Anda di halaman 1dari 27

Makalah Presentasi Kasus dengan Persiapan

Dermatitis Kontak Iritan perbaikan Dermatitis Kontak


Alergi dengan Akne Steroid

Disusun Oleh:

Veronika Renny 1406563494


Adryan Tanujaya 1306436312
Muhammad Sobri Maulana 1306376326

Narasumber:
Dr.dr. Sandra Widaty, SpKK (K)

MODUL PRAKTIK KLINIK ILMU KESEHATAN KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS INDONESIA
AGUSTUS 2019
DAFTAR ISI

Daftar Isi .......................................................................................................................... 2


Bab I Pendahuluan ......................................................................................................... 3
Bab II Ilustrasi Kasus ..................................................................................................... 4
2.1 Identitas Pasien ..................................................................................................... 4
2.2 Anamnesis ............................................................................................................. 5
2.3 Pemeriksaan Fisis.................................................................................................. 5
2.4 Pemeriksaan Penunjang ........................................................................................ 6
2.5 Resume.................................................................................................................. 7
2.6 Diagnosis Kerja ..................................................................................................... 7
2.7 Diagnosis Banding ................................................................................................ 7
2.8 Pemeriksaan Anjuran ............................................................................................ 7
2.9 Tata Laksana ......................................................................................................... 8
2.10 Prognosis ............................................................................................................. 8

Bab III Tinjauan Pustaka .............................................................................................. 9


3.1 Akne Steroid ......................................................................................................... 9
3.2 Dermatitis Kontak Iritan ..................................................................................... 13
3.2 Dermatitis Kontak Alergi .................................................................................... 19

Bab IV Pembahasan ..................................................................................................... 25


Bab IV Kesimpulan....................................................................................................... 26
Daftar Pustaka .............................................................................................................. 27

2
BAB I

PENDAHULUAN

Dermatitis adalah reaksi radang pada kulit yang disebabkan oleh berbagai faktor
eksogen atau endogen. Keluhan yang dirasakan pasien meliputi adanya eritema, edema,
vesikel, skuama, pruritus, rasa perih, dan likenifikasi pada dermatitis kronik. Jenis dermatitis
ada bermacam-macam, dapat dibagi menjadi etiologi, morfologi, lokalisasi, stadium penyakit
ataupun jenisnya seperti dermatitis kontak iritan dan alergi. Dermatitis kontak adalah
peradangan kulit akut atau kronis yang disebabkan oleh interaksi kulit dengan agen kimia,
biologi, atau fisik. Dermatitis kontak dapat terjadi setelah paparan tunggal atau eksposur
ganda. mungkin bersifat iritan atau alergi – yang secara klinis mungkin sulit dibedakan.
Dermatitis kontak iritan (DKI) disebabkan oleh kerusakan jaringan langsung setelah terpapar
iritan, sedangkan pada dermatitis kontak alergi, kerusakan jaringan oleh zat alergi dimediasi
melalui mekanisme imunologi. Riwayat lengkap yang berkaitan dengan eksposur di rumah,
tempat kerja, dan kegiatan rekreasi sangat penting untuk membuat diagnosis dan
mengidentifikasi agen penyebabnya. Dermatitis kontak dapat bersifat akut maupun kronis.
Tingkat keparahan dermatitis berkisar dari kondisi ringan dan intermiten sampai pada tingkat
berat. Pengobatan dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergi dimulai dengan
menghindari zat penyebab terjadinya dermatitis.

Akne vulgaris adalah peradangan kronis folikel pilosebasea yang multifaktorial.


Umumnya, akne bermanifestasi pada usia 12-15 tahun yang berpuncak pada 17-21 tahun.
Etiologi yang diduga mencangkup genetik, ras, hormonal, stress, iklim, penggunaan
kosmetik, diet, dan penggunaan obat-obatan terutama steroid.

Pada kasus ini akan disajikan kasus perempuan dengan lesi awal merupakan acne
yang kemudian menggunakan steroid topikal yang kemudian menjadi dermatitis kontak iritan
dan dermatitis kontak alergi.

3
BAB II
ILUSTRASI KASUS

2.1 Identitas Pasien

Nama : Ny. M
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : Jakarta, 18 Agustus 1967
Umur : 52 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Menteng, Jakarta Pusat
Pembiayaan : Umum
Nomor Rekam Medis : 441-71-29
Tanggal Pemeriksaan : 23 Agustus 2019

2.2 Anamnesis
(Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUPN Dr.
Cipto Mangunkusumo pada hari Jumat, 23 Agustus 2019 pukul 10.15)

Keluhan Utama
Bercak merah pada pipi kiri dirasakan sejak 2 tahun SMRS

Riwayat Penyakit Sekarang


Keluhan bercak merah pada pipi kiri dirasakan muncul sejak 2 tahun yang lalu, diawali hanya
bintik seperti jerawat di bawah tahi lalat. Terdapat keluhan sedikit gatal dan nyut-nyutan,
nyeri disangkal. Keluhan yang sama pada bagian tubuh lain disangkal. Pada bercak merah
dikeluhkan makin meluas didaerah pipi kiri dan memerah lama kelamaan. Pasien sempat
berobat ke puskesmas, diberikan obat salep dan antiradang namun pasien lupa namanya.
Pasien mengeluhkan jerawat pecah setelah diberi salep. Keluhan dirasa sempat membaik
setelah dioleskan obat tersebut, namun gejala hilang timbul. Salep tersebut kemudian dipakai
hanya jika muncul keluhan lagi.
Sejak dua minggu SMRS, pasien merasa kemerahan di pipi kirinya semakin meluas,
gatal dan timbul jerawat lebih banyak. Pasien kemudian memakai salep antiradang sejak 1

