Anda di halaman 1dari 14

PRESENTASI KASUS

DERMATITIS KONTAK IRITAN


Disusun Untuk Memenuhi Sebagian Syarat Dalam Mengikuti Program
Pendidikan Profesi Dokter Bagian Kulit dan Kelamin di Badan Rumah Sakit
Daerah Wonosobo

Diajukan Kepada :
dr. Aris Budiarso, Sp.KK
Disusun Oleh :
Arya Argamanda
20090310111
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU KESEHATAN PROGRAM
PENDIDIKAN PROFESI DOKTER UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH
YOGYAKARTA BAGIAN ILMU KULIT DAN KELAMIN BADAN
RUMAH SAKIT DAERAH WONOSOBO
2015
1

HALAMAN PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui Presentasi Kasus dengan judul :


DERMATITIS KONTAK IRITAN

Tanggal : Januari 2015


Tempat : RSUD Setjonegoro Wonosobo

Oleh :
Arya Argamanda
20090310111

Disahkan oleh :
Dokter Pembimbing

dr. Aris Budiarso, Sp.KK

KATA PENGANTAR
Assalamualaikum Wr.Wb
Alhamdulillah dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT atas
segala limpahan rahmat yang telah diberikan sehingga penulis dapat
menyelesaikan tugas dalam presentasi kasus untuk memenuhi sebagian syarat
mengikuti ujian akhir program pendidikan profesi di bagian Ilmu Kulit dan
Kelamin dengan judul :
DERMATITIS KONTAK IRITAAN
Penulisan presentasi kasus ini dapat terwujud atas bantuan berbagai pihak,
oleh karena itu maka pada kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima
kasih kepada:
1. dr. Aris Budiarso, Sp.KK selaku dokter pembimbing dan dokter spesialis
kulit dan kelamin RSUD Wonosobo.
2. Teman-teman koass serta tenaga kesehatan RSUD Wonosobo yang telah
membantu penulis dalam menyusun tugas ini.
Dalam penyusunan presentasi kasus ini penulis menyadari bahwa masih memiliki
banyak kekurangan. Penulis mengharapkan saran dan kritik demi kesempurnaan
penyusunan presentasi kasus di masa yang akan datang. Semoga dapat menambah
pengetahuan bagi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya.
Wassalamualaikum Wr.Wb
Wonosobo,

Januari 2015

Arya Argamanda

DAFTAR ISI
3

PRESENTASI KASUS................................................................................. 1
HALAMAN PENGESAHAN.........................................................................2
KATA PENGANTAR................................................................................... 3
BAB I...................................................................................................... 5
BAB II..................................................................................................... 9
BAB III.................................................................................................. 11
BAB III.................................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA................................................................................. 15

DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.............................................................................................. 142

BAB I
PENDAHULUAN

Dermatitis kontak merupakan peradangan pada kulit disebabkan oleh


suatu bahan yang kontak dengan kulit, yang menimblkan fenomen sensitisasi
atau toksik. Dermatitis kontak iritan (DKI) merupakan reaksi inflamasi lokal
pada kulit yang bersifat non imunologik, ditandai dengan adanya eritema dan
edema setelah terjadi pajanan bahan kontaktan dari luar. Bahan kontaktan ini
dapat berupa bahan fisika atau kimia yang dapat menimbulkan reaksi secara
langsung pada kulit.1,3
Banyak agen yang dapat menyebabkan dermatitis kontak iritan. Secret
serangga, getah tumbuh-tumbuhan dapat menimbulkan dermatitis yang
berbentuk linier. Soda dalam sabun, zat-zat detergens (misalnya lisol),
desinfektan dan zat warna (untuk pakaian, sepatu dan lain-lain) mampu
menimbulkan reaksi dermatitis. Pada seorang ibu rumah tangga dapat
menimbulkan house-wife dermatitis, yang merupakan dermatitis tangan (hand
dermatitis) yang sangat sering dijumpai. Bila dermatitis kontak terjadi di
tempat pekerjaan, maka disebut dermatitis akibat kerja (occupational
dermatitis). Bila zat-zat dari pabrik menjadi kausanya, maka dinamakan
dermatitis industrial (industrial dermatitis). Dermatitis pekerjaan terlihat,
misalnya di perushaan batik, percetakan, pompa bensin, bengkel, studio foto,
salon kecantikan, pabrik karet, pabrik plastic, dan sebagainya. Dermatitis
dalam rumah tangga dapat terjadi dermatitis karena insektisida, daun-daun,
kunyit, kapur, sirih, minyak, balsam, sabun, detergen dan berbagai salep yang
dapat dibeli secara bebas. Dermatitis logam bisa disebabkan oleh perhiasan,
jam tangan dan sebgainya. 1,3,7
Pada dunia industri usia pekerja yang lebih tua menjadi lebih rentan
terhadap bahan iritan. Seringkali pada usia lanjut terjadi kegagalan dalam
pengobatan dermatitis kontak, sehingga timbul dermatitis kronik. Dapat
dikatakan bahwa dermatitis kontak akan lebih mudah menyerang pada pekerja
dengan usia yang lebih tua. Namun pada kenyataannya (berdasarkan hasil
5

