis atopik.
Kerusakan sawar kulit menyebabkan produksi sitokin keratinosit (IL-1, IL-6, IL-8, TNF-
) meningkat dan selanjutnya merangsang molekul adhesi sel endotel kapiler dermis
sehingga terjadi regulasi limfosit dan leukosit. Pada dermatitis atopik terdapat
peningkatan kadar IgE yang menyebabkan reaksi eritema di kulit. Terjadi stimulasi
interleukin-4 terhadap sel T dan IL-13 terhadap sel B untuk memproduksi IgE, sebaliknya
interferon dapat mensupresi sel B. Jumlah dan potensi IL-4 lebih besar daripada INF .
IL-5 berfungsi menginduksi proliferasi sel eosinofil yang merupakan salah satu parameter
dermatitis atopik. Lesi akut dermatitis atopik ditandai dengan edema interselular dan
sebukan infiltrate di epidermis yang terutama terdiri atas limfosit T. Sel Langerhans dan
makrofag mengekspresikan molekul IgE. Di dermis sebukan sel radang terdiri atas
limfosit T dengan epitope CD3, CD4, dan CD45R, monosit, makrofag, sedangkan sel
eosinofil jarang terlihat, jumlah sel mast normal tetapi aktif berdegranulasi. Sel efektor
pada reaksi imunologik dermatitis atopik :
1) Keratinosit memiliki berbagai kemampuan, antara lain sebagai signal transducer
(pencetus sinyal), sebagai sel asesori, dan sebagai sel penyaji antigen (SPA); oleh
karena itu, keratinosit sekarang lebih dianggap sebagai pelaku aktif sistem imun di
epidermis. Pada mekanisme inflamasi di epidermis selain keratinosit, sel Langerhans
merupakan SPA poten (mengekspresikan MHC II dan memiliki reseptor IgE).
2) Sel T dapat mengenal antigen berkat adanya T cell receptor (TCR) dengan rantai
dan β yang membentuk kompleks reseptor dengan CD30. Sel T di dermis dalam
keadaan teraktivasi dapat mengenali antigen dan menampilkan reseptor IL-2. Pada
dermatitis atopik sel T helper lebih banyak daripada supresor dan subset sel T helper-
2 lebih berperan. TH-2 memproduksi interleukin (IL-4) dan IL-5. Interleukin-4
berperan dalam menginduksi sel B menjadi sel plasma yang memproduksi IgE,
sedangkan IL-5 mampu menarik dan memelihara eosinofil di jaringan. Selain mampu
bermigrasi ke jaringan, eosinofil mampu memproduksi major basic protein (MBP)
yang menyebabkan kerusakan jaringan.
3) Sel endotel berfungsi mengatur lalu lintas leukosit pada inflamasi dan pada saat
diinduksi reaksi hipersensitivitas mengekspresikan berbagai molekul adhesi, yaitu
21
ICAM-1, ICAM-2, VCAM-1, ELAM-1. Sitokin dan kemokin berperan penting pada
reaksi inflamasi dermatitis atopik. Pada pasien dermatitis atopik diketahui IgE
berjumlah lebih banyak dan menunjukkan daya afinitas yang tinggi pada reseptor di
keratinosit dan sel Langerhans, sehingga pathogenesis dermatitis atopik lebih
diperankan oleh reaksi tipe I. Pada reaksi hipersensitivitas tipe I (IgE meditated),
rangsangan zat/bahan langsung pada sel mast dapat menyebabkan sel mast
berdegranulasi dan melepaskan berbagai mediator, antara lain histamine, kinin,
bradikinin, tripsin, papain, dan prostaglandin E2. Mediator tersebut menimbulkan
vasodilatasi, reaksi inflamasi (migrasi sel, ekspresi adhesi molekul, dan lain-lain),
rasa gatal, dan manifestasi inflamasi di kulit.
4) Alergen dapat dibagi menjadi faktor eksogen, yaitu alergen hidup (debu rumah,
tungau debu rumah) berperan penting pada terjadinya dermatitis atopik. Beberapa
penelitian membuktikan peningkatan kadar IgE spesifik terhadap tungau debu rumah
lebih tinggi pada pasien dermatitis atopik dibandingkan dengan kondisi lain.
Sejak lama telah diketahui keterkaitan antara dermatitis atopik, asma bronkial, rinitis
alergik, dan peningkatan kadar IgE dalam serum dengan human leukocyt antigen (HLA)
pada kromosom 6 dan lokus yang berbeda. Patofisiologi pruritus pada dermatitis atopik
belum diketahui pasti. Pada umumnya para pakar berpendapat bahwa sensasi gatal dan
nyeri disalurkan melalui saraf C tidak bermielin di daerah taut dermoepidermal.
Rangsangan ke reseptor gatal tersebut menjalar melalui saraf spinal sensorik kemudian ke
hipotalamus kontralateral dan selanjutnya ke korteks untuk dipersepsikan.
Rangsangan ringan dan superfisial dengan intensitas rendah menyebabkan rasa gatal,
namun bila lebih dalam dan intensitas tinggi dapat menyebabkan sensasi nyeri.
Patogenesis dermatitis atopik berkaitan dengan faktor genetik dan hipersensitivitas tipe I
fase lambat (IgE mediated, late phase). Namun, kemudian dianggap pada dermatitis
atopik dapat terjadi reaksi yang diperantarai hipersensitivitas tipe IV dan tipe I. Telah
ditemukan peningkatan kadar histamin di kulit pasien dermatitis atopik, namun
peningkatan tersebut tidak disertai dengan peningkatan di dalam darah.

22
9. Bagaimana manifestasi klinis dari penyakit pada kasus?
Jawaban:
1) Bentuk infantil (bayi)
Pada bulan kedua atau ketiga setelah kelahiran, lesi yang paling menonjol berupa
vesikel dan papul dengan tempat predileksi umumnya pada daerah pipi dan dapat juga
dijumpai pada daerah sekitar mulut dan hidung.Garukan yang berhubungan dengan
rasa gatal yang persisten biasanya dijumpai beberapa minggu kemudian yang
menyebabkan terjadinya erosi dan terbentuknya krusta.Pada bayi yang lebih tua, lesi
dapat dijumpai pada bagian dalam dan luar dari lengan dan tungkai. Menariknya
hampir 50% penderita pada usia ini tidak disertai bukti kenaikan dari kadar Ig E
sehingga dapat dikelompokkan dalam dermatitis non atopik.
2) Bentuk anak
Bentuk ini biasanya merupakan lanjutan dari bentuk bayi dengan lesi melibatkan
daerah fleksura antekubiti, leher, pergelangan tangan dan kaki.Kulit kering (xerosis)
yang bersifat kronis merupakan tanda penting pada bentuk ini.
3) Bentuk remaja dan dewasa
Lesi yang dijumpai pada bentuk ini berupa likenifikasi, hiperpigmentasi dan skuamasi
dengan tempat predileksi berlokasi didaerah tengkuk, lipatan kulit, dahi, leher, sekitar
mata dan mulut.

10. Bagaimana pemeriksaan fisik dan penunjang dari penyakit pada kasus?
Jawaban:
1) Laboratorium: Tidak ada hasil laboratorium yang spesifik yang dapat
dipergunakan untuk menegakkan diagnosis dermatitis atopik. Hasil yang dapat

23
ditemukan pada dermatitis atopik, misalnya kenaikkan kadar IgE dalam serum,
mengurangnya jumlah sel-T (terutama T-supresor) dan imunitas seluler, jumlah
eosinofil dalah darah relatif meningkat.
2) Dermatografisme putih: Penggoresan pada kulit normal akan menimbulkan tiga
respon yakni berturut- turut akan terlihat: Garis merah ditempat penggoresan
selama 15 detik, warna merah disekitarnya selama beberapa detik, edema timbul
setelah beberapa menit. Penggoresan pada penderita yang atopi akan bereaksi
belainan. Garis merah tidak disusul warna kemerahan, tetapi kepucatan selama 2
detik sampai 5 menit, sedangkan edema tidak timbul. Keadaan ini disebut
dermatografisme putih.
3) Percobaan asetilkolin: Suntikan secara intra kutan solusio asetilkolin 1/5000 akan
menyebabkan hyperemia pada orang normal. Pada orang dengan dermatitis atopi
akan timbul vasokonstriksi terlihat kepucatan selama satu jam.
4) Percobaan histamine: Jika histamin fosfat disuntikkan pada lesi penderita
dermatitis atopi eritema akan berkurang dibandingkan orang lain sebagai kontrol.
Kalau obat tersebut disuntikkan parenteral, tampak eritema bertambah pada kulit
orang normal.