4
minggu SMRS tiap hari 1 kali sehari, tetapi keluhan dirasakan tidak berkurang. Pasien juga
sering mengoleskan sabun cuci muka pepaya, salep hitam, dan bedak temulawak yang dibeli
sendiri. Riwayat pelihara kucing, anjing, atau hewan peliharaan lainnya disangkal. Riwayat
alergi lainnya disangkal.
Pasien juga memiliki penyakit darah tinggi, rutin kontrol ke puskesmas,
mengkonsumsi captopril 2 x 12.5 mg, amlodipin 1x10 mg sejak beberapa bulan terakhir.
Diabetes mellitus disangkal.

Riwayat Penyakit Dahulu


Tidak ada.

Riwayat Penyakit Keluarga


Keluhan gejala serupa disangkal pada keluarga, riwayat alergi pada keluarga disangkal

Riwayat Sosial Ekonomi


Pasien merupakan ibu rumah tangga, riwayat konsumsi alkohol atau merokok disangkal

2.1 Pemeriksaan Fisis


Pemeriksaan Umum
Keadaan umum Tampak sakit Ringan
Kesadaran Compos mentis
Kesan Gizi Baik
Tekanan darah 140/88 mmHg
Frekuensi nadi 110 kali per menit, reguler, isi cukup, ekual
Frekuensi napas 20 kali per menit, regular
Suhu 37,3oC
Tinggi Badan / Berat 165 cm/ 54 kg
Badan

Status Generalis
Organ Hasil
Mata Tidak diperiksa
Jantung/Paru Tidak diperiksa

5
Abdomen Tidak diperiksa
Ekstremitas Tidak diperiksa
Kelenjar Getah Bening Tidak diperiksa

Status Dermatologikus

Gambar 1. Lesi kulit pada pipi kiri.

 Pada regio pipi kiri, terdapat lesi plak eritematosa, bentuk bulat-ireguler, berukuran
lentikular-plakat, berbatas tegas-difus, diskret-konfluens, multipel dengan diatasnya
terdapat lesi berupa papul bentuk bulat-reguler, multipel, diskret. Lesi vesikel multiple
ukuran lenticular batas tegas tersusun diskret berdinding tegang berisi cairan jernih dan
lesi pustule bentuk bulat-reguler, berukuran milier hingga lenticular tersusun diskret

2.4 Pemeriksaan Penunjang

Gambar 2. Pewarnaan gram.

6
 Pewarnaan gram: Swab pada pipi kiri
Hasil: Terdapat banyak sel PMN dan coccus gram positif. Kesimpulan
mikroorganisme yang ditemukan berjumlah sedikit.

2.5 Resume

Pasien perempuan, usia 52 tahun datang ke poliklinik umum Kulit dan Kelami dengan
keluhan bercak merah pada pipi kiri dirasakan muncul sejak 2 tahun yang lalu, diawali hanya
bintik seperti jerawat dibawah tahi lalat. Terdapat keluhan sedikit gatal dan nyut-nyutan.
Pada bercak merah dikeluhkan makin meluas didaerah pipi kiri dan memerah lama kelamaan.
Pasien sempat berobat ke puskesmas, diberikan obat salep oles, namun pasien lupa namanya.
Pasien mengeluhkan jerawat pecah setelah diberi salep oles. Keluhan dirasa sempat membaik
setelah dioleskan obat tersebut, namun gejala hilang timbul. Pasien sering mengoleskan
sabun cuci muka pepaya, salep hitam, dan bedak temulawak yang dibeli sendiri. Status
dermatologikus didapatkan pada pada regio pipi kiri, terdapat lesi plak eritematosa, bentuk
bulat-ireguler, berukuran lentikular-plakat, berbatas tegas-difus, diskret-konfluens, multipel
dengan diatasnya terdapat lesi berupa papul bentuk bulat-reguler, multipel, diskret. Lesi
vesikel multiple ukuran lenticular batas tegas tersusun diskret berdinding tegang berisi cairan
jernih dan lesi pustule bentuk bulat-reguler, berukuran milier hingga lenticular tersusun
diskret. Pewarnaan gram didapatkan banyak sel PMN dan coccus gram positif.

1.6 Diagnosis Kerja

 Akne Steroid dengan Dermatitis Kontak Iritan dan Dermatitis Kontak Alergi

1.7 Diagnosis banding

 Cutaneus T-Cell Lymphoma


 Topical Steroid Dependent Face

1.8 Pemeriksaan anjuran

 Pemeriksaan Uji temple

7
1.9 Tata Laksana

 Non Farmakologi:
 Penghentian penggunaan krim kortikosteroid
 Edukasi keluarga pasien mengenai perjalanan penyakit, hindari faktor
pencetus penyakit.
 Edukasi pasien untuk menjaga hygiene kulit seluruh badan dan menjaga
lingkungan
 Edukasi pasien untuk tidak menggaruk-garuk lesinya
 Usahakan lap badan sampai kering dengan handuk ketika selesai mandi.
 Edukasi cara pemakaian obat dengan rutin dan sesuai aturan, tidak
sembarangan menggunakan obat-obat tanpa resep dokter, serta peran keluarga
dalam membantu pengobatan pasien.
 Hindari sinar matahari langsung
 Kontrol 1 minggu lagi
 Evaluasi ulang lesi plak eritematosa

 Farmakologi
o Natrium fusidat 2 kali per hari

1.10 Prognosis

 Quo ad Vitam : ad bonam


 Quo ad Functionam : ad bonam
 Quo ad Sanationam : dubia ad bonam

8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA

3.1 Acne Vulgaris

3.1.1 Definisi

Akne vulgaris adalah peradangan kronis folikel pilosebasea yang multifaktorial.


