Disusun Oleh:
Narasumber:
Dr.dr. Sandra Widaty, SpKK (K)
2
BAB I
PENDAHULUAN
Dermatitis adalah reaksi radang pada kulit yang disebabkan oleh berbagai faktor
eksogen atau endogen. Keluhan yang dirasakan pasien meliputi adanya eritema, edema,
vesikel, skuama, pruritus, rasa perih, dan likenifikasi pada dermatitis kronik. Jenis dermatitis
ada bermacam-macam, dapat dibagi menjadi etiologi, morfologi, lokalisasi, stadium penyakit
ataupun jenisnya seperti dermatitis kontak iritan dan alergi. Dermatitis kontak adalah
peradangan kulit akut atau kronis yang disebabkan oleh interaksi kulit dengan agen kimia,
biologi, atau fisik. Dermatitis kontak dapat terjadi setelah paparan tunggal atau eksposur
ganda. mungkin bersifat iritan atau alergi – yang secara klinis mungkin sulit dibedakan.
Dermatitis kontak iritan (DKI) disebabkan oleh kerusakan jaringan langsung setelah terpapar
iritan, sedangkan pada dermatitis kontak alergi, kerusakan jaringan oleh zat alergi dimediasi
melalui mekanisme imunologi. Riwayat lengkap yang berkaitan dengan eksposur di rumah,
tempat kerja, dan kegiatan rekreasi sangat penting untuk membuat diagnosis dan
mengidentifikasi agen penyebabnya. Dermatitis kontak dapat bersifat akut maupun kronis.
Tingkat keparahan dermatitis berkisar dari kondisi ringan dan intermiten sampai pada tingkat
berat. Pengobatan dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergi dimulai dengan
menghindari zat penyebab terjadinya dermatitis.
Pada kasus ini akan disajikan kasus perempuan dengan lesi awal merupakan acne
yang kemudian menggunakan steroid topikal yang kemudian menjadi dermatitis kontak iritan
dan dermatitis kontak alergi.
3
BAB II
ILUSTRASI KASUS
Nama : Ny. M
Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal Lahir : Jakarta, 18 Agustus 1967
Umur : 52 tahun
Agama : Islam
Pendidikan : SMP
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Menteng, Jakarta Pusat
Pembiayaan : Umum
Nomor Rekam Medis : 441-71-29
Tanggal Pemeriksaan : 23 Agustus 2019
2.2 Anamnesis
(Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis di Poliklinik Kulit dan Kelamin RSUPN Dr.
Cipto Mangunkusumo pada hari Jumat, 23 Agustus 2019 pukul 10.15)
Keluhan Utama
Bercak merah pada pipi kiri dirasakan sejak 2 tahun SMRS
4
minggu SMRS tiap hari 1 kali sehari, tetapi keluhan dirasakan tidak berkurang. Pasien juga
sering mengoleskan sabun cuci muka pepaya, salep hitam, dan bedak temulawak yang dibeli
sendiri. Riwayat pelihara kucing, anjing, atau hewan peliharaan lainnya disangkal. Riwayat
alergi lainnya disangkal.
Pasien juga memiliki penyakit darah tinggi, rutin kontrol ke puskesmas,
mengkonsumsi captopril 2 x 12.5 mg, amlodipin 1x10 mg sejak beberapa bulan terakhir.
Diabetes mellitus disangkal.
Status Generalis
Organ Hasil
Mata Tidak diperiksa
Jantung/Paru Tidak diperiksa
5
Abdomen Tidak diperiksa
Ekstremitas Tidak diperiksa
Kelenjar Getah Bening Tidak diperiksa
Status Dermatologikus
Pada regio pipi kiri, terdapat lesi plak eritematosa, bentuk bulat-ireguler, berukuran
lentikular-plakat, berbatas tegas-difus, diskret-konfluens, multipel dengan diatasnya
terdapat lesi berupa papul bentuk bulat-reguler, multipel, diskret. Lesi vesikel multiple
ukuran lenticular batas tegas tersusun diskret berdinding tegang berisi cairan jernih dan
lesi pustule bentuk bulat-reguler, berukuran milier hingga lenticular tersusun diskret
6
Pewarnaan gram: Swab pada pipi kiri
Hasil: Terdapat banyak sel PMN dan coccus gram positif. Kesimpulan
mikroorganisme yang ditemukan berjumlah sedikit.
