Anda di halaman 1dari 21

PRESENTASI KASUS POLI

Dermatitis Kontak Iritan Kronik

Pembimbing
dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp.KK

Disusun Oleh
Ismail Satrio Wibowo
G4A015111

SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2017

1
HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan serta disetujui presentasi kasus dengan judul :

Dermatitis Kontak Iritan Kronik

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat ujian


kepaniteraan klinik dokter muda SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun Oleh:
Ismail Satrio Wibowo
G4A015111

Purwokerto, April 2017


Mengetahui,
Pembimbing

dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp.KK


NIP. 19790622.201012.2.001

2
DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan ................................................................................ 2


Daftar Isi ................................................................................................... 3
Daftar Gambar .......................................................................................... 4
I. Laporan Kasus.................................................................................. 5
II. Tinjauan Pustaka ............................................................................. 6
A. Definisi ..................................................................................... 9
B. Etiologi dan Faktor Risiko........................................................ 9
C. Epidemiologi............................................................................. 9
D. Klasifikasi................................................................................. 10
E. Patomekanisme......................................................................... 11
F. Penegakkan Diagnosis.............................................................. 13
G. Diagnosis Banding.................................................................... 14
H. Penatalaksanaan........................................................................ 15
I. Prognosis................................................................................... 17
III. Kesimpulan ..................................................................................... 18
Daftar Pustaka............................................................................................ 19

3
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Status Dermatologi..................................................................... 7


Gambar 2. Patomekanisme Dermatitis Kontak Iritan.................................. 12

4
I. LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Ny. N
Jenis Kelamin : Perempuan
Usia : 33 tahun
Agama : Islam
Alamat : Kembaran 02/02
Tanggal Pemeriksaan : 22 Maret 2017
Metode Anamnesis : Autoanamnesis

B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Perih pada kedua jari tangan.
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke Poli Kulit RSMS bersama suami dan anaknya dengan
keluhan perih pada jari tangan. Keluhan dirasakan sejak 2-3 bulan yang
lalu. Awalnya kulit dikatakan terlihat bintik-bintik merah dan gatal,
kemudian kulit pasien menjadi kering, bersisik, dan perih. Keluhan ini
dikatakan muncul setelah pasien mencuci dengan deterjen Rinso. Keluhan
dirasakan sempat berkurang setelah pasien berhenti mencuci dengan
tangan, namun kemudian muncul kembali beberapa minggu setelah pasien
kembali mencuci menggunakan deterjen dengan tangannya. Keluhan kulit
di jari tangan terasa lebih tebal (+), gatal (+), demam (-), kulit bersisik di
siku dan lutut (-)
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat keluhan yang sama sebelumnya
b. Riwayat alergi (bersin pada pagi hari, gatal setelah makan sesuatu)
disangkal
c. Riwayat asma disangkal
d. Riwayat rawat inap di rumah sakit disangkal

5
4. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat keluhan yang sama dengan pasien disangkal
b. Riwayat alergi obat dan makanan disangkal
c. Riwayat penyakit asma pada keluarga (nenek) diakui
5. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien tinggal bersama suami dan kedua anaknya dalam satu rumah seluas
50 m2 beralas ubin, atap genting, dinding tembok, dan ventilasi cukup.
Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga dan sering mencuci baju dengan
tangannya, selain itu pasien pun terkadang menerima pesanan laundry dari
mahasiswa sekitar bila ada permintaan.

C. Pemeriksaan Fisik
1. Status Generalis
Keadaaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan gizi : Baik BB: 62 kg, TB: 160 cm
Vital Sign : Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 76x/menit, tegangan cukup
Pernafasan : 16 x/menit, reguler
Suhu : 36.2C
Kepala : Mesochepal, simetris, rambut hitam, distribusi merata
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : Simetris, deviasi septum (-), sekret (-), discharge (-)
Telinga: Simetris, sekret (-), discharge (-)
Mulut : Mukosa bibir dan mulut lembab, sianosis (-),
Tenggorokan : T1 T1 tenang, tidak hiperemis
Leher : deviasi trakea (-), pembesaran KGB (-)
Thorax : simetris, retraksi (-)
Jantung : S1>S2, murmur (-), gallop (-), kardiomegali (-)
Paru : Suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)
Abdomen : datar, BU normal, supel
Kelenjar Getah Bening : tidak teraba pembesaran.