Umumnya, akne bermanifestasi pada usia 12-15 tahun yang berpuncak pada 17-21
tahun. Etiologi yang diduga mencangkup genetik, ras, hormonal, stress, iklim,
penggunaan kosmetik, diet, dan penggunaan obat-obatan.1

3.1.2 Etiologi dan Patogenesis

Terdapat empat patogenesis akne vulgaris yang paling berpengaruh, yaitu:

Peningkatan produksi sebum


Ekskresi sebum dikontrol oleh hormon androgen, dan jumlah lobul pada kelenjar
sebasea serta ukuran folikel sebasea pada individu bervariasi, dimana semakin banyak
hormon androgen di tubuh, semakin besar ukuran folikel dan semakin banyak jumlah
lobul, semakin meningkat ekskresi sebum.1,2
Hormon androgen dicerna pada sel sebosit basal yang belum berdiferensiasi.
Setelah sel-sel tersebut berdiferensiasi, sel tersebut ruptur dan melepaskan sebum ke
duktus pilosebasea, dimana diferensiasi tersebut dipicu oleh hormon androgen tersebut.
Produksi sebum dikaitkan dengan respons unit folikel pilosebasea atau peningkatan
androgen sirkulasi, dan ditemukan sangat berhubungan dengan keparahan akne.1,2

Hiperproliferasi folikel polisebasea


Komedo pertama kali terbentuk oleh kesalahan deskuamasi sepanjang folikel
dinnamakan mikrokomedo, dimana pada normalnya, epitel dilepaskan satu per satu
kedalam lumen. Ditemukan adanya peningkatan proliferasi keratinosit basal dan pada
sel-sel keratinosit folikuler terdapatkan diferensiasi abnormal, diduga karena
berkurangnya asam linoleat sebasea. Hal ini menyebabkan penebalan lapisan
granulosum, peningkatan tonofilamen dan butir-butir keratohialin dan peningkatan
kandungan lipid yang menyumbat orifisium folikel. Proses ini ditemukan di pertemuan
antara duktus sebasea dengan epitel folikel. Terdapat pelebaran folikel akibat keratin

9
yang mengisi folikel. Hal ini menyebabkan terbentuknya lesi non-inflamasi yang
dinamakan open/closed comedo, atau lesi inflamasi bila Propionibacterium acnes (PA)
berproliferasi dan memicu mediator-mediator inflamasi.1,2

Kolonisasi Propionibacterium acnes


Mikroorganisme utama yang ditemukan pada daerah infrainfundibulum adalah
PA, dan ditemukan bahwa jumlah PA berkorelasi langsung dengan jumlah trigliserida
pada sebum, yang merupakan nutrisi bagi PA.1,2

Proses inflamasi
Seiring PA mencerna trigliserid menjadi asam lemak bebas dengan menghasilkan
enzim lipase, dan menstimulasi jalur klasik dan alternatif komplemen yang memicu
reaksi inflamasi.1,2

3.1.3 Gejala Klinis

Predileksi tertinggi akne vulgaris berada pada wajah dan leher (99%), terkadang
disertai gatal dan nyeri. Umumnya, kulit dengan akne vulgaris lebih berminyak, namun
tidak semua kulit berminyak disertai dengan akne vulgaris. Efloresensi bergantung ada
atau tidaknya inflamasi, dimana pada inflamasi terdapat papul, pustul, nodus, dan kista,
sedangkan lesi non-inflamasi berupa komedo hitam (terbuka) dan komedo putih
(tertutup).1

3.1.4 Diagnosis Akne Vulgaris

Diagnosis akne vulgaris berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik, dan


diklasifikasi berdasarkan tabel berikut1:
Tabel 1. Derajat Akne Vulgaris
Derajat Lesi
Akne Ringan Komedo < 20, atau
lesi inflamasi < 15, atau
total lesi < 30
Akne Sedang Komedo 20-100, atau
lesi inflamasi 15-50, atau
total lesi 30-125

10
Akne berat Kista > 5 atau komedo <100, atau
lesi inflamasi > 50, atau
total lesi > 125

3.1.5. Diagnosis Banding

Drug-induced acne
Drug-induced acne (DIA) atau erupsi akneiformis adalah kondisi kulit yang
menyerupai akne vulgaris, yang dapat dipicu oleh pengobatan oral, topikal, bahkan
dihirup. Erupsi juga dapat dipicu oleh aplikasi topikal kortikosteroid, PUVA, radiasi,
atau bahan kosmetik. Reaksi kulit timbul akibat peradangan folikular akibat iritasi epitel
duktus pilosebasea akibat ekskresi substansi penyebab pada kelenjar kulit.
Pada akne yang disebabkan penggunaan steroid, patogenesis timbulnya akne
masih belum jelas. Berdasarkan pemeriksaan histopatologis, pada penggunaan steroid
terdapat nekrosis dan ruptur segmen dari epitelium folikuler, yang menyebabkan abses
perifollikuler yang secara klinis dilihat sebagai papul atau pustul yang inflamasi.
Komedo dapat timbul oleh penggunaan steroid, diduga karena memicu epitelium
folikuler untuk komedogenesis, meningkatkan konsentrasi asam lemak bebas pada
permukaan kulit memicu reaksi inflamasi, dan meningkatkan jumlah bakteri pada duktus
pilosebasea.
Secara klinis, DIA dikarakterkan berdasarkan riwayat pengobatan, timbul tiba-
tiba, umumnya tidak dimulai dengan komedo, timbul pada usia yang tidak lazim, timbul
pada wajah dan leher, dan lokasi tidak lazim melampai area seborroik. Gejala yang
timbul berupa papul yang inflamasi, papulopustule, komedo, atau lesi sekunder.
Tatalaksana merupakan menghentikan konsumsi obat serta pengobatan yang bersifat
iritan seperti sulfur, resorsinol mempercepat hilangnya erupsi kulit.1,3

