Anda di halaman 1dari 14

PRESENTASI KASUS

“Pitiriasis Versikolor”

Pembimbing
dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp.KK

Disusun Oleh
Ismail Satrio Wibowo
G4A015111

SMF ILMU PENYAKIT KULIT DAN KELAMIN


RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO

2018

1
HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan serta disetujui presentasi kasus dengan judul :

Pitiriasis Versikolor

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat ujian


kepaniteraan klinik dokter muda SMF Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin
RSUD. Prof. Dr. Margono Soekarjo Purwokerto

Disusun Oleh:
Ismail Satrio Wibowo
G4A015

Purwokerto, April 2018


Mengetahui,
Pembimbing

dr. Ismiralda Oke Putranti, Sp.KK


NIP. 19790622.201012.2.001

2
DAFTAR ISI

Halaman Pengesahan ............................................................................... 2


Daftar Isi .................................................................................................. 3
Daftar Gambar ......................................................................................... 4
I. Laporan Kasus ................................................................................ 5
II. Tinjauan Pustaka ........................................................................... 6
A. Definisi .................................................................................... 9
B. Etiologi dan Faktor Risiko ....................................................... 9
C. Epidemiologi ............................................................................ 9
D. Patomekanisme......................................................................... 10
E. Penegakkan Diagnosis.............................................................. 11
F. Diagnosis Banding ................................................................... 11
G. Penatalaksanaan ....................................................................... 12
H. Prognosis .................................................................................. 12
III. Kesimpulan ................................................................................... 13
Daftar Pustaka ........................................................................................... 14

3
DAFTAR GAMBAR

Gambar 1. Status Dermatologi .................................................................... 7

4
I. LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : Sdr. N
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 13 tahun
Agama : Islam
Alamat : Pabuaran 02/02
Metode Anamnesis : Autoanamnesis

B. Anamnesis
1. Keluhan Utama
Bercak putih di wajah dan leher sejak 1 minggu
2. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang diantar orangtua nya dengan keluhan timbul bercak-
bercak putih di wajah dan leher. Keluhan dirasakan sejak 1 minggu yang
lalu. Awalnya bercak putih muncul di leher namun lama kelamaan timbul
bercak putih di wajah pula. Apabila berkeringat bercak tidak terasa gatal
dan keluhan ini belum sempat berobat kemana pun. Pasien tidak
mengeluhkan gatal (-), baal (-), kebas (-), kulit bersisik di siku dan lutut (-)
3. Riwayat Penyakit Dahulu
a. Riwayat keluhan yang sama sebelumnya
b. Riwayat alergi (bersin pada pagi hari, gatal setelah makan sesuatu)
disangkal
c. Riwayat asma disangkal
d. Riwayat rawat inap di rumah sakit disangkal
4. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat keluhan yang sama dengan pasien disangkal
b. Riwayat alergi obat dan makanan disangkal
c. Riwayat penyakit asma pada keluarga disangkal

5
5. Riwayat Sosial Ekonomi
Pasien tinggal bersama kedua orangtua dan adik perempuan nya dalam
satu rumah seluas ±50 m2 beralas ubin, atap genting, dinding tembok, dan
ventilasi cukup. Pasien merupakan seorang pelajar yang biasa bermain dan
ekstrakurikuler dari siang hingga sore hari serta jarang untuk mencuci
wajah.

C. Pemeriksaan Fisik
1. Status Generalis
Keadaaan umum : Baik
Kesadaran : Compos mentis
Keadaan gizi : Baik BB: 38 kg, TB: 155 cm
Vital Sign : Tekanan Darah : 110/70 mmHg
Nadi : 76x/menit, tegangan cukup
Pernafasan : 16 x/menit, reguler
Suhu : 36.2°C
Kepala : Mesochepal, simetris, rambut hitam, distribusi merata
Mata : Konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-)
Hidung : Simetris, deviasi septum (-), sekret (-), discharge (-)
Telinga : Simetris, sekret (-), discharge (-), pembesaran saraf (-)
Mulut : Mukosa bibir dan mulut lembab, sianosis (-),
Tenggorokan : T1 – T1 tenang, tidak hiperemis
Leher : deviasi trakea (-), pembesaran KGB (-)
Thorax : simetris, retraksi (-)
Jantung : S1>S2, murmur (-), gallop (-), kardiomegali (-)
Paru : Suara dasar vesikuler (+/+), suara tambahan (-/-)
Abdomen : datar, BU normal, supel
Kelenjar Getah Bening : tidak teraba pembesaran.
Ekstremitas : Akral hangat, edema ( ), sianosis ( ),
pembesaran saraf ulnaris dan peroneus (-)
2. Status Dermatologis
Lokasi : Regio zygomaticum dan coli