11. Bagaimana tatalaksana dari penyakit pada kasus?


Jawaban:
1) Khusus
Melembabkan kulit dapat dilakukan dengan cara hidrasi, yaitu mandi atau balut basah
(wet dressing). Mandi secara teratur dapat melembabkan kulit dan melepaskan krusta.
Mandi rendam 1-2 kali sehari selama beberapa menit dalam air hangat (jangan terlalu
panas) dengan pembersih kulit (skin cleaner) yang mengandung pelembab sangat
bermanfaat. Setelah mandi dan dikeringkan, segera oleskan obat topikal, misalnya
kortikosteroid, diikuti dengan pelembab atau pelembab saja. Sebaiknya, balut basah
dapat meningkatkan penetrasi transepidermal kortikosteroid topikal. Balut basah juga
dapat berfungsi sebagai pelindung efektif terhadap garukan sehingga mempercepat
penyembuhan lesi.
Pemakaian pelembab yang adekuat secara teratur sangat penting untuk mengatasi
kekeringan kulit. Pelembab harus dioleskan segera setelah mandi, minimal 2 kali
sehari walaupun tidak ada keluhan dermatitis atopik. Lama kerja emolien maksimal 6
jam. Bentuk salep dan krim memberikan fungsi sawar lebih baik dari lotion.
2) Tatalasana terhadap Inflamasi
24
Pemberian kortikosteroid topikal dilakukan dengan cara dioleskan 1-2 kali sehari.
Setelah inflamasi berkurang, frekuensi pemberian dikurangi, misalnya 2 kali
seminggu, atau potensinya diturunkan, untuk kemudian dihentikan. Penggunaan
kortikosteroid disesuaikan dengan lesi yang terjadi. Pada lesi akut, dipakai
kortikosteroid topikal potensi lemah dalam vahekulum krim. Pada lesi kronik,
kortikosteroid topikal potensi kuat dalam salep digunakan pada daerah likenifikasi
untuk jangka waktu singkat (1-2 minggu), kemudian diganti dengan potensi sedang.
Penggunaan kortikosteroid topikal harus hati-hati kerena dapat menimbulkan
sejumlah efek samping. Kortikosteroid topikal yang digunakan berulang dan dalam
jangka waktu yang lama dapat menimbulkan efek samping lokal (atropi, hipertrikosis,
hipopigmentasi, telangiekstasis, dan sebagainya), maupun efek sistemik yang berupa
supresi aksis hipotalamus-pituitari-adrenal (HPA), gangguan pertumbuhan, dan
sindrom Cushing.
3) Tatalaksana terhadap Pruritus
Untuk mengatasi pruritus dapat diberikan antihistamin (generasi sedative atau non
sedative sesuai kebutuhan) H1 seperti difenhidramin atau terfenadin, atau
antihistamin nonklasik lain. Kombinasi antihistamin H1 dan H2 dapat menolong pada
kasus tertentu., namun sebaiknya penggunaan antihistamin topikal dihindarkan, oleh
karena kemungkinan terjadinya sensitisasi. Antihistamin sedatif, misalnya hidroksizin
dan klorfeniramin, diberikan menjelang tidur.
Pada kasus ini obat yang digunakan adalah pelembab Emolien, anti-histamin sedative,
dan Kortikosteroid Topikal golongan V-VI.

12. Bagaimana komplikasi dari penyakit pada kasus?


Jawaban:
1) Gangguan mata
Dermatitis palpebra dan blefaritis kronik dapat menyebabkan gangguan visus dan
skar kornea. Katarak dilaporkan terjadi pada 21% pasien DA berat. Belum jelas
apakah ini akibat manifestasi primer DA atau sebagai akibat pemakaian ekstensif
steroid topical dan sistemik.
2) Infeksi sekunder
DA dapat mengalami komplikasi infeksi virus berulang yang merupakan refleksi dari
defek local fungsi sel T. Infeksi virus yang paling serius adalah akibat infeksi herpes
simplek, menghasilkan Kaposi varicelliform eruption atau eczema herpeticum.
3) Eritroderma
25
Pada beberapa kasus, penghentian steroid sistemik yang dipakai mengontrol DA berat
dapat menjadi factor pencetus eritroderma eksfoliatif.
4) Atrofi kulit atau striae atroficans
Dapat terjadi akibat pemberian kortikosteroid jangka panjang

13. Bagaimana prognosis dari penyakit pada kasus?


Jawaban:
Quo ad vitam : Bonam
Quo ad functionam : Bonam
Quo ad sanationam : Dubia ad Bonam

14. Bagaimana kajian, informasi dan edukasi penyakit pada kasus?


Jawaban:
1) Edukasi:
Perlu diberikan informasi dan edukasi kepada orangtua, para pengasuh, keluarga, dan
pasien tentang DA, perjalanan penyakit, serta berbagai faktor yang memengaruhi
penyakit. Faktor pencetus kekambuhan, diantaranya adalah alergen hirup (tungau
dan/atau debu rumah), alergen makanan pada bayi <1 tahun (susu sapi, telurm
kacang-kacangan, bahan pewarna, bahan penyedap rada, dan aditif lainnya). Nemun
perlu dijelaskan bahwa alergi terhadap makanan dapat menghilang secara berangsur-
angsur sesuai dengan bertambahnya usia. Diet hanya boleh ditentukan oleh
dokternya.
Faktor psikologis seringkali berperan sebagai faktor pencetus atau sebaliknya. Biila
diperlukan pasien dapat dirujuk ke psikolog atau psikiater. Komunikasi efektif
berguna untuk membangun rasa percaya diri pasien. Walaupun DA sulit
disembuhkan, namun dapat dikendalikan.
2) Pencegahan:
- Menjaga kelembapan kulit.
- Hindari perubahan suhu dan kelembapan yang mendadak.
- Hindari berkeringat yang berlebihan atau kepanasan.
- Mengurangi stress.
- Hindari pakaian yang menggunakan bahan yang menggaruk seperti wol.
- Hindari pemakaian sabun dengan bahan yang terlalu keras, detergen, dan larutan
lainnya.
- Hindari faktor pencetus lingkungan seperti serbuk bunga, debu, bulu binatang, dll.
26
- Menghindari konsumsi makanan yang menimbulkan alergi.
- Konsumsi suplemen vitamin D oral.

15. Bagaimana SKDI penyakit pada kasus?


Jawaban:

27
IV. Keterbatasan Ilmu Pengetahuan

No Learning Issues What I Know What I Don’t What I Have to How I


Know Prove Learn

1. Anatomi dan - Anatomi - Histologi - Anatomi


Histologi Kulit - Histologi
2. Dermatitits - Definisi - Etiologi - Diagnosis
Atopik - Klasifikasi - Tatalaksana
- Patofisiologi
- Diagnosis
Jurnal,
- Diagnosis
Textbook,
banding
Internet
- Tatalaksana
- Pemeriksaan
fisik
- Pemeriksaan
Penunjang
- Tatalaksana
- Prognosis

28
V. Kerangka Konsep

Laki-laki 2 tahun Riwayat keluarga:


Ibu : rhinitis alergi
Ayah : asma
Mutasi gen FLG

Mutasi gen 11q13


Defisiensi ceramides
di stratum korneum

Perubahan kandungan
lipid di sawar kulit

Disfungsi sawar kulit

TEWL 

Mudah terpajan alergen

 time over kulit


Infiltrasi sel
Produksi IgE 
radang

Terbentuk skuama
Degranulasi sel mast
Papul
Histamin
Pelepasan media
Bradikinin
infamatori
Tripsin

 permeabilitas
kapiler
Vasodilatasi
pembuluh darah
Ekstravasasi cairan

Patch eritema
Terbentuk vesikel

Demam atopik fase anak


29
VI. Sintesis
1. Anatomi dan Histologi Kulit
Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasi dari lingkugan
hidup manusia. Luas kulit orang dewasa 1,5 m 2 dengan berat kira-kira 15 % berat
badan. Kulit mempunyai variasi mengenai lembut, tipis, dan tebalnya : kulit yang
longgar dan elastis terdapat pada palpebra, bibir dan prepitium.
Kulit yang tebal dan tegang terdapat di telapak kaki dan tangan dewasa. Kulit
yang tipis terdapat pada muka, yang lembut dan leher dan badan, dan yang berambut
kasar terdapat pada kepala.
Pembagian kulit secara garis besar tersusun atas 3 lapisan utama
1) Lapisan epidermis / kutikel
2) Lapisan dermis / kutisvera
3) Lapisan subkutis

Tidak ada garis tegas yang memisahkan dermis dan subkutis, subkutis ditandai
dengan adanya jaringan ikat longgar dan adanya sel dan jaringan lemak.