2.5 Resume
Pasien perempuan, usia 52 tahun datang ke poliklinik umum Kulit dan Kelami dengan
keluhan bercak merah pada pipi kiri dirasakan muncul sejak 2 tahun yang lalu, diawali hanya
bintik seperti jerawat dibawah tahi lalat. Terdapat keluhan sedikit gatal dan nyut-nyutan.
Pada bercak merah dikeluhkan makin meluas didaerah pipi kiri dan memerah lama kelamaan.
Pasien sempat berobat ke puskesmas, diberikan obat salep oles, namun pasien lupa namanya.
Pasien mengeluhkan jerawat pecah setelah diberi salep oles. Keluhan dirasa sempat membaik
setelah dioleskan obat tersebut, namun gejala hilang timbul. Pasien sering mengoleskan
sabun cuci muka pepaya, salep hitam, dan bedak temulawak yang dibeli sendiri. Status
dermatologikus didapatkan pada pada regio pipi kiri, terdapat lesi plak eritematosa, bentuk
bulat-ireguler, berukuran lentikular-plakat, berbatas tegas-difus, diskret-konfluens, multipel
dengan diatasnya terdapat lesi berupa papul bentuk bulat-reguler, multipel, diskret. Lesi
vesikel multiple ukuran lenticular batas tegas tersusun diskret berdinding tegang berisi cairan
jernih dan lesi pustule bentuk bulat-reguler, berukuran milier hingga lenticular tersusun
diskret. Pewarnaan gram didapatkan banyak sel PMN dan coccus gram positif.
Akne Steroid dengan Dermatitis Kontak Iritan dan Dermatitis Kontak Alergi
7
1.9 Tata Laksana
Non Farmakologi:
Penghentian penggunaan krim kortikosteroid
Edukasi keluarga pasien mengenai perjalanan penyakit, hindari faktor
pencetus penyakit.
Edukasi pasien untuk menjaga hygiene kulit seluruh badan dan menjaga
lingkungan
Edukasi pasien untuk tidak menggaruk-garuk lesinya
Usahakan lap badan sampai kering dengan handuk ketika selesai mandi.
Edukasi cara pemakaian obat dengan rutin dan sesuai aturan, tidak
sembarangan menggunakan obat-obat tanpa resep dokter, serta peran keluarga
dalam membantu pengobatan pasien.
Hindari sinar matahari langsung
Kontrol 1 minggu lagi
Evaluasi ulang lesi plak eritematosa
Farmakologi
o Natrium fusidat 2 kali per hari
1.10 Prognosis
8
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1.1 Definisi
9
yang mengisi folikel. Hal ini menyebabkan terbentuknya lesi non-inflamasi yang
dinamakan open/closed comedo, atau lesi inflamasi bila Propionibacterium acnes (PA)
berproliferasi dan memicu mediator-mediator inflamasi.1,2
Proses inflamasi
Seiring PA mencerna trigliserid menjadi asam lemak bebas dengan menghasilkan
enzim lipase, dan menstimulasi jalur klasik dan alternatif komplemen yang memicu
reaksi inflamasi.1,2
Predileksi tertinggi akne vulgaris berada pada wajah dan leher (99%), terkadang
disertai gatal dan nyeri. Umumnya, kulit dengan akne vulgaris lebih berminyak, namun
tidak semua kulit berminyak disertai dengan akne vulgaris. Efloresensi bergantung ada
atau tidaknya inflamasi, dimana pada inflamasi terdapat papul, pustul, nodus, dan kista,
sedangkan lesi non-inflamasi berupa komedo hitam (terbuka) dan komedo putih
(tertutup).1
10
Akne berat Kista > 5 atau komedo <100, atau
lesi inflamasi > 50, atau
total lesi > 125
Drug-induced acne
Drug-induced acne (DIA) atau erupsi akneiformis adalah kondisi kulit yang
menyerupai akne vulgaris, yang dapat dipicu oleh pengobatan oral, topikal, bahkan
dihirup. Erupsi juga dapat dipicu oleh aplikasi topikal kortikosteroid, PUVA, radiasi,
atau bahan kosmetik. Reaksi kulit timbul akibat peradangan folikular akibat iritasi epitel
duktus pilosebasea akibat ekskresi substansi penyebab pada kelenjar kulit.