6
Ekstremitas : Akral hangat, edema ( ), sianosis ( )
2. Status Dermatologis
Lokasi : Regio manus dekstra et sinistra
Effloresensi : Makula hiperpigmentasi berbatas tegas, bentuk polimorfik
ukuran 5x2 cm dan 3x2 cm disertai skuama halus dan
fisura pada polex dekstra

Gambar 1.1 Status Dermatologi

D. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang, usulan tes kulit (tes tempel)
hanya diperlukan apabila tidak dapat dibedakan dengan dermatitis kontak
alergi.
E. Resume
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan:
1. Keluhan gatal dan perih pada jari tangan sejak 2-3 bulan yang lalu.
2. Awalnya kulit dikatakan terlihat bintik-bintik merah dan gatal, kemudian
kulit pasien menjadi bersisik dan mengelupas
3. Keluhan ini dikatakan muncul setelah pasien mencuci dengan deterjen
Rinso.
4. Riw.Alergi dan asma (-)

7
5. Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga dan jasa laundry serta sering
mencuci baju dengan tangannya
6. Status dermatologi didapatkan makula hiperpigmentasi berbatas tegas,
bentuk polimorfik ukuran 5x2 cm dan 3x2 cm disertai skuama halus dan
fisura pada polex dekstra
F. Diagnosis Kerja
Dermatitis Kontak Iritan Kronis e.c paparan deterjen
G. Diagnosis Banding
1. Dermatitis kontak alergi
2. Liken simpleks kronik
H. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
a. Betametason valerat krim 0,1% (2x sehari)
R/ Betametason cr 0,1% tube I
2 dd ue

b. Loratadin 1x10 mg (bila gatal)


R/ Loratadin tab mg 10 No. V
1 dd tab I pc (prn gatal)

2. Non medikamentosa dan edukasi


a. Hindari kontak dengan deterjen, bila memungkinkan dapat
menggunakan mesin cuci atau meminta tolong kepada anggota
keluarga lain
b. Apabila terpaksa harus mencuci hendaknya memakai sarung tangan
c. Setelah mencuci, bersihkan tangan dari iritan menggunakan sabun
dengan pH netral
d. Gunakan pelembab kulit secara teratur

I. Prognosis
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanationam : ad bonam

8
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Dermatitis kontak iritan (DKI) merupakan suatu proses peradangan
pada kulit yang terjadi sebagai hasil paparan faktor eksogen berupa bahan
kimia atau agen fisik dan menyebabkan terjadinya kerusakan langsung pada
kulit, baik terjadinya perubahan sel dan pengeluaran mediator inflamasi. DKI
terjadi melalui mekanisme non-imunologi tanpa adanya fase sensitisasi tanpa
memandang usia, jenis kelamin, dan ras (Cheryl et al., 2014; Kepmenkes,
2015).
B. Etiologi
Dermatitis kontak iritan disebabkan oleh faktor endogen dan eksogen.
Faktor endogen yang menyebabkan terjadinya DKI antara lain yaitu genetik,
jenis kelamin, umur, etnis, lokasi kulit, dan riwayat atopi. Faktor eksogen
meliputi sifat-sifat kimia iritan (pH, keadaan fisik, konsentrasi, ukuran
molekul, jumlah, polarisasi, ionisasi, bahan pembawa dan kelarutan),
karakteristik paparan (jumlah, konsentrasi, durasi, jenis kontak, paparan
simultan terhadap iritan lainnya, dan interval setelah paparan sebelumnya),
faktor lingkungan (suhu dan kelembapan), faktor mekanik (tekanan, gesekan,
atau abrasi), dan radiasi ultraviolet (UV) (Luh et al., 2016).
C. Epidemiologi
Perkembangan pesat pada bidang industri dan jasa di negara
berkembang seperti Indonesia dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit
kulit akibat kontak dengan bahan kimia yang disebut dengan dermatitis
kontak iritan. Survey Biro Statistik Tenaga Kerja terhadap seluruh penduduk
yang bekerja di Amerika mencatat bahwa DKI merupakan 90% penyakit
dermatitis yang menyerang para pekerja. Setiap tahunnya angka insidensi
berkisar pada 9,1-31,7 per 100.000 pekerja. Sedangkan di Eropa prevalensi
DKI dalam satu tahun berkisar 6,7-10,6% (Christian dan Thierry, 2016).