penelitian ini) pekerja dengan usia yang lebih muda justru lebih banyak yang
terkena dermatitis kontak. Salah satu faktor yang dapat menjadi penyebab
fenomena ini adalah bahwa pekerja dengan usia yang lebih muda memiliki
pengalaman yang lebih sedikit dibandingkan dengan pekerja yang lebih tua.
Sehingga kontak bahan kimia dengan pekerja masih sering terjadi pada pekerja
muda. Pada pekerja tua yang berpengalaman dalam menangani bahan kimia,
kontak bahan kimia dengan kulit semakin lebih sedikit. Selain itu kebanyakan
pekerja tua lebih menghargai akan keselamatan dan kesehatannya, sehingga
dalam penggunaan APD pekerja tua lebih memberi perhatian dibandingkan
pekerja muda. 2,4,6
Menurut American Academy Dermatology (1994), dari semua penyakit
kulit akibat kerja, lebih dari 90% berupa dermatitis kontak. Pada tahun 2003,
dari 4,4 juta kecelakaan dan penyakit akibat kerja yang dilaporkan, 6,2%
(269.500 kasus) adalah penyakit akibat kerja. Menurut Belsito (2005)
dermatitis kontak okupasi adalah penyakit kulit okupasi yang paling sering
dilaporkan pada banyak negara di dunia. Dilaporkan bahwa insiden dermatitis
kontak okupasi berkisar antara 5 hingga 9 kasus tiap 10.000 karyawan full-time
tiap tahunnya. Sedangkan menurut Emmett (2002), angka kejadian penyakit
kulit akibat kerja mengalami penurunan selama 4 tahun belakangan, hal ini
dimungkinkan karena upaya pencegahan yang lebih baik, adanya kompensasi,
dan adanya perubahan dalam pelaporan. 6,8
Patofisiologi atau mekanisme terjadinya dermatitis kontak iritan adalah
saat adanya agen kimia atau fisik kontak dan merusak permukaan kulit, yang
menyebabkan timbulnya respon inflamasi. Sebagai respon awal akan terjadi
kerusakan mikrovaskular, meningkatnya permeabilitas kapiler dan migrasi
leukosit ke jaringan radang. Gejala yang akan muncul berupa kalor, dolor,
rubor, tumor, dan functiolaesa. Selama berlangsungnya fenomena inflamasi
tersebut, banyak mediator kimiawai yang dilepaskan secara local Antara lain
seperti histamin, 5-hiroksitriptamin, factor kemotaktik, bradikinin, leukotrien
dan prostaglandin (PG). penelitian terakhir menunjukkan bahwa PAF (Platelet
Activating Factor) juga merupakan mediator inflamasi. Dengan migrasi sel
fagosit ke daerah ini, terjadi lisis membrane lisozim dan lepasnya enzim
6