Pada akne yang disebabkan penggunaan steroid, patogenesis timbulnya akne
masih belum jelas. Berdasarkan pemeriksaan histopatologis, pada penggunaan steroid
terdapat nekrosis dan ruptur segmen dari epitelium folikuler, yang menyebabkan abses
perifollikuler yang secara klinis dilihat sebagai papul atau pustul yang inflamasi.
Komedo dapat timbul oleh penggunaan steroid, diduga karena memicu epitelium
folikuler untuk komedogenesis, meningkatkan konsentrasi asam lemak bebas pada
permukaan kulit memicu reaksi inflamasi, dan meningkatkan jumlah bakteri pada duktus
pilosebasea.
Secara klinis, DIA dikarakterkan berdasarkan riwayat pengobatan, timbul tiba-
tiba, umumnya tidak dimulai dengan komedo, timbul pada usia yang tidak lazim, timbul
pada wajah dan leher, dan lokasi tidak lazim melampai area seborroik. Gejala yang
timbul berupa papul yang inflamasi, papulopustule, komedo, atau lesi sekunder.
Tatalaksana merupakan menghentikan konsumsi obat serta pengobatan yang bersifat
iritan seperti sulfur, resorsinol mempercepat hilangnya erupsi kulit.1,3
Rosasea
Rosasea adalah penyakit kulit kronis yang menonjol pada daerah sentral wajah,
ditandai dengan kemerahan pada kulit dan talangiektasi disertai episode peradangan
yang menimbilkan erupsi papul, pustul, dan edema. Etiologi rosasea tidak diketahui,
namun diduga dari konsumsi makanan, obat, kondisi psikis, terdapatnya infeksi, atau
musim. Penggunaan kortikosteroid didapatkan sebagai salah satu etiologi rosasea,
dimana seiring kekuatan kortikosteroid tersebut, serta semakin lama durasi
11
penggunaannya, semakin berat stadium rosasea. Perbedaan rosasea dengan akne vulgaris
adalah bahwa papul kemerahan tidak nyeri, dan terdapatnya edema dan telangiektasia.
Pada stadium I, rosasea muncul dengan eritema tanpa sebab, diikuti dengan
telangektasia. Pada stadium II, terdapat episode akut yang menimbulkan papul, pustul,
dan edema, yang menimbulkan eritema persisten dan lebih banyak telangiektasia. Pada
stadium III, terdapat eritema persisten yang dalam, telangiektasia yang banyak, papul,
pustul, nodus, dan edema. Tatalaksana pada rosasea berupa topikal eritromisin 0.5-2.0%,
metronidasol 0.75% gel atau krim 2%, eritromisin sitemik, dan penggunaan sunblock
bila diduga merupakan akibat sinar UV.1,4
3.1.6 Tatalaksana
12
perempua antimikroba retinoid/azelaic oral + + retinoid topikal
n topikal acid topikal +/- retinoid +/- alternatif
antimikrobatopi topikal antimikrobatopik
kal +/- al
antibiotik
oral +/-
alternatif
antimikro
ba
Maintena Retinoid Topical Retinoid topikal +/- BPO
ns
BPO = Benzoyl peroxide
Tindakan
Pertimbangan untuk ekstraksi komedo secara fisik adalah bila berbentuk nodulus.