9
D. Klasifikasi
Berdasarkan penyebab dan pengaruh faktor-faktor tertentu, DKI
dibagi menjadi (Kepmenkes, 2015):
1. DKI akut
a. Bahan iritan kuat, misalnya larutan asam sulfat (H2SO4) atau asam
klorida (HCl), termasuk luka bakar oleh bahan kimia
b. Lesi berupa: eritema, edema, bula, kadang disertai nekrosis
c. Tepi kelainan kulit berbatas tegas dan pada umumnya asimetris
2. DKI akut lambat
a. Gejala klinis baru muncul sekitar 8-24 jam atau lebih setelah kontak
b. Bahan iritan yang dapat menyebabkan DKI tipe ini diantaranya
adalah podofilin, antralin, tretionin, etilen oksida, benzalkonium
klorida, dan asam hidrofluorat
c. Kadang-kadang disebabkan oleh bulu serangga yang terbang pada
malam hari (dermatitis venenata), penderita baru merasa pedih
keesokan harinya, pada awalnya terlihat eritema, dan pada sore
harinya sudah menjadi vesikel atau bahkan nekrosis
3. DKI kumulatif/DKI kronis
a. Penyebabnya adalah kontak berulang-ulang dengan iritan lemah
(faktor fisik misalnya gesekan, trauma minor, kelembaban rendah,
panas atau dingin, faktor kimia seperti deterjen, sabun, pelarut, tanah
dan bahkan air)
b. Umumnya predileksi ditemukan di tangan terutama pada pekerja
c. Kelainan baru muncul setelah kontak dengan bahan iritan
berminggu-minggu atau bulan, bahkan bisa bertahun-tahun
kemudian sehingga waktu dan rentetan kontak merupakan faktor
penting
d. Kulit dapat retak seperti luka iris (fisur), misalnya pada kulit tumit
tukang cuci yang mengalami kontak terus-menerus dengan deterjen.
Keluhan penderita umumnya rasa gatal atau nyeri karena kulit retak
(fisur). Ada kalanya kelainan hanya berupa kulit kering atau skuama
tanpa eritema, sehingga diabaikan penderita

10
4. Reaksi iritan
a. Merupakan dermatitis subklinis pada seseorang yang terpajan
dengan pekerjaan basah, misalnya penata rambut dan pekerja logam
dalam beberapa bulan pertama, kelainan kulit monomorfik
(efloresensi tunggal) dapat berupa eritema, skuama, vesikel, pustul,
dan erosi
b. Umumnya dapat sembuh sendiri, namun menimbulkan penebalan
kulit, dan kadang-kadang berlanjut menjadi DKI kumulatif
5. DKI traumatik
a. Kelainan kulit berkembang lambat setelah trauma panas atau laserasi
b. Gejala seperti dermatitis numularis (lesi akut dan basah)
c. Penyembuhan lambat, paling cepat 6 minggu
d. Lokasi predileksi paling sering terjadi di tangan
6. DKI non eritematosa
Merupakan bentuk subklinis DKI, ditandai dengan perubahan fungsi
sawar stratum korneum, hanya ditandai oleh skuamasi ringan tanpa
disertai kelainan klinis lain
7. DKI subyektif/DKI sensori
Kelainan kulit tidak terlihat, namun penderita merasa seperti
tersengat (pedih) atau terbakar (panas) setelah kontak dengan bahan
kimia tertentu, misalnya asam laktat
E. Patomekanisme
Secara singkat terdapat mekanisme yang saling terkait dihubungkan
dengan DKI yaitu hilangnya jaringan lemak dan substansi yang menahan air,
kerusakan membran sel, denaturasi keratin epidermis, dan efek langsung
sitotoksik. Sebagian besar bahan iritan mampu merusak membran lemak
keratinosit, tetapi sebagian dari bahan itu dapat menembus membran sel,
merusak lisosom, mitokondria, atau komponen inti. Kerusakan membran
keratinosit mengaktifkan fosfolipase dan melepas asam arakhidonat (AA),
diasilgliserida (DAG), platelet activating factor (PAF), dan fosfodilinositol.
AA dirubah menjadi eicosanoid yaitu prostaglandin (PG) dan leukotrien (LT).
PG dan LT menginduksi vasodilatasi, dan meningkatkan permeabilitas