Lapisan epidermis
Epidermis sering kita sebut sebagai kuit luar. Epidermis merupakan lapisan teratas
pada kulit manusia dan memiliki tebal yang berbeda-beda : 400-600 μm untuk kulit
tebal (kulit pada telapak tangan dan kaki) dan 75-150 μm untuk kulit tipis (kulit selain
telapak tangan dan kaki, memiliki rambut). Selain sel-sel epitel, epidermis juga
tersusun atas lapisan:
a. Melanosit, yaitu sel yang menghasilkan melanin melalui proses melanogenesis.
Melanosit (sel pigmen) terdapat di bagian dasar epidermis. Melanosit
menyintesis dan mengeluarkan melanin sebagai respons terhadap rangsangan

30
hormon hipofisis anterior, hormon perangsang melanosit (melanocyte
stimulating hormone, MSH). Melanosit merupakan sel-sel khusus epidermis
yang terutama terlibat dalam produksi pigmen melanin yang mewarnai kulit dan
rambut. Semakin banyak melanin, semakin gelap warnanya. Melanin diyakini
dapat menyerap cahaya ultraviolet dengan demikian akan melindungi seseorang
terhadap efek pancaran cahaya ultraviolet dalam sinar matahari yang berbahaya.
b. Sel Langerhans, yaitu sel yang merupakan makrofag turunan sumsum tulang,
yang merangsang sel Limfosit T, mengikat, mengolah, dan merepresentasikan
antigen kepada sel Limfosit T. Dengan demikian, sel Langerhans berperan
penting dalam imunologi kulit.Sel-sel imun yang disebut sel Langerhans
terdapat di seluruh epidermis. Sel Langerhans mengenali partikel asing atau
mikroorganisme yang masuk ke kulit dan membangkitkan suatu serangan imun.
Sel Langerhans mungkin bertanggungjawab mengenal dan menyingkirkan sel-
sel kulit displastik dan neoplastik. Sel Langerhans secara fisik berhubungan
dengan saraf-sarah simpatis, yang mengisyaratkan adanya hubungan antara
sistem saraf dan kemampuan kulit melawan infeksi atau mencegah kanker kulit.
Stres dapat memengaruhi fungsi sel Langerhans dengan meningkatkan rangsang
simpatis. Radiasi ultraviolet dapat merusak sel Langerhans, mengurangi
kemampuannya mencegah kanker.
c. Sel Merkel, yaitu sel yang berfungsi sebagai mekanoreseptor sensoris dan
berhubungan fungsi dengan sistem neuroendokrin difus.
d. Keratinosit, yang secara bersusun dari lapisan paling luar hingga paling dalam
sebagai berikut:
1) Stratum korneum (lapisan tanduk)
Lapisan kulit paling luar dan terdiri atas beberapa lapis sel-sel gepeng yang
mati, tidak berinti, dan protoplasmanya telah berubah menjadi keratin (zat
tanduk).
2) Stratum lusidum
Terdapat langsung di bawah lapisan korneum, merupakan lapisan sel-sel
gepeng tanpa inti dengan protoplasma yang berubah menjad iprotein yang
disebut eleidin. Tampak lebih jelas pada telapak tangan dan kaki.
3) Stratum granulosum (lapisan keratohialin)
Merupakan 2 atau 3 lapis sel-sel gepeng dengan sitoplasma berbutir kasar
dan terdapat inti diantaranya. Butir-butir kasar ini terdiri atas keratohialin.

31
Mukosa biasanya tidak mempunyai lapisan ini. Stratum granulosum juga
tampak jelas di telapak tangan dan kaki.
4) Stratum spinosum (stratum malphigi) / prickle cell layer
(lapisanakanta)
Terdiri atas beberapa sel yang berbentuk poligonal yang besarnya berbeda-
beda karena adanya proses mitosis. Protoplasmanya jernih karena banyak
mengandung glikogen, dan inti terletak di tengah tengah. Sel sel ini makin
dekat permukaan makin gepeng bentuknya.
Diantara sel stratum spinosum terdapat jembatan antarsel (intercellular
bridge) yang terdiri atas protoplasma dan tonofibril / keratin. Perlekatan
antar jembatan ini membentuk penebalan kecil yang disebut nodulus
bizzozero. Diantara sel - sel stratum spinosum mengandung banyak
glikogen.
5) Stratum basale
Terdiri atas sel – sel berbentuk kubus (kolumnar) yang tersusun vertical
pada perbatasan dermo-epidermal berbaris seperti pagar. Merupakan lapisan
epidermis yang paling bawah. Sel - sel basal ini mengadakan mitosis dan
berfungsi reduktif. Lapisan ini terdiri atas 2 jenis sel yaitu :
a) Sel – sel berbentuk kolumnar dengan protoplasma basofilik inti
lonjong dan besar, di hubungkan dengan jembatan antarsel
b) Sel pembentuk melanin (melanosit) / clear cell berwarna muda,
dengan sitoplasma basofilik dan inti gelap, dan mengandung butir
pigmen (melanosomes)

32
Lapisan dermis
Lapisan dibawah epidermis yang jauh lebih tebal daripada epidermis. Lapisan ini
terdiri atas lapisan elastic dan fibrosa padat dengan elemen-elemen selulaer dan
folikel rambut. Di bagi menjadi 2 bagian :
a. Pars papilare
Bagian yang menonjol ke epidermis, berisi ujung serabut saraf dan pembuluh
darah.
b. Pars retikuler
Bagian di bawahnya yang menonjol ke arah subkutan, bagian ini terdiri atas
serabut – serabut penunjang misalnya : serabutkolagen, elastin, dan retikulin.
Dasar (matriks) lapisan ini terdriri atas cairan kental asam hialuronat dan
kondroitin sulfat, di bagian ini terdapat pula fibroblas.

Serabut kolagen dibentuk oleh fibroblas, membentuk ikatan (bundel) yang


mengandung hidroksiprolin dan hidroksisilin. Kolagen muda bersifat lentur
dengan bertambahnya umur menjadi kurang larut sehingga makin stabil. Retikulin
mirip kolagen muda. Serabut elastin biasanya bergelombang, berbentuk amorf dan
mudah mengenbang serta lebih elastis.
Vaskularisasi di kulit di atur oleh 2 pleksus, yaitu pleksus yang terletak di atas
dermis (pleksus superficialis) dan terletak di subkutis (pleksus profunda). Pleksus
di dermis bagian atas mengadakan anastomosis di papil dermis, pleksus yang
terletak di subkutis dan di pars retikulare juga mengadakan anastomosis, di bagian
ini pembuluh darah berukuran lebih besar. Bergandengan dengan pembuluh darah
terdapat saluran getah bening.
Syaraf nyeri dan reseptor sentuh, kulit juga seperti organ lain terdapat cabang-
cabang saraf spinal dan permukaan yang terdiri dari saraf-saraf motorik dan saraf
sensorik. Ujung saraf motorik berguna untuk menggerakkan sel-sel otot yang
terdapat pada kulit, sedangkan saraf sensorik berguna untuk menerima rangsangan

33
yang terdapat dari luar atau kulit. Pada kulit ujung-ujung, saraf sensorik ini
membentuk bermacam-macam kegiatan untuk menerima rangsangan.
Lapisan subkutis
Kelanjutan dermis, terdiri atas jaringan ikat longgar berisi sel – sel lemak di
dalamnya, sel lemak merupakan sel bulat, besar, dengan inti terdesak ke pinggir
sioplasma lemak yang bertambah.

Sel – sel ini membentuk kelompok yang dipisahkan satu dengan yang lainya oleh
trabekula yang fibrosa. Lapisan sel – sel lemak disebut panikulus adiposa, berfungsi
sebagai cadangan makanan. Di lapisan – lapisan ini terrdapat ujung – ujung saraf tepi,
pembuluh darah dan getah bening. Tebal tipisnya jaringan lemak tidak sama,
bergantung lokasinya.

2. Dermatitis Atopik
A. Definisi
Dermatitis Atopik adalah keadaan radang kulit kronis dan residif, disertai gatal,
yang umumnya sering terjadi selama masa bayi dan anak-anak, sering
berhubungan dengan peningkatan kadar IgE dalam serum dan riwayat atopi pada
keluarga atau penderita (Dermatitis Atopik, Rhinitis Alergik, atau Asma
Bronkhial).
B. Epidemiologi
Epidemiologi dermatitis atopik (DA) di seluruh dunia berkisar antara 15-20%
pada anak dan 1-3% pada dewasa. Epidemiologi di Indonesia sedikit lebih tinggi,
yaitu 23,67%.
Di Indonesia, menurut Kelompok Studi Dermatologi Anak (KSDAI), angka
prevalensi kasus DA mencapai sekitar 23,67%, dimana DA menempati peringkat
pertama dari 10 besar penyakit kulit anak.