Rosasea
Rosasea adalah penyakit kulit kronis yang menonjol pada daerah sentral wajah,
ditandai dengan kemerahan pada kulit dan talangiektasi disertai episode peradangan
yang menimbilkan erupsi papul, pustul, dan edema. Etiologi rosasea tidak diketahui,
namun diduga dari konsumsi makanan, obat, kondisi psikis, terdapatnya infeksi, atau
musim. Penggunaan kortikosteroid didapatkan sebagai salah satu etiologi rosasea,
dimana seiring kekuatan kortikosteroid tersebut, serta semakin lama durasi

11
penggunaannya, semakin berat stadium rosasea. Perbedaan rosasea dengan akne vulgaris
adalah bahwa papul kemerahan tidak nyeri, dan terdapatnya edema dan telangiektasia.
Pada stadium I, rosasea muncul dengan eritema tanpa sebab, diikuti dengan
telangektasia. Pada stadium II, terdapat episode akut yang menimbulkan papul, pustul,
dan edema, yang menimbulkan eritema persisten dan lebih banyak telangiektasia. Pada
stadium III, terdapat eritema persisten yang dalam, telangiektasia yang banyak, papul,
pustul, nodus, dan edema. Tatalaksana pada rosasea berupa topikal eritromisin 0.5-2.0%,
metronidasol 0.75% gel atau krim 2%, eritromisin sitemik, dan penggunaan sunblock
bila diduga merupakan akibat sinar UV.1,4

3.1.6 Tatalaksana

Tatalaksana berdasarkan derajat akne, yang sesuai dengan tabel 21,2 :


Tabel 2. Tatalaksana Acne Vulgaris
Ringan Sedang Berat
Komedon Papular/Pustu Papular/Pustula Nodular Nodular/Conglo
al lar r bate
Pilihan Retinoid Retinoid Antibiotik oral Antibiotik Isotretinoin oral
Pertama topikal topikal + + Retinoid oral +
antimikroba topikal +/- BPO Retinoid
topikal topikal
+/- BPO
Alternatif Alternatif Alternatif Alternatif Isotretinoi Antibiotik oral
pilihan pilihan pilihan pertama n oral dosis tinggi +
pertama pertama atau atau retinoid topikal +
atau Azelaic acid alternatif BPO
Azelaic pilihan
acid atau pertama,
asam atau
salisilat azelaic
acid
Alternatif Retinoid Retinoid Anti androgen Anti- Anti-androgen
untuk topikal topikal + oral + topical androgen oral dosis tinggi

12
perempua antimikroba retinoid/azelaic oral + + retinoid topikal
n topikal acid topikal +/- retinoid +/- alternatif
antimikrobatopi topikal antimikrobatopik
kal +/- al
antibiotik
oral +/-
alternatif
antimikro
ba
Maintena Retinoid Topical Retinoid topikal +/- BPO
ns
BPO = Benzoyl peroxide
Tindakan
Pertimbangan untuk ekstraksi komedo secara fisik adalah bila berbentuk nodulus.
Tindakan lainnya mencangkup kortikosteroid intralesi, ekstraksi komedo laser,
electrosurgery, krioterapi, terapi ultraviolet, blue light, red light, chemical peeling, dan
lainnya.1,2

3.2. Dermatitis Kontak Iritan

3.2.1. Definisi dan Etiologi


Dermatitis kontak iritan disebabkan oleh kontak dengan bahan-bahan yang
bersifat iritasi seperti bahan pelarut, deterjen, minyak pelumas, asam, alkali, dan serbuk
kayu. Faktor yang mempengaruhi lesi kulit adalah ukuran molekul, daya larut,
konsentrasi bahan, vehikulum, lama kontak, kekerapan, oklusi, gesekan, trauma fisis,
suhu, dan kelembaban lingkungan. Perbedaan masing-masing individu juga berpengaruh
dalam perkembangan DKI, yakni ketebalan kulit, usia, ras, jenis kelamin, dan penyakit
kulit yang sedang atau pernah di alami.5,7

3.2.2. Patogenesis
Bahan iritan merusak lapisan tanduk, denaturasi keratin, menyingkirkan lemak
lapisan tanduk, dan mengubah daya ikat kulit terhadap air. Kebanyakan bahan iritan
(toksin) merusak membran lemak (lipid membrane) keratinosit, namun bisa juga
menembus membran sel dan merusak lisosom, mitokondria, atau komponen inti. 5,7