11
vaskular sehingga mempermudah transudasi komplemen dan kinin. PG dan
LT juga bertindak sebagai kemoatraktan kuat untuk limfosit dan neutrofil,
serta mengaktivasi sel mast melepaskan histamin, LT, PG, dan PAF sehingga
memperkuat perubahan vaskular (Haftek et al., 2010; Haur et al., 2013).
Diasilgliserida dan second messenger lain menstimulasi ekspresi gen
dan sintesis protein. Pada kontak dengan bahan iritan, keratinosit juga
melepaskan Tumor Necrosis Factor- (TNF-) yang merupakan sitokin
utama pada DKI yang mengarah pada peningkatan ekspresi major
histocompatibility-II (MHC-II) dan intracelluler adhesin molecule-I (ICAM-
1). Pada dermatitis kontak iritan akut, mekanisme imunologisnya mirip
dengan dermatitis kontak alergi akut. Namun, perbedaan yang mendasar dari
keduanya adalah keterlibatan dari spesifik sel-T pada dermatitis kontak alergi
akut (Haftek et al., 2010; Haur et al., 2013).

Gambar 2.1 Patomekanisme Dermatitis Kontak Iritan

Rentetan kejadian tersebut menimbulkan peradangan klasik di tempat


terjadinya kontak dikulit berupa eritema, edema, panas, dan nyeri bila iritan
kuat. Ada dua jenis bahan iritan yaitu iritan kuat dan iritan lemah. Iritan kuat
akan menyebabkan kelainan kulit pada pajanan pertama pada hampir semua

12
orang, sedangkan iritan lemah akan menimbulkan kelainan kulit setelah
berulang kali kontak, dimulai dengan kerusakan stratum korneum oleh karena
depilasi yang menyebabkan desikasi dan kehilangan fungsi sawarnya,
sehingga mempermudah kerusakan sel di bawahnya oleh iritan (Luh et al.,
2016).
F. Penegakkan Diagnosis
1. Anamnesis
Keluhan di kulit dapat beragam, tergantung pada sifat iritan. Iritan
kuat memberikan gejala akut, sedangkan iritan lemah memberikan gejala
kronis. Gejala yang umum dikeluhkan adalah perasaan gatal dan
timbulnya bercak kemerahan pada daerah yang terkena kontak bahan
iritan. Kadang-kadang diikuti oleh rasa pedih, panas, dan terbakar.
Faktor risiko yang didapatkan berupa (Kepmenkes, 2015):
a. Ditemukan pada orang-orang yang terpajan oleh bahan iritan
b. Riwayat kontak dengan bahan iritan pada waktu tertentu
c. Pasien bekerja sebagai tukang cuci, juru masak, kuli bangunan,
montir, penata rambut
d. Riwayat dermatitis atopik
2. Pemeriksaan Fisik
Menurut Rustenmeyer et al (2011), kriteria diagnosis primer untuk
DKI sebagai berikut.
a. Makula eritema, hiperkeratosis, atau fisura predominan setelah
terbentuk vesikel
b. Tampakan kulit berlapis, kering, atau melepuh
c. Bentuk sirkumskrip tajam pada kulit
d. Rasa tebal di kulit yang terkena pajanan
3. Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan spesifik untuk mendiagnosis dermatitis
kontak iritan. Ruam kulit biasanya sembuh setelah bahan iritan
dihilangkan. Terdapat beberapa tes yang dapat memberikan indikasi dari
substansi yang berpotensi menyebabkan DKI. Tidak ada spesifik tes yang
dapat memperlihatkan efek yang didapatkan dari setiap pasien jika