34
Prevalensi dermatitis atopik (DA) secara global adalah 15-20% pada anak-anak
dan 1-3% pada dewasa dengan peningkatan insidensi sekitar 2-3 kali lipat dalam
beberapa dekade terakhir di negara-negara industri. Insidensi DA tertinggi terjadi
pada awal masa kanak-kanak dan bayi, dimana 85% kasus DA muncul pada tahun
pertama kehidupan dan 95% kasus DA muncul sebelum usia 5 tahun.
Prevalensi DA yang tinggi banyak terjadi di Amerika serikat, Eropa Utara dan
Barat, Afrika perkotaan, Jepang, Australia dan negara industri lainnya, namun
prevalensi DA lebih sedikit pada negara regio agrikultural seperti Cina dan Eropa
Timur, Afrika bagian pedesaan, dan Asia tengah.
Prevalensi DA di Amerika Serikat berkisar antara 10-12% pada anak-anak dan
0.9% pada orang dewasa. Perbandingan orang keturunan Afrika dan Asia yang
berobat dengan kasus DA lebih tinggi dibandingkan dengan orang keturunan
Eropa. Sedangkan di Cina dan Iran, angka prevalensi berkisar antara 2-3%. Selain
itu, beberapa penelitian menunjukkan bahwa imigran dari negara berkembang
yang hidup di negara maju memiliki tingkat insidensi DA yang lebih tinggi dari
populasi asal.
Penelitian yang dilakukan oleh The International Study of Asthma and Allergies
in Childhood (ISAAC) menyatakan bahwa DA merupakan penyakit dengan
prevalensi yang tinggi dan dapat mengenai pasien baik pada negara berkembang
atau negara maju. ISAAC juga melaporkan perbandingan prevalensi DA
berdasarkan jenis kelamin dengan keseluruhan rasio wanita : pria adalah 1.3:1.0.

C. Etiologi
Etiologi dermatitis atopik masih belum diketahui dan patogenesisnya sangat
kompleks,tetapi terdapat beberapa faktor yang dianggap berperan sebagai faktor
pencetus kelainan ini misalnya faktor genetik, imunologik, lingkungan dan gaya
hidup, serta psikologi.
a. Faktor genetik
Dermatitis atopik lebih banyak ditemukan pada penderita yang mempunyai
riwayat atopi dalam keluarganya. Kromosom 5q31-33 mengandung kumpulan
family gen sitokin IL-3, IL-4, IL-13, dan GM-CSF, yang diekspresikan oleh
sel Th2.
Ekspresi gen IL-4 memainkan peranan penting dalam ekspresi dermatitis
atopik. Perbedaan genetik aktivitas transkripsi gen IL-4 mempengaruhi
presdiposisi dermatitis atopik. Ada hubungan yang erat antara polimorfisme
35
spesifik gen kimase sel mas dengan dermatitis atopik, tetapi tidak dengan
asma bronkial atau rhinitis alergik.
Sejumlah bukti menunjukkan bahwa kelainan atopik lebih banyak diturunkan
dari garis keturunan ibu daripada garis keturunan ayah. Sejumlah survei
berbasis populasi menunjukkan bahwa resiko anak yang memiliki atopik lebih
besar ketika ibunya memiliki atopik, daripada ayahnya. Darah tali pusat IgE
cukup tinggi pada bayi yang ibunya atopik atau memiliki IgE yang tinggi,
sedangkan atopik paternal atau IgE yang meningkat tidak berhubungan
dengan kenaikan darah tali pusat IgE.
b. Faktor imunologi
Konsep dasar terjadinya dermatitis atopik adalah melalui reaksi imunologik,
yang diperantai oleh sel-sel yang berasal dari sumsum tulang. Beberapa
parameter imunologi dapat ditemukan pada dermatitis atopik, seperti kadar
IgE dalam serum penderita pada 60-80% kasus meningkat, adanya IgE
spesifik terhadap bermacam aerolergen dan eosinofilia darah serta
ditemukannya molekul IgE pada permukaan sel langerhans
epidermal.Terbukti bahwa ada hubungan secara sistemik antara dermatitis
atopik dan alergi saluran napas, karena 80% anak dengan dermatitis atopik
mengalami asma bronkial atau rhinitis alergik.
Pada individu yang normal terdapat keseimbangan sel T seperti Th1, Th2,
Th17, sedangkan pada penderita dermatitis atopik terjadi ketidakseimbangan
sel T. Sitokin Th2 jumlahnya lebih dominan dibandingkan Th1 yang
menurun. Hal ini menyebabkan produksi dari sitokin Th 2 seperti interleukin
IL-4, IL-5, dan IL-13 ditemukan lebih banyak diekspresikan oleh sel-sel
sehingga terjadi peningkatan IgE dari sel plasma dan penurunan kadar
interferon-gamma. Dermatitis atopik akut berhubungan dengan produksi
sitokin tipe Th2, IL-4 dan IL-13, yang membantu immunoglobulin tipe isq
berubah menjadi sintesa IgE, dan menambah ekspresi molekul adhesi pada
sel-sel endotel. Sebaliknya, IL-5 berperan dalam perkembangan dan
ketahanan eosinofil, dan mendominasi dermatitis atopik kronis.
Imunopatogenesis dermatitis atopik dimulai dengan paparan imunogen atau
alergen dari luar yang mencapai kulit. Pada paparan pertama terjadi
sensitisasi, dimana alergen akan ditangkap oleh antigen presenting cell untuk
kemudian disajikan kepada sel limfosit T untuk kemudian diproses dan
disajikan kepada sel limfosit T dengan bantuan molekul MHC kelas II. Hal ini
36
menyebabkan sel T menjadi aktif dan mengenai alergen tersebut melalui T
cell reseptor. Setelah paparan, sel T akan berdeferensiasi menjadi subpopulasi
sel Th2 karena mensekresi IL-4 dan sitokin ini merangsang aktivitas sel B
untuk menjadi sel plasma dan memproduksi IgE. Setelah ada di sirkulasi IgE
segera berikatan dengan sel mast dan basofil. Pada paparan alergen berikutnya
IgE telah bersedia pada permukaan sel mast, sehingga terjadi ikatan antara
alergen dengan IgE. Ikatan ini akan menyebabkan degranulasi sel mast.
Degranulasi sel mast akan mengeluarkan mediator baik yang telah tersedia
seperti histamine yang akan menyebabkan reaksi segera, ataupun mediator
baru yang dibentuk seperti leukotrien C4, prostaglandin D2 dan lain
sebagainya.
Sel langerhans epidermal berperan penting pula dalam pathogenesis dermatitis
atopik oleh karena mengekspresikan reseptor pada permukaan membrannya
yang dapat mengikat molekul IgE serta menyekresikan berbagai sitokin.
Inflamasi kulit atopik dikendalikan oleh ekspresi lokal dari sitokin dan
kemokin pro-inflamatori. Sitokin seperti Faktor Tumor Nekrosis (TNF-α ) dan
interleukin 1 (IL-1) dari sel-sel residen seperti keratinosit, sel mast, sel
dendritik mengikat reseptor pada endotel vaskular, mengaktifkan jalur sinyal
seluler yang mengarah kepada peningkatan pelekatan molekul sel endotel
vaskular. Peristiwa ini menimbulkan proses pengikatan, aktivasi dan pelekatan
pada endotel vaskular yang diikuti oleh ekstravasasi sel yang meradang ke
atas kulit. Sekali sel- sel yang inflamasi telah infiltrasi ke kulit, sel-sel tersebut
akan merespon kenaikan kemotaktik yang ditimbulkan oleh kemokin yang
diakibatkan oleh daerah yang luka atau infeksi.
Penderita dermatitis atopik cenderung mudah terinfeksi oleh bakteri, virus,
dan jamur, karena imunitas seluler menurun (aktivitas Th1 menurun).
Staphylococcus aureus ditemukan lebih dari 90% pada kulit penderita
dermatitis atopik, sedangkan orang normal hanya 5%. Bakteri ini membentuk
koloni pada kulit penderita dermatitis atopik, dan eksotosin yang
dikeluarkannya merupakan superantigen yang diduga memiliki peran
patogenik dengan cara menstimulasi aktivitas sel T dan makrofag. Apabila ada
superantigen menembus sawar kulit yang terganggu akan menginduksi IgE
spesifik, dan degranulasi sel mas, kejadian ini memicu siklus gatal garuk yang
akan menimbulkan lesi. Superantigen juga meningkatkan sintesis IgE spesifik

37
dan menginduksi resistensi kortikosteroid, sehingga memperparah dermatitis
atopik.
c. Faktor lingkungan dan gaya hidup
Berbagai faktor lingkungan dan gaya hidup berpengaruh terhadap pravelensi
dermatitis atopik. Dermatitis atopik lebih banyak ditemukan pada status sosial
yang tinggi daripada status sosial yang rendah. Penghasilan meningkat,
pendidikan ibu makin tinggi, migrasi dari desa ke kota dan jumlah keluarga
kecil berpotensi menaikkan jumlah penderita dermatitis atopik.
Faktor-faktor lingkungan seperti polutan dan alergen-alergen mungkin
memicu reaksi atopik pada individu yang rentan. Paparan polutan dan alergen
tersebut adalah:
1) Polutan : Asap rokok, peningkatan polusi udara, pemakaian pemanas
ruangan sehingga terjadi peningkatan suhu dan penurunan kelembaban
udara, penggunaan pendingin ruangan.
2) Alergen :
- Aeroalergen atau alergen inhalant : tungau debu rumah, serbuk sari
buah, bulu binatang, jamur kecoa
- Makanan: susu, telur, kacang, ikan laut, kerang laut dan gandum
- Mikroorganisme: Staphylococcus aureus, Streptococcus sp, P.ovale,
Candida albicans,Trycophyton sp.
- Bahan iritan: wool, desinfektans, nikel, peru balsam.
d. Faktor Psikologi
Pada penderita dermatitis atopik sering tipe astenik, egois, frustasi, merasa
tidak aman yang mengakibatkan timbulnya rasa gatal. Namun demikian teori
ini masih belum jelas.