6
Effloresensi : Makula hiopigmentasi berbatas tegas, bentuk polimorfik
ukuran 1x2 cm disertai skuama halus

Gambar 1.1 Status Dermatologi

D. Pemeriksaan Penunjang
Tidak dilakukan pemeriksaan penunjang, akan tetapi dapat diusulkan
lampu wood dengan diharapkan berpendar kuning keemasan dan pemeriksaan
KOH 20% dengan harapan didapatkan hifa pendek bersepta dengan spora
bergerombol membentuk gambaran spaghetti and meatballs
E. Resume
Dari hasil anamnesis dan pemeriksaan fisik didapatkan:
1. Keluhan bercak putih di leher dan wajah sejak 1 minggu yang lalu.
2. Riw.Alergi dan asma (-)
3. Pasien merupakan seorang yang biasa bermain dan ekstrakurikuler dari
siang hingga sore hari serta jarang untuk mencuci wajah.
4. Status dermatologi didapatkan makula hipopigmentasi berbatas tegas,
bentuk polimorfik ukuran 1x2 cm disertai skuama halus
F. Diagnosis Kerja
Pitiriasis versikolor et regio zygomaticum dan coli
G. Diagnosis Banding
1. Morbus Hansen
2. Vitiligo
H. Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
a. Ketoconazole tablet 200mg (1x sehari selama 10 hari)

7
R/ Ketoconazole tab 200mg No.X
∫ 1dd tab I pc
b. Miconazole cream 2% 2x1 sehari
R/ Miconazole cream 2% tube I
∫ 2 dd ue in loc dol
2. Non medikamentosa dan edukasi
a. Edukasi bahwa pengobatan harus dilakukan secara menyeluruh, tekun,
dan konsisten karena kekambuhan tinggi
b. Infeksi jamur dapat dibunuh dengan cepat tetapi membutuhkan waktu
berbulan-bulan untuk mengembalikan pigmentasi ke normal
c. Diusahakan pakaian tidak lembab dan tidak berbagi dengan orang lain
d. Selalu jaga kebersihan diri, mandi serta cuci muka secara teratur

I. Prognosis
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : ad bonam
Quo ad sanationam : ad bonam

8
II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Definisi
Pitiriasis versikolor merupakan penyakit infeksi jamur superfisial pada
kulit dan berlangsung kronis yang disebabkan oleh jamur Malassezia furfur.
Prevalensi penyakit ini tinggi pada daerah tropis yang bersuhu hangat dan
lembab (Kepmenkes, 2015).
B. Etiologi
Pitiriasis versikolor (PV) atau lebih dikenal dengan panu adalah
infeksi jamur superfisial yang ditandai perubahan pigmen kulit akibat
kolonisasi stratum korneum oleh jamur lipofilik dimorfik dari flora normal
kulit, Malassezia furfur. Pityrosporum orbiculare dan Pityrosporum ovale
dapat menyebabkan penyakit jika bertransformasi menjadi fase miselium
sebagai Malassezia furfur. Dari semua jenis Malassezia, hanya M.
pachydermatis yang membutuhkan lingkungan kaya lipid, seperti kulit
manusia atau media kultur yang diperkaya lipid, karena tidak mampu
mensintesis asam lemak jenuh rantai menengah-panjang. Malassezia
menghasilkan berbagai senyawa yang mengganggu melanisasi menyebabkan
perubahan pigmentasi kulit (Budimulja, 2007; Lyakhovitsky et al, 2013).
C. Epidemiologi
Penyakit ini ditemukan di seluruh dunia (kosmopolit), terutama di
daerah tropis yang beriklim panas dan lembap, termasuk Indonesia.
Prevalensinya mencapai 50% di negara tropis. Penyakit ini menyerang semua
ras, 10 angka kejadian pada laki-laki lebih banyak daripada perempuan, dan
mungkin terkait pekerjaan dan aktivitas yang lebih tinggi. Pitiriasis versikolor
lebih sering menginfeksi dewasa muda usia 15-24 tahun, saat aktivitas
kelenjar lemak lebih tinggi (Rai et al, 2012).
Faktor predisposisi infeksi jamur ini terdiri dari faktor endogen seperti
malnutrisi, immunocompromised, penggunaan kontrasepsi oral, hamil, luka
bakar, terapi kortikosteroid, adrenalektomi, Cushing syndrome, atau faktor