13
terkena bahan iritan. Dermatitis kontak iritan dalam beberapa kasus,
biasanya merupakan hasil dari efek berbagai iritan (Wolff et al, 2008).
a. Patch Test

Patch test digunakan untuk menentukan substansi yang


menyebabkan kontak dermatitis dan digunakan untuk mendiagnosis
DKA. Konsentrasi yang digunakan harus tepat. Jika terlalu sedikit,
dapat memberikan hasil negatif palsu oleh karena tidak adanya
reaksi. Dan jika terlalu tinggi dapat terinterpretasi sebagai alergi
(positif palsu). Patch tes dilepas setelah 48 jam, hasilnya dilihat dan
reaksi positif dicatat. Untuk pemeriksaan lebih lanjut, dan kemabali
dilakukan pemeriksaan pada 48 jam berikutnya. Jika hasilnya
didapatkan ruam kulit yang membaik, maka dapat didiagnosis
sebagai DKI (Wolff et al, 2008). Pemeriksaan patch tes digunakan
untuk pasien kronis, dengan dermatitis kontak yang rekuren.

b. Kultur Bakteri

Kultur bakteri dapat dilakukan pada kasus-kasus komplikasi infeksi


sekunder bakteri (Hogan, 2016).

c. Pemeriksaan KOH

Dapat dilakukan pemeriksaan untuk mengetahui adanya mikologi


pada infeksi jamur superficial infeksi candida, pemeriksaan ini
tergantung tempat dan morfologi dari lesi (Hogan, 2016).

d. Pemeriksaan IgE

Peningkatan imunoglobulin E dapat menyokong adanya riwayat


atopi (Hogan, 2016).

G. Diagnosis Banding
1. Dermatitis Kontak Alergi
Berbeda dengan DKI, pada DKA, terdapat sensitasi dari
pajanan/iritan. Gambaran lesi secara klinis muncul pada pajanan
selanjutnya setelah interpretasi ulang dari antigen oleh sel T (memori),

14
dan keluhan utama pada penderita DKA adalah gatal pada daerah yang
terkena pajanan. Pada patch tes, didapatkan hasil positif untuk alergen
yang telah diujikan, dan sensitifitasnya berkisar antara 70 80% (Ngan,
2010).
2. Liken Simpleks Kronik
Kelainan kulit berupa peradangan kronik, sangat gatal berbentuk
sirkumskrip dengan tanda berupa kulit tebal dan menonjol menyerupai
kulit batang kayu akibat garukan dan gosokan berulang-ulang. Penyebab
kelainan ini belum diketahui. Prevalensi tertinggi penyakit ini pada orang
yang berusia 30-50 tahun dan lebih sering terjadi pada wanita
dibandingkan pria (Kepmenkes, 2015).
Pada pemeriksaan fisik bisa berupa lesi tunggal namun dapat lebih
dari satu. Terletak dimana saja yang mudah dicapai tangan. Biasanya
terdapat di daerah tengkuk, sisi leher, tungkai bawah, pergelangan kaki,
kulit kepala, paha bagian medial, lengan bagian ekstensor, skrotum dan
vulva. Awalnya lesi berupa eritema dan edem atau kelompok papul,
kemudian karena garukan berulang, bagian tengah menebal, kering,
berskuama serta pinggirnya mengalami hiperpigmentasi. Bentuk
umumnya lonjong, mulai dari lentikular sampai plakat (Kepmenkes,
2015).
H. Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dari dermatitis kontak iritan dapat dilakukan dengan
melakukan dengan memproteksi atau menghindakan kulit dari bahan iritan.
Selain itu, prinsip pengobatan penyakit ini adalah dengan menghindari bahan
iritan, melakukan proteksi (seperti penggunaan sarung tangan), dan
melakukan substitusi dalam hal ini, mengganti bahan-bahan iritan dengan
bahan lain (Wolff et al., 2008; Sularsito dan Suria, 2008). Selain itu, beberapa
strategi pengobatan yang dapat dilakukan pada penderita dermatitis kontak
iritan adalah sebagai berikut:

1 Kompres dingin dengan Burrows solution

15
Kompres dingin dilakukan untuk mengurangi pembentukan vesikel dan
membantu mengurangi pertumbuhan bakteri. Kompres ini diganti setiap 2-
3 jam (Levin et al., 2006; Loffer dan Isaak E, 2006).