pemecah. Secara in vitro terbukti bahwa prostaglandin E2 (PGE2) dan


prostasikllin (PGI1) dalam jumlah nanogram, menimbulkan eritema,
vasodilatasi dan peningkatan aliran darah lokal. Histamin dan bradikinin dapat
meningkatkan permeabilitas vaskular, tetapi efek vasodilatasinya tidak besar.
Sedangkan produk asam arakidonat yaitu leukotriene B4 merupakan zat
kemotaktik yang sangat poten. Proses terjadinya dermatitis tersebut dapat
secara akut maupun kronik. Secara akut terjadi akibat direk sitotoksik yang
akan merusak keratinosit, sedangkan kronik terjadi dari eksposur berulang
yang menyebabkan kerusakan membrane sel. 1,2,4,5
Kelainan kulit bisa berupa eritrma, edema, papul, vesikel, bisa vesikel
yang berkonfluen, dan bila semakin memburuk dapat terjadi nekrosis.1,3
Gejala yang dapat muncul dapat berupa gejala akut, akut lambat dan
kumulatif (kronis), tergantung dari sifat iritan dan ketebalan kulit dari
seseorang. 1,3,6
1. DKI akut
Terjadi setelah satu atau beberapa kali terpapar iritan dan
biasanya terjadi karena iritan kuat. Reaksi dapat berupa rasa
panas, edema, vesikel pustule dan kadang-kadang terbentuk bula
serta kadang-kadang dapat ditemukan nekrosis.
2. DKI akut lambat
Gambaran klinis dan gejala sama seperti DKI akut, tetapi baru
muncul setelah 8-24 jam atau lebih setelah terpapar.
3. DKI kumulatif (kronis)
Jenis ini paling sering terjadi. Penyebabnya adalah dikarenakan
kontak yang berulan-ulang dengan iritan lemah. Gambaran klinis
dapat dibagi dua yaitu stadium I dimana kulit menjadi kering dan
pecah-pecah satadium dapat sembuh dengan sendirinya, stadium
II dimana ada kerusakan epidermis dan dermis, kulit menjadi

merah, bengkak, terasa panas dan mudah terangsang oleh


berbagai substansi. Dapat timbul papul, vesikel, krusta dan
likenifikasi.

BAB II
KASUS

Seorang wanita berusia 59 tahun datang ke poli klinik kulit dan kelamin
Rumah Sakit Umum Daerah Wonosobo dengan keluhan kulit pada jari-jari
tangannya gatal, terasa panas, dan sedikit mengelupas.
Pada anamnesis, didapatkan bahwa keluhan gatal, terasa panas dan kulit
yang sedikit mengelupas sudah dirasakan sejak 3 bulan yang lalu. Awalnya
muncul bintil-bintil (melenting-melenting) kemerahan pada salah satu jari
tangan kirinya (jari tengah), lalu lama kelamaan jari telunjuk dan jari manisnya
juga menjadi seperti jari tengahnya. Pasien mengaku sudah pernah diobati
menggunakan salep dari puskesmas, tetapi dirasa belum membaik.
Riwayat menderita sakit serupa sebelumnya disangkal. Pasien juga
tidak memiliki riwayat alergi maupun penyakit lainnya. Riwayat anggota
keluarga yang memiliki sakit serupa juga disangkal. Riwayat personal social
pasien, pasien adalah seorang ibu rumah tagga dan petani di kebun salak.
Pasien sering melakukan kegiatan rumah tangga yang salah satunya adalah
mencuci (alat rumah tangga dan pakaian), pasien mengaku sering mencuci
dengan berbagai merek detergen. Selain itu pasien juga bekerja di kebun salak,
dimana pasien sering melakukan penyerbukan dari pohon salak jantan ke
betina, yang dimaksudkan untuk menghasilkan buah salak.
Pada pemeriksaan fisik tanda-tanda vital baik. Pada kulit jari II, III, IV
tampak lesi primer patch eritem dan sewarna kulit bentuk tidak beraturan, batas
tidak tegas, tepi ireguler, distribusi regional. Lesi sekunder berupa adanya
skuama putih dan hiperkeratosis pada bagian atas dan tepi dari lesi primer.
Pada pasien ini didapatkan diagnosis akhir yaitu dermatitis kontak
iritan. Diagnosis bandingnya (DD) adalah dermatitis kontak alergi (DKA)dan
tinea manus.
Penatalaksanaan penderita DKI pada prinsipnya adalah menghindari
paparan dari iritan baik yang bersifat kimiawi, mekanik maupun fisik, serta
menyingkirkan factor yang memperberat. Obat-obat hanya membantu
mengurangi gejala dan komplikasi yang terjadi. Pada pasien ini diberikan
9

kortikosteroid oral metilprednisolon 4 mg 3 x 1, cetirizine 1 x 1, dan


deksosimetason cream 2,5% diberikan 2 x sehari. Yang paling penting adalah
edukasi untuk pasien yaitu menghindari kontak dengan deterjen. Bila ingin
mencuci untuk sementara menggunakan mesin cuci atau meminta tolong ke
pada keluarga atau tetangga terdekat atau dapat menggunakan jasa pencucian
pakaian. Bila terpaksa harus mencuci bisa menggunakan Alat Perlindungan
Diri (APD) berupa sarung tangan, serta memakai pelembab secara teratur.

