Anda di halaman 1dari 4

MENJADI penanggungjawab sekaligus dokter pada instalasi gawat darurat (IGD) sebuah

rumah sakit, seringkali menjadi sasaran kemarahan dari pasien atau keluarganya, yang datang
memeriksakan diri di bagian tersebut. Hal tersebut seperti acap dialami oleh dr Puji Indarti,
penanggungjawab dan dokter IGD RSUD Djojonegoro, Temanggung.

''Mereka terkadang marah-marah, karena tidak sabar dan tidak mau tahu dengan mekanisme
pemeriksaan yang sebetulnya sudah ada ketentuannya di bangsal IGD. Selain itu, hampir
semua pasien IGD minta didahulukan dan segera ditangani dengan cepat,''tuturnya.

Sikap pasien yang marah-marah itu, dianggapnya hal yang biasa. Sebab, pasien yang datang
ke IGD, biasanya penyakit berat, sehingga  pasien atau keluarganya dalam kondisi tidak
stabil.

''Kami maklum, karena ketika mendapatkan cobaan suatu penyakit yang berat,  tentunya
pasien atau keluarganya akan merasa cemas, khawatir, bingung, dan ingin segera tertangani.
Karena beban psikologis tersebut, kemudian mereka marah-marah dan tak bisa
mengendalikan emosinya,''ungkap dokter yang bertugas di IGD sejak 2003 itu.

Apa yang dilakukan ketika menghadapi pasien yang marah-marah? Dokter lulusan UNS itu
mengatakan, biasanya dirinya hanya menarik nafas dalam-dalam, menahan emosi, dan
berusaha agar tidak terpancing dengan sikap pasien atau kerabat pasien tersebut.

''Kami lalu berusaha berkomunikasi dan menjelaskan secara baik-baik prosedur dan
mekanisme penanganan di IGD ini kepada pasien dan keluarganya, meski kadang tidak
semuanya bisa menerima. Setelah itu, saya membayangkan yang indah-indah, agar tidak
terbawa oleh emosi, yang ujungnya nanti pasti akan kurang baik,''ujarnya.(Henry Sofyan-
45)    
2. Bertemu dengan orang sehat dan sabar itu banyak dialami setiap orang, namun pernahkan
bertemu dengan orang dalam kondisi sakit dan orang tersebut tetap sabar walau sakitnya
parah sekalipun? Ada, tapi jarang. Dalam kenyataannya sedikit banyak peristiwa sakit pasti
mempengaruhi suasana hati seseorang.

Pengalaman menjadi paramedis membuktikan bahwa beberapa orang yang tampaknya sabar
saat ia sehat tiba - tiba saja berubah menjadi tidak stabil emosinya. Marah, Emosional dan
kesabarannya luntur, sulit bekerjasama.

Disinilah tantangan bagi para petugas kesehatan terutama bidan dan perawat. Mendampingi
para pasien yang sedang dalam masa sakit secara fisik dan lelah secara psikologis terutama
bila harus berbaring lama di rumah sakit, terancam kehilangan pekerjaan, kekuatiran
mengalami cacat tubuh, ditinggalkan orang yang dicintai dan sebagainya.

Seorang yang sakit masuk ke rumah sakit berasal dari berbagai type kepribadian, karakter,
latar belakang budaya, pendidikan dan kebiasaan yang berbeda beda.

Belum lagi bila si pasien merupakan seorang yang cukup aktif dan energik setiap hari. Tiba -
tiba ia harus pasrah, menurut dan berbaring dengan berbagai macam bantuan alat medis baik
infus,oksigen dan sebagainya.

Memang ritme pekerjaan seorang paramedis dibuat dalam bentuk shift atau sistem ganti jaga
tiga kali dalam sehari bisa pagi, siang atau malam. Maksimal 7 hingga 8 jam sehari.

Meskipun hanya beberapa jam saja seorang paramedis berada dirumah sakit tak jarang
menimbulkan ketegangan bila tidak trampil mengendalikan emosi. Terutama bila
menghadapi berapa situasi seperti berikut.

Pasien yang ketus.


Tetap tenang dan dengarkan semua keluhan. Jangan terpancing untuk menyela pembicaraan
bila pasien sedang bicara. Latih pikiran untuk memusatkan diri pada apa yang dikeluhkan
pasien dan bukan konsentrasi pada ekspresi wajah maupun intonasi suaranya yang ketus.

Dengan mendengarkan sepenuh hati maka kita bisa memahami apa yang menjadi keinginan
pasien dan penyebab dia merasa frustasi.

Tetap senyum dan kendalikan emosi selama berada bersama pasien yang dirawat. Setelah
pasien tenang bantu ia untuk menemukan permasalahan inti diantara semua keluhannya.