2 Glukokortikoid topikal

Efek topikal dari glukokortikoid pada penderita DKI akut masih


kontrofersional karena efek yang ditimbulkan, namun pada penggunaan
yang lama dari corticosteroid dapat menimbulkan kerusakan kulit pada
stratum korneum (Loffer dan Isaak E, 2006). Pada pengobatan untuk DKI
akut yang berat, mungkin dianjurkan pemberian prednison pada 2 minggu
pertama, 60 mg dosis inisial, dan di tappering 10mg (Wolff et al., 2008).

3 Antibiotik dan antihistamin

Ketika pertahanan kulit rusak, hal tersebut berpotensial untuk terjadinya


infeksi sekunder oleh bakteri. Perubahan pH kulit dan mekanisme
antimikroba yang telah dimiliki kulit, mungkin memiliki peranan yang
penting dalam evolusi, persisten, dan resolusi dari dermatitis akibat iritan,
tapi hal ini masih dipelajari. Secara klinis, infeksi diobati dengan
menggunakan antibiotik oral untuk mencegah perkembangan selulit dan
untuk mempercepat penyembuhan. Secara bersamaan, glukokortikoid
topikal, emolien, dan antiseptik juga digunakan. Sedangkan antihistamin
mungkin dapat mengurangi pruritus yang disebabkan oleh dermatitis
akibat iritan. Terdapat percobaan klinis secara acak mengenai efisiensi
antihistamin untuk dermatitis kontak iritan, dan secara klinis antihistamin
biasanya diresepkan untuk mengobati beberapa gejala simptomatis (Levin
et al., 2006).

4 Anastesi dan Garam Srontium (Iritasi sensoris)

Lidokain, prokain, dan beberapa anastesi lokal yang lain berguna untuk
menurunkan sensasi terbakar dan rasa gatal pada kulit yang dihubungkan
dengan dermatitis iritan oleh karena penekanan nosiseptor, dan mungkin
dapat menjadi pengobatan yang potensial untuk dermatitis kontak iritan.
Garam strontium juga dilaporkan dapat menekan depolarisasi neural pada

16
hewan, dan setelah dilakuan studi, garam ini berpotensi dalam mengurangi
sensasi iritasi yang dihubungkan dengan DKI (Levin et al., 2006).

5 Emolien

Pelembab yang digunakan 3-4 kali sehari adalah tatalaksana yang sangat
berguna. Menggunakan emolien ketika kulit masih lembab dapat
meningkatkan efek emolien. Emolien dengan perbandingan lipofilik :
hidrofilik yang tinggi diduga paling efektif karena dapat menghidrasi kulit
lebih baik (Levin et al., 2006).

6 Imunosupresi Oral

Pada penatalaksanaan iritasi akut yang berat, glukokortikoid kerja singkat


seperti prednisolon, dapat membantu mengurangi respon inflamasi jika
dikombinasikan dengan kortikosteroid topikal dan emolien. Tetapi, tidak
boleh digunakan untuk waktu yang lama karena efek sampingnya. Oleh
karena itu, pada penyakit kronik, imunosupresan yang lain mungkin lebih
berguna. Obat yang sering digunakan adalah siklosporin oral dan
azatioprim (Levin et al., 2006).

7 Fototerapi dan Radioterapi Superfisial

Fototerapi telah berhasil digunakan untuk tatalaksana dermatitis kontak


iritan, khususnya pada tangan. Modalitas yang tersedia adalah fototerapi
photochemotherapy ultraviolet A (PUVA) dan ultraviolet B, dimana
penyinaran dilakukan bersamaan dengan penggunaan fotosensitizer
(soralen oral atau topical). Sedangkan radioterapi superfisial dengan sinar
Grentz juga dapat digunakan untuk menangani dermatitis pada tangan
yang kronis. Penalataksanaan ini jarang digunakan pada praktek terbaru,
hal ini mungkin disebabkan oleh ketakutan terhadap kanker karena
radioterapi (Levin et al., 2006; Loffer dan Isaak E, 2006).