13
Kerusakan membran mengaktifkan fosfolipase dan melepaskan asam
arakidonat (AA), diasilgliserida (DAG), platelet activating factor (PAF), dan inositida
(IP3). AA diubah menjadi prostaglandin (PG) dan leukotrien (LT). PG dan LT
menginduksi vasodilatasi, dan meningkatkan permeabilitas vaskular sehingga
mempermudah transudasi pengeluaran komplemen dan kinin. PG dan LT juga bertindak
sebagai kemoatraktan kuat untuk limfosit dan neutrofil, serta mengaktifasi sel mas
untuk melepaskan histamin, LT dan PG lain dan PAF, sehingga terjadi perubahan
vaskular. DAG dan second messengers lain menstimulasi ekspresi gen dan sintesis
protein, seperti interleukin-1 (IL-1) dan granulocyte-macrophage colony stimulating
factor (GMCSF).5,7
IL-1 mengaktifkan T-helper cell mengeluarkan IL-2 dan mengekspresi reseptor
IL-2, yang mengakibatkan stimulasi autokrin dan proliferasi sel tersebut. TNFa,
suatu sitokin proinflamasi, juga di lepaskan yang dapat mengaktifasi sel T, makrofag
dan granulosit, menginduksi ekspresi molekul adesi sel dan pelepasan sitokin. 5,7
Rentetan kejadian tersebut mengakibatkan gejala peradangan klasik di tempat
terjadinya kontak dengan kelainan berupa eritema, edema, panas, nyeri, bila iritan
kuat. Bahan iritan lemah akan mengakibatkan kelainan kulit setelah kontak berulang
kali, yang dimulai dengan kerusakan stratum korneum oleh karena delipidasi
menyebabkan desikasi sehingga kulit kehilangan fungsi sawamya. 5,7

3.2.3. Manifestasi Klinis


Penyebab DKI akut adalah iritan kuat seperti larutan asam sulfat dan asam
hidroklorid, basa kuat seperti natrium dan kalium hidroksida. Intensitas reaksi
sebanding dengan konsentrasi dan lama kontak, serta reaksi terbatas hanya pada
tempat kontak. Kulit terasa pedih, panas, rasa terbakar, kelainan yang terlihat berupa
eritema edema, bula, serta nekrosis. Tepi kelainan berbatas tegas, dan pada umumnya
asimetris. Luka bakar oleh bahan kimia juga termasuk DKI akut. 5,7

Gambar 2. Dermatitis Kontak Iritan Akut.7


14
DKI Akut Lambat
Menyerupai DKI akut, tetapi baru terjadi 8 sampai 24 jam setelah berkontak.
Bahan iritan yang dapat menyebabkan DKI akut lambat adalah seperti podofilin.
antralin, tretinoin, etilen oksida, benzalkonium klorida, asam hidrofluorat. Keluhan
yang dirasakan pedih keesokan harinya, sebagai gejala awal terlihat eritema kemudian
terjadi vesikel atau bahkan nekrosis, seperti yang di sebabkan oleh bulu serangga. 5,7

DKI Kronik Kumulatif

Disebabkan oleh kontak berulang dengan iritan lemah (deterjen, sabun,


pelarut, tanah, dan air). DKI kumulatif terjadi karena kerjasama berbagai factor,
bukan hanya karena satu bahan. Kelainan baru terlihat nyata setelah kontak berlangsung
beberapa minggu atau bulan, hingga bertahun-tahun kemudian. Gejala klasik berupa
kulit kering, disertai eritema, skuama, yang lambat laun kulit menjadi tebal
(hiperkeratosis) dengan likenifikasi difus. 5,7
Bila kontak terus berlangsung, kulit dapat retak seperti luka iris (fisura) pada
kulit tumit seorang pencuci yang mengalami kontak secara terus menerus dengan
deterjen. Keluhan pasien umumnya rasa gatal atau nyeri karena kulit retak (fisura). DKI
kumulatif sering berhubungan dengan pekerjaan, oleh karena itu lebih banyak
ditemukan di tangan dibandingkan dengan bagian lain tubuh. Contoh pekerjaan
berisiko tinggi yakni pencuci, kuli bangunan, montir di bengkel, juru masak, tukang
kebun, penata rambut. Merupakan jenis dermatitis kontak yang paling sering terjadi. 5,7

Gambar 3. Dermatitis Kontak Iritan Kronik.7


15
Reaksi iritan

Reaksi iritan merupakan dermatitis kontak iritan subklinis pada seseorang yang
terpajan dengan pekerjaan basah dalam beberapa bulan pertama. Ini biasa terjadi
pada penata rambut dan pekerja logam Kelainan kulit bersifat monomorf dapat berupa
skuama, eritema, vesikel, pustul dan erosi. Pada umumnya dapat sembuh sendiri. Jika
tidak akan menimbulkan penebalan kulit (skin hardening) dan menjadi DKI kumulatif.
5,7

DKI traumatik
Kelainan kulit berkembang lambat setelah trauma panas atau laserasi. Gejala
klinis menye-rupai dermatitis numularis, penyembuhan berlangsung lambat, paling
cepat 6 minggu. Lokasi tersering di tangan. 5,7

DKI non-eritematosa
DKI non-eritematosa merupakan bentuk subklinis DKI, yang ditandai dengan
perubahan fungsi sawar (stratum korneum) tanpa disertai kelainan klinis. 5,7

DKI subyektif
Juga disebut DKI sensorik karena kelainan kulit tidak terlihat, namun pasien merasa
seperti tersengat (pedih) atau terbakar (panas) setelah berkontak dengan bahan
kimia tertentu, misalnya asam laktat. 5,7

3.24.Histopatologik
Gambaran histologik pada dermatitis kontak iritan tidak khas. Pada kasus DKI yang
disebabkan oleh iritan primer, terdapat vasodilatasi disertai sebukan sel mononuklear
disekitar pembuluh darah pada dermis bagian atas. Terjadi pula eksositosis di epidermis
yang diikuti spongiosis dan edema intrasel, serta nekrosis epidermal. Pada dermatitis
yang berat, kerusakan pada epidermis dapat berbentuk vesikel atau bula yang
didalamnya dapat ditemukan limfosit dan neutrofil. 5,7

16
Gambar 4. Histopatologi DKI.7

3.2.5 Pemeriksaan Penunjang


Tidak ada pemeriksaan penunjang khusus untuk mendiagnosis dermatitis
kontak iritan.