D. Klasifikasi
Berdasarkan usia pasien dan distribusi kelainan kulit, DA dibagi menjadi tiga
fase, yaitu fase infantil (0-2 tahun), anak (2 tahun-pubertas), dan dewasa.
a. Fase infantil (usia 2 bulan – 2 tahun)
Umumnya lesi awal muncul pada usia 2 bulan, biasanya simetris pada kedua
pipi, kemudian menyebar ke dahi, kulit kepala, telinga, leher, pergelangan
tangan dan tungkai berupa eritema, papulo-vesikel yang halus, karena gatal

38
digosok, pecah, eksudatif, akhirnya terbentuk krusta dan dapat menjadi infeksi
sekunder.
Sekitar usia 18 bulan mulai tampak likenifikasi. Pada sebagian besar penderita
sembuh setelah usia 2 tahun,mungkin juga sebelumnya, sebagian lagi akan
berlanjut menjadi bentuk anak. Pada saat itu penderita tidak lagi mengalami
eksaserbasi, bila makan makanan yang sebelumnya menyebabkan kambuhnya
penyakit itu. Alergen (pencetus) yang berperan dalam fase ini adalah
makanan, seperti susu sapi, telur, soya dan gandum.
b. Fase anak (usia 2-10 tahun)
Fase ini dapat bersifat langsung maupun lanjutan dari fase infantil, muncul di
lipat siku, lipat lutut, lesi juga bisa mengenai bagian luar sendi serta
pergelangan tangan dan pergelangan kaki, kelopak mata dan leher. Jari-jari
tangan sering terkena dengan lesi eksudatif dan kadang-kadang terjadi
kelainan kuku. Pada umumnya kelainan kulit pada dermatitis atopik anak
tampak kering, dibanding usia bayi dan sering terjadi likenifikasi. Perubahan
pigmen kulit bisa terjadi dengan berlanjutnya lesi, menjadi hiperpigmentasi
dan kadang hipopigmentasi. Anak dapat mengalami gangguan fungsional
karena nyeri apabila timbul luka pada kulit. Pada dermatitis berat (lebih dari
50% luas permukaan tubuh) seringkali terjadi gangguan psikologis. Alergen
yang berperan dalam fase ini adalah aeroalergen (pencetus yang dihirup)
seperti tungau, debu rumah, wol dan serpihan hewan piaraan selain alergi
makanan.
c. Fase remaja dan dewasa (usia > 13 tahun)
Lesi khas pada fase ini adalah eksim likenifikasi (penebalan kulit) pada daerah
lipatan, plak hiperpigmentasi (perubahan warna kulit menjadi lebih gelap),
dan skuama (bersisik) di pergelangan tangan, pergelangan kaki, leher dan
kelopak mata. Gatal terutama pada malam hari yang berkaitan dengan kondisi
psikologis, sehingga pasien dewasa sering mengeluh kelainan ini dicetuskan
oleh gangguan emosional. Kekambuhan terjadi saat terpajan dengan alergen
spesifik atau lingkungan tertentu.

E. Patogenesis
Berbagai faktor turut berperan pada pathogenesis DA, antara lain faktor genetik
terkait dengan kelainan intrinsik sawar kulit, kelainan imunologik, dan faktor
lingkungan.
39
a. Genetik
Genetik Pengaruh gen maternal sangat kuat. Ada peran kromosom 5q31-33,
kromosom 3q21, serta kromosom 1q21 and 17q25. Juga melibatkan gen yang
independen dari mekanisme alergi. Ada peningkatan prevalensi HLA-A3 dan
HLA-A9. Pada umumnya berjalan bersama penyakit atopi lainnya, seperti
asma dan rhinitis. Risiko seorang kembar monosigotik yang saudara
kembarnya menderita DA adalah 86%.
Lebih dari seperempat anak dari seorang ibu yang menderita atopi keluarga
akan mengalami DA pada masa 3 bulan pertama kehidupan, bila salah satu
orang tua menderita atopi, lebih dari separuh jumlah anak akan mengalami
gejala alergi sampai usia 2 tahun, dan meningkat sampai 79% bila kedua
orangtua menderita atopi. Risiko mewarisi DA lebih tinggi bila ibu yang
menderita DA dibandingkan dengan ayah. Tetapi bila DA yang dialami
berlanjut hingga masa dewasa maka risiko untuk mewariskan kepada anaknya
sama saja yaitu kira-kira 50%.
b. Sawar kulit
Hilangnya Ceramide dikulit, yang berfungsi sebagai molekul utama pengikat
air diruang ekstraseluler stratum korneum, dianggap sebagai penyebab
kelainan fungsi sawar kulit. Variasi ph kulit dapat menyebabkan kelainan
metabolisme lipid di kulit. Kelainan fungsi sawar mengakibatkan peningkatan
transepidermal water loss, kulit akan semakin kering dan merupakan port
d’entry untuk terjadinya penetrasi alergen, iritan, bakteri dan virus. Bakteri
pada pasien DA mensekresi ceramide sehingga menyebabkan kulit makin
kering.
Respon imun kulit Sel-sel T baik subset CD4+ maupun subset CD8+ yang
diisolasi dari kulit (CLA+ CD45RO+ T cells) maupun dari darah perifer,
terbukti mensekresi sejumlah besar IL-5 dan IL-13, sehingga dengan kondisi
ini lifespan dari eosinofil memanjang dan terjadi induksi pada produksi IgE.
Lesi akut didominasi oleh ekspresi IL-4 dan IL-13, sedangkan lesi kronik
didominasi oleh ekspresi IL-5, GM-CSF, IL-12, dan IFN-g serta infiltrasi
makrofag dan eosinofil.
Imunopatologi Kulit Pada DA, sel T yang infiltrasi ke kulit adalah
CD45RO+. Sel T ini menggunakan CLA maupun reseptor lainnya untuk
mengenali dan menyeberangi endotelium pembuluh darah. Di pembuluh darah
perifer pasien DA, sel T subset CD4+ maupun subset CD8+ dari sel T dengan
40
petanda CLA+CD45RO+ dalam status teraktivasi (CD25+, CD40L+,
HLADR+). Sel yang teraktivasi ini mengekspresikan Fas dan Fas ligand yang
menjadi penyebab apoptosis. Sel-sel itu sendiri tidak menunjukkan apoptosis
karena mereka diproteksi oleh sitokin dan protein extracellular matrix (ECM).
Sel-sel T tersebut mensekresi IFN g yang melakukan upregulation Fas pada
keratinocytes dan menjadikannya peka terhadap proses apoptosis di kulit.
Apoptosis keratinosit diinduksi oleh Fas ligand yang diekspresi di permukaan
sel-sel T atau yang berada di microenvironment.
c. Lingkungan
Sebagai tambahan selain alergen hirup, alergen makanan, eksaserbasi pada
DA dapat dipicu oleh berbagai macam infeksi, antara lain jamur, bakteri dan
virus, juga pajanan tungau debu rumah dan binatang peliharaan. Hal tersebut
mendukung teori Hygiene Hypothesis.
Hygiene Hypothesis menyatakan bahwa berkurangnya stimulasi sistem imun
oleh pajanan antigen mikroba dinegara barat mengakibatkan meningkatnya
kerentanan terhadap penyakit atopik.
Sampai saat ini etiologi maupun mekanisme yang pasti DA belum semuanya
diketahui, demikian pula pruritus pada DA. Rasa gatal dan rasa nyeri sama-
sama memiliki reseptor di taut dermoepidermal, yang disalurkan lewat saraf C
tidak bermielin ke saraf spinal sensorik yang selanjutnya diteruskan ke
talamus kontralateral dan korteks untuk diartikan. Rangsangan yang ringan,
superfisial dengan intensitas rendah menyebabkan rasa gatal, sedangkan yang
dalam dan berintensitas tinggi menyebabkan rasa nyeri. Sebagian patogenesis
DA dapat dijelaskan secara imunologik dan nonimunologik.
d. Imnopatogenesis DA
Histamin dianggap sebagai zat penting yang memberi reaksi dan
menyebabkan pruritus. Histamin menghambat kemotaksis dan menekan
produksi sel T. Sel mast meningkat pada lesi dermatitis atopik kronis. Sel ini
mempunyai kemampuan melepaskan histamin. Histamin sendiri tidak dapat
menyebabkan lesi ekzematosa. kemungkinan zat tersebut menyebabkan
pruritus dan eritema, mungkin akibat garukan karena gatal menimbulkan lesi
ekzematosa. Pada pasien dermatitis atopik kapasitas untuk menghasilkan IgE
secara berlebihan diturunkan secara genetik. Demikian pula defisiensi sel T
penekan (suppressor). Defisiensi sel ini menyebabkan produksi berlebih igE.