9
eksogen seperti kelembapan udara, oklusi oleh pakaian, penggunaan krim
atau lotion, dan rawat inap (Rai et al, 2012; Lyakhovitsky et al, 2013).
D. Patomekanisme
Adanya faktor predisposisi menyebabkan ragi saprofit Pityrosporum
orbiculare dan Pityrosporum ovale berubah menjadi bentuk miselium
parasitik yang dapat menimbulkan gejala klinis. Sebelumnya, hanya terdapat
tiga spesies berasal dari genus Malassezia, yaitu M. furfur, M. pachydermatis,
dan M. sympodialis. Pada tahun 1996, klasifikasi taksonomi menambah
empat spesies berdasarkan morfologi, ultrastruktur, dan biologi molekuler,
terdiri dari M. globosa, M. obtusa, M. restrica, dan M. slooffiae. Pada tahun
2004, spesies baru M. dermatis dan M. japonica berhasil diidentifikasi, diikuti
dengan M. yamatoensis, M. nana, M. caprae, M. equina, dan M. cuniculi,
sehingga seluruhnya berjumlah 14 spesies. M. Pachydermatis bersifat
nonlipid-dependent, sedangkan 13 spesies lainnya lipid-dependent. M. furfur,
M. sympodialis, dan M. globosa merupakan penyebab tersering infeksi
pitiriasis versikolor (Budimulja, 2007; Lee et al, 2011).
Malassezia memproduksi berbagai metabolit yang dapat menyebabkan
perubahan warna pada lesi. Hipopigmentasi terjadi akibat: (1) pitiriasitrin dan
pitirialakton yang mampu menyerap sinar UV; (2) asam azaleat, asam
dekarboksilat yang menurunkan produksi melanosit dengan menghambat
enzim tirosinase; (3) malassezin yang menginduksi apoptosis melanosit; (4)
malassezindole A, aktivitasnya menghambat kerja tirosinase dan mengganggu
sintesis tirosinase; (5) keto-malassezin sebagai inhibitor tirosinase dengan
menghambat reaksi DOPA (3,4-dihidroksifenilalanin) melanosit; (6)
metabolit lain seperti indirubin, ICZ, pitiriarubin, dan triptanthrin. Lesi
hiperpigmentasi mungkin berhubungan dengan variasi respon inflamasi
terhadap infeksi (Patel et al, 2013). Tampak peningkatan ukuran melanosom
(makromelanosom) dan penebalan pada stratum korneum. Walaupun in vitro
membuktikan bahwa L-3,4-dihydroxyphenylalanine (L-DOPA) pada
Malassezia mampu menginduksi sintesis melanin, namun secara in vivo
belum dapat dibuktikan (Budimulja, 2007; Lee et al, 2011).

10
E. Penegakkan Diagnosis
1. Anamnesis dan Pemeriksaan Fisik
Diagnosis klinis dapat ditegakkan berdasarkan gambaran lesi yang
sesuai dengan karakteristik pitiriasis versikolor, pemeriksaan fluoresensi
kulit dengan lampu Wood, dan sediaan langsung kerokan kulit. Pasien
pitiriasis versikolor umumnya hanya mengeluh bercak-bercak putih,
kecokelatan, atau merah muda, tidak gatal atau sedikit gatal saat
berkeringat. Pada orang kulit putih atau terang, lesi berwarna lebih gelap
dibandingkan kulit normal, sedangkan pada orang berkulit hitam atau
gelap, lesi cenderung putih. Hal ini sesuai dengan pitiriasis yang berarti
penyakit dengan skuama halus seperti tepung dan versicolor yang berarti
bermacam warna. Bentuk dan ukuran lesi bervariasi, dapat berupa
makula hingga patch atau papul hingga plak hipo/hiperpigmentasi,
berbatas tegas atau difus, tertutup skuama halus di sekitarnya. Bentuk
folikular juga dapat ditemukan (Varada et al, 2014). Lesi dapat meluas,
berkonfluens, atau tersebar. Tempat predileksinya terutama daerah yang
ditutupi pakaian, seperti dada, punggung, perut, lengan atas, paha, leher
(Budimulja, 2007; Machowinski et al, 2010).
2. Pemeriksaan Penunjang
Fluoresensi lesi kulit pada pemeriksaan lampu Wood berwarna
kuning keemasan dan pada pemeriksaan KOH 20% tampak gambaran
spora dan miselium yang sering dilukiskan sebagai spaghetti and
meatball appearance. Pengambilan skuama dapat dilakukan dengan
kerokan kulit menggunakan skalpel atau selotip yang dilekatkan ke lesi. 1
Biopsi kulit jarang dilakukan. Pembiakan M. furfur pada media kultur
tidak bernilai diagnostik karena merupakan flora normal kulit
(Budimulja, 2007).
F. Diagnosis Banding
1. Morbus Hansen
Morbus Hansen merupakan penyakit infeksi yang kronik dan
penyebabnya adalah Mycobacterium leprae, ditandai dengan adanya lesi
hipopigementasi, papula, dan nodus dengan anesthesia serta pembesaran