3.2.6. Diagnosis
Diagnosis dermatitis kontak iritan didapat berdasarkan anamnesis dan penampakan
gambaran klinis. DKI akut lebih mudah untuk didiagnosis karena terjadi lebih cepat
sehingga pasien masih dapat mengingat apa yang menyebabkan terjadinya reaksi
inflamasi. DKI kronis, sebaliknya, sering sulit dibedakan dengan dermatitis kontak
alergik dikarenakan terjadinya lebih lambat dan memiliki variasi gambaran klinis
yang luas oleh karena itu uji tempel dengan bahan yang dicurigai diperlukan untuk
dapat membedakan keduanya. 5,7,8

3.2.7. Tatalaksana
Terapi kausal untuk dermatitis kontak iritan adalah menghindari pajanan bahan
penyebab (iritan), baik yang bersifat mekanik, fisis maupun kimiawi, serta
menyingkirkan faktor-faktor yang memperberat. Dengan melakukan hal ini dan
apabila tidak terjadi komplikasi, maka DKI akan sembuh tanpa pengobatan topikal,
mungkin cukup dengan pelembab untuk memperbaiki sawar kulit. 5,6,7
Apabila diperlukan, dapat diberikan beberapa pengobatan untuk meredakan
gejala. Pada dermatitis akut, kompres terbuka dengan NaCl 0,9% atau dengan

17
permanganas kalikus 1:10.000 dapat dilakukan. Apabila gatal dapat diberikan
antihistamin. Untuk peradangan, dapat diberikan kortikosteroid topikal seperti
hidrokortison, atau untuk kelainan yang kronis dapat diawali dengan kortikosteroid
dengan potensi kuat. 5,8

3.2.8. Pencegahan
Pasien perlu diedukasi untuk menghindari pajanan bahan iritan yang
menjadi penyebab atau mengganti bahan iritan. Apabila pasien bekerja dengan bahan
iritan, maka pemakaian alat pelindung diri yang adekuat sangat diperlukan sebagai
salah satu upaya pencegahan. Sebagai contoh, memakai sarung tangan guna
menghindari bahan iritan atau mengganti sabun yang menjadi bahan iritan. 5,7,8

3.2.9. Prognosis
Prognosis untuk kasus DKI akut pada umumnya baik apabila dapat mengidentifikasi
dan mengeliminasi bahan iritan. Prognosis pada kasus DKI kronis atau pada pasien
atopik biasanya kurang baik karena penyebab multi faktorial yang biasanya tidak
5,7,8
dapat menyingkirkan penyebab dengan sempurna.

18
3.3.Dermatitis Kontak Alergi

3.3.1. Epidemiologi
Data di Amerika Serikat dan Inggris mencatat bahwa prevalensi DKA sekitar 50-
60%.1 Prevalensi ini lebih banyak pada DKA nonokupasi daripada DKA terkait kerja. DKA
tidak umum menyerang anak-anak dan geriatri di atas 70 tahun.9,10

3.3.2. Etiologi dan Faktor Predisposisi


DKA disebabkan oleh bahan kimia yang mampu mensensitisasi kulit. Umumnya
memiliki karakteristik berupa lipofilik, berat molekul < 1000 dalton, reaktif, dan mampu
menembus stratum korneum. Faktor host yang dapat memengaruhi potensi zat kimia tersebut
untuk mensensitisasi adalah kondisi system imun, pH kulit, kondisi oklusi, ketebalan
epidermis, dan keadaan stratum korneum. Sementara itu, factor agent yang berpengaruh
menyebabkan DKA antara lain vehikulum, dosis per unit area, lama pajanan, potensi
sensitisasi. Faktor environment dalam kejadian DKA misalnya suhu sekitar dan kelembapan
lingkungan.9

3.3.3. Patogenesis
DKA merupakan reaksi hipersensitisasi tipe IV atau delayed type hypersensitivity.
Pajanan terhadap allergen lemah dapat menimbulkan sensitisasi hingga berbulan-bulan atau
tahun, sementara oleh allergen kuat dapat berlangsung dalam hitungan minggu. Proses
terjadinya DKA terdiri atas fase sensitisasi dan elisitasi.9,10
Pada fase sensitisasi, bahan kimia atau hapten ditangkap oleh sel Langerhans dan
diproses kemudian diekspresikan di permukaan selnya melalui MHC kelas I dan II. Aktivitas
sel Langerhans ini juga dipengaruhi oleh keratinosit yang terpajan iritan. Kemudian sel
Langerhans akan menghasilkan IL-1, sementara keratinosit menghasilkan TNF-a yang
mengaktivasi makrofag, sel T, dan granulosit. TNF-a juga berperan menginduksi perubahan
pada molekul adesi dan menekan produksi E-cadherin. Dengan demikian, terjadi perubahan
pada membran basalis sehingga sel Langerhans dapat berpindah ke kelenjar getah bening.9,10
Di dalam kelenjar getah bening, sel Langerhans mempresentasikan antigen pada sel T
helper. Sel Langerhans juga memproduksi IL-1 kepada sel T sehingga memproduksi IL-2 dan
reseptor IL-2. Aktivasi oleh IL-2 ini membuat sel T berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi
sel T memori. Sel ini kemudian beredar ke seluruh tubuh lewat sirkulasi darah dan tinggal