Tindakan lainnya mencangkup kortikosteroid intralesi, ekstraksi komedo laser,
electrosurgery, krioterapi, terapi ultraviolet, blue light, red light, chemical peeling, dan
lainnya.1,2
3.2.2. Patogenesis
Bahan iritan merusak lapisan tanduk, denaturasi keratin, menyingkirkan lemak
lapisan tanduk, dan mengubah daya ikat kulit terhadap air. Kebanyakan bahan iritan
(toksin) merusak membran lemak (lipid membrane) keratinosit, namun bisa juga
menembus membran sel dan merusak lisosom, mitokondria, atau komponen inti. 5,7
13
Kerusakan membran mengaktifkan fosfolipase dan melepaskan asam
arakidonat (AA), diasilgliserida (DAG), platelet activating factor (PAF), dan inositida
(IP3). AA diubah menjadi prostaglandin (PG) dan leukotrien (LT). PG dan LT
menginduksi vasodilatasi, dan meningkatkan permeabilitas vaskular sehingga
mempermudah transudasi pengeluaran komplemen dan kinin. PG dan LT juga bertindak
sebagai kemoatraktan kuat untuk limfosit dan neutrofil, serta mengaktifasi sel mas
untuk melepaskan histamin, LT dan PG lain dan PAF, sehingga terjadi perubahan
vaskular. DAG dan second messengers lain menstimulasi ekspresi gen dan sintesis
protein, seperti interleukin-1 (IL-1) dan granulocyte-macrophage colony stimulating
factor (GMCSF).5,7
IL-1 mengaktifkan T-helper cell mengeluarkan IL-2 dan mengekspresi reseptor
IL-2, yang mengakibatkan stimulasi autokrin dan proliferasi sel tersebut. TNFa,
suatu sitokin proinflamasi, juga di lepaskan yang dapat mengaktifasi sel T, makrofag
dan granulosit, menginduksi ekspresi molekul adesi sel dan pelepasan sitokin. 5,7
Rentetan kejadian tersebut mengakibatkan gejala peradangan klasik di tempat
terjadinya kontak dengan kelainan berupa eritema, edema, panas, nyeri, bila iritan
kuat. Bahan iritan lemah akan mengakibatkan kelainan kulit setelah kontak berulang
kali, yang dimulai dengan kerusakan stratum korneum oleh karena delipidasi
menyebabkan desikasi sehingga kulit kehilangan fungsi sawamya. 5,7
Reaksi iritan merupakan dermatitis kontak iritan subklinis pada seseorang yang
terpajan dengan pekerjaan basah dalam beberapa bulan pertama. Ini biasa terjadi
pada penata rambut dan pekerja logam Kelainan kulit bersifat monomorf dapat berupa
skuama, eritema, vesikel, pustul dan erosi. Pada umumnya dapat sembuh sendiri. Jika
tidak akan menimbulkan penebalan kulit (skin hardening) dan menjadi DKI kumulatif.
5,7
DKI traumatik
Kelainan kulit berkembang lambat setelah trauma panas atau laserasi. Gejala
klinis menye-rupai dermatitis numularis, penyembuhan berlangsung lambat, paling
cepat 6 minggu. Lokasi tersering di tangan. 5,7
DKI non-eritematosa
DKI non-eritematosa merupakan bentuk subklinis DKI, yang ditandai dengan
perubahan fungsi sawar (stratum korneum) tanpa disertai kelainan klinis. 5,7
DKI subyektif
Juga disebut DKI sensorik karena kelainan kulit tidak terlihat, namun pasien merasa
seperti tersengat (pedih) atau terbakar (panas) setelah berkontak dengan bahan
kimia tertentu, misalnya asam laktat. 5,7
3.24.Histopatologik
Gambaran histologik pada dermatitis kontak iritan tidak khas. Pada kasus DKI yang
disebabkan oleh iritan primer, terdapat vasodilatasi disertai sebukan sel mononuklear
disekitar pembuluh darah pada dermis bagian atas. Terjadi pula eksositosis di epidermis
yang diikuti spongiosis dan edema intrasel, serta nekrosis epidermal. Pada dermatitis
yang berat, kerusakan pada epidermis dapat berbentuk vesikel atau bula yang
didalamnya dapat ditemukan limfosit dan neutrofil. 5,7
16
Gambar 4. Histopatologi DKI.7
3.2.6. Diagnosis
Diagnosis dermatitis kontak iritan didapat berdasarkan anamnesis dan penampakan
gambaran klinis. DKI akut lebih mudah untuk didiagnosis karena terjadi lebih cepat
sehingga pasien masih dapat mengingat apa yang menyebabkan terjadinya reaksi
inflamasi. DKI kronis, sebaliknya, sering sulit dibedakan dengan dermatitis kontak