41
Respon Imun Sistemik Terdapat IFN-g yang menurun. Interleukin spesifik
alergen yang diproduksi sel T pada darah perifer (interleukin IL-4, IL-5 dan
IL-13) meningkat. Juga terjadi Eosinophilia dan peningkatan IgE.
- Reaksi imunologis DA
Sekitar 70% anak dengan DA mempunyai riwayat atopi dalam
keluarganya seperti asma bronkial, rinitis alergi, atau dermatitis atopik.
Sebagian besar anak dengan DA (sekitar 80%), terdapat peningkatan
kadar IgE total dan eosinofil di dalam darah. Anak dengan DA terutama
yang moderat dan berat akan berlanjut dengan asma dan/atau rinitis
alergika di kemudian hari (allergic march), dan semuanya ini
memberikan dugaan bahwa dasar DA adalah suatu penyakit atopi.
- Ekspresi sitokin
Keseimbangan sitokin yang berasal dari Th1 dan Th2 sangat berperan
pada reaksi inflamasi penderita Dermatitis Atopik (DA). Pada lesi yang
akut ditandai dengan kadar Il-4, Il-5, dan Il-13 yang tinggi sedangkan
pada DA yang kronis disertai kadar Il-4 dan Il-13 yang lebih rendah,
tetapi kadar Il-5, GM-CSF (granulocyte-macrophage colony-
stimulating factor), Il-12 dan INFg lebih tinggi dibandingkan pada DA
akut.
Anak dengan bawaan atopi lebih mudah bereaksi terhadap antigen
lingkungan (makanan dan inhalan), dan menimbulkan sensitisasi
terhadap reaksi hipersentivitas tipe I. Imunitas seluler dan respons
terhadap reaksi hipersensitivitas tipe lambat akan menurun pada 80%
penderita dengan DA, akibat menurunnya jumlah limfosit T sitolitik
(CD8+), sehingga rasio limfosit T sitolitik (CD 8+) terhadap limfosit T
helper (CD4+) menurun dengan akibat kepekaan terhadap infeksi virus,
bakteri, dan jamur meningkat.
Di antara mediator yang dilepaskan oleh sel mast, yang berperan pada
pruritus adalah vasoaktif amin, seperti histamin, kinin, bradikinin,
leukotrien, prostaglandin dan sebagainya, sehingga dapat dipahami
bahwa dalam penatalaksanaan DA, walaupun antihistamin sering
digunakan, namun hasilnya tidak terlalu menggembirakan dan sampai
saat ini masih banyak silang pendapat para ahli mengenai manfaat
antihistamin pada DA. Trauma mekanik (garukan) akan melepaskan
TNF-a dan sitokin pro inflammatory lainnya diepidermis, yang
42
selanjutnya akan meningkatkan kronisitas DA dan bertambah beratnya
eksema.
e. Antigen Presenting Cells
Kulit penderita DA mengandung sel Langerhans (LC) yang mempunyai
afinitas tinggi untuk mengikat antigen asing (Ag) dan IgE lewat reseptor
FceRI pada permukaannya, dan beperan untuk mempresentasikan alergen ke
limfosit Th2, mengaktifkan sel memori Th2 di kulit dan yang juga berperan
mengaktifkan Th0 menjadi Th2 di dalam sirkulasi.
f. Faktor non imunologis
Faktor non imunologis yang menyebabkan rasa gatal pada DA antara lain
adanya faktor genetik, yaitu kulit DA yang kering (xerosis). Kulit yang kering
akan menyebabkan nilai ambang rasa gatal menurun, sehingga dengan
rangsangan yang ringan seperti iritasi wol, rangsangan mekanik, dan termal
akan mengakibatkan rasa gatal.
g. Autoalergen
Sebagian besar serum pasien dermatitis atopik mengandung antibody IgE
terhadap protein manusia. Autoalergen tersebut merupakan protein
intraseluler, yang dapat dikeluarkan karena kerusakan keratinosit akibat
garukan dan dapat memicu respon IgE atau sel T. pada bdermatitis atopik
berat, inflamasi tersebut dapat dipertahankan oleh adanya antigen endogen
manusia sehingga dermatitis atopik dapat digolongkan sebagai penyakit
terkait dengan alergi dan autoimunitas.

F. Patofisiologi
Peran IgE dalam menimbulkan keluhan pada DA sangat signifikan. Ishizaka dkk
menyatakan pada DA terdapat peningkatan kadar IgE yang menyebabkan reaksi
eritema di kulit. Terjadi stimulasi interleukin-4 (IL-4) terhadap setl T (CD4+) dan
IL-13 terhadap sel B untuk memproduksi IgE, sebaliknya interferon y (IFNy)
dapat mensupresi sel B. Jumlah dan potensi IL-4 lebih besar daripada IFNy. IL-5
berfungsi menginduksi proliferasi sel eosinofil yang merupakan salah satu
parameter DA.
Patofisiologi pruritus pada DA belum diketahui secara pasti. Pada umumnya para
pakar berpendapat bahwa sensasi gatal dan nyeri disalurkan melalui saraf C tidak
bermielin di daerah taut dermoepidermal. Rangsangan ke reseptor gatal tersebut

43
menjalar melalui saraf spinal sensorik kemudian ke hipotalamus kontralateral dan
selanjutnya ke korteks untuk dipersepsikan.
Rangsangan ringan dan superfisial dengan intensitas rendah menyebabkan rasa
gatal, namun bila lebih dalam dan intensitas tinggi dapat menyebabkan sensasi
nyeri. Patogenesis DA berkaitan dengan faktor genetik dan hipersensitivitas tipe I
fase lambat (IgE mediated, late phase). Namun, kemduain dianggap pada DA
dapat terjadi reaksi yang diperantarai hipersensitivitas tipe IV dan tipe I.
Berbagai perubahan abnormal pada pasien DA menyebabkan pruritus dan
kelainan kulit, antara lain perubahan pada respons vaskular dan farmakologik.
Demikian pula kulit yang kering pada DA menyebabkan ambang rangsang gatal
lebih rendah. Stimulus ringan (misalnya mekanis, elektris, dan termal) dapat
menyebabkan pruritus melalui jalur refleks akson terminal yang mengeluarkan
substansi P, sehingga menyebabkan vasodilatasi atau rangsangan terhadap sel
mast. Kulit yang kering menyebabkan diskontinuitas sel keratinosit sehingga
bahan pruritogenik yang dikeluarkan merangsang reseptor dan dapat
meningkatkan reaksi hipersensitivitas kulit.

G. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium: Tidak ada hasil laboratorium yang spesifik yang dapat
dipergunakan untuk menegakkan diagnosis dermatitis atopik. Hasil yang dapat
ditemukan pada dermatitis atopik, misalnya kenaikkan kadar IgE dalam
serum, mengurangnya jumlah sel-T ( terutama T-supresor) dan imunitas
seluler, jumlah eosinofil dalah darah relatif meningkat.
b. Dermatografisme putih: Penggoresan pada kulit normal akan menimbulkan
tiga respon yakni berturut- turut akan terlihat: Garis merah ditempat
penggoresan selama 15 detik, warna merah disekitarnya selama beberapa
detik, edema timbul setelah beberapa menit. Penggoresan pada penderita yang
atopi akan bereaksi belainan. Garis merah tidak disusul warna kemerahan,
tetapi kepucatan selama 2 detik sampai 5 menit, sedangkan edema tidak
timbul. Keadaan ini disebut dermatografisme putih.
c. Percobaan asetilkolin: Suntikan secara intra kutan solusio asetilkolin 1/5000
akan menyebabkan hyperemia pada orang normal. Pada orang dengan
dermatitis atopi akan timbul vasokonstriksi terlihat kepucatan selama satu
jam.