19
dalam kulit. Hal ini menjelaskan kenapa pada uji tempel di kulit normal dapat juga muncul
reaksi DKA. Fase ini terjadi selama 2-3 minggu. 9,10
Pada fase elisitasi, kulit terpajan oleh allergen yang sama. Sel T memori yang sudah
residif di kulit akan teraktivasi setelah mendapat presentasi dari sel Langerhans. Proses
aktivasi ini berlangsung kompleks dengan tambahan peran dari keratinosit yang teraktivasi
oleh sel T. IL-1 yang dihasilkan selama proses aktivasi ini menyebabkan keratinosit
memproduksi eicosanoid. Eikosanoid dan sitokin mengaktivasi sel mast dan makrofag. Sel
mast kemudian menghasilkan histamin, leukotriene, PGE-2, dan factor kemotaktik yang
menstimulasi inflamasi (dilatasi vascular, peningkatan permeabilitas). Akibat peningkatan
permeabilitas vascular, komplemen, kinin, neutrophil, dan monosit dapat bermigrasi ke
epidermis dan dermis dan menimbulkan manifestasi DKA. Fase ini berlangsung selama 24-
48 jam. 9,10

3.3.4. Manifestasi Klinis


Erupsi terjadi pada orang yang telah tersensitisasi dalam waktu 48 jam atau beberapa
hari setelah kontak dengan allergen yang sama. Jika terjadi paparan yang berulang, reaksi
akan semakin memberat (reaksi crescendo). Erupsi ini muncul pada area yang terpapar
allergen. Pada stadium akut, lesi yang muncul berupa eritema dan edema berbatas tegas yang
di atasnya terdapat papul dan/atau vesikel hingga bula. Pada reaksi berat, bula/vesikel yang
konfluens pecah membentuk erosi dan krusta. Adanya papul pada DKA dikatakan dapat
membedakannya dari dermatitis kontak iritan. Pada DKA akibat alergen tanaman, lesi
berbentuk linear. Pada stadium subakut, terdapat plak eritematosa, bersisik kering, dan papul.
Pada stadium kronik, terdapat plak dan likenifikasi, skuama dengan papul-papul satelit,
eritema, ekskoriasi, atau fisur. Batas lesinya tidak tegas dan sulit dibedakan dengan dermatitis
kontak iritan. Lesi kulit ini disertai gejala subjektif berupa pruritus parah dan nyeri/perih. 9,10
Lokasi DKA antara lain area-area yang sering terpapar allergen tertentu, misalnya
tangan (detergen, antiseptic, bahan kimia lain yang terpegang), lengan (jam tangan, sarung
tangan, deodorant pada ketiak), badan (kancing logam, detergen, pewangi/pelembut pakaian),
wajah (kosmetik, allergen udara, kaca mata), telinga (gagang kaca mata, cat rambut), leher
(kalung, parfum), genitalia (pembalut, kondom), tungkai (kunci, dompet). 9,10
Gejala yang sama dapat muncul pada area tubuh lain setelah berminggu-minggu,
misalnya akibat autosensitisasi. Gejala sistemik dapat terjadi setelah tersensitisasi lalu
terpajan allergen yang sama secara sistemik. 9,10

20
Gambar 5. DKA pada bibir akibat penggunaan lipstick10

Gambar 6. DKA pada tangan pekerja bangunan akibat paparan kromat.10

21
Gambar 7. DKA subakut akibat alergi nikel.10

Gambar 8. DKA dengan allergen tanaman.10

3.3.5. Diagnosis
Ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan penunjang. Anamnesis dan
pemeriksaan fisis dilakukan secara cermat dengan mengamati lesi yang muncul dan
distribusinya. Alergen kontak yang dicurigai dapat ditelusuri melalui area terjadinya lesi
tersebut. Data lain yang penting ditanyakan adalah riwayat atopi, riwayat pekerjaan, hobi,
obat topical dan sistemik yang digunakan. 9,10

22
Pemeriksaan penunjang yang cukup spesifik membedakan DKA dengan dermatitis
kontak iritan adalah patch test (uji tempel). Bahan yang dicurigai menimbulkan reaksi
ditempelkan selama 48 jam lalu diobservasi apakah terjadi reaksi. Pembacaan hasil dilakukan
pada saat dilepas (hari ke-2), hari ke-3, hingga hari ke-7 untuk menilai perubahannya tiap
waktu. Pada DKA akan terjadi reaksi crescendo, sedangkan pada dermatitis kontak iritan
bersifat decrescendo karena bahan iritan sudah tidak ada. Harus diperhatikan apakah hasil
bersifat positif palsu atau negative palsu. 9,10

Gambar 9. Interpretasi hasil uji tempel.11


3.3.6. Diagnosis Banding
Diagnosis banding dari DKA terutama adalah dermatitis kontak iritan. Diagnosis
lainnya adalah dermatitis atopi, seboroik (pada wajah), numularis, psoriasis (telapak tangan
dan kaki). 9,10
Tabel 3. Perbedaan antara dermatitis kontak alergik dan iritan. 9,10

23
3.3.7. Tatalaksana
Tata laksana terutama adalah menghindari allergen.
4. Kortikosteroid topical digunakan untuk mengurangi respons inflamasi, misalnya
dengan prednisone 30 mg/hari.
5. Kortikosteroid sistemik digunakan jika gejala parah dan mengganggu kualitas
hidup pasien. Misalnya diberikan prednisone 70 mg/hari pada dewasa yang
kemudian dilakukan tapering off tiap 1-2 minggu.
6. Kompres lesi yang basah dengan asam salisilat 1/1000 atau NaCl 0,9%.