10

BAB III
PEMBAHASAN

Penegakan diagnosis dermatitis kontak iritan pada kasus ini


berdasarkan anamnesis dan pemerikasaan fisik dengan gambaran klinis pasien.
Dermatitis kontak iritan (DKI) merupakan reaksi inflamasi lokal pada
kulit yang bersifat non imunologik, ditandai dengan adanya eritema dan edema
setelah terjadi pajanan bahan kontaktan dari luar. Bahan kontaktan ini dapat
berupa bahan fisika atau kimia yang dapat menimbulkan reaksi secara langsung
pada kulit.1,3 Kontaktan atau iritan bisa berupa sekret serangga, getah
tumbuhan, soda sabun, deterjen, zat-zat kimia berbahaya dan sebagainya.
Dermatitis kontak iritan ini sering terjadi pada ibu rumah tangga maupun pada
orang-orang yang bekerja di jasa pencucian pakaian (binatu). Pada kasus ini,
pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga dan petani kebun salak yang memiliki
resiko terpapar iritan deterjen dan serbuk tanaman salak.
Pada pasien ini didapatkan diagnosis akhir yaitu dermatitis kontak
iritan. Diagnosis bandingnya (DD) adalah dermatitis kontak alergi (DKA) dan
tinea manus.
Untuk menyingkirkan DD antara DKI dan DKA dengan dapat
menggunakan patch test (tes tempel) dimana suatu antigen ditempelkan pada
permukaan kulit, biasanya punggung, untuk selanjutnya dilakukan interpretasi
setelah 48, 72 dan 96 jam. Pada penderita DKA akan didapatkan suatu reaksi
crescendo yaitu reaksi yang lebih berat pada interpretasi kedua, sedangkan
pada DKI akan ada reaksi decressendo yaitu reaksi yang lebih ringan pada
imterpretasi kedua. Namun dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik yang
cermat akan sangat membantu dalam penegakan diagnosis. 1,6,7,8
Tinea manus merupakan suatu infeksi jamur di tangan yang memiliki
tiga tipe manifestasi klinis, yaitu: 1) tipe intertriginosa yang mengenai sela-sala
jari dan mempunyai gambaran berupa maserasi, erupsi kulit dan fisura. 2) Tipe
hiperkeratosis skuamosa ditandai hyperkeratosis asimetrik dengan tepi yang
tajam (mirip DKI). 3) Tipe papulo-vesikel dimana tampak vesikel dengan

11

cairan berwarna kuning dan akan meninggalkan sisik pada proses


penyembuhannya. 1,9

Dalam tatalaksana dermatitis iritan, identifikasi dan penghindaran


bahan iritan maupun alergen yang dicurigai merupakan tahapan utama dalam

Gambar 1. Gambaran Lesi dermatitis kontak iritan dengan gambaran patch eritem (lesi
terapi
dermatitis
kontak.
Pasien pada
harus
mendapatkan
informasi
lengkap
primer)
disertai
skuama dan
hiperkeratosis
bagian
atas dan tepi dari
lesi primer