44
d. Percobaan histamine: Jika histamin fosfat disuntikkan pada lesi penderita
dermatitis atopi eritema akan berkurang dibandingkan orang lain sebagai
kontrol. Kalau obat tersebut disuntikkan parenteral, tampak eritema bertambah
pada kulit orang normal.

H. Diagnosis Banding
Diagnosis banding DA bergantung pada fase atau usia, manifestasi klinis, serta
lokasi DA. Pada fase bayi dapat mirip dermatitis seboroik, psoriasis, dan
dermatitis popok. Sedangkan pada fase anak dapat mirip dengan dermatitis
numularis, demmatitis intertriginosa, dermatitis kontak, dan dermatitis traumatika.
Sedangkan pada fase dewasa lebih mirip dengan neuroderatitis atau liken
simpleks kronikus.
Terdapat sejumlah penyakit kulit inflamasi, imunodefisiensi, penyakit genetik,
penyakit infeksi, dan infestasi yang mempunyai gejala dan tanda yang sama
dengan dermatitis atopik.Dermatitis atopik didiagnosis banding dengan dermatitis
seboroik, dermatitis kontak, dermatitis numularis, skabies, iktiosis, psoriasis,
dematitis herpetiformis, sindrom Sezary danpenyakit Letterer-Siwe. Pada bayi,
dapat pula didiagnosis banding dengan sindromWiskott-Aldrich dan sindrom
hiper IgE.

I. Tatalaksana
Tata laksana menyeluruh pada DA diperlukan karena DA merupakan interaksi
multifaktorial yang kompleks. Tatalaksana bertujuan untuk mengurangi tanda dan
gejala penyakit dan juga mencegah kekambuhan di kemudian hari. Panduan
Diagnosis dan Tatalaksana Dermatitis Atopik di Indonesia yang disusun oleh
Kelompok Studi Dermatologi Anak Indonesia dan Kelompok Studi
Imunodermatologi Perhimpunan Dokter Spesialis Kulit dan Kelamin Indonesia
bekerjasama dengan Unit Kelompok Koordinasi Alergi Imunologi Ikatan Dokter
Anak Indonesia, menyebutkan bahwa tatalaksana DA meliputi penghindaran dan
modifikasi faktor pencetus lingkungan/modifikasi gaya hidup, memperkuat dan
mempertahankan fungsi sawar kulit yang optimal, menghilangkan penyakit kulit
inflamasi, mengendalikan dan mengeliminasi siklus gatal-garuk, dan edukasi dan
empowerment pasien serta caregivers.
a. Menghindari bahan iritan

45
Penderita dermatitis atopik rentan terhadap bahan iritan yang memicu dan
memperberat kondisi seperti sabun, deterjen, bahan kimiawi, rokok, pakaian
kasar, suhu yang ekstrem dan lembab. Pemakaian sabun hendaknya yang
berdaya larut minimal terhadap lemak dan dengan PH netral. Hindari sabun
atau pembersih kulit yang mengandung antiseptik atau antibakteri yang
digunakan rutin karena mempermudah resistensi, kecuali bila ada infeksi
sekunder. Pakaian baru hendaknya dicuci terlebih dahulu sebelum dipakai
dengan deterjen untuk menghindari formaldehid atau bahan kimia. Usahakan
tidak memakai pakaian yang bersifat iritan seperti wol atau sintetik yang
menyebabkan gatal, lebih baik menggunakan katun. Pemakaian tabir surya
juga perlu untuk mencegah paparan sinar matahari yang berlebihan.
b. Mengeliminasi alergen yang telah terbukti
Alergen yang telah terbukti sebagai pemicu kekambuhan harus dihindari,
seperti makanan (susu, kacang, telur, ikan laut, kerang laut dan gandum), debu
rumah, bulu binatang, serbuk sari, tanaman dan sebagainya.
c. Pengobatan Topikal
1) Menghilangkan pengeringan kulit (hidrasi)
Kulit penderita dermatitis atopik menunjukkan adanya transepidermal
water loss yang meningkat. Oleh karena itu hidrasi penting dalam
keberhasilan terapi, biasanya menggunakan pelembab. Pemaikan
pelembab dapat memperbaiki fungsi barier stratum korneum dan
mengurangi kebutuhan steroid topikal. Sebuah studi menunjukkan bahwa
pelembab mungkin mengurangi 50% kebutuhan pemakaian kortikosteroid
topikal.
Pelembab dapat dibedakan menjadi tiga yaitu pelembab humektan, oklusif
, dan emolien. Pelembab humektan merupakan bahan aktif dalam
komestik yang ditujukan untuk meningkatkan kandungan air pada
epidermis. Bahan-bahan yang termasuk ke dalam humektan terutama
bahan-bahan yang bersifat higroskopis yang dapat digunakan secara
khusus untuk tujuan melembabkan kulit, contoh humektan adalah gliserin.
Pelembab oklusif adalah bahan aktif kosmetik yang menghambat
terjadinya penguapan air dari permukaan kulit. Dengan menghambat
terjadinya penguapan air pada permukaan kulit, bahan-bahan oklusif
dapat meningkatkan kandungan air dalam kulit. Contoh oklusif adalah
petrolatum. Pelembab yang digunakan bisa berbentuk cairan, krim atau
46
salep. Misalnya krim hidrofilik urea 10%, dapat pula ditambahkan
hidrokortison 1% didalamnya. Bila memakai pelembab yang mengandung
asam laktat, konsentrasinya jangan lebih dari 5% karena dapat mengiritasi
bila dermatitisnya masih aktif.
2) Kortikosteroid topikal
Kortikosteroid topikal adalah yang paling banyak digunakan sebagai anti
inflamasi. Selain itu dapat berguna pada saat ekserbasi akut, anti pruritus
dan sebagai anti mitotik. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hoare C,
dkk menggunakan kortikosteroid topikal pada 83 pasien dermatitis atopik
dengan menggunakan simple randomized control trials hasil dari
penggunaan kortikosteroid topikal kurang dari satu bulan 80%
menunjukkan pemulihan sangat baik.
Pada prinsipnya penggunaan steroid topikal dipilih potensi yang paling
lemah yang masih efektif, karena semakin kuat potensi semakin banyak
efek sampingnya. Potensi dari kortikosteroid topikal diklasifikasikan
berdasarkan potensi vasokontriksi pembuluh darah.

47
Pada bayi digunakan kortikosteroid topikal potensi rendah, misalnya
hidrokortison 1-2,5%. Pada anak dan dewasa dipakai steroid potensi
menengah, misalnya triamsinolon, kecuali pada muka diberikan steroid
yang berpotensi lebih rendah. Pada daerah genitalia dan intertriginosa juga
digunakan kortikosteroid topikal yang berpotensi rendah jangan digunakan
yang berpotensi tinggi seperti Fluorinated glukokortikoid. Bila aktivasi
penyakit telah dikontrol dipakai secara intermiten, umumnya 2 kali
seminggu, untuk menjaga agar tidak cepat kambuh sebaiknya dengan
kortikosteroid yang potensinya paling rendah.
d. Pengobatan sistemik
1) Pemberian antihistamin
Antihistamin digunakan sebagai antipruritus yang cukup memuaskan,
membantu untuk mengurangi rasa gatal yang hebat terutama pada malam
hari. Karena dapat mengganggu tidur, antihistamin yang dipakai ialah
yang mempunyai efek sedatif, misalnya hidroksisin, difenhidramin dan
sinequan. Cetrizine dan fexofenadine telah diuji keberhasilannya untuk
mengatasi rasa gatal pada penderita dermatitis atopik anak-anak dan
dewasa. Pada kasus yang lebih sulit dapat diberikan doksepin hidroklorid
yang mempunyai antidepresan dan memblokade reseptor histamine H1
dan H2, dengan dosis 10-75mg secara oral malam hari pada dewasa.
2) Pemberian antibiotik
Pada penderita dermatitis atopik lebih dari 90% ditemukan peningkatan
koloni Staphylococcus aureus. Untuk yang belum resisten dapat diberikan
eritromisin, asitromisin atau klaritomisin, sedang untuk yang sudah
resisten diberikan dikloksasilin, oksasilin, atau generasi pertama