Tawarkan beberapa solusi yang mungkin bisa dijadikan alternatif pemecahan masalah. Tidak
perlu ragu untuk mengatakan maaf sekalipun petugas kesehatan merasa benar.

Pasien sulit kerjasama


Bisa dipahami memang sulit bila pasien terbiasa mengatur atau memimpin dalam aktifitas
sehari - hari lalu tiba - tiba harus diam tidak boleh begini dilarang begitu oleh dokter dan
perawat atau bidan.
Menghadapi pasien seperti ini, jelaskan  dengan sabar dan secara lengkap tentang tujuan
tindakan apapun yang akan dilakukan. Beri kesempatan pasien untuk berpikir atau berdiskusi
dengan keluarganya.

Selanjutnya persilahkan pasien untuk memutuskan dengan pertimbangan yang telah kita
berikan. Seringkali pasien menolak karena penjelasan kurang lengkap dan ia merasa ragu.

Bila perlu lalukan pendekatan dengan konseling pribadi. Beritahu bahwa setiap terapi atau
tindakan yang dilakukan padanya memerlukan kerjasama yang baik antara dokter, perawat
dan pasien.

Apabila seorang pasien tampak sulit sekali untuk dapat kooperatif dalam rencana perawatan
yang akan dilakukan padanya, beritahu dengan sabar bahwa kesembuhan sebenarnya
tergantung dari semangat, ketaatan dan kesediaan pasien menjalani terapi atau diet yang
ditentukan.

Tindakan rawat inap akan semakin lama bila pasien tidak taat pada rencana perawatan dan
pengobatan yang diberikan selama dirawat.

Pendampingan psikologis.
Selain pengobatan dan terapi untuk penyakitnya, kadang pasien juga membutuhkan terapi
rohani. Kesehatan fisik erat kaitannya dengan kesehatan mental. Pasien yang terbaring sakit
tentu mengalami kejenuhan, kecemasan, keterasingan, tidak berdaya dan bahkan penolakan
situasi yang dialaminya saat sakit, masalah keuangan dan terlebih bila penyakitnya sulit
disembuhkan.

Memang ada penyakit yang diderita akibat kecelakaan, tetapi beberapa penyakit fisik ada
yang justru  bermula dari ketegangan mental seseorang. Menghadapi pasien seperti ini tidak
cukup sekedar membantu merawat kebersihan, mengatur diet, membagikan obat dan  melatih
aktifitas fisik.

Lebih dari semua itu pasien sangat membutuhkan perawatan yang holistik termasuk sisi
psikologis, sosial, spiritual. Sakit fisik seorang pasien memang mudah dideteksi tetapi
penderitaan psikologis pasien tidak mudah untuk kita ketahui, butuh kepekaan dan
ketrampilan khusus untuk dapat mendampingi pasien.

Tidak semua rumah sakit memiliki fasilitas pendampingan bagi pasien secara psikologis. Bila
demikian maka paramedis bisa mengupayakan pendampingan dari pemimpin agama atau
psikolog yang menjalin kerjasama dengan pihak rumah sakit.

Idealnya memang setiap pasien mendapat kesempatan untuk menerima konsultasi psikologi
selama dalam perawatan sakitnya. Bila tenaga terbatas maka perawat dan bidan dapat
melakukan sendiri pendampingan untuk membantu mengurangi ketegangan mental selama
pasien berada di rumah sakit.

Refleksi diri dari petugas kesehatan


Tak jarang pasien mengeluh sakitnya bertambah parah akibat mendapat pelayanan kesehatan
yang kurang ramah, ketus dan tidak menghargai hak - hak pasien. Sebaliknya ada pasien yang
merasa sudah sembuh ketika mendapat sapaan yang ramah dan sabar dari petugas paramedis.
Sebuah pertanyaan bagi paramedis, sudah sejauh mana totalitas pengabdian profesi yang kita
berikan selama ini. Cukupkah sekedar merawat dan mengobati sakitnya secara rutinitas saja?

Sebenarnya kesembuhan seorang pasien bukan hanya tergantung pada obat dan sederet
jadwal tindakan medis saja, namun perlu dukungan kesabaran, keramahan dan totalitas
pengabdian melayani dari seorang tenaga kesehatan.

Ketika seorang pasien terbaring sakit ia tidak akan mencari tenaga kesehatan yang lulus
kuliah dengan  nilai akademik cum laude tetapi ia akan mencari seorang tenaga medis dan
paramedis yang mampu memberikan pelayanan kesehatan yang profesional dan holistik.

Salam Hangat

Bidan Romana Tari

Anda mungkin juga menyukai