mengenai bahan yang harus dihindari. Pelembab telah menjadi satu bagian
penting dalam tatalaksana dermatitis kontak. Penggunaan pelembab dapat
membantu pemulihan sawar kulit dengan cara meningkatkan hidrasi kulit,
mempengaruhi struktur lipid epidermis, dan mencegah absorbsi senyawa
eksogen. Pelembab yang mengandung lipid menjadi pilihan utama. Pruritus
dapat dikontrol dengan antipruritik atau antihistamin oral. Kortikosteroid
topikal efektif untuk sebagian besar pasien dermatitis kontak, individu dengan
keterlibatan lebih dari 25% area permukaan tubuh atau mereka yang terpajan
dengan alergen tertentu (sebagai contoh: Toxicodendron oleoresin, yang
bertahan secara lokal dalam kulit selama berminggu-minggu setelah pajanan),
mungkin membutuhkan kortikosteroid sistemik. Kortikosteroid topikal tidak
boleh digunakan terus menerus karena dapat menyebabkan takifilaksis dan
beberapa efek samping merugikan, misalnya: atrofi dan striae. Kortikosteroid
topikal, saat diaplikasikan di wajah, dapat menyebabkan steroid rosasea.
Katarak atau glaukoma dapat timbul selama aplikasi kortikosteroid topikal
pada area

periorbital.

Kortikosteroid sistemik

berkontribusi terhadap

osteoporosis dan peningkatan berat badan, dan dapat memperparah ulkus


peptikum, hipertensi, serta diabetes melitus.6,8

12

BAB IV
KESIMPULAN
Telah dilaporkan kasus Dermatitis Kontak Iritan pada pasien wanita
berusia 59 tahun. Dermatitis kontak iritan merupakan reaksi inflamasi lokal pada
kulit yang bersifat non imunologik, ditandai dengan adanya eritema dan edema
setelah terjadi pajanan bahan kontaktan dari luar
Pasien pada kasus ini memiliki faktor resiko terpapar agen kimiawi berupa
deterjen dikarenakan pasien bekerja sebgai ibu rumah tangga yang rutin mencuci
(alat-alat rumah tangga dan pakaian) dan sering berganti-ganti merek deterjen.
Serta pasien juga bekerja sebagai petani kebun salak yang sering melakukan
penyerbukan, dimana dicurigai serbuk tersebut juga sebgai iritan. Pada
pemeriksaan fisik ditemukan, pada kulit jari II, III, IV tampak lesi primer patch
eritem dan sewarna kulit bentuk tidak beraturan, batas tidak tegas, tepi ireguler,
distribusi regional. Lesi sekunder berupa adanya skuama putih pada bagian atas
dan tepi dari lesi primer.
Pada pasien ini diberikan kortikosteroid oral metilprednisolon 4 mg 3 x 1,
cetirizine 1 x 1, dan deksosimetason cream 2,5% diberikan 2 x sehari

13

DAFTAR PUSTAKA
1. Afifah, A. (2012). FAKTOR-FAKTOR YANG BERHUBUNGAN DENGAN
TERJADINYA DERMATITIS KONTAK AKIBAT KERJA. FAKULTAS
KEDOKTERAN UNIVERSITAS DIPONEGORO, 1-3.
2. British Association Dermatologist. (2014, Maret). Diambil
kembali dari www.dermnetnz.org: www.dermnetnz.org
3. Fatma Lestari, H. S. (2007). FAKTOR-FAKTOR YANG
BERHUBUNGAN DENGAN DERMATITIS KONTAK PADA PEKERJA DI
PT INTI PANTJA PRESS INDUSTRI. Departemen Keselamatan dan
Kesehatan Kerja, Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas
Indonesia, Depok, 16424, Indonesia, 61-68.
4. Gnter KAMPF, H. L. (2007). Prevention of Irritant Contact
Dermatitis among Health Care Workers by Using Evidence-Based
Hand Hygiene Practices: A Review. Industrial Health, 645-650.
5. Moskowitz, R. J. (2013, 10 18). North London Medicine. Diambil
kembali dari
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus/ency/article/000869.htm:
http://www.nlm.nih.gov/medlineplus
6. SK Sulistyaningrum, S. W. (2011). Dermatitis Kontak dan Alergi
pada Geriatri. Departemen Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK
Universitas Indonesia/RSUPN dr. Cipto Mangunkusumo, 29-38.
7. staff, M. c. (2013, January). Mayoclinic. Diambil kembali dari
mayoclinic.org: mayoclinic.org
8. Book: Fisher's Contact Dermatitis. Ed Rietschel RL, Fowler JF.
Lippincott Williams & Wilkins 2001
9. Guidelines for care of Contact Dermatitis (J Bourke, I Coulson, J
English) BJD, Vol. 145, No.6, December 2001 (p877) British
Association of Dermatologists

14

Anda mungkin juga menyukai