48
sefalosporin. Apabila dicurigai terinfeksi oleh virus herpes simpleks,
kortikosteroid dihentikan sementara dan diberikan oral asiklovir.
3) Kortikosteroid Sistemik
Pada umumnya kortikosteroid sistemik hanya digunakan untuk
mengontrol eksaserbasi akut. Penggunaannya hanya dalam jangka pendek,
dosis rendah, berselang-seling, diturunkan bertahap dan kemudian diganti
kortikosteroid topikal.
4) Siklosporin
Dermatitis atopik yang sulit digunakan dengan pengobatan konvesional
dapat diberikan siklosporin jangka pendek. Siklosporin oral sebagai terapi
sistemik dermatitis atopik tersedia dalam bentuk kapsul gelatin 25 atau
100 mg, durasi terapi singkat, namun penggunaan lebih dari setahun tidak
dianjurkan. Relaps dan rekurensi sering terjadi setelah penghentian terapi
siklosporin.
e. Mengurangi stress
Stress emosi pada penderita dermatitis atopik merupakan pemicu
kekambuhan, bukan sebagai penyebab. Usaha-usaha mengurangi stress adalah
dengan melakukan konseling pada penderita dermatitis atopik, terutama yang
mempunyai kebiasan menggaruk. Relaksasi, modifikasi mood dan
biofeedback mungkin berguna pada penderita dengan kebiasaan menggaruk.
f. Terapi sinar
Pengobatan dengan sinar ultraviolet seperti UVA, UVB, narrowband UVB,
UVA-1, kombinasi UVAdan UVB, atau bersama psoralen (fotokemoterapi)
dapat digunakan sebagai terapi tambahan karena dapat menyebabkan remisi
panjang, namun berisiko menimbulkan penuaan kulit dini dan keganasan kulit
pada pengobatan jangka lama. Sinar UVB narrowband lebih aman dibanding
PUVA, yang dihubungkan dengan karsinoma sel skuamosa dan melanoma
maligna. Fototerapi dipertimbangkan pada dermatitis atopik yang berat dan
luas yang tidak responsif terhadap pengobatan topikal. Fotokemoterapi tidak
dianjurkan untuk anak usia kurang dari12 tahun karena dapat mengganggu
perkembangan mata.
Pada randomized clinical trials menunjukkan bahwa sinar UV (UVB,
narrow-band UVB, dan high intensity UVA) lebih menguntungkan untuk
dermatitis atopik pada penggunaan jangka pendek. Rasa terbakar , gatal, dan

49
efek karsinogen sering terjadi pada penggunaan jangka panjang. Fototerapi
biasanya digunakan sebagai terapi lini kedua atau ketiga.
g. Balut basah (wet wrap dressing)
Balut basah (wet wrap dressing) dapat diberikan sebagai terapi tambahan
untuk mengurangi gatal, terutama untuk lesi yang berat dan kronik atau yang
refrakter terhadap pengobatan biasa. Bahan pembalut (kasa balut) dapat diberi
larutan kortikosteroid atau mengoleskan krim kortikosteroid pada lesi
kemudian dibalut basah dengan air hangat dan ditutup dengan lapisan atau
baju kering di atasnya. Cara ini sebaiknya dilakukan secara intermiten dan
dalam waktu tidaklebih dari 2-3 minggu. Balut basah dapat pula dilakukan
dengan mengoleskan emolien saja di bawahnya sehingga memberi rasa
mendinginkan dan mengurangi gatal serta berfungsi sebagai pelindung efektif
terhadap garukan sehingga mempercepat penyembuhan. Penggunaan balut
basah yang berlebihan dapat menyebabkan maserasi sehingga memudahkan
infeksi sekunder. Balut basah juga memiliki potensial dapat menambah
kekeringan kulit dan menyebabkan fisura bila tidak disertaipelembab emolien.
Balut basah banyak dijadikan terapi lini kedua atau ketiga untuk anak-anak
yang resisten terhadap dermatitis atopik walaupun belum ada data yang
mendukung.

A: Sangat direkomendasikan untuk pasien dalam praktik sehari-hari


B: Tidak direkomendasikan untuk pasien pada pemakaian rutin
50
J. Edukasi
Edukasi merupakan dasar dari suksesnya penatalaksanaan dermatitis atopik, yaitu
perawatan kulit yang benar dan menghindari penyebab. Memberikan edukasi
tentang penyakitnya, faktor-faktor pemicu kekambuhan, kebiasaan hidup dan
sebagainya perlu diberikan pada penderita untuk memperoleh hasil yang optimal.
Menurut IDAI, perawatan kulit pada DA, antara lain:
a. Perawatan Saat Mandi:
- Mandi 1-2x sehari dengan menggunakan air hangat kuku (suhu 36-37º
Celcius).
- Lama mandi kira-kira 10-15 menit.
- Menggunakan sabun yang mengandung pelembab, pH 5,5-6, tidak
mengandung pewarna dan pewangi.
- Mencegah bahan iritan saat mandi, seperti sabun anti septik
b. Perawatan Setelah Mandi
- Setelah mandi segera (dalam waktu 3 menit setelah mandi), oleskan
pelembab ke seluruh kulit kecuali kulit kepala.
- Cara aplikasi: menggunakan tangan, dioleskan tipis di seluruh permukaan
kulit kecuali kulit kepala, apabila kulit terkena air atau bahan lain dalam
waktu kurang dari 5 menit setelah pengolesan, prosedur diulang kembali
c. Perawatan Kulit lainnya
- Memakai pakaian yang ringan, lembut, halus, dan menyerap keringat
- Mencegah bahan iritan, seperti deterjen, sabun cair pencuci priring, dan
desinfektan saat mencuci pakaian bayi
- Menghindari faktor pencetus alergen, seperti tungau debu rumah, binatang
peliharaan, dan serbuk bunga
- Menjaga suhu ruangan tempat bayi berada agar tidak ekstrim, seperti
terlau panas atau terlalu dingin

K. Prognosis
Prognosis lebih buruk bila kedua orang tuanya menderita dermatitis atopik. Ada
kecenderungan perbaikan masa spontan pada masa anak dan sering ada yang
kambuh pada masa dewasa. Sebagian kasus menetap pada usia diatas 30 tahun.
Faktor yang berhubungan dengan prognosis kurang baik pada dermatitis atopic
adalah:
a. Dermatitis atopik luas pada anak
51
b. Menderita rhinitis alergik dan asma bronkial
c. Riwayat dermatitis atopik pada orang tua atau saudara kandung
d. Awitan dermatitis atopik pada usia muda
e. Anak tunggal
f. Kadar IgE serum sangat tinggi

VII. Kesimpulan

Seorang anak laki-laki, 2 tahun, mengalami dermatitis atopik fase anak et causa faktor
genetik.

52
DAFTAR PUSTAKA

Bakhtiar (2010) ‘Faktor Risiko , Diagnosis , dan Tatalaksana Dermatitis Atopik pada Bayi
dan Anak’, Jkm, 9(2), pp. 188–198.

Boediardja, S. A. (2015) Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. Edisi Ketu. Jakarta: Badan
Penerbit FK UI.

Djuanda, A., Hamzah, M., & Aisah, S, dkk. 2018. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Jakarta:
FKUI.

Dumakuri, M. (2018, April 24). DERMATITIS ATOPIK: LESI KEMERAHAN DENGAN


RASA GATAL. Retrieved from IDAI: http://www.idai.or.id/artikel/klinik/keluhan-
anak/dermatitis-atopik-lesi-kemerahan-dengan-rasa-gatal

Dumakuri, M. (2018) DERMATITIS ATOPIK: LESI KEMERAHAN DENGAN RASA GATAL,


Ikatan Dokter Anak Indonesia. Available at:
http://www.idai.or.id/artikel/klinik/keluhan-anak/dermatitis-atopik-lesi-kemerahan-
dengan-rasa-gatal (Accessed: 21 October 2019).

ISKDI (2012) Standar Kompetensi Dokter Indonesia Konsil Kedokteran Indonesia. Available
at: http://www.kki.go.id/assets/data/arsip/SKDI_Perkonsil,_11_maret_13.pdf.

Kelompok Studi Dermatologi Anak Indonesia PERDOSKI (2014) ‘Panduan Diagnosis dan
Tatalaksana Dermatitis Atopik di Indonesia.pdf’, (January), p. 59.

Perdoski (2017) Panduan Praktek Klinis Bagi Dokter Spesialis Kulit Dan Kelamin Di
Indonesia, Perdoski. doi: 10.1021/jo900140t.

Soebaryo R.W. 2009. Imunopatogenesis. Dalam Boediarja S.A., Sugito T.L., Indriatmi W.,
Devita M., Prihanti S., (Ed). Dermatitis Atopik. Jakarta: Balai Penerbit FK UI. Hal.
39-51.

Sugito T.L. 2009. Penatalaksanaan Terbaru Dermatitis Atopik. dalam Boediarja S.A., Sugito
T.L., Indriatmi W., Devita M., Prihanti S., (Ed). Dermatitis Atopik. Jakarta: Balai
Penerbit FK UI. Hal. 39-55.

Zulkarnain I. 2009. Manifestasi Klinis dan Diagnosis Dermatitis Atopik. dalam Boediarja
S.A., Sugito T.L., Indriatmi W., Devita M., Prihanti S., (Ed). Dermatitis Atopik.
Jakarta: Balai Penerbit FK UI. Hal. 39-5.1

53

Anda mungkin juga menyukai