alergik dikarenakan terjadinya lebih lambat dan memiliki variasi gambaran klinis
yang luas oleh karena itu uji tempel dengan bahan yang dicurigai diperlukan untuk
dapat membedakan keduanya. 5,7,8
3.2.7. Tatalaksana
Terapi kausal untuk dermatitis kontak iritan adalah menghindari pajanan bahan
penyebab (iritan), baik yang bersifat mekanik, fisis maupun kimiawi, serta
menyingkirkan faktor-faktor yang memperberat. Dengan melakukan hal ini dan
apabila tidak terjadi komplikasi, maka DKI akan sembuh tanpa pengobatan topikal,
mungkin cukup dengan pelembab untuk memperbaiki sawar kulit. 5,6,7
Apabila diperlukan, dapat diberikan beberapa pengobatan untuk meredakan
gejala. Pada dermatitis akut, kompres terbuka dengan NaCl 0,9% atau dengan
17
permanganas kalikus 1:10.000 dapat dilakukan. Apabila gatal dapat diberikan
antihistamin. Untuk peradangan, dapat diberikan kortikosteroid topikal seperti
hidrokortison, atau untuk kelainan yang kronis dapat diawali dengan kortikosteroid
dengan potensi kuat. 5,8
3.2.8. Pencegahan
Pasien perlu diedukasi untuk menghindari pajanan bahan iritan yang
menjadi penyebab atau mengganti bahan iritan. Apabila pasien bekerja dengan bahan
iritan, maka pemakaian alat pelindung diri yang adekuat sangat diperlukan sebagai
salah satu upaya pencegahan. Sebagai contoh, memakai sarung tangan guna
menghindari bahan iritan atau mengganti sabun yang menjadi bahan iritan. 5,7,8
3.2.9. Prognosis
Prognosis untuk kasus DKI akut pada umumnya baik apabila dapat mengidentifikasi
dan mengeliminasi bahan iritan. Prognosis pada kasus DKI kronis atau pada pasien
atopik biasanya kurang baik karena penyebab multi faktorial yang biasanya tidak
5,7,8
dapat menyingkirkan penyebab dengan sempurna.
18
3.3.Dermatitis Kontak Alergi
3.3.1. Epidemiologi
Data di Amerika Serikat dan Inggris mencatat bahwa prevalensi DKA sekitar 50-
60%.1 Prevalensi ini lebih banyak pada DKA nonokupasi daripada DKA terkait kerja. DKA
tidak umum menyerang anak-anak dan geriatri di atas 70 tahun.9,10
3.3.3. Patogenesis
DKA merupakan reaksi hipersensitisasi tipe IV atau delayed type hypersensitivity.
Pajanan terhadap allergen lemah dapat menimbulkan sensitisasi hingga berbulan-bulan atau
tahun, sementara oleh allergen kuat dapat berlangsung dalam hitungan minggu. Proses
terjadinya DKA terdiri atas fase sensitisasi dan elisitasi.9,10
Pada fase sensitisasi, bahan kimia atau hapten ditangkap oleh sel Langerhans dan
diproses kemudian diekspresikan di permukaan selnya melalui MHC kelas I dan II. Aktivitas
sel Langerhans ini juga dipengaruhi oleh keratinosit yang terpajan iritan. Kemudian sel
Langerhans akan menghasilkan IL-1, sementara keratinosit menghasilkan TNF-a yang
mengaktivasi makrofag, sel T, dan granulosit. TNF-a juga berperan menginduksi perubahan
pada molekul adesi dan menekan produksi E-cadherin. Dengan demikian, terjadi perubahan
pada membran basalis sehingga sel Langerhans dapat berpindah ke kelenjar getah bening.9,10
Di dalam kelenjar getah bening, sel Langerhans mempresentasikan antigen pada sel T
helper. Sel Langerhans juga memproduksi IL-1 kepada sel T sehingga memproduksi IL-2 dan
reseptor IL-2. Aktivasi oleh IL-2 ini membuat sel T berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi
sel T memori. Sel ini kemudian beredar ke seluruh tubuh lewat sirkulasi darah dan tinggal
19
dalam kulit. Hal ini menjelaskan kenapa pada uji tempel di kulit normal dapat juga muncul
reaksi DKA. Fase ini terjadi selama 2-3 minggu. 9,10
Pada fase elisitasi, kulit terpajan oleh allergen yang sama. Sel T memori yang sudah
residif di kulit akan teraktivasi setelah mendapat presentasi dari sel Langerhans. Proses
aktivasi ini berlangsung kompleks dengan tambahan peran dari keratinosit yang teraktivasi
oleh sel T. IL-1 yang dihasilkan selama proses aktivasi ini menyebabkan keratinosit