11
saraf perifer seperti n.auricula magnus, n.ulnaris, dan n.peroneus
(Budimulja, 2007; Machowinski et al, 2010).
2. Vitiligo
Vitiligo yaitu hipomelanosit idiopatik ditandai dengan makula
hipopigmentasi yang dapat meluas dengan diameter beberapa millimeter
sampai sentimeter daerah yang sering terkena adalah sekitar mata, mulut,
dan hidung, tibialis, pergelangan tangan dengan etiologi autoimun,
neurohumural autositotoksik dan bahan kimia (Budimulja, 2007;
Machowinski et al, 2010).
G. Penatalaksanaan
Pengobatan pitiriasis versikolor dapat topikal maupun sistemik. Lesi
minimal dapat diobati dengan preparat topikal, seperti shampo selenium
sulfida 2,5% digunakan 2-3 minggu sekali atau shampo ketokonazol 2%
selama 3 hari berturut-turut. Terbinafin topikal 1% dua kali per hari selama
seminggu cukup efektif. Preparat azol seperti mikonazol, ketokonazol,
klotrimazol, ekonazol juga dapat digunakan. Untuk lesi luas, dapat diberi
pengobatan oral seperti ketokonazol 200 mg/hari selama 7 hari. Itrakonazol
dosis 200-400 mg/hari selama 3-7 hari dapat diberikan untuk infeksi yang
sulit sembuh atau sering kambuh. Flukonazol 400 mg juga efektif diberikan
dalam dosis tunggal (Budimulja, 2007; Levin et al, 2011).
H. Prognosis
Perjalanan penyakit berlangsung kronik, namun umumnya memiliki
prognosis baik. Lesi dapat meluas jika tidak diobati dengan benar dan faktor
predisposisi tidak dieliminasi. Masalah lain adalah menetapnya
hipopigmentasi, diperlukan waktu yang cukup lama untuk repigmentasi
kembali seperti kulit normal. Hal itu bukan kegagalan terapi, sehingga
penting untuk memberikan edukasi pada pasien bahwa bercak putih tersebut
akan menetap beberapa bulan setelah terapi dan akan menghilang secara
perlahan (Kepmenkes, 2015).

12
III. KESIMPULAN

1. Malazzesia furfur yang menyerang stratum korneum merupakan penyebab


infeksi jamur kulit pitiriasis versikolor.
2. Lesi berupa bercak putih, cokelat, hingga merah muda yang tidak gatal,
terkadang gatal ringan saat berkeringat.
3. Awalnya berupa makula berbatas tegas, tertutup skuama halus yang kadang
tidak tampak jelas.
4. Lesi dapat meluas, berkonfluens, atau menyebar. Pengobatan dapat topikal
ataupun sistemik.
5. Prognosis baik jika tatalaksana menyeluruh dengan kepatuhan tinggi.

13
DAFTAR PUSTAKA

Budimulja U. 2007. Pitiriasis versikolor. In: Djuanda A, Hamzah M, Aisah S, eds.


Ilmu Penyakit Kulit dan Kelamin. 5 th ed. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.

Kepmen Kesehatan RI. 2015. Panduan Praktik Klinis bagi Dokter di Fasilitas
Pelayanan Kesehatan Tingkat Pertama. Jakarta: Kementerian Kesehatan
Republik Indonesia.

Lee WJ, Kim JY, Song CH, Lee SH, Lee SJ, Kim DW. 2011. Disruption of
barrier function in dermatophytosis and pityriasis versicolor. The Journal of
Dermatology. 38(11):1049-53.

Levin NA, Delano S. 2011. Evaluation and treatment of Malassezia-related skin


disorders. Cosmetic Dermatology. 24(3):137-45.

Lyakhovitsky A, Shemer A, Amichai B. 2013. Molecular analysis of Malassezia


species isolated from Israeli patients with pityriasis versicolor. Int J
Dermatol. 52:231-3.

Machowinski A, Kramer HJ, Hort W, Mayser P. 2010. Pityriacitrin-a potent UV


filter produced by Malassezia furfur and its effect on human skin microflora.
Mycoses. 49(5):388-92.

Patel AB, Kubba R, Kubba A. 2013. Clinicopathological correlation of acquired


hypopigmentary disorders. Indian J Dermatol Venereol Leprol. 79(3):376-82.

Rai MK, Wankhade S. 2012. Tinea versicolor-an epidemiology. J Microbial


Biochem Technol. 1(1):51-6

Varada S, Dabade T, Loo DS. 2014. Uncommon presentations of tinea versicolor.


Dermatol Pract Concept. 4(3):93-8.

14

Anda mungkin juga menyukai