I. Prognosis
Prognosisnya kurang baik jika bahan iritan penyebab dermatitis
tersebut tidak dapat disingkirkan dengan sempurna. Keadaan ini sering terjadi

17
pada DKI kronis yang penyebabnya multifaktor, juga pada penderita atopi
(Bourke et al., 2008).

18
III. KESIMPULAN

1 Dermatitis kontak iritan (DKI) merupakan suatu proses peradangan pada kulit
yang terjadi melalui mekanisme non-imunologi tanpa adanya fase sensitisasi.

2 Dermatitis kontak iritan disebabkan oleh faktor endogen dan eksogen

3 Berdasarkan penyebab dan pengaruh faktor-faktor tertentu, DKI dibagi


menjadi DKI akut, DKI akut lambat, DKI kronis, reaksi iritan, DKI non
eritematosa, DKI sensori

4 Prinsip pengobatan DKI adalah dengan menghindari bahan iritan, melakukan


proteksi (seperti penggunaan sarung tangan), dan melakukan substitusi dalam
hal ini, mengganti bahan-bahan iritan dengan bahan lain

19
DAFTAR PUSTAKA

Bourke J, Coulson I, and English J. 2008. Guidelines For The Management of


Contact Dermatitis: An Update. British Journal of Dermatology. 5(2): 1-7.

Cheryl LE, Nicholas B, Alina G. 2014. Pathophysiologic treatment approach to


irritant contact dermatitis. Current Treatment Options in Allergy. 1: 317-28.

Christian M dan Thierry S. 2016. Effectiveness of Barrier Creams against Irritant


Contact Dermatitis. Dermatology. 2016(232): 353-62.

Haftek M, Gensanne D, Turlier V, Mas A, Lagarde JM, Schmitt AM. 2010.


Characterization of dendritic cells and macrophages in irritant contact
dermatitis. Journal of Dermatological Science. 57(2010): 214-20.

Haur YL, Marco S, Nikhil Y, Masato K. 2013. Cytokines and Chemokines in


Irritant Contact Dermatitis. http://www.hindawi.com (diakses 30 Maret
2017).

Hogan D J. 2016. Irritant Contact Dermatitis.


http://emedicine.medscape/article/1049352-overview.htm (diakses 30 Maret
2017).

Levin C, Basihir SJ, and Maibach HI, editors. 2006. Treatment Of Irritant Contact
Dermatitis. In: : Chew AL and Howard IM, editors. Irritant Dermatitis.
Germany: Springer-Verlag Berlin Heidelberg.

Loffer H and Isaak E, editors. 2006. Primary Prevention Of Irritant Contact


Dermatitis. In: : Chew AL and Howard IM, editors. Irritant Dermatitis.
Germany: Springer-Verlag Berlin Heidelberg.

Luh MM, I Putu GI, Darmada IG. 2016. Edukasi dan Penatalaksanaan Dermatitis
Kontak Iritan Kronis di RSUP Sanglah Denpasar Bali Tahun 2014/2015. E-
Jurnal Medika. 5(8): 1-4.

Kepmen Kesehatan RI. 2015. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.

Ngan Vanessa. 2010. Irritant Contact Dermatitis.


http://darmnetnz.org/dermatitis/contact-irritant.htm (diakses 29 Maret 2017).

Rustenmeyer T, Ingrid MW, B.Mary E, Sue G, Rik JS. 2011. In: Johansen JD,
Peter JF, Jean PL, editors. Contact Dermatitis 5th ed. New York: Springer.

20
Sularsito, S.A dan Suria Djuanda, editors. 2008. Dermatitis. In: Djuanda A,
Mochtar H, Aisah S, editors. Ilmu Penyakit Kulit Dan Kelamin. Jakarta:
Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia.

Wolff K, Lowel AG, Stephen IK, Barbara AG, Amy SP, David JL. 2008.
Fitzpatricks Dermatology in general medicine. 7th ed. New York: McGraw
Hill.

21

Anda mungkin juga menyukai