memproduksi eicosanoid. Eikosanoid dan sitokin mengaktivasi sel mast dan makrofag. Sel
mast kemudian menghasilkan histamin, leukotriene, PGE-2, dan factor kemotaktik yang
menstimulasi inflamasi (dilatasi vascular, peningkatan permeabilitas). Akibat peningkatan
permeabilitas vascular, komplemen, kinin, neutrophil, dan monosit dapat bermigrasi ke
epidermis dan dermis dan menimbulkan manifestasi DKA. Fase ini berlangsung selama 24-
48 jam. 9,10
20
Gambar 5. DKA pada bibir akibat penggunaan lipstick10
21
Gambar 7. DKA subakut akibat alergi nikel.10
3.3.5. Diagnosis
Ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisis, dan penunjang. Anamnesis dan
pemeriksaan fisis dilakukan secara cermat dengan mengamati lesi yang muncul dan
distribusinya. Alergen kontak yang dicurigai dapat ditelusuri melalui area terjadinya lesi
tersebut. Data lain yang penting ditanyakan adalah riwayat atopi, riwayat pekerjaan, hobi,
obat topical dan sistemik yang digunakan. 9,10
22
Pemeriksaan penunjang yang cukup spesifik membedakan DKA dengan dermatitis
kontak iritan adalah patch test (uji tempel). Bahan yang dicurigai menimbulkan reaksi
ditempelkan selama 48 jam lalu diobservasi apakah terjadi reaksi. Pembacaan hasil dilakukan
pada saat dilepas (hari ke-2), hari ke-3, hingga hari ke-7 untuk menilai perubahannya tiap
waktu. Pada DKA akan terjadi reaksi crescendo, sedangkan pada dermatitis kontak iritan
bersifat decrescendo karena bahan iritan sudah tidak ada. Harus diperhatikan apakah hasil
bersifat positif palsu atau negative palsu. 9,10
23
3.3.7. Tatalaksana
Tata laksana terutama adalah menghindari allergen.
4. Kortikosteroid topical digunakan untuk mengurangi respons inflamasi, misalnya
dengan prednisone 30 mg/hari.
5. Kortikosteroid sistemik digunakan jika gejala parah dan mengganggu kualitas
hidup pasien. Misalnya diberikan prednisone 70 mg/hari pada dewasa yang
kemudian dilakukan tapering off tiap 1-2 minggu.
6. Kompres lesi yang basah dengan asam salisilat 1/1000 atau NaCl 0,9%.
24
BAB IV
PEMBAHASAN
25
BAB V
KESIMPULAN
Berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisis, dapat ditegakkan bahwa diagnosis pasien
adalah akne steroid dengan dermatitis kontak iritan dan dermatitis kontak alergi. Beberapa
diagnosis banding seperti cutaneous T-cell lymphoma dan Topical Steroid Dependent Face
dapat disingkarkan melalui anamnesis dan pemeriksaan fisis. Tata laksana yang diberikan
berupa edukasi untuk menghindari kontak dengan bahan tersangka dan juga terapi
medikamentosa.
26
Daftar Pustaka
1. Sitohang IBS, Wasitatmadja SM. Akne Vulgaris, Erupsi Akneiformis, Rosasea (ed).
Ilmu penyakit kulit dan kelamin. Ed 7. Jakarta: Badan Penerbit Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia; 2018. p 288-297.
2. Sutaria A, Schlessinger J. Acne Vulgaris [Internet]. Ncbi.nlm.nih.gov. 2019 [cited 25
August 2019]. Available from: https://www.ncbi.nlm.nih.gov/books/NBK459173/
3. Momin S, Peterson A, Del Rosso J. Drug-Induced Acne and Acneiform Eruptions: A
Review. 2009.
4. Bhat Y, Manzoor S, Qayoom S. Steroid - induced rosacea: A clinical study of 200
patients. Indian Journal of Dermatology. 2011;56(1):30.
5. Sularsito SA, Soebaryo RW. Dermatitis Kontak. In: Menaldi SLSW, Bramono K,
Indriatmi W, editors. Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 7th ed. Jakarta: Badan
Penerbit FKUI; 2017. P.156-157
Penyakit Kulit dan Kelamin. 1st ed. Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2015.
9. Menaldi SLSW, Bramono K, Indriatmi W. Ilmu penyakit kulit dan kelamin. 7 th.
Jakarta: Badan Penerbit FKUI; 2018.
10. Wolff K, Johnson RA. Fitzpatrick’s color atlas & synopsis of clinical dermatology.
6th. New York City: McGraw Hill; 2009.
11. Chemotechnique Diagnostics. Interpretation of patch test results [Internet]. [cited
2019 Aug 25]. Available from: https://www.chemotechnique.se/patch-
testing/interpretation-/
27