24
BAB IV

PEMBAHASAN

Dari anamnesis, pasien menyatakan adanya pemakaian beberapa bahan kosmetik


yang berbeda-beda dan berbahan herbal seperti sabun pepaya, salep hitam, dan bedak
temulawak. Pemakaian ini sudah berlangsung selama dua tahun terakhir. Gejala kulit merah
dan jerawat yang dialami pasien juga dikatakan berlangsung sejak dua tahun terakhir dan
tidak pernah sembuh atau hilang total, meskipun telah mendapat obat antiradang.
Pasien tidak memiliki hewan peliharaan atau hobi yang memungkinkannya berkontak
dengan allergen hewan atau tumbuhan. Riwayat atopi selama ini disangkal oleh pasien dan
dikatakan tidak ditemukan dalam keluarga sehingga kemungkinan dermatitis atopi menjadi
kecil. Selain itu, lesi hanya terbatas pada area wajah, tidak ditemukan di area tubuh lainnya
ditambah dengan riwayat pemakaian bahan kimia yang diduga allergen (kosmetik) membuat
kecurigaan pada dermatitis kontak lebih mungkin.
Dari pemeriksaan fisis, ditemukan adanya plak eritematosa yang di atasnya terdapat
lesi polimorfik berupa papul, vesikel, dan pustul. Batas eritematosa tidak jelas dan sudah
berlangsung kronik. Dari lesi kulit ini, kemungkinan pasien mengalami DKA, tetapi
kemungkinan mengalami dermatitis kontak iritan juga belum bisa disingkirkan karena
manifestasi yang dapat terlihat sama pada kondisi kronik. Oleh karena itu, diperlukan adanya
uji tempel untuk melihat apakah reaksi yang dialami merupakan reaksi alergik atau iritan.
Pengobatan pada pasien dengan DKA adalah pemberian kortikosteroid topical dan
penghindaran allergen penyebab. Pasien diedukasi untuk menghentikan semua bahan-bahan
kimia (kosmetik herbal) yang ia gunakan. Namun, pada pasien ini dicurigai terjadi steroid
acne sehingga penggunaan steroid untuk sementara juga tidak dilakukan. Dari hasil
pemeriksaan Gram, ditemukan banyak sel polimorfonuklear dengan adanya kokus Gram
positif sehingga pasien diberikan natrium fusidat untuk mengatasi kemungkinan infeksi
sambil dilakukan observasi terhadap tanda radang akibat DKA..

25
BAB V
KESIMPULAN

Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis, dapat ditegakkan bahwa diagnosis pasien
adalah akne steroid dengan dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergi. Beberapa
diagnosis banding seperti cutaneous T-cell lymphoma dan Topical Steroid Dependent Face
dapat disingkarkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisis. Tata laksana yang diberikan
berupa edukasi untuk menghindari kontak dengan bahan tersangka dan juga terapi
medikamentosa.

26
Daftar Pustaka

1. Sitohang IBS, Wasitatmadja SM. Akne Vulgaris, Erupsi Akneiformis, Rosasea (ed).
Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Ed 7. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2018. p 288-297.
2. Sutaria A, Schlessinger J. Acne Vulgaris [Internet]. Ncbi.nlm.nih.gov. 2019 [cited 25
August 2019]. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459173/
3. Momin S, Peterson A, Del Rosso J. Drug-Induced Acne and Acneiform Eruptions: A
Review. 2009.
4. Bhat Y, Manzoor S, Qayoom S. Steroid - induced rosacea: A clinical study of 200
patients. Indian Journal of Dermatology. 2011;56(1):30.
5. Sularsito SA, Soebaryo RW. Dermatitis Kontak. In: Menaldi SLSW, Bramono K,

Indriatmi W, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI; 2017. P.156-157

6. Kempf W, Kutzner H, Hantschke M, Burgdorf WHC. Dermatopathology. 1st


ed.Germany: Steinkopff Verlag; 2008. p.20
7. Goldsmith LA, Katz SI, Gilchrest BA, Paller AS, Leffell DJ, Wolff K,

editors.Fitzpatrick’s Dermatology in General Medicine, 8th ed. New York:


McGraw-Hill; 2012. P 397
8. Menaldi SLSW, Novianto E, Sampurna AT. Atlas Berwarna dan Sinopsis;

Penyakit Kulit dan Kelamin. 1st ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2015.
9. Menaldi SLSW, Bramono K, Indriatmi W. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 7 th.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2018.
10. Wolff K, Johnson RA. Fitzpatrick’s color atlas & synopsis of clinical dermatology.
6th. New York City: McGraw Hill; 2009.
11. Chemotechnique Diagnostics. Interpretation of patch test results [Internet]. [cited
2019 Aug 25]. Available from: https://www.chemotechnique.se/patch-
testing/interpretation-/

27

Anda mungkin juga menyukai